You are on page 1of 3

“KOSMOSENTRIS”

Fidel Hardjo

Dalam buku Timaeus, Plato berkisah tentang the Lost Continent, Atlantis. Alkisah, ketika Atlantis
mempersiapkan serangan besar terhadap Athena, tiba-tiba banjir, angin kencang, petir dan
gempa yang kejam membaringkan benua itu, dalam “tidur abadi” jauh di dasar Samudera
Atlantik.

Selama berabad-abad Atlantis “tertidur” di dasar samudera, kemudian munculah perdebatan


runcing. Ada yang katakan, keberadaan Atlantis sebatas mitos belaka. Sebagian yang lain, yakin
benua makmur nan sejahtera itu memang benar-benar ada.

Tahun 1882, penulis Ignatius Donnelly menerbitkan buku Atlantis--Myths of the Antediluvian
World, yang memicu gerakan pencarian "benua yang hilang" itu. Donnelly membagi
keyakinannya bahwa pada masa lalu di Samudera Atlantik, berseberangan dengan mulut Laut
Mediterania, pernah ada sebuah pulau besar. Dia percaya itulah Atlantis dan benar-benar pernah
ada.

Bencana Datang Pergi

Indonesia pun bisa saja serupa dengan nasib hilangnya benua Atlantik. Lebih-lebih jika aneka
bencana alam yang menggerogoti negeri ini, beberapa dekade terakhir tidak “terdiagnosa”
dengan pikiran bening. Dua bencana utama adalah banjir 402 kali, korban 1144 jiwa, kerugian
Rp647,04 miliar dan tanah longsor 294 kali, korban 747 jiwa, kerugian Rp21,44 miliar (WALHI
2006).
Tapi, mengapa bencana alam seperti banjir dan longsor datang silih berganti, di negeri pemilik
hutan terbesar ketiga di dunia ini? Menurut lembaga penelitian WALHI, semua bencana ini
kebanyakan disebabkan oleh ketidakadilan atau gagalnya sistem pengurusan alam, terutama
pengrusakan hutan.
Kerusakan hutan perawan Indonesia tercatat sebesar 72 persen (World Resource Institute,
1997). Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan
pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Sehingga, kita tak perlu tercengang
jika Indonesia menyandang predikat “break record” perusak hutan tertinggi di dunia (Badan
Planologi Dephut, 2003).
Artinya, sangat masuk akal, mengapa bencana banjir dan longsor datang terus. Karena,
kerusakan hutan, kerusakan hutan dan kerusakan hutan. Apa yang salah dengan bangsa yang
bernama Indonesia (kaya) Raya ini?

Pendekatan “Pincang”

Inilah dampak negatif, model pendekatan ekologis yang pincang. Yang menurut Jonathan
Hughes, dalam bukunya Ecology and Historical Materialism (2000), pendekatan pincang ini
sebagai entry point “the death of cosmos”. Ia mengemukakan tiga macam pendekatan pincang
itu.
Pertama, pendekatan ecocentric (economic centered). Pendekatan ini teriming-iming oleh
interese ekonomi tanpa mengupayakan keberlanjutan ekologis secara integratif.
Indonesia pada umumnya terjebak oleh pendekatan ini. Masalah kemiskinan dan pengangguran
membuat kita panik. Kita tergoda “melelangkan” hutan/bumi kepada industri ekstraktif. Dengan
harapan, negara mendapatkan extra income dan kesejahteraan rakyat membaik. Nyatanya,
kesejahteraan itu sulit digenggam. Rakyat semakin sengsara dan alam juga kian rusak. Pada
gilirannya, alam siap “merusak” manusia. Kasus Freeport dan Lumpur Lapindo, adalah contoh riil
bagaimana kesejahteraan tak lebih sebuah mitos bagi warga lokal.
Lebih aneh lagi. Beberapa bulan yang lalu, pemerintah Indonesia justru mengeluarkan PP No. 2
thn. 2008, yang memberi hak legal pembalakan hutan kepada 13 Perusahan Tambang.
Inilah therapy kejutan atas kemiskinan. Hutan dijual dengan cuma Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta
perhektar hutan. Padahal, tarif sewa Pajak Negara Bukan Pajak dari 13 perusahaan tambang itu
hanya mengantong Rp 2,78 triliun per tahun. Sementara total potensi kerugian diperkirakan
sebesar Rp70 triliun per tahun (Greenomics Indonesia).
Kebijakan inilah yang diincari-incari oleh perusahan tambang daerah, yang selama ini nasibnya
terkatung-katung akibat resistensi penduduk lokal. Mengapa pemerintah masih nekat jika ongkos
kebijakan ini terlampau mahal? Bencana alam yang pernah mendera bangsa kita semestinya
menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi kita.

Kedua, pendekatan anthropocentric (human centered). Manusia diyakini menjadi pilar eksklusif
penentu ecology sustainable. Pendekatan ini sama bengisnya dengan ecocentric. Sebab,
manusia diposisikan sebagai “tuan” atas alam. Maka, kita terjebak pada pilihan “kenyangkan dan
selamatkan manusia lebih dulu. Konservasi alam itu adalah perkara kemudian.

Padahal, kalau kita ingin menyelamatkan manusia maka “diagnosa” dulu alam yang rusak. Jika
konsep ini tidak berubah maka jangan harap kita keluar dari lingkaran bencana. Karena,
persoalan dasar tidak tersentuh. Lihat saja, dana APBN 2008 untuk korban bencana sebesar
Rp281,3 triliun. Sementara, alokasi anggaran untuk “pencegahan” risiko bencana hanya sebesar
Rp9,4 triliun. Disparitas anggaran dana inilah yang membuktikan pemerintah memosisikan
kerusakan alam hanya perkara minor.

Ketiga, pendekatan biocentric (biotic centered). Pendekatan ini memusatkan makhluk hidup
(biotik) sebagai “tuan” atas kosmos. Dengan kata lain, sejauh ia adalah makhluk hidup baru
dihargai dan diperlakukan wajar. Kelemahan besar pendekatan ini adalah semua benda alam
abiotik (tanah, batu, air dan udara) “dianaktirikan” dalam konsep sustainabel harmonitas kosmos.
Jika demikian, adakah pendekatan yang lebih etis?

Etika Kosmosentris

Menurut Jonathan Huges, “runyamnya” nasib ekologis global sekarang ini, idealnya memiliki etika
ekologis yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentric (cosmos centered). Manusia atau
makhluk hidup bukan lagi centrum tapi kosmos.
Manusia, binatang, tetumbuhan, benda mati , benda hidup adalah entitas kosmos yang punya
hak asasi yang sama. Menciderai satu sama lain (biotik-abiotik) sama saja melukai tatanan
kosmos itu sendiri. Ketika setitik ioata kosmos terluka, ia menggangu seluruh tatanan di
dalamnya.
Kondisi alam kita yang “sakit-sakitan” sekarang, sebenarnya butuh penyembuhan ekologis
seperti ini. Memperbaiki relasi yang beku dari pendekatan ekosentrik, antroposentrik dan
biosentrik menuju kosmosentrik.
Pertama, nilai intrinsik interaktif complementer komponen cosmophere, perlu dibangun harmonis,
kedua menghargai pluralistik komponen cosmos biotik dan abiotik mutlak terjaga, ketiga tanpa
mengecil peran homo faber (manusia pekerja), manusia mesti menciptakan relasi ramah dan
bertanggung jawab terhadap kosmos dengan segala kandunganya, keempat relasi “take and
give” niscaya dikembangkan. Kalau kita mengambil sesuatu dari alam maka pada gilirannya kita
juga memberi sesuatu kepadanya, dengan merawat, melestari, dan mencintainya.
Inilah “tali kekang”, yang menurut hemat saya perlu dikedepankan untuk membangun ekologis
imparsialitas terhadap keutuhan kosmos. Dengan membangun kesadaran baru ini, kita dapat
menjaga keberlanjutan kosmos ini dan meminimalisir bencana alam yang tak bertepi.
Akhirnya, kita boleh saja memilih: bertahan dengan pendekatan ecosentris, antroposentris,
biosentris atau berani menembusi “stabilitas lochi” itu?. Tapi sekali lagi, taruhannya mahal: antara
hidup atau mati. Jika mindset kita tidak berubah terhadap kosmos maka peristiwa “Lost
Continent of Atlantis” akan terjadi serupa di negeri kita. Ia bukan sekadar mitos tapi kenyataan
pahit yang harus ditelan bersama.

Penulis, Alumnus STFK Ledalero, kini Staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila

You might also like