You are on page 1of 43

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemasalahan

Jasa konstruksi sangat diperlukan dalam membangun sarana dan prasarana

untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam pekerjaan konstruksi

terdapat dua pihak yaitu penyedia jasa (pemborong) dan pengguna jasa (yang

memborongkan). Untuk melaksanakan suatu pekerjaan, maka antara pengguna jasa

dengan penyedia jasa sangat diperlukan suatu kontrak atau perjanjian.

Pengertian kontrak kerja konstruksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang

Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UUJK) adalah

“keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan

penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”.

Untuk sahnya suatu perjanjian menurut hukum, maka perjanjian tersebut

harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yaitu, “supaya terjadi persetujuan

yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan

dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan

tertentu,dan suatu sebab yang tidak terlarang.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menegaskan

bahwa “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian apabila

pengguna jasa konstruksi membuat perjanjian atau kontrak konstruksi dengan


2

penyedia jasa konstruksi dan telah menandatanganinya, maka kedua belah pihak

terikat untuk melaksanakan isi kontrak tersebut.

Pengguna jasa konstruksi dapat berupa perorangan maupun badan hukum baik

pemerintah maupun swasta. Berdasarkan Pasal 1 Ketentuan Umum Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Keppres No. 80 Tahun

2003), bagi proyek-proyek pemerintah pengguna barang/jasa adalah kepala

kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek/pengguna anggaran

Daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab

atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja/proyek tertentu.

Selanjutnya, Pengguna Anggaran Daerah adalah pejabat di lingkungan

pemerintah provinsi, kabupaten/kota yang bertanggung jawab atas pelaksanaan

pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (selanjutnya disebut APBD).

Pejabat yang disamakan adalah pejabat yang diangkat oleh pejabat yang

berwenang di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik

Indonesia (Polri)/pemerintah daerah/Bank Indonesia (BI)/Badan Hukum Milik

Negara (BHMN)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang

dibiayai dari APBN/APBD.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh (selanjutnya disebut UUPA), maka khusus untuk Provinsi Aceh,
3

APBD disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (selanjutnya disebut

APBA).

Penyedia jasa konstruksi adalah perusahan-perusahaan yang bersifat

perorangan maupun badan hukum, baik pemerintah maupun swasta. Bagi proyek-

proyek pemerintah, penyedia jasa harus berbentuk badan usaha.

Pemilihan penyedia jasa konstruksi oleh pengguna jasa didasarkan pada

Keppres No. 80 Tahun 2003 yang didalamnya ada beberapa cara yaitu:

1. Melalui pelelangan umum;

2. Melalui pelelangan terbatas;

3. Melalui pengadaan langsung;

4. Melalui pemilhan langsung.

Dalam rangka mencari penyedia jasa yang benar-benar berbobot untuk

melaksanakan pembangunan fisik ini, pemerintah menetapkan syarat-syarat yang

yang harus di penuhi oleh penyedia jasa yang ingin ikut serta dalam pelaksanaan

pekerjaan tersebut yaitu antara lain:

a. Telah lulus prakualifikasi sesuai dengan bidang dan klasifikasi yang telah di

tentukan;

b. Tidak termasuk daftar hitam rekanan.

Syarat-syarat tersebut di atas merupakan syarat yang harus dipenuhi penyedia

jasa sebelum pelelangan pekerjaan dilaksanakan dan ini merupakan seleksi

pendahulun yang dilakukan oleh panitia pelelangan pekerjaan. Sedangkan pada

kualifikasi yang dinilai adalah kemampuannya dalam menangani proyek, termasuk


4

kemampuan modal yang cukup untuk membiayai pekerjaan selama pekerjaan

tersebut belum diserahterimakan

Penyedia jasa konstruksi wajib melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang

telah disepakati dalam kontak, yaitu melaksanakan pekerjaan sesuai dangan aspek

teknis yang telah disepakati. Begitu juga dengan penguna jasa konstruksi wajib

melakukan pembayaran kepada penyedia jasa konstruksi sesuai dengan jumlah dan

cara yang disepakati dalam kontrak.

Namun dalam praktek seringkali terjadi wanprestasi terhadap kontrak

konstruksi yang telah disepakati baik yang dilakukan oleh penyedia jasa maupun

pengguna jasa dalam hal ini pemerintah.

Untuk memastikan agar dilaksanakannya kontrak konstruksi yang telah

disepakati, maka perlu diatur sanksi-sanksi perdata sebagai ancaman hukuman bagi

para pihak yang tidak melaksanakan kontrak tersebut. Mengenai ancaman hukuman

ini dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1304, yaitu “ancaman hukuman adalah

suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan

suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi.

Menurut penelitian awal, salah satu bentuk wanprestasi yang dilakukan

penyedia jasa konstruksi adalah terlambat menyelesaikan proyek seperti yang telah

disepakati dalam kontrak. Di dalam kontrak biasanya dimuat klausula tentang sanksi

dan denda yang dikenakan jika ada pihak yang waprestasi atau terlambat memenuhi

kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak, dan pihak yang terlambat memenuhi
5

kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi. Berdasarkan penelaahan terhadap kontrak

kerja konstruksi terdapat ketentuan sanksi sebagai berikut:

1. Apabila jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sebagaimana tersebut dalam


Pasal 7 ayat (1) dilampaui karena kesalahan PIHAK KEDUA, maka atas
keterlambatan ini PIHAK KEDUA dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu
perseribu) untuk setiap hari keterlambatan sampai sebesar-besarnya 5%
(lima persen) dari jumlah biaya pekerjaan.
2. PIHAK PERTAMA berhak memutuskan perjanjian kerja ini secara
sepihak, dengan meberitahukan secara tertulis 7 (tujuh) hari sebelum
terjadinya pemutusan dengan ketentuan setelah dilakukan peringatan
tertulis 3 (tiga) kali berturut-turut dalam hal PIHAK KEDUA:
a. Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung dari tanggal Surat Perjanjian ini
tidak ada atau belum mulai melaksanakan pekerjaan di lapangan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1.
b. Dalam waktu maksimal 1 (satu) bulan tidak melanjutkan pekerjaan
pemborongan yang telah dimulai.
c. Secara langsung atau tidak langsung dengan sengaja memperlambat
penyelesaian pekerjaan di lapangan.
d. Memberi keterangan yang tidak benar yang merugikan atau yang
dapat merugikan PPIHAK PERTAMA sehubungan dengan pekerjaan
ini.
e. Jika pekerjaan di lapangan dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA tidak
sesuai dengan jadwal waktu (time schedule) yang dibuat oleh PIHAK
KEDUA dan telah disetujui oleh PIHAK PERTAMA dan pengawas
pekerjaan.
1. Jika terjadi pemutusan perjanjian kerja ini secara sepihak oleh PIHAK
PERTAMA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, PIHAK
PERTAMA dapat mennunjuk rekanan lain atas kehendak dan berdasarkan
pilihan sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut, PIHAK KEDUA
harus menyerahkan kepada PIHAK PERTAMA segala arsip, gambar-
gambar, perhitungan-perhitungan dan keterngan lainnya yang
berhubungan dengan Surat Perjanjian Kerja ini.

Namum dalam kenyataan ditemukan sanksi denda keterlambatan yang telah

ditetapkan dalam kontrak kontruksi tidak diterapkankan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Apakah faktor penyebab terjadinya keterlambatan penyelesaian proyek oleh

penyedia jasa konstruksi?


6

2. Bagaimanakah pelaksanaan penerapan sanksi denda bagi penyedia jasa konstruksi

yang terlambat menyelesaikan proyek?

3. Apa upaya yang ditempuh oleh pengguna jasa (pemerintah) untuk menerapkan

sanksi denda keterlambatan?

A. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah dalam bidang Hukum Perdata khususnya

mengenai penerapan sanksi denda keterlambatan dalam kontrak konstruksi proyek

pemerintah. Untuk mendukung ruang lingkup tersebut, maka pelaksanaan penelitian

ini dilakukan dalam wilayah Kota Banda Aceh, khususnya dalam pelaksanaan

kontrak kontruksi proyek pemerintah yang bersumber dari dana APBA tahun 2008

yang ada di Dinas Pendidikan Provinsi Aceh.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya keterlambatan penyelesaian

proyek oleh penyedia jasa konstruksi.

2. Untuk menjelaskan pelaksanaan penerapan sanksi denda bagi penyedia jasa

konstruksi yang terlambat menyelesaikan proyek.

3. Untuk menjelaskan upaya yang ditempuh oleh pengguna jasa (pemerintah) untuk

menerapkan sanksi denda keterlambatan.

A. Metode Penelitian

1. Definisi Operasional Variabel-variabel Penelitian


7

a. Sanksi denda keterlambatan adalah sanksi yang dikenakan bagi penyedia

jasa yang terlambat menyelesaikan proyek pemerintah dengan membayar

sejumlah uang seperti yang disepakati dalam kontrak .

b. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur

hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam

penyelenggaraan pekerjaan konstruksi

c. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa

yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara

swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.

1. Lokasi dan Populasi Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah Kota Banda Aceh, yang objeknya adalah

proyek pemerintah yang bersumber dari dana APBA tahun 2008 di Dinas

Pendidikan Provinsi Aceh.

b. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini meliputi Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat

Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan penyedia jasa konstruksi yang

terlibat dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang bersumber dari APBA

tahun 2008.

1. Cara Pengambilan Sampel

Pangambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu dari

keseluruhan populasi diambil beberapa sampel yang terdiri dari responden


8

dan informan dan diperkirakan dapat memberikan data yang relevan dan

mewakili kesekuruhan populasi.

Adapun sampel dari penelitian ini yaitu:

a. Responden

1. 2 (dua) orang Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) proyek

pemerintah yang bersumber dari APBA.

2. 2 (dua) orang Kuasa Pengguna Anggaran

3. 2 (dua) orang karyawan perusahaan Penyedia jasa konstruksi yang

terlambat menyelesaikan proyek.

a. Informan

1. 2 (dua) orang Konsultan Pengawas.

2. 2 (dua) orang Pengurus Asosiasi Kontraktor.

1. Cara Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data sekunder dengan

menelaah sejumlah peraturan perundang-undangan, buku-buku,teiri-

teori,tulisan-tulisan ilmiah, artikel dan majalah yang ada hubungannya

dengan penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini bertujuan untuk meperoleh data primer melalui wawancara

dengan responden dan informan.

1. Cara Menganalisis Data


9

Data yang diperoleh baik melalui penelitian kepustakaan maupun

penelitian lapangan akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan

kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif

analisis dan apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan,

yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.

A. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 4 (empat) bab dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dikemukakan Latar

Belakang Permasalahan, Ruang Lingkup Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika

Penulisan.

Bab II, dalam bab ini dibahas menenai kontrak konstruksi pada umumnya

yang meliputi; Pengertian dan Pengaturan Kontrak Konstruksi, Proses Penentuan

Penyedia Jasa Proyek Pemerintah, Hak dan Kewajiban Dalam Kontak Konstruksi,

dan diakhiri dengan Wanprestasi Serta Akibat Hukumnya.

Bab III, dalam bab in dibahas mengenai hasil penelitian yang meliputi;

Penyebab Keterlambatan Penyelesaian Proyek oleh Penyedia Jasa Konstruksi,

Pelaksanaan Penerapan Sanksi Denda Keterlambatan, Upaya Yang Ditempuh Oleh

Pengguna Jasa (Pemerintah) Untuk Menerapkan Sanksi Denda Keterlambatan.


10

Bab IV, merupakan bab penutup yang memuat beberapa kesimpulan

berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, kemudian dikemukakan juga beberapa

saran yang dapat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan yang dibahas.

BAB II

KONTRAK KONSTRUKSI PADA UMUMNYA

A. Pengertian dan Pengaturan Kontrak Konstruksi

Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut overeenkomst. KUH Perdata

menyebutkan dalam Pasal 1313 perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain”.

Sedangkan menurut Salim H.S, kontrak atau perjanjian merupakan “hubungan

hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang
11

harta kekayaan, dimana subjek yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek

hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang

telah disepakati.1

Selanjutnya pengertian kontrak menurut salah satu kamus, menyebutkan

kontrak adalah “suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissosry agreement)

diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan memodifikasi, atau

menghilangkan hubungan hukum”.2

Mengenai penyebutan kontrak atau perjanjian oleh para ahli hukum lebih

bersifat suatu kebiasaan saja, seperti halnya kontrak konstruksi atau ada juga yang

menyebutnya dengan perjanjian konstruksi, hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh

penyebutan dalam undang-undang yang mengaturnya.

Dalam KUH Perdata tidak disebutkan kontrak konstruksi tetapi disebit dengan

perjanjian pemborongan, yaitu dalam Pasal 1601 huruf b menyebutkan bahwa

“perjanjian pemborongan kerja adalah persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu

pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikankan suatu pekerjaan bagi pihak

lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan”.

Bentuk perjanjian pemborongan dapat dibuat baik dalam bentuk tulisan

maupun lisan. Namun pada umumnya perjanjian pemborongan atau kontrak

konstruksi proyek pemerintah dibuat dalam bentuk tertulis.

Menurut Munir Fuady:

1 Salim, H.S., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar Grafika,
Jakarta, 2003.
2 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hal. 4
12

“Dari definisi yang diberikan KUH Perdata tersebut terlihat bahwa undang-
undang secara keliru memandang kepada kontrak konstruksi sebagai suatu
jenis kontrak yang unilateral, dimana seolah-olah hanya pihak kontraktor saja
yang mengikatkan diri dan harus berprestasi. Padahal dalam perkembangan
saat ini, baik pihak kontrakor maupun pihak bouwheer saling mengikatkan
diri, dengan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.”3

F.X. Djumialdji juga menyebutkan dengan perjanjian pemborongan dan

mengemukakan:

“Bahwa dalam rangka pemerataan dan penyebaran pembangunan di seluruh


tanah air, maka diselenggarakan segala macam pembangunan fifik di seluruh
tanah air berupa pembangunan proyek, sarana-sarana, prasarana yang
berwujud pembangunan dan rehabilitasi jalan-jalan jembatan, pelabuhan dan
irigasi, saluran-saluran iar, gedung-gedung perumahan rakyat maupun kantor-
kantor pemerintah. Semua itu di usahakan pemerintah untuk menunjang
tercapainya kesejahteraan rakyat.” 4

Selanjutnya, menurut F.X. Djumialdji kontrak kerja konstruksi adalah, “suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu, yaitu si pemborong, mengikatkan diri

untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang

memborongkan, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan”.5

Berbeda dengan KUH Perdata, UUJK menyebutnya dengan istilah kontak

kerja konstruksi, dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 5. Pengertian Kontrak Konstruksi

menurut Nazarkhan Yasin adalah “perjanjian tertulis antara pengguna jasa (yang

memborongkan) dengan penyedia jasa (pemborong) mengenai pelaksanaan suatu

pekerjaan konstruksi”.6

3 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Aditya Bakti, Bandung, Cet.
Kedua, 2002, hal. 13.
4 Djumialdji F.X., Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Cet. Kedua, 1991, hal. 2.
5 Djumialdji F.X., Hukum Bangunan (Dasar-dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya
Manusia), Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal 4.
6 Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 197.
13

Sedangkan pengertian konstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah cara membuat, menyusun bangunan seperti jembatan, dermaga, bandara, jalan

raya dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan diatas dalam kontrak konstruksi terdapat dua pihak

yang terlibat, yaitu yang memborongkan (pengguna jasa) dan pemborong (penyedia

jasa). Pihak penyedia jasa terbagi 3 (tiga), yaitu:

1. Perencana konstuksi;

2. Pelaksana konstruksi; dan

3. Pengawas konstruksi.

Selanjutnya, istilah jasa kostruksi, yang dimaksudkan UUJK adalah suatu

layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan

pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Di samping itu, dengan istilah pekerjaan kostruksi, yang dimaksudkan dalam

UUJK adalah “keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau

pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,

mekanikal, elektrikal, dan tata lingkumgan masing-masing beserta kelengkapannya,

untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya”.

Selanjutnya, istilah jasa kostruksi, yang dimaksudkan UUJK adalah suatu

layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan

pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

Di samping itu, istilah pekerjaan konstruksi, yang dimaksudkan dalam UUJK

adalah “keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau


14

pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil,

mekanikal, elektrikal, dan tata lingkumgan masing-masing beserta kelengkapannya,

untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lainnya”.

Selain itu dari pengertian diatas juga dapat dilihat unsur-unsur yang

terkandung dalam kontrak konstruksi, yaitu:

1. Adanya persetujuan kedua pihak yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa untuk

melakukan pekerjaan, dan

2. Adanya kewajiban penyedia jasa untuk melaksanakan pekerjaan dan

kewajiban pengguna jasa untuk membayar harga yang telah disepakati.

Sehubungan dengan hal tersebut Sri Soedewi mengemukakan bahwa bentuk

perjanjian pemborongan lazim dituangkan dalam bentuk perjanjian standard dengan

syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha berdasarkan atas syarat-syarat

umum dari perjanjian pemborongan bangunan (AV 1941).7

Mengenai isi kontrak konstruksi KUH Perdata tidak menegaskan secara jelas,

tetapi memberi kebebasan kepada para pihak dengan menggunakan asas kebebasan

berkontrak (Pasal 1338). Menurut Ridwan Syahrani, yang dimaksud dengan asas

kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada

dasarnya boleh membuat kontrak/perjanjian yang berisi dan macam apaun asal tidak

bertuntangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.8

Sehubungan dengan penyusunan kontrak, H.S Salim berpendapat bahwa suatu

kontrak sekurang-kurangnya memuat:


7 Sri Soedewi Maschun Safwan, Hukum Bangunan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 53-54.
8 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni Bandung, 2000, hal.
203-204.
15

1. Judul kontrak;
2. Pembukaan;
3. Pihak-pihak dalam kontrak;
4. Recital, yaitu penjelasan tentang latar belakang bibuatnya kontrak;
5. Inti kontrak, yaitu hal yang dikehendaki oleh para ihak serta hak dan
kewajiban para pihak;
6. Penutup, yaitu mengenai pengesahan kontrak.9

Sedangkan dalam pasal 29 ayat (1) Kepres No.80 Tahun 2003 menentukan

bahwa kontrak konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai:

a. Para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan,


dan alamat;
b. Pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai
jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan;
c. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian;
d. Nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran;
e. Persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci;
f. Tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadwal
waktu penyelesaian/penyerahan yang pasti serta syarat-syarat
penyerahannya;
g. Jaminan teknis/hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan
mengenai kelaikan;
h. Ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak
memenuhi kewajibannya;
i. Ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak;
j. Ketentuan mengenai keadaan memaksa;
k. Ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan
dalam pelaksanaan pekerjaan;
l. ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja;
m. ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan;
n. ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan.

Selain itu, dalam membuat isi kontrrak konstruksi juga harus memperhatikan

hal yang menjadi dasar dalam penyusunan suatu kontrak konstruksi, yaitu asas

hukum kontrak dan asas kontrak konstruksi. Adapun asas hukum kontrak menurut

Salim, H.S adalah:

1. Asas kebebasan berkontrak


9 Salim. H. S, Op.Cit, hal 126.
16

Suatu kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk:


a. Membuat atau tidak membuat suatu perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian,
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan,
d. Menentukan bentuk perjanjian, tertulis atau tidak.
Kebebasan berkontrak disini dapat dilakukan asal tidakbertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum dan dilakukan
dengan itikad baik.
1. Asas konsensualisme
Suatu perjanjian pada dasarnya dapat diadakan cikup dengan adanya
kesepakatan para pihak.10 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata. Yang dalam pasal tersebut menyebutkan kesepakatan
para pihak merupakan salah satu syarat sahnya perjajian/kontrak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda (Kepastian Hukum)
Suatu perjanjian harus mengandung kepastian hukum, kepastian terungkap
dari kekuatan mengikat perjanjian yaitu sebagai undang-undang bagi para
pihak. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Kepastian hukum telah dimiliki para pihak setelah adanya kesepakatan
para pihak. Akibat dari perjainjian maka segala sesuatu yang tertera dalam
kontrak harus dipatuhi oleh semua pihak yang terikat dalam perjanjian,
sedangkan pihak ketiga tidak dapat menggugat isi perjanjianyanhg tela
disepakati.
3. Asas Itikad Baik
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yaitu:
“parsetujuan garus dilaksanakan dengan itikad baik”. Maksud dari asas ini
adalah para pihak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan dan kejujuran sehingga tercapai tujuan dari kontrak persebut.
4. Asas Kepribadian
Asas ini menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perorangan saja. Maksudnya bahwa para
pihak yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan para pihak
tersebut. 11

Selanjutnya, dalam Pasal 30 Keppres No.80 Tahun 2003 disebutkan jenis-

jenis kontrak konstruksi adalah sebagai berikut:

1. Kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan atas:


a. Berdasarkan bentuk imbalan:
1) lump sum;

10 Ibid, hal 9-13.


11 Salim, HS., H., Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, hal 9.
17

Kontrak lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas


penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan
jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin
terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya
ditanggung oleh penyedia barang/jasa.
2) harga satuan;
Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu,
berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap
satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang
volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara,
sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran
bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
3) gabungan lump sum dan harga satuan;
Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang
merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu
pekerjaan yang diperjanjikan.
4) terima jadi (turn key);
5) Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa
pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas
waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh
bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun
penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria
kinerja yang telah ditetapkan.
6) persentase.
Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultansi di
bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana
konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan
persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/
pemborongan tersebut.
a. Berdasarkan jangka waktu pelaksanaan:
1) tahun tunggal;
Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang
mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
2) tahun jamak.
Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang
mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun
anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan
untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan
yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan
yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.
a. Berdasarkan jumlah pengguna barang/jasa:
1) kontrak pengadaan tunggal;
18

Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja


atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk
menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
2) kontrak pengadaan bersama.
Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit
kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu
untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu
sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing
unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam
kesepakatan bersama.

Berdasarkan jenis-jenis kontrak konstruksi tersebut dipilih oleh pengguna jasa

dalam hal ini pemerintah, mana yang paling sesuai dengan keadaan ekonomi,

bangunan yang diinginkan serta kebutuhan pada saat tender diadakan. Namun,

pemerintah Indonesia pada umumnya untuk proyek dengan jangka waktu

penyelesaiannya dalam hitugan bulan, menggunakan kontrak jenis lump sum, kecuali

untuk proyek-proyek besar yang membutuhkan waktu yang lama atau multy years.

Dengan adanya kontrak konstruksi maka timbul hubungan hukum antar para

pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Salim H.S mengatakan:

“Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa konstuksi dan


pelaksana jasa konstruksi yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang
konstruksi. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara para
pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak ditanda tangani kontrak
konstruksi oleh pengguna jasa konstruksi dan pelaksana jasa konstruksi.”12

Apabila terjadi hal-hal yang belum diperjanjikan, maka perubahan kontrak

dimungkinkan, yaitu dalam Pasal 34 Keppres No.80 Tahun 2003: “perubahan kontrak

dilakukan sesuai kesepakatan pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa (para

pihak) apabila terjadi perubahan lingkup pekerjaan, metoda kerja, atau waktu

pelaksanaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

12 Salim, H. S., Op.Cit, hal. 90.


19

A. Proses Penentuan Penyedia Jasa Proyek Pemerintah

Dalam pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsi-prinsip dasar, seperti

yang yang terdapat dalam Pasal 13 Keppres No. 80 Tahun 2003, yaitu:

a. Efisien
Berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan
dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
dalam waktu sesingkatsingkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
b. Efektif
Berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan;
c. Terbuka dan Bersaing
Berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa
yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat
diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
d. Transparan
Berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa,
termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil
evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi
peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas
pada umumnya;
e. Adil/Tidak Diskriminatif
Berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia
barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak
tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f. Akuntabel
Berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi
kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan
masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku
dalam pengadaan barang/jasa.

Dalam penyelenggaraan kontrak kerja konstruksi terdapat 3 (tiga) jenis

penyedia jasa, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu perencana konstruksi,

pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi. Dimana kontrak kerja konstruksi

dibuat secara terpisah sesuai dengan tahapan kerja konstruksi.


20

Penelitian ini hanya membahas tentang pelaksana jasa konstruksi (penyedia

jasa). Menenai pemilihan penyedia jasa tersebut menurut Pasal 17 Keppres No. 80

Tahun 2003 dilakukan dengan 4 (empat) metode, yaitu:

1. Pelelangan Umum

Dalam Pasal 17 ayat (2) Keppres No. 80 Tahun 2003 disebutkan “pelelangan

umum adalah metode pemilihan penyedia jasa yang dilakukan secara terbuka

dengan pengumuman secara luas melalaui media massa dan papan penumuman

resmi untuk penerangan sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan

memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya”.

Menurut Salim H.S pemilihan pelaksana konstuksi dengan pelelangan umum

berlaku untuk semua jenis pekerjaan pelaksanaan konstruksi”.13 Dalam pemilihan

pelaksana jasa konstruksi dengan pelelangan umum dilakukan dengan syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Diumumkan secara luas melalui media massa sekurang-kurangnya 1 (satu)


media cetak dan papan pengumuman;
b. Dilakukan penilaian kualifikasi, baik pra kualifikasi maupun pasca
kualifikasi;
c. Tenaga ahli dan tenaga terampil yang dipekerjakan oleh badan usaha atau
usaha perorangan harus bersertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga.14

Dalam Pasal 20 ayat (1) Keppres No. 80 Tahun 2003 disebutkan prosedur

pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan metoda

pelelangan umum meliputi:

1) Prakualifikasi:
a) Pengumuman prakualifikasi;
b) Pengambilan dokumen prakualifikasi;
13 Ibid, hal. 101.
14 Hal. 98
21

c) Pemasukan dokumen prakualifikasi;


d) Evaluasi dokumen prakualifikasi;
e) Penetapan hasil prakualifikasi;
f) Pengumuman hasil prakualifikasi;
g) Masa sanggah prakualifikasi;
h) Undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi;
i) Pengambilan dokumen lelang umum;
j) Penjelasan;
k) Penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang danperubahannya;
l) Pemasukan penawaran;
m) Pembukaan penawaran;
n) Evaluasi penawaran;
o) Penetapan pemenang;
p) Pengumuman pemenang;
q) Masa sanggah;
r) Penunjukan pemenang;
s) Penandatanganan kontrak;

1) Pasca kualifikasi
a) Pengumuman pelelangan umum;
b) Pendaftaran untuk mengikuti pelelangan;
c) Pengambilan dokumen lelang umum;
d) Penjelasan;
e) Penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan
perubahannya;
f) Pemasukan penawaran;
g) Pembukaan penawaran;
h) Evaluasi penawaran termasuk evaluasi kualifikasi;
i) Penetapan pemenang;
j) Pengumuman pemenang;
k) Masa sanggah;
l) Penunjukan pemenang;
m) Penandatanganan kontrak.

1. Pelelangan Terbatas

Berdasarkan Pasal 17 ayat (3) Keppres No. 80 Tahun 2003, dalam hal jumlah

penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk

pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan

dengan metoda pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media
22

massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia

barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada

penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

Pemilihan penyedua jasa dengan metode pelelangan terbatas berlaku untuk

pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi dan menggunakan teknologi tinggi.

Pemilihan penyedia jasa konstruksi dengan pelelangan terbatas dilakukan dengan

syarat, yaitu:

a. Diumumkan secara luas melalui media massa sekurang-kurangnya 1 (satu)

media cetak dan papan pengumuman resmi;

b. Jumlah penyedia jasa terbatas;

c. Melalui proses kualifikasi;

d. Peserta pelelangan yang berbentuk badan usaha harus sudah diregistrasi pada

lembaga;

e. Tenaga ahli dan tenaga terampil yang dipekerjakan oleh badan usaha atau

perorangan harus bersertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) Keppres No. 80 Tahun 2003 prosedur pemilihan

penyedia jasa dengan metode pelelangan terbatas terdiri dari:

1) Pemberitahuan dan konfirmasi kepada peserta terpilih;


2) Pengumuman pelelangan terbatas;
3) Pengambilan dokumen prakualifikasi;
4) Pemasukan dokumen prakualifikasi;
5) Evaluasi dokumen prakualifikasi;
6) Penetapan hasil prakualifikasi;
7) Pemberitahuan hasil prakualifikasi;
8) Masa sanggah prakualifikasi;
9) Undangan kepada peserta yang lulus prakualifikasi;
10)Penjelasan;
23

11)Penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;


12)Pemasukan penawaran;
13)Pembukaan penawaran;
14)Evaluasi penawaran;
15)Penetapan pemenang;
16)Pengumuman pemenang;
17)Masa sanggah;
18)Penunjukan pemenang;
19)Penandatanganan kontrak.

1. Pemilihan Langsung

Berdasarkan Pasal 17 ayat (4) Keppres No. 80 Tahun 2003, dalam hal metode

pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya

pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metode

pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan

membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga)

penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta

dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal

melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila

memungkinkan melalui internet.

Pemilihan dengan metode pemilihan langsung berlaku untuk keadaan tertentu,

keadaan tertentu meliputi:

a. Penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yag masih

memungkinkan untuk mengadakan pemilihan lengsung;

b. Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan teknologi

baru dan penyedia jasa yang mampu mengaplikasikannya sangat terbatas;


24

c. Pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan

keselamatan Negara yang ditetapkan oleh presiden;

d. Pelerjaan dengan skala kecil dengan kekuatan:

1) Untuk kepentingan pelayanan umum;

2) Mempunyai resiko keci;

3) Menggunakan teknologi sederhana;

4) Dilaksanakan penyedia jasa usaha orang perorangan dan badan usaha

kecil;

Syarat-syarat dalam pemilihan penyedia jasa dengan metode pemilihan langsung

adalah:

a. Diundang sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar;

b. Pemasukan dan pembukaan penawaran tidak perlu pada waktu yang

bersamaan;

c. Peserta yang berbentuk badan usaha atau usaha perorangan harus sudah

diregistrasi pada lembaga;

d. Tenaga ahli dan tenaga terampil yang dipekerjakan oleh badan usaha atau

usaha perorangan harus bersertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga.

Berdasarkan Pasal 20 ayat (3) Keppres No. 80 Tahun 2003, prosedur pemilihan

penyedia jasa dengan metode pemilihan langsung terdiri dari:

1) Pengumuman pemilihan langsung;


2) Pengambilan dokumen prakualifikasi;
3) Pemasukan dokumen prakualifikasi
4) Evaluasi dokumen prakualifikasi;
5) Penetapan hasil prakualifikasi;
6) Pemberitahuan hasil prakualifikasi;
25

7) Masa sanggah prakualifikasi;


8) Undangan pengambilan dokumen pemilihan langsung;
9) Penjelasan;
10) Penyusunan berita acara penjelasan dokumen lelang dan perubahannya;
11) Pemasukan penawaran;
12) Pembukaan penawaran;
13) Evaluasi penawaran;
14) Penetapan pemenang;
15) Pemberitahuan penetapan pemenang;
16) Masa sanggah;
17) Penunjukan pemenang;
18) Penandatanganan kontrak.

1. Penunjukan Langsung

Berdasarkan Pasal 17 ayat (5) Keppres No. 80 Tahun 2003, dalam keadaan

tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan

dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan

cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga

yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Pemiliham penyedia jasa dengan cara penunjukan langsungberlaku untuk keadaan

tertentu dan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh pemegang hak paten atau pihak

yang telah mendapat izin, keadaan tertentu tersebut meliputi:

a. Penanganan darurat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat yang

pelaksanaan pekerjaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera;

b. Pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan teknologi

baru dan peyedia jasa yang mampu mengaplikasikanny;

c. Pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan

keselamatan Negara yang ditetapkan oleh presiden;

d. Pekerjaan dengan skala kecil dengan ketentuan:


26

1) Untuk keperluan sendiri;

2) Mempunyai resiko kecil;

3) Menggunakan teknologi sederhana;

4) Dilaksanakan penyedia jasa usaha orang perorangan dan badan usaha

kecil;

Syarat-syarat dalam pemilihan penyedia jasa dengan metode penunjukan

langsung adalah:

a. Peserta yang berbentuk badan usaha atau usaha perorangan harus sudah

teregistrasi pada lembaga;

b. Tenaga ahli dan tenaga teranpil yang dipekerjakan oleh badan usaha atau

usaha perorangan harus bersertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga;

c. Penyedia jasa yang bersangkutan merupakan pemegang hak paten atau

pihak lain yang telah mendapat lisensi;

Berdasarkan Pasal 20 ayat (4) Keppres No. 80 Tahun 2003, prosedur

pemilihan penyedia jasa dengan metode penunjukan langsung terdiri dari:

1) Undangan kepada peserta terpilih;


2) Pengambilan dokumen prakualifikasi dan dokumen penunjukan
langsung;
3) Pemasukan dokumen prakualifikasi, penilaian kualifikasi, penjelasan,
dan pembuatan berita acara penjelasan;
4) Pemasukan penawaran;
5) Evaluasi penawaran;
6) Negosiasi baik teknis maupun biaya;
7) Penetapan/penunjukan penyedia barang/jasa;
8) Penandatanganan kontrak.

Keempat metode diatas dapat dipilih salah satu oleh pengguna jasa. Pemilihan

ini tergantung pada kondisi dan situasi pada saat pengadaan jasa. Metode pemilihan
27

penyedia jasa mempunyai hubungan erat dengan peyampaian dokumen dan evaluasi

penawaran.

Penyampaian dokumen merupakan cara untuk mengirimkan atau

mengantarkan dokumen/surat yang ditentukan dalam rangka pengadaan jasa.15

Berdasarkan Pasal 18 Keppres No. 80 Tahun 2003, ada 3 (tiga) metode

pemasukan/penyampaian doumen penewaran dimana pengguna jasa dapat memilih

salah satu dari ketiga dokumen tersebut, yang terdiri dari:

a. Metoda 1 (satu) Sampul


Yaitu penyampaian dokumen penawaran yang terdiri dari persyaratan
administrasi, teknis, dan penawaran harga yang dimasukan ke dalam 1
(satu) sampul tertutup kepada panitia/pejabat pengadaan.
b. Metoda 2 (dua) Sampul
Yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi
dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga
penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, selanjutnya sampul I
dan sampul II dimasukkan ke dalam 1 (satu) sampul (sampul penutup) dan
disampaikan kepada panitia/pejabat pengadaan.
c. Metoda 2 (dua) Tahap
Yaitu penyampaian dokumen penawaran yang persyaratan administrasi
dan teknis dimasukkan dalam sampul tertutup I, sedangkan harga
penawaran dimasukkan dalam sampul tertutup II, yang penyampaiannya
dilakukan dalam 2 (dua) tahap secara terpisah dan dalam waktu yang
berbeda.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 Keppres No. 80 Tahun 2003, dalam

pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dapat dipilih salah 1 (satu)

dari 3 (tiga) metoda evaluasi penawaran berdasarkan jenis barang/jasa yang akan

diadakan, dan metoda evaluasi penawaran tersebut harus dicantumkan dalam

dokumen lelang, yang meliputi :

d. Sistem Gugur
15 Salim, H. S., Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUH Perdata, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal. 270.
28

Adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memeriksa dan


membandingkan dokumen penawaran terhadap pemenuhan persyaratan yang
telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan urutan
proses evaluasi dimulai dari penilaian persyaratan administrasi, persyaratan teknis
dan kewajaran harga, terhadap penyedia barang/jasa yang tidak lulus penilaian
pada setiap tahapan dinyatakan gugur.
e. Sistem Nilai
Adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai angka
tertentu pada setiap unsur yang dinilai berdasarkan kriteria dan nilai yang telah
ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, kemudian
membandingkan jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran
peserta lainnya.
f. Sistem Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis
Adalah evaluasi penilaian penawaran dengan cara memberikan nilai pada unsur-
unsur teknis dan harga yang dinilai menurut umur ekonomis barang yang
ditawarkan berdasarkan kriteria dan nilai yang ditetapkan dalam dokumen
pemilihan penyedia barang/jasa, kemudian nilai unsur-unsur tersebut
dikonversikan ke dalam satuan mata uang tertentu, dan dibandingkan dengan
jumlah nilai dari setiap penawaran peserta dengan penawaran peserta lainnya.

Dalam mengevaluasi dokumen penawaran, panitia/pejabat pemilihan

penyedia barang/jasa tidak diperkenankan mengubah, menambah, dan mengurangi

kriteria dan tatacara evaluasi tersebut dengan alasan apapun dan atau melakukan

tindakan lain yang bersifat post bidding.

A. Hak dan Kewajiban Dalam Kontak Konstruksi

Setiap kontrak yang dibuat pasti terdapat hak dan kewajiban para pihak yang

membuat kontrak tersebit, tidak terkecuali dengan kontak konstruksi. Hak bagi salah

satu pihak merupakan kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak lain.

Setelah penandatangan kontrak, pengguna jasa bersama penyedia jasa

melakukan pemeriksaan lapangan dan membuat berita acara keadaan lapangan serta

membuat berita acara penyerahan lapangan/serah terima lapangan.


29

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun

2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Kontruksi (selanjutnya disebut PP No. 29 Tahun

2000), kewajiban pengguna jasa dalam pemilihan penyedia jasa berkewajiban untuk:

a. Mengumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman


setiap pekerjaan yang ditawarkan dengan cara pelelangan umum atau
pelelangan terbatas;
b. Menertibkan dokumen pelelangan umum, pelelangan terbatas, dan
pemilihan langsung secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami
yang memuat:
1) Petunjuk bagi penawaran;
2) Tata cara pelelangan dan atau pemilihan mencakup prosedur,
persyaratan dan kewenangan;
3) Persyaratan kontrak mencakup syarat umum dan syrat khusus; dan
4) Ketentuan evaluasi.
a. Mengundang semua penyedia jasa yang lulus prakualifikasi untuk
memasukkan penawaran;
b. Menertibkan dokumen penunjukan langsung secara lengkap, jelas dan
benar serta dapat dipahami yang memuat;
1) Tata cara penunjukan langsung mencakup prosedur, persyaratan dan
kewenangan;
2) Syarat-syarat kontrak mencakup syarat umum dan syarat khusus.
a. Memberikan penjelasan tentang pekerjaan termasuk mengadakan
peninjauan lapangan apabila diperlukan;
b. Memberikan tanggapan terhadap penyanggahan penyedia jasa;
c. Menetapkan penyedia jasa dan batas waktu yang ditentukan dalam
dokumen lelang;
d. Mengembalikan jaminan penawaran bagi penyedia jasa yang kalah
sedangkan bagi penyedia jasa yang menang mengikuti ketentuan yang
diatur dalam dokumen pelelangan;
e. Menunjukkan bukti kemampuan membayar;
f. Menandatangani kontrak kerja konstruksi dalam batas waktu yang
ditentukan dalam dokumen lelang;
g. Mengganti biaya yang dikeluarkan oleh penyedia jasa untuk penyiapan
pelelangan apabila pengguna jasa membatalkan pemilihan penyedia jasa;
dan
h. Memberikan penjelasan tentang resiko pekerjaan termasuk kondisi dan
bahaya yang timbul dalam pekerjaan konstruksi dan mengadakan
peninjauan lapangan apabila diperlukan.
30

Sedangkan mengenai hak dari pengguna jasa dalam hal pemilihan penyedia

jasa di tentukan dalam Pasal 16 PP No. 29 Tahun 2000, yaitu:

a. Memungut biaya penggandaan dokumen pelelangan umum dan


pelelangan terbatas dari penyedia jasa;
b. Mencairkan jaminan penawaran dan selanjutnya memiliki uangnya dalam
hal penyedia jasa tidak memenuhi ketentuan pelelangan; dan
c. Menolak seluruh penawaran apabila dipandang seluruh penawaran tidak
menghasilkan kompetisi yang efektif atau seluruh penawaran tidak cukup
tanggap terhadap dokumen pelelangan.

Kewajiban penyedia jasa diatur dalam Pasal 17 PP No. 29 Tahun 2000 yang

menentukan bahwa:

a. Menyusun dokumen penawaran yang memuat rencana dan metode kerja,


rencana usulan biaya tenaga terampil dan tenaga ahli, rencana dan
anggaran keselamatan dan kesehatan kerja, dan peralatan;
b. Menyerahkan jaminan penawaran; dan
c. Menandatangani kontrak kerja konstruksi dalam batas waktu yang di
tentukan dalam dokumen lelang.

Sedangkan yang menjadi hak penyedia jasa diatur dalam Pasal 18 PP No. 29

Tahun 2000, bahwa:

a. Memperoleh penjelasan pekerjaan;


b. Melakukan peninjauan lapangan apabila diperlukan;
c. Mengajukan sanggahan terhadap pengumuman hasil lelang;
d. Menarik jaminan penawaran bagi penyedia jasa yang kalah; dan
e. Mendapat ganti rugi apabila terjadi pembatalan pemilihan penyedia jasa
yang tidak sesuai dengan ketentuan dokumen lelang.

Adakalanya para pihak tidak mampu untuk melaksanakan hak dan kewajiban

seperti yang telah disepakati dalam kontrak atau yang diatur dalam undang-undang,

hal tersebut dikarenakan keadaan memaksa (force majeure), yaitu keadaan dimana

seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau

peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa
31

tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur

tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (Pasal 1244 KUH Perdata).

A. Wanprestasi Serta Akibat Hukumnya

Setiap kontrak memiliki kemungkinan untuk tidak terlaksana atau tidak

terlaksana dengan semestinya, begitu juga halnya dengan kontrak konstruksi.

Kemingkinan itu terjadi bisa karena unsur kesengajaan (lalai) ataupun karena hal-hal

diluar kehendak atau kuasa para pihak. Tidak terlaksanya atau tidak terlaksana

dangan semestinya karena unsur kesengajaan, dinamakan dengan wanprestasi.

Menurut H.S Salim, waprestasi adalah “tidak memenuhi atau lalai

melaksanakan kewajiban sebagaimana ditentukan dam perjanjian yang dibuat antara

kreditur”.16

Menurut Yahya Harahap wanprestasi adalah:

“Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak


menurut selayaknya, dengan demikian seorang debitur tersebut berada dalam
keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan prestasi telah lalai
sehingga terlambat dari jadwal ataupun waktu yang telah ditentukan ataupun
melaksanakannya tidak menurut waktunya.”17

Sedangkan J. Satrio membagi wanprestasi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:

a. Sama sekali tidak berprestasi;

b. Keliru berprestasi;

16 Salim, H.S., Op.Cit, hal. 98.


17 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1986, hal. 60.
32

c. Terlambat berprestasi.18

Selanjutnya, Subekti membagi wanprestasi kedalam 4 (empat) bentuk, yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.19

Dari pendapat para ahli hukum tersebut, bahwa wanprestasi terjadi karena

salah satu pihak lalai dalam melaksanakan sebagian atau seluruhnya apa yang telah

disepakati dalam kontrak. Hal ini juga dapat terjadi dalam kontrak konstruksi.

Wanprestasi dalam kontrak konstruksi secara khusus diatur dalam PP No. 29

Tahun 2000, yang menjelaskan wanpretasi atau cidera janji dalam pelaksanaa kontrak

konstruksi antara lain:

1. Wanprestasi oleh penyedia jasa meliputi:

a. Tidak meyelesaikan tugas;

b. Tidak memenihi mutu;

c. Tidak memenuhi kualitas;

d. Tidak menyerahkan hasi pekerjaan.

1. Wanprestasi oleh pengguna jasa

a. Terlambat membayar;

b. Tidak membayar;

c. Terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan pekerjaan.


18 Satrio, J, Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni Bandung, 1999, hal.
122.
19 Subekti, R, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 45.
33

Setiap wanprestasi yang dilakukan pasti menimbulkan akibat hukum. Apabila

salah satu pihak melakukan waprestasi maka pihak yang merasa dirugikan dapat

memilih beberapa kemungkinan, yaitu:

1. Pemenuhan perikatan;

2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

3. Ganti kerugian;

4. Pembatalan perjanjian timbal balik;

5. Pembatalan dengan ganti kerugian.20

Pengaturan mengenai wanprestasi diatas dapat kita lihat dalam Pasal 1243

KUH Perdata, yaitu:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu


perikatan mukai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai,
tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam
waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Menurut F. X Djumialdji, “apabila pemborong melakukan wanprestasidalam

hal ini menyerahkan pekerjaannya pada phak lain, atau tidak melaksanakan

pekerjaannya atau batas maksimum denda dilampaui, makaperjanjian pemborongan

dapat dibatalkan oleh pihak yang memborongkan.21 Hal ini juga diatur dalam

Keppres No. 80 Tahun 2003 dalam Pasal 35, yaitu:

1. Penghentian kontrak dilakukan bilamana terjadi hal-hal di luar kekuasaan


para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak,
yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan, perang saudara,
sepanjang kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kekacauan dan huru hara serta bencana alam yang

20 Ridwan Syahrani, Op. Cit, hal. 230.


21 Djumialdji, F.X, Op. Cit, hal. 17.
34

dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam


kontrak.
2. Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak cidera janji
dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana
diatur di dalam kontrak.
3. Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa
dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak berupa :
a. jaminan pelaksanaan menjadi milik negara;
b. sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa;
c. membayar denda dan ganti rugi kepada negara;
d. pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu.
1. Pengguna barang/jasa dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila
denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia
barang/jasa sudah melampaui besarnya jaminan pelaksanaan.
2. Pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kesalahan pengguna
barang/jasa, dikenakan sanksi berupa kewajiban mengganti kerugian yang
menimpa penyedia barang/jasa sesuai yang ditetapkan dalam kontrak dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Kontrak batal demi hukum apabila isi kontrak melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
4. Kontrak dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN,
kecurangan, dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan
kontrak.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pihak yang merasa dirugikan

baik pengguna jasa maupun penyedia jasa dapat melakukan pemutusan kontrak

karena pihak lain lalai melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kotrak.

Selanjutnya Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan:

“Debitur harus dihukum untuk menggati biaya, kerugian dan bunga, bila ia
dapat membuktikan bahwatidak dilaksanakannya perikatanitu disebabkan oleh
sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya,
yang tidak ada itikat buruk kepadanya”.

Suharnoko mengemukakan bahwa:

“Dalam suatu kontrak baku sering di jumpai ketentuan bahwa para pihak telah
bersepakat menyimpang atau melepaskan pasal 1266 KUH Perdata. Akibat
hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu
dimintakan pembatalan kepada hakim tapi dengan sendirinya batal demi
hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi,
35

beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal tejadinya


wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus di mintakan
pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur
sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian”.22

Begitu juga halnya dengan kontrak konstruksi proyek pemerintah, yang

biasanya memuat ketentuan apabila terjadi wanprestasi maupun sengketa lainnya,

maka akan mengabaikan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata.

Dalam Pasal 37 Kepres nomor 80 tahun 2003 sanksi bagi pihak yang

melakukan wanprestasidalm hal ini terlambat menyelesaikan dan tidak cermat

melakukan pekerjaan adalah sebagai berikut:

1. Bila terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari kelalaian


penyedia barang/jasa, maka penyedia barang/jasa yang bersangkutan
dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1o/oo (satu
perseribu) per hari dari nilai kontrak.
2. Bila terjadi keterlambatan pekerjaan/pembayaran karena semata-mata
kesalahan atau kelalaian pengguna barang/jasa, maka pengguna
barang/jasa membayar kerugian yang ditanggung penyedia barang/jasa
akibat keterlambatan dimaksud, yang besarannya ditetapkan dalam
kontrak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian
pengguna barang/jasa dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun
kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan yang
bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi.

Selanjutnya menurut Penjelasan Pasal 37 Kepres nomor 80 tahun 2003,

disebutkan juga besarnya denda keterlambatan tidak dibatasi dan pengguna

barang/jasa dapat memutuskan kontrak apabila denda keterlambatan sudah

melampaui nilai jaminan pelaksanaan. Penyedia barang/jasa tidak dapat menuntut

kerugian atas pemutusan kontrak tersebut.

22 Suharnoko, SH., MLI., Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Kencana, Jakarta,
Cet. Kelima, 2008, hal. 61.
36

Berdasarkan penjelasan diatas, jelas terdapat perbedaan antara pennguna jasa

dengan penyedia jasa, perbedaan tersebut adadah penyedia jasa mempuyai

kemungkinan melakukan wanprestasi lebih besar dari pada pengguna jasa.

Menurut Nazarkhan Yasin, bahwa:

Umumnya kontrak konstruksi sampai saat ini belu mencapai predikat yang
adil dan setara (fair and equal) layaknya suatu kontrak karena:
1. Apabila penyedia jasa lalai dikenakan sanksi berat, namun apabila pengguna jasa
lalai, sanksinya ringan atau tidak sama sekali.
2. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan akan dikenakan sanksi denda, tetapi
keterlambatan pembayaran tidak mendapat ganti rugi (interets bank).23

Hal ini disebabkan karena posisi pengguna jasa lebih dominan dibanding

dengan penyedia jasa, dengan posisi tersebut biasanya pengguna jasa yang menyusun

kontrak, dan penyedia jasa hanya menandatangani saja tanda dari persetujuan dari isi

kontrak tersebut.

BAB III

23 Nazarkhan Yasin, Op. Cit, hal. 16.


37

PENERAPAN SANKSI DENDA KETERLAMBATAN DALAM KONTRAK

KONSTRUKSI PROYEK PEMERINTAH

A. Penyebab Keterlambatan Penyelesaian Proyek oleh Penyedia Jasa

Konstruksi

Setiap kontrak konstruksi sudah diatur apa saja yang harus dikerjakan oleh

para pihak yang membuat kontrak tersebut, namun dalam pelaksanaannya tentu

banyak hambatan yang dihadapi oleh para pihak. Sehingga untuk menjaga agar

kontrak itu dapat dilaksanakan pseperti yang telah disepakati antara pengguna jasa

dan penyedia jasa maka perlu diatur sanksi terhadap pihak yang tidak melaksanakan

kontrak tersebut dikemudian hari.

Dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, menurut Rusdi Aries Kuasa Pengguna

Anggaran Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Aceh Tahun Anggaran

2008, hal yang paling ditakuti oleh pengguna jasa daln penyedia jasa adalah bila

terjadi pemutusan kontrak karena dapat merugikan semua pihak, baik yang terikat

dalam kontrak yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa maupun pihak ketiga yang

menerima manfaat dari pekerjaan tersebut.24

Suatu pekerjaan memiliki kemungkinan untuk terjadi keterlambatan dalam

penyelesaian, begitu juga halnya dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan jasa

konstruksi, baik karena itikad buruk dari penyedia jasa maupun karena keadaan

24 Wawancara dengan Rusdi Aries Kuasa Pengguna Anggaran Bidang Pendidikan


Menengah Dinas Pendidikan Aceh Tahun Anggaran 2008, tanggal 27 April 2010.
38

memaksa (force majeure). Dengan adanya keterlambatan itu, maka akan

menimbulkan konsekuansi bagi pengguna jas maupun penyedia jasa.

Pada tahun 2008, hampir seluruh proyek konstruksi milik pemerintah

mengalami keterlambatan penyelesaian oleh penyedia jasa, hal tersebut juga terjadi di

Dinas Pendidikan Provinsi Aceh. Oleh karena itu, tentu menimbulkan pertanyaan apa

penyebab tersebut dapat dapat terjadi.

Ternyata setelah dilakukan penelitian, keterlambatan penyelesaian pekerjaan

konstruksi tersebut dikarenakan keadaan memaksa (force majeure), yaitu keadaan

cuaca yakni curah hujan tinggi yang tidak mendukung pelaksanaan pekerjaan

tersebut.25

Sebelum pemutusan atau pennghentian kontrak dilakukan, pengguna jasa

tentu sudah menyampaikan surat teguran kepada penyedia jasa, biasanya 3 (tiga) kali,

kalau surat teguran tidak diindahkan oleh penyedia jasa, maka kontrak akan

diputuskan atau dihentikan.

Menurut Anwar, proyek yang didenda adalah yang sudah diberikan adendum

waktu nanum penyedia jasa tetap tidak mampu menyelesaikan proyek tersebut 100%

(seratus persen), namun yang bisa menyelesaikannya tidak dikenakan denda.26

Adendum ini dilakukan berdasarkan:

1. Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.

KU.954.1/053/2008 tanggal 03 April 2008, Tantang Penunjukan/Penetapan

25 Wawancara dengan Husaini, PPTK Bidang Taman Kanak-kanak Tahun 2008 Dinas
Pendidikan Provinsi Aceh, tanggal 20 April 2010.
26 Wawancara dengan Anwar S.Pd, PPTK Bidang SMA dan SMK Tahun 2008 Dinas
Pendidikan Provinsi Aceh, tanggal 27 April 2010.
39

Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang, Kuasa Pengguna Anggaran dan

Bendahara Pengeluaran dan Pengelolaan Barang pada Dinas Pendidikan tahun

anggaran 2008.

2. Peraturan Gubernur Naggroe Aceh Darussalam No. 72 Tahun 2007 tanggal 20

November 2007 Tentang Tata Cara Penyusunan Dokumen Pelaksanaan Kegiatan

Lanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

3. Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Nanggroe Aceh Darusalam No.

954/A/1215.A/2008, tanggal 6 Juni 2008, tentang Penunjukan/Pengangkatan

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dana APBA pada Bidang Pendidikan

Menengah (Dikmen) Dunas Pendidikan Provinsi Nonggroe Aceh Darussalam

Tahun Anggaran 2008.

Dalam salah satu kontrak kerja konstruksi Dinas Pendidikan Provinsi Aceh

tahun anggaran 2008 disebutkan jangka waktu pelaksaan pekerjaan adalah:

1. Pelaksanaan pekerjaan harus sudah dimulai sejak tanggal dikeluarkannya

Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK).

2. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan sampai dengan selesai 100% (seratus

persen) dalam Surat Perjanjian Kerja ini ditetapka selama 120 (seratus dua

puluh) hari kalender, terhitung sejak tanggal Surat Perintah Mulai Kerja

(SPMK) dari tanggal 11 September 2008 s/d 31 Desember 2008.

3. Waktu peyelesaian yang tertera dalam Pasal 1 ayat ini tidak dapat dirubah

oleh PIHAK KEDUA , kecuali adanya keadaan memaksa seperti diatur


40

dalam Pasal 14 dan harus disetujui oleh PIHAK PERTMA secara tertulis,

bahwa waktu penyelesaian ditambah.

BAB IV

PENUTUP
41

Berdasarkan uraian, pembahasan dan analisa penulis pada bab sebelumnya,

maka berikut ini dikemukakan kesimpulan dari hasi penelitian beserta saran sebagai

berikut:

A. Kesimpulan

1. Peyebab keterlambatan dari penyedia jasa adalah keadaan memaksa (force

majeure) yaitu curah hujan tinggi yang menyababkan perkerjaan konstruksi

tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya oleh penyedia jasa, karena itu

dapat dibuat adendum penambahan waktu meskipun kontrak berakhir

tanggal 31 Desember 2008 yang merupakan batas akhir pembayaran dan

penutupan anggaran tahun 2008. Bagi peyedia jasa yang dapat

menyelesaikan poekerjaan sampai 100% (seratus persen) dalam jangka

waktu tambahan yang diberikan maka tidak dikenakan sanksi denda

keterlambatan, sedangkan bagi penyedia jasa yang tidak mampu

menyelesaikan sampai 100% (seratus persen), maka dikenakan sanksi denda

keterlambatan.

2. Pelaksanaan penerapan sanksi denda keterlambatan dilakukan berdasarkan

laporan perminggu dari pengawas pekerjaan tentang kemajuan pelaksanaan

pekerjaan di lapangan yang berbentuk kurva S. Dari laporan pengawas

tersebut apabila pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal waktu

(time schedule) yang dibuat oleh penyedia jasa dalam dokumen penawaran,

maka pengguna jasa akan meyampaikan surat teguran kepada peyedia jasa

mengenai keterlambatan itu, dan atas keterlambatan tersebut penyedia jasa


42

akan dikenakan sansi denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu)

sampai sebesar-besarnya 5% (lima persen) dari jumlah biaya pekerjaan.

3. Upaya pengguna jasa dalam hal ini pemerintah untuk menerapkan sanski

denda kterlambatan adalah dengan mengusahakan pengesahan APBA

selambat-lambatnya bulan Januari setiap tahunnya, agar tender dapat

dilasanakan lebih awal dan penyedia jasa memiliki waktu lebih banyak

untuk melaksanakan pekerjaan dan apabila memenuhi syarat dapat

mengajukan adendum penambahan waktu, sehingga proyek selesai sebelum

penutupan anggaran dan penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan

terlambat dari jadwal waktu yang dibuat dapat dikenakan sannksi denda

ketrelambata, bukan dengan pemutusan kontrak karena habisnya masa

anggaran.

A. Saran

1. Sebaiknya peyedia jasa lebih berhati-hati dalam mengikuti pelelangan

pekerjaan dan dapat memilih pekerjaan yang betul-betul mempu dikerjakan

agar tidak terjadi penerapan sanksi denda keterlambatan kepadanya dan

tidak terjadi pula pemutusan kontrak.

2. Untuk menghindari penerapan sanksi denda kkterlambata, maka peyedia

jada hendaklah mengerjakan pekerjaan semaksimal mungkin sesuai denga

jadwal waktu (time schedule) yang telah dibuat.

3. Disarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Gubernur dan pihak

terkai lainnya untuk dapat melakukan pembahasan dan pengesahan APBA


43

secepatnya setiap tahun, agar tender atau pelelangan dapat dilakukan lebih

awall sehingga waktu pelasanaan pekerjaan konstruksi lebih banyak untuk

menghindari penerapan sanksi denda keterlambatan dan pemutusan kontrak

yang dapat merugikan banyak pihak.

You might also like