You are on page 1of 36

ASPEK LEGALITAS TINDAKAN

MEDIS DAN PERAWATAN PASIEN


BEDAH

By
Dadi Santoso, S.Kep.
2008
PENDAHULUAN
 Praktik kedokteran dan perawatan bukanlah
pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,
melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok
profesional kedokteran dan perawatan tertentu
yang berkompetensi dan memenuhi standar
tertentu. Telah mendapat izin dari institusi yang
berwenang dan bekerja sesuai dengan standar
dan profesionalisme yang ditetapkan oleh
organisasi profesinya
 Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat
profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu
kontrak (mengacu kepada doktrin sosial-kontrak).
Di mana kontrak ini memberikan hak kepada
masyarakat profesi untuk melakukan self-
regulating (otonomi profesi).
 Pedoman profesi yang memuat jaminan bahwa
personal yang berpraktek memiliki kompetensi
dan bekerja sesuai dengan standar
 Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada
masyarakat, baik, masyarakat profesi maupun
masyarakat luas, termasuk klien, dicerminkan
dalam sikap profesionalisme. Beberapa ciri
profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri,
seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu
"sesuai dengan tempat dan waktu", sikap yang
etis sesuai dengan etika profesinya, sikap
altruisme (mendahulukan kepentingan pasien),
bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh profesinya, dan sikap care
UU Praktik Kedokteran dan
akuntabilitas profesi
 Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran diundangkan untuk
mengatur praktik kedokteran. Peraturan ini
bertujuan agar dapat memberikan
perlindungan kepada pasien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan medis dan memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat,
dokter dan dokter gigi.
MAL PRAKTEK
 Kesalahan ? kelalaian ?
 Black's Law Dictionary mendefinisikan malpraktik
sebagai "Unprofessional misconduct or unreasonable
lack of skill" atau "failure of one rendering professional
services
 malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang
disengaja (intentional) seperti pada misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun
suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang
tidak beralasan
 Professional misconduct yang merupakan kesengajaan
dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik,
ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum
pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang
merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran
wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji /
diterima, sengaja melanggar standar, berpraktek tanpa SIP,
berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk
1.Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar
hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper),
misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper).
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performance) yaitu misalnya, melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis
yang merupakan kewajiban baginya
Unsur Kelalaian
 adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu,
 adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi
kewaiban tersebut,
 adanya kerugian atau cedera pada pasien dan
 adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran
atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut
dengan cedera atau kerugian.
Deklarasikan Charter on Medical
Professionalism
 prinsip utama, yaitu prinsip mengutamakan kesejahteraan
pasien, prinsip otonomi pasien dan prinsip keadilan sosial
 Ketiga prinsip tersebut diikuti dengan 10 tanggung jawab
(komitmen), yaitu tanggungjawab atas kompetensi
profesional, kejujuran kepada pasien, kerahasiaan pasien,
hubungan yang baik dengan pasien, peningkatan kualitas
layanan, perbaikan akses layanan, distribusi sumberdaya
yang terbatas secara adil, pengetahuan ilmiah, pemeliharaan
kepercayaan melalui pengelolaan konflik kepentingan dan
tanggung jawab profesional
PREVENTIF
 Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat
informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas
terapi yang akan dilaksanakan.
 Informed consent juga berarti mengambil keputusan
bersama.
 Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi
dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua
informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil
keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan
psikis pada pasien
KAPAN MEMBERI INFORMASI ?
 Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter
memiliki kewajiban untuk memberitahukan pasien
mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis
banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko,
alternatif, prognosis dan harapan.
 Dokter seharusnya tidak mengurangi materi
informasi atau memaksa pasien untuk segera
memberi keputusan. Informasi yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien
Elemen-elemen Informed consent
Suatu informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terap
dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada
dan akibat apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi
Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang
mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan
pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
Ruang Lingkup Pemberian Informasi
 Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan
tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika
memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung
jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan
pasien.
 Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam
mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan
diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus
dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa
pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan
pulihnya pasien
HAL-HAL YANG
DIINFORMASIKAN
1.Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan.
Misalnya perubahan keganasan pada hasil
Pap smear. Apabila infomasi sudah
diberikan, maka keputusan selanjutnya
berada di tangan pasien
2. RESIKO
 Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan
disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal
tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga
akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus
diberitahu pada pasien.
 Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya
berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia
harus memberitahukannya pada pasien.
 Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang
dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
 Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif
dalam proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat
menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan
tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu
obat, iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi.
Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan
dan kerugian serta komplikasi yang mungkin
timbul.
4. Rujukan/ konsultasi
 Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila
ia menyadari bahwa kemampuan dan
pengetahuan yang ia miliki kurang untuk
melaksanakan terapi pada pasien-pasien tertentu.
 Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus
merujuk saat ia merasa tidak mampu
melaksanakan terapi karena keterbatasan
kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter
lain yang dapat menangani pasien tersebut lebih
baik darinya
5. PROGNOSIS
 Pasien berhak mengetahui semua prognosis,
komplikasi, sekuele, ketidaknyamanan, biaya,
kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk
tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat
tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui
apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi
dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas
kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga
oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa
bukan merupakan bagian dari informed consent.
Standar Pengungkapan Yang
Dikembangkan Oleh Pengadilan
 standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk membuka
rahasia diatur oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam
lingkungan yang sama atau serupa. Standar pengungkapan ini
yang diatur seterusnya baik oleh undang-undang maupun hukum
umum pada mayoritas peraturan Amerika Serikat menetapkan
bahwa seorang dokter harus memberi informasi sesuai dengan
pelayanan kedokteran terkini.
 Banyak pengadilan telah menegakkan standar pelaksana medis
dalam komunitas yang sama atau serupa, di bawah lingkungan
yang sama atau serupa.
 Jika seorang dokter bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta
dan jika begitu, fakta apa yang wajib diberitahukan bergantung
pada yang biasa dilakukan pada komunitas setempat
 Standar pengungkapan umum atau standar
pasien secara layak, yang ditetapkan seterusnya
oleh undang-undang atau hukum umum dalam
peraturan minoritas yang bermakna,
membebankan tugas pada dokter untuk
memberitahu setiap informasi yang akan
bergantung pada proses pembuatan keputusan
oleh pasien. Hal ini berbeda-beda sesuai
kemampuan pasien untuk memahaminya
Siapa yang mengungkapkan ?
 Siapa yang bertanggungjawab untuk mendapatkan informed
consent pasien - pengadilan umumnya telah menempatkan
tugas ini pada dokter yang didatangi pasien pada waktu ada
pertanyaan.
 Pengadilan umumnya mengenali bahwa dokter, bukan
perawat atau paramedis lainnya, berkemampuan untuk
mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya. Perawat
atau paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau
pelengkap informasi spesifik dari dokter dengan informasi
umum tergantung situasi pasien. Dokter, selain dari dokter
pertama pasien, memiliki kewajiban yang independen untuk
memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan
alternatif pilihan yang ditujukan padanya
Peranan Rumah Sakit
 Pertanyaan yang sering muncul, terutama
dari dokter yang berpraktek di rumah sakit
adalah ”Apakah rumah sakit memiliki
tanggung jawab untuk menjamin bahwa
pasien menerima informasi yang cukup
meskipun pengadilan telah menempatkan
tugas primer kepada dokter?”
 Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat
ditahan dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai untuk
memperoleh informed consent yang dapat menimbulkan
kecacatan dan kegawatan pada pasien.
 Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana
informed consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah
sakit lainnya harus menunda terapi yang sudah direncanakan
dokter jika persetujuan yang sebelumnya sudah diberikan
ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat
mengklarifikasi kembali keputusan pasien.
 Pengadilan cenderung untuk menjatuhkan kewajiban yang
lebih ketat kepada rumah sakit untuk memastikan bahwa
dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum
melakukan tindakan.
Bentuk Persetujuan/Penolakan
 Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin
bahwa informed consent sudah didapat. Istilah
untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu
”fraudulent concealment”.
 Pasien yang akan menjalani operasi mendapat
penjelasan dari seorang dokter bedah namun
dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut
malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena
kurangnya informed consent dan dapat menuntut
dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya
 Bentuk persetujuan tidaklah penting namun
dapat membantu dalam persidangan
bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan
tersebut harus berdasarkan semua elemen
dari informed consent yang benar yaitu
pengetahuan, sukarela dan kompetensi
 Beberapa rumah sakit dan dokter telah
mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman
permanen, biasanya dalam rekam medis pasien.
Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi
dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak
dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa
telah dilakukan informed consent. Informed
consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi
naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan
Otoritas Untuk Memberikan
Persetujuan
 Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu
harus mengetahui terapi yang direncanakan.
 Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik
atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak
dapat memberikan informed consent yang sah.
 Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain
yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan
telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien
yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap
pasien.
 Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah.
Otoritas seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi
pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini
untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional.
 Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat
memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan
memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan
yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon
pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu
atau beberapa sejawatnya
 Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan
akan mempertimbangkan keinginan pasien,
meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus,
terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika
keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara
medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika
tidak ada dilarang undang-undang
Kemampuan Memberi Perijinan
 Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara
fisik dan psikis mampu memahami informasi yang
diberikan oleh dokter selama komunikasi dan
mampu membuat keputusan terkait dengan terapi
yang akan diberikan. Pasien yang menolak
diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan
kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak
boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien
seperti itu membutuhkan wali biasanya dari
keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan
untuk memberikan persetujuan pengganti.
Pengecualian terhadap materi
pemberitahuan
1. seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya
menyimpulkan bahwa pemberitahuan memiliki ancaman
kerugian terhadap pasien yang memang dikontradiinkasikan
dari sudut pandang medis. Hal ini dikenal sebagai
”keistimewaan terapetik” atau ”kebijaksanaan profesional”.
Dokter dapat memilih untuk menggunakan kebijaksanaan
profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau
walinya ketika dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan
membahayakan atau merugikan pasien. Tergantung
situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka
informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.
2. pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu.
Pasien dapat melepaskan haknya untuk membuat informed
consent
3. dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien
mengenai masalah yang diketahui umum atau jika
pasien memiliki pengetahuan aktual, terutama
berdasarkan pengalaman di masa lampau.
4. tidak ada keharusan untuk memberitahu pada
kasus kegawatdaruratan dimana pasien tidak
sadar atau tidak mampu memberikan persetujuan
sah dan bahaya gagal pengobatan sangat nyata
Kasus Kegawatdaruratan dan Informed
Consent
 Umumnya, hukum melibatkan persetujuan pasien
selama keadaan gawat darurat. Pengadilan
biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang
membutuhkan penanganan segera untuk
perlindungan nyawa atau kesehatan pasien
karena tidak memungkinkan untuk memperoleh
persetujuan baik dari pasiennya maupun orang
lain yang memegang otoritas atas nama pasien
Penting untuk didokumentasikan
1) penanganan untuk kepentingan pasien.
2) terdapat situasi gawat darurat.
3) keadaan tidak memungkinkan untuk
mendapatkan persetujuan dari pasien
atau dari orang lain yang memegang
otoritas atas nama pasien.
 Peraturan umum terkait persetujuan penanganan
keadaan gawat darurat pada seorang anak sama
saja dengan orang dewasa.
 Pengadilan biasanya menunda menyetujui dokter
yang mengobati pasien anak “dewasa muda” (di
atas 15 tahun) yang sudah dapat memberi
persetujuan penanganan keadaan gawat darurat
terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan
untuk membuat informed consent dengan
menghubungi orang tua pasien atau orang lain
yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

You might also like