You are on page 1of 13

Lumpur Sidoarjo (Lusi)

Semburan lumpur panas merupakan bentuk pelepasan energi & material


dari dlm perut bumi akibat tekanan yg sangat berlebihan (overpressured)
dalam geologi disebut aktivitas Gunungapi Lumpur (Mud Volcano),
seperti yang terdapat di daerah Bledug Kuwu, Purwodadi
Lumpur Sidoarjo (Lusi)

Semburan lumpur panas dengan suhu 100°C


mempunyai debit sekitar 50.000 m3/hari
Oktober 2005

Agustus 2006

Agustus 2007

Volume lumpur saat ini cukup untuk merendam


wilayah Jakarta Pusat setinggi pinggang orang dewasa
Kerugian total mencapai Rp. 34 triliun, hampir 1% GDP Indonesia.
12 desa menjadi korban, 9 desa telah lenyap, 3 desa terendam.
10.000 keluarga terpaksa mengungsi.
12 desa menjadi korban,
9 desa telah lenyap, 3 desa terendam,
di beberapa tempat sedalam 18 m.
Pelepasan dari overpressured
Kalibeng Mud Layer melalui rekahan,
akibat terjadinya
UNDERGROUND BLOWOUT
yang ditrigger oleh prosedur
pemboran yang kurang sempurna
dan akan memicu terbentuknya
Gunungapi Lumpur (Mud Volcano)
Lumpur Sidoarjo (Lusi)
Batulumpur
Formasi
Kalibeng,
daerah yg
rapuh &
mudah
runtuh

Batukapur
Formasi
Kujung,
tempat
akumulasi
gas
Lumpur Sidoarjo (Lusi)

Gempa Yogya 27 Mei 2006 dg kekuatan 5,9 SR dituding sebagai


penyebab semburan lumpur di Sidoarjo yg berjarak 257 km.
Semburan lumpur panas di Sidoarjo bermula
ketika sepetak sawah di Desa Renokenongo,
Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur
menyemburkan lumpur panas setinggi 8 meter
pada 29 Mei 2006.

Lumpur merendam Desa Jatirejo,


Renokenongo, Siring, dan Kedungbendo. Pada
Juni 2006, sawah produktif yang terbenam
lumpur sudah mencapai 127,29 hektar, dan
mengancam 503 hektar lainnya.
Lumpur juga menggenangi jalan tol Surabaya –
Gempol di KM 37 dan KM 38 dengan ketinggian
50-60 cm.

Rata-rata volume semburan melejit, dari


5.000 m3 / hari menjadi 50.000 m3 / hari . Jika
ditotal, volume lumpur yang sudah muntah
mencapai 1,1 juta meter kubik—setara dengan
183.000 truk ukuran sedang.
Lumpur panas yang terus keluar dari rongga batuan didalam
tanah, akan menghasilkan rangkaian dampak buruk, yang
merusak lingkungan alam sekitarnya maupun lingkungan sosial,
karena lokasi berdekatan dengan pemukiman dan ekosistem
sungai Kali Porong.

Bencana yang dimulai sejak 29 Mei 2006 hingga saat ini, dan
apabila baru bisa teratasi dalam 4 bulan sejak pengeluaran lumpur
pertama, maka volume lumpur yang diproduksi diperkirakan
mencapai 4x30x25000 meter kubik, atau sekitar 3 000 000 meter
kubik lumpur, yang setara dengan 600 000 truk besar.

Disamping itu adanya limbah gas, seperti H2S, SOX, dan


kemungkinan adanya methyl merkaptan, serta senyawa
hidrokarbon lain seperti minyak, phenol maupun senyawa bahan
berbahaya dan beracun (B3) lainnya, ada kemungkinan terdapat
dalam limbah tersebut.
Karena lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji 1,
tudingan langsung mengarah ke Lapindo. Di sumur itulah Lapindo melakukan
pengeboran gas pertama, awal Maret 2006. Perusahaan kontraktor pengeboran
adalah PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama
Alton International Indonesia, Januari lalu, setelah menang tender pengeboran
dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Surat tertanggal 5 Juni 2006 dari Medco E&P Brantas menguatkan tudingan
tersebut. Surat dari Budi Basuki, wakil Medco di komite operasi itu, ditujukan
PENYEBAB

kepada General Manager Imam P. Agustino. Dalam surat itu disebutkan, pada
rapat teknis 18 Mei 2006, anak perusahaan Medco Energi Internasional ini telah
mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing).
Selubung berdiameter 9-5/8" (sekitar 25 sentimeter) mestinya dipasang di
kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter). Fungsinya untuk mengantisipasi potensi
hilangnya sirkulasi lumpur (loss) dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur
ke arah atas (kick) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung (batu
gamping), sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.
Tapi Lapindo, menurut Medco yang memiliki partisipasi modal kerja 32 persen di
blok Brantas—tidak melaksanakannya. Itu sebabnya, sumur tak mampu menahan
tekanan saat terjadi tendangan balik sehingga terjadi kebocoran. Atas dasar itu,
Medco menilai Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti
tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas.
Mengacu pada klausul dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus
bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya
pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

You might also like