You are on page 1of 3

Memori atas Reputasi Sosial Perusahaan

S
enin 22 Oktober 2007 Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota besar lainnya
di Indonesia kembali sibuk. Mereka kembali dengan hiruk pikuk seperti
biasanya. Juga seperti yang sudah-sudah kota-kota besar ini pasti mengalami
lonjakan jumlah penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya. Selain
dipadati kembali para pemudik yang secara bergelombang sudah melakukan arus
balik sejak H+1, kota-kota besar ini juga terus didatangi oleh para pengadu nasib
baru. Maklum, hingga kini keramaian dan dinamika kehidupan ekonomi masih saja
belum merata ke berbagai daerah.

Terus-menerusnya peningkatan angka pemudik dari berbagai kota besar menuju


kampung halaman semakin mengokohkan banyak pandangan bahwa perubahan
nasib memang harus dimulai dari kota. Kendati semua orang sadar bahwa kehidupan
kota (hampir) selalu kejam, namun semua orang yakin bahwa hanya di kotalah—
khususnya kota-kota besar seperti Jakarta—peluang besar perubahan nasib ke arah
yang lebih baik bisa mewujud.

Selain fenomena arus balik yang selalu lebih besar dibandingkan dengan arus mudik,
seperti biasanya pula para pemudik ”dimanjakan” oleh berbagai layanan “purna jual”
berbagai industri. Tercatat industri otomotif, telekomunikasi, dan produk suplemen
makanan dan minuman kesehatan tampak menduduki posisi dominan. Mereka ramai-
ramai memberikan layanan gratis kepada para pengguna produk masing-masing.
Program yang ditawarkannya pun cukup beragam, mulai dengan layanan jasa
pertolongan seperti bengkel dan pengecekan kendaraan secara gratis, sampai dengan
sajian aneka ragam hiburan untuk melepas lelah dan penat dalam perjalanan mudik.

Penyelenggaraan Tentunya, sebagian besar layanan tersebut merupakan bagian dari manajemen
program yang pemasaran. Kendati ada juga program yang tampak memberikan layanan yang
tampaknya tampak bukan sebagai aktivitas pemasaran, seperti mudik gratis—bahkan dengan
dipersepsikan menggunakan armada pesawat terbang—namun liputan dan iklan di berbagai media
sebagai amal bakti
perusahaan itu massa atas kegiatan terpuji itu, tetap harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi
boleh jadi pemasaran. Para produsen semaksimal mungkin menggelontorkan pengaruh dan
membuat publik memori positif kepada para pemirsa dan pengguna layanan jasa. Perusahaan
sedikit “tersihir” mengambil momen mudik dan perayaan Idul Fitri—dan, dalam skala yang lebih kecil,
oleh kebaikan hati berbagai momentum perayaan lainnya—sebagai kesempatan baik untuk memasarkan
produsen
produknya melalui raihan simpati dan citra positif dari khalayak publik.

1
Strategi demikian, dalam dunia bisnis adalah bagian dari manajemen reputasi. Bagi
dunia bisnis, merek (brand) adalah segalanya. Semaksimal mungkin produsen ingin
produknya dikenal dan diingat semudah, seluas, selama dan sebagus mungkin.
Dengan berbagai inovasi pemasaran, para produsen menyentuh sisi persepsi massa.
Mengapa? Karena dalam banyak kasus sebagian besar pengambilan keputusan
konsumen sering kali lebih digerakkan oleh persepsi dibandingkan dengan
perhitungan rasional. Sekali lagi, memastikan simpanan memori sebagai perusahaan
yang memiliki citra positif dan kepedulian yang amat besar di mata konsumennya
merupakan langkah strategis dalam memperluas pasar. Dan, menggunakan berbagai
momen yang sangat penting—seperti hari raya keagamaan—adalah cara yang sangat
ampuh untuk memastikan bahwa memori itu lekat benar di benak para konsumen.

Reputasi Sosial
Ketika konsumen merasa bangga dengan produk yang digunakannya, mereka secara
tidak langsung memasarkan produk itu melalui “words of mouth”. “Keangkuhan”
persepsi inilah yang diharapkan oleh produsen. Publik secara tidak sadar turut serta
memasarkan produk tanpa harus meminta bayaran layaknya para bintang iklan.
Sayangnya, pemasaran produk yang bersandarkan pada kesan sekilas itu tidaklah
pernah sekokoh pemasaran berdasarkan reputasi sosial perusahaan.

Reputasi sosial perusahaan sebenarnya ditentukan oleh dua hal pokok: penerimaan
sosial dan kualitas produk itu sendiri. Sayangnya, menurut Alsop (2004), strategi dan
penyelenggaraan manajemen reputasi kerap dilakukan ketika perusahaan mengalami
krisis manajemen atau krisis merek. Dalam kondisi terpuruk seperti ini semua hal
yang berhubungan dengan reputasi perusahaan dimonitor dan dikontrol. Semua
langkah perusahaan diarahkan kepada perolehan citra positif dari publik, baik secara
konstan maupun respon dadakan. Kemudian, ketika krisis sudah lewat, perusahaan
kerap melupakan hal tersebut.

Padahal sngat penting untuk diingat bahwa manajemen reputasi bukanlah sebuah
agenda jangka pendek atau sebatas sebagai sebuah respon parsial dan temporer ketika
perusahaan sedang terpuruk. Reputasi sosial perusahaan merupakan sesuatu yang
harus dibangun dalam kerangka waktu jangka panjang. Brammer dan Pavelin (2005)
mengingatkan bahwa reputasi sosial perusahaan berhubungan erat dengan jaminan
keamanan investasi. Untuk itu Alsop (2004) mengingatkan bahwa persoalan hitungan
nilai ekonomis, etika, dan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan elemen
terpenting dari reputasi perusahaan. Bagi Brammer dan Pavelin (2005), perusahaan
yang menjadikan CSR sebagai bagian dari manajemen jangka panjang untuk
membangun reputasinya sudah melakukan sebuah langkah cerdas bagi keberlanjutan
dan masa depan bisnisnya.

Baik Aslop maupun Brammer dan Pavelin sepakat bahwa untuk membangun reputasi
positif jangka panjang itu, tidak bisa diselenggarakan hanya dengan jor-joran
menyelenggarakan berbagai kegiatan filantropis dengan dukungan blow up media
dalam iklan yang jor-joran pula. Akan tetapi hal ini hanya dapat dibangun melalui
jalinan hubungan konstruktif yang berkesinambungan dengan para pemangku
kepentingan perusahaan.

Salah satu indikator keberlanjutan hubungan ini antara lain perusahaan secara terbuka
memberikan laporan sosialnya kepada publik untuk mendapatkan tanggapan, kritik
dan masukan bagi peningkatan kinerja sosialnya. Hubungan dengan pemangku

2
kepentingan, konsultasi publik, dan pelaporan keberlanjutan perusahaan harus
ditempatkan sebagai sebuah proses penyelenggaraan entitas bisnis yang
Dalam kondisi berkelanjutan. Ini semua tentunya dilakukan demi memaksimalkan dampak positif
terpuruk seperti ini dan meminimalkan dampak negatif kehadiran dan operasi perusahaan.
semua hal yang
berhubungan Selama Ramadan, tradisi pulang mudik (juga arus balik) dan perayaan Lebaran, kita
dengan reputasi
semua menyaksikan dengan jelas berbagai jenis perusahaan tampak sedemikian ramah
perusahaan
dimonitor dan menyapa publik. Bahkan keramahan mereka tidak hanya berdimensi sosial-ekonomi,
dikontrol. namun juga religius. Tidak sedikit perusahaan menyelenggarakan kuis live di layar kaca
dengan berhadiahkan umrah ke tanah suci Makkah. Semuanya tampak
dipersembahkan untuk kesejahteraan publik (baca: pelanggan). Atas berbagai
keramahan ini, hampir semua pelaku dunia iklan mengambil istilah yang sama:
Ramadan adalah bulan penuh berkah.

Istilah berkah seakan-akan dipersepsikan bahwa semua orang kebagian untung. Jika
kita sedikit mengerutkan dahi, lalu bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Bagi secuil orang yang kebagian hadiah, mungkin akan menjawab, merekalah yang
beruntung. Namun nalar rasional akan memberikan jawaban mudah: media massa-lah
yang pertama-tama dapat untung. Mereka kebanjiran iklan hampir selama 24 jam
setiap hari selama Ramadan. Lalu, setelah itu perusahaan pemasang iklan yang siap
manangguk untung. Di tengah-tengah, mungkin pemerintah juga kebagian untung
atas berbagai pajak reklame di sepanjang jalur mudik—tentunya jika perusahaan bayar
pajak.

Kalau logika berpikir jangka panjang kita pergunakan, akan timbul pertanyaan apakah
perusahaan telah beroleh reputasi sosial yang hakiki? Kiranya belum. Konon
keberhasilan Muslim dalam Ramadan hanya bisa dilihat dari perilakunya selama
sebelas bulan kemudian. Dalam logika yang sama, perolehan reputasi sosial
perusahaan yang hakiki juga hanya bisa diketahui dari perilakunya di bulan-bulan
berikutnya. Apakah perusahaan selalu—tidak hanya temporer—meminimumkan
dampak negatif dan memaksimumkan dampak positifnya, itulah yang akan
menentukan reputasinya di mata pemangku kepentingan.

Jakarta, 22 Oktober 2007

Taufik Rahman, Lingkar Studi CSR

Lingkar Studi CSR


Rukan Permata Senayan No.A/6
Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan – Jakarta 12210, Indonesia
Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611
www.csrindonesia.com, e-mail:office@csrindonesia.com

You might also like