You are on page 1of 4

Menuju Kedermawanan Perusahaan yang Bertanggung Jawab

The highest use of capital is not to make more money,


but to make money do more for the betterment of life
—Henry Ford

K
edermawanan perusahaan (corporate philanthropy) bisa diartikan sebagai inisiatif
perusahaan untuk terlibat dalam upaya‐upaya perbaikan kehidupan sosial. Pada
mulanya inisiatif ini lebih merupakan tindakan volunter. Alasan kemanusiaan,
implementasi ajaran altruisme, dan bahkan argumentasi relijius pada mulanya
menjadi motivasi utama tindakan ini. Dalam perkembangannya lebih lanjut, tindakan mulia
ini berkembang menjadi sebuah tindakan strategis. Alasan membangun reputasi, cause‐
related marketing, dan bahkan secara diam‐diam menghitung dampak dan peluang politik
hadir dalam tindakan filantropis ini.

Sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, corporate philanthropy, bagaimana pun layak dipuji
dan harus terus‐menerus dikembangkan. Hanya saja, jangan sampai atas “arogansi” sudah
memberikan sumbangsih luar biasa kepada kehidupan sosial, perusahaan yang bederma
melupakan upaya minimalisasi dampak negatif operasinya. Pun dengan soal perluasan mitra.
Sebagian besar perusahaan lebih memokuskan diri saling bekerja sama dengan perusahaan
lainnya dibandingkan melakukan engagement dengan kekuatan civil society. Atau dalam
batas dan kadar tertentu, tidak sedikit tindakan corporate philanthropy malah menggantikan
dan mungkin mengambil alih tugas pokok, peran dan fungsi pemerintah.

Sebagai sebuah Sisi kritis lainnya yang sering tampak dalam corporate philanthropy, khususnya ditunjukkan
tindakan CSR, oleh berbagai foundation perusahan‐perusahaan besar di Indonesia adalah kecenderungan
CP jelas tidak “gebyah uyah”. Mereka sedemikian besar mengeluarkan dana untuk berbagai ragam
bisa dilepaskan
dari tanggung kegiatan sosial tanpa fokus, arah, dan keberlanjutan program yang jelas. Sepertinya ini
jawab terjadi karena sebagian besar corporate foundation menempatkan diri sebagai “bohir” yang
perusahaan sangat dermawan, untuk kemudian melakukan ekspansi pasar atas modal perolehan citra
untuk positif dari publik.
menimimalisasi
dampak negatif
dan Corporate Philanthropy sebagai CSR
maksimalisasi Carroll (1979) membagi tindakan corporate social responsibility (CSR) dalam empat level:
dampak positif.
economic, legal, ethical, and discretionary. Dalam banyak penilaian para ahli, tindakan
corporate philanthropy (CP) sering dimasukkan ke dalam tindakan etis dan voluntaris.
Kendati demikian, karena tindakan CP selalu membawa “merk” perusahaan, entah itu
menempel dalam basis bisnis dari nama orang atau nama yayasan, tak satu pun para ahli

1
yang tidak sepakat untuk secara terbuka menyatakan bahwa inisiatif CP adalah bagian
integral dari strategi pemasaran. Kita tidak bisa melepaskan keterkaitan bisnis Microsoft
dengan Bill and Linda Gates Foundation; Sinar Mas dengan Eka Tjipta Foundation; Ford
Foundation dengan pabrikan mobil bermerk “Ford”; atau keterkatian secara tegas antara
nama yayasan dengan basis bisnis penopangnya seperti Sampoerna Foundation, Medco
Foundation atau Freeport Foundation, misalnya. Demikian pula dengan kucuran dana
perusahaan kepada berbagai lembaga multilateral, ornop, lembaga donor nasional dan
internasional untuk kegiatan‐kegiatan yang mungkin sama sekali tidak berhubungan dengan
core business perusahaan.

Bahkan dalam banyak kasus, kendati CP secara eksplisit diungkapkan sebagai sebuah
tindakan altruis, namun tidak sedikit perusahaan memasukkan aliran dana CP sebagai
corporate spending, diberlakukan sama dengan “belanja bisnis” lainnya yang memiliki
hitungan ketat mengenai laba dan return of investment. Untuk itu, bagi David Hes (dalam
Andrew Crane, et.al., 2008) gelombang CP sebagai sebuah inisiatif perusahaan dalam
berkontribusi bagi perbaikan kehidupan sosial, selain atas alasan ketinggian komitmen moral
namun juga didasarkan oleh hitungan matang mengenai cause‐related marketing, building
reputation, dan bahkan international expansion. Karenanya, CP tidak pelak lagi merupakan
bagian integral dari keseluruhan business performance.

Sebagai sebuah tindakan CSR, CP jelas tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab perusahaan
untuk menimimalisasi dampak negatif dan maksimalisasi dampak positif. Untuk sementara,
tampak bahwa kinerja CP lebih banyak memokuskan diri pada maksimalisasi dampak positif
dengan memberikan kontribusi pada aneka ragam kegiatan sosial. Pada umumnya CP lebih
sering memilih agenda sumbangan kepada korban bencana, bermain di sektor pendidikan
dan kesehatan. Nyaris semua kegiatan CP berhenti sampai di sini. Dan nyaris pula, mereka
melupakan evaluasi dan kewajibannya untuk menimalisasi dampak negatif operasi
perusahaannya.

Agar CP menjadi representasi CSR, Michael E. Porter and Mark R. Krammer (dalam Andrew
Crane, et.al., 2008) memberikan rekomendasi agar seluruh peran, inisiatif, dan kinerja CP
sebaiknya menjaga keseimbangan antara business dan social benefit. Dan canangan program
CP sebaiknya diarahkan dan didasarkan pada competitive advantage masing‐masing pelaku
bisnis. Hal ini ditegaskan Porter dan Krammer karena pada akhirnya seluruh kinerja CP
seharusnya memberikan input pada dua sisi sekaligus: perusahaan dan masyarakat.
Kontribusi itu berupa terlembaganya nilai‐nilai sosial dan ekonomi baru dari upaya
menyeimbangkan tujuan murni bisnis dan murni kedermawanan.

Untuk meraih keseimbangan dan memeroleh timbal balik maksimum dari nilai‐nilai agung
filantropi baik bagi kehidupan sosial maupun bagi penyelenggaraan bisnis yang lebih
bertanggung jawab, Porter dan Krammer menyarankan agar CP diselenggarakan dengan
sebuah pendekatan yang komprehensif: sesuai dengan konteks, kebutuhan, kecakapan inti
perusahan, dan berbagai faktor lainnya. Semuanya dilakukan demi meraih nilai‐nilai filantopi
secara maksimal: keseimbangan laju perolehan manfaat sosial dan bisnis.

2
Pure Philanthropy

Social & Economic Valued Created

Advancing Knowledge

Social Benefit Improving the performance of grant recipients

Signaling other funder

Selecting the best grantees

Economic Benefit Pure Businesss

Gambar 1: Maximizing Philanthropy’s Value

Agar CP menjadi sebuah langkah yang sustainable dan termasuk sebagai upaya
maksimalisasi dampak positif dan minimalisasi dampak negatif, Porter dan Krammer
menyarankan lima langkah manajerial yang sebaiknya diambil dalam melakukan CP:
Pertama, memeriksa ulang competitive context kepentingan dan nilai‐nilai perusahaan di
masing‐masing wilayah geografis. Kedua, melakukan review atas portfolio kegiatan dan
program filantropi yang sudah berlangsung. Dalam melakukan review dilakukan perusahaan
harus melihat apakah kegiatan filantropi yang selama ini termasuk (i) communal obligation,
sebuah kegiatan umum sebagaimana layaknya seorang warga negara. Ciri umum dari
kategori ini adalah keterlibatan CP dalam program pendidikan dan kesehatan; (ii) goodwill
building, memberikan kontribusi dan dukungan penuh kepada seluruh karyawan, pelanggan,
dan community leader dalam menjalin hubungan baik dan merangkai program company
relationship jangka panjang. Dalam kategori ini CP, juga dijadikan sebagai momentum untuk
merangkai stakeholder engagement baik secara internal (khususnya employee dan suply
chain) maupun secara eksternal (khususnya dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil,
dan masyarakat secara umum); (iii) strategic giving, memberikan bantuan sesuai dengan
Sepanjang core competence bisnis dan konteks kebutuhan lokal. Ketiga, melakukan penilaian atas
keseimbangan resistensi—baik yang potensial maupun yang sudah eksis—dari inisiatif pemberian bantuan
ini dijaga
dengan oleh perusahaan. Penilaian ini dilakukan dengan memerhatikan: (i) proses seleksi atas upaya
saksama, CP pemberian bantuan terbaik; (ii) upaya memperlebar mitra dengan kelompok lain dalam
bisa dipastikan memberikan bantuan; (iii) upaya‐upaya dan proses‐proses perbaikan kinerja pemberian
diselenggarakan
dengan penuh
bantuan; (iv) perolehan dampak perbaikan dan perluasan pengetahuan. Empat “saringan” ini
tanggung jawab. diperhatikan dengan saksama demi terwujudnya nilai sosial dan ekonomi baru: terjadi
keseimbangan atau titik temu antara semakin tingginya manfaat sosial dalam kegiatan
filantropi murni dan manfaat ekonomi dalam kegiatan bisnis murni. Keempat, mencari
opportunity untuk melakukan collective action di sebuah wilayah operasi bersama mitra lain.
Mitra di sini baik berupa perusahaan lain maupun beragam para pemangku kepentingan
yang memiliki competitive context sesuai dengan canangan program yang hendak
dijalankan. Kelima, dengan penuh saksama melakukan jejak rekam (monitoring) dan

3
mengevaluasi hasil. Temuan perolehan hal‐hal unik yang mungkin berbeda sama sekali
dengan langkah teks manajerial sebaiknya dijadikan sebagai input untuk perbaikan dan
inovasi program tiada henti.

Satu hal yang juga penting diperhatikan—kendati secara implisit sudah ditegaskan di muka,
bahwa CP juga membawa misi penyebaran nilai‐nilai. Nyaris semua perusahaan besar
dibangun atas nilai‐nilai universal pendirinya dan berbagai program CP juga sedikit banyak
mencerminkan keinginan penyebaran nilai‐nilai para pendiri bangunan dan jaringan bisnis
ini. Nilai‐nilai seperti kemandirian, upaya membantu sesama, komitmen pada kebersihan
dan kejujuran, semangat dan kerja keras, seni bertahan dan mengaktualisasikan diri, serta
sejumlah cita‐cita yang berhubungan dengan nilai‐nilai citizenship, juga merupakan item
yang harus diperhatikan dengan saksama dalam melakukan CP.

Secara keseluruhan lima langkah di atas haruslah bermuara pada keseimbangan antara
kontribusi sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan tentunya ditempatkan dalam kerangka
upaya manajemen untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimumkan dampak
negatif kehadiran dan operasi perusahaan sesuai dengan bisnis yang dijalankan. Dan di
sinilah titik temu makna tindakan filantropis sebagai aksi etis‐volunter yang memberikan
dampak positif bagi kehidupan sosial dan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi baik
bagi masyarakat maupun perusahaan. Sepanjang keseimbangan ini dijaga dengan saksama,
CP bisa dipastikan diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab.

Bibliografi
Carroll, A. B., “A three‐dimensional conceptual model of corporate social performance,”
Academy of Management Review, 4, 1979, h. 497‐505.
David Hes, et.al., “The Next Wave Community Involvement: Corporate Social Initiatives,”
dalam Andrew Crane, Dirk and Laura J. Spence, Corporate Social Responsibility and Cases
in a Global Context, Oxon: Routledge, 2008
Heike Brunch and Frank Walter, “The Keys Rethinking Corporate Philanthropy, MIT Sloan
Management Review, 2005
Mark Sharfman, “Changing Institutional Rules: The Evolution of Corporate Philanthropy,
1883‐1953, Business & Society, Vol. 33, No. 3, December 1994, h. 236‐269
Michael E. Porter and Mark R. Krammer, “The Competitive Advantage of Corporate
Philanthropy,” dalam Andrew Crane, Dirk and Laura J. Spence, Corporate Social
Responsibility and Cases in a Global Context, Oxon: Routledge, 2008

Jakarta, 6 Mei 2008

Taufik Rahman, Lingkar Studi CSR

Lingkar Studi CSR


Rukan Permata Senayan No.A/6
Jln.Tentara Pelajar, Patal Senayan – Jakarta 12210, Indonesia
Telp. (021) 579 40610, Fax. (021) 579 40611
www.csrindonesia.com, e-mail:office@csrindonesia.com

You might also like