Professional Documents
Culture Documents
Memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti
banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di
sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg
nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan
kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah
Abang, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar
jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh
Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa
manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama
yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama
dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung (nama-nama yg
diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng.
Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu
sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg
berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal
akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu
kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam
Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia
ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia
adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya
dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka
Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S.
Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate,
Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu,
LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976;
Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff,
1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban
larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan
yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16
hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu
itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos
yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon,
griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing,
itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah
Abang]…..
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah
kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra
seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh
‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh
‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad,
India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan
agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke
India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib,
menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid
thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah
Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di
sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh
Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti
Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena
ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan
Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar
masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh
memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn
ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau
Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil
lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka,
Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat,
serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati,
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali)
diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg
berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus] .
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu,
sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua.
Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif
Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur
Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an
tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar
pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari
“sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran,
Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua,
nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga,
niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak
Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”.
Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan
melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang
adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun
‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil
maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi
saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk
mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta.
Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi
gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya
ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan
menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan
makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’
(bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah),
Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci
Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-
Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan
baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala
peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al
Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar
menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan
pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah
melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga
sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki
satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala
pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para
sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak
ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-
Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-
Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan
kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh
Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa.
Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian
memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.
Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan
gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya
Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia
Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan
pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor,
jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-
Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn
secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang
dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah
dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga
kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar
diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9
(Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi
pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn
umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat
melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh
Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-
Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir
dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni
(mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun
telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa
Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan
hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami
makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam
artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi
dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
SATU
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman
jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia
tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala
perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki
wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-
Gusti.
DUA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg
jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh
karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan
dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila,
sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan
merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk
akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal
adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi
dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam
jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang
Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.
TIGA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara
Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan
Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para
Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan
membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg
artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan
atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa
raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi).
Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging,
otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah
manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan
EMPAT
“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg
dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg
mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam
dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan
kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku
dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau
dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut
al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan
kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama
(Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau
melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La
tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas
idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-
Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al
“Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah
juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan
Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya
untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti
dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa
kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan
hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali
tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak
merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada
kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati,
pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap
ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru
sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika
manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai
goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin.
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat
surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana”
(Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan
neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar,
surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga
neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn
Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan
melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna
abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu
ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia
yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang
belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah,
yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke
Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama
manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu
sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,
bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua
manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu
dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes
palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama
ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at
tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau
dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah
mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas
belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah
telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya
menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi
memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg
hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani
manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah
merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi
kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad
lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat
dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui
ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat,
kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha
sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada
nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah
karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud.
Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan
memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti
penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja,
halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi
manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada
makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk
saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa
kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-
Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia
akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak
mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta
merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya
sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi
akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses
wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud
dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia,
berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui
kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara
natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa
sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling
Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan
kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan
sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham
keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di
luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-
ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam
“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-
benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di
antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih
duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-
Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan
rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua
lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim
(bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg
berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu
Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah
perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu
lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang
itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya,
sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak
sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar
dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air
lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat
menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam
liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan
tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara
kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah
perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu
tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran
sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS
bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya
berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala
perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda
mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai
memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke
Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu
melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran
Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg
dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air
Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia
yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah
menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS
itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia,
“Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid)
sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –
Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya
ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-
wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa
diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman
rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman
yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan
memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu.
Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg
lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-
shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat
pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna
masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat
lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud.
Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan
dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah
demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang
Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu
mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja.
Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar
karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di
alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan
tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar
bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa
alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa
rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn
Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA.
Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-
NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat
berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya
bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan
kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan
kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang
Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung
durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu
dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia
sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan
perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan
sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi
Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga
dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-
Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS,
yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru
tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad)
dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah
Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni
pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama
Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya
pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan
keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu)
Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS
“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan
ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal)
dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan
al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa
ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah
Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena
akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”
001. …. tidak usah kebanyakan teori semu, karena sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata ingsun yang
sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya yang disebut sebangsa Allah.
002. Jika ada seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain Allah SWT, maka ia akan kecewa
003. Allah itu adalah keadaanku, lalu mengapa kawan-kawanku sama memakai penghalang? Dan sesungguhnya
aku ini adalah haq Allah pun tiada wujud dua; saya sekarang adalah Allah, nanti Allah, dzahir bathin tetap Allah,
004. Sebenarnya keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada
005. Tidak usah banyak bertingkah, saya ini adalah Tuhan. Ya, betul betul saya ini adalah Tuhan yang
sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang lain selain saya.
006. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai
itu selamanya tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir
kehidupan. Dan lagi semuanya sama. Tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada
perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.
007. Bahwa sesungguhnya, lafadz Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak akan
membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati,
sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk
menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan
Muhammad Rasulullah.
008. ….. padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita
sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia
itu pangeran saya, yang mengusai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri
denga ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpit, bukan budi bukan nyawa,
bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu dengan
wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari
keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan saya menjumpai ia sudah
ada di sana.
009. Syehk Lemah Bang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri,Asma Allah itu
010. Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, maka jawabnya tidaklah sukar. Allah berada pada Dzat yang
tempatnya tidak jauh, yaitu berada dalam tubuh manusia. Tapi hanya orang yang terpilih saja yang bisa
011. Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejahteraan kehidupan, engkau sejatinya Allah, ya
ingsun sejatinya Allah; yakni wujud yang berbentuk itu sejati itu sejatinya Allah, sir (rahasia) itu Rasulullah,
lisan (pengucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia rasa kesejatian
012. Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri,
tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun
musnah karena tidak diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri.
013. Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia
hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanankan dengan tepat,
apalagi dua. Nah cobala untuk memisahkan Dzat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat
014. Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baka bersifat abadi, tanpa antara tiada erat
dengan sakit apapun rasa tidak enak, ia berada baik disana, maupun di sini, bukan ini bukan itu. Oleh tingkah
yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.
015. Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah adanya Hyang Sukma, kecuali
hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membubunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi
016. Kemana saja sunyi senyap adanya; ke Utara, Selatan, Barat, Timur dang Tengah, yang ada di sana hanya
adanya di sini. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada dalam diriku adalah hampa dan sunyi. Isi dalam
daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju peasat
bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekkah dan Madinah.
017. Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, buka udara, bukan
angin, bukan panas, dan bukan kekosongan atau kehapaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi
jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air, dan udara kembali ke
018. Maka saya ini Dzat sejiwa yang menyatu, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalil dan
Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Idah. Ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau
memerintah untuk shalat kepada siapapun. Adapun shalat itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan
mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat
dipegang, tidak jujur, jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.
019. Syukur kalau saya sampai tiba di dalam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan
dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya
apabila saya sudah lepas dari alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini dan itu.
020. Menduakan kerja bukan watak saya. Siapa yang mau mati dalam alam kematian orang kaya akan dosa. Balik
jika saya hidup yang tak kekak ajal, akan langeng hidup saya, tida perlu ini dan itu. Akan tetapi saya disuruh
untuk memilih hidup ayau mati saya tidak sudi. Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menetukan.
021. …….Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang
sempurna teramat indah, manusia sejati adalah yang sudah meraih ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya,
menyebutnya mati berarti syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia memboyong
kratonnya.
022. Aku angkat saksi dihadapan Dzat-KU sendiri, susungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku angkat
saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-KU, susungguhny yang disebut Allah adalah ingsun (aku) diri sendiri.
Rasul itu rasul-KU, Muhammad itu cahaya-KU, aku Dzat yang hidup yang tak kena mati, Akulah Dzat yang kekal
yang tidak pernah berubah dalam segala keadaan. Akulah Dzat yang bijaksana tidak ada yang samar sesuatupun,
Akulah Dzat Yang Maha Menguasai, Yang Kuasa dan Yang Bijaksana, tidak kekurangan dalam pegertian,
sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah aku yang meliputi sekalian
023. Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah keberadaan Allah. Disebut Imannya
Iman.
024. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah tempat manunggalnya Allah. Disebut
Imannya Tauhid.
025. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah sifatnya Allah. Disebut Imannya
Syahadat.
026. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kewaspadaan Allah. Disebut Imannya
Ma’rifat.
027. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah menghadap Allah. Disebut Imannya
Shalat.
028. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kehidupannya Allah. Disebut Imannya
Kehidupan.
029. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kepunyaan dan keagungan Allah.
030. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah pertemuan Allah. Disebut Imannya
Saderah.
031. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kesucian Allah. Disebut Imannya
Kematian.
032. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah wadahnya Allah. Disebut Imannya Junud.
033. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah bertambahnya nikmat dan anugrah
034. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah asma Nama Allah. Disebut Imannya
Wudlu.
035. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah ucapan Allah. Disebut Imannya Kalam.
036. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah juru bicara Allah. Disebut Imannya Akal.
037. Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat
berkumpulnya seluruh jagad makrokosmos, dunia akhirat, surga neraka,arsy kursi, loh kalam, bumi langit,
manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya
jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.
038. Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasannya tanpa piranti,
keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesatuan, yang beraneka ragam.
039. Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jah dari
040. Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetian rasa, Ilallah berarti
bertemunya rasa, Muhammad berartihasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.
041. Mengertilah bahwa sesungguhnya inisyahadat sakarat, jika tidak tahu maka sakaratnya masih mendapatkan
042. Syahadat allah, allah badan lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi roh,
roh lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang abadi
043. Syahadat Ananing Ingsun, Asyhadu keberadaan-KU, La Ilaha bentuk wajahku, Ilallah Tuhanku, sesungguhnya
tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia).
044. Syahadat Panetep Panatagana yaitu, yang menjdai bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. (Terjemahan
045. Kenikmatan mati tak dapat dihitung ….tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan,
046. Segala sesuatu yang wujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan denga sifat seluruh yang diciptakan,
047. Shalat limakali sehari adalah pujian dan dzikir yang merupakan kebijaksanaan dalam hati menurut
kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.
048. Pada permulaan saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati,
menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak, lain dengan Dzat Maha
yang bersama diriku, Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan
049. Syahadat, shalat, dan puasa itu adalah amalan yang tidak diinginkan, oleh karena itu tidak perlu dilakukan.
Adapun zakat dan naik haji ke Makkah, keduanya adalah omong kosong. Itu semua adalah palsu dan penipuan
terhadap sesama manusia. Menurut para auliya’ bila manuasia melakukannya maka dia akan dapat pahala itu
adalah omong kosong, dan keduanya adalah orang yang tidak tahu.
050. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok
saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala, berbelang. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal. Di dunia ini
semua manusia adalah sama. Mereaka semua mengalami suka duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada
bedanya satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal, saja, yaitu Gusti
Dzat Maulana.
051. ….Gusti Dzat Maulana. Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki
dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia,
Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Rupa warna-nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga
manusia ia tiada tanpak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta,
Ngindraloka.
052. Hyang Widi, wjud yang tak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud,
sperti penampakan raga yang tiada tanpak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau
teja, halus, lurus terus menerus, menggambarkan kenyataan tiada dusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat
053. Mergertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan
054. Syekh Siti Jenar mengetahui benar di mana kemusnahan anta ya mulya, yaitu Dzat yang melanggengkan
budi, berdasarkan dalil ramaitu, ialah dalil yang dapat memusnahkan beraneka ragam selubung, yaitu dapat
lepas bagaikan anak panah, tiada dapat diketahui di mana busurnya. Syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat
musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana sifat yang sejati.
055. Kematian ada dalam hidup, hidup ada dalam mati. Kematian adalah hidup selamanya yang tidak mati,
kembali ke tujuan dan hidup langgeng selamanya, dalam hidup ini adalah ada surga dan neraka yang tidak dapat
ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga berarti ia senang, bila manusia bingung, kalut, risih, muak, dan
menderita berarti ia masuk neraka. Maka kenikmatan mati tak dapat dihitung.
056. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman,
yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis.
Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-
angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki juga akan menimbulkan kejahatan,
kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah
057. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, dan sumsum busa rusak dan bagaimana
cara Anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali setiap barinya akhirnya mati juga. Meskipun
badan Anda, Anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah
para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak
akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat dunia ini dua kali dan juga tidak akan
058. Segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakikatnya adalah perbuatan Allah. Berbagai hal yang dinilai
baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi sangat salah besar bila ada yang menganggap
bahwa yang baik itu dari Allah dan yang buruk adalah dari selain Allah. Oleh karena itu Af’al allah harus
dipahami dari dalam dan dari luar diri manusia. Misalnya saat manusia menggoreskan pensil, di situlah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yaitu kemampuan gerak
pensil. Tanah yang terlempar dari tangan seseorang itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan
seseorang, ”maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan allah yang melempar ketika engkau
melempar.
059. Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi rusak dan bercampur tanah.
Ketahuilah juga bahwa apa yang dinamakan kawulo-gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti
yang lain-lain. Kawulo dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku
dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu belaku, yakni selama saya mati. Nanti kalau saya
sudah hidup lagi, gusti dan kawulo lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam
Anda sendiri. Bial kamu belum menyadari kata-kataku, maka dengan tepat dapat dikatakan bahwa kamu masih
terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hihuran macam warna. Lebih banyak lagi hal-
hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera. Itu hanya
impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orng yang
terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian, satu-satunya yang ku
060. Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsupun bukan, bukan juga
kekosongan atau kehampaan, penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk
bercampur debu, napsu terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu
061. Bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberi nama. Buktinya
062. Sesungguhnya pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara ajaran Islam dengan Syiwa Budha. Hanya nama,
bahasa, serta tatanan yang berbeda. Misalnya dalam Syiwa Budha dikenal Yang Maha Baik dan Pangkal
Keselamatan, sementara dalam Islam kita mengenal Allah al Jamal dan as Salam. Jika Syiwa dkenal sebagai
pangkal penciptaan yang dikenal dengan Brahmana maka dalam Islam kita mengenal al Khaliq. Syiwa sebagai
penguasa makhluk disebut Prajapati, maka dalam Islam kita mengenal al Maliku al Mulki. Jika Syiwa Maha
Pemurah dan Pengasih disebut Sankara, maka dalam Islam kita mengena ar-Rahman dan ar-Rahim.
063. Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa
064. Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, jangan engkau terpancang pada
kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian, maka
beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al
Waly. Lanaran itu sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, dimana
karamah itu sediri pada hakekatnya pengejawantahan al Waly. Dan lantaran itu pila yang dinamakan karamah
adalah sesuatu diluar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
066. Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejahuan, kelihatan sekali terangnya. Namun jika cahaya
itu didekatkan ke mata, mata kita akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu
067. Engkau bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Nemun engkau tidak bisa
melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang yang terdekat denganmu.
068. Saya hanya akan memberi sebuah petunjuk yang bisa digunakan untuk meniti jembatam (shiratal
mustaqim) ajaib ke arahnya. Saya katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan
069. Bagi kalangan awan, istighfar lazimnya dipahami ebagai upaya memohon ampun kepada Allah sehingga
mereka memperoleh pengampunan. Tetapi bagi para salik, istighfar adalah upaya pembebasan dari belenggu
kekakuan kepada Allah sehingga memperoleh ampun yang menyingkap tabir ghaib yang menyelubungi manusia.
Sesungguhnya di dalam asma al Ghaffar terangkum makna Maha Pengampun dan juga Maha menutupi, Maha
070. Semua itu terika itu benar, hanya nama dan caranya saja yang berbeda. Justru ”cara” itu menjadi salah
dan sesat ketika sang salik melihat menilai terlalu tinggi ”cara” yang diikutinya sehinga menafikan ”cara” yang
lain.
071. Semua rintangan manusia itu berjumlah tujuh, karena kita adalah makhluk yang hidup di atas permukaan
bumi. Allah membentangkan tujuh lapis langit yang kokoh di atas kita, sebagaimana bumipun berlapis tujuh,
dan samuderapun berlapis tujuh. Bahkan neraka berlapis tujuh. Tidakkah anda ketahui bahwa suragapun
berjumlah tujuh. Tidakkah Anda ketahui bahwa dalam beribadaaah kepada Allah manusia diberi piranti tujuh
ayat yang diulang-ulang dari Al-Quran untuk menghubungkang dengan-Nya? Tidakkah Anda sadari bahwa saat
072. Di dunia manusia mati. Siang malam manusia berpikir dalam alam kematian, mengharap-harap akan
permulaan hidupnya. Hal ini mengherankan sekali. Tetapi sesungguhnya manusia di dunia ini dalam alam
kematian, sebab di dunia ini banyak neraka yang dialami. Kesengsaraan, panas, dingin, kebingungan,
073. Dalam alam ini manusia hidup mulia, mandiri diri pribadi, tiada diperlukan lantaran ayah dan ibu. Ia
beberbuat menurut keingginan sendiri tiada berasal dari angin, air tanah, api, dan semua yang serba jasad. Ia
tidak menginginkan atau mengaharap-harapkan kerusakan apapun. Maka apa yang disebut Allah ialah barang
074. Orang-orang muda dan bodoh banyak yang diikat oleh budi, cipta iblis laknat, kafir, syetan, dan angan-
angan yang muluk-muluk, yang menuntun mereka ke yang bukan-bukan. Orang jatuh ke dalam neraka dunia
karena ditarik oleh panca indera, menuruti nafsu catur warna : hitam, merah, kuning, serta putih, dalam jumlah
075. Saya merindukan hidup saya dulu, tatkala saya masih suci tiada terbayangkang, tiada kenal arah, tiada
kenal tempat, tiada tahu hitam, merah, putih, hijau, biru dan kuning. Kapankah saya kembali ke kehidupan saya
yang dulu? Kelahiranku di dunia alam kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai
076. Kelahiranku di dunia kematian itu demikian susah payahnya karena saya memiliki hati sebagai orang yang
077. Keinginan baru, kodrat, irodat, samak, basar dan ngaliman )’aliman). Betul-betul terasa amat berat di alam
kematian ini. Panca pranawa kudus, yaitu lima penerangan suci, semua sifat saya, baik yang dalam maupun yang
luar, tidak ada yang saya semuanya iti berwujud najis, kotor dan akan menjadi racun. Beraneka ragam terdapat
tersebut dalam alam kematian ini. Di dunia kematian, manusia terikat oleh panca indera, menggunakan
keinginan hidup, yang dua puluh sifatnya, sehingga saya hampir tergila-gila dalam dan kematian ini.
078. Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman,
yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis,
oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-
angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pandangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak
kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagian orang lain. Dengki juga akan menimbulkal kejahatan,
kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah
079. Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, sungsum, bisa merusak dan bagaimana cara
anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali tiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan
anda, anda tutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali
dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan
membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.
080. mayat-mayat berkeliaran kemana-mana, ke Utara dan ke Timur, mencari makan dan sandang yang bagus
dan permata serta perhiasan yang berkilauan, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah mayat-mayat belaka.
Yang naik kereta, dokar atau bendi itu juga mayat, meskipun seringkali ia berwatak keji terhadap sesamanya.
081. Orang yang dihadapi oleh hamba sahayanya, duduk di kursi, kaya raya, mempunyai tanah dan rumah yang
mewah, mereka sangat senang dan bangga. Apakah ia tidak tahu, bahwa semua benda yang terdapat di dunia
akan musnah menjadi tanah. Meskipun demikia ia bersifat sombong lagi congkak. Oh, berbelas kasihan saya
kepadanya. Ia tidak tahu akan sifat-sifat dan citra dirinya sebagai mayat. Ia merasa dirinya yang paling cukup
pandai.
082. Di alam kematian ada surga dan neraka, dijumpai untung serta sial. Keadaan di dunia seperti ini menurut
Syekh Siti Jenar, sesuai dengan dalil Samarakandi ”al mayit pikruhi fayajitu kabilahu” artinya Sesungguhnya
orang yang mati, menemukan jiwa raga dan memperoleh pahala surga serta neraka.
083. ”Keadaan itulah yang dialami manusia sekarang” demikian pendapat Syekh Siti Jenar, yang pada akhirnya
Siti Jenar siang malam berusaha untuk mensucikan budi serta menguasai ilmu luhur dengan kemuliaan jiwa.
084. Di alam kematian terdapat surga dan neraka, yakni bertemu dengan kebahagian dan kecelakaan, dipenuhi
oleh hamparan keduniawian. Ini cocok dengan dalil Samarakandi analmayit pikutri, wayajidu katibahu.
Sesungguhnya orang mati itu akan mendapatkan raga bangkainya, terkena pahala surga serta neraka.
085. Surga neraka tidaklah kekal dan dapat lebur, ataupun letaknya hanya dalam rasa hati masing-masing
pribadi, senang puas itulah surga, adapun neraka ialah jengkel, kecewa dalam hati. Bahwa surga neraka
terdapat dia akhirat. Itulah hal yang semata khayal tidak termakan akal.
086. Sesungguhnya, meurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidak kekal. Yang menganggap kekal surga
neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Hanya Allah Dzat yang
087. Sesungguhnya, tempat kebahagian dan kemulian yang disebut swarga oleh orang-orang Hindu-Budha, di
dalam Islam disebut dengan nama Jannah (taman), yang bermakna tempat sangat menyenangkan yang di
dalamnya hanya terdapat kebahagian dan kegembiraan. Hampir mirip dengan swarga yang dikenal di dalam
Syiwa-Budha, di dalam Islam dikenal ada tujuh surga besar yang disebut ’alailliyyin,al-Firdaus, al-Adn, an-Na’im,
al-Khuld, al-Mawa, dan Darussalam. Di surga-surga itulah amalan orang-orang yang baik ditempatkan sesuai amal
088. Sementara itu, tidak berbeda dengan ajaran Syiwa-Budha yang meyakini adanya Alam Bawah, yaitu neraka
yang bertingkat-tingkat dan jumlahnya sebanyak jenis siksaan, Islam pun mengajarkan demikian. Jika dalam
ajaran Syiwa-Budha dikenal ada tujuh neraka besar yaitu, Sutala, Wtala, Talata, Mahatala, Satala, Atala, dan
Patala. Maka dalam Islam juga dikenal tingkatan neraka yaitu, Jahannam, Huthama, Hawiyah, Saqar, Jahim, dal
Wail.
089. Sebetulnya yang disebut awal dan akhir itu berda dalam cipta kita pribadi, seumpama jasad di dalam
kehidupan ini sebelum dilengkapi dengan perabot lengkap, seperti umur 60 tahun, disitu masih disebut sebagai
awal, maka disebut masyriq (timur) yang maknanya mengangkat atau awal penetapan manusia, serta genapnya
hidup.
090. Yang saya sebut Maghrib (Barat) itu penghabisan, maksudnya saat penghabisan mendekati akhir, maksudnya
setelah melali segala hidup di dunia. Maka, sejatinya awal itu memulai, akhir mengakhiri. Jika memang bukan
adanya zaman alam dunia atau zaman akhirat, itu semua masih dalam keadaan hidup semua.
091. Untuk keadaan kematian saya sebut akhirat, hanyalah bentuk dari bergantinya keadaan saja. Adapun
sesungguhnya mati itu juga kiamat. Kiamat itu perkumpulan, mati itu roh, jadi semua roh itu kalau sudah
092. Moksanya roh saya sebut mati, karena dari roh itu terwujud keberadaan Dzat semua, letaknya
kesempurnaan roh itu adalah musnahnya Dzat. Akan tetapi bagi penerapan ma’rifat hanya yang waspada dan
tepat yang bisa menerapkan aturannya. Disamping semua itu, sesungguhnya semuanya juga hanya akan kembali
093. Ketahuilah, bahwa surga dan neraka itu dua wujud, terjadinya dari keadaan, wujud makhluk itu dari
kejadian. Surga dan neraka sekarang sudah tampak, terbentuk oleh kejadian yang nyata.
094. Saya berikan kiasan sebagai tanda bukti adanya surga, sekarang ini sama sekali berdasarkan wujud dan
kejadian di dunia. Surga yang luhur itu terletak dalam perasaan hati yang senang. Tidak kurang orang duduk
dalam kereta yang bagus merasa sedih bahkan menangis tersedu-sedu, sedang seorang pedagang keliling
berjalan kaki sambil memikul barang dangangannya menyanyi sepanjang jalan. Ia menyanyikan berbagai macam
lagu dengan suara yang terdengar mengalun merdu, sekalipun ia memikul, menggendong, menjinjing atau
menyunggi barang dagangannya pergi ke Semarang. Ia itu menemukan surganya, karena merasa senang dan
bahagia. Ia tidur di rumah penginapan umum, berbantal kayu sebagai kalang kepala, dikerumuni serangga
095. Orang disurga segala macam barang serba ada, kalau ingin bepergian serba enak, karena kereta bendi
tersedia untuk mondar-mandir kemana saja. Tetapi apabila nerakanya datang, menangislah ia bersama istri atau
096. Manusia yang sejati itu ialah yang mempunyai hak dan kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa, serta mandiri
diri pribadi. Sebagai hamba ia menjadi sukma, sedang Hyang Sukma menjadi nyawa. Hilangnya nyawa bersatu
097. Adanya Allah karena dzikir, sebab dengan berdzikir orang menjadi tidak tahu akan adanya Dzat dan sifat-
sifatnya. Nama untuk menyebut Hyang Manon, yaitu Yang Maha Tahu, menyatukan diri hingga lenyap dan terasa
dalam pribadi. Ya dia ya saya. Maka dalam hati timbul gagagasan, bahwa ia yang berdzikir menjadi Dzat yang
mulia. Dalam alam kelanggengan yang masih di dunia ini, dimanapun sama saja, hanya manusia yang ada. Allah
yang dirasakan adanya waktu orang berdzikir, tidak ada, jadi gagasan yang palsu, sebab pada hakikatnya adanya
Budha Jawa dan Islam sudah campur. Di samping itu roh dan nama sudah bersatu. Jadi tiada kesukaran lagi
099. Manusia hidup dalam alam dunia ini hanya mengadapai dua masalah yang saling berpasangan, yaitu baik
buruk berpasangan dengan kamu, hidup berjodoh dengan mati, Tuhan berhadapan dengan hambanya.
100. Orang hidup tiada mersakan ajal, orang berbuat baik tiada merasakan berbuat buruk dan jiwa luhur tiada
bertempat tinggal. Demikianlah pengetahuan yang bijaksana, yang meliputi cakrawala kehidupan, yang tiada
101. Keadaan hidup itu berupa bumi, angkasa, samudra dan gunung seisinya, semua yang tumbuh di dunia,
udara dan angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan bulan menyusup di langit dan keberadaan manusia
102. Allah bukan johor manik, yaitu ratna mutu manikam, bukan jenazah dan rahasia yang gaib. Syahadat itu
kepalsuan.
103. akhirat di dunia ini tempatnya. Hidup dan matipun hanya didunia ini.
104. Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak
berkumpul dengan anak, setelah tua berkumpul dengan orang tua. Berbincang-bincanglah mereka tentang nama
sunyi hampa, saling bohong membohongi, meskipun sifat-sifat dan wujud mereka tidak diketahui.
105. Takdir itu tiada kenal mundur, sebab semuanya itu ada dalam kekuasaan Yang Murba Wasesa yang
106. Orang mati tidak akan merasakan sakit, yang merasakan sakit itu hidup yang masih mandiri dalam raga.
Apabila jiwa saya telah melakukan tugasnya, maka dia akan kembali ke alam aning anung, alam yang tentram
bahagia, aman damai dan abadi. Oleh karena itu saya tidak takut akan bahaya apapun.
107. Menurut pendapat saya. Yang disebut ilmu itu ialah segala sesuatu yang tidak kelihatan oleh mata.
108. Mana ada Hyang Maha Suci? Baik di dunia maupun di akhirat sunyi. Yang ada saya pribadi. Sesungguhnya
besok saya hidup seorang diri tanpa kawan yang menemani. Disitulah Dzatullah mesra bersatu menjadi saya.
109. Karena saya di dunia ini mati, luar dlam saya sekarang ini, yang di dalam hidupku besok, yang di luar
kematianku sekarang.
110. Orang yang ingin pulang ke alam kehidupan tidak sukar, lebih-lebih bagi murid Siti Jenar, sebab ia sudah
paham dengan mengusai sebelumnya. Di sini dia tahu rasanya di sana, di sana dia tahu rasanya di sini.
111. Tiada bimbang akan manunggalnya sukma, sukma dalam kehingan, tersimpan dati sanubari, terbukalah
tirai, tak lain antara sadar dan tidur, ibarat kaluar dari mimpi, menyusupi rasa jati.
112. Manusia tidak boleh memiliki daya atau keinginan yang buruk dan jelek.
lain.
115. Manusia tidak boleh memakan daging (hewan darat, udara ataupun air).
116. Manusia tidak boleh memakan nasi kecuali yang terbuat dari bahan jagung.
122. manusia tidak boleh memakan ikan atau daging dari hewan yang rusuh, tidak patut, tidak bersisik, atau
tidak berbulu.
123. Bila jiwa badan lenyap, orang menemukan kehidupan dalam sukma yang sungguh nyata dan tanpa
bandingan. Ia dapat diumpamakan dengan isinya buah kamumu. Pramana menampilkannya manunggal dengan
124. tetapi yang kau lihat, yang nampaknya sebagai sebuah boneka penuh mutiara bercahaya indah, yang
memancarkan sinar-sinar bernyala-nyala, itu dinamakan pramana. Pramana itu kehidupan badan. Ia manunggal
dengan badan, tetapi tidak ambail bagian dalam suka dan dukanya. Ia berada di dalam badan.
125. Tanpa turut tidur dan makan tanpa menderita kesakitan atau kelaparan. Bila ia terpisah dari badan, maka
badan ikut tertinggal tanpa daya, lemah. Pramana itulah yang mampu mengemban rasa, karena ia dihidupi oleh
sukma. Kepadanya diberi anugrah mengemban kehidupan yang dipandang sebagai rahasia rasa nya Dzat.
126. Penggosokan terjadi karena digerakkan oleh agin. Dari kayu yang menjadi panas muncullah asap, kemudian
api. Api maupun asap keluar dari kayu. Perhatikanlah saat permulaan segala sesuatu, segala yang dapat diraba
127. Ada orang yang menyepi dipantai. Mereka melakukan konsentrasi di tepi laut. Buka dua hal yang mereka
pikirkan. Hanya Pencipta semesta alam yang menjdai pusat perhatiannya. Karena kecewa belum dapat
128. Badan jasmani disebut cermin lahir, karena merupakan cermin jauh dari apa yang dicari dalam
mencerminkan wajah dia yan ber-paes. Cermin batin jauh lebih dekat.
129. Siang malam terus menerus mereka lakukan shalat. Dengan tiada hentinya terdengarlah pujian dan dzikir
mereka. Dan kadang mereka mencari tempat lain dan melakukan konsentrasi di kesunyian hutan. Luar biasalah
130. Badan cacat kita cela, keutamaan kerendahan hati kita puji, tetapi keadaan kita ialah digerakkan dan
didorong olek sukma. Tetapi sukma tidak tampak, yang nampak hanya adan.
131. Cermin batin itu bukanlah cermin yang dipakai orang-orang biasa. Cermin ini sangat istemewa, karena
mendekati kenyataan. Bila kau mengetahui badan yang sejati itulah yang dinamakan kematian terpilih.
132. Bila engkau melihat badanmu, Aku turut dilihat … Bila kau tidak memandang dirimu begitu, kau sungguh
tersesat.
133. Sukma tidak jauh dari pribadi. Ia tinggal di tempat itu jua. Ia jauh kalau dipandang jauh, tetapi dekat
kalau dianggap dekat. Ia tidak kelihatan, karean antara Dia dan manusia terdapat kekuadaan-Nya yang meresapi
segala-galanya.
134. Hyang Sukma Purba menyembunyikan Diri terhadap peglihatan, sehingga ia lenyap sama sekali dan tak
dapat dilihat. Kontemplasi terhadap Dia yang benar lenyap dan berhenti. Jalan untuk menemukan-Nya dilacak
135. Tetapi Hyang Sukma sendiri tidak dapat dilihat. Cepat orang turun dari gunung dan dengan seksama orang
melihat ke kiri ke kanan. Namun Dia tidak ditemukan, hati orang itu berlalu penuh duka cita dan kerinduan.
136. Hendaklah waspada terhadap penghayatan roroning atunggil agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma,
pengahayatan ini terbuka di dalam penyepian, tersimpan di dalam kalbu. Adapun proses terungkapnya tabir
penutup alam gaib, laksana terlintasnya dlam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk. Penghayatan gaib itu
datang laksana lintasan mimpi. Sesungguhnya orang yang telah menghayati semacam itu berarti telah menerima
anugrah Tuhan. Kembali ke alam sunyi. Tiada menghiraukan kesenangan duniawi. Yang Maha Kuasa telah
137. Mati raga orang-orang ulama yang mengundurkan diri di dalam kesunyian hutan ialah hanya memperhatikan
yang satu itu tanpa membiarkan pandangan mereka menyinpang. Mereka tidak menghiraukan kesukaran tempat
tinggal mereka hanya Dialah yang melindungi badan hidup mereka yang diperlihatkan. Tak ada sesuatu yang lain
138. Yang menciptakan mengemudi dunia adalah tanpa rupa atau suara. Kalbu manusia yang dipandang sebagai
wisma-Nya. Carilah Dia dengan sungguh-sungguh, jangan sampai pandanganmu terbelah menjadi dua.
139. Bila kau masih menyembah dan memuji Tuhan dengan cara biasa, kau baru memiliki pengetahuan yang
kurang sempurna. Jangan terseyum seolah-olah kau sudah mengerti, bila kau belum mengetahui ilmu sejati. Itu
semua hanya berupa tutur kata. Adapun kebenaran sejati ialah meninggalkan sembah dan pujian yang
140. Sembah dan puji sempurna ialah tidak memandang lagi adanya Tuhan, serta mengenai adanya sendiri tidak
lagi dipandang. Papan tulis dan tulisan sudah lebur, kualitas tak ada lagi. Adamu tak dapat diubah. Lalu apa