Professional Documents
Culture Documents
By : Edward Y.S
Yang akan kuceritakan ini adalah hal yang biasa saja. Tidak menginginkan
sesuatu atau mengharapkan sesuatu. Biasa saja. Sebuah kisah yang terjadi di rumah-
rumah tangga. Tetapi bagiku sangat berkesan. Entah bagi orang lain. Tidak
membutuhkan suatu pemahaman khusus untuk mendengarnya. Dan sama sekali tak
ada hubungannya dengan teori Freud, Nietszhe, Hegel dan mungkin Marx. Untuk itu,
bagi mereka yang telah membuat lusuh buku-buku mereka harap dengan hormat
menyimpannya sebagai ingatan emosi semata, dan tidak menjadi dasar pemahaman
cerita ini.
Northumberland.. Dua puluh tahun aku menjadi klerk. Lahir di sana, besar disana dan
mencari nafkah disana. Bekerja sejak aku berumur lima belas tahun. Ayahku sendiri
seorang kepala regu membawahi 10 orang klerk. Aku kawin muda. Hidup bahagia
dengan seorang gadis, Margareta. Itulah awal kisah yang membuat sekarang aku
begini.
ruangan dengan air ledeng yang kerapkali bercampur lumpur. Istriku, dia seorang
profil istri yang progresif dalam berfikir, kutu buku dan pandai memasak. Dia seorang
jemaat gereja yang taat. Tiap malam minggu selalu berlatih untuk memimpin puji-
pujian di Gereja. Ya, istriku adalah penyanyi gereja paling terpuji di Northumberland..
Suaranya seakan keluar untuk memberi warna keagungan, keharuan dan kedalamn
suasana yang membuat mata para pendengarnya basah. Karena itu, istriku banyak
dikenal para pejabat dan petinggi Northumberland.. Aku sendiri bukanlah seorang
jemaat yang taat. Aku hanya seorang kristiani biasa. Berdoa sebelum makan, sebelum
1
tidur, sebelum bekerja, berdoa di pagi hari tetapi jarang ke gereja. Hari minggu
Suatu pagi hari Minggu tepatnya, bulan keenam resesi ekonomi melanda
Inggris, aku dijemput kawan-kawan para klerk untuk menghadiri pertemuan para
klerk untuk membahas tuntutan peningkatan kesejahteraan setelah dalam enam bulan
terakhir kami tidak menerima upah secara penuh sementara produksi batu bara harus
terus berjalan. Pembicaranya adalah orang baru yang dengan antusias dan berapi-api
menuntut kaum kapital untuk lebih memperhatikan para klerk di pertambangan. Kami
menuntut perumahan yang mempunyai pengahangat, air ledeng yang bersih, dan jauh
dari asap batu bara agar anak-anak kami bisa tumbuh dengan sehat. Pertemuan
semakin panas ketika wakil pemilik pertambangan menyatakan bahwa fasilitas yang
ada sekarang sudah cukup dari memadai. Sementara itu aku hanya menguap dan
akhirnya tertidur. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan.
lainnya. Aku memilih jalan kaki, kunikmati bau asap batu bara yang telah tiga puluh
tahun kukenal. Kunikmati jelaga hitam diujung hidung sebagai hiasan kebanggan laki-
laki Northumberland.. Pukul empat sore aku tiba di rumah dan istriku kudapati belum
pulang dari gereja. Aku merasa begitu ngantuk dan letih. Air ledeng yang berwarna
kecoklatan tak mampu mengusir rasa letih dan lesu. Aku hampir tertidur ketika istriku
mengetuk pintu. Dia diantar oleh orang yang sama dan mobil yang sama seperti
minggu lalu.
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa runtutan kejadian hari itu akan
mengubah jalan hidupku dan jalan hidup kami. Begini, malam harinya ketika kami
2
masuk tidur istriku tidak biasanya bercerita tentang suasana Gereja yang semakin
semarak. Ada piano baru, seragam baru, dan ada penyumbang baru. Kemudian
pembicaraan beralih pada soal ekonomi negara. Dia memuji-muji tindakan pejabat
gejolak para klerk yang menuntut perbaikan kesejahteraan. Tiba-tiba aku teringat pada
pertemuan pagi tadi. Istriku menyatakan bahwa sebagai kaum gereja dia merasa
prihatin karena para klerk tidak menerima kehidupan yang ada sekarang sebagai
anugrah dari Tuhan, dan telah dengan lancang menuntut lebih banyak justru disaat
resesi ekonomi datang. Dia mengandaikan para klerk lebih banyak membaca koran
dan cukup cerdas untuk mengerti ekonomi negara tentu gejolak itu takkan terjadi.
Kemudian dia menceritakan bagaimana dia telah berdiskusi dengan para pemilik
modal di Northumberland. yang telah berhasil menembus pasaran dunia dengan hasil
berjuta-juta pound. Saat itu aku teringat pada anak seorang klerk yang sekarat karena
tak ada biaya untuk berobat. Pikiranku tentang anak sekarat, rumah berjelaga, air
ledeng berlumpur, rumah tanpa penghangat, upah tersendat tak mapu kuhentikan
walaupun istriku berbicara tentang teori ekonomi, teori cateris paribus, teori modal,
teori produksi, mobil terbaru, mantel hangat bulu rubah, barbeque, april mop, inflasi
dan sebagainya. Semakin dia berbicara banyak semakin sesak nafasku mendengarnya.
Bayangku tentang pertemuan para klerk dan istrku bernyanyi di gereja, anak sekarat
dan mantel hangat bulu rubah, barbeque dan roti dingin, teori modal dan rumah
menggigil, dan PLAK! Tanpa sadar tanganku menyambar pipi lembut isteriku yang
selama ini hanya kusentuh dengan bibirku. Istriku menjerit, tapi tangan telah terangkat
lagi. PLAK! Pipi kirinya dilumuri darah. Istriku tersungkur menangis. Kujambak
rambutnya seakan menjumput butiran batu bara. Mukanya persis anak kemarin kulihat
3
sekarat. Pucat. Darah meleleh dibelahan bibirnya. Matanya basah. Sembab. Kemudian
Esok paginya, aku termenung. Kusesali apa yang terjadi malam tadi. Istriku
seperti biasa menyiapkan sarapan untukku, menyiapkan bajuku. Dan ketika akan pergi
seperti biasa kukecup keningnya sambil meminta maaf atas kejadian semalam. Istriku
hanya tersenyum dan mengangguk. Ketika aku pulang dari tambang istriku seperti
biasa menyambut di muka rumah membukakan baju dan memberikan air minum. Aku
merasa bahagia karena kejadian tadi malam tidak berbekas dihati istriku. Tetapi aku
merasa perangaiku mulai berubah ketika memasuki ruangan dalam. Aku merasa asing
dengan buku-buku istriku yang bertumpuk. Kacamata baca istrku, kliping koran.
Ketika aku melihatnya aku seakan diingatkan pada kejadian malam itu, saat istriku
didapatnya dari kaum pemodal yang tidak satu patah kata pun menyinggung
kesejahteraan para klerk. Tiba-tiba istriku masuk membawa sebaskom air hangat
untuk mandiku. Anehnya, aku merasa bahwa saat itu istriku seakan-akan berkata
“Hanya air hangat seperti ini yang pantas untuk seorang klerk. Karena kau adalah
seorang klerk. Kalau kau seorang pemodal maka kau berhak mandi air hangat dibak
mandi panjang”. Akibatnya, entah setan apa yang merasuk dalam otakku. Baskom itu
kuambil lalu tanpa berkata apa-apa lagi kuguyurkan kekepalanya. Tapi yang
membuatku kaget istriku tidak menjerit atau mengaduh sekalipun. Dia hanya
menangis tertahan. Tidak melawan atau menghindar sama sekali. Melihat itu aku
justru merasa bahwa dia menantangku. Segera kuseret dia ke kamar mandi. Lehernya
kucekik lalu kumasukkan kedalam bak berlumpur. Kuangkat lagi. Dalam hati aku
berharap dia menjerit atau mengaduh atau minta ampun. Tapi dia tidak berkata apa-
apa. Hanya air matanya yang semakin deras. Nafasnya tersenggal-senggal. Tanpa
4
pikir panjang lagi, kumasukkan lagi ke dalam bak. Kuhitung sampai lima belas.
Kuangkat lagi, dia mulai batuk-batuk. Tapi dia tetap bungkam. Hanya suara tangisan
yang terdengar. Kemudian dengan sekuat tenaga kumasukkan lagi kepalanya lebih
dalam. Kuhitung sepuluh, tak ada reaksi. Dua puluh, tak ada reaksi. Tiga puluh, dia
mulai meronta. Tiga puluh lima, tangannya mencengkeram dengan keras. Empat
puluh, dan BUK! Sebuah pukulan tepat mengenai kepalaku. Aku kehilangan
Ketika kubuka mataku yang pertama kulihat adalah teralis besi ini, seorang
penjaga dan seorang kawanku. Esok harinya istriku datang, mukanya pucat dan
lebam-lebam diantar seorang suster dari gereja. Dia hanya berkata “Aku adalah
istrimu. Karena itu aku akan menunggumu kalau kau bebas nanti”. Ya, hanya itu
yang dia katakan. Selebihnya hanya air matanya yang berbicara. Dan besok adalah
hariku, vonis hakim akan jatuh. Sementara resesi ekonomi masih terus melanda
Northumberland. dan para klerk masih tetap di liang liang batu bara.