Professional Documents
Culture Documents
default
Log In
Email address:
Submit
Explore
Community
Login
/ 30
Search coming
4gen
http://w w w .sc
(auto)
300
1
Scroll
<a title=
Ads by Google
Belajar di Australia Grammar Bahasa Inggris
Situs pemerintah yang resmi - Perth Excellent Teachers from USA & UK
Cari program studi Anda! Save 5%
www.pertheducationcity.com.au www.languagelab.com
1
Pendahuluan
paya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya, adalah misi pendidikan
yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru. Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan
kepada siswa di kelas tetapi dituntut untuk
meningkatkan kemampuan guna mendapatkan dan mengelola informasi yang sesuai dengan
kebutuhan profesinya. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan,
melainkan juga usaha menciptakan system lingkungan yang membelajarkan subjek didik agar tujuan pengajaran
dapat tercapai secara optimal. Mengajar dalam pemahaman ini memerlukan suatu strategi belajar mengajar yang
sesuai. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam
upaya mengembangkan kreativitas dan sikap inovatif subjek didik. Untuk itu perlu dibina dan
dikembangkan kemampuan professional guru untuk mengelola program pengajaran dengan strategi
belajar yang kaya dengan variasi.
A . PENGERTIAN
Strategibelajar-mengajar,menurutJ.R.DaviddalamTeachingStrategiesforCollegeClassRoom
(1976) ialah aplan, method, or series of activities designe to achicves a particular educational goal
(P3G, 1980). Menurut pengertian ini strategi belajar-mengajar meliputi rencana, metode dan
perangkatkegiatanyangdirencanakan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Untuk
melaksanakanstrategitertentudiperlukanseperangkatmetode pengajaran.Strategidapatdiartikan
sebagaiaplanof operation achievingsomething “ rencana kegiatan untukmencapaisesuatu” .
Sedangkan metode ialah a way in achieving something “ cara untuk mencapai sesuatu” . Untuk
melaksanakansuatustrategidigunakanseperangkatmetodepengajarantertentu.Dalampengertian demikianmakametodepengajaranmenjadisalahsatuunsur
dalamstrategibelajarmengajar.Unsur sepertisumberbelajar,kemampuangurudansiswa,mediapendidikan,materipengajaran,organisasi
adalah: waktu tersedia, kondisi kelas dan lingkungan merupakan unsur-unsur yang mendukung
st rat egibelajar-mengajar.
B . K O M P O N E N S T R A T E G I B E L A J A R -M E N G A J A R
K omponen-komponen tersebut adalah:
1.Tujuanpengajaran
Tujuan pengajaran merupakan acuan yang dipertimbangkan untuk memilih strategi belajar
mengaj ar .
2.Guru
Masing-masingguruberbeda dalampengalaman,pengetahuan,kemampuanmenyajikan
pelajaran,gayamengajar,pandanganhidup danwawasan.Perbedaaninimengakibatkanadanya
perbedaandalampemilihanst rat egibelajarmengajaryangdigunakandalamprogrampengajaran.
3.Peserta didik
D alamkegiatanbelajarmengajarpeserta didikmempunyailatarbelakangyang berbeda-beda,hal
ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun strategi belajar mengajar yang tepat
4. Materi pelajaran
Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal (isi pelajaran dalam buku teks resmi/ buku
paket di sekolah) dan materi informal (bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan
sekolah)
5. Metodepengajaran
Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar mengajar
6.Mediapengajaran
Bab
1
Belajar Tepat dan Gratis Beasiswa Kuliah 2010
Dapatkan Belajar Tepat dan Gratis Info Beasiswa Terbaru S1, S2, & S3
Untuk Berjualan di Halaman Website Dalam dan Luar Negeri Terlengkap !
www.kanalom.com www.the-scholarship.info
B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR
2
K eberhasilanprogrambelajarmengajar tidaktergantung daricanggih atau tidaknya media yang
digunakan, tetapi dari ketepatan dan keef ektif an media yang digunakan.
7. Faktor administrasi dan finansial
Terdiri dari jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar.
C . J E N I S -J E N I S S T R A T E G I B E L A J A R - M E N G A J A R
D alamhalinidikenaltiga macamstrategibelajarmengajaryaitu:
1. Strategibelajarmengajar yang berpusatpada guru
2. Strategibelajarmengajar yang berpusatpada peserta didik
3. Strategibelajarmengajaryang berpusatpada materipengajaran
D i l i hatdarikegi at anpengol ahanpesanat aumateri,makastrategibelajarmengajardibedakandalam
dua jenis, yaitu:
1. Strategibelajarmengajar ekspositoridimana gurumengolah secara tuntas pesan/materisebelum
disampaikan di kelas sehingga peserta didik tinggal menerima saja.
2.Strategibelajarmengajar heuristik atau kuriorstik, dimana peserta didik mengolah sendiri
pesan/mat eridenganpengarahandariguru.
Strategibelajarmengajardilihatdaricara pengolahanataumemproses pesanataumateridibedakan
dalam dua jenis yaitu:
1.Strategibelajarmengajar deduksi yaitu pesan diolah mulai dari umum menuju kepada yang
khusus, dari hal-hal yang abstrak kepada hal-hal yang konkrit.
2.Strategibelajarmengajarinduksi yaitu pengolahan pesan yang dimulai dari hal-hal yang khusus
menuju ke hal-hal umum, dari peristiwa-peristiwa yang bersifat induvidual menujuke
gener al i sasi .
B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR
3
Tujuan Pengajar an
A . K OMPETENSI
Pendidikanberdasarkankompetensiadalahsuatu system dengankomponen-komponennya yang
terdiriatas masukan,proses,keluaran,danumpanbaliksebagaimanadigambarkan pada bagan di
bawah. Ciri-cirinyasebagaisuatusystemdapatkitacatatsebagaiberikut:
1. Perencanaandanpel aksanaanpendi di kandi l akukandenganpendekat ansyst em.
2. Pengembangan program bertitik tolak dari perangkat kompetensi
3.Pelaksanaanprogram bersif at f leksibel dalam arti mengutamakan exit requirement. Peserta didik
secara individual dituntut untuk memenuhi tingkat kompetensi tertentu yang telah ditentukan
sebel umnya.
4.Penyajian pengalaman belajar dilakukan dengan pendekatan modular. Artinya,pengalaman
belajardisajikandalambentuksatuan-satuan yangutuhmasing-masingterarahpada
pembentukan kompetensi tertentu.
5.Mementingkan balikan sebagai esensi dari accountability. Accountability adalah
pertanggungjawaban pendidikan terhadap lembagapendidikan itu sendiri, pemakai lulusan,
kelompok prof esi yang terkait, anggota masyarakat, peserta didik dan orang tua mereka, dan
terhadap Tuhan sendiri.
MODEL PEN DI DI KAN BERDASARKAN KOMPETEN SI
Pendidikan berdasarkan kompetensi dibandingkan dengan pendidikan secara konvensional
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang esensial sebagai berikut:
2.Pendidikan berdasarkan kompetensi tujuannya diarahkan pada perilaku yang dapat didemostrasikan. Pendidikan konvensional tujuan
pengajarannya tidak dinyatakan dalambentuk perilaku yang dapat didemonstrasikan.
3. K onsekuensi dari pendidikan kompetensi ialah bahwa penilaian hasil belajar dilakukan dengan
systempenilaianacuanpatokanatauPAP(criterionref erencedassessment)).Berbedadengan
penilaian acuan norma atauPAN (norn reference assessment), penilaian pada pendidikan
berdasarkan kompetensi didasarkan tingkat kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan
(criteria) yang harus dikuasai oleh siswa. Misalnya ditentukan bahwa paling sedikit 70% dari
Bab
B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR
4
kompetensi yang telah dimasukkan dalam proses belajar harus dikuasai oleh siswa bisa lulus pada
program pengajaran yang bersangkutan.
4.Pendidikan berdasarkan kompetensi mementingkan balikan, baik balikan formatif maupun balikan sumatif. Pada pendidikan konvensional
hanya balikan sumatif yang dipentingkan, balikan f ormatif walaupun ada tetapi f ungsinya kurang mendapat perhatian yang penting.
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga
seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1)
pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik
pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan
istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah
tersebut.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari
metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi
pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat
unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran
(target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat
yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif
untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak
titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard)
untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J.
R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung
makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-
discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008).
Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan
antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan
demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah
pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang
tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang
jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan
teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya
tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor
metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau
teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama
menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang
digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki
sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang
sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan
dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru
yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga
seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah
terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model
pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model
pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A.
Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1)
model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4)
model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model
pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain
pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur
umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara
merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran
tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai
kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah
modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan
unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun
beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria
penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah
yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,
seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru
atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-
kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat
sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat
memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan
teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat
secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas,
sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan
muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin
memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
kONTEKSTUAL
Abstrak : Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas
dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan
dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan
dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal kurikulum, para
guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun kurikulumnya baik, tetapi jika
korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya,maka
kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya. Bila kurikulumnya baik para gurupun
bermutu, namun jika para murid pada umumnya bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin,
maka kedua faktor yang terdahulupun tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu
pendidikan sekarang ini kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa
pemerataan pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada
menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.
Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk memperbaiki mutu
pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam workshop kepada para guru dari
semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun merencanakan memperbaiki penghasilan para guru
di tahun depan atau pada masa-masa yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU
tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru . Hal ini penting sekali, karena
bagaimana mungkin para guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-
tugasnya bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.
Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib membantu usaha-
usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari semua tingkatan
perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan senantiasa meningkatkan
pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu dalam menegakkan disiplin belajar
dan perilaku putra-putrinya.
Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala pendidikan yang
ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid betul-betul bisa
melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya. Selain iu Sekolah Dasar
juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam masyarakat dan dapat
mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup ( Way of
life education ).Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berbunyi :
Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah banyak
berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama masalah relevansi dan
kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan. Upaya tersebut antara lain
berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran, pengadaan buku pelajaran dan buku
bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan
lainnya, pengadaan alat peraga, peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada
sebagian sekolah, dan berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah
dilakukan pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa
belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang terbaik
untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya tersebut yaitu berupa
pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan pendekatan atau strategi
pembelajaran.
Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi Guru Sekolah
Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana pembelajaran yang
aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi dialogis dan berkualitas dengan
guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas pembelajaranpun kurang menarik,
menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa hanya menjadi penerima pasif, kurang
responsif, dan ada kecenderungan untuk menolak berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut
juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten
Pamekasan.
Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses belajar mengajar,
siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan antusiasme untuk belajar. Ada
indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa untuk belajar . Interaksi memang
kadang terjadi, sejauh karena diminta atau ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses
belajar mengajar penulis mencoba berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas,
dengan mengajukan pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada
satu dua orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak
berupaya untuk merespon pertanyaan kami.
Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar mau
berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada usaha
berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam berbagai
pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau VCD yang berisi
penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.
Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau srategi tentang
pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat dalam buku tersebut,
penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu membangun kreatifitas murid agar dapat
menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif. Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis
tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar
mengajar Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual “
Dari judul di atas nantinya akan muncul sebuah permasalahan. Sebelum penulis merumuskan apa
permasalahan yang mungkin muncul pada karya tulis ini, terlebih dahulu akan dikemukakan apa
yang dimaksud dengan masalah.
“Masalah” adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan (Khairul
Iksan, 1991), atau dengan kata lain masalah adalah suatu keadaan yang menimbulkan pertanyaan
dalam diri kita tentang bagaimana keadaan suatu kejadian itu timbul yang manakala dibiarkan
akan menimbulkan kesulitan bagi manusia, sehingga masalah itu harus diatasi atau dipecahkan
oleh manusia, karena masalah itu merupakan tantangan dan rintangan bagi manusia.
Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila keduanya telah
digerakkan secara sadar dan bertujuan, maka rangkaian interaksi belajar-mengajar akan segera
terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah tersebut untuk dibahas.
A. Belajar
Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan.
Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini.
Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses penyampaian pengetahuan atau
keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.
Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial, terlalu sempit, dan
menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab itu, pandangan tersebut perlu
diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga ruang lingkup substansi belajar tidak hanya
mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan, nilai dan sikap.
Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, berikut ini kami
kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Drs.M.Ngalim Purwanto.MP
(1990).
a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-
keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”
b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu
sesudah ia mengalami situasi tadi.”
c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap perubahan
yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman.”
Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen
yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :
a)Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah
kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku
yang lebih buruk.
b)Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap
sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
c)Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir
daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam periode waktu itu berlangsung
sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode
yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita
harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi,
kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya
berlangsung sementara.
d)Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek
kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu
masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
B.Mengajar
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang sebagai proses
penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap belajar seperti itu, maka
“mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian atau penyampaian pengetahuan.
Pandangan demikian membawa konsekuensi logis terhadap situasi belajar –mengajar yang
diwujudkan oleh guru, yakni proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat
teacher-centered. Pengajaran menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada
belajar. Guru berperan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa
(information givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar
yang digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat
dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya
sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif, kedaulatan
merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak dididik untuk
berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk mengembangkan
kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang perubahan-
perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam hitungan detik seperti sekarang ini. Hal
ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena dengan penerapan konsep mengajar semacam itu,
siswa-siswa tidak dididik untuk belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar
kelak siswa-siswa menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang sebagai upaya
atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat siswa-siswanya belajar. Dalam hal
ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswanya, dan sebaliknya para siswa menjadi
pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif. Dengan cara ini interaksi belajar mengajar
dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada
kontinum pengajaran yang lebih bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang
menggelitik kita selaku guru yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita
yang terlanjur telah menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah
student-centered ?
2. MAKNA PEMBELAJARAN
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses membelajarkan subyek
didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis
agar subyek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien (Depdiknas,Model pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran
dianggap sebagai suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang
terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode
pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran,
dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap sebagai suatu proses,
maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat
siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester,
dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya
antara lain alat peraga, dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup
kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi
pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat
peraga yang akan digunakan.
1. LATAR BELAKANG
Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran bermula dari
pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori
kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa.
Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa
akan belajar dengan baik bilamana apa yang dipelajari oleh mereka berhubungan dengan apa
yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam
proses belajar di sekolah. Diantara pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :
1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri
pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi
pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif
dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa
menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka
lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-
ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.
Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan
sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai
sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu,
perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang
tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme berkembang. Dasarnya,
pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar
yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal.
Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya
(Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan
(Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).
Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer, berubah, dan
tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti
dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan
mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan
pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk
melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di
dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai
tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat
tangga tersebut.
Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri dari
pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui
pengalaman-pengalaman belajar bermakna ( akomodasi ). Siswa diharapkan mampu
mempraktekkan pengetahuan / pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan.
Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan yang dipelajari .Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada
lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.
Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi
miliknya sendiri. Teori konsruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-
aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam
pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi
konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada siswa ( Student centered
instruction ). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah
membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan
memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam
praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut :
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian
tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka
bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong
pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa
yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini
(Moh.Imam Farisi,2005).
Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang
dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.
1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat
makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya,
dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui
kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan
yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/
merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.
3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang
membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa
sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan
cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran
dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan
pula kelompok belajar yang bebas.
Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur
diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat
belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat
hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata
sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang
signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan
penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara
efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi
dan saling berkomunikasi.
Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat
berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis,
memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara
pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi
dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa
menghormati temannya dan juga orang dewasa.
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard
yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru
memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut ” excellence “.
Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan
pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya,
siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran
sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain
sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.
4. MAKSUD KONTEKS
Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan
penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan
mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan
diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang
dimaksud konteks itu ?
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa
yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang
terjadi di kelas-kelas sekolah kita!
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam
konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka,
dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya
nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal
untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya
menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota
kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan
sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan
pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi
pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan
lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah
kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan yang berkenaan dengan
pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai
berikut.
a. Proses Belajar
· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak
mereka sendiri.
· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan
baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.
· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).
· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring
perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami,
strategi belajar yang salah dan terus menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang
pada akhirnya mempengaruhi cara orang berprilaku.
· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dcengan ide-ide.
Transfer Belajar
· Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".
· Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi
sedikit.
· Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.
· Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak
mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi
untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah
diketahui.
· Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.
Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting
didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja dan berkarya , guru mengarahkan".
Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru
mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang
benar.
Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek
pembelajaran konstektual.
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (1) konsep
sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan
(validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.
Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk
mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat
permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa
untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan
siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan
mereka.
`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara
lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan
kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan
berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh
pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan
aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar
kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.
Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan
interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari
tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
4. Membuat aktivitas belajar mandiri
Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit
atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan
bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan
menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual
harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun
refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses
pembelajaran secara mandiri (independent learning).
Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus
untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara
langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama
juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman
kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.
Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan
informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu.
Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk
menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-
bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi,
dan laporan tertulis.
Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan
sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka
memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang
lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan
penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh,
siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.
Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini
merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya
belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan
konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai
contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran
sungai di lingkungan siswa.
Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang
lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi
pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat
naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.
Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat,
petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.
Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari
pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih
tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu
dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru
sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat
memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki
kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang
mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun
tempat kerja.
Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal
ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan
pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan
juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran
kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan
model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat
perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan
proses belajar siswa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran terbukti sangat
efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan proses belajar mengajar di
kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan belajar siswa diantaranya :
Melakukan hubungan yang bermakna
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
Belajar yang diatur sendiri
Bekerjasama
Berfikir kritis dan kreatif
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
Mencapai standar yang tinggi
Terdeteksi oleh penilaian autentik
B. Saran-saran
Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai
berikut :
Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk
mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada.
Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna
( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan
dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran.
Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat
mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.
Pendekatan Komunikatif
dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Subur *)
Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap dan Ketua Jurusan Pendidikan
*)
dalam
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2005) di Jakarta, hal. 1, baca juga tentang bahasa
yang banyak
digunakan pada abad komunikasi adalah bahasa lisan dalam Abdul Muin, Analisis Kontrastif Antara
Bahasa Arab dan
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2004), hal. 3-5.
3 Moh Roqib, “Akselerasi Kemampuan Bahasa dalam Kompetisi Global”, dalam Makalah disampaikan
dalam
Seminar EASA pada 29 Maret 2005 di STAIN Purwokerto, hal. 1, baca juga, Tayar Yusuf dan Syaeful
Anwar, Metodologi
Pengajaran Agama dan Bahasa (Jakarta; Rajawali, 1995), hal. 185-189.
4 Syaifullah Kamalie, “Menciptakan Lingkungan untuk Belajar Bahasa Arab”, dalam Makalah disampaikan
dalam
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2005 di Jakarta, hal. 1.
5 Menurut ahli bahasa, bahasa Arab memiliki standar ketinggian dan keelokan linguistik tertinggi yang
tiada taranya,
baik oleh pengamat Barat maupun orang Arab muslim sendiri. Bahasa Arab juga merupakan bahasa
yang terluas
kandungannya dengan deskripsi dan pemaparan yang sangat mendetail dan mendalam. Lihat, Azhar
Arsyad, Bahasa
Arab dan Metode Pengajarannya; Beberapa Pokok Pikiran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 6-7.
6 Ahmad Fuad Efendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Malang: Misykat, 2004), hal. 51. Hal yang
sama dapat
dilihat pula pada Ahmad Fuad Efendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Pendekatan, Metode, dan
Teknik) (Malang:
Misykat, 2005), hal. 52.
7 Mulyanto Sumardi, Pengembangan Pemikiran dalam Pengajaran Bahasa (Jakarta: Fakultas Tarbiyah
IAIN Syarif
Hidayatullah, 1989), hal. 1.
8 Ahmad Fuad Efendy, Metodologi. hal. 52.
9 Tim Penyusun, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada PTAIN/IAIN (Jakarta: Proyek Pengembangan
Sistym
Pendidikan Agama, 1976), hal. 85.
10 Muhammad Aly al-Khauly, Asalib Tabrisil Lughah al-Arabiyah (Riyadl: Mathabi’ al-Farazdaq Wa al-
Tijarah, al-
Mamlakah al-Saudiyah, 1982), hal. 15.
11 Tim Penyusun, Pedoman. hal. 85.
12 Ibid.
14 Muhbib Abdul Wahab, “Teknik dan Model Penyajian Materi Bahasa Arab”, dalam Makalah disampaikan
pada
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2004 di Jakarta, hal. 3.
15 Mulyanto Sumardi, Pengembangan, hal. 1.
17Ibid.
18 E. Atmadi, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 162.
19 R. Widharyanto, “Perkembangan Pendekatan Bahasa” dalam E. Atmadi 2000, Transformasi, hal. 162.
21 Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggris (Surabaya: Nur Cahaya,
1982), hal.
35.
22 Moh. Roqib, “Akselerasi”, hal. 5.
Pengajaran sastra berusaha mendekatkan siswa kepada sastra, berusaha menumbuhkan rasa peka
dan rasa cinta kepada sastra sebagai suatu cipta seni. Dengan usaha ini, diharapkan pengajaran
sastra dapat membantu menumbuhkan keseimbangan antara perkembangan kejiwaan anak,
sehingga terbentuk suatu kebulatan pribadi yang utuh. Rahmanto mengemukakan bahwa
“Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat
manfaat, yaitu: membantu keterampilan membaca, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak ((1998:16).
Pernyataan di atas sejalan dengan GBPP bahasa Indonesia ada bertuliskan: “Siswa mampu
menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan berbahasa”.
Memaknai isi GBPP, cerpen adalah salah satu bentuk sastra yang perlu diapresiasi oleh siswa
SMP. Apresiasi cerpen di kalangan terpelajar merupakan suatu yang kehadirannya tidak boleh
diabaikan. Hal ini terlihat dalam buku ajar siswa SMP pada standar kompetensi siswa mampu
mengapresiasi puisi, cerpen, dan karya sastra Melayu Klasik
Pendekatan komunikatif perlu dipahami oleh setiap guru bahasa dan sastra Indonesia agar dapat
menyusun perencanaan pengajaran, melaksanakan penyajian materi pelajaran, mengevaluasi
hasil belajar dan proses pembelajaran dengan baik.
Pendekatan komunikatif dipandang sebagai pendekatan yang unggul dalam pengajaran bahasa.
Keunggulan ini antara lain karena berdasarkan pada pandangan ilmu bahasa dan teori belajar
bahasa yang mengutamakan pemakaian bahasa sesuai dengan fungsinya. Di samping itu, tujuan
pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif adalah membentuk komunikatif siswa.
Artinya, melalui berbagai kegiatan pembelajaran diharapkan siswa menguasai kemampuan
berkomunikasi yakni kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-
fungsi bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan memfokuskan uraian pada pendekatan
komunikatif dengan judul Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Prosa (Cerita).
B. Kajian Teori
Munculnya istilah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa diilhami oleh suatu teori
yang memandang bahasa sebagai alat berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka tujuan
pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh
Hymes (11972) disebut kompetensi komunikatif.
Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa muncul pada tahun 1970-an sebagai reaksi
terhadap empat aliran pembelajaran bahasa yang dianut sebelumnya (grammar translation
method, direct method, audiolingual method, dan cognitive learning theory). Keempat metode itu
memiliki ciri yang sama iaitu pembelajaran bahasa dalam bidang struktur bahasa yang disebut
pembelajaran bahasa struktural atau pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan
struktural.
Pendekatan struktural menitikberatkan pengajaran bahasa pada pengetahuan tentang kaidah
bahasa (tatabahasa) yang biasanya disusun dari struktur yang sederhana ke struktur yang
kompleks. Para pembelajar mula-mula diperkenalkan bunyi-bunyi, bnetuk-bentuk kata, struktur
kalimat, kemudian makna unsur-unsur tersebut.
Kelemahan pendekatan struktural ialah tidak pernah memberikan kesempatan kepada pembelajar
untuk berlatih menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi yang nyata yang sesungguhnya
lebih urgen dimiliki oleh para siswa ketimbang pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa.
Kelemahan dari pendekatan struktural itulah mengilhami lahirnya pendekatan komunikatif yang
menitikberatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi. Pendekatan
komunikatif memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa. Dengan kata lain,
bahasa untuk tujuan tertentu dalam kegiatan berkomunikasi.
Selanjutnya, untuk memahami hakikat pendekatan komunikatif, menurut Syafi’ie (1998) ada
delapan hal yang perlu diperhatikan, iaitu:
a. Teori Bahasa
Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya
bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi
tekanan pada dimensi semantik dan komunikatif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa
yang berdasarkan pendekatan komunikatif yang perlu ditonjolkan ialah interaksi dan komunikasi
bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
b. Teori Belajar
Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dan dituntut untuk
menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini ialah
teori pemerolehan bahasa kedua secara alami. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar
bahasa lebih efektif apabila bahasa diajarkan secara informal melalui komunikasi langsung di
dalam bahasa yang sedang dipelajari.
c. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan tujuan yang lebih
mencerminkan kebutuhan siswa iaitu kebutuhan berkomunikasi, maka tujuan umum
pembelajaran bahasa ialah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi
(kompetensi dan performansi).
d. Silabus
Silabus disusun searah dengan tujuan pembelajaran, yang harus dipehatikan ialah kebutuhan para
pembelajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dan materi yang diilih harus sesuai dengan
kebutuhan siswa.
e. Tipe Kegiatan
Tipe kegiatan komunikasi dapat berupa kegiatan tukar informasi, negosiasi makna, atau kegiatan
berinteraksi.
f. Peranan Guru
g. Peranan Siswa
Peranan siswa sebagai pemberi dan penerima, sebagai negosiator dan interaktor. Di samping itu,
pelatihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Dengan
demikian, siswa tidak hanya menguasai struktur bahasa, tetapi menguasai pula bentuk dan
maknanya dalam kaitan dengan konteks pemakaiannya.
h. Peranan Materi
Materi disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung usaha meningkatkan kemahiran
berbahasa dalam tindak komunikasi yang nyata. Materi berfungsi sebagai sarana yang sangat
penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Berkenaan dengan prosedur pembelajaran dalam kelas bahasa yang berdasarkan pendekatan
komunikatif, Finochiaro dan Brumfit (dalam Azies, 1996), menawarkan garis besar kegiatan
pembelajaran untuk tingkat sekolah menengah pertama. Garis besar tersebut sebagai berikut.
Penyajian ini didahului dengan pemberian motivasi dengan cara menghubungkan situasi dialog
dengan pengalaman pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.
Pelatihan ini diawali dengan contoh yang dilakukan oleh guru. Para siswa mengulang contoh
lisan gurunya, baik secara bersama-sama, setengah, kelompok kecil, atau secara individu.
c. Tanya-Jawab
Hal ini dilakukan dua fase. Pertama, tanya-jawab yang berdasarkan topik dan situasi dialog.
Kedua, tanya-jawab tentang topik itu dikaitkan dengan pengalaman pribadi siswa.
d. Pengkajian
Siswa diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang terdapat dalam dialog. Selanjutnya, para
siswa diberi tugas untuk memberikan contoh ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama.
e. Penarikan Simpulan
Siswa diarahkan untuk membuat simpulan tentang kaidah tata bahasa yang terkandung dalam
dialog.
f. Aktivitas Interpretatif
Dimulai dari aktivitas komunikasi terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas.
h. Pemberian Tugas
i. Evaluasi
Memperhatikan prosedur di atas, dapat dilihat adanya kesamaan antara prosedur pembelajaran
yang berdasarkan prinsip pendekatan struktural.
Lain halnya yang disodorkan oleh Littlewood adalah prosedur metodologis yang terbagi atas
kegiatan prakomunikatif dan kegiatan komunikatif. Sejalan dengan itu, Harmer (1998)
mengemukakan bahwa tahap-tahap pembelajaran bahasa komunikatif harus dimulai dari
aktivitas nonkomunikatif menuju aktivitas komunikatif. Dalam fase kegiatan nonkomunikatif,
para pembelajar belum memiliki keinginan untuk berkomunikasi, juga mereka tidak memiliki
tujuan berkomunikasi. Pada tahap ini peranan guru masih dominan, guru masih sering
melakukan intervensi. Dalam fase komunikatif, pemebelajar sudah memiliki keinginan dan
tujuan berkomunikasi. Pembelajar tidak lagi menitikberatkan pada bentuk, tetapi pada isi.
Kegiatan komunikasi fungsional dapat berupa kegiatan berbahasa untuk saling membagi
informasi dan kegiatan berbahasa untuk mengolah informasi yang keduanya dapat dirinci
menjadi:
a. kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang terbatas
b. kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang tidak terbatas
b. simulasi
d. improvisasi
e. berdebat, dan
Sastra sendiri merupakan karya seni yang menggunakan bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran
sastra dapat dengan mudah diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa. Di samping itu,
diabadikan kepada kepentingan pengembangan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun
tulisan, baik pemahaman (reseptif) maupun penggunaan (produktif), sesuai karakteristik
pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif.
Dalam proses pembelajaran prosa ada berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan. Kegiatan-
kegiatan tersebut antara lain ialah menyimak pembaca prosa, tentang prosa, membaca prosa, dan
mengarang prosa.
Membaca prosa termasuk kegiatan membaca pemahaman. Dalam kegiatan pembelajaran prosa,
siswa diarahkan untuk memahami prosa yang dibacanya. Hal apa saja yang harus dipahami
siswa? Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan, iaitu: tokoh, alur, dan latar cerita.
Tokoh termasuk unsur cerita yang sangat penting. Tidak ada cerita tanpa tokoh. Tokoh-tokoh
dalam cerita bersifat unik, tokoh yang satu berbeda dengan tokoh yang lainnya. Perbedaan tokoh
itu ditandai dengan perbedaan nama, perbedaan fisik, dan perbedaan watak masing-masing
tokoh. Dalam pembelajarn prosa para siswa dibimbing untuk dapat mengidentifikasi perbedaan
nama, kondisi fisik, dan watak setiap tokoh yang terdapat dalam cerita yang dibacanya.
Berkenaan dengan tokoh dalam cerita iaitu tokoh pratagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
pratagonis adalah tokoh yang mendapat simpati pembaca, karena memiliki watak tertentu, maka
para pembaca berpihak kepadanya.dan sering menjadi idola pembacanya. Tokoh antagonis
dibenci pembaca karena hadir sebagai lawan dari tokoh pratagonis.
Daya tarik sebuah cerita antara lain disebabkan oleh adanya pertentangan antara tokoh pratagonis
dengan tokoh antagonis. Baik tokoh pratagonis maupun tokoh antagonis biasanya menjadi fokus
cerita biasa disebut tokoh utama. Tokoh utama baik yang berkarakter menyenangkan maupun
yang berkarakter tidak menyenangkan (jahat), biasanya didukung oleh tokoh-tokoh yang lain
yang biasa disbut tokoh pendukung.
Dalam pembelajaran membaca prosa (cerita), siswa dibimbing untuk menemukan tokoh utama
dan tokoh pendukungnya. Di samping itu, mereka dibimbing pula untuk menemukan tokoh
pratagonis dan antagonis.
Alur atau plot ialah rangkaian kejadian dalam cerita. Rangkaian kejadian itu dibangun
berdasarkan hukum sebab akibat. Sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita harus
berdasarkan sebab yang masuk akal (logis). Perilaku seorang tokoh dalam sebuah cerita sangat
berkaitan dengan karakter para tokohnya.
Sebuah cerita terjadi di sebuah tempat dan pada waktu tertentu. Tempat dan waktu terjadinya
sebuah peristiwa mempunyai iklim, kondisi, budaya, adat istiadat dan suasana tertentu. Faktor-
faktor tersebut dapat mempengaruhi karakter setiap tokoh. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa latar sebuah cerita dapat berpengaruh terhadap karakter setiap tokoh yang ada dalam
cerita yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh cerita, alur, dan latar merupakan unsur-
unsur cerita yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Guru dalam hal ini
membimbing siswa menemukan ketiga unsur yang terkandung dalam cerita yang dibacanya.
Media pembelajaran merupaka salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan
pembelajaran. Penggunaan media dalam pembelajaran sedikitnya ada dua keuntungan iaitu:
Penggunaan media dapat membuat pembelajar lebih produktif karena media menyuguhkan
pengalaman belajar yang lebih kaya, tidak hanya melibatkan satu alat indra saja. Dengan adanya
media, para siswa tidak hanya dapat belajar melalui menyimak, tetapi juga melalui kegiatan
melihat dan mengamati. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan memori dan perhatian sehingga
pembelajaran akan lebih produktif. Di samping itu, penggunaan media pun dapat mewadahi
potensi individual para siswa.
Para siswa lebih kuat daya ingat dan daya serapnya melalui kegiatan melihat, dan demikian pula
siswa yang lebih kuat daya dengarnya. Dengan demikian, penggunaan media, di samping dapat
membuat pembelajaran lebih produktif, juga membuat pembelajar lebih individual.
Pembelajaran sastra sebaiknya menggunakan media yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan.
Untuk pelatihan deklamasi mungkin diperlukan model. Model deklamasi yang baik dapat
diharapkan melalui rekaman vidio dan mungkin pula menghadirkan deklamator yang baik ke
ruang belajar. Cara yang lebih praktis tentu saja memilih siswa yang mahir berdeklamasi untuk
tampil di muka kelas. Dan saat yang biasanya dinantikan oleh para siswa adalah penampilan
guru sebagai deklamator yang selalu mengesankan.
5. Evaluasi
Evaluasi atau penilaian dimaksudkan untuk mengetahui apakah program yang bersangkutan telah
sesuai dengan perencanaan atau telah mencapai target atau belum. Penilaian dalam pembelajaran
sastra ditujukan oleh dua hal yakni, hasil belajar siswa dan proses pembelajaran itu sendiri. Hasil
penilaian tersebut bermanfaat bagi siswa untuk mengukur kemajuan belajarnya dan bermanfaat
pula bagi guru untuk menemukan kekurangan dan kelebihan yang selanjutnya dijadikan masukan
bagi perbaikan bagi kegiatan pembelajaran berikutnya, (Jobrohim, 1994).
Alat penilaian sebenarnya dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran sastra. Hal ini dapat
terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada kemampuan apresiasi siswa (secara
langsung). Namun dalam kenyataannya di sekolah penilaian hasil belajr sastra lebih menekankan
ranah kognitif, ranah psikomotor dan afektif kurang mendapat perhatian. (Jobrohim, 1994).
Berkenaan dengan tes sastra, Moody mengetengahkan adanya empat tingkatan tes sastra, iaitu:
a. Tingkat Informasi
Merupakan tes yang berkenaan dengan data dasar suatu karya sastra dan data yang menunjang
dalam proses penafsiran karya sastra yang bersangkutan, misalnya biografi pengarang.
b. Tingkat Konsep
Tes ini berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana unsur-unsur karya sastra diorganisasikan.
Tes ini menuntut kemampuan kognitif siswa yang lebih tinggi tidak hanya tingkat pemahaman,
tetapi juga tingkat analisis dan sintesis.
c. Tingkat Perspektif
Tes ini berkaitan dengan pandangan siswa mengenai karya sastra yang dibacanya. Tes ini pun
menuntut kemampuan kognitif siswa pada tingkat tinggi. Kemampuan kognitif yang dituntut
adalah tingkat aplikasi, evaluasi, analisis, dan sintesis.
d. Tingkat Apresiasi
Kemampuan kognitif yang dituntut oleh tes ini adalah aplikasi, analisis, sintesis, dan yang
terutama adalah evalusi (Nurgiantoro, 1988).
Di samping tingkatan tes tersebut, perlu pula dipahami bahwa tes sastra harus memenuhi
persyaratan tes yang baik seperti halnya tes-tes yang lain, yakni kesahihan (validitas).
Keterpercayaan (reabilitas), dan kepraktisan.
a. Siswa membaca karya sastra sebagai kegiatan yang menyenangkan. Dalam kegiatan ini guru
telah memilih sebuah cerita yang telah dipertimbangkan dari segi bahasa, isi dan pertimbangan
pedagogis. Para siswa dipersilahkan membaca karya sastra yang telah dipilih itu, misalnya
cerpen Kado Perkawinan karya Hamzat Rangkuti. Pembacaan oleh siswa dilakukan tanpa
dibebani oleh tugas-tugas yang rumit. Mereka membaca sekedar kesenangan semata. Ada
baiknya guru menyampaikan pengantarnya terlebih dahulu tentang cerpen tersebut untuk
menumbuhkan motivasi mereka.
b. Menyusun pertanyaan. Pada langkah ini, para siswa diberi tugas untuk menyusun pertanyaan
berkenaan dengan cerpen yang dibacanya. Guru harus membimbing mereka agar sampai pada
sebuah pertanyaan analisis yang tepat dan relevan. Pertanyaan sebaiknya muncul pada bagian
berikut di bawah subjudul Pertanyaan Apresiatif tentang Cerita.
c. Siswa mengidentifikasi dan mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang mendukung
cerpen Kado Perkawinan.
d. Siswa menganalisis dan mendiskusikan latar dan ciri khas latar cerpen Kado Perkawinan.
e. Siswa menganalisis dan mendiskusikan tokoh dan ciri khas tokoh cerpen Kado Perkawinan.
f. Siswa menganalisis dan mendiskusikan pengaruh psikologis tokoh dari latar terhadap setiap
tokoh dalam cerpen Kado Perkawinan.
h. Siswa menganalisis dan mendiskusikan motif psikologi dari perilaku setiap tokoh dalam
cerpen Kado Perkawinan.
i. Siswa menganalisi dan mendiskusikan tema cerpen Kado Perkawinan.
j. Siswa menganalisis dan mendiskusikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerpen Kado
Perkawinan.
4. Siapakah tokoh utama atau pratagonis cerita ini? Gambarkan keadaan fisik, pribadi, dan latar
sosialnya.
5. Tuliskan bagian permulaan konflik yang mendasari cerita ini, juga klimaks dan
pengakhirannya
6. Apakah peristiwa-peristiwa dalam cerita ini diungkapkan pengarang secara jelas dan
sederhana?
8. Konsekuenkah pengarang dalam mengurutkan ceritanya sesuai dengan point of view yang
dipilihnya?
10. Dari manakah sumber suasana cerita itu muncul? Apakah dibangun oleh gaya penceritaan
pengarang atau tokoh-tokohnya?
D. Penutup
1. Yang perlu diperhatiak untuk memahami pendekatan komunikatif iaitu: teori belajar,
teori bahasa, tujuan, silabus, tipe kegiatan, peran guru, peran siswa, peran materi.
2. Garis besar kegiatan pembelajaran tingkat sekolah lanjutan pertama dengan prosedur
pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif iaitu: penyajian dialog singkat,
pelatihan lisan dialog yang disajikan, tanya jawab, pengkajian, penarikan simpulan,
aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan, pemberian tugas, dan evalusi.
3. Ada tiga hal yang penting dalam kegiatan pembelajaran prosa, agar siswa memahami
prosa yang dibacanya iaitu: tokoh, alur, dan latar cerita.
4. Pembelajaran sastra sebaiknya menggunakan media yang bervariasi sesuai dengan
kebutuhan.
5. Tes sastra harus memenuhi persyaratan tes yang baik seperti halnya tes-tes yang lain,
yakni kesahihan (validitas). Keterpercayaan (reabilitas), dan kepraktisan
Home | Seputar Puslata | BA-Online | Koleksi Umum | Koleksi Digital | PTJJ Online | Berita | Galeri Foto
| Jurnal Online | Kontak
PGSD4405
Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD
MODUL 1
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Bahasa dan Belajar Bahasa
Fungsi bahasa, yaitu sebagai (1) fungsi informasi, (2) fungsi ekspresi diri, (3)
fungsi adaptasi, (4) fungsi kontrol sosial.
Kegiatan Belajar 2
Strategi Pembelajaran Bahasa
Strategi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Di dalam proses
pembelajaran guru harus memiliki strategi agar siswa dapat mencapai tujuan
pembelajaran dengan baik. Salah satu unsur dalam strategi pembelajaran
adalah menguasai teknik-teknik penyajian atau metode mengajar
a. diskusi;
b. inkuiri;
c. sosiodrama atau bermain peran;
d. tanya-jawab;
e. penugasan;
f. latihan;
g. bercerita;
h. pemecahan masalah;
i. karya wisata.
MODUL 2
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD
Kegiatan Belajar 1
Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa
Kelas yang menerapkan whole language merupakan kelas yang kaya dengan
barang cetak, seperti buku, majalah, koran, dan buku petunjuk. Di samping itu,
kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut-sudut yang memungkinkan
siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut.
Kegiatan Belajar 2
Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Sementara itu, beberapa aspek yang dibahas dalam KB 2 ini mencakup tiga hal
penting, yakni Hakikat Pendekatan Keterampilan Proses, Prinsip-prinsip
Pendekatan Keterampilan Proses, dan Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia
dengan Pendekatan Keterampilan Proses. Ketiga hal tersebut dipaparkan
berdasarkan gambaran dasar yang terdapat dalam pendekatan keterampilan
proses.
Kegiatan Belajar 3
Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
MODUL 3
KAJIAN KURIKULUM MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR
Kegiatan Belajar 1
Mengkaji Komponen-komponen dalam Kurikulum Mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar
Kegiatan Belajar 2
Pengembangan Hasil Kajian Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar
Dari komponen KBK mata pelajaran Bahasa Indonesia SD, guru atau
pelaksana pendidikan lainnya diharapkan dapat mengembangkan minimal
dalam bentuk silabus. Silabus merupakan seperangkat rencana tentang kegiatan
pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil belajar. Adapun
komponen-komponen minimal dalam silabus adalah (1) Identitas mata
pelajaran, (2) Kompetensi Dasar, Hasil Belajar, Indikator, (3) Langkah
Pembelajaran, (4) Sumber/sarana belajar, (5) Penilaian. Materi atau bahan ajar
dilampirkan.
Pembelajaran di kelas rendah SD (kelas 1 dan 2), disajikan dengan strategi
tematik (terpadu) karena siswa kelas rendah mempunyai kecenderungan
memandang sesuatu secara utuh (holistik). Dengan strategi ini diharapkan
pembelajaran lebih bermakna
MODUL 4
SISTEM FONOLOGI, EJAAN, MORFOLOGI BAHASA INDONESIA
Kegiatan Belajar 1
Sistem Fonologi, dan Ejaan Bahasa Indonesia
Fonem resmi dalam bahasa Indonesia ada 32 buah, yang terdiri atas, 6 buah
fonem vokal, 3 buah fonem diftong dan 23 buah fonem konsonan. Semua
fonem-fonem tersebut dihasilkan oleh alat ucap manusia, dari batang
tenggorokan sampai ke bibir beserta udara yang ke luar ketika kita bernapas.
Hal ini dibahas dalam tataran fonetik. Ada 3 bagian alat ucap dalam
menghasilkan bunyi ujaran itu, yakni (1) udara dari paru-paru, (2) artikulator,
bagian alat ucap yang dapat digerakkan /digeser ketika bunyi diucapkan,
misalnya rahang bawah, lidah , (3) titik artikulasi, yakni bagian alat ucap yang
tidak dapat digerakkan (bagian yang menjadi tujuan sentuh artikulator)
misalnya, rahang atas, langit-langit lembut, dll.
Selain fonem dan fonetik , hal yang perlu dipahami dalam berujar adalah
intonasi. Intonasi mengatur tinggi-rendah, keras-lunak, cepat lambatnya suara
dalam berujar sehingga ujaran dapat dipahami oleh pendengar. Jadi intonasi
merupakan rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, penghentian
suara ketika seseorang berujar (berbicara).
Morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri sebagai kata, dan
morfem terikat merupakan morfem yang belum mempunyai potensi sebagai
kata. Untuk menjadi kata morfem bebas harus melalui proses penggabungan
dengan morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia morfem terikat dapat
dibedakan menjadi dua, yakni morfem terikat pada morfologis, dan morfem
terikat pada sintaksis. Morfem terikat morfologis (imbuhan) dalam bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1). Penentu jenis kata dan (2). Penentu makna
kata. Sedangkan makna kata dalam kalimat (makna struktural) dapat
dipengaruhi olehn hubungan antara kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.
Kegiatan Belajar 3
Pembelajaran Fonologi, Ejaan dan Morfologi Bahasa Indonesia Sekolah
Dasar
Hal itu termasuk dalam tataran pembelajaran fonologi, ejaan, intonasi, dan
morfologi. Prinsip yang dapat dijadikan pedomannya, antara lain (1)
Pembelajaran diberikan dari yang mudah ke yang sukar, (2) Pembelajaran
diberikan secara tematik/terpadu khususnya antaraspek bahasa, (3)
Pembelajaran disajikan sesuai konteksnya.
MODUL 5
SINTAKSIS BAHASA INDONESIA SD
Kegiatan Belajar 1
Kalimat Bahasa Indonesia SD
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Sedangkan frase adalah kelompok kata
yang mendukung suatu fungsi (subjek, predikat, pelengkap, objek dan
keterangan) dan kesatuan makna dalam kalimat. Kalimat dapat diklasifikasikan
berdasarkan atas jumlah kontur, jumlah inti, urutan subjek-predikat, jumlah
pola kalimat, bentuk verba (predikat dan kata kerja).
Kegiatan Belajar 2
Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa SD
Tugas guru dalam pembelajaran mengatur supaya terjadi interaksi antara siswa
dengan media belajar atau lingkungan belajar itu. Pembelajaran bahasa adalah
proses memberi rangsangan belajar berbahasa kepada siswa dalam upaya siswa
mencapai kemampuan berbahasa.
1. Pemanasan-apersepsi.
2. Eksplorasi.
3. Konsolidasi pembelajaran.
4. Pembentukan sikap dan perilaku.
5. Penilaian formatif.
MODUL 6
PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA DI SD
Kegiatan Belajar 1
Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Tulis
Dengan adanya tujuan membaca yang jelas, kemampuan siswa memahami teks
bacaan akan meningkat. Untuk itu, guru harus mempelajari bagaimana cara
menentukan tujuan yang baik untuk tugas-tugas membaca yang diberikan
kepada siswa.
Kegiatan prabaca, saat membaca, dan pascabaca yang dikelola dengan baik
oleh guru merupakan upaya untuk meningkatkan daya pemahaman siswa
dalam pembelajaran membaca. Teknik-teknik yang dapat digunakan guru
untuk mengelola kegiatan prabaca adalah gambaran awal, petunjuk antisipasi,
pemetaan semantik, menulis sebelum membaca, dan drama atau simulasi.
Untuk mengelola kegiatan inti membaca digunakan teknik metakognitif, cloze
procedure, dan pertanyaan pemandu. Untuk mengelola kegiatan pascabaca
digunakan teknik memperluas kesempatan belajar, mengajukan pertanyaan,
mengadakan pameran visual, pementasan teater aktual, menceritakan kembali,
dan penerapan hasil membaca.
Menulis dapat adalah sebagai suatu proses ataupun produk. Dilihat dari segi
prosesnya, menulis dapat dimulai dari menggerakkan pensil di atas kertas
sampai terwujud karangan juga dapat dimulai dari memilih buku yang akan
dibaca, mencatat bagian-bagian yang diperlukan, kemudian digunakan untuk
bahan yang dibicarakan dalam karangan.
Pada diri siswa, keterampilan menulis dibangun guru melalui banyak latihan
dengan menggunakan teknik atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik siswa. Beberapa teknik pembelajaran menulis yang dapat
digunakan guru, misalnya menulis secara langsung tanpa mempedulikan teori,
memulai menulis dari bagian yang paling disukai siswa, menulis nonlinear atau
menulis yang didasari dengan kegemaran membaca.
Kegiatan Belajar 2
Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Lisan
MODUL 7
PENILAIAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA DI SD
Kegiatan Belajar 1
Model Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Tulis
Penilaian pembelajaran keterampilan berbahasa tulis, mencakup penilaian membaca
dan menulis. Teknik penilaiannya menggunakan tes. Tes yang digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa membaca adalah tes pemahaman kalimat dan tes
pemahaman wacana. Sedangkan untuk mengukur kemampuan siswa menulis
digunakan tes pratulis, tes menulis terpandu, dan tes menulis bebas.
Kegiatan Belajar 2
Model Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Lisan
MODUL 8
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH DASAR
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Sastra Anak
Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-
anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang
berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak
yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu
dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai
pedoman tingkah laku dalam kehidupan.
Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam
sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra
anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu (1) sastra anak yang mengetengahkan
tokoh utama benda mati, (2) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya
makhluk hidup selain manusia, dan (3) sastra anak yang menghadirkan tokoh
utama yang berasal dari manusia itu sendiri.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai
media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun
kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang
moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan
kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi
hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang
membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya.
Kegiatan Belajar 2
Apresiasi Sastra Anak
1. Apresiasi berarti (a) kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya; (b)
penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan (c) kenaikan nilai barang
karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah.
Sehubungan dengan materi pembelajaran sastra anak ini, pengertian
apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian pertama dan kedua,
yaitu (a) kesadaran kita terhadap nilai-nilai seni dan budaya (sastra anak),
dan (b) penilaian atau penghargaan kita terhadap sesuatu (sastra anak).
2. Ada tiga batasan apresiasi sastra anak, yaitu (a) Apresiasi sastra anak adalah
penghargaan (terhadap karya sastra anak) yang didasarkan pada
pemahaman; (b) Apresiasi sastra anak adalah penghargaan atas karya sastra
anak sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan
penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra anak; dan (c) Apresiasi sastra anak adalah
kegiatan menggauli cipta sastra anak dengan sungguh-sungguh hingga
tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra anak.
3. Dalam melaksanakan apresiasi sastra anak itu kita dapat melakukan
beberapa kegiatan, antara lain (a) kegiatan apresiasi langsung, yaitu
membaca sastra anak, mendengar sastra anak ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan menonton pertunjukan sastra anak dipentaskan; (b)
kegiatan apresiasi tidak langsung, yaitu mempelajari teiri sastra, mempelajari
kritik dan esai sastra, dan mempelajari sejarah sastra; (c) pendokumentasian
sastra anak, dan (d) melatih kegiatan kreatif mencipta sastra atau rekreatif
dengan mengungkapkan kembali karya sastra yang dibaca, didengar atau
ditontonnya.
4. Ada tiga tingkatan atau langkah dalam apresiasi sastra anak, yaitu (a)
seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam cipta sastra anak, ia
terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif; (b) setelah mengalami
hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat
menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan (c)
seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga
pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam.
5. Setidaknya terdapat lima manfaat bagi kehidupan ketika mengapresiasi
sastra anak, yaitu (a) manfaat estetis, (b) manfaat pendidikan, (c) manfaat
kepekaan batin atau sosial, (d) manfaat menambah wawasan, dan (e)
manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.
Kegiatan Belajar 3
Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak
MODUL 9
KAMUS
Kegiatan Belajar 1
Hakikat dan Manfaat Kamus
Kata kamus dipinjam dari bahasa Arab qamus, dengan bentuk jamaknya
qawamis. Dalam KBBI (1995:438) kamus berarti (a) buku acuan yang memuat
kata dan ungkapan yang biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan
tentang maknanya, pemakaiannya atau terjemahannya; (b) buku yang memuat
kumpulan istilah atau nama yang disusun menurut abjad beserta penjelasan
tentang makna dan pemakaiannya.
Dilihat dari bahasa yang digunakan kamus dapat dibagi atas tiga macam, yaitu
(a) kamus ekabahasa, (b) kamus dwibahasa, dan (c) kamus aneka bahasa
(multibahasa). Uraian makna kata dalam kamus standar lengkap dengan label
pemakaiannya, misalnya label ragam bahasa, label dialek regional atau dialek
sosial, dan label dialek temporal.
. PENDEKATAN KOMUNIKATIF
A. HAKIKAT PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yng bertujuan untuk membuat kompetensi
komunikatif sebagai tujuan pembeljran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi
pembeljaran 4 keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan
menghargai saling ketergantungan bahasa. Bahasan tentang konsep ini akan merinci tentang (1) Latar
Belakang Singkat Munculnya Pendekatan Komunikatif, (2) Ciri-ciri Utama Pendekatan Komunikatif, (3)
Aspek-aspek yang Berkaitan Erat dengan Pendekatan Komunikatif, dan (4) Penerapan Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.
1. LATAR BELAKANG
Menurut Tarigan (1989: 270), munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula
dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an
menggunakan pendekatan situasional. Dalam pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan
dengan cara mempraktikkan/melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan
situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori linguistik yang
mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar
linguistik terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran
bahasa situasional. Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar
gagasan yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional.
Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri dan kembali
kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung makna dalam dirinya dan
mengekspresikan makna serta maksud-maksud pembicara dan penulis yang menciptakannya (Howatt,
1984: 280, dalam Tarigan, 1989:270).
deduktif, acapkali menyebabkan matematika yang diajarkan di sekolah menjadi sulit untuk
diterima dan dipahami siswa dan sulit untuk diajarkan guru.
Persoalan pokok dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia antara lain banyak siswa SD
sampai siswa Menengah tidak berhasil mencapai target minimal dalam evaluasi. (Suwarsono,
1999). Disamping itu proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode”chalk
and talk” dimana guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas ( Somerset, 1997).
Zani (2006: 6 ) mengemukakan bahwa matematika oleh sebagian besar siswa dianggap sebagai
mata pelajaran yang “sulit” dan “menakutkan”. Siswa terkesan menjauhi dan membenci
matematika. Persepsi siswa terhadap matematika juga sangat buruk, dimana kebanyakan siswa
beranggapan bahwa matematika hanya berguna untuk berhitung, sedangkan materi lain tidak
atau kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Karena kurang merasakan manfaat
matematika maka minat dan hasil belajar matematika siswa menjadi rendah.
Guru terlalu banyak memberikan informasi dan kemudian memberikan contoh dan siswa diminta
untuk mengerjakan soal seperti yang teah dikerjakan guru. Hal –hal rutin seperti ini dilaksanakan
setiap kali pertemuan di kelas sehingga membuat siswa bosan dan tidak mampu memahami
konsep matematika secara benar. Siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan nalar
dan berpikir kritis dan belajar matematika secara mekanistis, dan soal-soal yang diberikan tidak
kontekstual.
Kenyataan semacam itu sangat kontradiksi dengan tujuan pembelajaran matematika yang
tercantum pada lampiran Permen 22 tahun 2005 yang menyatakan bahwa tujuan diberikannya
pelajaran Matematika kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar adalah untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Dari beberapa pendapat, dan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar
matematika bukan hanya di sebabkan karena karakteristik matematika yang abstrak dan deduktif,
akan tetapi juga disebabkan karena cara penyampaian guru. Oleh karena itu diperlukan perbaikan
dan upaya untuk mengatasi permasalah tersebut.
Upaya –upaya perbaikan memang telah banyak dilakukan, antara lain dengan memperhatikan
penyebab kesulitan yang bersumber pada siswa, maupun yang bersumber diluar siswa. (Soejadi,
2001). Penyebab kesulitan yang bersumber pada siswa dilakukan dengan memperhatikan
kesesuaian aspek-aspek pembelajaran matematika dengan perkembangan kemampuan siswa, dan
yang bersumber diluar siswa adalah perbaikan pada cara-cara guru menyajikan materi pelajaran
dan mengubah suasana pembelajaran menjadi suasana yang menyenangkan.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian
pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah
Realistic Mathematics Education (RME) yang dalam perkembangannya di Indonesia menjadi
Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
Hal yang diharapkan dalam PMR sejalan dengan paradigma pendidikan masa depan, dimana
aspek prilaku siswa yang diharapkan mempunyai ciri-ciri; (a) di kelas mereka aktif dalam
diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran
yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b) mampu bekerja sama dengan membuat
kelompok-kelompok belajar, (c) bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan,
mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, (d) memiliki
kepercayaan diri yang tinggi. (Zamroni, 2000)
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
matematika sangat penting untuk membentuk paradigma dikalangan guru matematika, bahwa
pembelajaran matematika bukan lagi pembelajaran yang menakutkan, tetapi pembelajaran yang
mampu membuat siswa menjadi aktif, bisa bekerjasama, bersifat demokratis dan membuat siswa
memiliki kepercayaan tinggi. Keadaan ini akan terwujud apabila guru memiliki kemampuan dan
kemauan untuk memfasilitasinya.
Salah satu lembaga yang selama ini memfasilitasi kegiatan dalam rangka peningkatan mutu dan
kualitas pendidikan adalah LPMP. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) merupakan
lembaga yang berada dibawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional RI No. 031
Tanggal 26 Desember 2005 yang menjalankan tupoksinya berdasarkan SK Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Bab VII .Dalam peranannya untuk mencapai
Standar Nasional Pendidikan, LPMP bertugas membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk
supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan non formal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan
pendidikan, (PP 19, 2005). Dengan demikian pelaksanaan tugas dan fungsi LPMP tidak terlepas
dalam kaitannya dengan pembinaan tenaga pendidik khususnya melaksanakan pelatihan atau
penataran guru matematika.
Akan tetapi hasil penataran dan pelatihan yang dilaksanakan, tidak berkesinambungan, sehingga
dampak kegiatan sepertinya tidak berbekas, dan guru kembali melakukan kegiatan pembelajaran
seperti semula. Inilah keadaan fenomena ini umumnya terjadi dalam pola pelatihan atau
penataran yang banyak diikuti guru selama ini.
Suryanto (2007) dalam Buletin PMR Volume V menyatakan bahwa (1) perbaikan pembelajaran
matematika dengan memberikan pelatihan atau penataran tentang matematika modern kepada
para guru, kemudian guru disilahkan atau dianjurkan untuk mengajarkan matematika tersebut
disekolah masing-masing, lalu selesai, (2) pada perbaikan pembelajaran dengan CBSA, mungkin
ditambah dengan pelatihan mengajar dengan CBSA, kemudian guru disilahkan atau dianjurkan
untuk mengajar disekolahnya masing-masing, lalu selesai, selanjutnya semuanya terserah para
guru.
Akan tetapi fenomena tersebut nampaknya kontradiksi dengan berbagai pendapat guru tentang
hasil pelatihan atau penataran yang diadakan oleh PMR (Pendidikan Matematika Realistik) yang
melaksanakan pelatihan dengan pola workshop.
Salah satu dari berbagai kesan dari guru yang telah mengikuti workshop PMR penulis dapat kan
dalam Buletin PMR , Edisi Juni 2003, dan edisi III Januari 2004 dari Kesan dari Mardiati, SPd
Guru SD Lab Surabaya menyatakan bahwa , pada umumnya matematika adalah salah satu
pelajaran yang ditakuti. Tapi setelah berkenalan dengan PMR, muncul perubahan-perubahan
yang berarti: (a) anak didik lebih senang pada matematika dan tampak ceria (tanpa ada tekanan
batin); (b) anak lebih disiplin dan teratur (tanpa adanya ultimatum yang menakutkan); (c) anak
bisa berfikir kreatif; (d) anak berani menuangkan yang ada di pikirannya; (e) yang paling penting
meningkatnya budi pekerti yang luhur (siswa bisa menyadari kekeliruan yang sudah
diperbuatnya sendiri).
Kesan-kesan dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Workshop PMR seakan-akan
telah berhasil mengubah paradigma guru matematika dalam mengajar. Guru memiliki kesadaran
untuk melakukan perbaikan pembelajaran dengan kesadaran sendiri. Mencoba berbagai
kreativitas dan variasi pembelajaran dengan pendekatan PMR. Guru berupaya dengan
keinginannya sendiri untuk memfasilitasi kegiatan pembelajarannya. Akan tetapi apakah
kegiatan yang telah dilakukan mereka memang benar-benar sudah sesuai dengan konsep PMR?
Jika dikatakan bahwa siswa senang melakukan kegiatan, maka perlu diamati kegiatan seperti apa
yang dapat membuat siswa senang, bagaimana guru dapat memfasilitasinya? Oleh karena itulah
diperlukan suatu penelitian.
Dalam pengembangan PMR, setelah mengikuti workshop dan dilatih beberapa kali, banyak
sekolah yang dengan sukarela menjadi sekolah uji coba PMR. Dua sekolah diantaranya berada di
Propinsi Kalimantan Selatan yaitu:, SDN Kebun bunga 4 Banjarmasin dan SD Islam Sabilal
Muhktadien Banjarmasin. Tulisan ini akan merupakan hal yang menarik karena merupakan
ringkasan dari hasil penelitian yang dilakukan di SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin yang justru
bukan sebagai sekolah uji coba PMR.
Geometri sebagai salah satu pokok bahasan dalam matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar
merupakan materi yang cukup sulit dipahami siswa apabila pendekatan yang digunakan tidak
sesuai dengan aspek kemampuan siswa. Oleh karena itu penelitian ini menekankan pada fokus
penelitian tentang proses pembelajaran matematika untuk pokok bahasan geometri yaitu sub
pokok bahasan menemukan jaring-jaring kubus dan balok di kelas 5 Sekolah Dasar dan
kaitannya dengan peran guru, aktivitas siswa, dan kendala-kendalanya.
Dengan demikian yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah: bagaimana pelaksanaan,
peranan guru, aktivitas siswa dan pendapat siswa , serta kendala –kendala yang ditemukan guru
selama melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di SDN Antasan Besar
7 Banjarmasin?
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan, peranan guru,
aktivitas siswa kendala apa saja selama guru mengimplementasikan pembelajaran matematika di
SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin?
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain ditujukan bagi para guru untuk lebih
memahami secara teoritis Pendekatan Matematika Realistik (PMR), dapat memanfaatkan
pendekatan PMR sebagai variasi pembelajaran dan dapat dijadikan bahan diseminasi untuk
sebagai contoh model pengembangan model-model pembelajaran matematika Sekolah Dasar di
KKG serta bagi Dinas Pendidikan dan LPMP agar memberikan perhatian sebagai dasar
kebijakan untuk menyusun program –program diklat pembelajaran matematika SD.
Yang dimaksud realistik adalah tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Karakteristik RME adalah menggunakan
konsep”dunia nyata” model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan
(intertwinment) (Treffers, 1991; Van den Heuvel-Panhuizen, 1998; Suharta, 2001)
Dalam RME pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”) sehingga
memungkinkan siswa untuk menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses
pencarian dari konsep yang sesuai dengan situasi nyata dikatakan oleh De Lange (1978) sebagai
matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep
yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke
bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani
konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi
pengalaman sehari-hari (mathematization of every day experience)dan penerapan matematika
dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000) . De Lange (1987) menggambarkan konsep
matematisasi dalam gambar 1.
Tabel 1 Hubungan antara Fase Pembelajaran, Peranan Guru dan Aktivitas Siswa
Tabel 1 Hubungan antara Fase Pembelajaran, Peranan Guru dan Aktivitas Siswa
No. Fase Pembelajaran Peranan Guru Aktivitas Siswa
dan konsep PMR
1. Fase Pengenalan 1. Memberikan masalah
(Matematisasi kontekstual yang sesuai dengan 1. Siswa memahami
konseptual) materi pembelajaran masalah kontekstual yang
2. Mengajukan diajukan guru
pertanyaan/mengajak siswa 2. Menjawab pertanyaan
berdiskusi untuk –pertanyaan guru, dan mencoba
menghubungkan masalah yang menggali pengalaman yang
diberikan dengan pengalaman telah dimiliknya untuk
yang telah dimiliki siswa mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan masalah kontektual
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-
kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti
sebagai instrumen kunci. Penelitian ini bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis
dengan pendekatan induktif (Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Malang, 2003).
Dalam hal ini penelitian ini menekankan pada fokus pelaksanaan pembelajaran, aktivitas siswa,
peran guru matematika dalam memfasilitasi kegiatan, termasuk dalamnya memandang dan
memberikan persepsi tentang PMR sejalan dengan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan, serta
kendala- kendala yang berkaitan dengan implementasi Pendekatan PMR.
Dalam upaya penambilan data , peneliti merupakan instrumen kunci yang mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (a) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian., (b) Peneliti sebagai
alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka
ragam data sekaligus, (c) tiap situasi merupakan keseluruhan. (d) suatu situasi yang melibatkan
interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. (e) Peneliti sebagai
instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
Subyek penelitian adalah guru SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, minggu pertama bulan April 2008 sampai
minggu keempat bulan Mei 2008, yang diawali dengan pra penelitian pada Maret 2008. Selain
itu sumber data diperoleh dari kepala sekolah dan siswa kelas 5 di sekolah tersebut.
Pengambilan data dilakukan dengan (a) melakukan observasi /pengamatan secara langsung
pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, (b) Wawancara , dengan
wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan
melalui observasi (Wahyu 2006: 27), (c) Triangulasi, yang diartikan sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah
ada.
Untuk mendapatkan kesan-kesan siswa, siswa diberikan kertas dan diminta menuliskan kesan-
kesannya terhadap pembelajaran yag telah diikutinya dengan bebas secara terbuka.
Hasil
Pelaksanaan implementasi tidak berjalan secara langsung, akan tetapi berjalan secara bertahap
dan berproses sampai guru memiliki kemampuan untuk melaksanakannya dikelas. Pada awalnya
guru mengenal konsep PMR pada suatu pelatihan yang berbentuk workshop yang dilaksanakan
oleh Tim PMR
Model Pelatihan dalam bentuk workshop yang dilaksanakan PMR, memberikan dampak positif
bagi peserta pelatihan setelah selesai mengikuti kegiatan. Pola bottom up pada workshop
memberikan motivasi pada guru untuk mencoba pendekatan PMR dalam pembelajaran secara
sukarela. Workshop ini tidak hanya sekali saja , tetapi dirancang untuk berkelanjutan. Pada
workshop lanjutan guru yang telah mengikuti workshop sebelumnya dipanggil kembali dan
diberikan kesempatan pada guru untuk memperlihatkan hasil pengembangannya.
Sebelum guru menerapkan PMR di kelas, konsep pendekatan ini diseminasikan dulu dan di
sosialisasikan dengan orang tua siswa, kepala sekolah serta guru-guru pengajar matematika
lainnya disekolah yang sama, dan didesiminasikan juga di KKG Gugus Banjarmasin Tengah
pada guru-guru matematika dari berbagai sekolah lainnya. Namun demikian tidak semua guru
matematika mampu dan mau untuk mengembangkan pendekatan ini.
Di sekolah yang sama hanya ada 2 (dua) orang guru yang sudah menerapkan pendekatan PMR di
kelasnya. Sebagai nilai positif yang diperoleh kedua orang tersebut, mereka diminta untuk
mendesiminasikan pengembangan PMR dalam seminar-seminar dan workshop lanjutan.
Pada pertemuan KKG secara rutin, pendekatan PMR merupakan salah satu bagian yang selalu
menjadi bahan informasi, bahan diskusi dan sharing pendapat dari para guru. Masih banyak
persepsi yang berbeda dalam menanggapi pendekatan PMR ini. Pengertian Pembelajaran
Realistik diartikan oleh sebagian besar guru dalam arti sempit yaitu menggunakan pembelajaran
harus selalu menggunakan benda-benda nyata (konkrit) yang ada di lingkungan dan kehidupan
sehari-hari. Sehingga untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
dirasakan guru cukup sulit, karena untuk memulainya guru harus dapat menentukan dan
menghubungkan keadaan nyata dengan materi matematika yang sebenarnya memiliki
karakteristik abstrak.
Untuk mengembangkan PMR, guru melakukan persiapan. Persiapan yang dilakukan guru
sebagai subyek penelitian, antara lain (a) membaca buku/buletin tentang PMR dan memahami
konsep pendekatan PMR dengan benar, (b) memilih materi matematika yang sesuai untuk
diajarkan dengan pendekatan PMR, (c )membuat rencana pembelajaran, sebagaimana tugas rutin
guru sehari-hari, (d) membuat Lembar Kerja Siswa yang sesuai dengan materi pelajaran, (e)
mempersiapkan alat bantu pelajaran termasuk alat peraga, (f) menentukan jenis penilaian yang
sesuai.
Dalam hal ini guru benar-benar berusaha untuk menjadi fasilitator bagi pembelajaran yang
dikelolanya. Bukan hanya untuk hari pelaksanaan, akan tetapi guru mempersiapkan siswanya
untuk membawa peralatan seperti kotak bekas yang berbentuk kubus dan balok serta peralatan
kerja seperti gunting, cellotyp, lem dan karton untuk bekerja selama materi yang berkaitan
dilaksanakan.
Pembelajaran yang diobservasi adalah pembelajaran tentang geometri. Pembelajaran ini
menggunakan alokasi waktu 3 (tiga) kali pertemuan dengan standar Kompetensi tentang
Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun , dan Kompetensi Dasar tentang
Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana, . dari Kurikulum 2006 (KTSP)
Pembelajaran ini mempunyai tujuan agar siswa dapat: (a) menemukan berbagai bentuk jaring-
jaring kubus dan balok yang berbeda dengan cara membuka kotak kertas yang berbentuk kubus
dan balok yang berbeda, (b) mengidentifikasi jaring kubus dan balok dari berbagai gambar
jaring-jaring yang disediakan, (c) menggambar jaring-jaring kubus dan balok .
Berikut ini beberapa contoh gambar yang memperlihatkan aktivitas siswa dalam proses
menemukan dan mengidentifikasi jaringjaring kubus dan balok dengan menggunakan kotak
bekas pakai. Gambar berikut memperlihatkan kegiatan siswa sedang melakukan pembedahan
kotak bekas pakai sampai berbentuk jaring-jaring kubus dan balok.
Gambar 2 .Membedah kotak bekas pakai
Hasil Perolehan dipresentasikan , seperti pada gambar 3.
Diseminasi ini mencoba untuk membuka wawasan kepada para guru bahwa PMR dapat
dijadikan alternatif pendekatan guna perbaikan pembelajaran kearah yang lebih baik sesuai
dengan paradigma pendidikan di masa depan dan standar proses pendidikan dalam PP 19/ 2005.
Dukungan kepala sekolah, dan orang tua murid guna pengembangan pendekatan PMR sangat
menentukan keberhasilan implementasi ini.
Meskipun pada kenyataannya secara substantif, implementasi PMR belum menunjukkan
pengembangan yang merata bagi semua guru. Hal ini terlihat dari jumlah guru yang
mengembangkannya. Akan tetapi bagi guru yang melakukan pengembangan dapat merasakan
adanya perubahan dalam aktivitas siswa, dan peningkatan prestasi belajarnya di sekolah.
Pengembangan ini tidak akan berhasil dengan baik jika guru yang akan mengimplementasikan
tidak memahami konsep PMR yang sebenarnya. Pendapat De Lange (1955) yang menyatakan
bahwa konsep matematika dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil
dapat memberikan persepsi yang keliru bagi guru. Kesalahan persepsi tersebut akan
menyebabkan guru tidak menghantarkan siswa kearah matematisasi formal, akan tetapi akan
berhenti pada tingkat matematisasi horisontal. Akibatnya proses ini tidak dapat menghantarkan
siswa pada pola pikir ketingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu sebelum
mengimplementasikan pendekatan PMR, proses desiminasi dalam bentuk pelatihan atau
workshop bagi guru sangat diperlukan.
Peran guru dalam mengimplementasikan PMR, juga perlu dipersiapkan. Peran guru sebagai
fasilitator benar-benar dilaksanakan, sehingga pembelajaran tidak asal jalan secara rutinitas, akan
tetapi memberikan dampak positif yang memiliki perbedaan dari pola pembelajaran matematika
yang rutin dilakukan guru.
Temuan penelitian ini menunjukkan peran guru nampak jelas dan implementasikan PMR di kelas
sesuai dengan tahapan- tahapan dalam rencana pembelajaran yang telah disusun guru serta
kesesuaiannya dengan fase-fase pembelajaran dalam pendekatan PMR. .
Sejalan dengan hal tersebut di atas, guru mempunyai kesan tersendiri yang diperoleh dari
pengalaman mengimplementasikan PMR dalam pembelajaran Matematika. Menurutnya PMR
merupakan suatu pendekatan yang sangat efektif dalam pengelolaan pembelajaran, dan
memberikan berbagai kontribusi bagi kemampuan-kemampuan siswa seperti kemampuan
kerjasama, mau menerima dan memberikan pendapat serta saling membantu siswa lain yang
mengalami kesukaran.
Aspek – aspek pendekatan PMR tersebut sebenarnya merupakan kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) yang sangat bermanfaat untuk dapat direfleksikan diswa dalam setiap berpikir dan
bertindak di masa depannya.
Kesan umum siswa terhadap pembelajaran sangat menggembirakan. Setiap siswa menyatakan
bahwa pembelajaran seperti itu membuat mereka aktif, merasa percaya diri diberikan
kesempatan untuk presentasi, meskipun masih ada sedikit rasa gugup pada waktu tampil kemuka
kelas akan tetapi guru sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan, interaktif, dan komunikatif.
Aktivitas dalam melakukan kegiatan menemukan jaring-jaring kubus dan balok memang nampak
jelas, akan tetapi pada pemahaman konsep jaring-jaring itu sendiri bagi beberapa siswa masih
diperlukan pengecekan guru,
Peran guru yang menyediakan pengalaman belajar melalui lingkungan belajar yang interaktif
ditunjukkan guru dalam suatu proses penemuan jaring-jaring kubus dan balok. Guru sebagai
fasilitator telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif memberikan kontribusi
yang sangat besar mulai dari masalah kontekstual sampai pada pembentukan matematisasi
formal. (reinvention proces).
Disamping banyak dirasakan kelebihan dan daya tarik tersendiri dalam melaksanakan
pembelajaran dengan pendekatan PMR, guru juga merasakan kesulitan yang merupakan kendala
dalam melaksanakan pengembangan.
Kesulitan utama sesuai dengan yang terungkap pada hasil penelitian, adalah melakukan
rancangan pembelajaran. Kesulitan dalam memilih materi yang sesuai dan menyusun rancangan
pembelajaran sehingga menjadi suatu model pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan PMR
juga yang dirasakan oleh para guru. Sebagai konsekuensi kesulitan ini, maka guru cenderung
memilih model pembelajaran yang lebih sederhana dan dianggap tidak memberatkan mereka dan
hal ini mudah sekali untuk menghantarkan guru kembali kepada pembelajaran rutinitas
(konvensional).
Kesulitan ini sebenarnya dapat dipermudah jika saja guru di KKG dapat membuat suatu
pemetaan materi –materi yang sesuai untuk dilaksanakan dengan pendekatan PMR, dan bersama-
sama tukar pendapat dan pengalaman untuk membuat model pembelajaran. .
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut: (a) Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMR dapat
membuat siswa aktif, berinteraksi, bekerjasama, mengkomunikasikan hasil perolehan,
menemukan konsep, meningkatkan rasa percaya diri siswa dan berlangsung dalam situasi yang
menyenangkan. (b) Peranan guru dalam proses implementasi pendekatan PMR menempatkan
guru sebagai seorang fasilitator yang menyiapkan pengalaman belajar dan motivator bagi
siswanya. (c) Aktivitas siswa dalam pembelajaran adalah memberikan pengalaman menemukan
dan memecahkan masalah. Pengalaman mempresentasi hasil perolehan dapat meningkatkan rasa
percaya diri dan termotivasi untuk tidak berputus asa, serta merasa senang selama mengikuti
pembelajaran.(d) Kendala utama bagi guru dalam mengimplementasi pendekatan PMR dalam
pembelajaran matematika adalah memilih materi yang sesuai untuk diterapkan dengan
pendekatan PMR, dan menyusun rencana pembelajaran sebagai suatu model pembelajaran.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: (a)
Desiminasi pendekatan PMR dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan secara lebih
merata bagi para guru matematika di SD baik melalui program pelatihan atau workshop, atau
program KKG. (b) Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi guru matematika,
bahwa pendekatan PMR dapat dijadikan suatu alternative pendekatan dalam pembelajaran
matematika guna perbaikan pembelajaran yang sesuai dengan standar proses. (c) Disarankan
kepada Dinas Pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) untuk merancang
pelatihan atau workshop bagi guru matematika SD dalam upaya pengembangan PMR.
DAFTAR RUJUKAN
.......................2007. Buletin PMRI Volume V. IP-PMRI. Fakultas MIPA . Institut Teknologi
Bandung
Cinzia, B. 2000. Mathematics In and Out of School: Is It Possible Connect These Context?
Exemplification From an Activity in Primary Schools. http://www.nku.edu/-
sheffield/bonottopbyd.htm.
De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning, OW& OC. Utrecht.
Suparlan. 2004. Sepuluh Kaidah Untuk Meningkatkan Citra Matematika Sebagai Mata Pelajaran
Yang Menyenangkan. Fasilitator.Edisi IV .
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi kedua. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Moleong .J.L. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
MS.Wahyu. 2006. Penelitian Kualitatif . Banjarmasin, Universitas Lambung Mangkurat.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Sommerset, A. 1997. Strengthen Quality in Indonesia’s Junior Secondary school: An Overvieu
of issues and Initiatives.MOEC Jakarta, 1996.
Soedjadi. 2001. Pemanfaatan Realitas Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika: Makalah,
disampaikan pada Seminar Nasional Ralistic Mathematics Education (RME) di FMIPA UNESA
24 Februari 2001.
Sletenhaar. 2000. Adapting Realistic Mathematics Education in Indonesian Context. Dalam
Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X
ITB, 17-20 Juli 2000)
Suwarsono. 1999. Problematika Pendidikan Matematika di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam kuliah Penelitian Lanjut .
Hadi. S. 2002. Effective Teacher Professional Development for Implementation Of Realistic
Mathematics Education In Indonesia. University of Twente.
Hadi. S. 2003. Inovasi Pembelajaran. Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi
Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003
Universitas Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Edisi Keempat. Malang:
Universitas Malang.
Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
Zani. Y. (2006). Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Matematika Siswa Menggunakan
Pendekatan PMRI Melalui Permainan Pencari Harta Karun di Kelas V SDn Antasan Besar 7
Banjarmasin. Makalah . Tidak diterbitkan
Catatan :
Karya Tulis Ilmiah ini telah terpilih dan mendapatkan penghargaan sebagai 20 peserta terbaik
secara Nasional pada Forum Ilmiah Widyaiswara se- Indonesia di Jakarta 15 Agustus 2008 dari
235 Karya Tulis Ilmiah lainnya.