You are on page 1of 93

http://w w w .scrib http://w w w .

scrib unknow n false

default

Send me the Scribd Newsletter, and occasional account related communications.

Discover and connect with people of similar interests.

Publish your documents quickly and easily.

Share your reading interests on Scribd and social sites.

Log In

Email address:

Submit

 Explore
 Community

Search Books, Presentations, Business, Academics...

 Login

http://w w w .scrib http://w w w .scrib unknow n false


 Sign Up
 |
 Log In

                             
  /  30
Search coming

4gen

http://w w w .sc

(auto)


300


1


Scroll

<a title=

Ads by Google
Belajar di Australia Grammar Bahasa Inggris
Situs pemerintah yang resmi - Perth Excellent Teachers from USA & UK
Cari program studi Anda! Save 5%
www.pertheducationcity.com.au www.languagelab.com




1
Pendahuluan
paya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan kualitas manusia seutuhnya, adalah misi pendidikan
yang menjadi tanggung jawab professional setiap guru. Guru tidak cukup hanya menyampaikan materi pengetahuan
kepada siswa di kelas tetapi dituntut untuk

meningkatkan kemampuan guna mendapatkan dan mengelola informasi yang sesuai dengan
kebutuhan profesinya. Mengajar bukan lagi usaha untuk menyampaikan ilmu pengetahuan,

melainkan juga usaha menciptakan system lingkungan yang membelajarkan subjek didik agar tujuan pengajaran
dapat tercapai secara optimal. Mengajar dalam pemahaman ini memerlukan suatu strategi belajar mengajar yang
sesuai. Mutu pengajaran tergantung pada pemilihan strategi yang tepat dalam

upaya mengembangkan kreativitas dan sikap inovatif subjek didik. Untuk itu perlu dibina dan
dikembangkan kemampuan professional guru untuk mengelola program pengajaran dengan strategi
belajar yang kaya dengan variasi.
A . PENGERTIAN
Strategibelajar-mengajar,menurutJ.R.DaviddalamTeachingStrategiesforCollegeClassRoom
(1976) ialah aplan, method, or series of activities designe to achicves a particular educational goal
(P3G, 1980). Menurut pengertian ini strategi belajar-mengajar meliputi rencana, metode dan
perangkatkegiatanyangdirencanakan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Untuk
melaksanakanstrategitertentudiperlukanseperangkatmetode pengajaran.Strategidapatdiartikan
sebagaiaplanof operation achievingsomething “ rencana kegiatan untukmencapaisesuatu” .
Sedangkan metode ialah a way in achieving something “ cara untuk mencapai sesuatu” . Untuk

melaksanakansuatustrategidigunakanseperangkatmetodepengajarantertentu.Dalampengertian demikianmakametodepengajaranmenjadisalahsatuunsur
dalamstrategibelajarmengajar.Unsur sepertisumberbelajar,kemampuangurudansiswa,mediapendidikan,materipengajaran,organisasi

adalah: waktu tersedia, kondisi kelas dan lingkungan merupakan unsur-unsur yang mendukung
st rat egibelajar-mengajar.
B . K O M P O N E N S T R A T E G I B E L A J A R -M E N G A J A R
K omponen-komponen tersebut adalah:
1.Tujuanpengajaran
Tujuan pengajaran merupakan acuan yang dipertimbangkan untuk memilih strategi belajar
mengaj ar .
2.Guru
Masing-masingguruberbeda dalampengalaman,pengetahuan,kemampuanmenyajikan
pelajaran,gayamengajar,pandanganhidup danwawasan.Perbedaaninimengakibatkanadanya
perbedaandalampemilihanst rat egibelajarmengajaryangdigunakandalamprogrampengajaran.
3.Peserta didik
D alamkegiatanbelajarmengajarpeserta didikmempunyailatarbelakangyang berbeda-beda,hal
ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun strategi belajar mengajar yang tepat
4. Materi pelajaran
Materi pelajaran dapat dibedakan antara materi formal (isi pelajaran dalam buku teks resmi/ buku
paket di sekolah) dan materi informal (bahan-bahan pelajaran yang bersumber dari lingkungan
sekolah)
5. Metodepengajaran
Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar mengajar
6.Mediapengajaran
Bab
1
Belajar Tepat dan Gratis Beasiswa Kuliah 2010
Dapatkan Belajar Tepat dan Gratis Info Beasiswa Terbaru S1, S2, & S3
Untuk Berjualan di Halaman Website Dalam dan Luar Negeri Terlengkap !
www.kanalom.com www.the-scholarship.info

B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR

2
K eberhasilanprogrambelajarmengajar tidaktergantung daricanggih atau tidaknya media yang
digunakan, tetapi dari ketepatan dan keef ektif an media yang digunakan.
7. Faktor administrasi dan finansial
Terdiri dari jadwal pelajaran, kondisi gedung dan ruang belajar.
C . J E N I S -J E N I S S T R A T E G I B E L A J A R - M E N G A J A R
D alamhalinidikenaltiga macamstrategibelajarmengajaryaitu:
1. Strategibelajarmengajar yang berpusatpada guru
2. Strategibelajarmengajar yang berpusatpada peserta didik
3. Strategibelajarmengajaryang berpusatpada materipengajaran
D i l i hatdarikegi at anpengol ahanpesanat aumateri,makastrategibelajarmengajardibedakandalam
dua jenis, yaitu:
1. Strategibelajarmengajar ekspositoridimana gurumengolah secara tuntas pesan/materisebelum
disampaikan di kelas sehingga peserta didik tinggal menerima saja.
2.Strategibelajarmengajar heuristik atau kuriorstik, dimana peserta didik mengolah sendiri
pesan/mat eridenganpengarahandariguru.
Strategibelajarmengajardilihatdaricara pengolahanataumemproses pesanataumateridibedakan
dalam dua jenis yaitu:
1.Strategibelajarmengajar deduksi yaitu pesan diolah mulai dari umum menuju kepada yang
khusus, dari hal-hal yang abstrak kepada hal-hal yang konkrit.
2.Strategibelajarmengajarinduksi yaitu pengolahan pesan yang dimulai dari hal-hal yang khusus
menuju ke hal-hal umum, dari peristiwa-peristiwa yang bersifat induvidual menujuke
gener al i sasi .
B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR

3
Tujuan Pengajar an
A . K OMPETENSI
Pendidikanberdasarkankompetensiadalahsuatu system dengankomponen-komponennya yang
terdiriatas masukan,proses,keluaran,danumpanbaliksebagaimanadigambarkan pada bagan di
bawah. Ciri-cirinyasebagaisuatusystemdapatkitacatatsebagaiberikut:
1. Perencanaandanpel aksanaanpendi di kandi l akukandenganpendekat ansyst em.
2. Pengembangan program bertitik tolak dari perangkat kompetensi
3.Pelaksanaanprogram bersif at f leksibel dalam arti mengutamakan exit requirement. Peserta didik
secara individual dituntut untuk memenuhi tingkat kompetensi tertentu yang telah ditentukan
sebel umnya.
4.Penyajian pengalaman belajar dilakukan dengan pendekatan modular. Artinya,pengalaman
belajardisajikandalambentuksatuan-satuan yangutuhmasing-masingterarahpada
pembentukan kompetensi tertentu.
5.Mementingkan balikan sebagai esensi dari accountability. Accountability adalah
pertanggungjawaban pendidikan terhadap lembagapendidikan itu sendiri, pemakai lulusan,
kelompok prof esi yang terkait, anggota masyarakat, peserta didik dan orang tua mereka, dan
terhadap Tuhan sendiri.
MODEL PEN DI DI KAN BERDASARKAN KOMPETEN SI
Pendidikan berdasarkan kompetensi dibandingkan dengan pendidikan secara konvensional
menunjukkan perbedaan-perbedaan yang esensial sebagai berikut:

1.Pendidikan berdasarkankompetensidilakukan denganpendekatansystem.Berbedadengan pendidikankonvensionalbercirikantransformasiinformasi,


pendidikanberdasarkankompetensi iniberusahamengembangkan kemampuandenganpendekatansystem.

2.Pendidikan berdasarkan kompetensi tujuannya diarahkan pada perilaku yang dapat didemostrasikan. Pendidikan konvensional tujuan
pengajarannya tidak dinyatakan dalambentuk perilaku yang dapat didemonstrasikan.

3. K onsekuensi dari pendidikan kompetensi ialah bahwa penilaian hasil belajar dilakukan dengan
systempenilaianacuanpatokanatauPAP(criterionref erencedassessment)).Berbedadengan
penilaian acuan norma atauPAN (norn reference assessment), penilaian pada pendidikan
berdasarkan kompetensi didasarkan tingkat kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan
(criteria) yang harus dikuasai oleh siswa. Misalnya ditentukan bahwa paling sedikit 70% dari
Bab
B A B 6
: DISK USI
K E L O M P O K
STRATEGI
B E L A J A R
M EN GAJ AR

4
kompetensi yang telah dimasukkan dalam proses belajar harus dikuasai oleh siswa bisa lulus pada
program pengajaran yang bersangkutan.

4.Pendidikan berdasarkan kompetensi mementingkan balikan, baik balikan formatif maupun balikan sumatif. Pada pendidikan konvensional
hanya balikan sumatif yang dipentingkan, balikan f ormatif walaupun ada tetapi f ungsinya kurang mendapat perhatian yang penting.

5. Penyajian pengajaran pada pendidikan berdasarkan kompetensi dilaksanakan dengan menerapkan


belajar tuntas (mastery learning). Dalam hubunganiniorientasibelajarsiswaadalahonthetask
dan bukan of f the task. Maksudnya, bahwa siswa tidak suka menghindari tugas tugas, sebaliknya
-
iamencari tugas-tugas yang terkait dengan pelajarannya, baik tugas yang diberikan oleh guru
maupun tugas yangdiciptakannya sendiri. Ciri lain dari belajar tuntas ini ialah proses belajar
mengajarsama pentingnya dengantujuanpengajaran.Siswa liveinprosesbelajarmengajaryang
diikutinya, ia menghayati keterlibatannya di dalam proses itu, karena itu ia mendapatkan sendiri
nilai-nilai tertentu di dalam proses belajar mengajar yang tidak mungkin diperoleh kalau tidak ikut
terlibat di dalamnya.
6.Pendidikan berdasarkan kompetensi memberi tekanan pada penguasaan secara individual.
Pendidikan konvensional lebih bersifat klasikal.
K ompetensi Guru
PedomanPelaksanaanPola PembaharuanSistemPendidikanTenaga K ependidikan(P4SPTK )di
I ndonesia mengemukakan 10 kemampuan dasar bagi guru yang prof essional, yait u :
PROFI L KEMAMPUAN DASAR GURU
Menguasaibahanbidangstudi dalam
kurikulum sekolah
1.MENGUASAI
BAHAN
1.1.
a.Menguasaibahandarimetodologi
pengajaran 4 (empat) bidang studi di
SD(Bahasa I ndonesi a,Mat emat i ka,
IPA, IPS)
b.Menguasaibahanbiangstudidalam
kurikulum SPG
2.MENGELOLA
PROGRA M
BELAJAR
MENGAJAR
2.1.Merumuskan tujuan instruksional
2.2.Mengenaldandapatmenggunakanmetode
mengaj ar
2.3.Memilih danmenyusunprosedur
instruksional yang tepat
2.4.Melaksanakanprogrambelajarmengajar
2.5.Mengenal kemampuan (entering behavior)
anak didik
2.6.Merencanakandanmelaksanakanprogram
r emedial
3.MENGELOLA
KELAS
3.1.Mengatur tata ruang kelas untuk pengajaran
3.2.Menciptakan iklim belajar mengajar yang
ser asi
Strategi Belajar Mengajar
Reads:

Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode,


Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran

Posted Jum, 03/10/2008 - 13:12 by akhmadsudrajat

oleh: Akhmad Sudrajat

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga
seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1)
pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik
pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan
istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah
tersebut.

Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari
metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi
pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat
unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :

1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran
(target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat
yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif
untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak
titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard)
untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.

Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:

1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil


perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling
efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik
pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan
ukuran baku keberhasilan.

Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan
pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J.
R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung
makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari
strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-
discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008).
Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan
antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.

Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan


berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of
operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something”
(Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan
untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan
praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang
dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah;
(2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7)
brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.

Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan
demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam
mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah
pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang
tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang
jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan
teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya
tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor
metode yang sama.

Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau
teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama
menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang
digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena
memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki
sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang
sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan
dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru
yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga
seni (kiat)

Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah
terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model
pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model
pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan
teknik pembelajaran.

Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A.
Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1)
model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4)
model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model
pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.

Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain
pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur
umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara
merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran
tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai
kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah
modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan
unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun
beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria
penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah
yang akan dibangun.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,
seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru
atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-
kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat
sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat
memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan
teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat
secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas,
sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan
muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin
memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.

I. STRATEGI DAN METODE

1. PENGERTIAN STRATEGI, METODE DAN TEKNIK  BELAJAR MENGAJAR


Strategi belajar-mengajar adalah cara-cara yang dipilih untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
lingkungan pengajaran tertentu, yang meliputi sifat, lingkup dan urutan kegiatan yang dapat memberikan
pengalaman belajar kepada siswa (Gerlach dan Ely). Strategi belajar-mengajar tidak hanya terbatas pada
prosedur kegiatan, melainkan juga termasuk di dalamnya materi atau paket pengajarannya (Dick dan
Carey). Strategi belajar-mengajar terdiri atas semua komponen materi pengajaran dan prosedur yang
akan digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pengajaran tertentu dengan kata lain strategi
belajar-mengajar juga merupakan pemilihan jenis latihan tertentu yang cocok dengan tujuan yang akan
dicapai (Gropper). Tiap tingkah laku yang harus dipelajari perlu dipraktekkan. Karena setiap materi dan
tujuan pengajaran berbeda satu sama lain, makajenis kegiatan yang harus dipraktekkan oleh siswa
memerlukan persyaratan yang berbeda pula.
 
Menurut Gropper sesuai dengan Ely bahwa perlu adanya kaitan antara strategi belajar mengajar dengan
tujuan pengajaran, agar diperoleh langkah-langkah kegiatan belajar-mengajar yang efektif dan efisien. Ia
mengatakan bahwa strategi belajar-mengajar ialah suatu rencana untuk pencapaian tujuan. Strategi
belajar-mengajar terdiri dari metode dan teknik (prosedur) yang akan menjamin siswa betul-betul akan
mencapai tujuan, strategi lebih luas daripada metode atau teknik pengajaran.
 
Metode, adalah cara, yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini
berlaku baik bagi guru (metode mengajar) maupun bagi siswa (metode belajar). Makin baik metode yang
dipakai, makin efektif pula pencapaian tujuan (Winamo Surakhmad)
 
Kadang-kadang metode juga dibedakan dengan teknik. Metode bersifat prosedural, sedangkan teknik
lebih bersifat implementatif. Maksudnya merupakan pelaksanaan apa yang sesungguhnya terjadi
(dilakukan guru) untuk mencapai tujuan. Contoh: Guru A dengan guru B sama-sama menggunakan
metode ceramah. Keduanya telah mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan metode ceramah yang
efektif, tetapi hasilnya guru A berbeda dengan guru B karena teknik pelaksanaannya yang berbeda. Jadi
tiap guru mungakui mempunyai teknik yang berbeda dalam melaksanakan metode yang sama.
 
Dapat disimpulkan bahwa strategi terdiri dan metode dan teknik atau prosedur yang menjamin siswa
mencapai tujuan. Strategi lebih luas dari metode atau teknik pengajaran. Metode atau teknik pengajaran
merupakan bagian dari strategi pengajaran. Untuk lebih memperjelas perbedaan tersebut, ikutilah contoh
berikut:
 
Dalam suatu Satuan Acara Perkuliahan (SAP) untuk mata kuliah Metode-metode mengajar bagi para
mahasiswa program Akta IV, terdapat suatu rumusan tujuan khusus pengajaran sebagai benikut: “Para
mahasiswa calon guru diharapkan dapat mengidentifikasi minimal empat jenis (bentuk) diskusi sebagai
metode mengajar”. Strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan pengajaran tersebut misalnya: 
1. Mahasiswa diminta mengemukakan empat bentuk diskusi yang pernah dilihatnya, secara
kelompok.
2. Mahasiswa diminta membaca dua buah buku tentang jenis-jenis diskusi dari Winamo Surakhmad
dan Raka Joni.
3. Mahasiswa diminta mendemonstrasikan cara-cara berdiskusi sesuai dengan jenis yang dipelajari,
sedangkan kelompok yang lain mengamati sambil mencatat kekurangan-kekurangannya untuk
didiskusikan setelah demonstrasi itu selesai.
4. Mahasiswa diharapkan mencatat hasil diskusi kelas.
Dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa teknik pengajaran adalah kegiatan no 3 dan 4, yaitu dengan
menggunakan metode demonstrasi dan diskusi. Sedangkan seluruh kegiatan tersebut di atas merupakan
strategi yang disusun guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam mengatur strategi, guru dapat
memilih berbagai metode seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan sebagainya.
Sedangkan berbagai media seperti film, kaset video, kaset audio, gambar dan lain-lain dapat digunakan
sebagai bagian dan teknik teknik yang dipilih.
Pemilihan strategi belajar-mengajar
 
Titik tolak untuk penentuan strategi belajar-mengajar tersebut adalah perumusan tujuan pengajaran
secara jelas. Agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara optimal, selanjutnya guru
harus memikirkan pertanyaan berikut : “Strategi manakah yang paling efektif dan efisien untuk membantu
tiap siswa dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan?” Pertanyaan ini sangat sederhana namun
sukar untuk dijawab, karena tiap siswa mempunyai kemampuan yang berbeda. Tetapi strategi memang
harus dipilih untuk membantu siswa mencapai tujuan secara efektif dan produktif.
 
Langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut; Pertama menentukan tujuan dalam arti
merumuskan tujuan dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang diharapkan dapat dilakukan siswa,
dalam kondisi yang bagaimana serta seberapa tingkat keberhasilan yang diharapkan. Pertanyaan inipun
tidak mudah dijawab, sebab selain setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun mempunyai kemampuan dan
kwalifikasi yang berbeda pula. Disamping itu tujuan yang bersifat afektif seperti sikap dan perasaan, lebih
sukar untuk diuraikan (dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif biasanya lebih mudah.
Strategi yang dipilih guru untuk aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi tersebut akan
dapat membentuk sebagaimana besar siswa untuk mencapai hasil yang optimal.
 
Namun guru tidak boleh berhenti sampai disitu, dengan kemajuan teknologi, guru dapat mengatasi
perbedaan kemampuan siswa melalui berbagai jenis media instruksional. Misalnya, sekelompok siswa
belajar melalui modul atau kaset audio, sementara guru membimbing kelompok lain yang dianggap masih
lemah.
 
Kriteria Pemilihan Strategi Belajar-mengajar, menurut Gerlach dan Ely adalah:
1. Efisiensi :
Seorang guru biologi akan mengajar insekta (serangga). Tujuan pengajarannya berbunyi :
Diberikan lima belas jenis gambar binatang, yang belum diberi nama, siswa dapat menunjukkan
delapan jenis binatang yang termasuk jenis serangga. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi
yang paling efisien ialah menunjukkan gambar jenis-jenis serangga itu dan diberi nama, kemudian
siswa diminta memperhatikan ciri-cirinya. Selanjutnya para siswa diminta mempelajari di rumah
untuk dihafal cirinya, sehingga waktu diadakan tes mereka dapat menjawab dengan betul. Dengan
kata lain mereka dianggap telah mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan Strategi
ekspository tersebut memang merupakan strategi yang efisien untuk pencapaian tujuan yang
bersifat hafalan. Untuk mencapai tujuan tersebut dengan strategi inquiry mungkin oleh suatu
konsep, bukan hanya sekedar menghafal.
 
Strategi ini lebih tepat. Guru dapat menunjukkan berbagai jenis binatang, dengan sketsa atau slide
kemudian siswa diminta membedakan manakah yang termasuk serangga; ciri-cirinya, bentuk dan
susunan tubuhnya, dan sebagainya. Guru menjawab pertanyaan siswa dengan jawaban pelajari
lebih jauh. Mereka dapat mencari data tersebut dari buku-buku di perpustakaan atau melihat
kembali gambar (sketsa) yang ditunjukkan guru kemudian mencocokkannya. Dengan menunjuk
beberapa gambar, guru memberi pertanyaan tentang beberapa spesies tertentu yang akhirnya
siswa dapat membedakan mana yang termasuk serangga dan mana yang bukan serangga.
Kegiatan ini sampai pada perolehan konsep tentang serangga.
 
Metode terakhir ini memang membawa siswa pada suatu pengertian yang sama dengan yang
dicapai melalui ekspository, tetapi pencapaiannya jauh lebih lama. Namun inquiry membawa siswa
untuk mempelajari konsep atau pnnsip yang berguna untuk mengembangkan kemampuan
menyelidiki.
 
2. Efektifitas :
Strategi yang paling efisien tidak selalu merupakan strategi yang efektif. Jadi efisiensi akan
merupakan pemborosan bila tujuan akhir tidak tercapai. Bila tujuan tercapai, masih harus
dipertanyakan seberapa jauh efektifitasnya. Suatu cara untuk mengukur efektifitas ialah dengan
jalan menentukan transferbilitas (kemampuan memindahkan) prinsip-prinsip yang dipelajari. Kalau
tujuan dapat dicapai dalam waktu yang lebih singkat dengan suatu strategi tertentu dari pada
strategi yang lain, maka strategi itu efisien. Kalau kemampuan mentransfer informasi atau skill yang
dipelajari lebih besar dicapai melalui suatu strategi tertentu dibandingkan strategi yang lain, maka
strategi tersebut lebih efektif untuk pencapaian tujuan.
  
3. Kriteria lain :
Pertimbangan lain yang cukup penting dalam penentuan strategi maupun metode adalah tingkat
keterlibatan siswa. (Ely. P. 186). Strategi inquiry biasanya memberikan tantangan yang lebih intensif
dalam hal keterlibatan siswa. Sedangkan pada strategi ekspository siswa cenderung lebih pasif.
Biasanya guru tidak secara murni menggunakan ekspository maupun discovery, melainkan
campuran. Guru yang kreatif akan melihat tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dimiliki
siswa, kemudian memilih strategi yang lain efektif dan efisien untuk mencapainya.
PENINGKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR
MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN
KONTEKSTUAL
Thursday, 12. March 2009, 23:34:38

kONTEKSTUAL

Oleh : Khairul Iksan

Abstrak : Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas
dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan
dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa
memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan
dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Kata kunci : Belajar-mengajar, pembelajaran, pembelajaran kontekstual,

I. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal kurikulum, para
guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun kurikulumnya baik, tetapi jika
korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya,maka
kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya. Bila kurikulumnya baik para gurupun
bermutu, namun jika para murid pada umumnya bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin,
maka kedua faktor yang terdahulupun tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu
pendidikan sekarang ini kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa
pemerataan pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada
menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.

Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk memperbaiki mutu
pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam workshop kepada para guru dari
semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun merencanakan memperbaiki penghasilan para guru
di tahun depan atau pada masa-masa yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU
tentang Standar Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru . Hal ini penting sekali, karena
bagaimana mungkin para guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-
tugasnya bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.

Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib membantu usaha-
usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari semua tingkatan
perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan senantiasa meningkatkan
pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu dalam menegakkan disiplin belajar
dan perilaku putra-putrinya.

Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala pendidikan yang
ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid betul-betul bisa
melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya. Selain iu Sekolah Dasar
juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam masyarakat dan dapat
mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan seumur hidup ( Way of
life education ).Hal ini sebagaimana disebutkan dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang berbunyi :

Reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut : Pertama ; penyelenggaraan pendidikan


dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan perberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat , dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan
keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreatifitas
peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan,
dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih
menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta
didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada
peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya dalam rangka membentuk
manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki
kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan
bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah banyak
berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama masalah relevansi dan
kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan. Upaya tersebut antara lain
berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran, pengadaan buku pelajaran dan buku
bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan
lainnya, pengadaan alat peraga, peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada
sebagian sekolah, dan berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah
dilakukan pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa
belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang terbaik
untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya tersebut yaitu berupa
pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan pendekatan atau strategi
pembelajaran.

Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi Guru Sekolah
Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana pembelajaran yang
aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi dialogis dan berkualitas dengan
guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas pembelajaranpun kurang menarik,
menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa hanya menjadi penerima pasif, kurang
responsif, dan ada kecenderungan untuk menolak berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut
juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten
Pamekasan.

Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses belajar mengajar,
siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan antusiasme untuk belajar. Ada
indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri siswa untuk belajar . Interaksi memang
kadang terjadi, sejauh karena diminta atau ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses
belajar mengajar penulis mencoba berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas,
dengan mengajukan pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada
satu dua orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak
berupaya untuk merespon pertanyaan kami.

Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar mau
berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada usaha
berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam berbagai
pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau VCD yang berisi
penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.

Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau srategi tentang
pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat dalam buku tersebut,
penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu membangun kreatifitas murid agar dapat
menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif. Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis
tertarik untuk menulis sebuah karya tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar
mengajar Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual “

Dari judul di atas nantinya akan muncul sebuah permasalahan. Sebelum penulis merumuskan apa
permasalahan yang mungkin muncul pada karya tulis ini, terlebih dahulu akan dikemukakan apa
yang dimaksud dengan masalah.

“Masalah” adalah sesuatu yang dipertanyakan dan sangat penting untuk dipecahkan (Khairul
Iksan, 1991), atau dengan kata lain masalah adalah suatu keadaan yang menimbulkan pertanyaan
dalam diri kita tentang bagaimana keadaan suatu kejadian itu timbul yang manakala dibiarkan
akan menimbulkan kesulitan bagi manusia, sehingga masalah itu harus diatasi atau dipecahkan
oleh manusia, karena masalah itu merupakan tantangan dan rintangan bagi manusia.

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :

“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi Pembelajaran


Kontekstual ?

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :

“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi Pembelajaran


Kontekstual ?

A. KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

1. MAKNA BELAJAR DAN MENGAJAR

Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila keduanya telah
digerakkan secara sadar dan bertujuan, maka rangkaian interaksi belajar-mengajar akan segera
terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah tersebut untuk dibahas.

A. Belajar

Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan pengetahuan.
Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi sebagian orang di negeri ini.
Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses penyampaian pengetahuan atau
keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.

Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial, terlalu sempit, dan
menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab itu, pandangan tersebut perlu
diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga ruang lingkup substansi belajar tidak hanya
mencakup pengetahuan, tetapi juga keterampilan, nilai dan sikap.

Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar, berikut ini kami
kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh Drs.M.Ngalim Purwanto.MP
(1990).

a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar berhubungan dengan
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak
dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-
keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”

b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila suatu situasi
stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu
sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap perubahan
yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau
pengalaman.”

d) Witherington,dalam buku Educational Psychology. “ Belajar adalah suatu perubahan didalam


kepribadian yan menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan,
sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu pengertian.”

Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen
yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :

a)Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah
kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku
yang lebih buruk.

b)Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap
sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.

c)Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir
daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam periode waktu itu berlangsung
sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode
yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita
harus mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi,
kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya
berlangsung sementara.

d)Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek
kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu
masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.

B.Mengajar

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang sebagai proses
penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap belajar seperti itu, maka
“mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian atau penyampaian pengetahuan.
Pandangan demikian membawa konsekuensi logis terhadap situasi belajar –mengajar yang
diwujudkan oleh guru, yakni proses belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat
teacher-centered. Pengajaran menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada
belajar. Guru berperan sebagai pemberi informasi sebanyak-banyaknya kepada para siswa
(information givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar
yang digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat
dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai satu-satunya
sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif, kedaulatan
merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak dididik untuk
berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk mengembangkan
kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang perubahan-
perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam hitungan detik seperti sekarang ini. Hal
ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena dengan penerapan konsep mengajar semacam itu,
siswa-siswa tidak dididik untuk belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar
kelak siswa-siswa menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang sebagai upaya
atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat siswa-siswanya belajar. Dalam hal
ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswanya, dan sebaliknya para siswa menjadi
pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif. Dengan cara ini interaksi belajar mengajar
dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada
kontinum pengajaran yang lebih bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang
menggelitik kita selaku guru yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita
yang terlanjur telah menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah
student-centered ?
2. MAKNA PEMBELAJARAN

Istilah pembelajaran mengundang berbagai kontroversi diberbagai kalangan pakar pendidikan,


terutama di antara guru-guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh demikian luasnya ruang lingkup
pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar atau pembelajarpun bukan hanya siswa dan
mahasiswa, tetapi juga peserta penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat),
kursus, seminar, diskusi panel, symposium, dan bahkan siapa saja yang berupaya membelajarkan
diri sendiri.

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses membelajarkan subyek
didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis
agar subyek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan
efisien (Depdiknas,Model pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran
dianggap sebagai suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang
terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode
pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran,
dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap sebagai suatu proses,
maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat
siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester,
dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya
antara lain alat peraga, dan alat-alat evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup
kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi
pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat
peraga yang akan digunakan.

Setelah persiapan tersebut, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan mengacu


pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran,
struktur dan dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh
pendekatan atau strategi dan meode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang
penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya
terhadap siswa. Jadi semuanya itu akan menentukan terhadap struktur pembelajaran.

B. TINJAUAN TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

1. LATAR BELAKANG

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran bermula dari
pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori
kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa.
Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa
akan belajar dengan baik bilamana apa yang dipelajari oleh mereka berhubungan dengan apa
yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam
proses belajar di sekolah. Diantara pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :

1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri
pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.

2. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.

3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar

4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti

5. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat

6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi
pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif
dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa
menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka
lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-
ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan
sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai
sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar. Untuk itu,
perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang
tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme berkembang. Dasarnya,
pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi
sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar
yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami, bukan menghafal.
Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antarapengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya
(Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan
(Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).
Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer, berubah, dan
tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada. Pengetahuan tidak pasti
dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan
mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali makna, bukan memindahkan
pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia berfungsi sebagai alat untuk
melakukan interpretasi sehingga muncul makna yang unik.

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di
dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai
tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat
tangga tersebut.

Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun pemahamannya sendiri dari
pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui
pengalaman-pengalaman belajar bermakna ( akomodasi ). Siswa diharapkan mampu
mempraktekkan pengetahuan / pengalaman yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan.
Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut. Dengan demikian, siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan yang dipelajari .Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada
lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi
miliknya sendiri. Teori konsruktivis memandang siswa secara terus-menerus memeriksa
informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-
aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam
pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif, maka strategi
konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang berpusat pada siswa ( Student centered
instruction ). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah
membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan
memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.

Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori konstruktivistik dalam
praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah sebagai berikut :

a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.

c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.

d. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan budaya.


e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.

Dalam pandangan konstrukivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan karena


kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan pembelajaran konstruktivistik
menekankan pada penciptaan pemahaman, yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif
dalam konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak pandangan
behavioristik.

2. PENGERTIAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah definisi atau pengertian
tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi beragam. Namun mereka
bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang mendorong
pembelajar untuk membangun keterkaitan, independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa
yang dipelajari dengan realitas, lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini
(Moh.Imam Farisi,2005).

Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa sumber, yang
dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan penerapannya dalam KBK “.

1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat
makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu, dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya,
dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui
kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan
yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/
merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.

2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat,


memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar
sekolah dan diluar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.
Pembelajaran kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan
dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan peranan dan tanggung
jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota masyarakat, siswa, dan selaku pekerja.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer
pengetahuan melalui disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan
informasi dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.

3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang
membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa
sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan
cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat pengajaran
dalam berbagai konteks kehidupan siswa, menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan
pula kelompok belajar yang bebas.

3. DELAPAN KOMPONEN UTAMA DALAM SISTEM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur
diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat
belajar sambil berbuat ( learning by doing ).
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa membuat
hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata
sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.
Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan pekerjaan yang
signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan
penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang sifatnya nyata.
Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara
efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi
dan saling berkomunikasi.
Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat
berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat menganalsis, membuat sintetis,
memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan buki-bukti.
Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara
pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi
dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa
menghormati temannya dan juga orang dewasa.
Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standard
yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa untuk mencapainya. Guru
memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut ” excellence “.
Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa menggunakan
pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya,
siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran
sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain
sebuah mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.

4. MAKSUD KONTEKS

Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan
penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan
mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan
diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang
dimaksud konteks itu ?

Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu :


Konteks tujuan ( tujuan apa yang akan dicapai ? ).
Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )
Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )
Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )
Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )
Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )
Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)
Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep atau
pengetahuan baru ? )
Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? )

5. MENGAPA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa
yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang
terjadi di kelas-kelas sekolah kita!

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam
konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka,
dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya
nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal
untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya
menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya,
guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota
kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan
sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan
pendekatan kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi
pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan
lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah
kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan yang berkenaan dengan
pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.

6. KECENDERUNGAN PEMIKIRAN TENTANG BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN


KONTEKSTUAL

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang belajar sebagai
berikut.

a. Proses Belajar

· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak
mereka sendiri.

· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan
baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.

· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subject matter).

· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah,
tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

· Manusia mempunya tingkatan yang berbeda dalam menyilapi situasi baru.

· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring
perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami,
strategi belajar yang salah dan terus menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang
pada akhirnya mempengaruhi cara orang berprilaku.

· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dcengan ide-ide.

Transfer Belajar
· Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".

· Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi
sedikit.

· Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.

Siswa sebagai pembelajar

· Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak
mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.

· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi
untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.

· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah
diketahui.

· Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.

Pentingnya lingkungan belajar

Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting
didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja dan berkarya , guru mengarahkan".

Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru
mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.

Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang
benar.

Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.


7. MOTTO

STUDENTS LEARN BEST BY ACTIVELY CONSTRUCTING THEIR OWN


UNDERSTANDING (CTL Academy Fellow, 1999) (Cara belajar terbaik adalah siswa
mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya).

8. KATA-KATA KUNCI PEMBELAJARAN CTL


REAL WORLD LEARNING
MENGUTAMAKAN PENGALAMAN NYATA
BERPIKIR TINGKAT TINGGI
BERPUSAT PADA SISWA
SISWA AKTIF, KRITIS, DAN KREATIF
PENGETAHUAN BERMAKNA DALAM KEHIDUPAN
DEKAT DENGAN KEHIDUPAN NYATA
PERUBAHAN PRILAKU
SISWA PRAKTEK BUKAN MENGHAFAL
LEARNING BUKAN TEACHING
PENDIDIKAN (EDUCATION) BUKAN PENGAJARAN(INSTRUCTION)
PEMBENTUKAN 'MANUSIA'
MEMECAHKAN MASALAH
SISWA 'AKTING' GURU MENGARAHKAN
HASIL BELAJAR DIUKUR DENGAN BERBAGAI CARA BUKAN HANYA DENGAN
TEST

9.STRATEGI PENGAJARAN YANG BERASOSIASI DENGAN CTL


CBSA
PENDEKATAN PROSES
LIFDE SKILLS EDUCATION
AUTHENTIC INSTRUCTION
INQUIRY-BASED LEARNING
PROBLEM-BASED LEARNING
COOPERATIVE-LEARNING
SERVICE LEARNING

10.LIMA ELEMEN BELAJAR YANG KONSTRUKTIVISTIK

Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek
pembelajaran konstektual.
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (1) konsep
sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan
(validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.

11.Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kontekstual

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk
mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat
permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa
untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan
siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan
mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara
lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan
kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan
berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh
pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan
aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar
kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan
interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari
tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.
4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit
atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan
bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan
menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual
harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun
refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses
pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus
untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara
langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama
juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman
kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan
informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu.
Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk
menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-
bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi,
dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan
sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka
memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang
lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan
penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh,
siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini
merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya
belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan
konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai
contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran
sungai di lingkungan siswa.
Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang
lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi
pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat
naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat,
petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari
pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih
tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu
dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru
sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat
memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki
kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang
mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun
tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal
ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan
pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan
juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran
kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan
model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat
perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan
proses belajar siswa.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran terbukti sangat
efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan proses belajar mengajar di
kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan belajar siswa diantaranya :
Melakukan hubungan yang bermakna
Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan
Belajar yang diatur sendiri
Bekerjasama
Berfikir kritis dan kreatif
Memelihara atau mengasuh pribadi siswa
Mencapai standar yang tinggi
Terdeteksi oleh penilaian autentik

B. Saran-saran

Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai
berikut :
Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha untuk
mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran yang ada.
Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada prinsip daya guna
( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan tugas-tugas yang telah direncanakan
dalam persiapan pembelajaran dan atau rencana pembelajaran.
Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat
mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.

JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN


INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 1 P3M STAIN Purwokerto | Subur

Pendekatan Komunikatif
dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Subur *)
Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap dan Ketua Jurusan Pendidikan
*)

(Tarbiyah) STAIN Purwokerto.


Abstract: “Language as a tool, not as a goal” becomes the most basic principal of designing
communicative approach
in the learning of foreign language. In this way, teaching foreign language should make students not only
have receptive
competence but also demonstrative one. The problem that mostly comes is merely related to how to
design and handle
such way in the real teaching. This paper just gives an alternative perspective in applying a
communicative approach in
learning Arabic. Keywords: language, communicative approach, instructional design, and learning
process.
Pendahuluan
Secara sosiolinguistik, bahasa dan masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan,
keduanya
memiliki hubungan mutualistik; antara yang satu dengan yang lain saling ada
ketergantungan,
membutuhkan, dan menguntungkan. Ujaran dan bunyi jelas disebut sebagai bahasa jika
berada dan
digunakan oleh masyarakat. Demikian pula, masyarakat tidak dapat eksis dan bertahan
(survive)
tanpa adanya bahasa yang digunakan sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi di
antara mereka.
Bahkan, lembaga–lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat pun dipertahankan
dan
dikembangkan dengan menggunakan alat yang bernama bahasa. Jadi, tiada aktivitas
dalam
kehidupan ini yang dapat dipisahkan dari bahasa.1
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan dalam menggunakan bahasa sebagai
media
komunikasi merupakan salah satu kunci dan dasar keberhasilan manusia dalam
hidupnya.2 Di sini,
bahasa dipahami dengan sangat praktis dan fungsional sebagai alat komunikasi,
mengingat sebagian
besar waktu hidup manusia digunakan untuk berkomunikasi. Bahkan, komunikasi
mempengaruhi
dan menjadi standar kesehatan seseorang, baik secara sosiologis maupun psikologis. 3
Peran bahasa bagi kehidupan manusia demikian penting sehingga pengajaran bahasa
menuntut
kecermatan, tujuannya agar bahasa bermakna fungsional. Oleh karena itu, terdapat
perbedaan
filosofi antara belajar berbahasa dengan belajar pengetahuan yang lain. Belajar
pengetahuan pada
umumnya, seseorang dituntut untuk mengetahui secara kognitif, afektif, dan psikomotor.
Berbeda
dengan belajar berbahasa (mendengar, membaca, berbicara, dan menulis) yang
merupakan alat
ekspresi dan komunikasi, maka seseorang dituntut untuk belajar mengaplikasikan bahasa
itu sendiri
dalam berekspresi dan berkomunikasi sehari-hari.4 Bahasa bukan hanya dipelajari secara
teoretik,
melainkan dipelajari secara praktis dan fungsional. Dalam pembelajaran berbahasa,
apalah arti
sebuah konsep dan teori, jika tidak pernah dipergunakan/dipraktikkan dalam interaksi
sosial di
masyarakat.
Dalam perspektif tersebut, berlaku teori learning by doing, witing tresno jalaran soko
kulino
(belajar harus dipraktikkan dan dilakukan terus-menerus sehingga menjadi
kebiasaan/malakah).
Tanpa melakukan praktik secara langsung, maka konsep itu bukan lagi dikatakan sebagai
belajar
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 2 P3M STAIN Purwokerto | Subur
berbahasa, melainkan belajar tentang bahasa. Hal tersebut tidak menyentuh
substansi/hakikat belajar
bahasa sebagaimana yang diharapkan. Filosofi di atas menggambarkan bahwa bahasa
merupakan
pengetahuan instrumental yang menuntut penguasaan secara teknis fungsional, artinya
bahwa
belajar bahasa adalah praktik langsung dan upaya pembiasaan.
Pendekatan komunikatif diyakini sebagai salah satu asumsi yang dapat menjadi landasan
tepat
untuk digunakan dalam pembelajaran bahasa asing. Tulisan ini secara khusus membahas
tentang
aplikasi pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan pendekatan komunikatif.
Pendekatan ini
secara sosiolinguistik maupun psikolinguistik lebih sesuai dengan hakikat bahasa,
termasuk bahasa
Arab sebagai bahasa Internasional yang mempunyai karakteristik tersendiri. 5
Pendekatan Komunikatif dan Perkembangannya
Sejarah Perkembangan Pendekatan Komunikatif
Awal mula munculnya pendekatan komunikatif ini dilatari oleh ketidakpuasannya
terhadap
penggunaan metode audio-lingual, yang meski telah berjalan sejak tahun enam puluhan,
tetapi tidak
kunjung memberikan perubahan berupa kemampuan berkomuikasi secara lancar. Teori
yang
dijadikan landasan pun sering dikecam oleh para linguis karena suatu pendekatan aural-
oral atau
metode audio-lingual didasarkan atas teori tata bahasa strukturalisme dan teori ilmu jiwa
behaviorisme.6
Noam Chomsky, seorang pencetus teori tata bahasa transformasi-generatif dari Amerika
Serikat
sangat mengecam linguistik struktural karena teori ini tidak mampu menunjukan
hubunganhubungan
yang berkaitan dengan makna, dan tidak mampu menunjukkan hubungan antarkalimat.
Teori ini hanya menyentuh struktur luar dan kalimat-kalimat yang pola dan strukturnya
sama, bisa
memiliki makna yang berbeda.7 Chomsky juga mengkritik teori behaviorisme untuk
landasan
pembelajaran bahasa karena kemampuan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor
dari luar
(eksternal), melainkan juga faktor dari dalam (internal). Sebenarnya, setiap manusia
memiliki
kemampuan belajar bahasa yang dibawa sejak lahir, yang biasa disebut dengan jihaz
iktisab allughah
atau Language Acquisition Devic (LAD). Di samping itu, Chomsky mempersoalkan
relevansi dari aktivitas peniruan, pengulangan, rangsangan, dan penguatan yang menjadi
fokus
perhatian dari behaviorisme.
Kritikan yang disampaikan Chomsky ini akhirnya mendorong para ahli dan praktisi
pengajaran
bahasa untuk melakukan evaluasi terhadap konsep-konsep pembelajaran bahasa yang
berlaku
selama ini. Oleh karena itu, bersamaan dengan lahirnya teori kognitivisme dalam
psikologi, teori
transformasi- generatif dalam linguistik, dan teori LAD dalam psikolinguistik, maka
muncullah
berbagai pendekatan dan metode baru dalam pengajaran bahasa, antara lain: metode
pemahaman
dan pemecahan kode-kode bahasa (cognitive code learning), metode guru diam (silent
way), metode
belajar bahasa pemahaman (community language learning), pendekatan alamiah (the
natural
approach), dan yang terakhir adalah pendekatan komunikatif (the communicative
approach).8
Makna Pendekatan Komunikatif
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 3 P3M STAIN Purwokerto | Subur
Pendekatan (approach) pengajaran bahasa sering dipahami sebagai sekumpulan asumsi
mengenai hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan belajar bahasa. Kebenarannya tentu
bersifat
umum dan aksiomatik.9 Pendekatan ini kemudian diterjemahkan secara lebih operasional
dan
melahirkan berbagai metode, teknik, dan strategi untuk menguasai bahasa.
Di antara pendekatan bahasa tersebut, pendekatan komunikatif mempunyai karakteristik
tersendiri, dan menurut penulis pendekatan ini paling baik untuk pengajaran bahasa
asing.
Pendekatan komunikatif mengandaikan bahwa hakikat bahasa adalah medium
komunikasi—yang
berupa rumus-rumus suara atau pernyataan—antarindividu dalam masyarakat, dalam
rangka
mentransfer berbagai pikiran, tanggapan, maupun perasaan.10 Pendekatan ini lebih
menekankan
pada fungsionalisasi bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, aktivitas
pengajaran lebih
menonjolkan aspek latihan dan pembiasaan berekspresi, kemampuan memahami, dan
memberi
tanggapan terhadap apa yang diucapkan orang lain.11
Dengan pendekatan komunikatif tersebut, orang yang belajar bahasa harus memperoleh
latihanlatihan
mengenali bunyi secara baik, membedakan satu bunyi dengan bunyi yang lainnya,
membedakan satu kata dengan kata lainnya, suatu kalimat dengan kalimat lainnya, dan
mengenali
penanda gramatika satu dengan lainnya (gramatical devides) seperti urutan kata,
imbuhan, dan
intonasi.12 Ketika komunikasi itu menggunakan bahasa tulisan, maka target utamanya
adalah
kemampuan menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan, dan kemampuan
memahami
apa yang dibaca. Kemampuan ini dapat diperoleh jika tahap pengenalan dan penggunaan
secara
lisan telah dapat dikuasai terlebih dahulu. Dengan kata lain, latihan-latihan membaca
(qira’ah) dan
menulis (kitabah) hendaknya merupakan refleksi dan reproduksi dari latihan-latihan
mendengar
(istima’) dan mengucapkan (kalam).13
Muhbib Abdul Wahab mengatakan bahwa pendekatan komunikatif ini memiliki tiga
tujuan,
yakni (1) mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berbicara dengan
menggunakan bahasa
Arab, (2) mengembangkan perbendaharaan bahasa dan fungsionalisasi pengetahuan
kebahasaan
mereka dalam bertanya jawab secara alami dalam situasi yang bervariasi, dan (3)
mengembangkan
kemampuan dalam berkreasi dan berkomunikasi lisan secara efektif dengan sesamanya
dan dengan
penutur bahasa Arab.14 Bahkan, menurut Mulyanto Sumardi, pendekatan komunikatif ini
sangat
cocok digunakan untuk kelas-kelas pada sekolah di Indonesia karena tidak menuntut
teknologi yang
canggih15
Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif
Terdapat beberapa kekhasan dalam pendekatan komunikatif ini, antara lain sebagai
berikut.
a. Tujuan pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan pelajar untuk
berkomunikasi secara langsung dengan menggunakan bahasa target dalam konteks
komunikasi
yang sesungguhnya atau dalam situasi kehidupan yang nyata (real). Tujuan pendekatan
komunikatif
ini tidak diarahkan untuk penguasaan gramatika atau kemampuan membuat kalimat
gramatikal
yang bersifat pasif-teoretik saja, melainkan pada kemampuan memproduk ujaran yang
sesuai
dengan konteks.
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 4 P3M STAIN Purwokerto | Subur
b. Hal yang mendasar dari pendekatan komunikatif ini adalah kebermaknaan dari setiap
bentuk bahasa yang dipelajari dan keterkaitan bentuk, ragam, dan makna bahasa dengan
situasi dan
konteks berbahasa itu.
c. Dalam proses belajar-mengajar siswa bertindak sebagai komunikator yang berperan
aktif
dalam aktivitas komunikasi yang sesungguhnya, sedangkan pengajar memprakarsai dan
merancang
berbagai pola interaksi antarsiswa,dan berperan sebagai fasilitator.
d. Aktivitas dalam kelas diwarnai secara nyata dan dominan oleh kegiatan–kegiatan
komunikasi, bukan latihan-latihan manipulatif dan peniruan-peniruan tanpa makna.
e. Materi yang disajikan bervariasi, tidak hanya mengandalkan buku teks, tetapi lebih
ditekankan pada bahan-bahan otentik (berita koran, menu, iklan, dan sebagainya). Dari
bahan-bahan
tersebut, pemerolehan bahasa pelajar diharapkan meliputi bentuk, makna, fungsi, dan
konteks sosial.
f. Penggunaan bahasa pertama dalam kelas tidak dilarang sama sekali, tetapi alangkah
baiknya
dikurangi.
g. Dalam pendekatan komunikatif, kesiapan siswa ditoleransi untuk mendorong
keberanian
berkomunikasi.
h. Evaluasi dalam pendekatan komunikatif ditekankan pada kemampuan menggunakan
bahasa dalam kehidupan nyata, bukan pada penguasaan struktur bahasa atau gramatika. 16
Prinsip-prinsip dalam Penggunaan Pendekatan Komunikatif
Savignon (1983), seperti dikutip Ahmad Fuad Efendy,17 menegaskan bahwa terdapat
beberapa
prinsip dasar (asumsi) yang menjadi landasan pendekatan komunikatif dan sekaligus
membandingkannya dengan prinsip yang dijadikan landasan metode audio-lingual. Hasil
pemetaan
perbedaannya tertuang seperti tabel di bawah ini.
Persiapan Pembelajaran dengan Pendekatan Komunikatif
Dalam pendekatan komunikatif ini, peran konteks diperluas, yakni dengan
memperhatikan
unsur-unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya suatu komunikasi yang baik.
Unsur-unsur
yang dimaksud antara lain; identifikasi partisipan, tujuan komunikasi, latar, pola
interaksi, dialek,
aktivitas-aktivitas kejadian, dan sebagainya.18 Penerapan pendekatan komunikatif
menurut Djiwandono
(1996) berdampak terhadap beberapa segi penyelenggaraannya, terutama jenis isi dan
wacana yang digunakan, kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, serta bentuk
tugas, soal dan
pertanyaannya. Semua itu harus ditentukan atas dasar ciri komunikatif, yakni hubungan
dan
kesesuaiannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi senyatanya. 19
Aplikasi Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan pendekatan komunikatif
pembelajaran bahasa Arab. Pertama, pendekatan ini harus dapat diterjemahakan dalam
bentuk
desain silabus yang memadai. Kedua, pendekatan ini harus diaplikasikan dengan
menggunakan
metode dan strategi pembelajaran yang mendukung.
Desain Silabus Bahasa Arab Berbasis Pendekatan Komunikatif
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 5 P3M STAIN Purwokerto | Subur
Silabus adalah garis-garis besar program pengajaran yang diterjemahkan oleh para
pengajar ke
dalam kegiatan belajar-mengajar (dicari dalam buku-buku). Menurut Wilkins, strategi
pembelajaran
bahasa dapat dibedakan menjadi dua tipe, yakni strategi analitik dan sintetik; dan masing
–masing
melahirkan model silabus yang berbeda. Dalam strategi sintetik, unsur-unsur bahasa
(nahwu, sharaf,
dan mufradat) diajarkan secara terpisah-pisah atau sering disebut dengan nazariatul
furu’. Strategi
ini melahirkan model silabus yang struktural, yang membagi unit-unit pelajaran
berdasarkan butirbutir
gramatikal. Silabus ini terdiri dari dua komponen; qawaid (nahwu-sharaf) dan mufradat.
Butirbutir
struktur ini disampaikan berdasarkan prinsip-prinsip kesederhanaan, keterpakaian, dan
tingkat
kesulitan, dan mufradat disajikan berdasarkan kebutuhan untuk menguasai qawa’id.
Sementara itu, strategi analitik melahirkan model silabus semantik yang menargetkan
pemerolehan kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, penyusunannya lebih rumit
daripada silabus
struktural. Setiap unit pelajaran dirancang untuk menampilkan seperangkat keterampilan
berbahasa
tertentu dalam konteks tertentu pula. Silabus semantik ini juga terbagi lagi dalam tiga
tipe, yakni
situasional, fungsional, dan nasional.
Silabus situasional dimaksudkan agar unit pelajaran diorganisasikan berdasarkan situasi
di mana
pemakaian bahasa diperlukan. Penggunaan bahasa berdasarkan konteks menjadi utama,
sedangkan
aspek-aspek lain dari silabus seperti mufradat dan qawa’id dipilih berdasarkan tuntutan
situasi.
Pengorganisasian unit pelajaran juga bisa berbasis tema atau topik (sehingga disebut
silabus
tematik). Setiap tema atau topik bisa mengandung beberapa situasi, seperti tema “al-
Madrasah” bisa
mencakup situasi-situasi antara lain: “Idaratu Raisil Madrasah, Idaratu al-Asatidz, dan
al-
Maktabah.”
Silabus fungsional, dimaksudkan bahwa fungsi bahasa akan menjadi basis
pengorganisasian unit
pelajaran. Aspek-aspek yang lain seperti mufradat dan qawa’id dipilih dan disajikan
berdasarkan
kategori fungsi bahasa. Topik-topik yang dapat dimasukkan dalam silabus ini yaitu
kegiatan
keseharian yang bisa diberi judul semisal at-Tahiyyat (penghormatan), at-Tahanny
(ucapan
selamat), ’Ibarat as Syukur wal I’tidzar (ucapan syukur dan permohonan ma’af), dan
lain-lain.
Silabus jenis fungsional ini sering ditemukan pada buku-buku percakapan atau
muhadasah, di mana
buku-buku tersebut merupakan buku acuan yang secara fungsional menjadi model atau
contohcontoh.
Silabus nasional dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada silabus
situasional dan fungsional. Silabus nasional ini bersifat elektif sekaligus kompilatif.
Kedua model
silabus tersebut menciptakan alternatif yang dipandang sesuai dengan kondisi peserta
didik.
Sebagai pendekatan terbaru, model itu mengakomodasi, mensitesakan, dan merevisi
pendekatan
silabus yang sebelumnya, silabus komunikatif dapat dipandang sebagai alternatif dari
kedua model
silabus yang ada, yakni silabus struktural dan semantik. Silabus komunikatif
mengandaikan bahwa
penguasaan bahasa haruslah mencakup batasan kemampuan minimal yang dimiliki oleh
seseorang
untuk dapat hidup selayaknya di suatu negeri, yang penduduknya menggunakan bahasa
target
sebagai alat komunikasi sehari-hari. Struktur silabus komunikatif hendaknya menjelaskan
empat hal,
yakni: (1) fungsi bahasa (menyampaikan informasi, mengungkapkan gagasan, tanggapan,
dan lainlain);
(2) nosi dan ranah bahasa (tempat, situasi, dan waktu penggunaan bahasa); (3) kegiatan
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 6 P3M STAIN Purwokerto | Subur
berbahasa (menguasai keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis); (4)
tingkat
keterampilan yang diperlukan berisi keterangan tentang tingkat keterampilan para pelajar,
yang
diharapkan ialah melaksanakan fungsi-fungsi bahasa, melakukan kegiatan berbahasa
yang telah
dijelaskan sebelumnya sehingga terjadi komunikasi secara efisien dan wajar. 20
Strategi Pembelajaran Bahasa Arab dengan Pendekatan Komunikatif
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan merupakan komunitas muslim yang
sebenarnya sudah sangat akrab dan familiar dengan terma-terma maupun simbol-simbol
Arab. Hal
ini merupakan modal dan ruang yang sebenarnya cukup kondusif bagi pengembangan
berbahasa
Arab. Akan tetapi, dari beberapa fakta di lapangan, banyak hal yang memprihatinkan dan
tidak
mudah melakukan kegiatan pembelajaran bahasa Arab di tengah mereka, terlebih dengan
pendekatan komunikatif. Artinya, bahwa perlu ada strategi alternatif untuk lebih
membuat
pembelajaran bahasa Arab ini lebih menarik dan memiliki efektivitas yang tinggi.
Di kalangan praktisi pendidikan (guru dan dosen)—yang setiap hari bergelut dengan
kegiatan
pembelajaran, dan senantiasa dituntut untuk adaptif dan responsif dengan perkembangan
yang
sangat cepat dalam bidang pembelajaran—sangat merasakan bahwa tahapan yang paling
berat dari
kehadiran pendekatan yang baru adalah pada tahap penerapan/implementasinya dalam
pembelajaran. Alasannya, penerapan operasional melibatkan aktivitas berbagai unsur
(teori, emosi,
kebiasaan, kondisi anak, media, waktu, dan lain-lain) dalam suatu waktu yang bersamaan.
Meskipun, sebuah pendekatan yang baru diyakini cukup ideal dan sudah ditetapkan
dalam
perangkat kurikulum, tetapi dalam praktik pembelajaran di lapangan tetap saja masih
menggunakan
pendekatan atau model lama. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pendekatan
komunikatif yang
dipahami sebagai pendekatan alternatif, tidak cukup hanya pada tataran teori, tetapi
bagaimana
praktiknya di lapangan menjadi sangat penting.
Ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan komunikatif ini. Setting aplikasi ini tentu dalam pembelajaran
bahasa
Arab. Pertama, dalam proses pembelajaran dengan pendekatan komunikatif, bahasa
sebagai
instrumen untuk komunikasi difungsikan secara maksimal. Di sini, aktivitas belajar
berbahasa yang
bersifat ekspresif menjadi hal yang utama dan pertama untuk dilakukan. Bahkan, menurut
Robert
Lado, sebagaimana dikutip Umar Asasuddin Sokah, hal itu dikenal dengan ‘lima
semboyan
berbahasa. Menurutnya, berbahasa haruslah dimulai dengan menerapkan lima prinsip,
yakni (1)
bahasa adalah ujaran bukan tulisan, (2) bahasa adalah seperangkat kebiasaan, (3) ajarkan
bahasa
bukan sesuatu tentang bahasa, (4) bahasa adalah apa yang dikatakan oleh penutur asli dan
bukan apa
yang dikatakan oleh orang, dan (5) bahasa-bahasa itu berbeda.21 Apa yang dikatakan Lado
tersebut
menggambarkan betapa substansi bahasa itu sendiri adalah berbahasa secara fungsional
atau
berkomunikasi langsung. Strategi yang digunakan adalah metode langsung (direct
method) dan
metode alamiah (natural method).22
Kedua, menurut Lado, belajar hendaknya lebih menekankan pada materi percakapan
karena
materi ini lebih sesuai dengan hakikat pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi.
Metode dan
teknik yang digunakan adalah thariqah sam’iyyah syafahiyah dan metode langsung
dengan
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 7 P3M STAIN Purwokerto | Subur
menekankan latihan pendengaaran dan ucapan. Kondisi lingkungan pelajar menjadi hal
yang sangat
utama dan merupakan hambatan yang paling sering dihadapi pelajar.
Ketiga, topik yang disajikan dalam pembelajaran haruslah topik yang dibutuhkan,
difungsikan,
dan menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-hari. Perlu dihindari materi atau topik
pembelajaran
yang sering tidak konteks dengan kehidupan nyata, yang dialami para pelajar. Oleh
karena itu,
pengajar dituntut untuk kreatif dalam memilih materi yang disajikan.
Keempat, kegiatan pembelajaran diperkuat dengan latihan-latihan penggunaan bahasa
yang
produktif. Latihan-latihan ini dapat berupa latihan pengucapan vokal dan konsonan,
penggunaan
tekanan kata, tekanan kalimat, tinggi rendahnya nada (intonasi), persendian (juncture),
pemilian kata
yang tepat (diction), penggunaan kalimat atau ungkapan untuk situasi yang tepat, dan
penyusunan
kalimat menjadi paragraf untuk kemudian dikembangkan menjadi uraian buah pikiran
yang logis
dan bulat.23
Kelima, guru hendaknya lebih mengembangkan sikap fasilitatif dan motivatif dalam
rangka
menciptakan sikap inisiatif pada peserta didik. Kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam
latihan
hendaknya disikapi dengan baik agar tidak menimbulkan traumatik sekecil apapun. Hal
ini berarti
murid diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa takut salah.
Keenam, jumlah peserta hendaknya tidak terlalu banyak untuk memudahkan kontrol dan
menggunakan pola berpasang-pasangan. Sekali lagi, jumlah peserta dalam setiap kelas
berkorelasi
dengan intensitas bimbingan guru dan kesempatan peserta didik untuk aktif dalam proses
pembelajaran.
Ketujuh, banyak tugas dan latihan yang diberikan kepada para murid dalam rangka
menciptakan
rasa tanggung jawab. Tugas tersebut juga harus memperhitungkan pendekatan
komunikatif dalam
artian fungsional.
Kedelapan, lingkungan diciptakan untuk mendukung suasana penguatan pembelajaran
bahasa
tersebut dengan membuat tata ruang yang tepat dan kondusif, serta adanya simbol-simbol
bahasa
(al-ma’mal al-’alamy). Pembelajaran bahasa sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang
ada di sekitar
penutur bahasa tersebut seperti pendengar, topik pembicaraan, kode yang digunakan,
lokasi
kejadian, dan amanat atau pesan pembicaraan.24 Menurut Heidi Dulay dkk., seperti
dikutip
Sumarsono, terdapat empat lingkungan makro yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran
bahasa, yakni: (1) kealamiahan bahasa yang didengar, (2) ketersediaan acuan untuk
memperjelas
makna, (3) peranan pembelajar dalam berkomunikasi, dan (4) siapa yang menjadi model
bahasa
sasaran.25
Kesembilan, perlu adanya organisasi yang dibentuk dan dipimpin oleh leader yang
memiliki
kemampuan leadership unggul, memiliki apresiasi, dan komitmen yang tinggi tentang
kebahasaan.
Bahasa membutuhkan model dan figur yang konsisten untuk membangun budaya
berbahasa yang
efektif.
Kesepuluh, waktu yang dibutuhkan relatif lebih banyak dan lama karena digunakan
dalam
kegiatan praktik. Untuk meluaskan waktu dalam belajar bahasa, maka guru atau sekolah
dapat
memanfaatkan kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai arena untuk praktik
bahasa.
Penutup
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 8 P3M STAIN Purwokerto | Subur
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil tiga kesimpulan. Pertama,
berbahasa
yang baik dan komunikatif bagi masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung
eksistensi dan
kesuksesan dalam hidupnya. Kedua, pendekatan komunikatif dipahami sebagai
pendekatan yang
paling tepat karena lebih sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa. Ketiga, pembelajaran
dengan
pendekatan komunikatif ini memerlukan lingkungan yang kondusif, model yang
otoritatif,
komitmen yang tinggi, dan kontinuitas.
Endnote
1 Sunahrowi, “Variasi dan Register Bahasa dalam Pengajaran Sosiolinguistik”, dalam Jurnal Insania Vol.
12, No.. 1
Januari-April 2007 hal. 81.
2 Muhbib Abdul Wahid, “Teknik dan Model Penyajian Materi Bahasa Arab”, dalam Makalah disampaikan

dalam
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2005) di Jakarta, hal. 1, baca juga tentang bahasa
yang banyak
digunakan pada abad komunikasi adalah bahasa lisan dalam Abdul Muin, Analisis Kontrastif Antara
Bahasa Arab dan
Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka al-Husna, 2004), hal. 3-5.
3 Moh Roqib, “Akselerasi Kemampuan Bahasa dalam Kompetisi Global”, dalam Makalah disampaikan

dalam
Seminar EASA pada 29 Maret 2005 di STAIN Purwokerto, hal. 1, baca juga, Tayar Yusuf dan Syaeful
Anwar, Metodologi
Pengajaran Agama dan Bahasa (Jakarta; Rajawali, 1995), hal. 185-189.
4 Syaifullah Kamalie, “Menciptakan Lingkungan untuk Belajar Bahasa Arab”, dalam Makalah disampaikan

dalam
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2005 di Jakarta, hal. 1.
5 Menurut ahli bahasa, bahasa Arab memiliki standar ketinggian dan keelokan linguistik tertinggi yang

tiada taranya,
baik oleh pengamat Barat maupun orang Arab muslim sendiri. Bahasa Arab juga merupakan bahasa
yang terluas
kandungannya dengan deskripsi dan pemaparan yang sangat mendetail dan mendalam. Lihat, Azhar
Arsyad, Bahasa
Arab dan Metode Pengajarannya; Beberapa Pokok Pikiran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 6-7.
6 Ahmad Fuad Efendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Malang: Misykat, 2004), hal. 51. Hal yang

sama dapat
dilihat pula pada Ahmad Fuad Efendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Pendekatan, Metode, dan
Teknik) (Malang:
Misykat, 2005), hal. 52.
7 Mulyanto Sumardi, Pengembangan Pemikiran dalam Pengajaran Bahasa (Jakarta: Fakultas Tarbiyah

IAIN Syarif
Hidayatullah, 1989), hal. 1.
8 Ahmad Fuad Efendy, Metodologi. hal. 52.

9 Tim Penyusun, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada PTAIN/IAIN (Jakarta: Proyek Pengembangan

Sistym
Pendidikan Agama, 1976), hal. 85.
10 Muhammad Aly al-Khauly, Asalib Tabrisil Lughah al-Arabiyah (Riyadl: Mathabi’ al-Farazdaq Wa al-

Tijarah, al-
Mamlakah al-Saudiyah, 1982), hal. 15.
11 Tim Penyusun, Pedoman. hal. 85.

12 Ibid.

13 Ibid. hal. 86.

14 Muhbib Abdul Wahab, “Teknik dan Model Penyajian Materi Bahasa Arab”, dalam Makalah disampaikan

pada
Diklat Guru Bahasa Arab Departemen Agama tahun 2004 di Jakarta, hal. 3.
15 Mulyanto Sumardi, Pengembangan, hal. 1.

16 Ahmad Fuad Efendy, Metodologi, hal. 55.

17Ibid.

18 E. Atmadi, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 162.

19 R. Widharyanto, “Perkembangan Pendekatan Bahasa” dalam E. Atmadi 2000, Transformasi, hal. 162.

20 Ahmad Fuad Efendy , Metodologi, hal. 76.

21 Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggris (Surabaya: Nur Cahaya,

1982), hal.
35.
22 Moh. Roqib, “Akselerasi”, hal. 5.

23 Tim Penyusun, Pedoman Pengajaran, hal. 87.


JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF PENDIDIKAN
INSANIA|Vol. 13|No. 2|Mei-Ags 2008|214-227 9 P3M STAIN Purwokerto | Subur
24 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Pengantar Linguistik Awal (Jakarta: Rineka Cipta 1994), hal. 18.
25Sumarsono, “Peranan Guru Sebagai Lingkungan Belajar Bahasa Kedua”, dalam
http://www.ialf.edu/bipa/april
2000/perananguru.html.
Daftar Pustaka
Ainin, M., dkk. 2006. Evaluasi Dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat.
Ali al-Khouly, Muhammad. 1982. Asalib Tabrisil Lughah al-Arabiyah. Riyadl: Mathabi’ al-
Farazdaq wa al-
Tijarah, al-Mamlakah al-Saudiyah.
Arsyad, Azhar. 2003. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya: Beberapa Pokok Pikiran.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Asrori, Imam. 2004. Sintaksis Bahasa Arab: Frasa, Klausa, Kalimat. Malang: Misykat
Aziz, Furqanul dan Chaedar al-Wasliyah. Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek.
Bandung;
Remaja Rosdakarya.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1994. Pengantar Linguistik Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Efendy, Ahmad Fuad. 2004. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat.
. 2005. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab (Pendekatan Metode dan Teknik). Malang: Misykat
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kamalie, Saifullah. 2004. Menciptakan Lingkungan Untuk Belajar Bahasa Arab, Jakarta: Balai
Diklat
Departemen Agama.
Roqib, Muhammad. 2005. “Akselerasi Kemampuan Bahasa dalam Kompetisi Global”, dalam
Makalah
Seminar EASA di Purwokerto pada 29 Maret 2005.
Sokah, Umar Asasuddin. 1982. Problematika Pengajaran Bahasa Arab dan Inggris. Surabaya:
Nur Cahaya.
Sumardi, Mulyanto. 1989. Pengembangan Pemikiran dalam Pengajaran Bahasa. Jakarta:
Fakultas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah.
Sumarsono. 2000. “Peranan Guru Sebagai Lingkungan Belajar Bahasa Kedua”, dalam
http;//www.ialf.edu/bipa/april 2000/perananguru.html.
Supriyana, Agus. 1998. Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Depag.
Tim Penyusun. 1976. Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada PTAIN/IAIN. Jakarta: Proyek
Pengembangan Sistem Pendidikan Agama.
Tadi, E. dan Y. Setyaningsih. 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga.
Yogyakarta:
Kanisius.
Umam, Khotibul. 1980. Aspek-Aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab. Bandung:
PT al-
Ma’arif.
Wahab, Abdul Muhbib. 2005. “Teknik dan Model Penyajian Materi Bahasa Arab” dalam Diklat
Guru Bahasa
Arab oleh Departemen Agama di Jakarta.
Zaenuddin, Rodliyah. 2005. Pembelajaran Bahasa Arab (Metode dan Strategi Alternatif).
Cirebon: STAIN.
PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM
PEMBELAJARAN PROSA
Pendahuluan

Pendidikan sebagai institusi formal merupakan lingkungan yang kondusif dalam


menumbuhkembangkan potensi kreatif siswa. Agar dapat tercipta kondisi yang demikian,
pelaksanaan proses belajar-mengajar sedapat mungkin dipusatkan pada aktivitas belajar siswa
yang secara langsung mengalami keterlibatan internal dan emosional dalam proses belajar-
mengajar.

Pengajaran sastra berusaha mendekatkan siswa kepada sastra, berusaha menumbuhkan rasa peka
dan rasa cinta kepada sastra sebagai suatu cipta seni. Dengan usaha ini, diharapkan pengajaran
sastra dapat membantu menumbuhkan keseimbangan antara perkembangan kejiwaan anak,
sehingga terbentuk suatu kebulatan pribadi yang utuh. Rahmanto mengemukakan bahwa
“Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat
manfaat, yaitu: membantu keterampilan membaca, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak ((1998:16).

Pernyataan di atas sejalan dengan GBPP bahasa Indonesia ada bertuliskan: “Siswa mampu
menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan berbahasa”.

Memaknai isi GBPP, cerpen adalah salah satu bentuk sastra yang perlu diapresiasi oleh siswa
SMP. Apresiasi cerpen di kalangan terpelajar merupakan suatu yang kehadirannya tidak boleh
diabaikan. Hal ini terlihat dalam buku ajar siswa SMP pada standar kompetensi siswa mampu
mengapresiasi puisi, cerpen, dan karya sastra Melayu Klasik

Pendekatan komunikatif perlu dipahami oleh setiap guru bahasa dan sastra Indonesia agar dapat
menyusun perencanaan pengajaran, melaksanakan penyajian materi pelajaran, mengevaluasi
hasil belajar dan proses pembelajaran dengan baik.

Pendekatan komunikatif dipandang sebagai pendekatan yang unggul dalam pengajaran bahasa.
Keunggulan ini antara lain karena berdasarkan pada pandangan ilmu bahasa dan teori belajar
bahasa yang mengutamakan pemakaian bahasa sesuai dengan fungsinya. Di samping itu, tujuan
pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif adalah membentuk komunikatif siswa.
Artinya, melalui berbagai kegiatan pembelajaran diharapkan siswa menguasai kemampuan
berkomunikasi yakni kemampuan menggunakan bentuk-bentuk tuturan sesuai dengan fungsi-
fungsi bahasa dalam proses pemahaman maupun penggunaan.

Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan memfokuskan uraian pada pendekatan
komunikatif dengan judul Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Prosa (Cerita).

B. Kajian Teori

1. Hakikat Pendekatan Komunikatif

Munculnya istilah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa diilhami oleh suatu teori
yang memandang bahasa sebagai alat berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut, maka tujuan
pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh
Hymes (11972) disebut kompetensi komunikatif.

Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa muncul pada tahun 1970-an sebagai reaksi
terhadap empat aliran pembelajaran bahasa yang dianut sebelumnya (grammar translation
method, direct method, audiolingual method, dan cognitive learning theory). Keempat metode itu
memiliki ciri yang sama iaitu pembelajaran bahasa dalam bidang struktur bahasa yang disebut
pembelajaran bahasa struktural atau pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan
struktural.
Pendekatan struktural menitikberatkan pengajaran bahasa pada pengetahuan tentang kaidah
bahasa (tatabahasa) yang biasanya disusun dari struktur yang sederhana ke struktur yang
kompleks. Para pembelajar mula-mula diperkenalkan bunyi-bunyi, bnetuk-bentuk kata, struktur
kalimat, kemudian makna unsur-unsur tersebut.

Kelemahan pendekatan struktural ialah tidak pernah memberikan kesempatan kepada pembelajar
untuk berlatih menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi yang nyata yang sesungguhnya
lebih urgen dimiliki oleh para siswa ketimbang pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa.

Kelemahan dari pendekatan struktural itulah mengilhami lahirnya pendekatan komunikatif yang
menitikberatkan perhatian pada penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi. Pendekatan
komunikatif memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa. Dengan kata lain,
bahasa untuk tujuan tertentu dalam kegiatan berkomunikasi.

Selanjutnya, untuk memahami hakikat pendekatan komunikatif, menurut Syafi’ie (1998) ada
delapan hal yang perlu diperhatikan, iaitu:

a. Teori Bahasa

Pendekatan komunikatif berdasarkan pada teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya
bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan makna. Teori ini lebih memberi
tekanan pada dimensi semantik dan komunikatif. Oleh karena itu, dalam pembelajaran bahasa
yang berdasarkan pendekatan komunikatif yang perlu ditonjolkan ialah interaksi dan komunikasi
bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.

b. Teori Belajar

Pembelajar dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dan dituntut untuk
menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini ialah
teori pemerolehan bahasa kedua secara alami. Teori ini beranggapan bahwa proses belajar
bahasa lebih efektif apabila bahasa diajarkan secara informal melalui komunikasi langsung di
dalam bahasa yang sedang dipelajari.

c. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan tujuan yang lebih
mencerminkan kebutuhan siswa iaitu kebutuhan berkomunikasi, maka tujuan umum
pembelajaran bahasa ialah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi
(kompetensi dan performansi).

d. Silabus

Silabus disusun searah dengan tujuan pembelajaran, yang harus dipehatikan ialah kebutuhan para
pembelajar. Tujuan-tujuan yang dirumuskan dan materi yang diilih harus sesuai dengan
kebutuhan siswa.
e. Tipe Kegiatan

Tipe kegiatan komunikasi dapat berupa kegiatan tukar informasi, negosiasi makna, atau kegiatan
berinteraksi.

f. Peranan Guru

guru berperan sebagai fasilitator, konselor, dan manajer proses belajar.

g. Peranan Siswa

Peranan siswa sebagai pemberi dan penerima, sebagai negosiator dan interaktor. Di samping itu,
pelatihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikatif pembelajar. Dengan
demikian, siswa tidak hanya menguasai struktur bahasa, tetapi menguasai pula bentuk dan
maknanya dalam kaitan dengan konteks pemakaiannya.

h. Peranan Materi

Materi disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung usaha meningkatkan kemahiran
berbahasa dalam tindak komunikasi yang nyata. Materi berfungsi sebagai sarana yang sangat
penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.

2. Prosedur Pembelajaran Komunikatif

Berkenaan dengan prosedur pembelajaran dalam kelas bahasa yang berdasarkan pendekatan
komunikatif, Finochiaro dan Brumfit (dalam Azies, 1996), menawarkan garis besar kegiatan
pembelajaran untuk tingkat sekolah menengah pertama. Garis besar tersebut sebagai berikut.

a. Penyajian Dialog Singkat

Penyajian ini didahului dengan pemberian motivasi dengan cara menghubungkan situasi dialog
dengan pengalaman pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

b. Pelatihan Lisan Dialog yang Disajikan

Pelatihan ini diawali dengan contoh yang dilakukan oleh guru. Para siswa mengulang contoh
lisan gurunya, baik secara bersama-sama, setengah, kelompok kecil, atau secara individu.

c. Tanya-Jawab

Hal ini dilakukan dua fase. Pertama, tanya-jawab yang berdasarkan topik dan situasi dialog.
Kedua, tanya-jawab tentang topik itu dikaitkan dengan pengalaman pribadi siswa.

d. Pengkajian
Siswa diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang terdapat dalam dialog. Selanjutnya, para
siswa diberi tugas untuk memberikan contoh ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama.

e. Penarikan Simpulan

Siswa diarahkan untuk membuat simpulan tentang kaidah tata bahasa yang terkandung dalam
dialog.

f. Aktivitas Interpretatif

Siswa diarahkan untuk menafsirkan beberapa dialog yang dilisankan.

g. Aktivitas Produksi Lisan

Dimulai dari aktivitas komunikasi terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas.

h. Pemberian Tugas

Memberikan tugas tertulis sebagai pekerjaan rumah

i. Evaluasi

Evaluasi pembelajaran dilakukan secara lisan (Tarigan, 1991).

Memperhatikan prosedur di atas, dapat dilihat adanya kesamaan antara prosedur pembelajaran
yang berdasarkan prinsip pendekatan struktural.

Lain halnya yang disodorkan oleh Littlewood adalah prosedur metodologis yang terbagi atas
kegiatan prakomunikatif dan kegiatan komunikatif. Sejalan dengan itu, Harmer (1998)
mengemukakan bahwa tahap-tahap pembelajaran bahasa komunikatif harus dimulai dari
aktivitas nonkomunikatif menuju aktivitas komunikatif. Dalam fase kegiatan nonkomunikatif,
para pembelajar belum memiliki keinginan untuk berkomunikasi, juga mereka tidak memiliki
tujuan berkomunikasi. Pada tahap ini peranan guru masih dominan, guru masih sering
melakukan intervensi. Dalam fase komunikatif, pemebelajar sudah memiliki keinginan dan
tujuan berkomunikasi. Pembelajar tidak lagi menitikberatkan pada bentuk, tetapi pada isi.

Berkenaan dengan penggunaan pendekatan komunikatif Littlewood, mengemukakan ada dua


kegiatan komunikatif yang perlu dikenal, iaitu:

1. Kegiatan komunikasi fungsional

2. Kegiatan interaksi sosial

Kegiatan komunikasi fungsional dapat berupa kegiatan berbahasa untuk saling membagi
informasi dan kegiatan berbahasa untuk mengolah informasi yang keduanya dapat dirinci
menjadi:
a. kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang terbatas

b. kegiatan saling membagi informasi dengan kerja sama yang tidak terbatas

c. kegiatan saling membagi informasi dan mengolah informasi

d. kegiatan mengolah informasi

Kegiatan interaksi sosial dapat berupa

a. dialog dan bermain peran

b. simulasi

c. memerankan lakon pendek yang lucu

d. improvisasi

e. berdebat, dan

f. melaksanakan berbagai bentuk diskusi.

3. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa (Cerita)

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa, maka pelaksanaannya


berintegrasi dengan pembelajaran bahasa. Tujuan umum pengajaran sastra agar siswa mampu
menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

Sastra sendiri merupakan karya seni yang menggunakan bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran
sastra dapat dengan mudah diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa. Di samping itu,
diabadikan kepada kepentingan pengembangan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun
tulisan, baik pemahaman (reseptif) maupun penggunaan (produktif), sesuai karakteristik
pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif.

Dalam proses pembelajaran prosa ada berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan. Kegiatan-
kegiatan tersebut antara lain ialah menyimak pembaca prosa, tentang prosa, membaca prosa, dan
mengarang prosa.

Membaca prosa termasuk kegiatan membaca pemahaman. Dalam kegiatan pembelajaran prosa,
siswa diarahkan untuk memahami prosa yang dibacanya. Hal apa saja yang harus dipahami
siswa? Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan, iaitu: tokoh, alur, dan latar cerita.

a. Pemahaman Tokoh Cerita

Tokoh termasuk unsur cerita yang sangat penting. Tidak ada cerita tanpa tokoh. Tokoh-tokoh
dalam cerita bersifat unik, tokoh yang satu berbeda dengan tokoh yang lainnya. Perbedaan tokoh
itu ditandai dengan perbedaan nama, perbedaan fisik, dan perbedaan watak masing-masing
tokoh. Dalam pembelajarn prosa para siswa dibimbing untuk dapat mengidentifikasi perbedaan
nama, kondisi fisik, dan watak setiap tokoh yang terdapat dalam cerita yang dibacanya.

Berkenaan dengan tokoh dalam cerita iaitu tokoh pratagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
pratagonis adalah tokoh yang mendapat simpati pembaca, karena memiliki watak tertentu, maka
para pembaca berpihak kepadanya.dan sering menjadi idola pembacanya. Tokoh antagonis
dibenci pembaca karena hadir sebagai lawan dari tokoh pratagonis.

Daya tarik sebuah cerita antara lain disebabkan oleh adanya pertentangan antara tokoh pratagonis
dengan tokoh antagonis. Baik tokoh pratagonis maupun tokoh antagonis biasanya menjadi fokus
cerita biasa disebut tokoh utama. Tokoh utama baik yang berkarakter menyenangkan maupun
yang berkarakter tidak menyenangkan (jahat), biasanya didukung oleh tokoh-tokoh yang lain
yang biasa disbut tokoh pendukung.

Dalam pembelajaran membaca prosa (cerita), siswa dibimbing untuk menemukan tokoh utama
dan tokoh pendukungnya. Di samping itu, mereka dibimbing pula untuk menemukan tokoh
pratagonis dan antagonis.

b. Pemahaman Alur Cerita

Alur atau plot ialah rangkaian kejadian dalam cerita. Rangkaian kejadian itu dibangun
berdasarkan hukum sebab akibat. Sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita harus
berdasarkan sebab yang masuk akal (logis). Perilaku seorang tokoh dalam sebuah cerita sangat
berkaitan dengan karakter para tokohnya.

c. Pemahaman Latar Cerita

Sebuah cerita terjadi di sebuah tempat dan pada waktu tertentu. Tempat dan waktu terjadinya
sebuah peristiwa mempunyai iklim, kondisi, budaya, adat istiadat dan suasana tertentu. Faktor-
faktor tersebut dapat mempengaruhi karakter setiap tokoh. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa latar sebuah cerita dapat berpengaruh terhadap karakter setiap tokoh yang ada dalam
cerita yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh cerita, alur, dan latar merupakan unsur-
unsur cerita yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Guru dalam hal ini
membimbing siswa menemukan ketiga unsur yang terkandung dalam cerita yang dibacanya.

4. Media Pembelajaran Prosa (Cerita)

Media pembelajaran merupaka salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan
pembelajaran. Penggunaan media dalam pembelajaran sedikitnya ada dua keuntungan iaitu:

a. Dapat membuat pendidikan (pembelajaran) lebih produktif, dan


b. Dapat membuat pendidikan (pembelajaran) lebih individual (Jobrohim, 1994).

Penggunaan media dapat membuat pembelajar lebih produktif karena media menyuguhkan
pengalaman belajar yang lebih kaya, tidak hanya melibatkan satu alat indra saja. Dengan adanya
media, para siswa tidak hanya dapat belajar melalui menyimak, tetapi juga melalui kegiatan
melihat dan mengamati. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan memori dan perhatian sehingga
pembelajaran akan lebih produktif. Di samping itu, penggunaan media pun dapat mewadahi
potensi individual para siswa.

Para siswa lebih kuat daya ingat dan daya serapnya melalui kegiatan melihat, dan demikian pula
siswa yang lebih kuat daya dengarnya. Dengan demikian, penggunaan media, di samping dapat
membuat pembelajaran lebih produktif, juga membuat pembelajar lebih individual.

Pembelajaran sastra sebaiknya menggunakan media yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan.
Untuk pelatihan deklamasi mungkin diperlukan model. Model deklamasi yang baik dapat
diharapkan melalui rekaman vidio dan mungkin pula menghadirkan deklamator yang baik ke
ruang belajar. Cara yang lebih praktis tentu saja memilih siswa yang mahir berdeklamasi untuk
tampil di muka kelas. Dan saat yang biasanya dinantikan oleh para siswa adalah penampilan
guru sebagai deklamator yang selalu mengesankan.

5. Evaluasi

Evaluasi atau penilaian dimaksudkan untuk mengetahui apakah program yang bersangkutan telah
sesuai dengan perencanaan atau telah mencapai target atau belum. Penilaian dalam pembelajaran
sastra ditujukan oleh dua hal yakni, hasil belajar siswa dan proses pembelajaran itu sendiri. Hasil
penilaian tersebut bermanfaat bagi siswa untuk mengukur kemajuan belajarnya dan bermanfaat
pula bagi guru untuk menemukan kekurangan dan kelebihan yang selanjutnya dijadikan masukan
bagi perbaikan bagi kegiatan pembelajaran berikutnya, (Jobrohim, 1994).

Alat penilaian sebenarnya dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran sastra. Hal ini dapat
terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada kemampuan apresiasi siswa (secara
langsung). Namun dalam kenyataannya di sekolah penilaian hasil belajr sastra lebih menekankan
ranah kognitif, ranah psikomotor dan afektif kurang mendapat perhatian. (Jobrohim, 1994).

Berkenaan dengan tes sastra, Moody mengetengahkan adanya empat tingkatan tes sastra, iaitu:

a. Tingkat Informasi

Merupakan tes yang berkenaan dengan data dasar suatu karya sastra dan data yang menunjang
dalam proses penafsiran karya sastra yang bersangkutan, misalnya biografi pengarang.

b. Tingkat Konsep

Tes ini berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana unsur-unsur karya sastra diorganisasikan.
Tes ini menuntut kemampuan kognitif siswa yang lebih tinggi tidak hanya tingkat pemahaman,
tetapi juga tingkat analisis dan sintesis.
c. Tingkat Perspektif

Tes ini berkaitan dengan pandangan siswa mengenai karya sastra yang dibacanya. Tes ini pun
menuntut kemampuan kognitif siswa pada tingkat tinggi. Kemampuan kognitif yang dituntut
adalah tingkat aplikasi, evaluasi, analisis, dan sintesis.

d. Tingkat Apresiasi

Kemampuan kognitif yang dituntut oleh tes ini adalah aplikasi, analisis, sintesis, dan yang
terutama adalah evalusi (Nurgiantoro, 1988).

Di samping tingkatan tes tersebut, perlu pula dipahami bahwa tes sastra harus memenuhi
persyaratan tes yang baik seperti halnya tes-tes yang lain, yakni kesahihan (validitas).
Keterpercayaan (reabilitas), dan kepraktisan.

C. Aplikasi Pembelajaran Prosa (Cerita)

Berikut ini akan disajikan langkah-langkah pembelajaran prosa (cerita).

a. Siswa membaca karya sastra sebagai kegiatan yang menyenangkan. Dalam kegiatan ini guru
telah memilih sebuah cerita yang telah dipertimbangkan dari segi bahasa, isi dan pertimbangan
pedagogis. Para siswa dipersilahkan membaca karya sastra yang telah dipilih itu, misalnya
cerpen Kado Perkawinan karya Hamzat Rangkuti. Pembacaan oleh siswa dilakukan tanpa
dibebani oleh tugas-tugas yang rumit. Mereka membaca sekedar kesenangan semata. Ada
baiknya guru menyampaikan pengantarnya terlebih dahulu tentang cerpen tersebut untuk
menumbuhkan motivasi mereka.

b. Menyusun pertanyaan. Pada langkah ini, para siswa diberi tugas untuk menyusun pertanyaan
berkenaan dengan cerpen yang dibacanya. Guru harus membimbing mereka agar sampai pada
sebuah pertanyaan analisis yang tepat dan relevan. Pertanyaan sebaiknya muncul pada bagian
berikut di bawah subjudul Pertanyaan Apresiatif tentang Cerita.

c. Siswa mengidentifikasi dan mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik yang mendukung
cerpen Kado Perkawinan.

d. Siswa menganalisis dan mendiskusikan latar dan ciri khas latar cerpen Kado Perkawinan.

e. Siswa menganalisis dan mendiskusikan tokoh dan ciri khas tokoh cerpen Kado Perkawinan.

f. Siswa menganalisis dan mendiskusikan pengaruh psikologis tokoh dari latar terhadap setiap
tokoh dalam cerpen Kado Perkawinan.

g. Siswa menganalisis dan mendiskusikan alur cerpen Kado Perkawinan.

h. Siswa menganalisis dan mendiskusikan motif psikologi dari perilaku setiap tokoh dalam
cerpen Kado Perkawinan.
i. Siswa menganalisi dan mendiskusikan tema cerpen Kado Perkawinan.

j. Siswa menganalisis dan mendiskusikan nilai-nilai moral yang terdapat dalam cerpen Kado
Perkawinan.

Pertanyaan Apresiatif tentang Cerita

1. Rumuskan masalah yang ingin diungkapkan pengarang!

2. Bagaimana sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan!

3. Di bagian cerita manakah sesungguhnya cerita ini dimulai

4. Siapakah tokoh utama atau pratagonis cerita ini? Gambarkan keadaan fisik, pribadi, dan latar
sosialnya.

5. Tuliskan bagian permulaan konflik yang mendasari cerita ini, juga klimaks dan
pengakhirannya

6. Apakah peristiwa-peristiwa dalam cerita ini diungkapkan pengarang secara jelas dan
sederhana?

7. Bagaimana gambaran ciri-ciri jasmaniah tokoh pratagonis cerita ini?

8. Konsekuenkah pengarang dalam mengurutkan ceritanya sesuai dengan point of view yang
dipilihnya?

9. Suasana apakah yang terasa dalam cerita itu?

10. Dari manakah sumber suasana cerita itu muncul? Apakah dibangun oleh gaya penceritaan
pengarang atau tokoh-tokohnya?

D. Penutup

1. Yang perlu diperhatiak untuk memahami pendekatan komunikatif iaitu: teori belajar,
teori bahasa, tujuan, silabus, tipe kegiatan, peran guru, peran siswa, peran materi.

2. Garis besar kegiatan pembelajaran tingkat sekolah lanjutan pertama dengan prosedur
pembelajaran berdasarkan pendekatan komunikatif iaitu: penyajian dialog singkat,
pelatihan lisan dialog yang disajikan, tanya jawab, pengkajian, penarikan simpulan,
aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan, pemberian tugas, dan evalusi.

3. Ada tiga hal yang penting dalam kegiatan pembelajaran prosa, agar siswa memahami
prosa yang dibacanya iaitu: tokoh, alur, dan latar cerita.
4. Pembelajaran sastra sebaiknya menggunakan media yang bervariasi sesuai dengan
kebutuhan.

5. Tes sastra harus memenuhi persyaratan tes yang baik seperti halnya tes-tes yang lain,
yakni kesahihan (validitas). Keterpercayaan (reabilitas), dan kepraktisan

Home | Seputar Puslata | BA-Online | Koleksi Umum | Koleksi Digital | PTJJ Online | Berita | Galeri Foto
| Jurnal Online | Kontak

PGSD4405
Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD

Rangkuman Mata Kuliah


Halaman BMP
Daftar Pustaka

MODUL 1
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Kegiatan Belajar 1
Hakikat Bahasa dan Belajar Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat berupa lambang bunyi


ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa yang digunakan sebagai
alat komunikasi antaranggota masyarakat terbagi atas dua unsur utama yakni
bentuk (arus ujaran) dan makna (isi).

Fungsi bahasa, yaitu sebagai (1) fungsi informasi, (2) fungsi ekspresi diri, (3)
fungsi adaptasi, (4) fungsi kontrol sosial.

Fungsi khusus bahasa Indonesia, yaitu (1) alat menjalankan administrasi


negara, (2) alat pemersatu, (3) wadah penampung kebudayaan.

Belajar merupakan perubahan perilaku manusia atau perubahan kapabilitas


yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman.

Belajar merupakan perubahan perilaku manusia atau perubahan kapabilitas


yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman belajar dipengaruhi oleh faktor
faktor internal.

Kegiatan Belajar 2
Strategi Pembelajaran Bahasa

Strategi dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Di dalam proses
pembelajaran guru harus memiliki strategi agar siswa dapat mencapai tujuan
pembelajaran dengan baik. Salah satu unsur dalam strategi pembelajaran
adalah menguasai teknik-teknik penyajian atau metode mengajar

Beberapa teknik penyajian dalam pembelajaran bahasa, yaitu:

a. diskusi;
b. inkuiri;
c. sosiodrama atau bermain peran;
d. tanya-jawab;
e. penugasan;
f. latihan;
g. bercerita;
h. pemecahan masalah;
i. karya wisata.

Ciri-ciri penggunaan metode pembelajaran itu baik, apabila semua kegiatan


pembelajaran dapat:

1. mengundang rasa ingin tahu murid;


2. menantang murid untuk belajar;
3. mengaktifkan mental, fisik dan psikis murid;
4. memudahkan guru;
5. mengembangkan kreativitas murid;
6. mengembangkan pemahaman murid terhadap materi yang dipelajari

MODUL 2
PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD

Kegiatan Belajar 1
Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa

Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari


oleh paham constructivism. Dalam whole language bahasa diajarkan secara
utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis
diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa
sebagai suatu kesatuan.

Dalam menerapkan whole language guru harus memahami dulu komponen-


komponen whole language agar pembelajaran dapat dilakukan secara
maksimal. Komponen whole language adalah reading aloud, jurnal writing,
sustain silent reading, shared reading, guided reading, guided writing,
independent reading, dan independent writing.

Kelas yang menerapkan whole language merupakan kelas yang kaya dengan
barang cetak, seperti buku, majalah, koran, dan buku petunjuk. Di samping itu,
kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut-sudut yang memungkinkan
siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut.

Selanjutnya, kelas whole language menerapkan penilaian yang menggunakan


portofolio dan penilaian informal melalui pengamatan selama pembelajaran
berlangsung

Kegiatan Belajar 2
Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran bahasa adalah pendekatan


yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk terlibat
secara aktif dan kreatif dalam proses pemerolehan bahasa. Pendekatan ini
dipandang sebagai pendekatan dalam proses belajar-mengajar yang sesuai
dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendekatan ini
memberikan pengetahuan, pengalaman, serta keterampilan yang cocok untuk
memperoleh serta mengembangkan kompetensi bahasa yang kita pelajari,
dalam hal ini bahasa Indonesia.

Fokus pembelajarannya tidak hanya pada pencapaian tujuan pembelajaran saja,


melainkan juga pada pemberian pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Pengelolaan kelas dalam
pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan
pengaturan kelas, baik secara fisik maupun nonfisik. Pengaturan dilakukan
sedemikian rupa agar siswa mempunyai keleluasaan gerak, merasa aman,
bergembira, bersemangat, dan bergairah untuk belajar. Dengan kondisi yang
demikian, materi yang diberikan kepada siswa akan mencapai hasil yang
maksimal.

Sementara itu, beberapa aspek yang dibahas dalam KB 2 ini mencakup tiga hal
penting, yakni Hakikat Pendekatan Keterampilan Proses, Prinsip-prinsip
Pendekatan Keterampilan Proses, dan Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia
dengan Pendekatan Keterampilan Proses. Ketiga hal tersebut dipaparkan
berdasarkan gambaran dasar yang terdapat dalam pendekatan keterampilan
proses.

Kegiatan Belajar 3
Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa adalah suatu pendekatan


yang bertujuan untuk membuat kompetensi komunikatif sebagai tujuan
pembelajaran bahasa dan mengembangkan prosedur-prosedur bagi empat
keterampilan berbahasa, yang mencakup menyimak, membaca, menulis, dan
berbicara dan mengakui saling ketergantungan bahasa dan komunikasi, dan
bahasa yang dimaksud dalam konteks ini tentu saja bahasa Indonesia. Beberapa
hal yang berkait langsung dengan konsep ini adalah latar belakang munculnya
pendekatan komunikatif, ciri-ciri utama pendekatan komunikatif, aspek-aspek
yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif, dan penerapan pendekatan
komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula dari


adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris
pada tahun 1960-an, yang saat itu menggunakan pendekatan situasional. Dalam
pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan dengan cara
mempraktikkan/melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan
berdasarkan situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya,
seperti halnya teori linguistik yang mendasari audiolingualisme, ditolak di
Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar linguistik
terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari
pengajaran bahasa situasional. Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan
untuk meneruskan mengajar gagasan yang tidak masuk akal terhadap
peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional. Apa yang
dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri
dan kembali kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung
makna dalam dirinya dan mengekspresikan makna serta maksud-maksud
pembicara dan penulis yang menciptakannya.

Dalam prosedur pembelajaran pendekatan komunikatif, terdapat beberapa garis


besar pembelajaran yang harus diperhatikan yakni Penyajian Dialog Singkat,
Pelatihan Lisan Dialog yang Disajikan, Penyajian Tanya-Jawab, Penelaahan
dan Pengkajian, Penarikan Simpulan, Aktivitas Interpretatif, Aktivitas Produksi
Lisan, Pemberian Tugas, dan Pelaksanaan Evaluasi.

Sementara itu, beberapa aspek yang harus diperhatikan kaitannya dengan


pendekatan komunikatif adalah teori bahasa, teori belajar, tujuan, silabus, tipe
kegiatan, peranan guru, peranan siswa, dan peranan materi. Adapun dalam
penerapan pendekatan komunikatif ini, ada dua hal yang harus diperhatikan,
yakni tujuan pembelajarannya dan GBPP yang digunakan. Adapun yang
termasuk dalam strategi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan
pendekatan komunikatif adalah pengorganisasian kelas serta metode dan teknik
Belajar Mengajar.

MODUL 3
KAJIAN KURIKULUM MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH DASAR

Kegiatan Belajar 1
Mengkaji Komponen-komponen dalam Kurikulum Mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar

Kurikulum merupakan pedoman utama bagi guru dalam melaksanakan


tugasnya sebagai tenaga pengajar/pendidik di sekolah, sebagai kompas
(penunjuk arah), dan dapat pula berfungsi sebagai alat kontrol. Oleh karena itu,
mengkaji kurikulum merupakan tugas yang harus dilakukan guru sebelum
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dilakukan. Kurikulum Berbasis
Kompetensi, yang di dalamnya memuat KHB dari Taman Kanak-kanak sampai
dengan Sekolah Menengah Tingkat Atas yang akan digunakan merupakan
kurikulum hasil pengkajian/penilaian terhadap kurikulum pendidikan dasar dan
menengah 1994. Dengan harapan agar mutu pendidikan kita dapat
ditingkatkan.
KBK mata pelajaran di SD ada sembilan mata pelajaran, mata pelajaran bahasa
Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran utama, di bawah Pendidikan
Agama dan Kewarganegaraan, tetapi mata pelajaran bahasa Indonesia
mempunyai alokasi waktu yang terbanyak, khususnya di kelas 1 & 2 yakni
sepuluh jam pelajaran per minggu, dan enam jam pelajaran untuk kelas 3 - 6.

Dalam KBK mata pelajaran Bahasa Indonesia SD memuat 7 komponen yang


perlu dicermati, yakni (1) Pengertian KBH Bahasa Indonesia, (2) Fungsi dan
Tujuan, (3) Kompetensi Umum Bahasa Indonesia, (4) Lingkup Pembelajaran,
(5) Pendekatan dan Pengorganisasian Materi, (6) Kompetensi Dasar dan Hasil
Belajar, (7) Rambu-Rambu. Komponen-komponen tersebut mempunyai
hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perlu
dicermati oleh guru maupun pengembang dalam menyusun silabus
perencanaan pembelajaran.

Kegiatan Belajar 2
Pengembangan Hasil Kajian Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia Sekolah Dasar

Mata pelajaran Bahasa Indonesia SD, merupakan mata pelajaran strategis


karena dengan bahasalah pendidik dapat menularkan ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan informasi kepada siswa atau sebaliknya. Tanpa bahasa
tidak mungkin para siswa dapat menerima itu semua dengan baik. Oleh karena
itu, guru sebagai pengemban tugas operasional pendidikan/ pembelajaran di
sekolah, dituntut agar dapat mengkaji, mengembangkan kurikulum dengan
benar.

KBK mata pelajaran Bahasa Indonesia SD mempunyai enam aspek


pembelajaran yang harus dikembangkan di SD dan terdiri atas empat aspek
keterampilan utama (menyimak, berbicara, membaca dan menulis), ditambah
dua aspek penunjang yakni kebahasaan dan apresiasi Bahasa dan sastra
Indonesia SD. Aspek-aspek mata pelajaran Bahasa Indonesia itu dalam
pelaksanaan pembelajarannya saling berhubungan antara satu dengan lainnya.
Namun demikian, aspek pembelajaran diberikan seimbang setiap tatap muka,
guru dapat menentukan satu penekanan atau fokus saja, agar pembelajaran
dapat dilaksanakan secara cermat dan efektif.

Dari komponen KBK mata pelajaran Bahasa Indonesia SD, guru atau
pelaksana pendidikan lainnya diharapkan dapat mengembangkan minimal
dalam bentuk silabus. Silabus merupakan seperangkat rencana tentang kegiatan
pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil belajar. Adapun
komponen-komponen minimal dalam silabus adalah (1) Identitas mata
pelajaran, (2) Kompetensi Dasar, Hasil Belajar, Indikator, (3) Langkah
Pembelajaran, (4) Sumber/sarana belajar, (5) Penilaian. Materi atau bahan ajar
dilampirkan.
Pembelajaran di kelas rendah SD (kelas 1 dan 2), disajikan dengan strategi
tematik (terpadu) karena siswa kelas rendah mempunyai kecenderungan
memandang sesuatu secara utuh (holistik). Dengan strategi ini diharapkan
pembelajaran lebih bermakna

MODUL 4
SISTEM FONOLOGI, EJAAN, MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

Kegiatan Belajar 1
Sistem Fonologi, dan Ejaan Bahasa Indonesia

Fonologi adalah ilmu yang membahas tentang bunyi-bunyi bahasa. Fonologi


pada umumnya dibagi 2 yakni, fonemik (fonem) yang membahas tentang
bunyi-bunyi ujaran yang berfungsi sebagai pembeda makna, dan fonetik yang
membahas bagaimana bunyi-bunyi ujaran itu dihasilkan oleh alat ucap
manusia.

Fonem resmi dalam bahasa Indonesia ada 32 buah, yang terdiri atas, 6 buah
fonem vokal, 3 buah fonem diftong dan 23 buah fonem konsonan. Semua
fonem-fonem tersebut dihasilkan oleh alat ucap manusia, dari batang
tenggorokan sampai ke bibir beserta udara yang ke luar ketika kita bernapas.
Hal ini dibahas dalam tataran fonetik. Ada 3 bagian alat ucap dalam
menghasilkan bunyi ujaran itu, yakni (1) udara dari paru-paru, (2) artikulator,
bagian alat ucap yang dapat digerakkan /digeser ketika bunyi diucapkan,
misalnya rahang bawah, lidah , (3) titik artikulasi, yakni bagian alat ucap yang
tidak dapat digerakkan (bagian yang menjadi tujuan sentuh artikulator)
misalnya, rahang atas, langit-langit lembut, dll.

Selain fonem dan fonetik , hal yang perlu dipahami dalam berujar adalah
intonasi. Intonasi mengatur tinggi-rendah, keras-lunak, cepat lambatnya suara
dalam berujar sehingga ujaran dapat dipahami oleh pendengar. Jadi intonasi
merupakan rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, penghentian
suara ketika seseorang berujar (berbicara).

Selanjutnya dalam bahasa tulisan, yang dipentingkan adalah ejaan. Dalam


ejaan tercakup perangkat peraturan tentang bagaimana menggambarkan
lambang-lambang fonem (bunyi ujaran) dan bagaimana interrelasi antara
lambang-lambang itu dituliskan dengan benar dalam suatu bahasa. Ejaan yang
berlaku dalam bahasa Indonesia saat ini adalah Ejaan Yang Disempurnakan ,
yang di dalamnya memuat 5 bab peraturan tentang tata tulis dalam bahasa
Indonesia, yakni pemakaian huruf, penulisan huruf, penulisan kata, tanda baca,
dan penulisan unsur serapan.
Kegiatan Belajar 2
Sistem Morfologi (Kata) dalam Bahasa Indonesia

Morfologi adalah ilmu bahasa yang membahas tentang bentuk-bentuk kata.


Satuan bahasa yang menjadi unsur pembentuk kata disebut morfem. Satuan
yang menjadi unsur pembentuk kata ini ada yang telah mengandung makna,
disebut gramatis, dan yang belum mengandung makna disebut nongramatis.
Selanjutnya morfem ada dua macam, yakni morfem bebas dan morfem terikat.

Morfem bebas merupakan morfem yang dapat berdiri sendiri sebagai kata, dan
morfem terikat merupakan morfem yang belum mempunyai potensi sebagai
kata. Untuk menjadi kata morfem bebas harus melalui proses penggabungan
dengan morfem bebas. Dalam bahasa Indonesia morfem terikat dapat
dibedakan menjadi dua, yakni morfem terikat pada morfologis, dan morfem
terikat pada sintaksis. Morfem terikat morfologis (imbuhan) dalam bahasa
Indonesia berfungsi sebagai (1). Penentu jenis kata dan (2). Penentu makna
kata. Sedangkan makna kata dalam kalimat (makna struktural) dapat
dipengaruhi olehn hubungan antara kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

Morfem terikat morfologis, ada yang mempunyai variasi atau mengalami


perubahan bentuk jika melekat pada kata-kata tertentu. Morfem ini adalah;
awalan me-, be-, ter- . Gejala ini disebut alomorf.

Kegiatan Belajar 3
Pembelajaran Fonologi, Ejaan dan Morfologi Bahasa Indonesia Sekolah
Dasar

Pembelajaran fonologi, ejaan dan morfologi bahasa Indonesia Sekolah Dasar


dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi SD mata pelajaran Bahasa Indonesia,
bukan merupakan aspek tersendiri, tetapi merupakan bagian penunjang dari
aspek-aspek bahasa Indonesia yang ada (mendengarkan, berbicara, membaca
dan menulis) serta aspek kebahasaan dan apresiasi bahasa dan sastra. Pedoman
guru dalam melaksanakan pembelajaran fonologi, ejaan dan morfologi adalah
komponen kompetensi dasar mata pelajaran yang di dalamnya memuat
kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Secara operasionalnya
pembelajaran fonologi, ejaan dan morfologi dapat diwujudkan secara terpadu
dengan aspek-aspek tersebut di atas. Hal ini sejalan dengan rambu-rambu mata
pelajaran Bahasa Indonesia bahwa, pembelajaran bahasa SD yaitu belajar
berkomunikasi baik lisan atau tulisan. Untuk mencapai kemampuan
berkomunikasi itu, tentu memerlukan ucapan.

Hal itu termasuk dalam tataran pembelajaran fonologi, ejaan, intonasi, dan
morfologi. Prinsip yang dapat dijadikan pedomannya, antara lain (1)
Pembelajaran diberikan dari yang mudah ke yang sukar, (2) Pembelajaran
diberikan secara tematik/terpadu khususnya antaraspek bahasa, (3)
Pembelajaran disajikan sesuai konteksnya.

Penyusunan perencanaan pembelajaran fonologi, ejaan dan morfologi terdiri


atas tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan penilaian. Komponen-
komponen yang dicantumkan dalam perencanaan pembelajaran adalah (a)
identitas (b) KBK, HB dan indikator, (c) rumusan TPK (d) langkah
pembelajaran (e) bahan, caranya dan sumber (f) penilaian.

MODUL 5
SINTAKSIS BAHASA INDONESIA SD

Kegiatan Belajar 1
Kalimat Bahasa Indonesia SD

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Sedangkan frase adalah kelompok kata
yang mendukung suatu fungsi (subjek, predikat, pelengkap, objek dan
keterangan) dan kesatuan makna dalam kalimat. Kalimat dapat diklasifikasikan
berdasarkan atas jumlah kontur, jumlah inti, urutan subjek-predikat, jumlah
pola kalimat, bentuk verba (predikat dan kata kerja).

Kegiatan Belajar 2
Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa SD

Tugas guru dalam pembelajaran mengatur supaya terjadi interaksi antara siswa
dengan media belajar atau lingkungan belajar itu. Pembelajaran bahasa adalah
proses memberi rangsangan belajar berbahasa kepada siswa dalam upaya siswa
mencapai kemampuan berbahasa.

Dalam kurikulum berbasis kompetensi penekanan mata pelajaran Bahasa


Indonesia untuk kelas 1 dan 2 pada aspek peningkatan kemampuan membaca
dan menulis permulaan. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan
tematik untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna. Pengelolaan
waktunya diserahkan ke sekolah masing-masing. Untuk kelas 3, 4, 5, dan 6.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi penekanan mata pelajaran Bahasa
Indonesia pada aspek yang meningkatkan kemampuan berkomunikasi lisan dan
tulis. Mulai kelas 3 menggunakan pendekatan mata pelajaran tunggal sesuai
dengan jenis mata pelajaran dalam struktur kurikulum.

Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia mencakup aspek mendengar, berbicara,


membaca, menulis serta unsur pemahaman penggunaan bahasa dan apresiasi
sastra. Tujuan pembelajaran ini dapat diupayakan dengan menggunakan
langkah-langkah model pembelajaran bermakna, yaitu berikut ini.

1. Pemanasan-apersepsi.
2. Eksplorasi.
3. Konsolidasi pembelajaran.
4. Pembentukan sikap dan perilaku.
5. Penilaian formatif.

MODUL 6
PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA DI SD

Kegiatan Belajar 1
Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Tulis

Faktor sentral dalam membaca adalah pemahaman. Baik buruknya pemahaman


seseorang terhadap teks bacaan bergantung kepada latar belakang pengalaman
membacanya, kemampuan sensori dan persepsinya, kemampuannya berpikir
dan strateginya mengenal kata, tujuannya membaca, pengamatannya pada
bacaan, pentingnya membaca bagi dirinya, serta tersedianya fasilitas yang
berupa berbagai strategi pemahaman yang akan membantunya mengungkap
maksud yang tersirat dalam teks.

Dengan adanya tujuan membaca yang jelas, kemampuan siswa memahami teks
bacaan akan meningkat. Untuk itu, guru harus mempelajari bagaimana cara
menentukan tujuan yang baik untuk tugas-tugas membaca yang diberikan
kepada siswa.

Karakteristik teks bacaan mempengaruhi proses pemahaman siswa. Banyaknya


kalimat kompleks dalam teks bacaan harus mendapat perhatian guru sebab
dapat menyulitkan siswa untuk memahami teks bacaan.

Kegiatan prabaca, saat membaca, dan pascabaca yang dikelola dengan baik
oleh guru merupakan upaya untuk meningkatkan daya pemahaman siswa
dalam pembelajaran membaca. Teknik-teknik yang dapat digunakan guru
untuk mengelola kegiatan prabaca adalah gambaran awal, petunjuk antisipasi,
pemetaan semantik, menulis sebelum membaca, dan drama atau simulasi.
Untuk mengelola kegiatan inti membaca digunakan teknik metakognitif, cloze
procedure, dan pertanyaan pemandu. Untuk mengelola kegiatan pascabaca
digunakan teknik memperluas kesempatan belajar, mengajukan pertanyaan,
mengadakan pameran visual, pementasan teater aktual, menceritakan kembali,
dan penerapan hasil membaca.

Menulis dapat adalah sebagai suatu proses ataupun produk. Dilihat dari segi
prosesnya, menulis dapat dimulai dari menggerakkan pensil di atas kertas
sampai terwujud karangan juga dapat dimulai dari memilih buku yang akan
dibaca, mencatat bagian-bagian yang diperlukan, kemudian digunakan untuk
bahan yang dibicarakan dalam karangan.

Pada diri siswa, keterampilan menulis dibangun guru melalui banyak latihan
dengan menggunakan teknik atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik siswa. Beberapa teknik pembelajaran menulis yang dapat
digunakan guru, misalnya menulis secara langsung tanpa mempedulikan teori,
memulai menulis dari bagian yang paling disukai siswa, menulis nonlinear atau
menulis yang didasari dengan kegemaran membaca.

Pembelajaran menulis dilaksanakan dalam jam pelajaran dan di luar jam


pelajaran. Beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran
menulis di kelas adalah bermain-main dengan bahasa dan tulisan, kuis,
membuat atau mengganti akhir cerita, dan menulis meniru model. Di luar jam
pelajaran, guru dapat menggunakan strategi menulis buku harian,
menyelenggarakan majalah dinding atau membuat kliping, yang semuanya
diarahkan agar siswa senang menulis.

Kegiatan Belajar 2
Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Lisan

Hakikat menyimak adalah sebagai sarana, sebagai suatu keterampilan, sebagai


seni, sebagai suatu proses, sebagai suatu respons atau sebagai suatu
pengalaman kreatif. Untuk kelas rendah bahan pembelajarannya bersifat sangat
sederhana. Secara umum, bahan pembelajaran menyimak harus disertai dengan
pertanyaan-pertanyaan dan harus disesuaikan dengan karakteristik siswa SD.

Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Sifat


kegiatannya sangat kompleks, sebab banyak faktor yang terkait di dalamnya.
Faktor pemahaman dalam berbicara memegang peranan penting karena tanpa
pemahaman kegiatan berbicara akan tersendat-sendat. Klasifikasi berbicara
dapat dilakukan berdasarkan tujuannya, situasinya, cara penyampaiannya, dan
jumlah pendengarnya. Pembelajaran berbicara harus dikaitkan dengan
keterampilan berbahasa lainnya.

MODUL 7
PENILAIAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBAHASA DI SD

Kegiatan Belajar 1
Model Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Tulis
Penilaian pembelajaran keterampilan berbahasa tulis, mencakup penilaian membaca
dan menulis. Teknik penilaiannya menggunakan tes. Tes yang digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa membaca adalah tes pemahaman kalimat dan tes
pemahaman wacana. Sedangkan untuk mengukur kemampuan siswa menulis
digunakan tes pratulis, tes menulis terpandu, dan tes menulis bebas.

Kegiatan Belajar 2
Model Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Lisan

Penilaian pembelajaran keterampilan berbahasa lisan mencakup penilaian


menyimak dan berbicara. Teknik penilaiannya menggunakan tes. Jenis tes
untuk mengukur kemampuan menyimak adalah tes respons terbatas, tes
respons pilihan ganda, dan tes komunikasi luas. Tes untuk mengukur
kemampuan berbicara adalah tes respons terbatas, tes terpandu, dan tes
wawancara.

MODUL 8
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SEKOLAH DASAR

Kegiatan Belajar 1
Hakikat Sastra Anak

Sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-
anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak, yaitu anak yang
berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan
berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak.
Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak
yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu
dan bermula pada penyajian nilai dan imbauan tertentu yang dianggap sebagai
pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Jenis sastra anak meliputi prosa, puisi, dan drama. Jenis prosa dan puisi dalam
sastra anak sangat menonjol. Berdasarkan kehadiran tokoh utamanya, sastra
anak dapat dibedakan atas tiga hal, yaitu (1) sastra anak yang mengetengahkan
tokoh utama benda mati, (2) sastra anak yang mengetengahkan tokoh utamanya
makhluk hidup selain manusia, dan (3) sastra anak yang menghadirkan tokoh
utama yang berasal dari manusia itu sendiri.

Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai
media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun
kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang
moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan
kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi
hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang
membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga
menuntun kecerdasan emosinya.

Kegiatan Belajar 2
Apresiasi Sastra Anak

1. Apresiasi berarti (a) kesadaran terhadap nilai-nilai seni dan budaya; (b)
penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan (c) kenaikan nilai barang
karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah.
Sehubungan dengan materi pembelajaran sastra anak ini, pengertian
apresiasi yang kita maksudkan di sini adalah pengertian pertama dan kedua,
yaitu (a) kesadaran kita terhadap nilai-nilai seni dan budaya (sastra anak),
dan (b) penilaian atau penghargaan kita terhadap sesuatu (sastra anak).
2. Ada tiga batasan apresiasi sastra anak, yaitu (a) Apresiasi sastra anak adalah
penghargaan (terhadap karya sastra anak) yang didasarkan pada
pemahaman; (b) Apresiasi sastra anak adalah penghargaan atas karya sastra
anak sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan
penikmatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra anak; dan (c) Apresiasi sastra anak adalah
kegiatan menggauli cipta sastra anak dengan sungguh-sungguh hingga
tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra anak.
3. Dalam melaksanakan apresiasi sastra anak itu kita dapat melakukan
beberapa kegiatan, antara lain (a) kegiatan apresiasi langsung, yaitu
membaca sastra anak, mendengar sastra anak ketika dibacakan atau
dideklamasikan, dan menonton pertunjukan sastra anak dipentaskan; (b)
kegiatan apresiasi tidak langsung, yaitu mempelajari teiri sastra, mempelajari
kritik dan esai sastra, dan mempelajari sejarah sastra; (c) pendokumentasian
sastra anak, dan (d) melatih kegiatan kreatif mencipta sastra atau rekreatif
dengan mengungkapkan kembali karya sastra yang dibaca, didengar atau
ditontonnya.
4. Ada tiga tingkatan atau langkah dalam apresiasi sastra anak, yaitu (a)
seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam cipta sastra anak, ia
terlibat secara emosional, intelektual, dan imajinatif; (b) setelah mengalami
hal seperti itu, kemudian daya intelektual seseorang itu bekerja lebih giat
menjelajahi medan makna karya sastra yang diapresiasinya; dan (c)
seseorang itu menyadari hubungan sastra dengan dunia di luarnya sehingga
pemahaman dan penikmatannya dapat dilakukan lebih luas dan mendalam.
5. Setidaknya terdapat lima manfaat bagi kehidupan ketika mengapresiasi
sastra anak, yaitu (a) manfaat estetis, (b) manfaat pendidikan, (c) manfaat
kepekaan batin atau sosial, (d) manfaat menambah wawasan, dan (e)
manfaat pengembangan kejiwaan atau kepribadian.

Kegiatan Belajar 3
Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak

1. Pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar meliputi tiga tahapan


yang harus dilalui seorang guru, yaitu (a) persiapan pembelajaran, (b)
pelaksanaan pembelajaran, dan (c) evaluasi pembelajaran.
2. Tahap persiapan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar bagi
seorang guru dapat menyangkut dengan dirinya, yaitu (a) persiapan fisik, dan
(b) persiapan mental. Fisik seorang guru harus sehat jasmaninya, tidak sakit-
sakitan. Mentalnya pun harus sehat jiwanya, tidak sakit ingatan. Sementara
itu, hal-hal teknis yang perlu dipersiapkan adalah (a) memilih bahan ajar, (b)
menentukan metode pembelajaran, dan (c) menuliskan persiapan mengajar
harian.
3. Bahan ajar harus sesuai dengan anak didik sehingga pertimbangan usia anak
didik menjadi pilihan utama. Keberagaman tema, keberagaman pengarang,
dan bobot atau mutu karya sastra yang akan dijadikan bahan ajar juga
menjadi pertimbangan yang matang. Menentukan metode harus disesuaikan
dengan kemampuan guru dan kebutuhan serta kesesuaian dengan keadaan
siswa. Menuliskan persiapan mengajar harian merupakan salah satu bentuk
keprofesionalan seorang guru. Penulisan PMH itu juga menunjukkan bahwa
guru siap secara lahir batin hendak menyampaikan pembelajaran apresiasi
sastra anak di sekolah dasar.
4. Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat
dimulai dari kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di
kelas. Kegiatan pra-KBM dapat dilakukan dengan memberi salinan atau kopi
teks sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan, meringkas atau mencatat
dan menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra. KBM di
kelas dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca
cerita, berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas, Setelah itu baru
diadakan tanya jawab, menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama
merumuskan isi, tema, dan amanat.
5. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga
komponen dasar evaluasi, yaitu (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) keterampilan.
Pada umumnya dikenal dua bentuk penilaian, yaitu (a) penilaian prosedur,
yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (b)
instrumen atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, esai tes
dan pilihan ganda.

MODUL 9
KAMUS

Kegiatan Belajar 1
Hakikat dan Manfaat Kamus

Kata kamus dipinjam dari bahasa Arab qamus, dengan bentuk jamaknya
qawamis. Dalam KBBI (1995:438) kamus berarti (a) buku acuan yang memuat
kata dan ungkapan yang biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan
tentang maknanya, pemakaiannya atau terjemahannya; (b) buku yang memuat
kumpulan istilah atau nama yang disusun menurut abjad beserta penjelasan
tentang makna dan pemakaiannya.

Dilihat dari bahasa yang digunakan kamus dapat dibagi atas tiga macam, yaitu
(a) kamus ekabahasa, (b) kamus dwibahasa, dan (c) kamus aneka bahasa
(multibahasa). Uraian makna kata dalam kamus standar lengkap dengan label
pemakaiannya, misalnya label ragam bahasa, label dialek regional atau dialek
sosial, dan label dialek temporal.

Kamus berfungsi sebagai petunjuk bagi masyarakat pemakai bahasa Indonesia


untuk mengetahui seluk-beluk bahasa dan sumber acuan yang dipakai sebagai
pola panutan pemakainya, baik dalam segi ejaan, bentuk dan

© 2008 Puslata UT. All right reserved.

. PENDEKATAN KOMUNIKATIF
A. HAKIKAT PENDEKATAN KOMUNIKATIF
Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yng bertujuan untuk membuat kompetensi
komunikatif sebagai tujuan pembeljran bahasa, juga mengembangkan prosedur-prosedur bagi
pembeljaran 4 keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), mengakui dan
menghargai saling ketergantungan bahasa. Bahasan tentang konsep ini akan merinci tentang (1) Latar
Belakang Singkat Munculnya Pendekatan Komunikatif, (2) Ciri-ciri Utama Pendekatan Komunikatif, (3)
Aspek-aspek yang Berkaitan Erat dengan Pendekatan Komunikatif, dan (4) Penerapan Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia.
1. LATAR BELAKANG
Menurut Tarigan (1989: 270), munculnya pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa bermula
dari adanya perubahan-perubahan dalam tradisi pembelajaran bahasa di Inggris pada tahun 1960-an
menggunakan pendekatan situasional. Dalam pembelajaran bahasa secara situasional, bahasa diajarkan
dengan cara mempraktikkan/melatihkan struktur-struktur dasar dalam berbagai kegiatan berdasarkan
situasi yang bermakna. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, seperti halnya teori linguistik yang
mendasari audiolingualisme, ditolak di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1960-an dan para pakar
linguistik terapan Inggris pun mulai mempermasalahkan asumsi-asumsi yang mendasari pengajaran
bahasa situasional. Menurut mereka, tidak ada harapan/masa depan untuk meneruskan mengajar
gagasan yang tidak masuk akal terhadap peramalan bahasa berdasarkan peristiwa-peristiwa situasional.
Apa yang dibutuhkan adalah suatu studi yang lebih cermat mengenai bahasa itu sendiri dan kembali
kepada konsep tradisional bahwa ucapan-ucapan mengandung makna dalam dirinya dan
mengekspresikan makna serta maksud-maksud pembicara dan penulis yang menciptakannya (Howatt,
1984: 280, dalam Tarigan, 1989:270).

2. CIRI-CIRI UTAMA PENDEKATAN KOMUNIKATIF


Ciri utamanya adalah adanya 2 kegiatan yang saling berkaitan erat, yakni adanya kegiatan-kegiatan
komunikatif fungsional (functional communication activies) dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
interaksi sosial (social interaction activies). Kegiatan komunikatif fungsional terdiri atas 4 hal, yakni
mengolah infomasi, berbagi dan mengolah informasi, berbagi informasi dengan kerja sama terbatas, dan
berbagi informasi dengan kerja sama tak terbatas, sedangkan kegiatan interaksi sosial terdiri atas 6 hal,
yakni improvisasi, lakon-lakon pendek yang lucu, aneka simulasi, dialog, dan bermain peran, sidang-
sidang konversasi dan diskusi, serta berdebat.

3. ASPEK-ASPEK YANG BERKAITAN ERAT DENGAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF


Ada 8 aspek yang berkaitan erat dengan pendekatan komunikatif (David Nunan, 1989, dalam Solchan
T.W., dkk. 2001:6.6):
No. Aspek yang Berkaitan Kebermaknaan dalam Pendekatan Komunikatif
1. Teori Bahasa Pendekatan komunikatif berdasarkan teori bahasa menyatakan bahwa pada hakikatnya
bahasa adalah suatu sistem untuk mengekspresikan makna, yang menekankan pada dimensi semantic
dan komunikatif daripada ciri-ciri gramatikal bahasa. Oleh karena itu, yang perlu ditonjolkan adalah
interaksi dan komunikasi bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.
2. Teori Belajar Teori belajar yang cocok untuk pendekatan ini adalah teori pemerolehan bahasa kedua
secara alamiah.
3. Tujuan Mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompetensi dan performansi
komunikatif).
4. Silabus Silabus harus disusun searah dengan tujuan pembelajaran dan tujuan yang dirumuskan dan
materi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan siswa.
5. Tipe Kegiatan Tukar menukar informasi, negosiasi makna atau kegiatan lain yang bersifat riil.
6. Peranan Guru Fasilitator proses komunikasi, partisipan tugas dan tes, penganalisis kebutuhan,
konselor, dan manajer proses belajar.
7. Peranan Siswa Pemberi dan penerima, negosiator, dan interakor sehingga siswa tidak hanya
menguasai bentuk bahasa, tapi juga bentuk dan maknanya.
8. Peranan Materi Pendukung usaha meningkatkan kemahiran berbahasa dalam tindak komunikasi
nyata.

4. PENERAPAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA


Adapun dalam penerapan pendekatan komunikatif ini, ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni
tujuan pembelajaran dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

B. PROSEDUR PENGGUNAAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF


Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI, 2001:742), dijelaskan bahwa prosedur merupakan thap-
tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Finocchiaro dan Brumfit (dalam Tarigan, 1989: 294)
mengemukakan suatu bagan/skema pelajaran bagi fungsi “pembuatan suatu sugesti” bagi para
pembelajar pada tingkat permulaan program sekolah menengah, tetapi juga dapat digunakan untuk
jenjang pendidikan dasar, bahwa prosedur-prosedur pembelajaran berdasarkan pendekatan
komunikatif lebih bersifat evolusioner daripada revolusioner. Adapun garis kegiatan pembelajaran yang
ditawarkan mereka adalah; penyajian dilog singkat, pelatihan lisan dialog yang disajikan, penyajian tanya
jawab, penelaah dan pengkajian, penarikan simpulan, aktivitas interpretatif, aktivitas produksi lisan,
pemberian tugas, pelaksanaan evaluasi.

IMPLEMENTATION MATHEMATICS REALISTIC EDUCATION


AS AN ALTERNATIVE
OF TEACHING AND LEARNING MATHEMATICS APPROACH
By :
Dra. Zahra Chairani, M.Pd
Widyaiswara Madya
LPMP KALIMANTAN SELATAN
Jl. Gotong Royong Kotak Pos 60 Telp. 0511 4772384, Faks 0511 4774184
Email : zahrachairani@yahoo.co.id
ABSTRACK
M
any peoples (students and teachers) said that deductive and abstract of mathematics characteristic always
far from being successful on teaching and learning mathematics. We make the effort to improve teaching
and learning because the future paradigma emphasized to standard process of PP 19/ 2005.
Development approach of Freudenthal Institut is RME (Realistic Mathematics Education) and Indonesian
name was Pendidikan Matematika Realistik (PMR)
The aim of Qualitative Research are to get information how implementation, teacher role, impact for the
students and some difficulties about aplication PMR approach in teaching and learning mathematics. The
study was conducted through the direct observation process, intervieuw, and the researcher as a key
instrument and triangulation for validiting the data collections .
The result of this research can describe implementation of PMR approach which show (1) students active,
interactive, working together, comunicate their creativities, increase confident students’s performance and
feel happy. (2) teacher as facilitator and motivator, (3) students activity give experience and investigation,
problem solving and (4)the most difficulties of teacher are how to choose good materials for teaching and
make a plan for teaching and learning as a model of PMR approach .
Key Word : Implementation, Realistic Mathematics Education Approach, Teaching and Learning
Mathematics.
Matematika sebagai ilmu universal yang diajarkan mulai dari Sekolah Dasar dan tingkat selanjutnya,
mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Akan tetapi
karakteristik matematika yang pada dasarnya bersifat abstrak dan

deduktif, acapkali menyebabkan matematika yang diajarkan di sekolah menjadi sulit untuk
diterima dan dipahami siswa dan sulit untuk diajarkan guru.
Persoalan pokok dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia antara lain banyak siswa SD
sampai siswa Menengah tidak berhasil mencapai target minimal dalam evaluasi. (Suwarsono,
1999). Disamping itu proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode”chalk
and talk” dimana guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas ( Somerset, 1997).
Zani (2006: 6 ) mengemukakan bahwa matematika oleh sebagian besar siswa dianggap sebagai
mata pelajaran yang “sulit” dan “menakutkan”. Siswa terkesan menjauhi dan membenci
matematika. Persepsi siswa terhadap matematika juga sangat buruk, dimana kebanyakan siswa
beranggapan bahwa matematika hanya berguna untuk berhitung, sedangkan materi lain tidak
atau kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Karena kurang merasakan manfaat
matematika maka minat dan hasil belajar matematika siswa menjadi rendah.
Guru terlalu banyak memberikan informasi dan kemudian memberikan contoh dan siswa diminta
untuk mengerjakan soal seperti yang teah dikerjakan guru. Hal –hal rutin seperti ini dilaksanakan
setiap kali pertemuan di kelas sehingga membuat siswa bosan dan tidak mampu memahami
konsep matematika secara benar. Siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan nalar
dan berpikir kritis dan belajar matematika secara mekanistis, dan soal-soal yang diberikan tidak
kontekstual.
Kenyataan semacam itu sangat kontradiksi dengan tujuan pembelajaran matematika yang
tercantum pada lampiran Permen 22 tahun 2005 yang menyatakan bahwa tujuan diberikannya
pelajaran Matematika kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar adalah untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan
kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Dari beberapa pendapat, dan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar
matematika bukan hanya di sebabkan karena karakteristik matematika yang abstrak dan deduktif,
akan tetapi juga disebabkan karena cara penyampaian guru. Oleh karena itu diperlukan perbaikan
dan upaya untuk mengatasi permasalah tersebut.
Upaya –upaya perbaikan memang telah banyak dilakukan, antara lain dengan memperhatikan
penyebab kesulitan yang bersumber pada siswa, maupun yang bersumber diluar siswa. (Soejadi,
2001). Penyebab kesulitan yang bersumber pada siswa dilakukan dengan memperhatikan
kesesuaian aspek-aspek pembelajaran matematika dengan perkembangan kemampuan siswa, dan
yang bersumber diluar siswa adalah perbaikan pada cara-cara guru menyajikan materi pelajaran
dan mengubah suasana pembelajaran menjadi suasana yang menyenangkan.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian
pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah
Realistic Mathematics Education (RME) yang dalam perkembangannya di Indonesia menjadi
Pendidikan Matematika Realistik (PMR).
Hal yang diharapkan dalam PMR sejalan dengan paradigma pendidikan masa depan, dimana
aspek prilaku siswa yang diharapkan mempunyai ciri-ciri; (a) di kelas mereka aktif dalam
diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran
yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b) mampu bekerja sama dengan membuat
kelompok-kelompok belajar, (c) bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan,
mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, (d) memiliki
kepercayaan diri yang tinggi. (Zamroni, 2000)

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
matematika sangat penting untuk membentuk paradigma dikalangan guru matematika, bahwa
pembelajaran matematika bukan lagi pembelajaran yang menakutkan, tetapi pembelajaran yang
mampu membuat siswa menjadi aktif, bisa bekerjasama, bersifat demokratis dan membuat siswa
memiliki kepercayaan tinggi. Keadaan ini akan terwujud apabila guru memiliki kemampuan dan
kemauan untuk memfasilitasinya.
Salah satu lembaga yang selama ini memfasilitasi kegiatan dalam rangka peningkatan mutu dan
kualitas pendidikan adalah LPMP. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) merupakan
lembaga yang berada dibawah tanggung jawab Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) berdasarkan SK Menteri Pendidikan Nasional RI No. 031
Tanggal 26 Desember 2005 yang menjalankan tupoksinya berdasarkan SK Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Bab VII .Dalam peranannya untuk mencapai
Standar Nasional Pendidikan, LPMP bertugas membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk
supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan non formal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan
pendidikan, (PP 19, 2005). Dengan demikian pelaksanaan tugas dan fungsi LPMP tidak terlepas
dalam kaitannya dengan pembinaan tenaga pendidik khususnya melaksanakan pelatihan atau
penataran guru matematika.
Akan tetapi hasil penataran dan pelatihan yang dilaksanakan, tidak berkesinambungan, sehingga
dampak kegiatan sepertinya tidak berbekas, dan guru kembali melakukan kegiatan pembelajaran
seperti semula. Inilah keadaan fenomena ini umumnya terjadi dalam pola pelatihan atau
penataran yang banyak diikuti guru selama ini.
Suryanto (2007) dalam Buletin PMR Volume V menyatakan bahwa (1) perbaikan pembelajaran
matematika dengan memberikan pelatihan atau penataran tentang matematika modern kepada
para guru, kemudian guru disilahkan atau dianjurkan untuk mengajarkan matematika tersebut
disekolah masing-masing, lalu selesai, (2) pada perbaikan pembelajaran dengan CBSA, mungkin
ditambah dengan pelatihan mengajar dengan CBSA, kemudian guru disilahkan atau dianjurkan
untuk mengajar disekolahnya masing-masing, lalu selesai, selanjutnya semuanya terserah para
guru.
Akan tetapi fenomena tersebut nampaknya kontradiksi dengan berbagai pendapat guru tentang
hasil pelatihan atau penataran yang diadakan oleh PMR (Pendidikan Matematika Realistik) yang
melaksanakan pelatihan dengan pola workshop.
Salah satu dari berbagai kesan dari guru yang telah mengikuti workshop PMR penulis dapat kan
dalam Buletin PMR , Edisi Juni 2003, dan edisi III Januari 2004 dari Kesan dari Mardiati, SPd
Guru SD Lab Surabaya menyatakan bahwa , pada umumnya matematika adalah salah satu
pelajaran yang ditakuti. Tapi setelah berkenalan dengan PMR, muncul perubahan-perubahan
yang berarti: (a) anak didik lebih senang pada matematika dan tampak ceria (tanpa ada tekanan
batin); (b) anak lebih disiplin dan teratur (tanpa adanya ultimatum yang menakutkan); (c) anak
bisa berfikir kreatif; (d) anak berani menuangkan yang ada di pikirannya; (e) yang paling penting
meningkatnya budi pekerti yang luhur (siswa bisa menyadari kekeliruan yang sudah
diperbuatnya sendiri).
Kesan-kesan dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Workshop PMR seakan-akan
telah berhasil mengubah paradigma guru matematika dalam mengajar. Guru memiliki kesadaran
untuk melakukan perbaikan pembelajaran dengan kesadaran sendiri. Mencoba berbagai
kreativitas dan variasi pembelajaran dengan pendekatan PMR. Guru berupaya dengan
keinginannya sendiri untuk memfasilitasi kegiatan pembelajarannya. Akan tetapi apakah
kegiatan yang telah dilakukan mereka memang benar-benar sudah sesuai dengan konsep PMR?
Jika dikatakan bahwa siswa senang melakukan kegiatan, maka perlu diamati kegiatan seperti apa

yang dapat membuat siswa senang, bagaimana guru dapat memfasilitasinya? Oleh karena itulah
diperlukan suatu penelitian.
Dalam pengembangan PMR, setelah mengikuti workshop dan dilatih beberapa kali, banyak
sekolah yang dengan sukarela menjadi sekolah uji coba PMR. Dua sekolah diantaranya berada di
Propinsi Kalimantan Selatan yaitu:, SDN Kebun bunga 4 Banjarmasin dan SD Islam Sabilal
Muhktadien Banjarmasin. Tulisan ini akan merupakan hal yang menarik karena merupakan
ringkasan dari hasil penelitian yang dilakukan di SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin yang justru
bukan sebagai sekolah uji coba PMR.
Geometri sebagai salah satu pokok bahasan dalam matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar
merupakan materi yang cukup sulit dipahami siswa apabila pendekatan yang digunakan tidak
sesuai dengan aspek kemampuan siswa. Oleh karena itu penelitian ini menekankan pada fokus
penelitian tentang proses pembelajaran matematika untuk pokok bahasan geometri yaitu sub
pokok bahasan menemukan jaring-jaring kubus dan balok di kelas 5 Sekolah Dasar dan
kaitannya dengan peran guru, aktivitas siswa, dan kendala-kendalanya.
Dengan demikian yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah: bagaimana pelaksanaan,
peranan guru, aktivitas siswa dan pendapat siswa , serta kendala –kendala yang ditemukan guru
selama melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di SDN Antasan Besar
7 Banjarmasin?
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan, peranan guru,
aktivitas siswa kendala apa saja selama guru mengimplementasikan pembelajaran matematika di
SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin?
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain ditujukan bagi para guru untuk lebih
memahami secara teoritis Pendekatan Matematika Realistik (PMR), dapat memanfaatkan
pendekatan PMR sebagai variasi pembelajaran dan dapat dijadikan bahan diseminasi untuk
sebagai contoh model pengembangan model-model pembelajaran matematika Sekolah Dasar di
KKG serta bagi Dinas Pendidikan dan LPMP agar memberikan perhatian sebagai dasar
kebijakan untuk menyusun program –program diklat pembelajaran matematika SD.
Yang dimaksud realistik adalah tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Karakteristik RME adalah menggunakan
konsep”dunia nyata” model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan
(intertwinment) (Treffers, 1991; Van den Heuvel-Panhuizen, 1998; Suharta, 2001)
Dalam RME pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”) sehingga
memungkinkan siswa untuk menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses
pencarian dari konsep yang sesuai dengan situasi nyata dikatakan oleh De Lange (1978) sebagai
matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep
yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke
bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani
konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi
pengalaman sehari-hari (mathematization of every day experience)dan penerapan matematika
dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000) . De Lange (1987) menggambarkan konsep
matematisasi dalam gambar 1.

Gambar 1 : Konsep Matematisasi (de Lange, 1987)


Formulasi dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Melalui aktivitas
matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi
konsep-konsep matematika (Treffers 1991)
Paradigma baru pendidikan menekankan proses pendidikan formal sistem persekolahan harus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut. (a) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran
(learning) daripada mengajar (teaching). (b) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang
fleksibel, (c) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri. (d) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000)
Diberlakukannya Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam PP 19/ 2005 dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maka strategi dan pendekatan pembelajaran apapun
modelnya haruslah sesuai dan sejalan dengan rumusan sbb: Proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik.
Sesuai dengan pendapat Freudhental yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan
dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.maka Pendidikan Matematika
Realistik (PMR) berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities)
dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri
antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan
bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).
Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange,
1995).(a) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” (kontekstual) bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat
dalam pelajaran secara bermakna, (b) permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut. (c) Siswa mengembangkan atau
menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan,
(d) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap
jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan
melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Pembelajaran dengan pendekatan PMR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan
bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep
sendiri. Setelah itu diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
.Hubungan Fase pembelajaran dan konsep PMR , peran guru dan aktivitas siswa digambarkan
pada tabel 1:

Tabel 1 Hubungan antara Fase Pembelajaran, Peranan Guru dan Aktivitas Siswa
Tabel 1 Hubungan antara Fase Pembelajaran, Peranan Guru dan Aktivitas Siswa
No. Fase Pembelajaran Peranan Guru Aktivitas Siswa
dan konsep PMR
1. Fase Pengenalan 1. Memberikan masalah
(Matematisasi kontekstual yang sesuai dengan 1. Siswa memahami
konseptual) materi pembelajaran masalah kontekstual yang
2. Mengajukan diajukan guru
pertanyaan/mengajak siswa 2. Menjawab pertanyaan
berdiskusi untuk –pertanyaan guru, dan mencoba
menghubungkan masalah yang menggali pengalaman yang
diberikan dengan pengalaman telah dimiliknya untuk
yang telah dimiliki siswa mengkonstruksi pengetahuan
berdasarkan masalah kontektual

2. Fase Eksplorasi 1. Aktif baik secara individu


(strategi informal ) 1. Guru harus mampu maupun kemampuan bekerja
untuk mengarah pada membangun pembelajaran yang sama dalam kelompok.
formalisasi interaktif, baik secara individu, 2. Berupaya untuk menemukan
belajar berpasangan atau pun penyelesaian masalah dengan
belajar dalam kegiatan bantuan teman sejawat.
kelompok 3. Memiliki rasa percaya diri ,
2. Guru harus memberikan untuk memberikan kontribusi
kesempatan kepada siswa untuk pada kelompoknya.
secara aktif menyumbang pada 4. Termotivasi.
proses belajar dirinya, dan
secara aktif membantu siswa
dalam menafsirkan persoalan
riil; dan
3. Guru memberi bantuan
seperlunya
4. Memberikan motivasi, dan
reward dari kemajuan siswa

3. Fase Meringkas 1. Mengkomunikasikan


(Penguatan konsep 1. Memberikan kesempatan perolehan dengan cara :
dan pengaplikasian pada siswa untuk a. presentasi dalam bentuk
konsep) mengkomunikasikan diskusi kelas
perolehannya, b. Mempamerkan hasil karya
2. Melatih sifat demokratis, c.Mendemonstrasikan
yakni berani menyampaikan d. Percaya diri
gagasan, mempertahankan
gagasan dan sekaligus berani
pula menerima gagasan orang
lain

Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-
kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti
sebagai instrumen kunci. Penelitian ini bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis
dengan pendekatan induktif (Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Malang, 2003).
Dalam hal ini penelitian ini menekankan pada fokus pelaksanaan pembelajaran, aktivitas siswa,
peran guru matematika dalam memfasilitasi kegiatan, termasuk dalamnya memandang dan
memberikan persepsi tentang PMR sejalan dengan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan, serta
kendala- kendala yang berkaitan dengan implementasi Pendekatan PMR.

Dalam upaya penambilan data , peneliti merupakan instrumen kunci yang mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (a) Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian., (b) Peneliti sebagai
alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka
ragam data sekaligus, (c) tiap situasi merupakan keseluruhan. (d) suatu situasi yang melibatkan
interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. (e) Peneliti sebagai
instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
Subyek penelitian adalah guru SDN Antasan Besar 7 Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, minggu pertama bulan April 2008 sampai
minggu keempat bulan Mei 2008, yang diawali dengan pra penelitian pada Maret 2008. Selain
itu sumber data diperoleh dari kepala sekolah dan siswa kelas 5 di sekolah tersebut.
Pengambilan data dilakukan dengan (a) melakukan observasi /pengamatan secara langsung
pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, (b) Wawancara , dengan
wawancara peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam
menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan
melalui observasi (Wahyu 2006: 27), (c) Triangulasi, yang diartikan sebagai teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah
ada.
Untuk mendapatkan kesan-kesan siswa, siswa diberikan kertas dan diminta menuliskan kesan-
kesannya terhadap pembelajaran yag telah diikutinya dengan bebas secara terbuka.
Hasil
Pelaksanaan implementasi tidak berjalan secara langsung, akan tetapi berjalan secara bertahap
dan berproses sampai guru memiliki kemampuan untuk melaksanakannya dikelas. Pada awalnya
guru mengenal konsep PMR pada suatu pelatihan yang berbentuk workshop yang dilaksanakan
oleh Tim PMR
Model Pelatihan dalam bentuk workshop yang dilaksanakan PMR, memberikan dampak positif
bagi peserta pelatihan setelah selesai mengikuti kegiatan. Pola bottom up pada workshop
memberikan motivasi pada guru untuk mencoba pendekatan PMR dalam pembelajaran secara
sukarela. Workshop ini tidak hanya sekali saja , tetapi dirancang untuk berkelanjutan. Pada
workshop lanjutan guru yang telah mengikuti workshop sebelumnya dipanggil kembali dan
diberikan kesempatan pada guru untuk memperlihatkan hasil pengembangannya.
Sebelum guru menerapkan PMR di kelas, konsep pendekatan ini diseminasikan dulu dan di
sosialisasikan dengan orang tua siswa, kepala sekolah serta guru-guru pengajar matematika
lainnya disekolah yang sama, dan didesiminasikan juga di KKG Gugus Banjarmasin Tengah
pada guru-guru matematika dari berbagai sekolah lainnya. Namun demikian tidak semua guru
matematika mampu dan mau untuk mengembangkan pendekatan ini.
Di sekolah yang sama hanya ada 2 (dua) orang guru yang sudah menerapkan pendekatan PMR di
kelasnya. Sebagai nilai positif yang diperoleh kedua orang tersebut, mereka diminta untuk
mendesiminasikan pengembangan PMR dalam seminar-seminar dan workshop lanjutan.
Pada pertemuan KKG secara rutin, pendekatan PMR merupakan salah satu bagian yang selalu
menjadi bahan informasi, bahan diskusi dan sharing pendapat dari para guru. Masih banyak
persepsi yang berbeda dalam menanggapi pendekatan PMR ini. Pengertian Pembelajaran
Realistik diartikan oleh sebagian besar guru dalam arti sempit yaitu menggunakan pembelajaran
harus selalu menggunakan benda-benda nyata (konkrit) yang ada di lingkungan dan kehidupan
sehari-hari. Sehingga untuk melaksanakan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR
dirasakan guru cukup sulit, karena untuk memulainya guru harus dapat menentukan dan
menghubungkan keadaan nyata dengan materi matematika yang sebenarnya memiliki
karakteristik abstrak.
Untuk mengembangkan PMR, guru melakukan persiapan. Persiapan yang dilakukan guru
sebagai subyek penelitian, antara lain (a) membaca buku/buletin tentang PMR dan memahami

konsep pendekatan PMR dengan benar, (b) memilih materi matematika yang sesuai untuk
diajarkan dengan pendekatan PMR, (c )membuat rencana pembelajaran, sebagaimana tugas rutin
guru sehari-hari, (d) membuat Lembar Kerja Siswa yang sesuai dengan materi pelajaran, (e)
mempersiapkan alat bantu pelajaran termasuk alat peraga, (f) menentukan jenis penilaian yang
sesuai.
Dalam hal ini guru benar-benar berusaha untuk menjadi fasilitator bagi pembelajaran yang
dikelolanya. Bukan hanya untuk hari pelaksanaan, akan tetapi guru mempersiapkan siswanya
untuk membawa peralatan seperti kotak bekas yang berbentuk kubus dan balok serta peralatan
kerja seperti gunting, cellotyp, lem dan karton untuk bekerja selama materi yang berkaitan
dilaksanakan.
Pembelajaran yang diobservasi adalah pembelajaran tentang geometri. Pembelajaran ini
menggunakan alokasi waktu 3 (tiga) kali pertemuan dengan standar Kompetensi tentang
Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun , dan Kompetensi Dasar tentang
Menentukan jaring-jaring berbagai bangun ruang sederhana, . dari Kurikulum 2006 (KTSP)
Pembelajaran ini mempunyai tujuan agar siswa dapat: (a) menemukan berbagai bentuk jaring-
jaring kubus dan balok yang berbeda dengan cara membuka kotak kertas yang berbentuk kubus
dan balok yang berbeda, (b) mengidentifikasi jaring kubus dan balok dari berbagai gambar
jaring-jaring yang disediakan, (c) menggambar jaring-jaring kubus dan balok .
Berikut ini beberapa contoh gambar yang memperlihatkan aktivitas siswa dalam proses
menemukan dan mengidentifikasi jaringjaring kubus dan balok dengan menggunakan kotak
bekas pakai. Gambar berikut memperlihatkan kegiatan siswa sedang melakukan pembedahan
kotak bekas pakai sampai berbentuk jaring-jaring kubus dan balok.
Gambar 2 .Membedah kotak bekas pakai
Hasil Perolehan dipresentasikan , seperti pada gambar 3.

Gambar 3 . Mempresentasikan hasil


Setelah semua kelompok mendapat giliran, hasil yang telah diperoleh kemudian di tempelkan di
papan tulis. Siswa nampak senang dan antusias dalam memperagakan hasil perolehannya di
papan tulis. Kemudian guru meminta siswa untuk menempelkan hasil aryanya di papan tulis.
Suasana kelas nampak agak ribut, karena meskipun guru mengatakan bahwa yang menempelkan
hasil karya mereka cukup dilakukan oleh wakil kelompoknya saja, mereka tetap saja maju
kedepan untuk membantu menempelkannya
Gambar 4. Menempelkan hasil karya di papan tulis
Pertemuan berikutnya adalah pertemuan lanjutan dimana siswa diminta mngidentifikasi jaring-
jaring dari potongan karton yang sudah dibuat mereka terlebih dahulu dengan arahan dan tugas
guru. .
Hasil Kegiatan mengidentifikasi jaringjaring kubus dan balok dapat dilihat pada gambar 5
berikut:
Gambar 5. Melakukan Identifikasi Bentuk Jaring-jaring Kubus dan Balok
Setelah semua kelompok menempelkan semua jaring-jaring yang diperoleh mereka di papan
tulis, guru mengajak siswa untuk memikirkan kembali apakah dari jaring-jaring tersebut masih
ada jaring-jaring yang sama bentuk. Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi jaring-jaring
balok dan kemudian disusul dengan identifikasi jaring-jaring balok dengan arahan guru dan
tanya jawab.
Gambar 6. Guru Mengarahkan Dengan Tanya Jawab
Pembahasan
Sesuai dengan temuan penelitian, maka pembahasan mengenai hasil penelitian ini meliputi: (a)
Pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, (b) peran guru selama
memfasilitasi kegiatan, (c) aktivitas dan pendapat siswa selama pembelajaran, dan (d) kendala –
kendala yang ditemui guru dalam pelaksanaan.
Berdasarkan temuan penelitian, terungkap bahwa proses implementasi PMR dimulai dengan
deseminasi dikalangan guru untuk mata pelajaran matematika mulai guru-guru dalam lingkungan
sekolah, orang tua murid, dan guru-guru dalam lingkungan gugus KKG Banjarmasin Tengah.
Secara teknis, proses deseminasi implementasi PMR sebagaimana digambarkan di atas cukup
relevan. Secara bertahap proses diseminasi yang dilakukan guru sebelum melaksanakan kegiatan
dikelas cukup membuka wawasan guru, orang tua murid maupun kepala sekolah.

Diseminasi ini mencoba untuk membuka wawasan kepada para guru bahwa PMR dapat
dijadikan alternatif pendekatan guna perbaikan pembelajaran kearah yang lebih baik sesuai
dengan paradigma pendidikan di masa depan dan standar proses pendidikan dalam PP 19/ 2005.
Dukungan kepala sekolah, dan orang tua murid guna pengembangan pendekatan PMR sangat
menentukan keberhasilan implementasi ini.
Meskipun pada kenyataannya secara substantif, implementasi PMR belum menunjukkan
pengembangan yang merata bagi semua guru. Hal ini terlihat dari jumlah guru yang
mengembangkannya. Akan tetapi bagi guru yang melakukan pengembangan dapat merasakan
adanya perubahan dalam aktivitas siswa, dan peningkatan prestasi belajarnya di sekolah.
Pengembangan ini tidak akan berhasil dengan baik jika guru yang akan mengimplementasikan
tidak memahami konsep PMR yang sebenarnya. Pendapat De Lange (1955) yang menyatakan
bahwa konsep matematika dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan dunia riil
dapat memberikan persepsi yang keliru bagi guru. Kesalahan persepsi tersebut akan
menyebabkan guru tidak menghantarkan siswa kearah matematisasi formal, akan tetapi akan
berhenti pada tingkat matematisasi horisontal. Akibatnya proses ini tidak dapat menghantarkan
siswa pada pola pikir ketingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu sebelum
mengimplementasikan pendekatan PMR, proses desiminasi dalam bentuk pelatihan atau
workshop bagi guru sangat diperlukan.
Peran guru dalam mengimplementasikan PMR, juga perlu dipersiapkan. Peran guru sebagai
fasilitator benar-benar dilaksanakan, sehingga pembelajaran tidak asal jalan secara rutinitas, akan
tetapi memberikan dampak positif yang memiliki perbedaan dari pola pembelajaran matematika
yang rutin dilakukan guru.
Temuan penelitian ini menunjukkan peran guru nampak jelas dan implementasikan PMR di kelas
sesuai dengan tahapan- tahapan dalam rencana pembelajaran yang telah disusun guru serta
kesesuaiannya dengan fase-fase pembelajaran dalam pendekatan PMR. .
Sejalan dengan hal tersebut di atas, guru mempunyai kesan tersendiri yang diperoleh dari
pengalaman mengimplementasikan PMR dalam pembelajaran Matematika. Menurutnya PMR
merupakan suatu pendekatan yang sangat efektif dalam pengelolaan pembelajaran, dan
memberikan berbagai kontribusi bagi kemampuan-kemampuan siswa seperti kemampuan
kerjasama, mau menerima dan memberikan pendapat serta saling membantu siswa lain yang
mengalami kesukaran.
Aspek – aspek pendekatan PMR tersebut sebenarnya merupakan kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) yang sangat bermanfaat untuk dapat direfleksikan diswa dalam setiap berpikir dan
bertindak di masa depannya.
Kesan umum siswa terhadap pembelajaran sangat menggembirakan. Setiap siswa menyatakan
bahwa pembelajaran seperti itu membuat mereka aktif, merasa percaya diri diberikan
kesempatan untuk presentasi, meskipun masih ada sedikit rasa gugup pada waktu tampil kemuka
kelas akan tetapi guru sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan, interaktif, dan komunikatif.
Aktivitas dalam melakukan kegiatan menemukan jaring-jaring kubus dan balok memang nampak
jelas, akan tetapi pada pemahaman konsep jaring-jaring itu sendiri bagi beberapa siswa masih
diperlukan pengecekan guru,
Peran guru yang menyediakan pengalaman belajar melalui lingkungan belajar yang interaktif
ditunjukkan guru dalam suatu proses penemuan jaring-jaring kubus dan balok. Guru sebagai
fasilitator telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif memberikan kontribusi
yang sangat besar mulai dari masalah kontekstual sampai pada pembentukan matematisasi
formal. (reinvention proces).
Disamping banyak dirasakan kelebihan dan daya tarik tersendiri dalam melaksanakan
pembelajaran dengan pendekatan PMR, guru juga merasakan kesulitan yang merupakan kendala
dalam melaksanakan pengembangan.

Kesulitan utama sesuai dengan yang terungkap pada hasil penelitian, adalah melakukan
rancangan pembelajaran. Kesulitan dalam memilih materi yang sesuai dan menyusun rancangan
pembelajaran sehingga menjadi suatu model pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan PMR
juga yang dirasakan oleh para guru. Sebagai konsekuensi kesulitan ini, maka guru cenderung
memilih model pembelajaran yang lebih sederhana dan dianggap tidak memberatkan mereka dan
hal ini mudah sekali untuk menghantarkan guru kembali kepada pembelajaran rutinitas
(konvensional).
Kesulitan ini sebenarnya dapat dipermudah jika saja guru di KKG dapat membuat suatu
pemetaan materi –materi yang sesuai untuk dilaksanakan dengan pendekatan PMR, dan bersama-
sama tukar pendapat dan pengalaman untuk membuat model pembelajaran. .
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan beberapa simpulan
sebagai berikut: (a) Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMR dapat
membuat siswa aktif, berinteraksi, bekerjasama, mengkomunikasikan hasil perolehan,
menemukan konsep, meningkatkan rasa percaya diri siswa dan berlangsung dalam situasi yang
menyenangkan. (b) Peranan guru dalam proses implementasi pendekatan PMR menempatkan
guru sebagai seorang fasilitator yang menyiapkan pengalaman belajar dan motivator bagi
siswanya. (c) Aktivitas siswa dalam pembelajaran adalah memberikan pengalaman menemukan
dan memecahkan masalah. Pengalaman mempresentasi hasil perolehan dapat meningkatkan rasa
percaya diri dan termotivasi untuk tidak berputus asa, serta merasa senang selama mengikuti
pembelajaran.(d) Kendala utama bagi guru dalam mengimplementasi pendekatan PMR dalam
pembelajaran matematika adalah memilih materi yang sesuai untuk diterapkan dengan
pendekatan PMR, dan menyusun rencana pembelajaran sebagai suatu model pembelajaran.
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: (a)
Desiminasi pendekatan PMR dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan secara lebih
merata bagi para guru matematika di SD baik melalui program pelatihan atau workshop, atau
program KKG. (b) Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi guru matematika,
bahwa pendekatan PMR dapat dijadikan suatu alternative pendekatan dalam pembelajaran
matematika guna perbaikan pembelajaran yang sesuai dengan standar proses. (c) Disarankan
kepada Dinas Pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) untuk merancang
pelatihan atau workshop bagi guru matematika SD dalam upaya pengembangan PMR.
DAFTAR RUJUKAN
.......................2007. Buletin PMRI Volume V. IP-PMRI. Fakultas MIPA . Institut Teknologi
Bandung
Cinzia, B. 2000. Mathematics In and Out of School: Is It Possible Connect These Context?
Exemplification From an Activity in Primary Schools. http://www.nku.edu/-
sheffield/bonottopbyd.htm.
De Lange. 1987. Mathematics Insight and Meaning, OW& OC. Utrecht.
Suparlan. 2004. Sepuluh Kaidah Untuk Meningkatkan Citra Matematika Sebagai Mata Pelajaran
Yang Menyenangkan. Fasilitator.Edisi IV .
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi kedua. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Moleong .J.L. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
MS.Wahyu. 2006. Penelitian Kualitatif . Banjarmasin, Universitas Lambung Mangkurat.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Sommerset, A. 1997. Strengthen Quality in Indonesia’s Junior Secondary school: An Overvieu
of issues and Initiatives.MOEC Jakarta, 1996.
Soedjadi. 2001. Pemanfaatan Realitas Lingkungan Dalam Pembelajaran Matematika: Makalah,
disampaikan pada Seminar Nasional Ralistic Mathematics Education (RME) di FMIPA UNESA
24 Februari 2001.
Sletenhaar. 2000. Adapting Realistic Mathematics Education in Indonesian Context. Dalam
Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X
ITB, 17-20 Juli 2000)
Suwarsono. 1999. Problematika Pendidikan Matematika di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam kuliah Penelitian Lanjut .
Hadi. S. 2002. Effective Teacher Professional Development for Implementation Of Realistic
Mathematics Education In Indonesia. University of Twente.
Hadi. S. 2003. Inovasi Pembelajaran. Makalah disajikan pada pertemuan Forum Komunikasi
Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan, di Rantau Kabupaten Tapin, 30 April 2003
Universitas Malang. 2003. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Edisi Keempat. Malang:
Universitas Malang.
Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
Zani. Y. (2006). Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Matematika Siswa Menggunakan
Pendekatan PMRI Melalui Permainan Pencari Harta Karun di Kelas V SDn Antasan Besar 7
Banjarmasin. Makalah . Tidak diterbitkan
Catatan :
Karya Tulis Ilmiah ini telah terpilih dan mendapatkan penghargaan sebagai 20 peserta terbaik
secara Nasional pada Forum Ilmiah Widyaiswara se- Indonesia di Jakarta 15 Agustus 2008 dari
235 Karya Tulis Ilmiah lainnya.

You might also like