You are on page 1of 34
Penjelasan Singkat Mengenai Sengkalan Hari Jadi Kabupaten Grobogan 1. Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, tahun 1650 KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI Arti: KOMBULING : dari kata : Umbui = kaumbul, umbul,muluk, naik ke angkasa, tiada, hilang, kawentar, terkenal, bersatu. CIPTO : dari kata : angan-angan, cita-cita,gegayuhan, krenteging ati, cipta, mencipta. HANGROSO : dari kata: roso, cipta, rasa batin merasa. JATI : dari kata: sejati, benar, sungguh, yekti, suci. Arti Sengkalan KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI, ialah : Bersatunya kehendak dengan Nyang Agung menumbuhkan rasa sejati hidup dalam kesucian. Makna ; Bersatunya angan-angan atau cita-cita yang luhur dengan dilandasi rasa percaya kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberi semangat untuk berbuat baik, karena sadar bahwa kita (manusia) adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi martabat dan hakekatnya. Angka Tahun : KOMBULING - Ka-umbul-mumbul-tiada-hilang = bernilai 0 (nol) CIPTO ~ angan-angan, cita-cita, gegayuhan, krentegingati = bernilai 5 (lima) HANGROSO __ - ngrasa-merasa = bernilai 6 (enam) JATI - Sejati, sayekti, benar, suci = bernilai 1 (satu) Sengkaian KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI bernilai angka tahun Jawa 1650. Qin tar a Rabati Groin 2. Senin Kliwon, 4 Maret, tahun 1726 KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA Arti: KRIDHANING : dari kata ; kridha, gawe, obah, gerak, kerja HANGGA : dari kata : hangga, anggota badan, tenaga HAMBANGUN : dari kata : bangun, bekerja,menciptkan sesuatu, membuat sesuatu PRAJA : dari kata : praja, nagara, nagari, negara Arti Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA, iaiah : Kegiatan kerja kita adalah untuk membangun negara dengan segala isinya (manusia, bangsa, dan pemerintahan negara). Makna : Tekad yang kuat untuk membangun daerah atau negara yang berisi manusia dan benda wajib dilandasi oleh sarana bekerja giat di segala bidang (fisik maupun non-fisik), Angka Tahun: KRIDHANING : obah, gawe, nyambut gawe, bekerja bernilai 6 (enam) HANGGA : anggota badan (tangan dan kaki)bernilai 2(dua) HAMBANGUN : mbangun, membangun, menciptakan sesuatu yang baru atau memperbaruhi sesuatu yang lama = bernilai 7 (tujuh) PRAJA ; praja, negara, daerah = bernilai 1(satu). Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA bernilai angka tahun Masehi 1726 Sead Mala Kap Grabgen SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA KABUPATEN GROBOGAN*) A. PENGANTAR Berdasarkan perjalanan sejarahnya, daerah Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau Sumedang Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura. Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit, Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka. Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif Bupati Nayoko Ponorogo : Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan dan Perang Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan Pangeran Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi. Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati sebelah Utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu, bahkan sampai ke Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957: 76 : 91). Daerah Sukowati ini kemudian sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara lain : Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggit, Jekawal, dll. Daerah yang masuk wilayah Kab. Dati IT Boyolali antara jain lain ; Repaking, Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dil. Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk wilayah Kabupaten Dati IT Grobogan antra lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu, sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub, Getas, dil. Dalam pekembangan sejarah seianjutnya, atas ketentuan Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara, Grobogan termasuk wilayah Kasultanan bersarna-sama dengan Madiun, separuh Pacitan, Magetan, Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu- Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6). Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA Amangkunegara di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811, ditetapkan, bahwa uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di hapus. Kedua, kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah Grobogan), beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga, distrik-distrik Grobogan, Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan Japan. Ketiga, kepada Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali, daerah Galo (?), dan distrik Cauer Wetan (2) (Ibid. : 77). Siar Her des Kaapaten Crobagan Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan, Purwodadi, Wirosari, Mangor {?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan melawan Belanda (Sagimun MD, 1960: 32, 331- 332). Begitulah Grobogan, daerah yang selalu bergolak di sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah yang penuh daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa pergerakan Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Grobogan Purwodadi sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia. 5B. DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serai Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, JI: 77; Raffles, 1978: 212). Di lain pihak cerita Aji Saka juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita "lambang" bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa. Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam: Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam : a. 1. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5). Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, "Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, jimpad ing ngeimu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa". Aji Saka gumujeng amangsull, "Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggib kula". b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931; (hal. 10;27) Jangaran jaman Kala Dwapara ... Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasitnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka ... Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka. c Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 ; hal. 51. Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Sia Holds Rabaatn Grloyn Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar ... d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, Ill. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23. Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu, Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawari. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?), Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai qurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara “Fupangku, Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, jimu penitisan (inkarnasi), dan iimu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Mednang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar. Dari kutipan di atas, kita ketanui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggaikan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana, Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan, Hal ini dikiaskan dalam lambang "desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seiuruh Wilayan Mendhang Kamulan. Di siniiah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke iaut menjadi seekor buaya putih). Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan “nir wuk tanpa jalu" yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Dt Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila mengaunakan perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkaia. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi), Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau) berupa gambar yang menunjukkan angka tahun stint te ed Ragen Gren Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara. Sengkaian dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang berbeda-beda artara 0 (nol) sampai angka 9 (Sembilan) dengan mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya, Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain: 1) Srutti Indriya Rasa : termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari Rakai Sang Ratu Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan Sengkalan tertua yang pernah kita temukan. 2) +Nayana Wayu Rasa : termuat daiam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di "Candi Badut" dekat Malang. Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi. 3) Nir Wuk Tanpa Jaiu : termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Merupakan tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamutlan dengan gelarnya Prabu Jaka atau Empu Lobang Widayaka. 4) Sirna Hilang Kertaning Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka ? Tahun 1478 Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit. Beberapa contoh Sengkalan Memet : 1) Di atas Panggung Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan Surakarta, terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila dibaca berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau 1781 Masehi. 2) Panggung tersebut dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung = pa agung bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para pendeta Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai i (satu), jadi 1708 Jawa atau 1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka Jawa bernilai i (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781 Masehi. Sengkalan ini sebagal peringatan pembuatan panggung tersebut. 3) Di dalam wayang kulit purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu Nandini. Di baca : Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi, ialah peringatan ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana dakwah Islam. Seen Hold Kabpuitn Groloen 9 4) Ketika Sultan Agung membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta Rambut Geni yang merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing Ratu. Bernilai tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi. Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu Kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga. Secara geoagrafis, sekarang wilayah Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur. Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panjt Panuluh, Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan, Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang_ terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka :; Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. $$ Sir tar da apt Greg Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis. Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki- laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga faki-laki "dimakan" oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dil. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram! Sekarang dimanakah ietak Kerajaan Medhang Kamulan itu Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata; Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti “ibu kota”. Buktinya : 1) Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : "rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu". (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar- pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu. 2) Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya “ri Mendhang ri Bhumi Mataram”, artinya “di Medhang di Bumi Mataram". Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula "Medhang i Bumi Mati Watu" yang artinya "Ibukota di Bhumi Mat i Watu" (Caspaaris, I, 1950: hal, 39-42), Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai "kuthagara"nya di Mataram. Sedang Kamulan berasal dari kata dasar “mula” mendapatkan awalan "ka" dan akhiran "an", membentuk kata benda. Arti "mula" adalah awal, asal, atau akar Untuk memperoleh penjelasan tentang “mula" tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia 1 (1950). Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali "Sang Hyang Dharma Kamulan", yang artinya "Mula Sang Hyang Dharma” Maksudnya adalah “pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat pemakaman nenek moyang". Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO 38) "apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan la Pangawan" yang artinya "sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan". Sa Hn: ede Keeper okgin Jadi disini kata “mula” berhubungan dengan "gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci. Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842) mendirikan “Kamulan" di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci Borobudur. Di sini arti "Kamulan" adalah makam nenek moyang dan tempat pemujaan. Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan dengan kata “mula” di sini adalah “asal, cikal bakal, awai atau permulaan kejadian." Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula pertama atau asal kejadian. Sekarang timbul pertanyaan : Di manakah letak !bukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti : Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya. be Beberapa ahli menunjuk letak Kota Medhang sebagai rikut 1) _ Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pufalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Initah pendapat Krom, (1957 : 40 ). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang beriokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III, 1922). 2) Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yong, olcuca bekas istana kerajaan Medhang. (Raffles, 178}. - 3) Pendapat purbacarka dalam bukunya "Enkele Oud platsnamen" dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang. Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan,kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, o—_—— Heri dads Kabupaten Groboyen

You might also like