You are on page 1of 3

Konsep Manusia dalam Filosofis Al-Qur’an

Mirna Safitri (208000007)


Tugas Filsafat Al-Qur’an

Pembahasan mengenai masalah manusia, sekiranya masih dikatakan terlambat dilakukan


oleh manusia itu sendiri. Karena kebanyakan manusia sudah lebih mendahului perhatiannya pada
hal-hal yang tertuju dengan penyelidikan tentang alam materi. Seperti yang sudah dilakukan
sebelumnya oleh nenek moyang kita, di mana saat itu manusia sudah disibukkan agar dapat
menjinakkan atau menundukkan alam semesta di sekitarnya. Seperti halnya mereka dapat
melawan binatang-binatang buas dengan senjatanya yang mereka buat, adanya penemuan api,
peternakan, pertanian, dan sebagainya sehingga mereka tak sempat dan tak dapat memikirkan
hakikat diri mereka sendiri sebagai manusia.

Namun, setelah zaman kebangkitan atau dapat kita sebut sebagai zaman Renaisans
ternyata sudah banyak para ahli yang menemukan berbagai penemuan mengenai hal-hal baru
dalam kehidupan. Selain itu pun, permasalahan tentang manusia itu sendiri sudah banyak
dibicarakan dan didiskusikan hingga sekarang ini, karena sudah menjadi hal yang menarik
meskipun persoalan ini tak pernah selesai secara tuntas. Akan tetapi pembicaraan mengenai
manusia ini tidak lain juga termaktub dalam al-Qur’an, di mana secara filosofis al-Qur’an
menjelaskan bahwa manusia didudukkan sebagai makhluk ciptaan Allah berupa jasmani dan
rohani. Al-Qur'an memberi acuan konseptual yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan
kebutuhan jasmani dan ruhani agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Al-Qur'an
memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya, oleh sebab itu al-Qur’an perlu
menjawab pertanyaan siapakah manusia itu.

Di dalam al-Qur'an, terdapat tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia,
yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan yang terdiri tiga huruf ini sama
halnya seperti nas, ins, atau unas yang mana dipakai dalam al-Qur’an sebagai manusia yang
tunggal. Sedangkan untuk jamaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Pada dasarnya
kata insan diambil dari kata al-uns (jinak, harmonis, tampak), nasiya (lupa) atau nasa-yanusu
(berguncang), maka dari sini dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk pada suatu
pengertian yang adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Kata

1
insan digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa
dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan
fisik, mental, dan kecerdasan.

Sementara kata basyar diambil dari kata basyarah yang berarti kulit. Basyar pun dapat
diartikan sebagai penampakan sesuatu yang baik dan indah. Dengan begitu, ini menunjukkan
bahwa manusia memiiki hal yang berbeda dengan hewan ataupun makhluk lainnya sehingga ia
dapat tampak dengan jelas dan berbeda. Dalam al-Qur’an kata basyar digunakan sebanyak 36
kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mustanna. Hal ini menandakan bahwa
manusia dapat dipandang dari sudut lahiriyah dan persamaannya dengan manusia secara
keseluruhan. Oleh sebab itu, dijelaskan dalam surah al-Kahf ayat 110 bahwa Nabi Muhammad
diperintahkan menyampaikan wahyu, “Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
wahyu”.

Selain itu, al-Qur’an menggunakan kata basyar juga mengisyaratkan bahwa adanya
proses kejadian manusia sebagai basyar dengan melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai
pada tahap kedewasaan. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan kamu
dari tanah kemudian ketika kamu menjadi basyar (manusia) yang berkembang biak” (QS. Ar-
Rum: 20). Namun, berbeda jika kita membaca peristiwa mengenai proses kejadian manusia
pertama kali, yaitu Adam. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa penciptaan manusia pertama
digunakan oleh Sang Pencipta dengan memakai kata ganti bentuk tunggal. “Sesungguhnya Aku
akan menciptakan basyar (manusia) dari tanah” (QS. Shad: 71).

Sebagaimana basyar yang menunjukkan kata tunggal yang digunakan dalam penciptaan
manusia pertama yaitu Adam, hal ini membuktikan adanya letak perbedaan yang menonjol pada
proses kejadian manusia yang secara umum dengan adanya keterlibatan dari Tuhan dan
perantaranya seperti Ibu dan Bapak. Jika penciptaan Adam dalam al-Qur’an dijelaskan dengan
menggunakan kata basyar yang bentuknya tunggal, maka perbedaan yang terletak pada
penciptaan manusia pada umumnya adalah menggunakan bentuk jamak di dalam al-Qur’an yaitu
kata al-insan. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia (al-insan) dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (QS. At-Thin: 4). Dengan begitu, kita dapat mengetahui proses kejadian
manusia dengan keterlibatan ibu dan bapak adalah mempunyai pengaruh yang implikasinya
kepada bentuk fisik dan psikis anak, sementara dalam penciptaan Adam tidak ada keterlibatan
dari yang lain seperti ibu dan bapak.

2
Lebih dari itu, dalam al-Qur’an pun banyak membicarakan tentang sifat-sifat dan potensi
yang dimiliki oleh manusia. Seperti pernyataan bahwa manusia tercipta dalam bentuk sebaik-
baiknya (QS. At-Tin: 5), pernyataan yang menegaskan bahwa dimuliakannya manusia dibanding
dengan makhluk lainnya (QS. Al-Isra’: 70). Akan tetapi di samping itu juga manusia mempunyai
sisi negatif yang mana dengan sifat-sifatnya yang kadang tercela dan mengingkari nikmat (QS.
Ibrahim: 34), sangat membantah (QS. al-Kahf: 18), dan bersifat keluh-kesah juga kikir (QS.al-
Ma’arij: 19). Maka dari sinilah manusia dapat disimpulkan bahwa ia adalah makhluk yang
mempunyai dua unsur, di satu sisi bernilai baik dan positif seperti bertanggungjawab, dapat
berpikir, makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi,
sangat terbuka, dan mempunyai potensi yang agung. Namun di sisi lain, manusia adalah makhluk
yang serakah, sombong, suka membantah dan lain sebagainya.

Meskipun begitu, dalam al-Qur'an manusia berulang kali diangkat derajatnya karena
aktualisasi jiwanya secara positif. Al-Qur'an mengatakan bahwa manusia itu pada prinsipnya
condong kepada kebenaran sebagai fitrah dasar manusia. Allah menciptakan manusia dengan
potensi kecenderungan, yaitu cenderung kepada kebenaran, cenderung kepada kebaikan,
cenderung kepada keindahan, cenderung kepada kemuliaan, dan cenderung kepada kesucian.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
[Itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS. ar-Ruum: 30).
Oleh karena itu, manusia dapat dikatakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur
padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektual), dan unsur jasmani. Dan ketiga unsur ini
berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain.

Daftar Bacaan:
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003.
Kusen, Konsepsi Filosofis Manusia dalam al-Qur’an dalam Jurnal Universitas Paramadina Vol.1
No. 3, Mei 2002: 224-232
Sanaky, Hujair AH, Konsep Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’an dan Upaya Pendidikan.
Bandung: Universitas Padjajaran, 1996.

You might also like