Professional Documents
Culture Documents
Laporan ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya
Pakan Alami
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Laporan dengan judul “Kultur Pakan Alami (tubifex sp,daphnia sp, dan artemia salina)”
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Budidaya Pakan Alami.
Dalam menyelesaikan laporan ini, banyak menemukan hambatan, tetapi berkat dukungan
pihak-pihak yang telah membantu, penulis dapat menghadapinya. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Ir. Gusrina,M.Si. selaku dosen mata kuliah Budidaya Pakan Alami.
2. Bapak Bagus Budi Setiawan selaku pembimbing praktikum.
3. Orang tua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil.
4. Pihak-pihak lain yang turut membantu.
Dalam penulisan laporan ini penulis telah mencurahkan segenap kemampuan secara
maksimal. Namun sebagai manusia tentu ada kehilafan maka dari itu penulis
mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun
sangat saya harapkan demi tewujudnya tugas yang lebih sempurna. Atas perhatiannya
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB III
METODOLOGI
Luas Wadah :
• panjang X lebar
• 36 X 22
• 792 cm2
• 0,0792 m2
Media kultur ( tinggi wadah 10 cm)
• 4:4:2
• Lumpur : kotoran ayam : air
Tebar bibit:
• Luas wadah X dosis
• 0,08 X 2 gr
• 0,16 gr
• Bibit yang ditebar sebanyak 39 ekor
Pengambilan sample pertumbuhan:
Contoh: setiap 10 hari sekali sample diambil dari 5 titik menghasilkan data =
2:1,5:1,5:1:1, jadi rata-rata pertumbuhannya adalah?
Jumlah rata-rata= jumlah seluruh data/banyaknya data
= 7/5
= 1,4 cm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
pertum buhan
tubifex sp
4.2 Pembahasan
Kecepatan arus atau aliran pada tempat hidup merupakan salah satu faktor yang
mengontrol kehidupan organisme sungai selain tanaman air dan oksigen terlarut.
Kecepatan arus secara langsung maupun tidak langsung sangat penting pada perairan
mengalir karena kecepatan arus akan menentukan macam dan jumlah endapan atau tipe
dasar sungai (Mulyanto, 1992).
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa aliran air yang tidak mematikan dan
merusak substrat adalah aliran air dengan kecepatan antara 300 ml/menit sampai dengan
600 ml/menit. Hal ini dapat diketahui karena dengan kecepatan aliran air tersebut,
substrat sebagai media tempat hidup dari Tubifex sp yang tidak mengalami kerusakan.
Selain itu pada kecepatan aliran air tersebut jumlah populasi Tubifex sp yang terhitung
adalah paling maksimal.
Berdasarkan penelitian tersebut dapat kita bandingkan dengan penelitian yang saya
lakukan yang mengalami penurunan populasi tubifex serta terjadinya kerusakan media
sehingga populasinya tidak maksimal. Hal ini dapat dianalisa karena debit air media
tubifex yang kita budidayakan mencapai 1025 ml/menit sehingga melebihi batas normal.
Pengamatan pertumbuhan yang dialkukan selama penelitian adalah dengan melakukan
perhitungan petambahan panjang individu yang dilakukan 10 hari sekali dalam populasi.
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Effendi (1997) dimana pertumbuhan adalah
pertambahan ukuran panjang dan berat dalam suatu waktu. Pertumbuhan yang diukur
pada populasi termasuk Tubifex sp diekspresikan dalam pertambahan jumlah individu.
Arus air yang optimum juga mempengaruhi pertumbuhan tubifex sp karena arus air
sebesar itu cukup untuk memberi pasokan oksigen yang besar bagi kehidupan Tubifex sp
tanpa merusak substrat dasarnya. Menurut Susanto (1988) aliran air ini berguna selain
untuk menambah oksigen, menjaga kesejukan juga untuk membuang sisa-sisa kotoran
yang Ditambahkan oleh Mulyanto (1992) bahwa dengan tingkatan aliran tertentu
diperlukan untuk memelihara substrat breeding organisme sungai sehingga cocok untuk
melakukan reproduksi.
Tubifex sp hidup baik pada kombinasi substrat kotoran ayam dengan lumpur kolam
karena kotoran ayam mengandung bahan organik tinggi yang dipergunakan sebagai
makanan sedangkan media lumpur dalam substrat diperlukan untuk melekat. Komposisi
media pada penelitian yang saya lakukan memiliki hasil yang sama dengan yang
dilakukan oleh Chumaidi (1984) pada campuran 50% kotoran ayam dan 50% lumpur
kolam memberikan pertumbuhan yang baik bagi cacing ini. Hasil yang baik tersebut
dikarenakan kotoran ayam mengandung sisa-sisa makanan yang tidak dicerna, sekresi-
sekresi perencanaan, bakteri, garam anorganik dan hasil dekomposisi (Fantenot, 1979)
dengan demikian diperlukan oksigen terlarut yang mencukup agar kandungan amoniak
tidak terlalu tinggi sehingga tidak sampai menghambat pertumbuhan populasi Tubifex sp.
Kecepatan debit air juga menentukan kadar oksigen terlarut. Pada suatu budiadaya,
konsentrasi oksigen terlarut perlu dijaga agar tetap tinggi karena sangat penting bagi
keberhasilan hidup suatu organisme (Alabaster, 1984) selain itu kadar oksigen terlarut
apabila lebih dari 2 mg/ml dapat menghambat nafsu makan dan reproduksi pada Tubifex
sp (McCall dan Fisher, dalam Mariam dan Pandian, 1984). Berdasarkan penelitian para
aquakuluturis debit air yang lebih dari 525 ml/menit dapat meningkatkan suplai oksigen
terlarut. Sehingga dengan debit air tubifex yang saya budidayakan yang mencapai 1025
ml/menit dapat meningkatkan suplai oksigen tetapi dapat merusak media tubifex.
Selama percobaan saya melakukan pemupukan susulan untuk mencegah terjadinya
pengurangan bahan-bahan organic yang menjadi supali makanan bagi tubifex zp.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Terdapat perbedaan yang nyata antar arus air yang berbeda dengan pertumbuhan populasi
Tubifex sp. Kecepatan aliran air kurang dari 900 ml/ menit merupakan arus yang baik
untuk mendapatkan populasi Tubifex sp secara maksimal.Debit air yang mencapai 1025
dapat menyebabkan penurunan populasi tubifex serta terjadinya kerusakan media
sehingga populasinya tidak maksimal. Kecepatan debit air juga menentukan kadar
oksigen terlarut. Pada suatu budidaya, konsentrasi oksigen terlarut perlu dijaga agar tetap
tinggi karena sangat penting bagi keberhasilan hidup suatu organisme (Alabaster, 1984)
selain itu kadar oksigen terlarut apabila lebih dari 2 mg/ml dapat menghambat nafsu
makan dan reproduksi pada Tubifex sp (McCall dan Fisher, dalam Mariam dan Pandian,
1984).
5.Saran
1. Untuk mencapai populasi maksimal maka pengontrolan debit air harus dilakukan
setiap hari
2. Mengontrol dan menjaga kualitas air supaya seimbang
3. Melakukan pemupukan susulan sebagai penyediaan nutrisi tubifex sp
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 kajian tentang Kutu Air ( Daphnia sp)
Kutu air diklasifikan sebagai berikut:
Phylum : arthropoda
Kelas : crustaceae
subkelas : branciopoda
divisi : oligo branciopoda
Ordo : cladocera
Famili : daphnidae
Genus : dapnia
Spesies :daphnia sp
Daphnia seringkali dikenal sebagai kutu air karena kemiripan bentuk dan cara
bergeraknya yang menyerupai seekor kutu (Gambar 1) . Pada kenyataannya Daphnia
termasuk dalam golongan udang-udangan dan tidak ada hubungannya dengan kutu secara
taxonomi. Daphnia merupakan udang-udangan renik air tawar dari golongan
Brachiopoda. Mereka boleh dikatakan masih saudara dengan Artemia. Meskipun
gerakannya tampak "meloncat" seperti seekor kutu sebenarnya binatang ini berenang
dengan menggunakan "kakinya" (sering disebut sebagai antena), bahkan dengan berbagai
gaya yang berbeda. Apabila anda menjumpai hewan renik yang meloncat di permukaan
air, boleh dipastikan itu bukanlah Daphnia melainkan Cyclops (www. O-fish.com)
Gambar 1
Daphnia betina dengan telur yang di kandungnya nia
(www.O-fish.com)
Daphnia merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga hewan kecil lainnya.
Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar bahan kering. Secara
umum, dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54 % lemak, 0.67 %
karbohidrat dan 0.15 % abu. Kepopulerannya sebagai pakan ikan selain karena
kandungan gizinya serta ukurannya, adalah juga karena “kemudahannya”
dibudidayakan sehingga dapat tersedia dalam jumlah mencukupi, 17umpur setiap saat
Siklus hidup daphnia sp
Daphnia merupakan udang-udangan yang telah beradaptasi pada kehidupan badan
perairan yang secara 17umpur1717 mengalami kekeringan. Oleh karena itu, dalam
perkembangbiakannya (seperti halnya Artemia) dapat dihasilkan telur berupa kista
maupun anak yang “dilahirkan”. Telur berupa kista ini dapat bertahan sedemikian rupa
terhadap kekeringan dan dapat tertiup 17umpur kemana-mana, sehingga tidak
mengherankan kalau tiba-tiba dalam genangan air disekitar rumah kita ditemukan
Daphnia.
Dalam keadaan normal, dimana kualitas air sesuai dan jumlah pakan cukup terdia
Daphnia akan manghasilkan keturunannya tanpa kawin
(aseksual/parternogenesis). Dalam kondisi demikian 17umpur semua Daphnia yang ada
adalah betina. Telur yang tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa dalam kantung
telur di tubuh induk, kemudian berubah menjadi larva. Seekor Daphnia betina bisa
menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu 60 hari seekor betina bisa
menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya betina. Tentu saja tidak semua
jumlah ini bisa sukses hidup hingga dewasa, keseimbangan alam telah mengaturnya
sedemikian rupa dengan diciptakannya berbagai musuh alami Daphnia untuk
mengendalikan populasi mereka. Daphnia muda mempunyai bentuk mirip dengan bentuk
dewasanya tetapi belum dilengkapi dengan “17umpur17” yang panjang.
Apabila kondisi lingkungan hidup tidak memungkinkan dan cadangan pakan menjadi
sangat berkurang, beberapa Daphnia akan memproduksi telur berjenis kelamin
jantan. Kehadiran jantan ini diperlukan untuk membuahi telur, yang selanjutnya akan
berubah menjadi telur tidur (kista/aphippa). Seekor jantan bisa membuahi ratusan betina
dalam suatu periode. Telur hasil pembuahan ini mempunyai cangkang tebal dan
dilindungi dengan mekanisme pertahanan terhadap kondisi buruk sedemikian rupa. Telur
tersebut dapat bertahan dalam 18umpur, dalam es, atau bahkan kekeringan. Telur ini bisa
bertahan selama lebih dari 20 tahun dan menetas setelah menemukan kondisi yang
sesuai. Selanjutnya mereka hidup dan berkembang biak secara aseksual. Dan begitu
seterusnya. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi siklus hidup Daphnia seperti diuraikan
diatas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Table 1 menunjukan populasi daphnia sp selama 3 minggu
Tanggal Waktu (hari) Prediksi Hasil praktek
Minggu pertama Minggu pertama Minggu pertama Minggu pertama
2 desember 2007 4 hari 51214 33792
4 desember 2007 2 hari 51214 42504
5 desember 2007 1 hari Tetap tetap
Jumlah minggu 104194 76269
pertama
Minggu kedua Minggu kedua Minggu kedua Minggu kedua
9 desember 2007 4 hari 36960
11 desmber 2007 2 hari 34760
12 desember 2007 1 hari tetap tetap
Jumlah minggu 71720
kedua
Minggu ketiga Minggu ketiga Minggu ketiga Minggu ketiga
16 desember 2007 4 hari 35288
18 desember 2007 2 hari 28160
19 desember 2007 1 hari tetap Tetap
Jumlah minggu 63448
ketiga
80000
70000
60000
50000
40000
populasi daphnia s p
30000
20000
10000
0
1 2 3
1
Gambar 1
Artemia salina
Kista tertua artemia pernah ditemukan oleh suatu perusahan pemboran yang bekerja
disekitar Danau "Salt Great". Kista tersebut diduga berusia sekitar lebih dari 10000 tahun
(berdasarkan metoda "carbon dating"). Setelah diuji, ternyata kista-kista tersebut masih
bisa menetas walaupun usianya telah lebih dari 10000 tahun
Siklus Hidup
Siklus hidup artemia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telur. Setelah 15 - 20
jam pada suhu 25°C kista akan menetas manjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam
embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan
menyelesaikan perkembangannya kemudian berubah menjadi naupli yang sudah akan
bisa berenang bebas. Pada awalnya naupli akan berwarna orange kecoklatan akibat masih
mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas tidak akan makan, karena mulut
dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam menetas mereka akan
ganti kulit dan memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini mereka akan mulai makan,
dengan pakan berupa mikro alga, bakteri, dan detritus organik lainnya. Pada dasarnya
mereka tidak akan peduli (tidak pemilih) jenis pakan yang dikonsumsinya selama bahan
tersebut tersedia diair dengan ukuran yang sesuai. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15
kali sebelum menjadi dewasa dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran
sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai
ukuran sampai dengan 20 mm. Pada kondisi demikian biomasnya akan mencapi 500 kali
dibandingakan biomas pada fase naupli.
Gambar 2
Siklus hidup artemia salina
(www.O-fish.com)
Dalam tingkat salinitas rendah dan dengan pakan yang optimal, betina Artemia bisa
mengahasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari)
mereka bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10 -11 kali. Dalam kondisi super
ideal, Artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi nauplii atau kista
sebanyak 300 ekor(butir) per 4 hari. Kista akan terbentuk apabila lingkungannya berubah
menjadi sangat salin dan bahan pakana sangat kurang dengan fluktuasi oksigen sangat
tinggi antara siang dan malam hari.
Artemia dewasa toleran terhadap selang suhu -18 hingga 40 ° C. Sedangkan tempertur
optimal untuk penetasan kista dan pertubuhan adalah 25 - 30 ° C. Meskipun demikian hal
ini akan ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia menghendaki kadar salinitas
antara 30 - 35 ppt, dan mereka dapat hidup dalam air tawar salama 5 jam sebelum
akhirnya mati.
Variable lain yang penting adalah pH, cahaya dan oksigen. pH dengan selang 8-9
merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10
dapat membunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan
sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar grow-lite sudah cukup
untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk
pertumbuhan Artemia. Dengan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning
atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak
mengkonsumsi mikro algae. Pada kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh
dan beranak-pinak dengan cepat. Sehingga suplai Artemia untuk ikan yang kita pelihara
bisa terus berlanjut secara kontinyu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah, dan air
banyak mengandung bahan organik, atau apabila salintas meningkat, artemia akan
memakan bakteria, detritus, dan sel-sel kamir (yeast). Pada kondisi demikian mereka
akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak berwarna merah atau orange. Apabila
keadaan ini terus berlanjut mereka akan mulai memproduksi kista.
Penetasan kista artemia salina
Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila sarat-sarat yang diperlukannya
dapat dipenuhi. Beberapa syarat tersebut adalah:
• Salinitas antara 20-30 ppt (parts per thousand) atau 1-2 sendok teh garam per liter
air tawar. Untuk buffer *bisa ditambahkan magnesium sulfate (20 % konsentrasi)
atau 1/2 sendok teh per liter air.
• Suhu air 26 - 28 °C.
• Disarankan untuk memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang proses.
• Aerasi yang cukup; untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm
• pH 8.0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7.0 dapat ditambahkan soda kue
untuk menaikkan pH.
• Kepadatan sekitar 2 gram per liter.
• Sebelumnya dapat dilakukan proses dekapsulisasi untuk melunakan cangkang.
Dekapsulisasi dapat meningkatkan peresentase keberhasilan sampai dengan 10%.
Penetasan dapat dilakukan pada semua jenis wadah.. Untuk mempermudah "pemanenan"
penetasan bisa dilakukan dalam akuarium berbentuk prisma terbalik (Sumber : Majalah
Demersal )
BAB III
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan pada pukul 22.00 WIB tanggal 18 desember 2007 sampai dengan
pukul 15.00 WIB tanggal 19 desember 2007 di departemen perikanan vedca.
Alat :
Bahan:
• Cysta
• Garam
PT= 5 gr/L
Sample = 16,6 mg= 1790 butir, jadi dalam 5 gr terdapat 53915 butir.
Sample 2 ml terdapat 32 individu, jadi dalam 1 liter tingkat kepatannya 16000 butir/liter.
4.2 Pembahasan
Artemia dapat ditetaskan dalam wadah berbagai volume dan volume minimal satu liter.
Bentuk wadah penetasan yang ideal adalah berbentuk bulat dengan ujung bawahnya
berbentuk corong. Hal ini dikarenakan jika diaerasi tidak ditemukan titik mati, yaitu suatu
titik dimana Artemia akan mengendap dan tidak teraduk secara merata. Artemia yang
tidak teraduk pada umumnya kurang baik derajat penetasannya, atau walaupun menetas
membutuhkan waktu yang lebih lama. Wadah dicuci bersih dan disanitasi. Media yang
digunakan untuk penetasan dapat berupa air laut atau air laut buatan. Untuk air laut
buatan dapat dibuat dengan mencampur garam tidak beriodium sebanyak 25-30 g per liter
air tawar.
Penetasan Artemia merupakan bagian yang penting dalam mempersiapkan naupli sebagai
pakan alami. Hal yang perlu diperhatikan dalam penetasan Artemia adalah suhu, kadar
garam, kepadatan cyste, cahaya dan aerasi. Dalam menetaskan, kepadatan Artemia
sebaiknya tidak lebih dari 2 g/l untuk skala besar dan dapat mencapai 5 g/l untuk skala
kecil. Artemia harus teraduk secara sempurna pada air laut atau air dengan kadar garam
25-30 ppt dan bersuhu 28-30oC. Umumnya dengan kondisi yang demikian Artemia akan
menetas dalam waktu 16-18 jam. Secara kasat mata perubahan warna dari coklat muda ke
oranye menunjukkan bahwa Artemia telah menetas.
Kista menetas menjadi Artemia stadia nauplius. Setelah menetas sempurna, secara visual
dapat terlihat terjadinya perubahan warna dari coklat muda menjadi oranye. Hal yang
penting yang perlu diperhatikan dalam pemanenan nauplius Artemia adalah jangan
sampai tercampur antara Artemia dan cangkang. Hal ini perlu dihindari mengingat
cangkang Artemia tersebut mengandung bahan organik yang dapat menjadi substrat
perkembangbiakan bakteri. Setelah 18 jam dimasukan dalam bak penetasan maka
pengecekan apakah Artemia dalam wadah penetasan sudah menetas atau belum.
Pengecekan dilakukan dengan cara mematikan aerasi. Sesaat setelah aerasi dimatikan,
jika secara kasat mata keseluruhan naupliussudah berenang bebas maka pemanenan dapat
dilakukan dan aerasi tetap dimatikan. Jika sebagian besar nauplius masih terbungkus
membran dan belum berenang bebas maka aerasi dihidupkan kembali. Selanjutnya 1 atau
2 jam kemudian dilakukan pengecekan ulang.
Langkah awal pemanenan Artemia yaitu dengan mematikan aerasi serta menutup bagian
atas wadah dengan bahan yang tidak tembus cahaya. Hal ini dilakukan dengan tujuan
memisahkan antara nauplius dan cangkang Artemia. Cangkang Artemia akan
mengambang dan berkumpul di permukaan air. Nauplius Artemia akan berenang menuju
ke arah cahaya. Karena bagian bawah wadah tranparan dan ditembus cahaya maka
nauplius Artemia akan berkumpul di dasar wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat
pemanenan nauplius, sebaiknya bagian dasar wadah disinari lampu dari arah samping.
Selain nauplius, didasar wadah juga akan terkumpul kista yang tidak menetas. Aerasi
tetap dimatikan selama 10 menit. Setelah semua cangkang berkumpul di atas
permukaan air dan terpisah dengan nauplius yang berada di dasar wadahmaka pemanenan
dapat dilakukan dengan cara membuka kran pada dasar wadah (jika ada) atau dengan
cara menyipon dasar. Sebelum kran dibuka atau disipon, ujung kran atau selang kecil
dibungkus saringan yang berukuran 125 mikron dan dibawah saringan disimpan wadah
agar nauplius Artemia tetap berada dalam media air. Setelah semua nauplius terpanen,
kran ditutup atau penyiponan dihentikan. Pada saat pemanenan hindarilah terbawanya
cangkang. Artemia yang tersaring kemudian dibilas dengan air laut bersih dan siap
diberikan ke larva ikan atau udang. Selanjutnya air dan cangkang yang tersisa di wadah
penetasan dibuang dan dibersihkan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Artemia sp. merupakan salah satu jenis pakan alami dari golongan udang¬ udangan yang
paling banyak digunakan baik di balai benih skala besar maupun skala kecil. Untuk
mendukung kegiatan budidaya ikan maupun udang maka ketersediaan Artemia sp.sebagai
pakan alami harus kontinyu. Keunggulan Artemia sp. adalah mudah ditangani, mudah
beradaptasi dalam berbagai lingkungan, filter feeder, dapat tumbuh dalam kepadatan
tinggi dan nilai kandungan nutrisi yang dapat diperbanyak dengan metode pengkayaan.
Proses penetasan terdiri dari beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24
jam.
a. Proses penyerapan air
b. Pemecahan dinding cyste oleh embrio
c. Embrio terlihat jelas masih diselimuti membran
d. Menetas dimana nauplius berenang bebas
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menetaskan cysteArtemia adalah:
• Aerasi
• Suhu
• Kadar garam
• Kepadatan cyste
• Cahaya
5.2 Saran
• Hati–hati pada saat melakukan pemanenan, cangkang diusahakan tidak terbawa,
kalaupun terbawa diusahakan seminimal mungkin.
• Pengaerasian harus dilakukan secara continue.
• Diperlukan ketelitan dalam melakukan praktek
• Untuk menambahnkan nutrient, sebaiknya diberikan ragi makanan
DAFTAR PUSTAKA
Lavens, P. and P. Sorgeloos. 1996. Manual on the production and used of live food for
aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361.
WWW.O-FISH.COM
DAFTAR ISI