You are on page 1of 11

penting yang sangat menentukan berhasil tidaknya organisasi

tersebut. Untuk itu, peranan pemimpin dalam upaya


membentuk dan membangun Budaya Organisasi yang
kondusif bagi pencapaian tujuan organisasi sangatlah
menentukan. Di sini pulalah peran pemimpin menjadi penting
dalam proses pemberdayaan (empowerment) karyawan.
Mengikuti konsep pemberdayaan yang dikemukakan Pranarka
dan Moelijarto (dalam Prijono dan Pranarka, 1996 : 56-57),
maka dituntut kesiapan dan kerelaan pemimpin untuk
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan
atau kemampuan kepada karyawan agar mereka menjadi lebih
berdaya. Keadaan tersebut sangat ditentukan oleh Budaya
Organisasi yang ada dalam organisasi tersebut.

Bertambah besarnya minat atas fenomena yang dinamakan


Budaya Organisasi (culture Organization) boleh dikatakan
merupakan hasil dari usaha pencarian faktor sukses apa saja
yang menyebabkan perusahaan Jepang jauh lebih berhasil di
berbagai usaha dibanding dengan negara-negara lain,
termasuk negara-negara maju lainnya seperti Eropa dan
Amerika Serikat (Ouchi, 1981; Pascale dan Athos 1981).

Beberapa Pandangan mengenai Organisasi

Dalam merumuskan berbagai pandangan, suatu organisasi


sangat tergantung pada konteks dan perspektif tertentu dari
seseorang yang merumuskannya. Seperti yang dikemukakan
oleh Thompson (dalam Thoha, 1992 ; 123) bahwa pengertian
organisasi adalah : “an organization is a highly rationalized
and impersonal integration of a large member of specialists
coorporating to achieve some announched specific objectife “
Sedangkan pandangan lain, seperti yang dikemukakan oleh
Robbins (1990 : 4) merumuskan bahwa : “An organization is
aconsciously coordinated social entity, with a relatively
indentiveiable boundary, that functions on a relative
continuous basis to achieve a common goal or set of goals”.

Kedua pandangan tersebut di atas jelas memperlihatkan


perspektif yang berbeda. Thompson merumuskan organisasi
dengan penekanan pada tingkat rasionalitas dalam kerjasama
yang terkoordinasikan, dengan menekankan pentingnya
pembagian tugas sesuai keahlian masing-masing anggota
organisasi. Sedangkan Robbins memandang organisasi sebagai
kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang
yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang diikuti
oleh anggota organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan
telah dipikirkan terlebih dahulu.

Pandangan klasik tentang organisasi dinyatakan oleh Weber


dengan mendemontrasikan pendapatnya mengenai birokrasi
Weber membedakan suatu kelompok kerjasama dengan
organisasi kemasyarakatan. Menurut Weber (terjemahan A.M.
Henderson dan Paron, 1947 : 145-146), kelompok kerjasama
adalah suatu tata hubungan sosial yang dihubungkan dan
dibatasi aturan-aturan. Aturan ini sejauh mungkin dapat
memaksa seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan
berdasarkan fungsinya, baik dilakukan oleh pemimpin
maupun oleh pegawai administrasi lainnya.

Pandangan yang dikemukakan oleh Weber, bahwa suatu


organisasi atau kelompok kerjasama mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut :
Organisasi merupakan tata hubungan sosial. Dalam hal ini
seorang individu melakukan proses interaksi dengan
sesamanya di dalam organisasi, baik antara pimpinan dan
anggota maupun antar anggota sendiri.

Organisasi mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu.


Setiap anggota Organisasi yang melakukan hubungan interaksi
dengan yang lainnya tidaklah didasarkan atas kemauan
sendiri, akan tetapi mereka dibatasi oleh peraturan tertentu.

Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan. Dengan


adanya tata aturan setiap organisasi maka dapat lebih mudah
dibedakan suatu organisasi dengan kumpulan
kemasyarakatan. Organisasi merupakan suatu kerangka
hubungan yang berstruktur, yang didalamnya berisi
wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk
menjalankan suatu fungsi tertentu. Adanya hirarki atau
tingkatan mulai dari pimpinan sampai pada bawahan atau staf.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang


terlibat dalam organisasi harus tunduk dan taat pada suatu
aturan untuk mengadakan kerjasama dan interaksi guna
mencapai suatu tujuan bersama. Gagasan Weber tentang
organisasi dalam bentuk birokrasi tersebut telah mampu
bertahan dan mendominasi sampai pada zaman teori
kontemporer.

Bila dikaitkan dengan paradigma organisasi dengan konsep


klasik, lebih banyak mempertimbangkan hal-hal yang
berhubungan dengan struktur hirarki, wewenang,
tanggungjawab, kesatuan komando, dan jenjang pengawasan.

Beberapa Pandangan tentang Kepemimpinan


Masalah kepemimpinan mendapat perhatian dari berbagai
ahli, karena gejala ini menunjukkan peranannya yang
seringkali menentukan di dalam hidup bernegara dan
bermasyarakat. Kepemimpinan tidak hanya berarti memimpin
terhadap manusia, tetapi juga memimpin terhadap perubahan.
Seorang pemimpin tidak hanya mempengaruhi bawahan,
tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan motivasi bawahannya.
Oleh karena itu, pandangan berbagai penafsiran
kepemimpinan semakin beragam dalam perkembangannya.
Terry (dalam Kartono, 1994 : 49) mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang lain agar
mereka mau bekerjasama untuk mencapai tujuan kelompok.
Sedangkan R. Tannenbaum (dalam Harsey dan Bainchard, 1984
: 9) mngemukakan bahwa kepemimpinan sebagai pengaruh
antarpribadi yang dilakukan dalam suatu sutuasi dan
diarahkan melalui proses komunikasi pada pencapaian tujuan
tertentu.

Pandangan lain yang dikemukakan oleh Stonner (1989 : 459)


mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses
mengarahkan dana mempengaruhi aktifitas yang berkaitan
dengan tugas dari para anggota kelompok. Sedangkan Koontz
at.al (1984 : 506) memberikan pengertian kepemimpinan
sebagai mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam
mencapai tujuan umum. Definisi yang hampir sama dengan
Koontz, dikemukakan oleh Homser (dalam Timpe, 1992 : 21),
yang mengatakan bahwa pemimpin adalah individu dalam
suatu organisasi yang mampu mempengaruhi sikap dan
pendapat orang lain dalam organisasi. Usaha mempengaruhi
sikap dan pendapat orang lain dalam organisasi bertujuan
tercapai usaha kelompok yang terkoordinasi dan terpadu.
Dari berbagai pandangan mengenai kepemimpinan tersebut,
maka pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai
kedudukan yang strategis dan merupakan gejala sosial yang
selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok. Di samping
kedudukannya yang strategis, kepemimpinan mutlak
diperlukan, di mana terjadi interaksi kerjasama antara dua
orang atau lebih dalam mencapai tujuan organisasi.

Dari berbagai definisi kepemimpinan yang telah diuraikan di


atas, maka ada beberapa perbedaan dan persamaan
penekanannya. Sebagian menekankan kepada kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai
tujuan pada situasi tertentu. Sedangkan yang lainnya
menekankan pada bagaimana kemampuan seorang pemimpin
mengarahkan orang lain untuk bekerjasama dan mencapai
tujuan tertentu. Stogdill (1974 : 16) secara rinci mengemukakan
implikasi dari definisi tersebut yaitu :

1. Kepemimpinan merupakan titik sentral proses kegiatan


kelompok (leadership as a focus of group processes)
2. Kepemimpinan adalah suatu kepribadian yang memiliki
pengaruh (ledership as personality and its effects).
3. Kepemimpinan sebagai suatu seni untuk menciptakan
kesesuaian paham (leadership as the art of induling
compliance).
4. Kepemimpinan adalah pelaksana pengaruh (leadership as
the exercise of influence).
5. Kepemimpinan adalah tindakan dan perilaku (leadership
as act and behaviour).
6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi dan
inspirasi (leadership as a from of persuation and
inspiration).
7. Kepemimpinan merupakan hubungan kekuatan dan
kekuasaan (leadership as a power relation).
8. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan
(leadership as an instrument og goal attainment)
9. Kepemimpinan merupakan hasil dari interaksi
(leadership as an effect of interaction)
10. Kepemimpinan adalah peranan yang dibedakan
(leadership as a differentiated role)
11. Kepemimpinan adalah sebagai inisiasi struktur
(leadership as the initiation of structure).

Dari berbagai pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa


kepemimpinan dilihat dari sudut pendekatan apapun
mempunyai sifat universal dan merupakan gejala sosial.

Budaya Organisasi

Setiap organisasi sebenarnya memiliki budaya. Memang pada


umumnya orang-orang dalam sebuah organisasi mudah
menyetujui bahwa organisasi mereka memiliki budaya dan
budaya itu sangat penting. Tetapi biasanya mereka akan
menghadapi kesulitan kalu diminta untuk memberikan definisi
organisasi itu.

Beberapa ahli mengatakan bahwa budaya sebenarnya


merupakan konsep yang dipinjam oleh para pakar teori
organisasi dari disiplin ilmu antropologi (Luthans, 1988;
Gordon, 1991). Sebaliknya Scein (1985) mengajukan konsep
budaya yang menurutnya lebih berakar pada teori dinamika
kelompok dan pertumbuhan kelompok daripada sekedar pada
teori antropologi.
Berdasarkan pengamatan orang lain dan pengamatan sendiri,
Schein (1985) mengemukakan bahwa ada beberapa pengertian
yang sama yang berkaitan dengan budaya antara lain :

1. Keteraturan perilaku yang diamati (observed behavioral


regularities), ketika orang-orang berinteraksi, misalnya
bahasa yang digunakan dan upacara yang dilakukan
sehubungan dengan rasa hormat dan cara
bertindak/bersikap.
2. Norma yang berkembang dalam kelompok kerja
3. Nilai dominan yang didukung oleh sebuah organisasi,
seperti mutu produk dan sebagainya.
4. Falsafah yang menjadi landasan kebijaksanaan organisasi
yang berkaitan dengan karyawan dan atau pelanggan.
5. Peraturan pergaulan dalam organisasi, cara-cara/seluk-
beluk untuk diterima sebagai warga organisasi’
6. Rasa atau iklim yang disampaikan dalam sebuah
organisasi oleh tata letak fisik dan cara interaksi para
warga organisasi dengan para pelanggan atau orang luar
yang lain.

Secara umum, setiap individu dilatarbelakangi oleh budaya


yang mempengaruhi perilaku mereka. Budaya menuntut
individu untuk berperilaku dan memberi petunjuk mengenai
apa saja yang harus diikuti dan dipelajari. Kondisi tersebut
juga berlaku dalam organisasi tentang bagaimana pegawai
berperilaku dan apa yang seharusnya dilakukan. Harvey
(1996 : 333-334) mengemukakan, Budaya Organisasi
mencakup : nilai-nilai, kepercayaan, bentuk perilaku dari
anggotanya pada suatu organisasi tertentu. Budaya Organisasi
mengarah pada suatu sistem nilai bersama yang dipegang oleh
anggotanya yang membedakan suatu organisasi dengan
organisasi yang lainnya. Karakteristik yang menggambarkan
suatu budaya organisasi adalah : otonomi individu :
persetujuan akan tanggungjawab, kebebasan, dan kesempatan
untuk berinisiatif bagi anggota-anggota organisasi; struktur :
persetujuan akan aturan, perubahan peraturan, kuantitas
penggunaan langsung severvisi untuk mengontrol perilaku
anggota; pemberian insentif : persetujuan dalam pemberian
insentif (misalnya kenaikan gaji, promosi) didasarkan atas
prestasi anggota; perilaku yang merugikan : persetujuan untuk
anggota didorong untuk agresif, inovatif dan pencarian yang
penuh resiko. Kombinasi dari tiap karakteristik tersebut
merupakan gambaran dari Budaya Organisasi yang dibentuk
oleh organisasi tersebut.

Sedangkan Luthans (1989 :50) mengutip definisi mengani


Budaya Organisasi yang dikemukana oleh Schein, yaitu :

A pattern of basic assumptions – invented, discovered, or


developed by a given group as it leams to cope with its
problem of external adaption an internal integration that has
worked well enough to be considered valid and, therefore to be
tought to new that has worked well enought to be considered
valid and, therefore to be tought to nem member as the correct
way o percieve, think, and feel in relation to those problems”

Definisi tersebut menggambarkan bahwa Budaya Organisasi


sesungguhnya tumbuh karena diciptakan dan dikembangkan
oleh individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan
diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan
diturunkan kepada setiap anggota baru. Nilai-nilai tersebut
digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota selama
mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan
dapat dianggap sebagai ciri khas yang membedakn sebuah
organisasi dengan organisasi lainnya.

Dimensi/Tingkatan Budaya Organisasi

Beberapa pola asumsi dasar yang telah dipelajari kelompok


dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi
(masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal) kepada
anggota/generasi baru sebagai arah yang benar untuk
menduga, berfikir dan merasa dalam menghadapi masalah itu.
Hal ini penting dilakukan agar organisasi (perusahaan) dapat
terus berjalan sebagaimana yang diharapkan.

Untuk itu perlu diketahui pengembangan tahap-tahap budaya


yang oleh Indrapradja (1992) disebut dimensi budaya dalam
organisasi, yaitu :

- Dimensi Pertama : Artifak-artifak (Artifacts)

Artifacts adalah “benda-benda “ hasil buatan manusia. Kita


dapat mengamati suatu budaya dalam artifak yang
diciptakannya berupa kata-kata yang digunakan, tindakan
para anggota organisasi dan obyek yang ada dalam organisasi.
Yang dimaksud dengan “kata-kata budaya” di sini termasuk
bahasa khusus atau jargon yang digunakan oleh orang-orang
dalam organisasi, kisah-kisah yang diceritakan oleh mereka
dan mitos-mitos yang dilestarikan oleh mereka.

Yang dimaksud dengan “tindakan-tindakan budaya” adalah


upacara ritual (ritual and ceremonies) yang diselenggarakan
dan diikuti oleh mereka, misalnya upacara bendera, rapat rutin
harian, expose dan bentuk penyajan lain, pemberian
persetujuan rapat pimpinan serta berkala, rapat kerja
pimpinan, rapat direksi, upacara pemberian penghargaan,
malam silaturakhmi, perayaan hari besar, karyawan dan
sebagainya.

“objek budaya” di sini termasuk busana yang dikenakan para


anggota organisasi, meubel yang digunakan dalam kantor,
karya seni yang dipilih dan digunakan oleh para warga
organisasi.

- Dimensi Kedua : Perspektives

Perspektif, berada satu lapisan di bawah permukaan yang


kelihatan (artifak-artifak), tetapi masih mudah untuk
melihatnya. Yang termasuk ke dalam perspektif adalah
berbagai norma sosial dan peraturan yang mengatur
bagaimana para warga organisasi harus berperilaku dalam
situasi khusus

Dengan adanya berbagai peraturan dan norma tersebut, para


anggota organisasi tidak perlu memecahkan permasalahan
sosial organisasi secara baru setiap timbul permasalahan.

- Dimensi ketiga : Nilai-nilai (Values)

Nilai-nilai (values) berada setingkat lebih dekat dengan nilai


inti suatu budaya organisasi. Values mencerminkan falsafah
dan misi organisasi, cita-cita organisasi, tujuan, dan standar
organisasi. Para anggota organisasi menggunakan nilai-nilai ini
untuk menilai (judging) orang-orang, tindakan, dan peluang
serta mengambil keputusan atas nama organisasi.

- Dimensi Keempat : Asumsi-asumsi (Assumptions)

Pada lapisan terdalam, yaitu inti budaya organisasi,


terdapatlah kepercayaan para anggota organisasi yang tidak
diucapkan tentang mereka sendiri dan mengenai orang lain.
Asumsi budaya bersifat take for granted sehingga pada
dasarnya kita harus menjadi bagian dari budaya itu kalau kita
mau mengerti. Akan tetapi kesulitannya adalah, sekali kita
menjadi bagian dari budaya itu, kita tidak mengenalinya lagi
karena unsur budaya organisasi sudah menjadi bagian dari
pandangan dunia kita secara otomatis.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Budaya Organisasi


merupakan sesuatu yang sungguh kompleks. Akan tetapi kita
harus memiliki kemampuan menganalisis Budaya Organisasi
secara akurat apabila kita sungguh-sungguh mau mengerti
mengapa organisasi melakukan hal-hal tertentu dan mengapa
para pemimpin organisasi itu dapat menghadapi kesulitan
dalam menjalankan kepemimpinan.

Organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau


kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Setiap
organisasi dituntut selalu peka terhadap aspirasi, keinginan,
tuntutan dan kebutuhan berbagai kelompok dengan siapa
organisasi berinteraksi.

Kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan


mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan tugas dari para
anggota kelompok juga merupakan sarana pencapaian tujuan.

Pemimpin dalam kehidupan organisasi mempunyai


kedudukan yang strategis dan merupakan gejala sosial yang
selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok.

Budaya Organisasi dapat tumbuh karena diciptakan dan


dikembangkan oleh individu yang bekerja dalam suatu
Organisasi, dan diterima sebagai nilai-nilai yang harus
dipertahankan dan diturunkan kepada setiap anggota baru.

You might also like