You are on page 1of 6

http://w w w .scrib http://w w w .

scrib

Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba

4gen

http://w w w

(auto)


300


1


Scroll

<a title=
Flores, Indonesia. Manusia mungil ini memiliki tengkorak kepala seukuran dengan buah anggur. Mereka
disinyalir hidup sezaman dengan gajah pigmi dan komodo di pulau tersebut.

Membantah Teori Lama

Temuan yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia dan Australia ini berupa miniatur tubuh manusia di
sebuah gua di Flores. Para ilmuwan mengumumkan bahwa ini merupakan fosil manusia purba paling lengkap
dalam dunia arkeologi. Dinamakan Homo floresiensis, fosil manusia cebol ini berasal dari manusia purba
perempuan dengan tinggi tubuh hanya satu meter, bobot 25 kilogram dan diperkirakan berusia 30 tahun saat
meninggal.

Homo floresienses disebut sebagai temuan paling spektakuler dalam ilmu paleoantropologi dalam
setengah abad terakhir ini. Yang unik, karena hidup sejak 13.000 silam, berarti manusia cebol tersebut hidup
bersamaan dengan manusia normal lainnya.

“Mahluk ini hidup sama dengan manusia spesies lainnya. Berjalan dengan dua kaki dan memiliki otak
berukuran kecil. Fakta bahwa mereka hidup di masa yang sama dnegan manusia lain sungguh di luar dugaan,”
komentar Peter Brown, seorang paleoantropolog dari University of New England di New South Wales,
Australia seperti yang dikutip National Geographic baru-baru ini. Brown bersama dengan timnya didanai oleh
National Geographic Society’s Committee for Research and Exploration untuk ekspedisi tersebut.

Diperkirakan pulau Flores telah didiami manusia cebol itu sejak 95.000 hingga 13.000 tahun silam.
Ini disimpulkan dari usia tulang belulang dan peralatan yang mereka pakai di pulau tersebut. Dengan temuan
ini maka berubahlah pandangan para ilmuwan mengenai bagaimana manusia purba di masa lalu berevolusi
dalam hal budaya, biologi dan geografi.

Temuan ini membuktikan bagwa genus Homo jauh lebih bervariasi dan lebih fleksibel dalam hal
beradaptasi. Yang termasuk genus Homo meliputi pula manusia modern, Homo erectus, Homo habilis, and
Neandertals. Kesamaan di antara mereka adalah sama-sama memiliki ruang simpan luas di otak, postur tubuh
tegap, dan mampu menciptakan alat-alat.
Karena memiliki tubuh yang lebih kecil, ukuran otak lebih mungil dan anatomi tubuh yang lebih
primitif, maka Homo Floresienses membantah semua teori yang menyatakan bahwa ciri khas genus Homo
adalah ukuran tubuh yang besar. Para ilmuwan memprediksi bahwa mereka ini masih berhubungan dengan
populasi Homo erectus yang tiba di Flores sekitar 840.000 tahun lalu.

Homo Erectus

Temuan fosil Hobbit tersebut bukan yang pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah ditemukan spesies
Homo erectus dikenal pula dengan nama Pithecanthropus Erectus. Spesies ini ditemukan sekitar dua juta tahun
yang lalu, ketika curah hujan di dataran Sunda dan dataran Sahul sangat besar, dan ketika seluruh daerah ini
tertutup oleh vegetasi tropikal yang sangat padat. Selama jangka waktu tujuh puluh tahun lamanya, di berbagai
tempat di sepanjang lembah sungai brantas di Jawa Timur, telah diketemukan sebanyak 41 buah fosil

manusia purba itu. Situs-situs yang tertua berlokasi di dekat desa Trinil,
Ngandong dan Sangiran dan dekat kota Mojokerto.

Mereka adalah manusia purba yang diperkirakan hidup dalam kelompok- kelompok kecil bahkan
mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari enam hingga 12 individu, yang memburu binatang di
sepanjang lembah-lembah sungai di dataran Sunda, cara hidup seperti itu agaknya tetap berlangsung selama
satu juta tahun. Kemudian ditemukan sia-sia artefak yang terdiri dari alat-alat kapak baru di sebuah situs dekat
desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.000 tahun.

Dari manusia purba yang baru ini, didapat dua buah tulang kaki dan 11 tengkorak dengan ukuran yang
lebih besar dari pada Pithecanthropus yang lebih tua umurnya. Tengkoraknya menunjukkan tonjolan yang
tebal ditempat alis, dengan dahi yang miring kebelakang. Suatu analisa cermat atas tengkorak tersebur yang
dilakukan oleh ahli paleoantropologi di Indonesia, yakni Teuku Yakup pada tahun 1967, membenarkan bahwa
manusia Ngandong itu merupakan keturunan langsung dari Pithecanthropus Erectus. Manusia Ngandong ini
biasanya disebut Homo Soloensis yang terus menjadi mahluk manusia Homo Sapiens dengan ciri-ciri ras yang
merupakan ciri-ciri ras nenek moyang ras Austro Melanosoid. Sisa-sisa jenis ini ditemukan disuatu tempat di
Wajak Jawa Timur (E. Debois 1920) yang ada persamaannya dengan orang Australia pribumi purba. Sebuah
tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah dan sebuah rahang atas dari manusia purba itu
sangat mirip dengan manusia purba ras Australoid purba yang ditemukan di Talgai dan Keilor yang rupanya
mendiami daerah Irian dan Australia.

Archeoastronomy: The "Missing Link" in Darwin's Theory of


Evolution

Nama Charles Darwin tentu tidak asing lagi bagi kita. Dalam Origin of Sepcies-nya (1859) yagn
sangat populer dan merombak pemikiran dunia tersebut, semua bentuk kehidupan di bumi dijejak ulang, baik
primata, mamalia, vertebrata, mundur hingga bentuk kehidupan paling sederhana yg dipresumsikan sudah ada
sejak milyaran tahun lalu..
Namum seiring dengan bertambahnya penemuan fosil2 di sana sini, bertambahlah kebingungan para
ilmuwan. Mereka menarik kesimpulan, bahwa bentuk awal spesies manusia berawal di ASIA sejak 500.000
tahun lalu. Namun dgn ditemukannya fosil2 yg lebih tua usianya, asumsi berubah, dan cikal bakal jenis
primata nenek moyang manusia ada pada titik 25jt tahun yang lalu. Penemuan di Afrika Timur membawa
tambahan informasi bahwa transisi dari bentuk tersebut ke bentuk kera yang menyerupai manusia (hominids)
terjadi pada 14jt tahun lalu, dan baru setelah melewati proses sangat lamban, 11jt tahun kemudian, muncul
bentuk yang layak diklasifikasikan sebagai Homo.

Jenis pertama dalam klasifikasi ini adalah Advanced Australophitecus dari Afrika sekitar 2jt tahun
lalu. Setelah sekitar 1jt tahun, muncul Homo Erectus, dan ditambah lagi 900.000thn (50.000SM) barulah
muncul jenis manusia primitf pertama, yaitu Neanderthal. Yang perlu dicatat, perkakas primitif seperti batu
tajam yang dipergunakan Advanced Australophitecus dan Neanderthal berbentuk

hampir mirip, padahal rentang masa antara kedua jenis tersebut adalah 2jt tahun. Artinya selama rentang masa
2jt tahun itu perkembangan peradaban dan intelektualitas berjalan dalam percepatan yang sangat lambat sekali.

Lalu secara mendadak, tiba2, 35000thn yang lalu muncul satu spesies baru Homo Sapiens (artinya
"manusia berpikir") di wilayah Mediterania, setelah punahnya spesies Neanderthal, dengan ebab yagn
diperkirakan para ahli karena kondisi iklim bumi yang memburuk pada mas aitu. Spesies baru ini, Homo
Sapiens yg memiliki peradaban dan intelektualitas yang jauh lebih maju dibandingkan para spesies
pendahulunya. Mereka hidup di gua2 ("cavemen"), mereka sudah mengenal pakaian, perkakasnya dibuat lebih
halus dan fungsional dengan bahan kayu atau tulang. Lukisan2 ditemukan di dinding gua2 purba menunjukkan
adanya rasa seni, emosi, bahkan religi. Mereka mengubur orang yang telah mati, menunjukkan adanya konsep
hidup, mati, bahkan kehidupan setelah kematian. Mereka juga sudah mengenal bicara sebagai alat komunikasi.

Di sinilah letaknya "missing link" dari teori Darwin. Mengapa bisa terjadi lonjakan jenis spesies,
peradaban, kebudayaan, dan teknologi seperti itu? Menurut Prof. Theodosius Dobhansky, pengarang buku
Mankind Evolving, yang paling mengherankan sebenarnya bukan keterbelakangan manusia purba, tapi
kemajuan kita, manusia modern, yg sangat pesat. Menurutnya, dengan percepatan evolusi yang normal,
manusia seharusnya saat ini pun masih dalam tahap primitif. Untuk megnembangkan perkakas batu saja perlu
waktu 2jt tahun. Pengenalan penggunaan material lain, seperti logam misalnya, paling tidak perlu 2jt tahun
lagi, dan mungkin perlu proses evolusi 10jt tahun lagi bagi manusia untuk mencapai tahap dasar ilmu
pengetahuan seperti matematika dan astronomi. Tapi justru kita, yang berselisih sekitar 50000tahun saja
dengan manusia Neanderthal, sudah bisa mendaratkan manusia di bulan dan menciptakan komputer.

Adalah Ralph Solecki, seorang arkeolog yg pada tahun 1957 menemukan penemuan yang
mengejutkan di gua Shanidar di kawasan Timur Tengah. Pada waktu melakukan penggalian di gua tersebut,
terkuak bukti2, setelah dari lapisan demi lapisan tahan digali, bahwa peradaban manusia tidak menunjukkan
kemajuan seiring berjalan waktu, bahkan malah menunjukkan kemunduran. Dan dalam hitungan tahun antara
27000SM - 11000SM, ditemukan bukti2 kuat bahwa baik peradaban dan populasi manusia menyusut dan
hampir punah dari seluruh area itu selama masa 16000tahun, yg sangat mungkin disebabkan bencana yang
bersifat katastropik. Lalu, di titik 11000SM itulah tiba2 muncul jenis manusia Homo Sapiens tersebut, yagn
langsung sekaligus membawa peradaban, budaya, dan teknologi yang sangat jauh lebih maju dibandingkan
jenis pendahulunya yang hampir punah selama masa 16000tahun itu.
Jadi jelas, mulai dari jenis Hominids hingga Neanderthal, proses evolusi lah yang memegang peranan.
Namun jenis Homo Sapiens muncul dari suatu proses yang tiba2, revolusioner, dan terlalu dini bila dipandang
dari kecepatan proses evolusi yang normal. Ilmuwan lain yang mendukung hipotesis ini adalah Jeffrey
Schwartz, melalui bukunya Sudden Origins. Ia menyimpulkan bahwa Homo Sapiens muncul secara tiba2 dan
sampai kapan pun fosil missing link untuk membuktikan kebenaran teori Darwin tak akan dapat ditemukan.
Namun ia juta

tidak dapat memberikan teori substitusi yg dapat menjawab pertanyaan


mengapa Homo Sapiens tiba2 muncul tanpa melalui proses evolusi ala Darwin.
Pertanyaan selanjutnya yg pasti akan segera muncul di dalam benak kita
adalah:
Dari pemaparan di atas, apakah leluhur kita Homo Sapiens bisa mencapai
peradaban dan teknologi tersebut dengan usaha kita sendiri?
Ataukah ada faktor eksternal lain, misalnya pengadopsian (atau
pengwarisan) teknologi dari peradaban lain yang jauh lebih maju?.
Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua

BEGITU hasil temuan fosil manusia kerdil--seperti tokoh hobbit dalam buku legendaris JRR Tolkien,
The Lord of The Rings-- di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur, diumumkan hari Kamis (28/10) dalam
konferensi pers di Sydney, Australia, dunia keilmuan sontak heboh. Awam pun ikut bergunjing. Apalagi ketika
jaringan televisi dan kantor berita dunia menempatkannya sebagai salah satu berita "besar", kemudian dirilis
oleh media massa di berbagai belahan bumi, temuan spesies manusia purba yang kemudian dinamai homo
floresiensis itu pun menjadi pembicaraan.

Pengetahuan tentang adanya kehidupan dari masa ribuan tahun lampau di Liang Bua bukanlah hal
baru. Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1976 sudah
melakukan penelitian secara intensif di Liang Bua. Menjelang akhir tahun 1970-an, tim yang diketuai Prof. Dr.
Raden Panji Soejono itu bahkan telah mendapatkan temuan "spektakuler" berupa tengkorak manusia dan
kerangka tubuh manusia dewasa. Bersamaan dengan itu ditemukan pula kuburan manusia purba, lengkap
dengan bekal kuburnya yang masih relatif utuh. Juga ditemukan lapisan budaya berupa berbagai artefak yang
diyakini sebagai sisa pendukung keberadaan mereka.

Hanya saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan yang memadai
untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya dikatakan bahwa ras manusia yang tinggal di
sana paling tidak berasal dari sekitar 10.000 tahun lalu. Karena ketiadaan biaya, penelitian pun sempat terhenti.
Tahun-tahun berikutnya, hingga tahun 1989, penelitian cenderung bersifat sporadis. "Untuk melakukan
penelitian di Liang Bua butuh biaya cukup besar. Dengan anggota tim sebanyak 18 orang, ketika itu kami
harus naik Dakota ke Flores, setelah singgah di Denpasar dan Kupang. Belum lagi biaya untuk kebutuhan
lain," ujar Soejono.

Di tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia. Mike Morwood dari
University of New England memimpin tim dari Australia, sedangkan RP Soejono bertindak sebagai ketua tim
dari Puslit Arkenas. Setelah melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil
mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua!"Sebetulnya penelitian ini belum
sepenuhnya usai. Kok, tiba-tiba saja hasilnya sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu
diumumkan tanpa didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika penelitian dan

etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia keilmuan," ujar
Soejono.

Namun, apa mau dikata. "Ini tak lepas karena kita tidak memiliki dana penelitian serta alat dan pakar
yang memadai," ujarnya menambahkan. Ia mengakui, kondisi serba kekurangan itu menjadi dilema bagi dunia
penelitian arkeologi di Indonesia. Akibatnya, begitu ada tawaran kerja sama dengan luar negeri langsung
diterima. Padahal, tidak sepenuhnya kerja sama itu menguntungkan, termasuk dalam konteks penelitian di
Liang Bua. Ada kalanya hasil penelitian dibawa ke luar negeri sehingga sebagian besar hasil penelitian berada
di pihak Australia dan Indonesia tidak mendapatkan apa-apa.

"PENCARIAN terhadap sisa-sisa manusia kerdil dari Liang Bua sesungguhnya dimulai oleh Pastor
Verhoeven pada tahun 1958," kata Rokus Due Awe, tenaga teknisi dokumentasi di Puslit Arkenas. Dia ikut
serta dalam penggalian yang dilakukan pastor tersebut sejak awal.

You might also like