You are on page 1of 12

KSM Eka Prasetya UI

Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasefiaii Universitas Indonesia 2010



DIAL

Ketidaksetaraan di depan hukum menanggapi reali penegakan hukum Indonesia

Mewujudkan penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu tidaklah semudah seperti sa at diucapkan atau dideklarasikan dalam pidato kenegaraan, janji kampanye atau pada kesempatan lainnya. Faktanya penegakan hukum di Indonesia diwarnai fenomena ketidaksetaraan perlakuan di depan hukum. Hukum bisa menampakkan wajah tegas bahkan cenderung bengis ketika berhadapan dengan sosok berpakaian kumal berkantong kosong namun menampakkan wajah manis dan lembek bila berhadapan dengan sosok berbusana rapi berbekal tumpukan materi.

Ironisnya inilah wajah hukum yang sering kita saksikan akhir-akhir ini. Penegak hukum membeda-bedakan perlakuan terhadap warga negara yang dituding melanggar hukum.Terasa sekali perbedaan perlakuan hukum terhadap pejabat publik aktif dengan warga biasa, orang kaya dengan orang miskin, pejabat tinggi dengan pegawai rendahan. Semua terlihat secara gamblang dan menimbulkan keprihatinan apakah pedang dewi keadilan tak mampu menyentuh 'orang-orang kuat' itu.

Dialektika edisi perdana ini mengangkat tema ketidaksetaraan di depan hukum menanggapi realitas penegakan hukum Indonesia yang banyak diwarnai praktik tebang pilih. Dialektika dibuka dengan esai berjudul Feodalisme Penegakan Hukum di Indonesia karya Aditia Muara Padiatra, menjelaskan tentang perjalanan masalah kebobrokan penegakan hukum Indonesia dari masa ke masa. Dilanjutkan dengan Keadilaan untuk Setandan Pisang karya Erni Astutik yang memaparkan betapa tegasnya hukum menindak orang miskin dan betapa lemahnya hukum dihadapan orang kaya. Paradoks Rousseau, Individu, dan Hukum karya Djohan Rady, menjelaskan hakikat konsep hukum menurut John Locke yang bertujuan melindungi hak-hak alamiah individu. Sekumpulan puisi tentang realitas penegakan hukum Indonesia menjadi penutup Dialektika edisi perdana ini.

Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010

fSAI

Paradoks Rousseau, Individu, dan Hukum Ojohan Rady/ilmu filsafat 2007

Feodalisme Penegakan Hukum di Indonesia Aditia muara padiatra/ilmu sejarah 2008

Keadilan Untuk Setandan Pisang Erni AstutikiStaf Jaringan

PUISI

Tangisan Sebuah Palu Maslihah/Sastra Inggris 2008

6

Dewi Keadilan Farizlilmu politik 2008

Karena Dia, HUKUM Tika N.

7

8 KSM Eka Praetya UI2010

Dialektika_KSM Eka Prasetya UI 2010 1

Feodalisme Penegakan Hukum di Indonesia Aditia Muara Padiatra / IImu Sejarah 2008

icara Pengadilan, pasti erat kaitannya dengan yang namanya 'markus'. Itulah beberapa kelakar yang keluar dari

beberapa individu masyarakat yang jengah ketika ditanya tentang penegakan hukum di negeri ini. Pernyataan yang jujur sekaligus menggigit dan menyakitkan jika kita mencoba memandang buruknya lembaga hukum Indonesia sekarang di mata masyarakat. Penegakan hukum di negara ini untuk kesekian kalinya mendapat sorotan, terutama setelah kisah mafia peradilan yang akhir-akhir ini muncul di berbagai media massa. Tak ayal, hal ini memberikan kenyataan pahit bagi predikat lembaga penegak hukum yang selama ini ada. Muak tentu menyelubungi masyarakat. Apa yang salah dari hukum di negeri ini? Negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi dengan masyarakatnya yang ramah tamah dan murah senyum. Mungkin sekarang kiranya perlu ditambahkan lagi, yang suka korupsi, kolusi dan nepotisme.

Manuver-manuver segelintir orang dalam mempermainkan hukum di negeri ini terlihat sebagai permainan elite yang susah disentuh, bahkan konon katanya kebal hukum. Lembaga KPK saja, yang katanya sakti mandraguna melawan penyelewengan wewenang di negeri ini, dibuat tidak bisa berkutik dan mati kutu. Menilik perkataan dari Prof. Tamrin Amal Tomagola yang menyatakan bahwa pengadilan sekarang adalah ladang pembantaian keadilan, kiranya perlu kita resapi lebih lanjut sebagai suatu manifestasi kegelisahan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini. Oleh karena itu, permasalahan ini agaknya sang at memerlukan penanganan yang cepat dan tepat sebelum semuanya menjadi terlambat dan tamat.

Feodalisme Hukum, Hukumisasi Feodal

Sebenarnya apa penyebab permasalahan ini hingga menjelma seperti lingkaran setan dan seakan menjadi duri dalam daging bagi hukum di negeri kita? Mungkin itulah pertanyaan yang sekarang perlu kita tanggapi. Jika ditilik dari sisi

2 Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010

historis, sebenarnya bukan hal yang baru, bahkan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang klasik dan telah mengakar dalam selubung sejarah dari bangsa yang katanya besar ini. Sejarah mencatat bahwa praktik seperti ini sudah ada jauh sebelum milenium awal Orde Reformasi terbentuk. Praktik ini pertamanya menggejala di masa Demokrasi Terpimpin dan kemudian menjadi penyakit akut di kala Orde Baru berkuasa.

Lalu apa hubungannya dengan feodalisme? Kiranya hal ini sangat erat. Ketika Demokrasi Terpimpin berkuasa, praktik kelembagaan yang tadinya sudah terbangun dengan semangat profesionalisme, semangat hasil didikan Politik Etis era penjajahan, dengan etos-etos kerja yang disiplin dan tak kenai ampun dalam menindak para pelanggar hukum, tiba-tiba berubah menjadi suatu persekongkolan diakronis (dan lagi-Iagi) dari segelintir elite-elite busuk yang sang at kronis. Hal itu sejalan dengan politisasi kepentingan yang terjadi pada waktu itu, ketika PNI dan PKI menjadi dwitunggal kekuasaan, dengan Bung Karno sebagai pengejawantahan simbol Mandala kekuatan.

Pada masa Orde Baru lebih-Iebih lagi, dengan dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai zeitgeist era perjuangan revolusi kemerdekaan, segala sesuatunya seakan menjadi harus diperjuangkan, bahkan KKN-nya juga menjadi "tanggung jawab" perjuangan. Ditambah lagi sikap yang membebek dan semboyan "asal Bapak senang", pada saat itu, makin menambah runyam daftar ketidakbenaran negeri ini.

Tidak dapat dipungkiri, itulah segelintir catatan sejarah bangsa ini. Catatan ini patut menjadi renungan bagaimana sebuah sistem penegakan hukum di Indonesia selama ini berjalan. Sebagai muda-mudi penerus bangsa, patut kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita yang nantinya akan meneruskan kisah kasih sarat KKN ini ataukah kita yang nantinya akan memberangus dan menghantam semua ketidakbenaran ini?

Keadilan untuk Setandan Pisang Erni Astutik / Staf Jaringan

N egara Indonesia konon katanya negara yang berlandaskan hukum. Namun, supremasi hukum yang ada di Indonesia masih sangat terpuruk. Supremasi hukum di negara kita masih perlu dipertanyakan. Banyak ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita baik dalam skala kecil maupun besar.

Hukum masih dimiliki oleh orang-orang yang berduit saja. Mereka dapat duduk dan tidur berleha-Ieha di kursi empuk mereka dengan tenang. Lolos tidaknya mereka di mata hukum tergantung dari jumlah nominal uang yang mereka tawarkan. Sedangkan orang-orang yang tidak paham hukum akan terjebak dan terseok-seok dengan kasus mereka.

Entah adil atau tidak, itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Orang-orang bawah tertindas di dalam jeratan hukum, tetapi koruptor-koruptor kelas atas dapat bersenang-senang dengan kekayaan yang mereka miliki dari meraup uang rakyat yang tidak bersalah. Itulah gambaran "negara hukum Indonesia".

Masih ingatkah anda dengan kasus pasangan suami istri yang mencuri setandan pisang? Mereka adalah Supriyono dan Sulastri. Terdakwa kasus pencurian setandan pi sang di rumah tetangganya untuk menghidupi keluarganya karena tidak mempunyai uang untuk membeli makanan.

Kasus ini menjadi kontroversi di Bojonegoro dan sorotan dari berbagai media massa. Hanya karena pencurian barang yang harganya tidak lebih dari Rp1 0.000,00, terdakwa ini dibawa dan diproses di meja hijau. Padahal banyak sekali kasus besar yang melibatkan bertriliun-triliun uang, tetapi sulit untuk diproses di meja hijau. Beberapa kasus bahkan tidak ditinjaklanjuti bahkan sampai ditutup pengusutannya.

Oalam kasus pencurian setandan pisang, sebenarnya pihak kepolisian ataupun kejaksaan dapat melepaskan pasangan suami istri itu karena alasan kemanusiaan dan kecilnya barang yang telah dicuri. Jika dilihat dari aspek keadilan, sungguh ironis sekali karena hanya

dengan mencuri setandan pisang, hukumannya 3,5 bulan. Supriyono dan Sulastri didakwa melanggar pasal 363 ayat 1 tentang pencurian dengan pemberatan. Pasal itu mengancam terdakwa dengan ancaman tujuh tahun penjara. Namun, dengan bantuan dari beberapa pihak akhirnya mereka dihukum 3,5 bulan.

Fenomena di atas jelas mengaduk-aduk perasaan masyarakat kecil. Oi mana letak keadilan itu? Ketika Supriyono dan Sulastri sudah menghuni LP kelas II A Bojonegoro selama 3,5 bulan, tersangka korupsi masih bebas berkeliaran. Apa yang terjadi untuk para koruptor dan pejabat yang telah menghabiskan uang rakyat yang bertriliun-trilunan rupiah itu? Pasangan suami istri ini merupakan salah satu contoh lemahnya supremasi hukum yang ada di Indonesia. Supremasi hukum di Indonesia masih harus direformasi untuk menciptakan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.

Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Supriyono dan Sulastri yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran bahkan triliunan rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.

Perubahan dalam pengakan hukum perlu dilakukan secara komprehensif. Perubahan dimulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.

Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010 3

Paradoks Rousseau, Individu, dan Hukum Djohan Rady/llmu Filsafat 2007

Persoalan pertama yang muncul jika kita berbicara mengenai konsep kesetaraan di depan hukum adalah seberapa besar peran otonomi individu di depan hukum? Bukankah jika kita menyamakan individu dengan individu lainnya (termasuk di dalamnya menyamaratakan kebebasan membuat pilihan dan preferensi atas suatu hal) berarti hal tersebut melanggar prinsip awal kebebasan itu sendiri, yakni penghargaan atas hak-hak individu? Seberapa "sakti" posisi hukum di dalam suatu negara sehingga bisa membuat individu-individu yang dijunjung tinggi itu menjadi setara?

Prototipe kewarganegaraan modern saat ini bisa kita telusuri asal-usulnya pada teori John Locke mengenai politik dan pemerintahan. Dalam bukunya Two Treatise of Government, Locke menyebut bahwa sejak awal manusia membawa tiga hak alamiah pada dirinya, yakni hak untuk hidup, kebebasan, dan hak kepemilikan. Ketiga hak alamiah ini nantinya akan menjadi raison d'etre bagi pemahaman bahwa setiap individu itu unik dan tidak dapat diperbandingkan.

Sebagaimana para filsuf yang dibesarkan dalam tradisi kontraktarian, seperti Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau, Locke pertama-tama merumuskan sebuah kondisi hipotetis mengenai kondisi kehidupan sosial manusia pra-peradaban (biasa disebut sebagai kondisi antiseden).

Locke menjelaskan pada awalnya, kehidupan manusia berlangsung tanpa konflik dan saling menghargai hak-hak alamiah masing-masing. Konflik yang kemudian muncul mendorong para individu untuk mengadakan kontrak sosial untuk mempercayakan diri mereka diatur oleh

4 Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010

negara dan negara harus memerintah sesuai aspirasi rakyat sang pemberi mandat dan melindungi hak-hak sipil mereka.

Kontrak sosial kemudian dibentuk atas dasar kepercayaan bahwa kesepakatan yang dibuat akan melindungi hak-hak alamiah dari masing-masing pembuat kontrak. Oleh karena itu, berbeda dengan Hobbes dan Rousseau, kekuasaan negara dan hukum (sebagai manifestasi kontrak sosial) di dalam Two Treatise of Government terbatas pada hak-hak alamiah setiap individu. Oleh karena itu pula, menu rut Locke, negara dilarang keras mendistorsi hak-hak alamiah individu, bahkan sebisa mung kin negara harus melindunginya.

Pad a poin ini, konsep kesetaraan di depan hukum menjadi penting. Sistem hukum sebuah negara baru mendapat legitimasinya jika ia menjadi sebuah sistem yang tidak pilih kasih. Negara, dengan hukum sebagai manifestasi proliferasi kekuasaan, wajib melindungi hak-hak alamiah setiap warga dan menghukum siapa pun yang melanggarnya, tanpa kecuali.

Namun, poin ini juga mengandung kontradiksi yang dikenal sebagai paradoks Rousseau. Paradoks ini berbunyi, "bagaimana mungkin manusia bisa bebas sepenuhnya jika terlibat dalam kontrak sosialT Dengan rumusan lain, paradoks ini memperlihatkan ketidakmungkinan manusia untuk bebas jika hak-hak alamiah yang dimilikinya diberikan kepada negara sesuai dengan tuntutan kontrak sosial. Saya ingin mengatakan paradoks ini dengan tegas, "bagaimana mungkin ada kesetaraan di depan hukum jika setiap individu itu unik, bebas, dan tidak dapat diperbandingkan?"

Jawaban atas paradoks ini sebetulnya sudah terdapat di dalam asumsi awal yang dibuat oleh Locke. Dengan menyatakan bahwa setiap manusia lahir dengan hak-hak alamiah, Locke sebenarnya telah membuat sebuah rumusan metafisis tentang man usia. Sebuah rumusan yang pad a kemudian hari menjadi landasan bagi konsep hak asasi manusia, yakni all men are created equal (setiap manusia dilahirkan setara). Kesetaraan ini bukan terletak pad a kesetaraan politik, sosial, atau budaya. Kesetaraan menurut Locke adalah kesamaan yang semata-mata bersifat metafisik, yakni kesamaan sebagai manusia (human being).

Oleh karena itu, bagi Locke, kekuasaan negara dan hukum legal dapat menjangkau setiap orang tanpa kecuali. Tak ada satu pun orang yang bisa lepas dari jeratan hukum legal yang telah disepakati bersama melalui kontrak sosial. Namun, kekuatan hukum

terbatas pada bagaimana ia menjaga agar tidak terjadi pelanggaran atas hak-hak alamiah warga negaranya. Dengan kata lain, absolutisme kekuasaan hukum di ranah formal akan selalu diiringi oleh keterbatasan di ranah substansi. Hukum boleh menjerat setiap warga negara tanpa perlu mencampuri hak-hak alamiah mereka.

Pad a poin ini, konsepsi Locke mengenai hukum terhindar dari jeratan paradoks Rousseau: "hukum dibuat bukan untuk mengatur tingkah laku dan pilihan-pilihan warga negara, melainkan terbatas pada melindungi hak-hak alamiah mereka". Hukum diperlukan bukan karena setiap individu itu berbeda dan perlu disamakan, tetapi justru karena kita semua lahir sebagai sesama manusia dan perbedaan di antara kita perlu dijaga dan dilestarikan.

Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010 5

Tangisan Sebuah Palu

Aku menyaksikan Mendengar rintihan Keluhan ... Keputusasaan

Hai maling ayam

Maaf, ketukanku akan mengutukmu Hingga kau membusuk di dalam situ Apa dayaku, tuanku berkehendak begitu

Dibalik meja aku mendengar Gelak tawa seorang pembesar Wajahnya tanpa dosa Dukanya telah sirna

Padahal ialah sebenar-benarnya durjana

Aku ini bisu

Aku ini sebuah palu

Namun aku masih bisa merasa ngilu Menyaksikan ketidakadilan di belakang badanku

Oh tuanku .. Apa dayaku

Aku ini cuma palu

Dewi Keadilan

May 12th, 2010 Maslihah/Sastra Inggris 2008

Aku terpana Dewi keadilan mulai mengintip Membuka mata dan jatuh cinta Pada tuan pemilik kuasa dan harta

Membelai mengecupnya namun kakinya Menginjak si malang tak berharta Mengayun pedang dan menebasnya Mengakhiri hidup keadilan

9/5/10 Fariz/ilmu Politik 2008

6 Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010

Karena Dia, HUKUM

Tahanan perifer di ateriolaku seketika menurun drastis Bukan, bukan karena kadar glukosaku yang berlebih Bukan juga karena hormon insulinku yang terjun bebas Tapi karena memuncaknya perasaanku terhadapnya Karena dia , dia adalah HUKUM

Karena HUKUM setiap kusebut namanya hipotalamusku serasa berhenti Aku tak mengerti tentangnya yang kutahu hitam adalah hitam dan putih adalah putih

Namun, bila HUKUM berkata hitam adalah putih dan putih adalah hitam, aku hanya mengganguk

Ya, karena dia adalah HUKUM

Sejak kecil serebelumku telah distimulus bahwa HUKUM itu adil adanya Bahwa HUKUM itu untuk menyelimuti badan-badan yang rapuh dan aku percaya

Berjalannya waktu semua terasa bias, semua dongeng tentang HUKUM yang gagah

Berani melawan kejahatan menjadi cerita fiksi di mataku.

Ya, karena dia adalah HUKUM

Sebuah membran semipermeabel yang mampu menahan badan-badan rapuh namun tak mampu menahan badan-badan bertulangkan harta dan berkulit tahta

Ya, karena dia adalah HUKUM

Semua karena dia, dia yang telah mengacaukan sistem hemostatis di tubuhku

Apa yang harus kulakukan terhadapnya?

Melawan? Tak cukup energiku untuk menyerang Memaki? Tak cukup frekuensi suaraku untuk didengar Diam? Aku bukan mayat hidup yang tak perasa Karena dia, HUKUM kan kujadikan ia temanku Karena dia. HUKUM kan kupelajari isi hatinya

Karena dia. HUKUM kan ku ubah perilaku buruknya Karena dia. HUKUM aku harus lebih pintar darinya

Ya, karena dia HUKUM dan aku tak mau dibodohi olehnya ..

Tika N.

Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010 7

KSM Eka Prasetya UI 2010

Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia 2010

Visi: "Menjadikan Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia (KSM EP UI) sebagai motor pergerakan keilmuan mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun universitas melalui nilai-nilai dasar profesionalitas (professional), kejujuran (honesty), dan kepedulian (care)."

Nilai-nilai dasar visi:

• Profesional (professional), mencakup tanggung jawab, komitmen, disiplin, dan produktif

• Kejujuran (honesty), mencakup keterbukaan dan ketulusan.

• Kepedulian (care), mencakup kritis, analitis, dan kontributif.

Misi: a. Meningkatkan 'sense of belonging' di antara anggota terhadap organisasi KSM EP UI.

b. Membentuk 'supporting system' yang mendukung kinerja internal KSM EP UI.

c. Meningkatkan kapabilitas anggota KSM EP UI yang kompeten di kampus maupun pasca kampus.

d. Memperluas jaringan KSM EP UI, baik di internal maupun eksternal universitas, nasional maupun internasional.

Program Unggulan:

• KSM EP UI Supporting System

• Sekolah Profesi

• Scholarship Fair

• Research Days

• KSM EP UI for Nation (HUT KSM EP UI)

• Call for Paper + Antologi Puisi

• International Conference

Struktur Kepengurusan:

Ketua Umum: Mega Trishuta Pathiassana Sekretaris Umum: Tangguh

Bendahara Umum: Rani Ramayanti (controller) & Tika Kartika (treasurer)

Biro Dana Usaha: Sabrina Sabatini Biro Kontrol Internal: Mela Desina

Biro Kestari: Shiva Devy

Biro PSDM: Fadlinnisa

Bidang Kominfo: Dini Khoirinnisa

Biro Media: Agung Wibowo

Biro Jaringan: Luqman Hakim Bidang Keilmuan: Raditia Wahyu Supriyanto

Departemen Penelitian: Harsono

8 Dialektika_KSM Eka Prasetya UI2010

KSM Eka Prasetya UI 2010

Departemen Penulisan: Fariz Panghegar Departemen Kajian: Ahmad Wildan Masyhari Biro Proyek dan Acara: Agus Tumoko

Staff Ahli: Chira Chumaira & Intan Putri (PSDM), Rajab Febriawan (Keilmuan), Rista Amalia, Istiqomah.

Dewan

-------

Pembina

Sekretaris Umum

Kestari

Ketua

Departemen PSDM

Bidang Keilmuan

Biro Proyek dan Acara

Departemen Penelitian

Departemen Kajian

Departemen Penulisan

You might also like