You are on page 1of 7

COMMUNITY ORGANIZING

(Masihkah Dilirik)

Oleh:
Tua Hasiholan Hutabarat
Mataram, 11 Juni 2010

B agi para pekerja sosial, istilah Community Organizing atau


pengorganisasian komunitas bukanlah hal baru. Selain banyak diterapkan
dalam kerja-kerja pemberdayaan dan pengembangan masyarakat,
Community Organizing juga menjadi strategi penting gerakan sosial. Sampai saat
ini, kerja-kerja pengorganisasian rakyat atau pengorganisasian komunitas banyak
dijadikan acuan oleh pekerja sosial, bahkan oleh kaum radikal. Pendekatan-
pendekatan yang dilakukan dianggap masih paling efektif dibandingkan cara-cara
lain yang tak memberi peluang terbangunnya kemandirian dan pembebasan rakyat.
Penerapan teknik Community Organizingmemiliki kesesuaian terhadap basis
ideologi pembebasan yang menempatkan kedaulatan dan daya tahan komunitas
sebagai yang utama dibandingkan sekedar kesejahteraan dan kemakmuran.

Cukup sulit untuk mendapatkan teknik lain yang setara, atau paling tidak
memiliki landasan yang se kuat Community Organizing. Kerja-kerja

1
pengorganisasian rakyat memiliki sisi-sisi tertentu yang sesuai untuk persoalan-
persoalan struktural dan melibatkan pertentangan-pertentangan substansial dalam
struktur sosial. Kemampuannya dalam menggali dan mendorong perubahan radikal
yang berbasis ideologi sekaligus membangun perubahan yang lebih
berkesinambungan. Kerja-kerja pengorganisasian tak sekedar membangun
kesejahteraan rakyat ataupun semata-mata meningkatkan pendapatan dan akses
terhadap sumberdaya. Aspek terpenting dalam kerja atau kegiatan pengorganisasian
adalah terbangunnya kapabilitas komunitas untuk mandiri dan berdaulat
berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya sendiri.

Pemahaman pengorganisasian seperti yang didefinisikan di atas tentu saja


tidak sama antar pelaku-pelaku pengorganisasian. Namun biasanya perbedaan
pemahaman konsep dan teknis pengorganisasian lahir dari akumulasi pengalaman
di komunitas. Pada prinsipnya seluruh kegiatan pengorganisasian tak memiliki
perbedaan nyata satu sama lainnya, kecuali jika dilandasi oleh basis ideologi
tertentu yang menyebabkan perbedaan pengorganisasian di level taktik dan strategi.

Sejarah pengorganisasian memang tak setua konsep struktur kekuasaan.


Kemunculannya secara konseptual baru dikenal tatkala seorang pria gelisah
bernama Saul Alinsky di Amerika Serikat membangun gerakan perlawanan kaum
urban yang terpinggir. Pada saat itulah kerja-kerja pengorganisasian mulai banyak
dikenal, khususnya dalam menciptakan keadilan bagi warga yang diperlakukan
secara diskriminatif oleh negara. Walaupun pendekatan yang dilakukannya pada
saat itu cenderung dianggap menyimpang, unik dan asing bagi kebanyakan orang,
tapi apa yang dilakukannya banyak menginspirasi gerakan perubahan, baik
golongan radikal sampai kelompok moderat.

Di Indonesia, kerja-kerja pengorganisasian sebenarnya bukan hal baru.


Sejarah pergolakan sosial dan politik negara banyak merupakan hasil dari kerja-
kerja pengorganisasian di level grassroot. Walaupun tidak diistilahkan dengan
Community Organizing, namun praktek-praktek kerja yang dilakukan di komunitas
sangat mirip dengan yang dilakukan oleh Alinsky. Kerja-kerja pengorganisasian
mulai terdokumentasi dan menjadi salah satu skill penting ketika diterapkan oleh
para pekerja sosial yang mewakili institusi mediasi antara pemerintah dengan
rakyat. Sebagai lembaga intermediary antara pemerintah dengan rakyat, dibutuhkan

2
kegiatan-kegiatan penyadaran, mobilisasi, katalisasi dan penguatan yang semua itu
ada dalam tugas-tugas pengorganisasian.

Sejak era tahun 1970-an sampai sekarang, kerja pengorganisasian semakin


penting, bahkan menjadi satu keahlian penting dalam upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat. Sebegitu pentingnya tugas-tugas ini, sehingga banyak pihak yang
kemudian menanamkan pengetahuan dan ketrampilan pengorganisasian melalui
pelatihan-pelatihan, seminar atau workshop. Sayangnya, semakin luasnya
pengetahuan dan skill dalam bidang Community Organizing tidak dibarengi dengan
dukungan moralitas pelakunya. Pengorganisasian kini menjadi sebuah kegiatan
terstruktur dan sistematis dengan bobot metodologis yang kental. Sebagai sebuah
skill yang sangat metodis, pengorganisasian mengalami banyak reduksi. Pertama;
pengorganisasian hanya dianggap serangkaian kegiatan yang terencana rapi.
Akibatnya, perencanaan pengorganisasian kerap bertolakbelakang atau berlawanan
dengan perencanaan yang di bangun di komunitas. Memang ada aspek fleksibilitas
dalam pengorganisasian, namun tetap saja dikontrol ketat oleh rangkaian rencana
yang disusun oleh pelaku atau organisasi pelaksana pengorganisasian.

Kedua, pengorganisasian terperangkap dalam bahasa program. Akibatnya,


sebagai kerja-kerja pemberdayaan dan pengembangan kapabilitas komunitas,
Community Organizing mengalami pemangkasan waktu dan pergeseran makna
tentang dana atau logistik pengorganisasian. Keterjebakan dan pergeseran makna
tersebut menjadikan pengorganisasian menjadi sebuah skrup kecil yang
pelaksanaannya dipenjara atau diatur oleh batas schedule dan budged. Ketiga,
pengorganisasian dikontrol juga oleh kerangka logis yang bersifat kuantitatif dan
output determinism. Konsekuensinya, kerja-kerja pengorganisasian menjadi sebuah
kegiatan yang keberhasilannya ditentukan oleh parameter yang telah ditentukan
oleh kerangka logis program. Padahal, Community Organizing kerap berurusan
dengan perubahan-perubahan jangka panjang dan aspek-aspek di komunitas yang
sulit untuk diukur. Salah satunya adalah terkait dengan membangun kesadaran.
Pengorganisasian dalam rangka membangun kesadaran tak bisa di ukur melalui
indikator-indikator tercantum dalam parameter capaian program. Walaupun dari sisi
Sosiologis dikenal adanya proses kuantifikasi konsep, tetap saja dalam
pelaksanaannya sulit dilakukan. Ketika hal-hal yang sulit di ukur tersebut
dipaksakan dalam capaian kerja pengorganisasian, maka sudah dapat dipastikan
hasilnya akan negatif.

3
Begitu juga dalam hal pendanaan atau logistik kerja Community Development.
Kerangka logis program dan budged telah merubah motivasi dasar dari
pengorganisasian yang seharusnya membangun kemandirian warga. Dapat
dibayangkan, kerja pengorganisasian yang seharusnya mengembangkan
kemandirian, ternyata dilakukan oleh organiser yang tidak mandiri. Tentu saja hal
ini merupakan paradoks yang jika diketahui oleh rakyat akan berdampak pada
kegagalan pengorganisasian.

Untuk yang di sebut yang terakhir ini memang sangat sulit untuk dihilangkan.
Sangat sulit, atau bahkan cenderung tidak mungkin untuk melakukan kerja
pengorganisasian tanpa logistik. Persoalannya, sering sekali logistik
pengorganisasian dapat mengganggu atau merusak tujuan pengorganisasian.
Dukungan logistik, terutama dari donor dapat mempengaruhi persepsi masyarakat,
dalam hal ini mengganggu kemurnian pelaksanaan pengorganisasian.
Bagaimanapun juga, masyarakat memang masih sangat menghargai sebuah
kemurnian. Pengorganisasian yang dilakukan atas nama pribadi, atau organisasi
yang dikenal masyarakat minim logistik dan dana pengorganisasian menjadi lebih
efektif (walau harus bekerja lebih keras) jika dilakukan oleh organisasi yang dikenal
mapan.

Masihkah Dianggap Penting?

Jawabannya adalah, Ya! Community Organizing masih memegang peranan


penting dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat. Persoalannya adalah, telah
terjadi pergeseran besar, baik secara konseptual maupun pelaksanaannya di
lapangan. Community Organizing bukan lagi vital sebagai bagian dari strategi dan
taktik menuju terciptanya perubahan, namun terjebak dalam pendekatan project
yang kerap berorientasi jangka pendek, sangat kuantitatif dan metodis. Steve
Callahan sebenarnya sudah mengendus dua persoalan ini. Dia membagi Community
Organizing dalam dua tipe yang disebutnya sebagai apel dan jeruk. Tipe pertama
adalah tipe jeruk, yakni Community Organizing dalam konteks Project-Based
Community Development dan tipe apel dalam konteks Power-Based Community
Development (1999). Menurutnya, kedua pendekatan ini sangat mempengaruhi pola
pengorganisasian, karena memiliki landasan teori yang berbeda, yakni model teori
konflik dan teori fungsionalis. Model Project-Based Community Development
berusaha membawa keseimbangan pada sebuah sistem, sedangkan Power-Based

4
Community Development berusaha merubah sistem tersebut. Sering sekali kedua
pola ini saling bertentangan dalam penerapannya di lapangan. Yang satu menuduh
yang lain sebagai pendekatan moderat, sedangkan yang lain dituduh terlalu radikal.

Gambaran yang dikemukakan Callahan tersebut mencerminkan adanya dua


arus besar Community Organizing. Ternyata, semakin maraknya keberadaan
lembaga-lembaga intermediary dan semakin banyaknya sektor private yang
mengadopsi pendekatan community development telah semakin menyuburkan
model Project-Based Community Development. Ini artinya, kerja-kerja
pengorganisasian atau Community Organizing banyak dilakukan dalam konteks
project. Akhirnya, kegiatan pengorganisasian menjadi sangat kuantitatif atau
terukur, berjangka pendek, dan yang cukup menyedihkan, pengorganisasian
menjadi tugas-tugas pelayanan kepentingan pemberi tugas atau pemberi dana.

Tentu saja pergeseran tersebut belum berlangsung terlalu dalam. Masih


banyak bentuk-bentuk pergeseran yang masih dalam lingkaran pemahaman
pengorganisasian secara tradisional seperti yang dibangun oleh Saul D Alinsky. Jika
pergeseran makna dan pelaksanaannya dikarenakan oleh tuntutan konteks
komunitas, maka hal itu dapat di mengerti. Ada banyak konsep baru yang saat ini
telah berkembang dan digunakan oleh banyak orang. Misalnya, Community
Organizing dalam konteks Capability Building, Consensus Building, Woman-
Centered Organizing, Asset-Based Community Development Model dan
Community Building. Apapun istilah yang digunakan, semuanya tidak akan
mereduksi kerja-kerja Community Organizing, sepanjang tetap mendorong
terjadinya perubahan. Polarisasi pendekatan yang terjadi di masyarakat tentu saja
tak bisa terus menerus dipertentangkan. Tuduhan antar pihak tentang radikalisme
atau moderat tidaknya sebuah pendekatan seharusnya tidak dianggap penting lagi,
sepanjang semuanya dilakukan dengan landasan-landasan kerja yang menempatkan
rakyat atau komunitas sebagai pelaku perubahan.

Terlepas dari apakah perubahan tersebut cenderung seperti jeruk atau apel,
tetap saja di lapangan dua pendekatan tersebut tidak jauh berbeda. Namun
persoalannya, Community Organizing yang dilakukan dalam konteks pendekatan
jeruk atau Project-Based Community Development harus mengalami penyesuaian
terhadap konteks persoalan komunitas yang bersifat struktural. Fungsi-fungsi
pembangunan dalam pendekatan fungsional sudah diperankan oleh negara sebagai

5
institusi utama yang bertanggungjawab dan berkepentingan terhadap persoalan
stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Peran pemberdayaan kedaulatan dan
kemandirian rakyat berhadapan dengan persoalan struktural harus dihadapi dengan
kerja-kerja pengorganisasian berbasis penguatan. Community Organizing harus
diarahkan pada penguatan kelembagaan, penyadaran, solidaritas dan revitalisasi
modal sosial, sehingga rakyat atau komunitas memiliki kemampuan untuk merubah
dirinya sendiri tanpa harus terlalu tergantung dengan kekuatan eksternal. Walaupun
terkesan mengandung ironi, namun kondisi seperti ini harus bisa diterima semua
pihak, sehingga pertentangan antara faksi radikal dan moderat dalam kerja-kerja
Community Organizing dapat dihindari.

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, jelas Community Organizing masih


vital, bahkan mengalami metamorphosis, baik secara konseptual dan
implementasinya pada komunitas. Perhatian terhadap kegiatan atau kerja-kerja
Community Organizingsebaiknya diarahkan pada perubahan struktural, bukan
sekedar pada aspek stabilitas sistem semata. Dengan demikian, Community
Organizing atau pengorganisasian komunitas akan mampu mendorong kemandirian
dan kedaulatan rakyat atas sumberdaya, sehingga terbangun kapabilitas merubah
situasi yang dianggap merugikan. Pengorganisasian dalam konteks Project-Based
Community Development merupakan keniscayaan yang tak bisa terbendung akibat
kompleksitas persoalan komunitas dan gelombang besar paradigma pembangunan.
Demikian juga dengan pendekatan penguatan (Power-Based Community
Development), yang walaupun cenderung dianggap radikal. Kedua pendekatan
tersebut harus diyakini menuju pada sebuah perubahan. Sama dengan proses
Community Organizing yang bersifat Process-Based, maka keduanya harus
dilaksanakan dalam mekanisme yang sama. Waktu dan kerja-kerja di lapangan yang
akan menentukan arah perubahan yang diharapkan masyarakat.

6
Bahan Bacaan:

Callahan, Steve, Neil Mayer, Kris Palmer, and Larry Ferlazzo. 1999. Rowing the
Boat With Two Oars. paper presented on COMM-ORG: The On-Line
Conference on Community Organizingand Development. http://comm-
org.utoledo.edu/papers.htm.
Foster, Chaterine Crystal and Justin Louie, 2000. Grassroots Action and Learning
For Social Change: Evaluating Community Organizing, Center For
Evaluation Innovation, Blueprint,

You might also like