You are on page 1of 3

TRANSFORMASI BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA

GLOBALISASI

ditulis oleh : Denis L. Toruan


Program Studi Cina S-1 Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia

Sang Naga Telah Bangkit dari Tidurnya

Ketika komunisme Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, tidak sedikit para ahli dan
pengamat hubungan internasional yang memperkirakan bahwa RRC tidak lama lagi
mengikuti nasib serupa. Akan tetapi, jika kita menyikapi pertumbuhan ekonomi RRC
pada dua dasawarsa terakhir prediksi tersebut sama sekali tidak terbukti. Negara yang
dulu sering diejek dengan sebutan “tirai bambu” ini, berhasil mencapai Gross Domestic
Product (GDP) sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005 dan pertumbuhan ekonomi kira-kira
sebesar 9,2% setiap tahunnya. Lahan-lahan bisnis dan pintu investasi asing dibuka
selebar-lebarnya oleh pemerintah RRC. Hasilnya dapat kita lihat sendiri sekarang di
sekeliling kita; Sebagian besar perusahaan manufaktur dunia berlomba-lomba
mengalihkan pabrik-pabriknya ke RRC, produk-produk Cina menjamur di mana-mana
dan mudah kita peroleh dengan harga yang sangat terjangkau. Tidak hanya itu, pada
aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, RRC berhasil mengembangkan
teknologinya sendiri dan meluncurkan pesawat ruang angkasa berawaknya ketiganya
Shenzhou VII pada tahun 2006. Ini menandakan sukses RRC sebagai negara ketiga di
dunia setelah Rusia dan AS yang berhasil meluncurkan pesawat antariksa berawak.
Banyak pertanyaan yang timbul dari keberhasilan-keberhasilan ini, beberapa di antaranya
justru kontradiktif jika kita menilik sistem pemerintahan RRC. Satu yang cukup besar
dan sangat menantang untuk diteliti adalah bagaimana mungkin sebuah negara
totalitarian komunis dengan sistem ekonomi etatisme (terpusat)nya, justru mencapai
perkembangan ekonominya dengan memeluk pusaran globalisasi dari pendekatan
mainstream Barat : Kapitalisme ?
Tidak sedikit penelitian, buku, hingga jurnal ekonomi berskala domestik maupun
internasional yang mencoba mengupas seputar keberhasilan RRC moderen. Beberapa di
antaranya bahkan mulai mengangkat wacana tentang “model Cina”. Jika ditilik lebih
dalam lagi, tulisan-tulisan serupa memuat teori-teori mutakhir dan pendekatan penelitian
yang sangat beragam dan menarik untuk dikaji. Salah satunya seperti yang ditulis oleh
Ted C. Fishman dalam bukunya China Inc., yang cenderung mengambil pendekatan
ekonomi dan historis dengan gaya penulisan populer. Secara garis besar, buku tersebut
memuat tentang “success story” RRC dan fakta-fakta luar biasa seputar RRC yang
kemungkinan besar pasti akan mengundang decak kagum pembacanya. Benarkah RRC
sudah kapitalis dan 180° meninggalkan jalan sosialisme-komunismenya?
Rumusan Sistem Sosial-Politik dan Transformasi Budaya

Keberhasilan RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina (PKC)
yang mereformasi negaranya secara besar-besaran pada akhir dekade 1970-an dan
menciptakan sistemnya yang unik, yang disebut dengan you zhongguo tese de
shehuizhuyi atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng
Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun” kemudian dikristalisasikan dalam
Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan rumusan
shehuizhuyi shichang jingji atau ekonomi pasar sosialis. Sejak saat itu, kebijakan yang
dituangkan dalam garis besar haluan negara ini, mendasari pertumbuhan ekonomi RRC
hingga saat ini.
Sistem ekonomi RRC moderen setelah reformasi Gaige kaifang (Pintu Terbuka)
oleh Deng Xiaoping bukan merupakan jiplakan dari sistem ekonomi manapun yang
pernah ada di dunia, melainkan hasil transformasi budaya dari kapitalisme Barat dengan
sosialisme ala RRC. Terdapat beberapa kalimat menarik yang dikemukakan oleh Deng
Xiaoping pada September 1982 yang kemudian sangat populer dan berpengaruh adalah :
“Kemiskinan bukan Sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan.” Atau
ujaran lainnya seperti “Menjadi kaya itu mulia”. Efek dari pencetusan konsep tsb terlihat
pada tahun 1984, “demam bisnis” melanda RRC, di mana pasar kerja paruh waktu
melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di pedesaan, mahasiswa,
dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua terjadi sekitar tahun 1990, yang ditandai
hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi
ke sektor perdagangan. Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna
perubahan yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan
cendekiawan RRC. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang telah
berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan akhir yang wajar
dari perjalanan akademis seseorang (Tradisi Konfusian). Dalam waktu kurang dari satu
generasi, peran ilmuwan/cendekiawan RRC telah bergeser dari penjaga pintu gerbang
nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan sosial yang terbesar di
RRC.
Sejauh ini, RRC berhasil mengaplikasikan nilai-nilai kolektivitasnya bersamaan
dengan praktek budaya bisnisnya seperti guanxi (hubungan/koneksi), ganqing (ikatan
perasaan antara pelaku hubungan sosial), xinyong (kepercayaan yang dibangun dari
jaringan antar pribadi), untuk kemudian dipadukan dengan sistem manajerial pararel
RRC (sistem yang menerapkan kesetaraan beban/tanggung-jawab antara sekretaris Partai
Komunis yang menjadi wakil pemerintah di perusahaan dan manajer umum perusahaan
tsb), hingga fungsi organisatoris perusahaan RRC yang layaknya merupakan “masyarakat
kecil”.

Budaya Lokal dan Nation-State Moderen dalam Menembus Pasaran


Dunia

Dalam mencapai kemajuan seperti halnya RRC, dunia bisnis dan sistem
perekonomian hanya merupakan satu sarana untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
Itu bukanlah segala-galanya. Sikap kritis kita sebagai negara berkembang yang
seharusnya timbul dalam menyikapi fenomena-fenomena seperti ini adalah belajar
tentang bagaimana suatu pattern/pola “success story” yang terbentuk dari negara-negara
maju yang moderen secara fisik maupun mental, dan kemudian mengaplikasikannya
dalam kehidupan bernegara dan komunitas internasional.
Dikatakan moderen secara fisik, maksudnya nation-state atau konsep negara
-bangsa dibangun dengan pembangunan fisik tertentu yang menunjang kesejahteraan
rakyatnya, di samping penguasaan teknologi yang tepat guna. Moderen secara mental
mencakup makna bahwa kualitas perilaku manusia dan mentalitasnya dalam menyikapi
pembangunan di sekitarnya; Sehebat apapun kemampuan manusia dalam menciptakan
sesuatu tapi jika tidak dibarengi dengan mentalitas memelihara “keawetan” buah
modernisasi tersebut, maka hasilnya akan semu semata. RRC, Jepang, dan Korea,
setidaknya menjawab tantangan globalisasi bahwa modernisasi bukan milik dunia Barat
semata. Mereka berhasil membuktikan bahwa budaya lokal yang dijalankan harmoni
dengan nation-state moderen dapat menembus pasaran dunia. Indonesia dengan
keragaman sumber daya alam dan hayatinya mempunyai peluang besar untuk sukses
dalam globalisasi. Akan tetapi, semuanya berpulang kepada sinergi antara Pemerintah
Indonesia dan rakyatnya sendiri; Indonesia ingin bersatu maju atau tertinggal terus?

You might also like