You are on page 1of 3

KEAMANAN PRODUK-PRODUK RRC

ditulis oleh : Denis L. Toruan, S.Hum.


Pemerhati RRC

Beberapa minggu belakangan ini, publik kita dikejutkan oleh berita-berita media
yang melaporkan bahwa beberapa produk pangan impor dan obat-obatan dari RRC yang
beredar di pasaran Indonesia, ternyata memiliki kualitas di bawah standar internasional
dan mengandung zat-zat berbahaya seperti formalin. Hal ini jelas mencengangkan siapa
saja, terutama bagi para ibu dan anak-anak Indonesia yang sempat menjadikan salah satu
produk pangan impor dari RRC tersebut sebagai cemilan favoritnya selama bertahun-
tahun. Ditinjau dari segi kesehatan, kita akan ngeri sendiri jika membayangkan efek
kebiasaan tersebut dengan resiko timbulnya kanker pada tubuh pengkonsumsi.
Kejadian ini jelas merupakan tamparan bagi pemerintah Indonesia, terutama
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan instansi terkait lainnya, serta terutama
pemerintah RRC itu sendiri. Satu pertanyaan publik yang kemudian timbul adalah : “Kok
bisa-bisanya pemerintah yang bersangkutan kecolongan berkali-kali?”. Tanggapan atau
komentar yang berbagai macam dari kedua belah pihak pemerintah dapat kita lihat pada
baris-baris media cetak ataupun yang kita dengar dan lihat pada siaran berita di TV.
Secara garis besar, tanggapan kedua belah pihak dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, Pemerintah Indonesia mengeluhkan adanya ketidakjujuran para eksportir RRC
dan importir Indonesia dalam mengisi dokumen pengiriman barang. Selain itu, maraknya
aparat bea cukai terkait yang korup juga termasuk dalam daftar keluhan pemerintah.
Kedua, pemerintah RRC beretorika bahwa dalam perekonomiannya yang sedang
booming ini, ada saja pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang mengambil jalan
pintas untuk margin yang lebih besar. Menghadapi permasalahan tersebut pemerintah
RRC sudah menunjukkan itikad baiknya dengan memperbaiki kinerja instansinya dan
kualitas keamanan pangannya; Salah satu buktinya dengan menghukum mati Dirjen
BPOM Zheng Xaoyu, yang dianggap bersalah dalam kasus penerimaan suap dan
pemberian ijin untuk produk-produk yang mengandung zat berbahaya.
Hal menarik yang dapat kita simak adalah perang retorika dan saling
menyalahkan ini kemudian berlanjut dengan pelarangan produk impor seafood Indonesia
dan yang terakhir produk minuman Indonesia, yang dikatakan oleh pemerintah RRC
mengandung raksa, khrom, merkuri, dan zat-zat berbahaya lainnya. Berhubung isu
keamanan pangan ini sedang hangat-hangatnya, langkah yang diambil RRC ini
cenderung reaktif-politis dan bersifat membalas. Pertama, dari data-data yang ada produk
impor serupa juga dipasarkan ke Jepang dan negara-negara Uni-Eropa yang memiliki
standar internasional. Seharusnya tidak akan ada masalah dengan RRC, kecuali RRC
memiliki standar yang sama sekali berbeda Kedua, saat ini RRC tengah membangun
kredibilitasnya di mata dunia internasional. Oleh karena itu, menjaga muka merupakan
hal yang teramat penting bagi RRC. Ketika kasus seperti ini timbul, besar kemungkinan
RRC mengambil langkah politis untuk menyelamatkan muka (harga dirinya), bersamaan
dengan tetap menjaga hubungan baik antar negara.
Dalam menghadapi sengketa dagang seperti ini Indonesia tidak sendirian.
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang juga tengah menyorot produk-produk Cina
seperti makanan, minuman, hingga mainan. Tidak hanya itu, bahkan pemerintah RRC
sendiri pun mengaku sangat dipusingkan oleh masalah keamanan pangan ini. Menurut
pejabat terkait terdapat pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang sengaja mengejar
keuntungan semata, namun pihaknya berusaha sedapat mungkin mengatasi masalah
tersebut. Pekerjaan tersebut bukanlah perkara yang mudah, dibutuhkan komitmen jangka
panjang dan kerjasama dari negara-negara lain yang terkait. Yang disesalkan pemerintah
RRC, pers luar negeri cenderung terlalu melebih-lebihkan keburukan produk RRC.
Alasan pelarangannya terlalu politis.
Jika ditinjau lebih dalam, argumen pelarangan produk RRC yang bernuansa
politis tidaklah 100% benar juga tidak 100% salah. Pertama, dari segi sosial RRC seperti
raksasa yang kehausan. Jumlah rakyat yang sedemikian banyak, kurang lebih 1,3 milyar
orang, membutuhkan lapangan pekerjaan yang banyak pula, padahal belum tentu setiap
orang dapat kesempatan yang sama dan pendapatan yang relatif sama; Oleh karena itu,
tidaklah heran jika praktek-praktek ilegal dalam proses industri dan kegiatan perniagaan
sering terjadi. Kedua, ditinjau dari segi ekonomi RRC memiliki jumlah tenaga kerja yang
melimpah dengan upah yang sangat murah, sehingga menyebabkan harga produknya
sangat murah dan sukses dalam penetrasi pasar dunia. Kecenderungan yang terjadi pada
dua dasawarsa terakhir, booming perekonomian RRC dan skala penduduknya yang besar
menyebabkan ketidakseimbangan produksi dunia. Mengapa? Jelas karena RRC akan
selalu bisa memasok pasar dunia dengan barang murah. Contohnya, pabrik sepeda Huffy
di AS yang gulung tikar pada 2004. Pabrik sepeda yang namanya populer di AS ini
membayar buruhnya US$ 13 per jam. Sementara di RRC, buruh pabrik sepeda yang sama
hanya mendapatkan upah tidak sampai US$ 50 sen. Akhirnya, para investor pun
belomba-lomba mendirikan pabriknya di Cina daripada di tempat lain yang cost-
production-nya jauh lebih mahal. Fenomena seperti ini ada ratusan mungkin ribuan
kejadian. Entah berapa banyak orang di luar RRC yang kehilangan pekerjaannya karena
persaingan ini. Jadi, tidak tertutup kemungkinan bahwa negara-negara lain mengambil
langkah pelarangan produk RRC demi memproteksi produk domestik mereka. Dengan
kata lain, dalam skala global aksi pemboikotan ramai-ramai ini secara sadar atau tidak
sadar dilakukan demi mengerem laju pertumbuhan ekonomi RRC yang masif itu.
Terlepas dari alasan apapun embargo produk impor tersebut, fenomena ini
mengajarkan beberapa hal penting bagi Indonesia, terutama dalam kaitannya sebagai
bagian dari komunitas internasional. Pertama, dalam hubungannya dengan RRC,
Indonesia tentu saja tidak ingin kehilangan mitra dagang dengan salah satu pasar terbesar
dunia dan hubungan baik dengan salah satu kekuatan besar dunia. Oleh karena itu,
diperlukan langkah-langkah diplomasi kenegaraan yang tepat dan efektif dalam
penanganan masalah ini. Semua aparat dan pejabat yang terkait hendaknya jangan
gegabah dan mengikuti prosedur-prosedur yang berlaku. Pers Indonesia pun diharapkan
bisa proporsional dalam memberitakan masalah ini. Sedangkan masyarakat Indonesia
sebagai konsumen seharusnya bisa bijak dalam memilih dan mengkonsumsi barang-
barang impor; Jangan hanya karena tergiur murah lalu nyawa yang priceless itu melayang
begitu saja. Kedua, keamanan pangan internasional merupakan tanggungjawab bersama.
Setiap negara harus dapat bekerjasama dalam jangka panjang dan memiliki komitmen
yang tinggi. Lalu ketiga, laju pertumbuhan ekonomi RRC seharusnya dapat memacu
Indonesia untuk lebih inovatif dan kreatif dalam berbagai bidang. Pada era globalisasi
seperti ini, siapa saja yang kalah bersaing lambat laun akan pudar dengan sendirinya.
Tentunya kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat tidak menginginkan hal
tersebut terjadi. The last but not the least, seperti yang dikemukakan oleh masing-masing
pejabat pemerintahannya, RRC dan Indonesia memiliki itikad baik untuk menangani
masalah ini bersama-sama. Sudah sepatutnya kita berusaha agar kejadian ini tidak akan
memicu terjadinya perang embargo di antara keduanya, seperti yang juga telah
diungkapkan oleh wakil presiden RI, Jusuf Kalla.

You might also like