You are on page 1of 4

Kebudayaan Peranakan Tionghoa merupakan salah satu kebudayaan terkaya di

Asia Tenggara. Hal ini nampak dari pakaian, makanan, dan bahasanya yang
merupakan sintesa dari kebudayaan Tionghoa, Melayu, Belanda, Portugis, dan
pelbagai kebudayaan lokal, tergantung di mana tempat kaum peranakan ini bermukim.
Bahasanya yang biasanya disebut bahasa Melayu Tionghoa tidak saja dipakai
dalam pergaulan sehari-sehari tetapi juga digunakan dalam media massa yang
keberadaannya dapat ditelusuri sejak pertengahan abad ke 19. Media massa
mendorong timbulnya kesusastraan, karena halaman-halamannya juga diisi dengan
terjemahan karya sastra Tiongkok yang terkenal. Terjemahan-terjemahan ini disusul
pula dengan beberapa karya ciptaan sendiri yang di masa itu masih merupakan
reportase berbentuk syair, seperti Sair kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi yang
anonim, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1870.
Mulai tahun itu sampai kira-kira 1960-an kesastraan Melayu Tionghoa
berkembang pesat sehingga dapat digolongkan dalam beberapa bidang. Di samping
terjemahan dari bahasa Tionghoa dan Eropa terdapat juga karya fiksi dan non fiksi
seperti buku referensi, misalnya mengenai cara menulis surat, membuat “pridato” dsb.
Perkembangan karya fiksi yang dimulai pada pergantian abad ke 20 berjalan seiring
dengan perkembangan politik dan sosial di luar maupun di dalam negeri yang secara
langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak terhadap masyarakat Tionghoa
Indonesia. Perkembangan politik dan sosial ini juga mempunyai dampak terhadap
tema-tema yang dipakai untuk penulisan novel-novel, karena hubungan antara
kesusastraan dan keadaan sosial masyarakat biasanya dianggap cukup erat.
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dalam penulisan kesusastraan
Melayu Tionghoa terdapat penggunaan bahasa Melayu Tionghoa. Seperti apa
sebenarnya bahasa ini? Bahasa Melayu Tionghoa sebenarnya merupakan bentuk
modifikasi dari bahasa Melayu Pasar. Tidak ada pedoman yang pasti dalam
pemakaian bahasanya, yang pasti terdapat berbagai varian dan ketidakkonsistenan di
dalamnya. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat bahasa inipun banyak menyerap
kata-kata dan majas dari bahasa lainnya.
Para penulis kesusastraan Melayu Tionghoa merupakan orang-orang
terpelajar yang meskipun tidak menyandang gelar sarjana, tetapi banyak membaca
dan ingin juga membagi pengetahuan mereka kepada para pembaca. Jadi tidak
mengherankan kalau tulisan mereka diselingi kutipan-kutipan dari para pengarang dan
filsuf dunia termasyhur, seperti Shakespeare, Voltaire, Goethe dll.
Pada tahap permulaan, kesusastraan Melayu Tionghoa ini masih berpusat pada
cerita-cerita sensasional dan bersifat populer seperti cerita Oey See, yang bercerita
mengenai seorang yang menjadi kaya karena menemukan uang kertas di sebuah
kampung, ketika melihat seorang anak main layang-layangan yang terbuat dari uang
kertas. Hingga pada periode sebelum meletusnya Perang Pasifik kesusastraan Melayu
Tionghoa mencapai jaman keemasannya.

Beberapa pengarang terkenal zaman ini

Kwee Tek Hoay pernah menulis lebih dari 200 buah karya, diantaranya
terdapat novel, drama, karya pendidikan, keagamaan dan filsafat. Ia juga mengasuh
beberapa majalah seperti Panorama, Moestika Romans, dan Moestika Dharma.
Kwee tidak sepenuhnya menyetujui arus modernisasi wanita, tetapi ia minta agar
mereka memilih jalan tengah. Hal ini sesuai dengan ajaran Konfusius seperti yang
diuraikan dalam Zhong Yong (Jalan Tengah) Dramanya yang terkenal adalah Boenga
Roos dari Tjikembang dan Drama dari Boven Digoel, yang ditulisnya setelah
pemberontakan Komunis pada tahun 1927. Dalam novel ini, Kwee memuji usaha
perempuan pribumi, yang turut memperjuangkan Nasionalisme. Sebagai seorang
yang mendalami macam-macam agama, ia juga menyajikan asas-asas agama itu
kepada pembacanya seperti reinkarnasi dari agama Buddha, mistik Theosofie yang
di masa itu sangat populer berkat kunjungan Khrisnamurti ke Indonesia.
Seorang pengarang lain yang juga sangat produktif adalah Nyoo Cheong Seng,
yang juga pernah menulis lebih dari 100 novel dengan namanya sendiri dan dengan
nama Monsieur d’Amour (M.d’Amour), beberapa naskah sandiwara dan film, serta
cerpen yang tidak terhitung jumlahnya karena tersebar di banyak majalah yang tidak
semuanya dapat ditelusuri. Nyoo merupakan seorang sutradara teater yang kemudian
beralih ke film. Istrinya yang bernama Fifi Young adalah seorang bintang film
terkenal. Cerita-cerita yang disajikan Nyoo beraneka ragam dan seringkali memuat
cerita-cerita daerah, yang dicatatnya pada saat ia melakukan perjalanan. Di antara
cerita-cerita ini adalah Timoeriana (mengenai Timor Timur), Balas-Membalas
(mengenai Aceh), Ida Ayu (mengenai Bali), dan Tjinggalabi Aoeah (Papua). Nyoo
juga terkenal sebagai pengarang seri Gagaklodra, seri detektif yang masih diingat
banyak orang.
Tan Hong Boen atau Im Yang Tjoe juga banyak menulis tentang macam-
macam subyek, terutama dunia mistik Jawa yang ditekuninya semasa dia masih
bekerja sebagai wartawan, dan berkeliling pulau Jawa dengan bersepeda. Ia membuat
cerita-cerita mengenai tuyul, genderuwo, dll. Dia juga menulis cerita-cerita wayang
yang dipertunjukkan di pesisir utara pulau Jawa. Tan menjadi kaya raya bukan karena
tulisannya, melainkan karena pabrik obat yang sekarang dikenal dengan nama Pil
Kita.
Liem Khing Hoo menjadi terkenal sebagai penulis masalah sosial. Liem
menulis Berjoang, yakni cerita mengenai beberapa orang peranakan Tionghoa yang
bertransmigrasi ke Kalimantan untuk mendirikan semacam negara utopia. Novel
Merah yang ditulisnya memuat tentang pertentangan buruh di sebuah pabrik rokok
kretek dan majikan mereka. Sedangkan Masyarakat merupakan sebuah novel
mengenai pedagang kecil pada masa depresi ekonomi dunia 1929.
Serangkaian tulisan sejarah dalam bentuk roman diterbitkan oleh Serie
Penghidoepan. Penulis-penulisnya antara lain H.S.T. dan S.A.M. Mereka sebenarnya
merupakan satu orang, yaitu Tan Keng Sam, yang juga menamakan dirinya sebagai
Han Sioe Tjiat. Ia menulis sejumlah tulisan mengenai kehidupan zaman Majapahit.
Pada tahun 1930-an konfrontasi antara China dan Jepang meningkat. Dapat
dilihat sejumlah tulisan mengenai kesetiaan orang-orang keturunan Cina yang
“pulang” ke negeri asalnya. Ada yang pergi untuk masuk tentara, dan ada pula yang
melanjutkan pendidikan. Bahkan ada organisasi yang merekrut pemuda-pemuda
keturunan Cina ini agar turun ke medan perang. Usaha ini ditentang oleh Kwee Tek
Hoay yang tidak melihat manfaatnya bagi masyarakat keturunan Tionghoa di
Indonesia. Beberapa cerita heroik ditulis oleh Tjie Tek Goan. Terdapat pula sebuah
tulisan kesustraan Melayu Tionghoa yang ditulis dalam bahasa Sunda, yakni Tjin Nio
atawa Isteri Sadjati di Medan Perang Tiongkok-Japan oleh A.S. Tanoewiredja.
Di antara sekian banyak pengarang pria pada zaman itu, terdapat pula
beberapa nama wanita. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah Nyonya Oen
Hong Seng yang menulis dengan nama samaran Dahlia. Dahlia membela kaum wanita
dengan menulis mengenai kelakuan baik mereka dan mengecam kaum lelaki yang
berpikiran sempit dan melihat tindakan kurang pantas di setiap kelakuan wanita. Tapi
sungguh disayangkan, Dahlia meninggal pada usia muda, sehingga tulisan-tulisannya
berhenti sampai di situ.
Pengarang kedua yang menulis sampai tahun 1970-an adalah Tjan Kwan Nio. Yang
menarik dari penulis ini adalah minatnya yang banyak menulis tentang masyarakat
Eropa di Perancis, Turki dll. Kemudian, ia juga menulis tentang masyarakat
Peranakan, dan bahkan pernah menulis tentang Raden Pandji Prajitna, seorang tokoh
bangsawan dari kerajaan Padjajaran.
Setelah periode Perang Pasifik, masa produktif pengarang keturunan Tionghoa
telah berakhir. Alasannya tidak diketahui. Beberapa surat kabar seperti Sin Po dan
Keng Po masih meneruskan usahanya, hingga pada awal tahun enam puluhan
diberangus.
Kini, hanya sedikit pengarang keturunan Tionghoa yang masih aktif menulis.
Tulisan mereka sebenarnya tidak masuk kategori ini, karena mereka menulis dalam
bahasa Indonesia, dan tidak lagi memakai bahasa Melayu Tionghoa. Almarhum Kho
Ping Hoo terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Kho sangat produktif semasa
hidupnya, daftar karyanya mencapai hampir dua ratus judul. Di antaranya ada
beberapa cerita yang bukan cerita silat. Yang unik dari Kho ialah bahwa ia tidak
menerjemahkan dan juga tidak menyadur cerita silat dari bahasa Tionghoa, tetapi
justru mengarang karya ciptaan sendiri dengan setting Tiongkok dan Indonesia zaman
dahulu. Marga T. dan Mira W. adalah dua pengarang wanita yang sangat produktif.
Karya-karya mereka dinikmati oleh banyak pembaca di seluruh Indonesia.

You might also like