You are on page 1of 4

MENUJU FIKIH KEDOKTERAN YANG ISHLAHI

Oleh: Dr. Munirul Abidin, M.Ag.1

Akhir-akhir ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan hampir tak
terkendali, khususnya ilmu-ilmu kealaman. Salah satu cabang ilmu yang juga
dianggap cepat perkembangannya adalah ilmu kedokteran. Cepatnya perkembangan
ilmu kedaokteran ini, ditandai dengan munculnya berbagai macam teori dan praktek
kedoteran modern yang muncul belakangan, yang belum dikenal para ilmuwan Islam,
baik pada masa Klasik maupun Pertengahan, sehingga sulit dicari rujukannya dalam
literatur-literatur mereka. Karena itu, para ulama di abad modern ini, dituntut untuk
berijtihad terhadap masalah-masalah yang berkembang dalam ilmu kedokteran
modern itu, sehingga perkembangan ilmu kedokteran bisa terkontrol secara syarI di
satu sisi, dan di sisi lain agar ilmu kedokteran dapat memberikan faedah yang lebih
luas bagi kemanusiaan.
Perkembangan ilmu dan praktek kedokteran yang sedemikian pesat itu,
mungkin telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan manusia, akan tetapi
banyak pula prakek-praktek ilmu kedokteran itu yang menjadikan sebagian orang
khawatir terhadapnya, bukan karena manfaatnya yang kurang, tetapi karena cara dan
prakteknya dilakukan tanpa memperhatikan norma-norma keagamaan dan azaz
maslahah dan mudharatnya, sehingga praktek-praktek ilmu kedokteran itu menjadi
masalah yang kontroversial di kalangan umat Islam.
Sementara itu masih sedikit di antara mereka yang peduli dan berusaha
mengikuti perkembangan ilmu kedokteran itu serta mengkajinya dari aspek normatif
dan empiris. Untuk itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh Muhammad Nuaim
Yasin adalah mengkaji masalah-masalah kedokteran dari sudut pandang normatif di
satu sisi dan di sisi lain melihatnya dari sudut pandang praktis-empiris. Sudut
pandang normatif bertujuan memberikan dasar-dasar atau sumber-sumber yang
legitimated bagi pengembangan ilmu kedokteran menurut syariat Islam, sedangkan
sudut pandang praktis-empiris bertujuan untuk memberikan wawasan tentang teori
dan praktek ilmu kedokteran yang telah berkembang dan dikembangkan selama ini.
Dari kedua sudut pandang itu, kemudian Nuaim Yasin membuat suatu kesimpulan
hukum berdasarkan ijtihadnya. Karena ini adalah hasil ijtihad, maka keputusan hukum
1
Makalah ini disampaikan dalam bedah buku yang diadakan oleh Yayasan Pondok Pesantren Al-
Firdaus Malang.
yang ada di dalamnya, bukanlah satu-satunya kebenaran yang telah mencapai titik
final, akan tetapi masih sangat terbuka untuk didiskusikan. Hal itu bisa terjadi karena
keterbatasan literatur-literatur agama terkait dengan masalah-masalah itu di satu sisi,
dan di sisi lain karena keterbatasan informasi berkait dengan ilmu-ilmu kedokteran itu
sendiri.
Secara umum, ijtihad Nuaim Yasin ini didasarkan pada satu kaidah ushuliyah
(hukum), yaitu (1) mengambil manfaat seluas-luasnya dan menghindari mudharat
(kerusakan) yang sekecil-kecilnya, (2) menghindari kerusakan lebih diutamakan
daripada mengambil manfaat, dan (3) jika muncul dua kerusakan yang bertentangan,
maka dipilih kerusakan yang paling ringan dari keduanya.
Secara umum buku ini membahas tentang lima persoalan pokok dalam dunia
kedokteran modern, yaitu tentang batasan awal dan akhir kehidupan, transplantasi
janin dan penggunaannya untuk eksperimentasi ilmiah, pengguguran kandungan,
donor anggota badan, dan oprasi selaput dara.
Dalam buku ini kajian tentang batasan awal dan akhir kehidupan, sangat
penting karena akan dijadikan pijakan bagi penetapan hukum dalam masalah-masalah
lainnya, seperti masalah transplantasi janin dan penggunaannya untuk eksperimentasi
ilmiah, masalah aborsi, dan masalah donor anggota badan.
Menurut Nuaim Yasin, dari hasil kajiannya, bahwa awal dan akhir kehidupan
manusia ditetapkan berdasarkan ada dan tidaknya ruh pada badan. Menurutnya,
kehidupan manusia bermula, ketika ruh sudah ditiupkan ke dalam jasad, yaitu ketika
janin berusia empat bulan (120 hari) setelah pertemuan sel sperma dan ovum. Hal ini
didasarkan pada sebuah hadits Nabi:
Sesungguhnya kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya
selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua terbentuklah
segumpal darah beku. Manakala genap empat puluh hari ketiga berubahlah menjadi
segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh serta
memerintahkan supaya menulis empat perkata, yaitu ditentukan rizkinya, waktu
kematiannya (ajalnya), amalnya dan nasib baik atau nasib buruknya. (HR. Bukhari
Muslim)
Pandangan ini berbeda dengan pandangan dunia kedokteran pada umumnya
yang menganggap bahwa awal kehidupan bermula sejak adanya pertemuan antara
sperma dan ovum. Menurutnya, sebelum peniupan ruh, janin belum mengalami
kehidupan manusiawi yang berkehendak, tetapi baru mengalami kehidupan hewani,
yaitu makan dan minum. Konsekuensi hukumnya, segala sesuatu yang terjadi pada
janin sebelum peniupan ruh, tidak dihukumi seperti hukum manusia.
Sedangkan batas akhir kematian menurutnya adalah setelah ruh itu
meninggalkan badan, bukan setelah tidak berfungsinya otak seperti anggapan secara
umum dalam dunia kedokteran. Karena bila batasan kematian itu didasarkan pada
otak, ternyata setelah manusia mati (rohnya hilang), otak masih bisa disimpan,
dicangkokkan dan difungsikan oleh manusia lain, berarti otak belum mati.
Dari pembahasan tentang batasan awal dan akhir kehidupan itu, Nuaim Yasin
mencoba untuk mengelaborasi masalah-masalah lain, seperti penggunaan janin untuk
eksperimentasi ilmiah, pencangkokan sel janin pada tubuh manusia, dan masalah
menggugurkan kandungan.
Menurutnya, hukum dasar penggunaan janin untuk eksperimentasi ilmiah,
pengambilan selnya untuk pengobatan, dan aborsi, sebelum janin berusia empat
bulan hukumnya haram, akan tetapi, bila itu dilakukan karena ada kemaslahatan di
dalamnya atau untuk menghindari bahaya, baik pada janin itu sendiri atau pada orang
lain yang akan diselamatkan, maka hukumnya boleh. Alasan pembolehannya adalah
karena waktu itu janin belum ditiupkan ruh padanya dan melum mengalami
kehidupan manusiawi, sementara manusia yang ingin diselamatkan dengan
pengorbanan janin yang belum berusia empat bulan itu, lebih tinggi derajatnya
daripada janin. Adapun setelah janin berusia empat bulan tidak boleh dijadikan
sebagai sarana eksperimentasi ilmiah, tidak boleh diambil selnya untuk pengobatan
dan tidak boleh diaborsi, karena janin sudah mengalami kehidupan manusiawi dan
jika janin dibnunuh atau digugurkan, maka nilainya sama dengan membunuh nyawa
manusia.
Mengenai pendonoran anggota tubuh manusia baik dari orang hidup ataupun
orang mati, pada dasarnya diperbolehkan dengan syarat harus memperhatikan
kemaslahatan dan mudharat yang ditimbulkan dari pendonoran itu. Jika
kemaslahatannya lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan, maka hukumnya
boleh, tetapi jika mudharatnya lebih besar, baik bagi pendonor maupunyang didonor,
maka hukumnya haram. Di samping itu, donor boleh dilakukan jika mendapat
persetujuan dari orang yang mendonorkan dan tidak melanggar syariat, karena pada
anggota tubuh manusia itu ada dua hak yang saling terkait, yaitu hak manusia dan hak
Allah. Hak manusia gugur manakala mendapatkan izin dari pemiliknya dan hak Allah
gugur manakala dipergunakan untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat.
Sedangkan hukum oprasi selaput dara, juga dilihat dari sisi kemaslahatan dan
mudharat yang ditimbulkannya, serta dilihat dari sebab robeknya selaput dara
tersebut. Bila selaput dara robek karena kecelakaan, diperkosa, atau sebab-sebab yang
tidak disengaja lainnya, maka diperbolehkan bahkan dianjurkan demi menjaga nama
baik dan kelangsungan hidup sang gadis yang malang itu. Tetapi bila robeknya
selaput dara itu karena perbuatan keji, seperti zina, maka hukumnya dilarang dan
haram. Namun jika dia bertobat dan ingin menjaga kesuciannya setelah bertobat serta
tidak akan mengulanginya lagi, maka diperbolehkan melakukan oprasi selaput dara
demi kelangsungan hidupnya di masa mendatang.
Alasan Nuaim Yasin memperbolehkan oprasi selaput dara adalah karena
Islam menganjurkan untuk menjaga nama baik. Dalam masyarakat juga ada perlakuan
yang tidak adil terhadap wanita, khususnya yang hilang keperawanannya, tanpa
melihat sebabnya, mereka menganggap bahwa semua wanita yang tidak perawan
berarti tidak suci dan keji. Untuk menyelamatkan gadis yang malang itu, maka oprasi
selaput dara mungkin bisa sedikit membantunya.
Dari uraian Nuaim Yasin dalam buku Fikih Kedokteran ini dapat disimpulkan
beberapa catatan penting bagi pengembangan ilmu dan praktek kedokteran yang
islami di masa mendatang:
Pertama, bahwa Nuaim Yasin berhasil membuktikan bahwa syariat Islam
sama sekali tidak menghalang-halangi perkembangan ilmu dan praktek kedokteran,
bahkan banyak di antara praktek kedokteran yang selama ini dianggap amoral dan
tidak sesuai dengan syariat, seperti pengguguran kandungan dan penggunaan janin
untuk eksperimentasi ilmiah, sebelum janin berusia empat bulan, ternyata legitimated
menurut syariat Islam.
Kedua, pengembangan ilmu dan praktek kedokteran harus senantiasa
memperhatikan norma-norma syariat Islam, sehingga diharapkan nantinya tidak
terjebak dalam kegelapan ilmiah yang mungkin menguntungkan dari sisi material,
tetapi bertentangan dengan hukum-hukum syariat.

You might also like