Professional Documents
Culture Documents
Oleh sebab itu, dari segi cara menulis, tulisan untuk media-massa sebenarnya
tidak selalu mesti
benar-benar tulisan pribadi yang kata-katanya adalah asli tuturan kata-kata kita sendiri.
Istilahnya kita "ngarang".
Dalam banyak kasus, berdasarkan observasi saya terhadap naskah-naskah para pemula,
justru masalah inilah yang jadi MASALAH BESAR. Kebanyakan penulis pemula, lebih
cenderung menulis dengan cara ngarang. Banyak sekali kata-kata yang keluar, namun
sangat sedikit fakta.
Tentu saja itu tidak salah. Bahkan saya menemukan banyak sekali tulisan yang
bagus yang dikirim para pemula itu. Masalahnya adalah kriteria layak terbit media
menyebabkan tulisan ngarang itu nggak bisa diterbitkan, sekalipun ide nya bagus.
Tempatnya mungkin lebih cocok bukan di media-massa. Bisa jadi untuk blog
lebih pas. Nah yang sangat disayangkan adalah banyak penulis yang down gara-
gara naskahnya sering ditolak, lalu akhirnya membuat kesimpulan, "Saya nggak
bisa nulis".
Sesungguhnya yang jarang disadari penulis pemula adalah hanya soal SALAH
TEMPAT saja.
Ada memang jenis naskah yang lebih tepat ditulis dengan "cara ngarang".
Misalnya menulis surat pribadi atau surat pembaca, menulis cerita, menulis essay,
menulis pengamatan atau pengalaman. Dalam hal ini, diri kita sangat kompeten
dan jelas punya otoritas untuk itu.
Agar lebih mudah memahami, saya akan buatkan sebuah contoh. Misalkan kita
ingin menulis sebuah kritik tentang kebijakan ekonomi yang baru saja diambil
pemerintah. Lalu dalam tulisan itu, kita utarakan berbagai pernyataan dan kritik
pedas kita betapa kelirunya kebijakan itu ... kira-kira apa yang dipikirkan redaktur
ketika membacanya?
Bisa jadi ide dalam tulisan itu sebenarnya bagus. Namun sayang, karena terlalu
dominan dengan kata-kata sendiri, miskin dengan fakta dan argumentasi rasional,
ngarang-nya lebih banyak .... akhirnya naskah itu ditolak. Media-massa bukanlah
tempat curhat!
Redaktur bertanya, mewakili pembaca tentu saja, "Siapa sih dia? Apa otoritasnya?
Apakah ia
kompeten berpendapat begitu? Sebab itulah, untuk tulisan jurnalistik, khususnya
bagi para pemula, "cara ngarang ini biasanya belum pas betul. Biasanya para
pemula akan terjebak pada
subyektifitas yang terlalu tinggi sehingga lupa pada fakta-fakta pendukung.
Para pembaca media-massa tidak akan terlalu peduli dengan pikiran anda, juga
perasaan anda. Khususnya kalau Anda hanya lah orang biasa. Yang mereka mau,
yang mereka butuh adalah,
apa fakta-fakta yang anda punya. Sebab itu, fokuslah pada upaya menggali dan
menelaah fakta-fakta itu.
Lain halnya kalau Anda menulis sesuatu yang jadi otoritas anda, kompetensi
anda. Okey .. silakan. Suara anda signifikan bagi pembaca. Tapi kalau Anda hanya rakyat
biasa yang belum
signifikan di mata publik, MODAL anda adalah: BAHAN. Cara kerja anda adalah
RISET.
Jadi, apa kuncinya berhasil menembus media? Ini dia point-pointnya (saya ambil contoh
untuk artikel):
Soal bagus atau jelek bahasa, biarkan saja. Ntar juga diperbaiki oleh
editor/redaktur, asal mereka yakin, isinya layak terbit. Sambil terus berjalan,
saking seringnya menulis, lama-lama skill atau cara kita menulis itu akan baik
juga secara otomatis.
Pasti akan berlaku teori kuantitas melahirkan kualitas.