You are on page 1of 3

6.

Raden Saleh Tentang Pergumulan Banteng dan Harimau

Pada tanggal 30 Oktober 1967 terbit prangko seri lukisan Raden Saleh yang menampilkan sepasang
prangko bergambar lukisan karya Raden Saleh. Kopur pertama dengan nominal Rp. 25,-
menghadirkan lukisan pergumulan kerbau dan harimau, sementara kopur kedua menampilkan
pergumulan singa dan banteng. Selain prangkonya diterbitkan pula carik kenangan (souvenir sheet)
yaug menampilkan prangko pergumulan kerbau dan harimau dilengkapi dengan foto diri Raden
Saleh Syarif Bastaman (1813-1880).

Apa makna penerbitan prangko seri ini? Boleh jadi, Administrasi Pos kala itu memang telah
merencanakan penerbitan prangko yang memperkenalkan karya seni dari pelukis kebanggaan
Indonesia. Sebagaimana diketahui Raden Saleh merupakan salah satu pelukis besar Indonesia yang
begitu dikenal dan dihormati di tingkat internasional. Namun sesungguhnya, bila dicermati baik-baik
kehadiran prangko seri ini justru memiliki makna simbolik yang berkait erat dengan suasana
Indonesia pada masa itu.

Para kritikus senirupa sering menafsirkan sejumlah karya-karya Raden Saleh dengan
menghubungkannya pada perjuangan dan nasionalisme bangsa Indonesia. Seperti dengan mudah
dapat dilihat pada lukisan Penangkapan Diponegoro yang sangat terkenal itu. Demikian pula dengan
lukisan pergumulan binatang-binatang liar yang diciptakan begitu natural dan dramatik, diyakini
sebagai bentuk ekspresi nasionalisme Raden Saleh. Namun sebenarnya tafsir itu bisa lebih luas lagi.
Pergumulan binatang-binatang liar adalah pergumulan antara kekuatan-kekuatan, antara kekuatan
yang batil dan kekuatan penjunjung kebaikan, antara kejahilan dan kebenaran, antara ketidak adilan
dan keadilan. Karenanya, penerbitan prangko yang mengangkat lukisan tersebut bisa saja
ditafsirkan sebagai pengiriman pesan bahwa pada masa itu sedang terjadi pergumulan antara
kekuatan kebatilan dan kekuatan kebaikan.

Memang demikian yang tengah terjadi pada tahun-tahun itu. Segera setelah Gerakan 30 September
oleh PKI menggigit dan melukai bangsa Indonesia pada tahun 1965, rakyat yang marah bangkit dan
membalas. Bersama para mahasiswa yang tergabung dalam berbagai kesatuan aksi, rakyat
mengumandangkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura, salah satunya adalah pembubaran PKI. Pak Harto
yang sejak awal peristiwa cepat tanggap dan berada di barisan terdepan dalam pertarungan
kekuatan dengan PKI akhirnya memainkan peran sejarah sangat menentukan. Dengan Surat
perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Pak Harto bersama kekuatan pendukungnya berhasil
menghancurkan kekuatan PKI dengan membubarkan dan menjadikan PKI sebagai organisasi
terlarang.

Namun pergumulan belum lah usai. Pergumulan harus diselesaikan di tingkat politik sesuai dengan
konstitusi. Pak Harto yang semula hanya berurusan dengan persoalan pemulihan keamanan dan
ketertiban, akhirnya harus pula masuk ke arena politik untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan
yang diyakini berada di balik pengkhianatan G30S/PKI. Sidang Umum Keempat MPRS pada Juni 1966
memilih Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai ketua MPRS dan menetapkan pengukuhan
Supersemar , yang berarti Pak Harto mendapat mandat dari MPRS untuk menjalankan segala
sesuatu yang berkenaan dengan isi Supersemar tersebut. MPRS juga mensahkan pembubaran PKI,
serta melarang penyebaran Marxisme –Leninisme di Indonesia. Selain itu, MPRS membubarkan
Kabinet Dwikora yang dipimpin oleh Bung Karno dan meminta Pak Harto membentuk sebuah
kabinet baru. Meski para anggota MPRS tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban
PresidenSoekarno dalam kaitan peristiwa G30S/PKI dan memintanya untuk menyempurnakan
jawabannya, namun MPRS tidak mengganggu jabatannya sebagai Presiden. MPRS hanya mencabut
gelar Presiden Seumur Hidup dan gelar Pemimpin Besar Revolusi dan menetapkan Pemilihan Umum
digelar paling lambat tanggal 5 Juli 1968.

Pada tanggal 25 juli 1966 Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora dan membentuk
Kabinet Ampera. Pak Harto masuk dalam kabinet dan ditetapkan sebagai Ketua Presidium Kabinet
merangkap Menteri Utama Hankam. Pergumulan terus terjadi. Terutama menyangkut kebijakan
yang berkaitan dengan pembersihan tubuh bangsa Indonesia dari segenap anasir PKI serta stabilisasi
sosial politik dan ekonomi bangsa Indonesia. Pak Harto mencatat situasi ini dalam
otobiografinya:”kehidupan kita waktu itu amat berat. Semua diombang-ambingkan oleh konflik
politik, sementara kita dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang memuncak.” Harus di akui pada
saat itu muncul dualisme kepemimpinan, dimana kebijakan Pak Harto selaku pengemban Tap MPRS
No.IX/MPRS/1966 kerapkali berbenturan dengan sikap dan tindakan politik Bung Karno yang kala itu
masih menjadi Presiden RI.

Tekad Pak Harto untuk memulihkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian melepaskan dirinya dari pergumulan kekuatan-kekuatan
dan menapaki tangga baru peran yang lebih besar. “Saya di dorong-dorong di tengah konflik politik
untuk tampil ke depan. Ada politisi yang tidak sabar akan perubahan dan pergantian kepemimpinan.
Sampai-sampai mengusulkan supaya saya mengoper begitu saja kekuasaan negara. Usul tersebut
langsung saya jawab:”kalau cara begitu, lebih baik saya mundur saja.” Cara-cara seperti ini bukan
cara yang baik. Merebut kekuasaan dengan kekuatan militer tidak akan menimbulkan stabilitas
yang langgeng. Saya tidak akan mewariskan sejarah yang menunjukkan bahwa di Indonesia ini
pernah terjadi perebutan kekuasaan dengan kekuatan militer. Saya tidak mempunyai sedikit pun
pikiran di benak saya, untuk melakukan coup atau gerakan yang bernoda. Gerakan serupa itu,
menurut saya, tidak akan berhasil.” Demikian Pak Harto menggariskan bagaimana penyelesaian
pergumulan kekuatan-kekuatan dilakukan dengan menolak cara penyelesaian inkonstitusional.

Maka epilog pergumulan ini pun dilakukan dalam naungan konstitusi. Pada tanggal 22 Februari 1967
bertempat di Istana Merdeka telah berlangsung penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden
Soekarno kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Penyerahan kekuasaan
atas prakarsa Presiden Soekarno didasarkan atas Ketetapan MPRS No. IV tahun 1966 yang
menyatakan bahwa “apabila presiden berhalangan, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret
memegang jabatan Presiden.” Penyerahan kekuasaan ini tertuang dalam sebuah Pengumuman
Presiden/ Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 Februari 1967. Proses terus
berlanjut, melalui Sidang Istimewa MPRS yang digelar pada tanggal 7 – 12 Maret 1967, rakyat
memberikan kepercayaan lebih besar kepada Pak Harto dengan melantiknya sebagai Pejabat
Presiden Republik Indonesia, berdasarkan ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967.

Pergumulan antara kekuatan-kekuatan untuk sementara mereda, meski tidak dapat dikatakan sirna
sama sekali. Karena pergumulan antara kebatilan dan kebaikan akan selalu ada sepanjang sejarah
hidup umat manusia. Karenanya, lukisan Raden Saleh tentang pergumulan kerbau dan harimau
maupun antara singa den banteng sesungguhnya mengingatkan kepada kita agar tetap waspada dan
siaga dengan kekuatan-kekuatan kebatilan yang selalu mencari cara untuk melululuh lantakkan
kemanusiaan kita.***

You might also like