You are on page 1of 12

PROBLEMATIKA PESANTREN

MASA

Dosen Pengampu:

Prof. H. Abdurrahman Mas’ud, Ph,D

II
II
II

Penyusun
Shomad Jajat Permana

PROGRAM PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
SYEKH NURJATI
CIREBON 2010
Sekapur Sirih

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk


mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan
sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Kata “tradisional” dalam batasan ini tidaklah merujuk dalam arti tetap
tanpa mengalami penyesuaian, tetapi menunjuk bahwa lembaga ini
hidup sejak 400 tahun yang lalu dan telah menjadi bagian yang
mendalam dari system kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia,
yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia dan telah
mengalami perubahan dari masa ke masa sesai dengan perjalanan
hidup umat. (Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS,1994).
Pandangan ini diperkuat oleh A.Mas’ud bahwa pesantren di Indonesia
mempunyai akar sejarah yang panjang, sekalipun pesantren-pesantren
besar yang ada sekarang, keberadaan asal usulnya hanya dapat dilacak
sampai awal abad 19.
Mengingat mrnya sudah tua dan luas penyebaran pesantren cukup
merata, dapat difahami jika pengaruh lembaga itu pada masyarakat
sekitar sangat besar sepanjang kelahirannya,pesantren telah
memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai lembaga pendidikan,
lembaga penyiar-an agama dan juga gerakan sosial keagamaan kepada
masyarakat.
Unsur-unsur pesantren
Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, dimana Kyai,
Ustadz, santri dan pengurus pesantren hidup bersama dalam
lingkungan pendidikan, berlandaskan nilai-nilai agama islam lengkap
dengan norma-norma dan kebiasaan-kebiasaannya sendiri,yang
secara ekslusif berbeda dengan masyarakat umum yang mengitari
nya.
Komoenitas pesantren merupakan suatu keluarga besar dibawah
asuhan seorang Kyai atau Ulama, dibantu oleh beberapa Kyai dan
Ustadz.
Dengan demikian unsur-unsur pesantren adalah : (1) pelaku terdiri
dari Kyai, stadz, Santri, dan pengurus. (2) sarana perangkat keras:
misalnya masjid, rumah Kyai, rumah ustadz, pondok, gedung sekolah,
gedung-gedung lain untuk pendidikan seperti perpustakaan, aula,
kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan,
koperasi, gedoeng-gedoeng keterampilan dan lain-lain. Dan yang ke
(3)sarana perangkat lunak: kurikulum, buku-buku dan sumber
belajar lainnya, cara belajar-mengajar (bandongan,sorogan, halaQah,
dan menghafal), evaluasi belajar-mengajar.
Unsur terpenting dari semua itu adalah kyai. Ia adalah tokoh utama
yang menentukan corak kehidupan pesantren. Semua warga
pesantren patuh kepada kyai.
Pola kemajuan pesantren
Ada dua bentuk kelembagaan pendidikan islam, yaitu: Pendidikan

formal dan non formal pendidikan non formal yaitu seperti pesantren

tradisional, majlis ta’lim, sarekat tolong-menolong, dan majelis

kultum.

Pesantren termasuk lembaga pendidikan Islam yang formal.

Pesantren memiliki metode dan model pembelajaran yang sudah

permanen. Pesantren sekarang tidak seperti pesantren 40 tahun lalu,

yang dianggap tertutup, esoteris, dan eksklusif Dewasa ini hampir

seluruh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal, yaitu

madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi.

Dalam pola kemajuannya, menurut Sudjoko Prasodjo, seperti dikutip

Kuntowijoyo dalam paradigma Islam, ada lima macam pola

pesantren, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola

pertama, ialah pesantren yang terdiri hanya masjid dan rumah Kyai.

Pola kedua, terdiri dari masjid, rumah Kyai dan pondok. Pola ketiga,

terdiri atas masjid, rumah Kyai, pondok, madrasah,dan pondok. Pola

keempat, terdiri atas masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan

tempat keterampilan. Pola kelima, terdiri atas masjid, rumah kyai,

pondok, madrasah,tempat keterampilan, universitas, gedung


pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum. Pola pertama dapat

disebut sebagai embrio pesantren salafi tradisional, dan yang disebut

di akhir termasuk dalam pesantren modern.


Kondisi umum
Sistem pendidikan pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan

oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran dasar Islam.

Ajaran Islam ini menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas

social yang digumuli dalam hidup keseharian. Hal inilah yang

mendasari konsep pembangunan dan peran kelembagaan pesantren.

Pesantren memenuhi kriteria yang disebut dalam konsep

pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan-

kelembagaan, dan etika. Pesantren seperti sebuah “ruang bebas

pendidikan” yang mempunyai karakter nilai, yaitu nilai keagamaan,

sedangkan batasan norma yang dimiliki yaitu norma masyarakat,

serta berciri mandiri yaitu tanpa uluran tangan lembaga luar.

Sepertinya hampir semua sisi pembentukan kepribadian manusia

dapat dihubungkan dalam metode pendidikan dipesantren. Disinilah

letak pesona pesantren yang membuat daya pikat masyarakat,

terutama pengunjung yang “haus dengan ilmu”.

Tak hanya itu, karismatik Kyai(pimpinan pondok) juga turut

menyumbangkan “energi pikat” pada pesantren. Ketokohan Kyai

punya pengaruh untuk mendongkrak harga diri pesantren di


masyarakat. Selain semua itu pesantren punya tradisi amat terbuka

dan mempersilahkan bagi siapa saja untuk mengunjungi pesantren.


Pesantren dan Kyai
Ibarat dua sisi mata uang jika melihat hubungan antara pesantren

dan Kyai. Keduanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Tak

mungkin ada pesantren tanpa ada Kyai, begitu pula sebaliknya,

keberadaan Kyai mesti memiliki pesantren. Posisi Kyai dalam

lembaga pesantren posisi adalah sangat menentukan. Kemana arah

perjalanan pesantren (kebijakan dan orientasi program pesantren)

ditentukan oleh Kyai. Dalam realitas sosial pesantren itu adalah milik

masyarakat, maka disini ada kaitan yang erat bahwa Kyai pun

menjadi milik masyarakat pula. Inilah istimewa nya seorang Kyai-

Ulama dipesantren.

Kyai-Ulama adalah penentu langkah pergerakan pesantren. Ia

sebagai pemimpin masyarakat, pengasuh pesantren, dan sekaligus

sebagai Ulama.

Sebagai Ulama, Kyai berfungsi sebagai pewaris para Nabi (Waratsah

al-anbiya’), yakni mewarisi apa saja yang dianggap sebagai ilmu oleh

para Nabi, baik dalam bersikap, berbuat, dan contoh-contoh atau

teladan baik (al-uswah al-hasanah) mereka.


Dalam tradisi Kita, Kyai-Ulama bertindak sebagai figur sentral

ditengah masyarakat,segala ucapan, perbuatan, dan tingkah lakunya

dijadikan soko guru oleh umat. Kadang Kyai dianggap manusi suci

yang memiliki karomah dan sebagai sumber keberkahan. Sehingga

dalam komunitas pesantren, semua perbuatan yang dilakukan oleh

setiap warga pesantren sangat tergantung pada restu Kyai. Baik

Ustadz maupun santri selalu berusaha jangan sampai melakukan hal-

hal yang tidak berkenan dihadapan Kyai.

Proses untuk menjadi Kyai atau Ulama secara tradisional

berlangsung dipesantren. Sungguhpun demikian, seorang yang telah

lulus dari pesantren tidak otomatis dapat disebut Kyai atau Ulama.

Titel Ulama diberikan oeh masyarakat sebagai pengakuan

masyarakat atas kesepuhan dan otoritas seseorang dibidang agama.

Istilah ulama dalam Al-quran disebut dalam ayat 28 surat al-fathir

(Qs. 35: 28). Untuk memahami ayat ini, perlu juga dibaca ayat 27

sebelumnya, yang berbicara tentang konteks penyebutan istilah

Ulama. Ayat itu berbunyi, “Tidak-kah kamu melihat bahwa ALLAH

menurunkan hujan dari langit, lalu kami hasilkan dengan hujan itu

buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-


gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam

warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.” (qs 35:27).

Ayat diatas dimulai dengan sebuah pernyataan, “tidakkah kamu

tidak melihat?” dari pertanyaan ini terlihat bahwa pengetahuan

bersumber dari penglihatan yang merupakan pengalaman mata.

Dalam ayat itu juga disebut beberapa gejala: hujan yang turun dari

awan, bumi yang mengeluarkan buah-buahan setelah disirami hujan,

dan buah-buahan yang beraneka ragam warnanya, padahal keluar

dari bumi yang sama dan disirami hujan yang sama.

Demikianlah pengertian Kyai atau Ulama dalam Al-qur’an, yaitu

orang yang berfikir akan tanda-tanda kekuasaan Allah, serta

mempunyai pengetahuan terhadap tanda-tanda tersebut.

Dalam konteks kekinian, masih ada Kyai atau Ulama yang termasuk

dalam pengertian diatas, namun adapula yang kehilangan arti, ketika

proses perubahan zaman tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas

“keilmuan”.
Modernisasi Pesantren
Pesantren yang ada sekarang pada umumnya telah mengalami

pergeseran dari dampak modernisasi. Kyai dalam pesantren sekarang

ini bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar. Dengan

semakin beraneka ragam sumber-sumber belajar baru, dan semakin

tingginya dinamika komunikasi antara system pendidikan pesantren

dan system yang lain, maka santri dapat belajar dari banayak

sumber.

Keadaan ini menyebabkan perubahan hubungan kyai dengan

santri. Intensitas hubungan mereka menjadi lebih terbuka dan

rasional, sebaliknya kedekatan hubungan personal yang berlangsung

lama, terbatas, dan emosional lambat laun memudar. Begitu pula

dengan hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi

keaganmaan yang kuat, kini semakin mencair. Hubungan social

antara tokoh, ulama, dan umat pengikut mulai didasarkan atas

berbagai pertimbangan rasional dan kepentingan pragmatis. Ikatan

emosional yang semula merupakan basis kultural solidaritas

masyarakat, khususnya pada tahun 50-an, mulai melemah dan


mencari bentuk baru yang didasarkan berdasrkan pertimbangan

lebih rasional. Sebagai kekuatan social, masyarakat mencair bersama

semakin pudarnya ikatan emosional keagamaan. Konsep-konsep

sosial dan politik yang semula merupakan terjemahan langsung dari

kaidah nilai dan konsep keagamaan mulai bergeserkearah konsep

social dan politik yang didasarkan pada kepentingan social-ekonomi

yang bersifat praktis dan pragmatis. Dengan demikian, fungsi dan

kedudukan dan Elite santri lainnya mulai berubah.

You might also like