Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik antar-etnis yang terjadi di Sambas merupakan konflik yang
kompleks sehingga sangat sulit bagi Pemerintah untuk menyelesaikan konflik
tersebut secara tuntas. Kompleksitas permasalahan yang timbul pada konflik
tersebut dimulai pada krisis moneter yang mulai terasa dampaknya di Indonesia
pada saat itu, dilanjutkan dengan sub-kultur etnis dayak yang beringas dan dipicu
lagi dengan perilaku masyarakat pendatang, yang menurut masyarakat lokal, yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, pemda sebagai birokrasi yang berwenang pada sektor
lokal, harus mengeluarkan kebijakan yang berjangka panjang atau
berkesinambungan. Dari gambaran yang dipaparkan Achmad Ridwan, penulis
mengutip bahwa ada beberapa karakteristik kebijakan yang harus diambil oleh
pemerintah dalam rangka penyelesaian konflik yang sustainable atau berjangka
panjang, diantaranya adalah: pertama, Kebijakan harus bersifat Participation,
keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung atau melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan
aspirasi. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Kedua, Kebijakan harus
berlandaskan Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa
pandang bulu. Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat
yang lebih luas dan tidak berpihak pada satu golongan saja. Equity, setiap
masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan
keadilan. Faktor ini sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia (Kalbar) yang
majemuk, karena hukum ditempatkan pada tingkat paling tinggi.1
1
Achmad Ridwan Blog, “Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas”,
http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html, diakses pada tanggal 3 April
2009.
1
Terdapat beberapa faktor yang secara umum menyebabkan terjadinya
konflik etnik di Sambas, faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, meningkatnya angka kriminalitas yang diyakini dilakukan oleh bagian
tertentu kelompok pemuda Madura, dan ketidak mampuan aparat keamanan
dalam mengatasi tindak kriminalitas tersebut. Kedua, Tekanan ekonomi yang
dirasakan oleh masyarakat lokal. Tekanan ini disebabkan oleh masuknya pemilik
modal besar dalam pengelolaan produksi jeruk dan hasil laut. Ketiga, tekanan
kependudukan yang dirasakan oleh masyarakat lokal akibat membanjirnya migran
Madura ke Sambas. Dua tekanan ini mengakibatkan menciutnya sumber ekonomi
mereka. Suku Madura, dipandang oleh masyarakat lokal, yaitu suku Melayu dan
Dayak, sebagai kelompok yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tradisi
lokal, khususnya dalam kegiatan ekonomi, menjadi target kemarahan mereka.
Pandangan ini telah mengubur kohesi sosial di tingkat komuniti antara masyarakat
lokal dengan Madura yang telah lama hidup di sambas. Tingkat kemarahan
masyarakat lokal yang sudah memuncak tersebut menimbulkan stereotipe tentang
masyarakat Madura oleh masyarakat lokal sebagai “masyarakat yang berkarakter
kasar, arogan, keras, mudah tersinggung dan mau menang sendiri”, apalagi
ditambah dengan kebiasaan unik masyarakat Madura yang selalu membawa
celurit dan sering menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan.2 Hal itu
menyebabkan masyarakat lokal memiliki anggapan bahwa dimanapun masyarakat
Madura berada mereka akan menyebabkan kekacauan, sehingga akibatnya
pascakonflik antar-etnis di Sambas masyarakat lokal cenderung tidak mau
menerima kehadiran masyarakat Madura di daerah mereka. Hal ini ditegaskan
dengan pernyataan empat suku yang bermukim di Sambas, yaitu Melayu, Dayak,
Bugis dan Cina, yang menolak warga suku Madura berada di wilayah mereka
(Kompas edisi Jumat, 26 Mar 1999 “Pangab: Sambas Tak Akan Jadi DOM”). Hal
ini menimbulkan persoalan baru dalam penanganan korban konflik Sambas.
Persoalan yang muncul yaitu bagaimana kebijakan pemerintah baik pada level
lokal maupun pusat merelokasi pengungsi korban konflik Sambas dalam kondisi
2
Setiadi, “Korban Menjadi Korban: Perempuan Madura Pascakonflik Sambas (Seri Laporan no. 161) ”,
PSKK UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta:2005, hal. 37-40.
2
masyarakat lokal yang tidak mau menerima kehadiran masyarakat Madura sebagai
korban konflik?.
Salah satu kebijakan yang penting dalam tahapan penyelesaian konflik
adalah kebijakan relokasi pengungsi. Kebijakan relokasi harus didukung dengan
pemilihan tempat relokasi yang tepat. Pada konteks relokasi pengungsi Sambas
yang kehadirannya tidak diterima oleh masyarakat lokal, seperti yang telah
dipaparkan di atas, pemerintah harus menyiapkan tempat pengungsian yang
masyarakatnya lebih bersahabat dengan para pengungsi. Usaha relokasi juga harus
menyertakan pendapat masyarakat lokal yang bersangkutan. Jika masyarakat tidak
dilibatkan untuk menerima kehadiran pengungsi tersebut, relokasi hanya akan
memindahkan masalah ke tempat yang baru. Penolakan terhadap etnis pendatang
ini juga terjadi di kabupaten Ketapang, yang ditunjukkan dengan pernyataan
menolak menerima kehadiran transmigran yang sebelumnya pengungsi dari
Kabupaten Sambas oleh 120 tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa di
Kabupaten Ketapang, Kalbar. Akibatnya, satu-satunya solusi untuk relokasi
pengungsi korban konflik Sambas adalah memindahkan para pengungsi tersebut
ke sebuah pulau atau kawasan lain yang belum berpenduduk. 3 Hal itu menegaskan
kepada pemerintah provinsi agar bersikap hati-hati dan bijaksana dalam memilih
tempat pengungsian, hal itu penting agar tidak terjadi permasalahan baru di
tempat pengungsian yang baru. Dan hal tersebut ditanggapi pemerintah provinsi
dengan menyiapkan dua pulau yang memiliki potensi sebagai tempat relokasi
pengungsi.
Pada umumnya kebijakan pemerintah terhadap masalah relokasi korban
konflik Sambas, menurut penulis, sebagian besar telah benar. Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah pada umumnya antara lain, yaitu: Keputusan cepat
yang diambil oleh pemerintah pusat untuk mengerahkan kapal-kapal TNI-AL dan
PELNI untuk mengangkut korban-korban konflik etnis yang ingin mengungsi
keluar Kalbar, terutama kembali ke tanah Madura di Jawa Timur, merasa
keberatan dengan membanjirnya pengungsi ke daerahnya. Selanjutnya kebijakan
Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Barat Nomor :
3
Kompas edisi Jumat 26 Mar 1999 hal. 7, “Pangab: Sambas Tak Akan Jadi DOM”,
3
143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team Gabungan Penanggulangan
Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan Barat dan Perda No. 10 tahun
2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31
Oktober 2005; khususnya pada Bab tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan
Barat Harmonis dalam Etnis. Selain itu, dalam penanganan pengungsi, pemprov
menyiapkan anggaran 5 Milyar untuk relokasi sementara di stadion Sultan Syarief
Abdurrachman, Gedung Olah Raga (GOR) Pangsuma, GOR Bulutangkis Bumi
Khatulistiwa, Stadion Universitas Tanjung Pura, Asrama Haji, gudang Sei. Jawi
dan rumah-rumah penduduk di kawasan Siantan, Pontianak Utara. Dan
menyiapkan tempat pengungsian tetap di empat kecamatan di Kabupaten
Pontianak dan dua pulau yaitu Tebangkacang dan Padang Tikar yang masih
banyak memiliki lahan tidur untuk digarap oleh pengungsi dengan bantuan
donatur.
Permasalahan yang muncul pada kebijakan relokasi korban konflik Sambas
tersebut terletak pada kebijakan yang terlambat diambil, terutama kebijakan pada
level Pemerintah daerah, yang menyebabkan banyak korban konflik tersebut
terabaikan, ditambah lagi dengan masyarakat lokal yang menolak masyarakat
Madura kembali ke Sambas dan kantung-kantung konflik lain di wilayah Kalbar.
Permasalahan lain yaitu para pengungsi yang terabaikan di pengungsian
sementara tersebut menolak rencana relokasi mereka ke Tebangkacang,
alasannya, selain kawasan yang jauh dari kota, masyarakat yakin bahwa lahan
tidur di pulau tersebut tidak cocok untuk bercocok tanam. Jika dilihat
hubungannya pada relokasi pengungsi konflik Sambas, terdapat ketentuan-
ketentuan dalam merelokasi pengungsi, dalam ketentuan dari UNHCR tahun
2006, kebijakan relokasi pengungsi hendaknya memenuhi tiga persyaratan, yaitu:
(1) mempromosikan kebebasan dan Hak Azasi Manusia; (2) membangun indikasi
terhadap fleksibilitas kebijakan pemerintah dalam penanganan pengungsi, seperti
akses terhadap pendidikan, baik formal maupun non-formal; (3) mempromosikan
akses pengungsi pada peluang untuk mendapatkan penghasilan. Sekadar informasi
yang dikutip dari Kompas edisi Selasa, 06 Jul 1999 Halaman: 17, praktik relokasi
pengungsi di pengungsian sementara yang disediakan pemerintah belum
4
memenuhi ketentuan UNHCR tersebut, kondisi di pengungsian benar-benar
memperihatinkan, hal ini ditunjukkan dengan mulai mewabahnya penyakit paru-
paru, diare, dan tifus, Keadaan ini diperparah dengan kurangnya perhatian
terhadap sanitasi, kesehatan individu, serta buruknya gizi dan kebersihan
lingkungan di pengungsian, akibatnya, total 163 pengungsi di seluruh lokasi
pengungsian di Kalbar meninggal dunia. Belum lagi ditambah akses pendidikan
yang hanya mengandalkan LSM-LSM dan masyarakat sekitar yang prihatin serta
kurangnya akses pekerjaan yang mengharuskan para pengungsi mengemis di
jalan-jalan dan rumah-rumah sekitar untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Jadi, meskipun perencanaan pemerintah cukup bagus dalam kebijakan
relokasi, penulis menilai implementasi kebijakan pemerintah provinsi dan
pemerintah daerah dalam menangani program relokasi ini cenderung kurang
berhasil. Hal tersebut menarik perhatian penulis untuk menganalisa mengapa
kebijakan-kebijakan relokasi pengungsi yang dikeluarkan dan diimplementasikan
oleh Pemprov tidak berhasil secara efektif. Sebagai asumsi awal dari penulis, hal
ini ditunjukkan dengan adanya indikator-indikator kurangnya efektivitas
implementasi kebijakan relokasi tersebut, antara lain yaitu: Pertama, lambatnya
respon dan tanggapan pemerintah pada level provinsi dalam proses relokasi
pengungsi korban konflik Sambas. Kedua, para pengungsi Madura dan
masyarakat lokal tidak diikut sertakan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
program relokasi, sehingga kebijakan tersebut tidak transparan dan partisipatif.
Ketiga, adanya bias etnis yang terjadi pada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini
menyebabkan kesulitan dalam pemilihan tempat relokasi, yang sebagian besar
masyarakat lokal tidak mau menerima para pengungsi Madura. Keempat,
lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah provinsi dan lembaga independen
lain dalam proses implementasi kebijakan, sehingga masing-masing lembaga
memiliki agenda sendiri. Tujuan penelitiannya yaitu untuk membuat rekomendasi
kebijakan relokasi alternatif yang efektif dalam permasalahan relokasi pengungsi
korban konflik antar-etnis di Sambas.
5
RUMUSAN PERMASALAHAN
Dari paparan diatas, batasan permasalahan dan pertanyaan penelitian yang
akan diteliti antara lain, yaitu:
Mengapa implementasi kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas
yang dikeluarkan oleh pemprov tidak berjalan secara efektif?
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Dalam permasalahan ‘kebijakan relokasi koban konflik antar-etnis di
Sambas yang tidak berjalan secara efektif ini’, abstraksi permasalahan yang
didapat adalah ‘anefektifitas kebijakan relokasi pengungsi korban konflik
Sambas’. Anefektifitas yang dimaksud adalah tidak efektifnya kebijakan relokasi
pengungsi yang ditunjukkan dengan adanya indikator-indikator tertentu.
Indikator-indikator tersebut ditunjukkan di dalam kerangka konseptual di bawah.
KONFLIK SAMBAS
anefektifitas kebijakan
relokasi pengungsi
korban konflik Sambas
7
pemerintah gagal mencegah terjadinya penolakan-penolakan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal terhadap para pengungsi yang ingin mengungsi di wilayah
mereka hal ini juga menyebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah dan
lembaga-lembaga independen lain.
Permasalahan umum yang terjadi adalah persoalan tata pemerintahan yang
baik. Kebijakan yang seharusnya diambil untuk menyelesaikan permasalahan
relokasi pengungsi ini adalah kebijakan yang sesuai dengan tahapan kebijakan
Good Governance. Dari tahapan kebijakan yang didapat penulis dari mata kuliah
Tata Pemerintahan yang diampu oleh Dr. Purwo Santoso dan Riza Noer Arfani,
MA. Tipe kebijakan Domestik ini merupakan salah satu dari tiga tipe kebijakan
lain, yaitu: tipe Kebijakan Pertahanan Keamanan dan Luar negeri dan tipe
Kebijakan Krisis. Tipe kebijakan Domestik adalah Kebijakan yang dibuat untuk
memecahkan persoalan di dalam negeri, yang terdiri dari empat tipe kebijakan,
diantaranya yaitu:
Distributive
Competitive regulatory
Protective regulatory
Redistributive
Distributive Policy
Adalah kebijakan dan program-program yang dibuat oleh pemerintah
dengan tujuan untuk mendorong kegiatan di sektor swasta atau kegiatan-kegiatan
masyarakat yang membutuhkan intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi atau
sejenisnya di mana kegiatan tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya campur
tangan pemerintah tersebut. Subsidi yang diberikan oleh pemerintah bisa
mengambil beberapa bentuk: Cash atau in-kind (hadiah, pinjaman dengan bunga
lunak, penurunan pajak, dsb.). Subsidi yang diberikan oleh pemerintah dapat
dimaksudkan untuk mendatangkan efek: (1) Positif (masyarakat mau melakukan
aktivitas yang dikendaki pemerintah); (2) Negatif (masyarakat tidak melakukan
aktivitas yang tidak disukai pemerintah).
8
Persoalan yang muncul dalam pembuatan kebijakan distributif adalah
asumsi yang dipakai selama ini seolah antara kebijakan distributif yang satu
dengan yang lain tidak berhubungan. Persoalan lain yang muncul adalah dalam
kenyataannya anggaran pemerintah sangat terbatas, sehingga kebijakan distributif
yang dibuat oleh pemerintah dapat bersifat zero sum game di mana pembuatan
kebijakan yang satu akan berimplikasi pada hilangnya kebijakan yang lain.
Kebijakan Redistributif
Kebijakan redistributif adalah kebijakan atau program yang dibuat oleh
pemerintah dengan tujuan dapat meredistribusikan kekayaan, hak kepemilikan,
dan nilai-nilai yang lain diantara berbagai klas sosial masyarakat atau etnisitas di
dalam masyarkat. Tujuan kebijakan redistributif adalah untuk mencegah
ketimpangan yang makin lebar pada masyarakat. Asumsi yang dipakai dalam
pembuatan kebijakan ini adalah bahwa kompetisi yang terjadi di dalam
masyarakat akan menghasilkan “pemenang” dan “pecundang”.
9
Hubungan tipe kebijakan ini dengan permasalahan kebijakan relokasi
pengungsi korban konflik Sambas ada pada tahapan kebijakan redistributif. Pada
permasalahan yang dibahas, kebijakan pemerintah untuk meredistribusikan nilai-
nilai etnisitas dalam rangka menyelesaikan konflik Sambas ini sampai tuntas.
Ketimpangan yang terjadi adalah tidak diterimanya kembali etnis pendatang yang
dalam tipe ini disebut sebagai “pecundang” oleh masyarakat lokal. Disini
pemerintah pada level lokal dituntut untuk menyelesaikan permasalahan ini
dengan menerapkan kebijakan yang dapat meminimalisasikan ketimpangan-
ketimpangan tersebut, sehingga konflik susulan dapat dihindari.
Anektifitas kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas ini
disebabkan karena tata kelola pemerintahan yang tidak cukup baik. Teori-teori
yang sesuai dengan permasalahan ini yaitu:
4
Indo Skripsi Online, “Beberapa Pemikir Tentang Good Governance”, www.indoskripsi.com, diakses pada
tanggal 26 Juni 2009.
10
membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungannya dengan
kebebasan media.
Kompetensi
Pemerintah harus menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan
yang efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat
mencapai pelayanan publik yang efisien. Pemerintah yang baik
membutuhkan kapabilitas manajemen publik yang tinggi, dan menghindari
penghamburan dan pemborosan, khususnya pada anggaran militer yang
tinggi. Pemerintah harus menunjukkan perhatiannya pada biaya
pembangunan sosial seperti: anti-kemiskinan, kesehatan, dan program-
program pendidikan.
Penghormatan terhadap hukum/hak-hak asasi manusia
Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya yang terdapat pada konvensi-
konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau kelompok
dalam mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan
dengan kemajemukan institusi.
Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good
government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-
aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria
dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam
merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada
negara-negara berkembang.
11
Gejala-gejala dari kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang
sama, yaitu: pelayanan yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah,
manajemen keuangan yang lemah, peraturan yang terlalu berbelit-belit dan
sewenang-wenang, alokasi sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang
menekankan pada asumsi mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem
orientasi pemilihan umum, dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan
politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan
cara-cara yang berbeda.
o Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai
kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang
mungkin bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai
ekonomi, politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi,
individualitas, perintah dan kewenangan.
o UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan dibangun dari
indikatorindikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan
tujuannya.
Berdasarkan Dokumen Kebijakan UNDP dalam “Tata Pemerintahan
Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, Januari 1997, yang dikutip
dari buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan
di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), 2000,
disebutkan:
Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan
administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata
pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di
mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan
mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Tata Pemerintahan yang baik (good governance) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
Mengikutsertakan semua;
Transparan dan bertanggung jawab;
12
Efektif dan adil;
Menjamin adanya supremasi hukum;
Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan
pada konsensus masyarakat;
Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya
pembangunan.
13
Bentuk rejim politik (the form of political regime);
Proses dimana kekuasaan digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial
dan ekonomi bagi kegiatan pembangunan;
Kemampuan pemerintah untuk mendisain, memformulasikan, melaksanakan
kebijakan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya.
Dari ketiga aspek tersebut, Bank Dunia memfokuskan pada aspek kedua dan
ketiga sesuai dengan kapasitas kelembagaannya.
14
governance atau tata pemerintahan mempunyai makna yang jauh lebih luas dari
pemerintahan. Tata pemerintahan menyangkut cara-cara yang disetujui bersama
dalam mengatur pemerintahan dan kesepakatan yang dicapai antara individu,
masyarakat madani, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak swasta. Ada dua hal
penting dalam hubungan ini:
Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya.
Adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di
antara mereka.
Melalui proses di atas diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di
dalam masyarakat. Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari
berbagai warna yang ada dalam tata pengaturan tersebut. Ukuran tata
pemerintahan yang baik adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat diterima
sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani.
Pengaturan di dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan
kekuasaan antara badan eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR),
dan yudikatif (pengadilan). Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara
pemerintah pusat dan daaerah.
Sektor swasta mengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama,
termasuk mengatur perusahaan dalam negeri, besar maupun kecil,
perusahaan multinasional, koperasi, dan sebagainya.
Masyarakat madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur
kelompok-kelompok yang berbeda seperti kelompok agama, kelompok
olahraga, kelompok kesenian, dan sebagainya.
Menurut Erna, masyarakat dapat terlibat dalam tata pemerintahan yang baik,
antara lain: Pertama, dengan mengawasi sektor publik dan sektor swasta, dan juga
memberikan masukan-masukan yang konstruktif pada pemerintah dan sektor
swasta demi berlangsungnya pelayanan yang baik bagi masyarakat luas. Kedua,
terlibat langsung dalam proses-proses pembangunan yang menyangkut diri sendiri
dan masyarakat. Warga masyarakat misalkan saja dapat membentuk paguyuban-
paguyuban lokal atau bergabung dengan LSM-LSM yang ikut ambil bagian aktif
dalam pembangunan di daerah setempat.
15
F. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo
Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, “Good Governance, (Paradigma Baru
Manajemen Pembangunan)”, Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX,
Mei 2000. Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu
bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan,
yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari
suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of
change dan karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change
(perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development. Agent of
development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat
bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, dan peran
perencanaan dan anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga
menstimulusi investasi sektor swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman
modal di tangan pemerintah.
Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga
citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam
governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar untuk
menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang
mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui
koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta).
Masyarakat dan dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan
masyarakat.
16
Akuntabilitas (accountabilty), ialah kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan;
Keterbukaan dan transparan (openess and transparency);
Ketaatan pada aturan hukum;
Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara,
dan bukan pada kelompok atau pribadi;
Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Penjabaran kelima prinsip tersebut sebagai berikut:
a) Akuntabilitas
Aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung-jawabkan pelaksanaan
kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah
harus dapat mempertanggung -jawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya
yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan
pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan, yaitu
kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.
Prinsip akuntabilitas mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefit analysis
(tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung
bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan
tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabiltas juga berkaitan erat dengan
pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau
target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, tidak ada satu
kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur
pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini.
17
yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan juga dalam arti masyarakat
atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan
kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya.
Data dan informasi yang berkaitan dengan tugas/fungsi aparatur pemerintah
(instansi) yang bersangkutan harus disediakan secara benar, misalnya data PNS
oleh BAKN, data guru oleh Depdiknas, data realisasi panen padi oleh Departemen
Pertanian, dan sebagainya. Perlunya dihindari adanya data dan informasi yang
bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yang sebenarnya. Sebab keputusan atau
kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan
pada data dan informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan
tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti masalah lingkungan, anggaran
(pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana.
d) Prinsip komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan
negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya.
Prinsip ini merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal
ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan
penyelenggara pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas -batas
tertentu).
18
e) Prinsip komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Prinsip ini
menegaskan bahwa tanpa komitmen ini, maka yang timbul bukan partisipasi
masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap
perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri
aparatur pemerintah akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi,
anggapan atau perasaan paling tahu, paling bisa dan paling berkuasa, dan
cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang pada akhirnya
menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah.
2. Teori Bias5
Teori ini dikemukakan oleh Gunnar Myrdal (1944) dalam tulisan klasiknya
An American Dillemma. Pada dasarnya tulisan Myrdal ini bahasannya terbatas
pada konflik antar-ras kulit hitam dan kulit putih yang terjadi di Amerika sampai
pada akhir tahun 1960-an. Menurut teori ini, stratifikasi sosial ras atau etnis
muncul karena kelompok minoritas, dalam permasalahan konflik Sambas yaitu
etnis Madura, seolah-oleh menerima kekurangan mereka atas tekanan yang
dilakukan oleh pihak mayoritas, dalam hal ini masyarakat lokal Kalbar. Tekanan
atau intimidasi pihak mayoritas diperkuat dengan adanya stereotipe yang
diberikan kepada pihak minoritas tersebut. Proses intimidasi tersebut terjadi
secara terus menerus sehingga membentuk persepsi yang permanen pada pihak
mayoritas kepada pihak minoritas.
Dalam kaitannya dengan permasalahan anfektifitas kebijakan relokasi
korban konflik Sambas terletak pada bias etnis yang sudah sampai pada level
birokrasi lokal. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Hidden Agenda Pemda
Sambas kepada masyarakat lokal untuk menolak datangnya kembali masyarakat
Madura. Kebijakan yang bias etnis seperti ini seharusnya dapat dihindari oleh
pemerintah pada level manapun. Apabila bias tersebut masih melekat pada
5
Prof. Dr. Alo Liliweri, M.S., “Prasangka Dan Konflik”, PT. LKiS Printing Cemerlang, Yogyakarta: 2005
(hal: 169-171).
19
masyarakat, persepsi negatif yang permanen pada masyarakat pendatang bisa saja
muncul dan melekat erat pada masyarakat lokal sampai beberapa generasi.
Teori ini merupakan kritik dari teori Bias, dalam teori ini salah satu sosiolog
Parenti (1978) memaparkan bahwa masalah-masalah yang terjadi antar-etnis
sebenarnya dibentuk oleh masyarakat mayoritas dalam pola intitusionalisasi yang
salah dari masyarakat mayoritas yang berkuasa. Karena kekuasaannya, mereka
mendominasi sehingga memperbesar potensi konflik. Hal ini kemudian sebut
dengan “Institusionalisasi rasisme” atau “Institusionalisasi etnisitas”, yang
menyebabkan persepsi pada kaum mayoritas tentang subordinasi masyarakat
minoritas.
Pandangan lain yang masih dalam cakupan teori diskriminasi struktural
dikemukakan oleh Carmichael dan Hamilton (1967). Menurut mereka, ada dua
tipe diskriminasi, yaitu diskrimasi individual dan diskriminasi institusional.
Diskriminasi individual terjadi ketika seseorang yang berasal dari etnis atau ras
tertentu membuat aturan yang merugikan atau bertidak kasar dan keras kepada
orang dari etnis atau ras lain, karena orang dari etnis atau ras lain tersebut berada
dalam kekuasaannya. Sedangkan diskriminasi institusional adalah tindakan
kelompok mayoritas terhadap minoritas yang dilembagakan atau
diintitusionalkan. Dalam dua tipe diskriminasi ini masyarakat secara keseluruhan,
baik mayoritas maupun minoritas, terikat dan berada dalam suatu sistem
masyarakat yang sudah dikolusi oleh keadaan prasangka antar-ras atau antar-etnis.
Dalam hubungannya dengan diskriminasi institusional, terdapat pandangan
yang dikemukakan oleh Benokraitis dan Feagin (1974). Menurut mereka ada
empat tema yang berkaitan erat dengan diskriminasi intitusional, diantaranya
yaitu:
Sejarah hidup suatu masyarakat yang mempengaruhi atau membentuk
persepsi atau prasangka dalam suatu sistem sosial.
6
Ibid, (hal: 171-177).
20
Adanya dukungan dari masyarakat itu sendiri, dengan kata lain,
masyarakat dan pemerintah sadar dengan adanya diskriminasi tersebut,
namun tidak ada tindakan pencegahan dari masyarakat tersebut.
Kekuatan diskriminasi yang melemahkan intitusi yang telah ada. Dalam
hal ini dengan adanya diskriminasi dalam sebuah institusi masyarakat
akan melemahkan kinerja instituusi tersebut.
Batasan yang ditetapkan oleh diskriminasi itu. Dalam hal ini,
masyarakat mayoritas membatasi ekspresi dan hak dari masyarakat
minoritas karena adanya diskriminasi tersebut.
Dari teori-teori yang telah dipaparkan diatas menurut penulis, teori yang
sesuai dan efektif untuk menjelaskan permasalahan analisis kebijakan relokasi
pengungsi korban konflik Sambas adalah Teori Good Governance dari UK/ODA
dan dari UNDP. Asumsi dasar permasalahan dalan penelitian ini adalah tidak
efektifnya implementasi kebijakan relokasi dari pemerintah provinsi yang
diindikasikan dengan adanya tata pemerintahan (Governance) yang tidak baik dan
beberapa indikasi lain yang menyangkut faktor Bias pada masyarakat lokal. Untuk
itu dalam penyelesaian permasalahan ini diperlukan Good Governance yang
benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk birokrasi-birokrasi
kecil dan lembaga-lembaga independen lain sehingga koordinasi antara lembaga-
lembaga tersebut dapat terlaksana secara efektif.
Tinjauan Empiris
Dalam permasalahan kebijakan relokasi pengungsi korban konflik Sambas
pernah ada satu penelitian yang dilakukan yang di ketahui oleh penulis. Laporan
penelitian yang pertama di tulis oleh Setiadi dari Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) pada tahun 2005 dengan judul
“Korban Menjadi Korban (Perempuan Madura Pascakonflik Sambas)”.
Peneltiannya sendiri dilakukan pada tahun 2003 dengan adanya kerjasama antara
PSKK UGM dengan Ford Foundation. Laporan penelitian ini memiliki fokus
penelitian pada nasib perempuan Madura di lokasi pengungsian korban konflik
21
Sambas. Di sini dibahas bentuk-bentuk eksploitasi perempuan Madura di
pengungsian baik oleh masyarakat sekitar maupun oleh sesama pengungsi. Bentuk
eksploitasi ini dapat berupa prostitusi di pengungsian, warung-warung remang-
remang, prostitusi anak dibawah umur dan lain-lain. Penelitian ini juga
mengkalkulasi jumlah pengungsi korban konflik Sambas yang tersebar di
Kalimantan Barat. Tiga tabel persebaran pengungsi dibawah ini merupakan
sebagian dari data kalkulasi penelitian terdahulu.
Tabel
Jumlah jiwa
Lokasi pengungsi
1999 2002
Kota Pontianak
Asrama Haji 3.297 7.179
Gudang Sei. Jawi 243 -
GOR Pangsuma 5.622 5.028
Stadion Sultan Syarif Abdurrahman 6.350 5.886
GOR Bulutangkis 2000 1.081
- 848
GOR Untan
4.321 -
Rumah Penduduk
Kabupaten Pontianak
K1-B Arang Limbung 246 -
Zenibang 101 -
Ton Intel 56 -
Gedung Wajok Hulu 2.204 5.705
Gg. Jariah - 434
- 315
Kompi B 643
Kota Sambas
K1-B Pemangkat 53 -
K1-B Sambas 5.931 -
Lanud Sanggau Ledo 1.438 -
PMI Singkawang 8 -
Luar Kamp - 26.772
- 3.684
Marhaban
Sunber : Dokumentasi Arsip Posko Tk I Kalimantan Barat / Maret 1999. Posko penanggulangan Pengungsi
(data 23 April 2002)
22
Tabel
Kamp Penampungan dan Data Pengungsi Kerusuhan Sambas
Januari-April 1999
jumlah
Lokasi pengungsi
jiwa KK
Kabupaten Sambas
Barak: Marhaban 4.227 905
Nonbarak (Masyarakat)
Kecamatan Tujuh Belas 3.338 554
Kecamatan Pasiran 611 131
Kecamatan Roban 2.145 284
Kabupaten Pontianak
Barak
Wajok 6.385 1.202
Denzibang/Kompi B 370 71
Nonbarak (masyarakat)
Sei. Pinyuh
Mempawah Hilir 2.354 430
Sei. Kunyit 1.213 136
593 136
Siantan
808 161
Sei. Raya
5.000 902
Sei. Kakap
900 172
Sebangki
56 18
Kuala Mandor B 100 16
Sei. Ambawang 1.099 303
Kota Pontianak
Barak
Gg. Jariayah 249 59
Gudang Sei. Jawi 228 59
Asrama Haji 5.979 1.121
GOR Pangsuma 7.412 1.178
Sultan Abdurrahman 6.043 1.017
1.792 343
GOR Bumi Khatulistiwa*
1.190 257
GOR Untan
Nonbarak (masyarakat)
Kec. Pontianak Utara
10.013 1.977
Kec. Pontianak Barat
2.315 440
Kec. Pontianak Timur 1.494 145
Kec. Pontianak Selatan 3.020 455
23
Tabel
Daerah Relokasi dengan Pola Sisipan
Sumber: Dinas Tenaga Kerja & Kependudukan, Prov. Kalimantan Barat, 2003.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
25
Metode ini lebih peka dan dapat lebih menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Namun,
pada batasan-batasan kualitatif yang lemah terhadap data statisik, penulis juga
tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan teknik analisis kuantitatif
terhadap data-data statistik yang penting dalam penelitian ini.
26
dan TNI Daerah yang terkait dengan penelitian, dan Satkorlak Penanggulangan
Bencana Alam dan Pengungsi (PBP) Propinsi Kalimantan Barat dan PBP
Kabupaten Sambas.
Penentuan Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan adalah
sebagai berikut. Untuk data primer dilakukan wawancara mendalam terhadap
informan dengan menggunakan tape recorder atau video camera recorder dan
interview guide dan pada pengungsi yang masih berdomisili di lokasi
pengungsian, penulis akan menyebarkan kuisioner sederhana kepada beberapa
pengungsi (sampel) yang dipilih dengan cara sistem acak sederhana (simple
random sampling) untuk kemudian diisi dan dianalisis oleh penulis. Sedangkan
data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dari instansi terkait. Selain dari
kedua cara tersebut, peneliti melakukan pula observasi lapangan untuk
melengkapi data yang diperlukan.
27
Maksud mengadakan wawancara, seperi ditegaskan oleh Lincoln dan Guba
(Moleong, 1989 : 135) antara lain :
“Mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi,
perasaan, motiasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan;
merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami
masa lalu; memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah
diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi,
mengubah dan memperluas informasi dari orang lain, baik manusia
maupun bukan manusia (trianglasi); dan memverifikasi, mengubah
dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai
pengecekan anggota”.
28
1. Data cleaning, yaitu mengedit data-data yang telah diperoleh. Pada data
primer, yang berbentuk interview video dan interview audio, cleansing data
dilakukan dengan menghilangkan bagian-bagian yang rusak dan tidak perlu.
Pada data sekunder cleansing dilakukan dengan menghilangkan data-data
atau dokumen-dokumen yang rusak dan tidak perlu.
2. Data sorting, yaitu tahapan setelah data cleansing yang dilakukan dengan
menyortir atau mengelompokkan data-data tersebut menurut fungsi dan
manfaatnya pada analisis yang akan dilakukan.
3. Data storing, yaitu tahapan terakhir yang dilakukan penulis sebelum
menganalisis data yang telah disortir, dilakukan dengan menyimpan dan
mengamankan data-data tersebut dengan cara membuat data back up
sehingga data tersebut dapat terus dimanfaatkan walaupun terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.
4. Pengolahan data digunakan penulis pada data-data statistik diperoleh penulis
dari Badan Pusat Statistik. Diproses dengan menggunakan tabel dan
ditampilkan dalam bentuk tabel maupun grafik.
29
3. Penyimpulan terhadap hasil interpretasi data.
Sedangkan metode kuantitatif, data statistik yang diperoleh penulis akan dianalisis
dengan menggunakan software SPSS 17.0 dan Microsoft Excel 2007. Namun
penulis tidak menutup kemungkinan lain untuk menggunakan metode analisis dan
software-software lain dalam menganalisis data yang telah didapat dalam
penelitian.
Batasan Operasional
Dalam membahas dan menganalisis kebijakan relokasi pengungsi korban
konflik, operasionalisasi dibutuhkan untuk mengurangi ketidakjelasan makna.
Dasar dari operasionalisasi adalah definisi yang konsisten dan jelas dari variabel
yang akan diteliti, karena definisi memungkinkan pengguna informasi atau hasil
penelitian dapat memahami dan mengambil manfaat dari penelitian yang
dilakukan.
1. Implementasi kebijakan relokasi.
Apakah ada kesesuaian antara mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan
dalam kebijakan Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Gubernur
Kalimantan Barat Nomor : 143 Tahun 2002 tentang Pembentukan Team
Gabungan Penanggulangan Pengungsi Pasca Kerusuhan Sosial di Kalimantan
Barat dan Perda No. 10 tahun 2005 tentang RPJMD Provinsi Kalimantan
Barat tahun 2006 – 2008 tanggal 31 Oktober 2005; khususnya pada Bab
tentang Agenda Mewujudkan Kalimantan Barat Harmonis dalam Etnis dengan
kenyataan di lapangan.
Indikatornya antara lain :
a. Pemenuhan prosedur dalam proses relokasi apakah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan.
b. Proses relokasi apakah sudah dilakukan secara terbuka dan transparan.
c. Dampak pelaksanaan relokasi secara langsung maupun tidak langsung
terhadap masyarakat sekitar.
30
2. Keterlibatan Pemerintah dalam proses relokasi.
Yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana keterlibatan birokrasi
pemerintah daerah yang terkait dalam proses relokasi pengungsi korban
konflik Sambas di Kabupaten Pontianak.
Indikatornya antara lain :
a. Peran langsung birokrasi dalam proses relokasi, khususnya dalam
pengawasan proses relokasi.
b. Jumlah personil birokrat yang terlibat dalam proses relokasi dan periode
pengawasan yang dilakukan oleh personil birokrat tersebut.
3. Sikap masyarakat non-pengungsi di sekitar lokasi pengungsian.
Adalah sikap dan perilaku masyarakat non-pengungsi di sekitar lokasi
pengungsian dalam memperlakukan pengungsi.
Indikatornya antara lain :
a. Perbandingan jumlah masyarakat yang menolak dan menerima adanya
relokasi di kawasan tempat tinggal mereka.
b. Sikap dan perlakuan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut kepada para
pengungsi.
c. Penyimpangan dan tindak kriminalitas yang dilakukan oleh masyarakat
sekitar kepada para pengungsi.
4. Sikap pengungsi terhadap masyarakat di sekitar lokasi pengungsian.
Adalah kebalikan dari batasan di atas yang merupakan sikap dan perilaku
pengungsi kepada masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi pengungsian.
Indikatornya antara lain :
a. Perbandingan tingkat kriminalitas di lingkungan sekitar lokasi
pengungsian sebelum dan setelah ada relokasi pengungsi.
b. Perilaku pengungsi terhadap warga dan lingkungan sekitar lokasi
pengungsian.
5. Tingkat kesejahteraan pengungsi
Yang menjadi fokus perhatian adalah bagaimana tingkat kesejahteraan
pengungsi selama tinggal di lokasi pengungsian.
Indikatornya antara lain :
31
a. Tingkat asupan gizi dan makanan, tingkat pendidikan, penghasilan, dan
kedekatan dengan akses birokrasi pengungsi.
b. Tingkat kematian ibu dan anak, tingkat kebersihan tempat, dan
ketersediaan fasilitas penunjang di lokasi pengungsian.
Pertimbangan Etis
Dalam melakukan penelitian, penulis juga mempertimbangkan faktor etis
yang termasuk di dalamnya pertimbangan terhadap karakteristik etnis dan
stereotipe yang berkembang terhadap suatu etnis, yang dalam permasalahan
relokasi pengungsi korban konflik Sambas ini yaitu etnis Madura dan etnis-etnis
lain yang terlibat dalam permasalahan ini, pertimbangan tersebut antara lain:7
1. Stereotipe dan karakteristik etnis Dayak
Dalam kehidupan sehari-hari etnis ini yang mayoritas beragama Nasrani,
dikenal bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain. Orang Dayak juga
dikenal penyabar, tetapi kesabaran mereka akan hilang bila harga diri dan
adat-istiadat mereka terinjak-injak oleh orang lain. Apabila hal itu terjadi,
etnis ini dapat berbuat apa saja, termasuk anarkis dan sadisme, untuk
memperoleh kembali harga diri dan mempertahankan adat-istiadat suku
mereka.
2. Stereotipe dan karakteristik etnis Melayu
Stereotipe yang berkembang pada etnis Melayu adalah pengalah, pemalu,
patuh pada adat-istiadat dan taat beragama. Stereotipe yang lain adalah
penakut (Petebang dan Sutrisno, 2000). Pada sisi lain, mereka dikenal santun
budi bahasanya dan tidak terpengaruh oleh hasutan. Sifat gotong-royong
sesama warga baik sesama etnis maupun antar-etnis sangat tinggi. Demikian
juga halnya rasa solidaritas antarsuku mereka juga tinggi. Mereka juga
dikenal sebagai pekerja keras dan penyabar sehingga jika marah cukup
berekspresi melalui pantun. Secara umum, masyarakat Melayu menguasai
sektor politik (birokrasi).
3. Stereotipe dan karaktersitik etnis Madura
7
Setiadi, “Korban Menjadi Korban (Perempuan Madura Pascakonflik Sambas)”, seri laporan no. 161, PSKK
UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta: 2005, hal: 33-37.
32
Stereotipe yang berkembang pada etnis Madura adalah berkarakter kasar,
keras, mudah tersinggung, arogan dan mau menang sendiri. Hal ini dikuatkan
oleh kesan beberapa pengamat (Royce, 1980, Tim Peneliti UNAIR, 1982)
yang menggambarkan mereka sebagai orang kasar (crude), kurang sopan (ill-
mannered), gugup (nervous), selalu ingin tahu (curious), dan keras kepala
(stubborn) (lihat Alqadri, 1999: 53). Kesan atau karakter tersebut disebabkan
dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan daerah asal mereka di pulau
Madura yang keras. Dalam kesehariannya, masyarakat Madura yang tinggal
di Kabupaten Sambas dikenal memiliki kebiasaan unik, seperti suka
membawa celurit dan mudah tersinggung.
Pertimbangan-pertimbangan stereotipe dan karaktersitik etnis tersebut menurut
penulis sangat penting dalam penelitian ini karena dengan adanya hal itu, penulis
dapat mempersiapkan bagaimana cara menghadapi informan-informan yang
berasal dari berbagai etnis.
Kelemahan Penelitian
Kelemahan-kelemahan dari penelitian ini adalah pemaparan yang
kemungkinan bias etnis. Dalam hal ini, penulis akan banyak memaparkan sisi
negatif dari etnis Madura. Hal ini tidak dapat dihindari oleh penulis mengingat
hampir semua referensi yang digunakan oleh penulis menyudutkan etnis Madura
sebagai ‘biang keladi’ konflik antar-etnis di Sambas.
33