Professional Documents
Culture Documents
PENGERTIAN BELAJAR
Belajar merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Karena telah sangat dikenal sekali mengenai belajar, seakan-akan orang
telah mengetahui dengan sendirinya apakah yang dimaksud dengan belajar.namun
jika ditanyakan kepada diri kita sendiri, maka akan muncul sebuah pertanyaan apakah
yang dimaksud dengan belajar itu??
Menurut Gagne dalam buku The Condition of Learning (1977) Belajar terjadi apabila
sesuatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian
rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum ia
mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Morgan memberikan definisi belajar adalah Setiap perubahan yang relatif menetap
dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Menurut Slavin dalam Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan proses
perolehan kemampuan yang berasal dari pengalaman. Menurut Gagne dalam
Catharina Tri Anni (2004), belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya
terdapat berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan
perilaku.
Bertitik tolak dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan belajar adalah suatu
proses dinamika kehidupan manusia untuk memperoleh perubahan kemampuan,
keterampilan dan sikap baik oleh karena stimulus yang berasal dari luar maupun dari
dalam diri sendiri yakni berupa pengalaman sampai akhir hayatnya.
1
B. TEORI BELAJAR
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu
dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar
yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya :
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap
burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
2
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.
Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya
adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti
dalam classical conditioning.
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya.
Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku
individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga
akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema
kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang
dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment,
seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu
dilakukan.
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai
rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan
perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu
meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete
operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses
rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton
(2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes
material into their mind from the environment, which may mean changing the
evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to
one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal
dari lingkungan.
3
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temanya.
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari
pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-
kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan
dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif
yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk
atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa
tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut
Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
4
figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran
antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu
maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk
tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung
akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan
yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu
figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang
pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung
membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan
keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan
suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
5
pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif
sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif
pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki
makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan.
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran
akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan
dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan
hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer
belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu
konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi
konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya
penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan
kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer
belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip
pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian
digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu,
guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-
prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Teori yang disampaikan oleh David Ausebel (1969). Beliau berpendapat bahwa guru
harus dapat mengembangkan potensi kongitif siswa melalui proses belajar yang
bermakna. Bermakna yaitu materi pelajaran yang baru match dengan konsep yang ada
dalam struktur kognisi siswa.
Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausebel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa,
terutama meraka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau
mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun siswa pada pendidikan
lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara
mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa
yang akan disampaikan guru.
6
2. Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal
atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai
dengan contoh-contoh.
3. Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep
yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4. Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan
sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
Implikasi teori belajar Kognitif oleh gagne bagi pembelajaran, antara lain :
1. memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif
Pada dasarnya pengetahuan yang kita miliki adalah konstruktivisme (bentukan) kita
sendiri (Von Glaseserfeld, 1996). Seseorang yang belajar akan membentuk
pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia
baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun sosial
(Resnick, 1983 ; Bettencourt, 1989). Pengetahuan tersebut dibentuk melalui interaksi
dengan lingkungannya.
Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa
menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu
konsep atau kejadian dalam proses yang aktif dan konstruktif. Melalui proses
7
pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun
(Bettencourt, 1989).
Pandangan Konstruktivisme
a. Orientasi (Apersepsi)
8
c. Restrukturisasi ide : (menjelaskan ide, berargumentasi, membangun ide baru dan
mengevaluasi ide baru)
Antara lain Student-Centered Learning Strategis, dimana siswa belajar aktif, belajar
mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, self-regulated learning dan generative
learning.
Belakangan ini ada sebuah teori belajar aktif yang dinamakan teori holistik. Dave
Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook (Kaifa, 2002),
mengemukakan bahwa konsep guru mengenai siapa manusia yang diajarinya (murid)
menentukan sekali terhadap kegiatan belajar yang direncanakan dan dikelolanya.
Meier mengkritik kecenderungan pendidikan di Barat yang memandang manusia
hanya sebagai tubuh dan pikiran. Aktivitas tubuh dan pikiran dipisahkan dalam
kegiatan belajar. Pembelajaran sangat kaku. Selain itu pembelajaran individual amat
ditekankan. Cara berpikir ilmiah pun sangat diutamakan. Peranan media cetak dalam
belajar seperti buku sumber utama sangat ditekankan.
Dari penelitiannya, Dave Meier berpendapat bahwa manusia memiliki empat dimensi
yakni: tubuh atau somatis (S), pendengaran atau auditori (A), penglihatan atau visual
(V), dan pemikiran atau intelek (I). Bertolak dari pandangan ini ia mengajukan model
pembelajaran aktif yang disingkat SAVI – somatis, auditori, visual dan intelektual.
9
C. PRINSIP – PRINSIP BELAJAR
Proses belajar dipengaruhi kesiapan murid, yang dimaksud dengan kesiapan atau
readiness ialah kondisi individu yang memungkinkan ia dapat belajar. Berkenaan
dengan hal itu terdapat berbagai macam taraf kesiapan belajar untuk suatu tugas
khusus. Seseorang siswa yang belum siap untuk melaksanakan suatu tugas dalam
belajar akan mengalami kesulitan atau malah putus asa. Yang termasuk kesiapan ini
ialah kematangan dan pertumbuhan fisik, intelegensi latar belakang pengalaman, hasil
belajar yang baku, motivasi, persepsi dan faktor-faktor lain yang memungkinkan
seseorang dapat belajar.
2. Kesiapan untuk belajar harus dikaji bahkan diduga. Hal ini mengandung arti
bila seseorang guru ingin mendapat gambaran kesiapan muridnya untuk
mempelajari sesuatu, ia harus melakukan pengetesan kesiapan.
4. Kesiapan untuk belajar mencerminkan jenis dan taraf kesiapan, misalnya dua
orang siswa yang memiliki kecerdasan yang sama mungkin amat berbeda
dalam pola kemampuan mentalnya.
10
2. Prinsip Motivasi (Motivation)
Tujuan dalam belajar diperlukan untuk suatu proses yang terarah. Motivasi adalah
suatu kondisi dari pelajar untuk memprakarsai kegiatan, mengatur arah kegiatan itu
dan memelihara kesungguhan. Secara alami anak-anak selalu ingin tahu dan
melakukan kegiatan penjajagan dalam lingkungannya. Rasa ingin tahu ini seyogianya
didorong dan bukan dihambat dengan memberikan aturan yang sama untuk semua
anak.
Berkenaan dengan motivasi ini ada beberapa prinsip yang seyogianya kita
perhatikan.
11
3. Prinsip Persepsi
Berkenaan dengan persepsi ini ada beberapa hal-hal penting yang harus kita
perhatikan:
1. Setiap pelajar melihat dunia berbeda satu dari yang lainnya karena setiap
pelajar memiliki lingkungan yang berbeda. Semua siswa tidak dapat melihat
lingkungan yang sama dengan cara yang sama.
4. Para pelajar dapat dibantu dengan cara memberi kesempatan menilai dirinya
sendiri. Guru dapat menjadi contoh hidup. Perilaku yang baik bergantung pada
persepsi yang cermat dan nyata mengenai suatu situasi. Guru dan pihak lain
dapat membantu pelajar menilai persepsinya.
5. Persepsi dapat berlanjut dengan memberi para pelajar pandangan bagaimana hal
itu dapat dilihat .
12
4. Prinsip Tujuan
“ Tujuan harus tergambar jelas dalam pikiran dan diterima oleh para pelajar pada
saat proses belajar terjadi”. Tujuan ialah sasaran khusus yang hendak dicapai oleh
seseorang dan mengenai tujuan ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
3. Pelajar akan dapat menerima tujuan yang dirasakan akan dapat memenuhi
kebutuhannya.
8. Tujuan harus ditetapkan dalam rangka memenuhi tujuan yang nampak untuk
para pelajar. Karena guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas dan
dapat diterima para pelajar.
13
latar belakang, emosi, dorongan dan kemampuan individu dan menyesuaikan materi
pelajaran dan tugas-tugas belajar kepada aspek-aspek tersebut.
Berkenaan dengan perbedaan individual ada beberapa hal yang perlu diingat:
1. Para pelajar harus dapat dibantu dalam memahami kekuatan dan kelemahan
dirinya dan selanjutnya mendapat perlakuan dan pelayanan kegiatan, tugas
belajar dan pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda.
2. Para pelajar perlu mengenal potensinya dan seyogianya dibantu untuk
merenncanakan dan melaksanakan kegiatannya sendiri.
3. Para pelajar membutuhkan variasi tugas, bahan dan metode yang sesuai
dengan tujuan , minat dan latarbelakangnya.
4. Pelajar cenderung memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan
pengalamannya masa lampau yang ia rasakan bermakna untuknya. Setiap
pelajar biasanya memberi respon yang berbeda-beda karena memang setiap
orang memiliki persepsi yang berbeda mengenai pengalamannya.
5. Kesempatan-kesempatan yang tersedia untuk belajar lebih diperkuat bila
individu tidak merasa terancam lingkungannya, sehingga ia merasa merdeka
untuk turut ambil bagian secara aktif dalam kegiatan belajar. Manakala para
pelajar memiliki kemerdekaan untuk berpikir dan berbuat sebagai individu,
upaya untuk memecahkan masalah motivasi dan kreativitas akan lebih
meningkat.
6. Pelajar yang didorong untuk mengembangkan kekuatannya akan mau belajar
lebih giat dan sungguh-sungguh. Tetapi sebaliknya bila kelemahannya yang
lebih ditekankan maka ia akan menunjukkan ketidakpuasannya terhadap
belajar.
Apa pun yang dipelajari dalam suatu situasi pada akhirnya akan digunakan dalam
situasi yang lain. Prosesa tersebut dikenal dengan proses transfer, kemampuan
seseorang untuk menggunakan lagi hasil belajar disebut retensi. Bahan-bahan yang
dipelajari dan diserap dapat digunakan oleh para pelajar dalam situasi baru.
Berkenaan dengan proses transfer dan retensi ada beberapa prinsip yang harus kita
ingat.
1. Tujuan belajar dan daya ingat dapat memperkuat retensi. Usaha yang aktif
untuk mengingat atau menugaskan sesuatu latuhan untuk dipelajari dapat
meningkatkan retensi.
2. Bahan yang bermakna bagi pelajar dapat diserap lebih baik.
14
3. Retensi seseorang dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis dimana proses
belajar itu terjadi. Karena itu latihan seyogianya dilakukan dalam suasana
yang nyata.
4. Latihan yang terbagi-bagi memungkinkan retensi yang baik. Suasana belajar
yang dibagi ke dalam unit-unit kecil waktu dapat menghasilkan proses belajar
dengan retensi yang lebih baik daripada proses belajar yang berkepanjangan.
Waktu belajar dapat ditentukan oleh struktur-struktur logis dari materi dan
kebutuhan para pelajar.
5. Penelaahan bahan-bahan yang faktual, keterampilan dan konsep dapat
meningkatkan retensi dan nilai transfer.
6. Proses belajar cenderung terjadi bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat
memberikan hasil yang memuaskan.
7. Sikap pribadi, perasaan atau suasana emosi para pelajar dapat menghasilkan
proses pelupaan hal-hal tertentu. Karena itu bahan-bahan yang tidak disepakati
tidak akan dapat diserap sebaik bahan-bahan yang menyenangkan.
8. Proses saling mempengaruhi dalam belajar akan terjadi bila bahan baru yang
sama dipelajari mengikuti bahan yang lalu. Kemungkinan lupa terhadap bahan
yang lama dapat terjadi bila bahan baru yang sama yang dituntut.
9. Pengetahuan tentang konsep, prinsip dan generalisasi dapat diserap dengan
baik dan dapat diterapkan lebih berhasil dengan cara menghubung-hubungkan
penerapan prinsip yang dipelajari dan dengan memberikan illustrasi unsur-
unsur yang serupa.
10. Transfer hasil belajar dalam situasi baru dapat lebih mendapat kemudahan bila
hubungan-hubungan yang bermanfaat dalam situasi yang khas dan dalam
situasi yang agak sama dibuat.
11. Tahap akhir proses seyogyanya memasukkan usaha untuk menarik
generalisasi, yang pada gilirannya nanti dapat lebih memperkuat retensi dan
transfer.
15
2. Hasil belajar kognitif akan bercariasi sesuai dengan taraf dan jenis perbedaan
individual yang ada.
3. Bentuk-bentuk kesiapan perbendaharaan kata, kemampuan membaca,
kecakapan dan pengalaman berpengaruh langsung terhadap proses belajar
kognitif.
4. Pengalaman belajar harus diorganisasikan ke dalam satuan-satauan atau unit-
unit yang sesuai.
5. Bila menyajikan konsep, kebermaknaan dari konsep amatlah penting .
Perilaku mencari, penerapan, pendefinisian resmi dan penilaian sangat
diperlukan untuk menguji bahwa suatu konsep benar-benar bermakna.
6. Dalam pemecahan masalah para pelajar harus dibantu untuk mendefinisikan
dan membatasi lingkup masalah, menemukan informasi yang sesuai,
menafsirkan dan menganalisis masalah dan memungkinkan berpikir menyebar
(divergent thinking).
7. Perhatian terhadap proses mental yang lebih daripada terhadap hasil kognitif
dan afektif akan lebih memungkinkan terjadimya proses pemecahan masalah,
analisis, sintesis dan penalaran.
Belajar afektif mencakup nilai emosi, dorongan, minat dan sikap. Dalam banyak
hal pelajar mungkin tidak menyadari belajar afektif. Sesungguhnya proses belajar
afektif meliputi dasar yang asli untuk dan merupakan bentuk dari sikap, emosi
dorongan, minat dan sikap individu.
Berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses belajar afektif.
16
6. Nilai-nilai yang ada pada diri individu dipengaruhi oleh standar perilaku
kelompok.
7. Proses belajar di sekolah dan kesehatan mental memiliki hubungan yang erat.
Pelajar yang memiliki kesehatan mental yang baik akan dapat belajar lebih
mudah daripada yang memiliki masalah.
8. Belajar afektif dapat dikembangkan atau diubah melalui interaksi guru dengan
kelas.
Pelajar dapat dibantu agar lebih matang dengan cara membantu mereka mengenal
dan memahami sikap, peranan dan emosi. Penghargaan terhadap sikap, perasaan dan
frustasi sangat perlu untuk membantu pelajar memperoleh pengertian diri dan
kematangannya.
Berkenaan dengan hal itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Jenis cakupan dan validitas evaluasi dapat mempengaruhi proses belajar saat ini
dan selanjutnya.
17
hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kemampuannya untuk menilai
pengalamannya.
Berkenaan dengan evaluasi ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Evaluasi memberi arti pada proses belajar dan memberi arah baru pada pelajar.
2. Bila tujuan dikaitkan dengan evaluasi maka peran evaluasi begitu penting bagi
pelajar.
3. Latihan penilaian guru dapat mempengaruhi bagaimana pelajar terlibat dalam
evaluasi dan belajar.
4. Evaluasi terhadap kemajuan pencapaian tujuan akan lebih mantap bila guru
dan murid saling bertukar dan menerima pikiran, perasaan dan pengamatan.
5. Kekurangan atau ketidaklengkapan evaluasi dapat mengurangi kemampuan
guru dalam melayani muridnya. Sebaliknya evaluasi yang menyeluruh dapat
memperkuat kemampuan pelajar untuk menilai dirinya.
6. Jika tekanan evaluasi guru diberikan terus menerus terhadap penampilan
siswa, pola ketergantungan penghindaran dan kekerasan akan berkembang.
7. Kelompok teman sebaya berguna dalam evaluasi.
Kesiapan
Motivasi
Persepsi
Tujuan
Prinsip
Perbedaan individual
Transfer / referensi
Evaluasi
D. GAYA BELAJAR
18
1. Visual (belajar dengan cara melihat)
Lirikan keatas bila berbicara, berbicara dengan cepat. Bagi siswa yang
bergaya belajar visual, yang memegang peranan penting adalah mata / penglihatan
( visual ), dalam hal ini metode pengajaran yang digunakan guru sebaiknya lebih
banyak / dititikberatkan pada peragaan / media, ajak mereka ke obyek-obyek yang
berkaitan dengan pelajaran tersebut, atau dengan cara menunjukkan alat peraganya
langsung pada siswa atau menggambarkannya di papan tulis. Anak yang mempunyai
gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya untuk
mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung untuk duduk di depan agar dapat
melihat dengan jelas. Mereka berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka
dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti
diagram, buku pelajaran bergambar, dan video. Di dalam kelas, anak visual lebih suka
mencatat sampai detil-detilnya untuk mendapatkan informasi.
² Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tapi tidak pandai memilih kata-kata
² Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali
minta bantuan orang untuk mengulanginya
19
Lirikan kekiri/kekanan mendatar bila berbicara, berbicara sedang 2 saja.
Siswa yang bertipe auditori mengandalkan kesuksesan belajarnya melalui telinga
( alat pendengarannya ), untuk itu maka guru sebaiknya harus memperhatikan
siswanya hingga ke alat pendengarannya. Anak yang mempunyai gaya belajar
auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan
mendengarkan apa yang guru katakan. Anak auditori dapat mencerna makna yang
disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi rendahnya), kecepatan berbicara dan
hal-hal auditori lainnya. Informasi tertulis terkadang mempunyai makna yang minim
bagi anak auditori mendengarkannya. Anak-anak seperi ini biasanya dapat menghafal
lebih cepat dengan membaca teks dengan keras dan mendengarkan kaset.
² Penampilan rapi
² Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat
² Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, berirama dan warna suara
1. Ajak anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di
dalam keluarga.
5. Biarkan anak merekam materi pelajarannya ke dalam kaset dan dorong dia untuk
mendengarkannya sebelum tidur.
20
3. Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja dan menyentuh)
² Berbicara perlahan
² Penampilan rapi
² Menyukai buku-buku dan mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
² Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah berada di tempat itu
21
1. Ketrampilan Intelektual
22
Dengan mengembangkan belajar-mengajar yang fungsional seperti dikemukakan
di muka misalnya dengan metode memecahkan masalah (Prob-fm Solving) atau
melalui model-model program lainnya misalnya Program leipadu (multidiciplinary
model) yang mengacu kepada topik-topik yang ditentukan dalam kurikulum sasaran
pencapaian keterampilan itu dapat dicapai.
2. Keterampilan Personal
3. Keterampilan Sosial
23
Keterampilan ini meliputi kehidupan dan kerjasama, belajar memberi dan
menerima tanggung jawab, menghormati hak-hak orang lain, membina kesadaran
sosial. Dengan dimilikinya keterampilan ini maka siswa mampu berkomunikasi
dengan sesama manusia, lingkungannya di masayarakat secara baik, hal ini
merupakan realisasi dari penerapan IPS dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena materi studi sosial sangat luas bahan kupasannya, maka upaya
guru untuk membantu siswa-siswa mengembangkan keterampilan/ kemampuan
memahami masalah-masalah yang terkandung di dalamnya lurus diintegrasikan
sebagai bagian dari bahan pengajaran IPS.
24
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yakni:
1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yaitu keadaan/ kondisi jasmani dan rohani
siswa.
2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yaitu kondisi lingkungan di sekitar siswa.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yaitu jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran materi-materi pelajaran.
1. Faktor internal
Faktor internal merupakan motivasi idealis yang membantu seseorang dalam belajar.
Seseorang yang memiliki motif internal akan lebih kuat dalam proses belajarnya dan
tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Motif internal lahir dari
perenungan tentang konsep diri (filosofis) yang mempertanyakan manfaat belajar itu
sendiri. Seseorang belajar tentunya karena sadar akan ketidaktahuan dirinya
menguasai suatu pengetahuan atau keterampilan. Seseorang yang sadar akan
ketidaktahuan dirinya menguasai suatu pengetahuan atau keterampilan, maka ia akan
berusaha sekuat tenaga untuk mempelajarinya. Inilah motif internal dalam diri
manusia untuk memulai proses belajar.
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yaitu:
• Aspek Fisiologis (yang bersifat jasmaniah)
• Aspek Psikologis (yang bersifat rohaniah)
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran
organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas
siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika
disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta
(kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Untuk
mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan
memilih pola istirahat dan olahraga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara
tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab kesalahan pola makan-minum dan
istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental
siswa itu sendiri.
Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan
indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan dalam menyerap informasi
dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam
penglihatan siswa yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register
dalam menyarap item-item informasi yang bersifat yang bersifat echoic dan iconic
(gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi
yang dilakukan oleh system memori tersebut.
b. Aspek Psikologis
25
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas
dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah
siswa yang pada imumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut:
1). Tingkat Kecerdasan/ Intelegensi Siswa,
2). Sikap Siswa,
3). Bakat Siswa,
4). Minat Siswa dan Motivasi Siswa
1. Intelegensi Siswa
2. Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merspons (respons tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap
objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif dan negatif. Sikap (attitude)
siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan
merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya,
sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi
kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat menimbulakan
kesulitan belajar siswa tersebut.
Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di
atas, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan siap positif terhadap dirinya
sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi vaknya. Dalam hal bersikap positif
terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa
menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai
bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan
kepada para siswa akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Dengan
menyakini manfaat bidang studi tertentu , siswa akan merasa
membutuhkannya, dan dari persaan butuh itulah muncul sikap positif terhadap bidang
studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
3. Bakat Siswa
26
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dilmilki seseorang
untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber,
1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti
berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ketingkat tertentu sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Jadi, secara global bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah
sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar
biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yaitu anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan
individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya
pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya,
akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang
berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang
kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak dapat dipelajari
karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir). Sehubungan dengan hal
di atas, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya prestasi belajar bidang-
bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila orang
tua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian
tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu. Pemaksaan
kehendak terhadap seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya
sendiri sehingga ia memilih jurusan keahlian tertentu yang sebenarnya bukan
bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadapkinerja akademik (academic performance)
atau prestasi belajarnya.
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak
termasuk istilah popular dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada
faktor-faktor internal lainnya seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi
dan kebutuhan.
Namun terlepas dari masalah popular atau tidak, minat seperti yang dipahami dan
dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar
siswa dalam bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh
minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak
daripada siswa lainnya. Kemudian,karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap
materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk balajar lebih giat, dan akhirnya
mencapai prestasi yang diinginkan. Guru dalam kaitan ini sebaiknya berusaha
membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam
bidang studinya dengan cara yng kurang lebih sama dengan kiat membangun sikap
positif seperti terurai di muka.
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia ataupun
hewan yang mondorongnya utuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi
berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman,
1986; Reber, 1988).
Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu: 1) motivasi intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah haldan
keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya untuk
27
melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan
menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk
kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan. Adapun motivasi ekstrinsik adalah
dan keadaan yang dating dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk
melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/ tata tertib sekolah, suri
teladan orang tua, guru, dan seterusnya merupakan contoh-contoh konkret motivasi
ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan
motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan
menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran
materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam prespektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah
motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada
dorongan atau pengaruhorang lain. Selanjutnya, dorongan mencapai prestasi dan
dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga member
pengaruh kuat dan relativ lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau
dorongan keharusan dari orang tua dan guru.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah seluruh faktor yang mendukung proses belajar di luar motif
idealis yang dibahas di atas. Faktor eksternal meliputi peran dari orang tua, pengajar,
dan lingkungan sekitar. Faktor ini sering terabaikan yang diakibatkan oleh sifatnya
hanya tekanan atau paksaan yang diterima oleh murid. Murid yang telah menganggap
belajar hanya sebagai paksaan atau perintah pengajar, maka belajar baginya hanya
sekedar tuntutan kewajiban, yang jika tidak dilakukan akan mendapatkan hukuman.
Kondisi yang dapat mengurangi motivasi belajar murid adalah ketika guru
mendominasi proses belajar maka murid dijadikan sebagai objek pasif yang hanya
mendengarkan dan mentaati semua perintah guru.
Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yaitu:
a. Lingkungan Sosial
Lingkungan social sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman
sekelas dapat mempengaruhi semanagt belajar seorang siswa. Para guru yang selalu
menunjukkan sikap dan prilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri telladan yang
baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan rajin
berdiskusi, dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Selanjutnya, yang termasuk lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga
juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi
masyarakat di lingkungan kumuh (slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak
penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling
tidak, siswa tersebut akan menelukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau
berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
Lingkungan social yang lebih banyak yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan
belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik
pengolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah),
semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan
hasil yang dicapai oleh siswa. Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua siswa
28
dalam mengelola keluarga (family management practices) yang keliru, seperti
kelalaian orang tuadalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih
buruk lagi. Dalam hal ini, bukan saja anka tidak mau belajar melainkan juga ia
cenderung berperilaku menyimpang yang berat seperti antisocial (Patterson & Loeber,
1984).
b. Lingkungan Nonsosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya,
rumah temppat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca
dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini di pandang turut
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Rumah yang sempit dan berantakan
serta perkampungan yang terlalu padat dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan
remaja (seperti lapangan voli) misalnya, akan mendorong siswa untuk berkeliaran ke
tempat-tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan
perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar siswa.
Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar (studi time preference) seperti
pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. biggers (1980) berpendapat bahwa belajar
pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya. Namun,
menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak
bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang
cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn at al, 1986). Di antara siswa ada yang siap
belajar pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah malam. Perbedaan
antara waktu dan kesiapan belajar inilah yang menimbulkan perbedaan study time
preference antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Namun demikian, menurut hasil penenlitian mengenai kinerja baca (reading
performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak
ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca
pada sore hari. Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference danegan hasil
membaca pun sulit dibuktikan. Bahkan merka yang lebuh senang belajar pada pagi
hari dan dites pada sore hari, ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di
antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan dites pada saat yang sama,
namun hasilnya tidak memuaskan (Syah,1990).
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering
dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab,
bukan waktu yang penting dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item
informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.
29
Kriteria pengajar yang diharapkan adalah:
Pengajar mampu memahami perbedaan sifat dan karakteristik siswa yang satu
dengan yang lainnya, sehingga dapat menjamin proses belajar dapat berjalan
secara dinamis.
Pengajar mampu berdialog secara rasional untuk menyelesaikan permasalahan
yang ada.
Pengajar yang mampu menciptakan, memperkaya, dan menyesuaikan metode
mengajarnya untuk menarik dan memelihara minat siswanya.
Pengajar yang mampu melibatkan siswanya dalam proses pembelajaran
dengan keyakinan bahwa semua siswanya dapat belajar secara aktif
Pengajar memahami bidang ilmu yang diajarkan dan mampu
menghubungkan dengan bidang ilmu lain serta menerapkannya dalam dunia
nyat
internal
Pendekatan belajar
eksternal
30