Professional Documents
Culture Documents
Oleh
FAHRIADI, SKM, M.KES, MARS *)
Pelayanan Pasien
Rumah sakit didirikan sebagai sentral pelayanan kesehatan
terutama kuratif dan rehabilitatif bagi masyarakat disekitarnya.
Paradigma yang dikembangkan dalam tradisi seni pengobatan
menjadi karakteristik khas yang seharusnya ada pada setiap
aktivitas RS. Pasien adalah manusia yang setara kedudukannya
secara fitrawi dengan dokter dan paramedik lain, sehingga relasi
yang terbangun antar mereka mestinya bersifat humanis, bukan
eksploitatif. Dalam konteks relasi dokter-pasien ini, berbagai
ketimpangan dan ketidakpuasan selalu muncul dan dirasakan
oleh kedua belah pihak. Idealnya, dalam harapan banyak orang,
ketika masuk RS kita akan mendapat pengobatan dan perawatan
yang baik sehingga dapat segera sembuh dan sehat kembali. Jika
pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap
pasiennya tidak menunjukkan hasil memuaskan, maka pasien
dalam keawamannya sering berpikir bahwa pelayanan RS
tersebut tidak bagus. Kondisi negatif seperti ini semakin mudah
tersulut jika “kesan pertama” yang ditunjukkan oleh pihak
manajemen RS tidak berkenan di hati pasien yang baru masuk.
Padahal, yang diharapkan selain kesembuhan pasien pada
aktivitas di RS adalah kepuasan (satisfaction) yang dirasakan
oleh semua pihak selama proses pengobatan dan perawatan
berlangsung.
Dalam tradisi pengobatan, relasi dokter-pasien mesti
memungkinkan terjadinya komunikasi manusiawi yang
memberikan kesempatan kepada pasien agar lebih merdeka dan
leluasa mengungkapkan perjalanan penyakitnya. Hal ini sangat
dibutuhkan oleh seorang dokter agar dapat mendiagnosa
penyakit yang diderita pasiennya. Komunikasi pasien-dokter
hanya dapat berlangsung positif jika kondisi psikologis pasien
benar-benar merasa “nyaman”. Kenyamanan ketika masuk RS
inilah yang menjadi permasalahan saat ini.
Pada sisi lain bagi sebagian orang, masuk RS itu menjadi
pilihan terakhir jika penyakit yang diderita sudah tidak bisa
ditahan lagi. Mereka beranggapan akan sangat beresiko cepat-
cepat masuk RS. Selain karena biaya yang cukup mahal, juga
rentan dengan resiko terjadinya infeksi nosokomial (penularan
penyakit dari RS terhadap orang-orang yang beraktivitas di
dalamnya). Asumsi ini semakin diperparah jika masyarakat
pernah trauma atau mengalami pengalaman “tidak
mengenakkan” atas pelayanan petugas kesehatan yang
bertugas di RS tersebut. Banyak orang masuk RS ketika
penyakitnya sudah sangat parah. Akibatnya penyakit pasien sulit
disembuhkan dan tentunya biaya pengobatan/perawatan juga
ikut membengkak.
Dalam berbagai peraturan yang menjelaskan hubungan
pengobatan, hak-hak pasien dan hak-hak dokter/paramedik
relatif cukup jelas dan mudah dimengerti. Hanya saja, pasien
atau keluarga pasien yang masuk di RS cenderung tidak
memperhatikan hal ini atau memang tidak tahu sama sekali.
Untuk menyikapi hal ini, maka pihak RS melalui
dokter/paramedik yang merawat pasien mestinya memberikan
penjelasan dan penyadaran kepada pasien-pasiennya, terutama
menyangkut hak mereka atas informasi pra pengobatan dari
dokter (informed concent) dan kerahasiaan penyakit yang
mereka derita. Kenyataannya, meskipun UU Praktik Kedokteran
dan UU RS telah ditetapkan, berbagai indikasi pelanggaran atas
hak pasien masih juga mencuat ke permukaan. Artinya, pihak
RS, termasuk petugas kesehatan yang bekerja di dalamnya,
harus menyadari bahwa saat ini masyarakat kita perlahan
semakin sadar atas hak mereka mendapatkan “pengobatan yang
benar”. Karenanya, otoritas RS mesti giat memperbaiki
pelayanan dan “keramahan”nya terhadap pasien-pasien mereka.