You are on page 1of 4

REALITAS KEPUASAN PASIEN RUMAH SAKIT

Oleh
FAHRIADI, SKM, M.KES, MARS *)

Pada suatu kesempatan sebuah seminar, Menteri


Kesehatan RI, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih meminta
semua Rumah Sakit (RS) membuat pusat layanan publik, bukan
sekadar pusat informasi seperti yang ada selama ini. Ibu Menteri
menyadari bahwa tidak mungkin ada zero complaint dalam
setiap layanan rumah sakit karena standar orang berbeda-beda.
Adanya layanan publik di setiap rumah sakit bertujuan
mempercepat respons rumah sakit terhadap komplain pasien.
Seringkali kita disajikan berita tentang kasus malapraktik yang
melibatkan tenaga kesehatan, yang terjadi di berbagai rumah
sakit belakangan ini. Tidak sedikit masyarakat mengeluhkan
buruknya pelayanan dan manajemen rumah sakit tempatnya
dirawat. Beberapa diantaranya harus sampai pada proses
hukum yang melelahkan.
Hampir semua lini pelayanan tak luput dari terjangan
ketidakpuasan masyarakat, mulai dari penerimaan pertama
pasien di Unit Gawat Darurat atau Poliklinik umum, pelayanan
dokter dan asuhan perawatan, hingga pada masalah penebusan
biaya selama perawatan dan pelayanan pasien di rumah sakit.
Inilah realitas rumah sakit kita. Belitan dana dan relatif
longgarnya pengawasan terhadap operasionalisasi rumah sakit di
Indonesia, menyebabkan orientasi sebagian besar Rumah Sakit
hanya mencari keuntungan (laba) dari pasiennya. Kualitas
pelayanan, tak dapat dipungkiri, berbanding lurus dengan biaya
yang mesti dirogoh dari saku si sakit. Orientasi sosial rumah sakit
menjadi sulit ditemukan di tengah kompetisi ketat antar provider
(penyedia) pelayanan kesehatan saat ini. Munculnya klinik-klinik
swasta menjadi salah satu pemicu meredupnya praktik
perumahsakitan yang benar-benar berorientasi
“menyembuhkan” pasiennya. Karena faktor dana, sering kita
jumpai orang yang sakit terpaksa pulang sebelum benar-benar
sembuh, atau rumah sakit tidak sanggup lagi menutupi
kekurangan biaya perawatannya.
Banyak rumah sakit yang hanya dilengkapi dengan sarana
prasarana yang serba terbatas. Terkadang pasien harus antri
berlama-lama untuk menerima pelayanan di poliklinik RS akibat
sedikitnya jumlah dokter yang bertugas. Selain itu, RS kita juga
kerap masih bergelut pada “mental model” petugas kesehatan
yang jauh dari harapan pasien. Sikap yang ramah dan murah
senyum, ikhlas membantu pasien serta komunikasi yang
melegakan, masih merupakan barang langka dijumpai. Pada
sebagian RS milik pemerintah, untuk pelayanan rawat inap,
pasien dan pembesuk harus rela menikmati lingkungan RS yang
kotor dan nampak tidak terawat. Sampah di sana-sini tersebar
dikerubungi lalat dan tikus. Fasilitas tambahan seperti air bersih
dan kamar mandi kerap sangat terbatas dan cenderung kurang
diperhatikan kebersihan dan kesehatannya.Melihat fenomena
seperti ini bagaikan kita tidak berada dalam sebuah rumah sakit
saja, karena sesungguhnya RS harus dapat memperlihatkan dan
mengajarkan budaya hidup bersih dan sehat kepada setiap
orang yang berada di dalamnya.

Pelayanan Pasien
Rumah sakit didirikan sebagai sentral pelayanan kesehatan
terutama kuratif dan rehabilitatif bagi masyarakat disekitarnya.
Paradigma yang dikembangkan dalam tradisi seni pengobatan
menjadi karakteristik khas yang seharusnya ada pada setiap
aktivitas RS. Pasien adalah manusia yang setara kedudukannya
secara fitrawi dengan dokter dan paramedik lain, sehingga relasi
yang terbangun antar mereka mestinya bersifat humanis, bukan
eksploitatif. Dalam konteks relasi dokter-pasien ini, berbagai
ketimpangan dan ketidakpuasan selalu muncul dan dirasakan
oleh kedua belah pihak. Idealnya, dalam harapan banyak orang,
ketika masuk RS kita akan mendapat pengobatan dan perawatan
yang baik sehingga dapat segera sembuh dan sehat kembali. Jika
pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap
pasiennya tidak menunjukkan hasil memuaskan, maka pasien
dalam keawamannya sering berpikir bahwa pelayanan RS
tersebut tidak bagus. Kondisi negatif seperti ini semakin mudah
tersulut jika “kesan pertama” yang ditunjukkan oleh pihak
manajemen RS tidak berkenan di hati pasien yang baru masuk.
Padahal, yang diharapkan selain kesembuhan pasien pada
aktivitas di RS adalah kepuasan (satisfaction) yang dirasakan
oleh semua pihak selama proses pengobatan dan perawatan
berlangsung.
Dalam tradisi pengobatan, relasi dokter-pasien mesti
memungkinkan terjadinya komunikasi manusiawi yang
memberikan kesempatan kepada pasien agar lebih merdeka dan
leluasa mengungkapkan perjalanan penyakitnya. Hal ini sangat
dibutuhkan oleh seorang dokter agar dapat mendiagnosa
penyakit yang diderita pasiennya. Komunikasi pasien-dokter
hanya dapat berlangsung positif jika kondisi psikologis pasien
benar-benar merasa “nyaman”. Kenyamanan ketika masuk RS
inilah yang menjadi permasalahan saat ini.
Pada sisi lain bagi sebagian orang, masuk RS itu menjadi
pilihan terakhir jika penyakit yang diderita sudah tidak bisa
ditahan lagi. Mereka beranggapan akan sangat beresiko cepat-
cepat masuk RS. Selain karena biaya yang cukup mahal, juga
rentan dengan resiko terjadinya infeksi nosokomial (penularan
penyakit dari RS terhadap orang-orang yang beraktivitas di
dalamnya). Asumsi ini semakin diperparah jika masyarakat
pernah trauma atau mengalami pengalaman “tidak
mengenakkan” atas pelayanan petugas kesehatan yang
bertugas di RS tersebut. Banyak orang masuk RS ketika
penyakitnya sudah sangat parah. Akibatnya penyakit pasien sulit
disembuhkan dan tentunya biaya pengobatan/perawatan juga
ikut membengkak.
Dalam berbagai peraturan yang menjelaskan hubungan
pengobatan, hak-hak pasien dan hak-hak dokter/paramedik
relatif cukup jelas dan mudah dimengerti. Hanya saja, pasien
atau keluarga pasien yang masuk di RS cenderung tidak
memperhatikan hal ini atau memang tidak tahu sama sekali.
Untuk menyikapi hal ini, maka pihak RS melalui
dokter/paramedik yang merawat pasien mestinya memberikan
penjelasan dan penyadaran kepada pasien-pasiennya, terutama
menyangkut hak mereka atas informasi pra pengobatan dari
dokter (informed concent) dan kerahasiaan penyakit yang
mereka derita. Kenyataannya, meskipun UU Praktik Kedokteran
dan UU RS telah ditetapkan, berbagai indikasi pelanggaran atas
hak pasien masih juga mencuat ke permukaan. Artinya, pihak
RS, termasuk petugas kesehatan yang bekerja di dalamnya,
harus menyadari bahwa saat ini masyarakat kita perlahan
semakin sadar atas hak mereka mendapatkan “pengobatan yang
benar”. Karenanya, otoritas RS mesti giat memperbaiki
pelayanan dan “keramahan”nya terhadap pasien-pasien mereka.

Pemihakan Rumah Sakit


Tak bisa dipungkiri eksistensi sebuah RS sangat dipengaruhi oleh
sejauh mana menyeimbangkan pendapatan dengan
pengeluarannya. Tidak dibenarkan jika RS hanya mengejar
keuntungan semata tanpa memperhatikan aspek sosial
keberadaanya di masyarakat. Proporsi 30% tempat tidur untuk
kelas III di setiap RS di negara ini pada prinsipnya relatif masih
jauh dari memadai. Jumlah tersebut tidak akan menguras kas RS
dalam-dalam, karena sebagian RS saat ini telah bekerja sama
dengan pihak PT Askes untuk pelayanan JPS / Jamkesmas. Aspek
sosial RS sesungguhnya belum lunas terbayar hanya dengan
menyediakan tempat tidur kelas III untuk pasien miskin, tetapi
mesti diikuti dengan “kesungguhan” dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak diskriminatif.
Selain itu, pemerintah juga mesti menegaskan konsekuensi
pendirian RS agar selalu harus siap menerima masuknya pasien-
pasien gawat darurat yang “tidak mampu” meskipun tidak
dilengkapi dokumen surat keterangan miskin dari pemerintah.
Pelayanan medik di RS mestinya dilakukan dengan tidak
ada perbedaan antar pasien kelas III dengan pasien kelas
“tinggi” lainnya, seperti VVIP, VIP dan Kelas I. Yang seharusnya
membedakan antara kelas III dengan kelas “tinggi” lainnya
hanyalah faktor fasilitas tambahan dalam ruang perawatan,
seperti lemari pendingin, air conditioner, televisi dan kursi-meja
tamu. Dengan demikian, maka “nuansa manusiawi” dalam
pelayanan pasien benar-benar dapat dirasakan oleh mereka
yang sesungguhnya tidak pernah menghendaki jatuh sakit
hingga diopname di RS.

Kita mengharapkan RS yang belum mencapai “level


humanis” seperti yang kita harapkan di atas, dapat segera
membenahi manajemen dan menegaskan pemihakannya atas
pelayanan yang tidak diskriminitif terhadap semua pasiennya.
Kecuali itu, RS juga mesti secara proporsional menegakkan
aspek sosial pengobatan, ketimbang aspek bisnis kapitalisnya,
dengan mengutamakan pelayanan di atas urusan pembayaran
uang muka. Akhirnya, RS harus benar-benar memerankan
dirinya sebagai “rumah untuk menyembuhkan penyakit”, bukan
“rumah untuk tetap sakit” atau, “rumah untuk mendapatkan
penyakit baru”.
Salah satu budaya kerja positif pada sebuah rumah sakit
yang mungkin harus kita renungi dan perhatikan mengatakan
bahwa keluhan pasien (complain) adalah suatu pemberian /
hadiah yang harus diterima dengan tulus (complain is a
give) .......

*) Karyawan RSUD Ratu Zalecha Martapura


Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan Kesehatan ”Karya Husada”

You might also like