You are on page 1of 123

TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003

(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :
ADE SUNARDI
NPM : 106010175

Pembimbing :
1. H. Daman Pribadi, Drs. M.Ag.
2. Waluyadi, SH., MH.

FALKUTAS HUKUM
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON 2010
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003

(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)

Cirebon, Juni 2010

Disetujui Untuk Diajukan ke Muka Sidang


Sarajana Lengkap Fakultas Hukum Unswagati
Cirebon

Mengetahui :

Dekan Pembantu Dekan I


Fakultas Hukum Unswagati Fakultas Hukum Unswagati
Selaku Ketua Panitia Ujian Selaku Sekretaris Panitia Ujian

H. NENDAR DARKONI, SH., MH. Hj. HASTUTI. KL, SH., MM. MH.
TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003

(STUDY TERHADAP DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN)

Mengetahui :

Pembimbing I Pembimbing II

H. DAWAM PRIBADI, Drs. M.Ag. WALUYADI, SH., MH.

Kepala Bagian Hukum Publik


Fakultas Hukum
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

MOH. SIGIT GUNAWAN, SH., MKn.


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepa Allah SWT, yang telah melimpahkan

segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan judul : “TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 (STUDY TERHADAP

DEFINISI, MATERI DAN PENYELESAIAN) “.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan-kekurangan, baik dilihat dari cara menyajikan data maupun

dalam menganalisanya, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi

perbaikan penulisan selanjutnya, namun penulis tetap berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua

pembaca.

Perwujudan skripsi ini adalah berkat bantuan, pembimbing, petunjuk serta

saran dari berbagai pihak yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu pada

kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Unswagati Cirebon, Bapak Dr. H. Djakaria Machmud, SE, SH., M.Si

2. Dekan Fakultas Hukum Unswagati Cirebon, Bapak H. Nendar Darkani, SH.

MH.

3. Pembantu Dekan I Fakultas Unswagati Cirebon, Ibu Hj. Hastuti KL, SH. MM.

MH.

4. Bapak Moh. Sigit Gunawan, SH. MKn. selaku Kepala Bagian Hukum Publik.

iv
5. Bapak Drs. H. Dawam Pribadi, M.Ag. selaku pembimbing satu, yang telah

banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Waluyadi, SH., MH., selaku pembimbing dua, yang telah banyak

memberikan arahan, petunjuk serta semangat dalam menyelesaikan

penyusunan skripsi ini.

7. Para dosen di Fakultas Hukum Unswagati Cirebon, yang telah membimbing

dan mengarahkan penulis selama perkuliahan.

8. Segenap karyawan dan seluruh staff Tata Usaha Fakultas Hukum Unswagati

Cirebon yang telah banyak membantu penulis.

9. Segenap teman-teman kampus yang telah sama-sama saling mendukung dan

membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Kesempurnaan hanya milik Allah dan tidak ada manusia yang sempurna,

begitu juga dengan penyusunan skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak

penempatan dan penyusunan kata yang salah, untuk itu kami mohon maaf yang

sebesar-besarnya.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing dan

memberikan dorongan baik secara moril maupun materiil, penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa membalasnya

dengan berlipat ganda.

Cirebon, Juni 2010

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

ABSTRAK ...................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 9
C. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 10
D. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 10
E. Metode Penelitian ................................................................................ 17
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 18

BAB II TERORISME DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Sejarah Terorisme ................................................................................ 21


B. Pengertian Terorisme ........................................................................... 24
C. Tipologi Terorisme dan Awal Timbulnya Terorisme .......................... 30
D. Ciri-ciri Hukum Islam dan Perspektif Hukum Islam Terhadap
Terorisme ............................................................................................. 35

BAB III TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG


NOMOR 15 TAHUN 2003

A. Latar Belakang Munculnya Undang-undang Nomor 15


Tahun 2003 .......................................................................................... 40

B. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia............. 62


C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam................................ 68
D. Unsur-unsur Dari Tindak Pidana Terorisme ........................................ 73

iv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ........................................................................ 83
B. Materi Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ......................................................................... 89
C. Penyelesaian Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ............................................. 97

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 104


B. Saran ...................................................................................................... 106

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 108

iv
ABSTRAK

Tindak pidana terorisme yang timbul pada saat ini diakibatkan oleh tiga
hal yaitu, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan. Ketiga faktor ini
merupakan persoalan yang cukup mendasar dalam teriadinya suatu tindak pidana
terorisme, apalagi pada saat ini terorisme identik dengan Islam. Para teroris
mengatasnamakan jihad sebagai dasar mereka melakukan tindak pidana terorisme,
yang sebenarnya mereka telah melakukan kekeliruan dalam mengartikan makna
dari pada jihad itu sendiri. Sementara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menganggap bahwa
terorisme itu merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat membahayakan
serta menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara, dengan menimbulkan
suasana teror dan rasa takut serta menimbulkan korban yang bersifat masal. Untuk
itu penulis ingin mengetahui bagaiman cara pandang hukum Islam mengenai
tindak pidana terorisme yang teriadi sekarang ini, serta bagaiman cara
penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme menurut hukum Islam dan
menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, serta hal-hal apa saja yang
menjadi hambatan dalam proses pemberantasan tindak pidana terorisme baik
menurut hukum Islam maupun menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Adapun metode yang digunakan penulis adalah, metode deskriptif analitis
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang bertujuan
menggambarkan fakta-fakta dari beberapa data yang diperoleh, dengan kegiatan
mengumpulkan data sekunder tentang objek penelitian yang diperoleh dari hasil
penelitian yang kemudian dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Permasalahan yang dihadapi oleh hukum Islam dalam pemberantasan
tindak pidana terorisme adalah, adanya salah mengartikan makna jihad oleh kaum
muslim itu sendiri, dan Al-Quran yang merupakan sumber agama islam jelas
sangat menentang terhadap aksi terorisme. Sedangkan menurut Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 masih adanya beberapa pasal yang terdapat dalam
Undang-undang tersebut yang seharusnya diganti, karena menimbulkan
kerancuan. Adapun proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme
menurut hukum Islam yaitu dengan menciptakan rasa cinta damai, kasih sayang,
toleransi, serta adanya dialog antar umat beragama untuk tidak mengsalah artikan
makna dari jihad itu sendiri dalam setiap pelaksanaanya. Sedangkan menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 kita harus menegakkan supermasi hukum
yang berlaku di negara Indonesia, sehingga tindak pidana terorisme dapat
dihapuskan di negara Indonesia.

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 serta peristiwa lain yang

mengikuti termasuk peristiwa Bali 12 Oktober 2002 memunculkan berbagai

pertanyaan pelik yang belum memperoleh jawaban tuntas. Usaha berbagai pihak

untuk memahami akar persoalan (root causes) dan terorisme umumnya

menyimpulkan bahwa persoalan seperti kemiskinan (poverty), ketidakadilan

(injustice) dan kesenjangan (inequality) merupakan persoalan paling mendasar

yang harus diselesaikan terlebih dahulu untuk memerangi terorisme.1

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai

sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Indonesia tidak memiliki identitas budaya

yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan

keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki

kualitas produksi budaya yang luar biasa.

Pada dasarnya, multikulturalisme sendiri menghendaki adanya persatuan

dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial polltik yang

sama dalam masyarakat modern.2 Hal ini berbeda dengan monokulturalisme yang

lebih menghendaki kepada adanya kesatuan, yang cenderung homogen, bukan

1
Philips J Vermonte, Terorisme Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003,
hlm.25.
2
www.lebahmuda.multiply.com/journal/multi-culture

1
2

persatuan yang menjadi cermin dari harmonisasi dalam pluralitas. Sila ketiga

Pacasila, "Persatuan Indonesia", adalah jawaban sebenarnya atas persoalan 'pelik'

mengenai kebudayaan Indonesia.

Dalam hal ini, terorisme bisa dibaca sebagai bagian artikulasi benturan

antar peradaban sehingga perlu diadakan dialog peradaban.3 Hanya saja, bila

kemudian ditarik garis lurus dalam Barat dan Islam, adalah sebuah kekeliruan

mendasar. Sebab, Barat tidak tunggal, Islam juga tidak tunggal. Salah satu

buktinya adalah kasus invasi Amerika Serikat ke Irak, justru negara yang paling

keras menentang invasi itu adalah Jerman, Perancis, dan Rusia yang Barat.

Sebaliknya, tidak semua negara Arab membela Irak dari invasi Amerika Serikat,

seperti Kuwait yang membela Amerika Serikat.

Dalam tingkat lebih khusus, harus dibaca, bila memang terjadi benturan,

ada dalam konteks kebijakan-kebijakan Amerika Serikat dengan umumnya

kalangan Muslim. Meski umumnya dibayangkan oleh kalangan Muslim ada

benturan, tetapi tidak semua kalangan Islam melakukan aksi terorisme untuk

melawannya. Dari sinilah poin yang menunjukkan pemahaman yang harus

didialogkan antara umat Islam dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Dengan

catatan, yang melakukan terorisme dari mereka yang merasa ada benturan dibenak

umum umat Islam, hanya sebagian kecil Muslim. Dalam hal ini, penting

mengetahui "pembayangan perasaan" umat Islam atas Amerika Serikat dan

sekutunya, sebagai kelompok besar yang di dalamnya ada kelompok kecil yang

melakukan terorisme, sebagai pihak yang dianggap melakukan teror.

3
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/01/opini/521035.htm
3

"Pembayangan perasaan" di kalangan umat Islam, yang lalu dipandang ada

ganjalan dalam benak mereka dengan Amerika Serikat dan sekutunya, sebenarnya

bukan hal baru. Tetapi ini sering dilupakan.

Pertama, ada perasaan ketidakadilan perlakuan Amerika Serikat atas umat

Islam dalam kasus Afganistan-Irak, dibanding sikap Amerika Serikat atas Israel-

Palestina. Tentu saja ini persoalan tidak baru, tetapi justru di sinilah persoalan

sebenarnya yang ada dalam benak umat Islam, yang tidak pemah ditanggapi

secara serius.

Kebanyakan umat Islam melihat, kebijakan Amerika Serikat atas Israel

yang sudah bertahun-tahun tidak berobah. Sebaliknya, saat Irak dan Afganistan

yang melakukan kesalahan misalnya, bukan hanya dicarikan solusi damai, tetapi

dibombardir. Tentu saja, ada imajinasi di kalangan umat Islam, negara Amerika

Serikat dan sekutunya yang kuat ini, tengah melakukan politik diskriminasi.

Kedua, ada perasaan di kalangan umat Islam sebagai negara-negara

terbelakang yang tidak memiliki posisi menentukan dalam percaturan dunia. Di

satu sisi, ini disebabkan keadaan umat Islam sendiri yang lemah meski umumnya

memiliki geografis dan wilayah yang strategis dan subur. Di sisi lain, ada negara-

negara besar secara ekonomi dan politik (meski wilayahnya amat kecil seperti

Inggris) yang mampu menentukan peta politik-ekonomi dunia. Dalam hal ini,

Amerika Serikat dan sekutunya dibayangkan sebagai negara kuat, tetapi sama

sekali tidak memberi rangsangan positif bagi kemajuan negara-aegara terbelakang

Muslim. Alih-alih memberi kebijakan simpatinya, yaag dilakukan adalah

mendikte badan-badan dunia, seperti PBB, IMF, dan seterusnya untuk


4

memaksakan kehendak.

Dua hal itu adalah masalah-masalah mendasar yang menjadi ganjalan

hubungan kalangan Islam dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Sebagian

kalangan Islam, menyikapi hal itu dengan antusias untuk belajar dari apa yang

besar di Amerika Serikat dan sekutunya, seperti rasionalitas, demokrasi, hak asasi

manusia, pembebasan perempuan, dan seterusnya. Untuk mengejar

ketertinggalannya, sembari tetap menahan kekecewaannya atas sikap Amerika

Serikat dalam kasus Palestina. Sebagian Muslim lain, yang tidak puas dengan

sikap moderat ini, menciptakan ideologi fundamentalis untuk mengejar

ketertinggalan (sembari tetap kecewa dengan sikap Amerika Serikat atas

Palestina) dan solidaritas atas Palestina, di antara sempalannya adalah ketompok

Muslim teroris.

Saat ini, himbauan untuk melakukan dialog antar peradaban nampaknya

masih tetap relevan. Bahkan akan terus relevan selama umat manusia hidup dalam

perbedaan. Namun, seruan tersebut harus lebih disederhanakan pada isu-isu yang

lebih spesifik dan nyata. Pesan dialog antar peradaban mungkin akan lebih

bermakna bila dipersempit lagi pada isu dialog antar budaya. Dialog antar

peradaban, mungkin terdengar agak "general" dan tidak memiliki fokus.

Sedangkan dialog antar budaya jelas sangat terfokus baik isu maupun result atau

hasil yang ingin dicapainya. Budaya merupakan inti dari peradaban, atau dengan

kata lain peradaban adalah cerminan dari suatu budaya. Bila kita menyebut

peradaban barat misalnya maka pikiran kita akan langsung terasosiasi dengan

bentuk kebudayaan barat.


5

Begitupun dengan peradaban-peradaban lainnya. Adapun yang

mempengaruhi budaya secara dominan adalah agama yang hidup di dalamnya.

Dialog antar budaya, dengan demikian, menjadi sangat penting untuk bisa

membangun kesepahaman.

Lebih jauh, fenomena globalisasi juga disebut sebagai faktor pemicu

terorisme alasannya adalah karena globalisasi diyakini ikut menjadi faktor

signifikan dalam teriadinya kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan global.

Menurut Philips J Vermonte:4

"Selain itu, kedua peristiwa tersebut pun menunjukan


sebuah dimensi baru yang dikembangkan kelompok-
kelompok teroris dimana aktivitasnya menjadi
sedemikian rupa sehingga menjadi bersifat lintas batas
dan lintas kewarganegaraan (transnasional)".

Walaupun demikian, teknologi lama dan sederhana, sebagaimana terlihat

dalam aksi peledakan born di tempat ibadah, tempat perbelanjaan di wilayah

Indonesia, atau aksi teror yang pernah terjadi di Filipina Selatan misalnya, Pada

1972, Front Pembebasan Nasional Moro mengangkat senjata, memperjuangkan

hak-hak tanah mereka. Pertempuran berdarah itu terjadi selama 30 tahun.

Akibatnya ratusan ribu orang tewas dan yang lainnya kehilangan tempat tinggal

mereka.

Baru pada 1992, sebuah kesepakatan damai ditandatangi untuk daerah

otonomi warga Moro. Kemudian berkembang menjadi wilayah Islam Mindanao

atau ARMM di kepulauan Sulu. Pembentukan wilayah itu bertujuan untuk

pembangunan dan penentuan nasib sendiri warga Islam di sana. Namun, semua

pihak yakin hal itu gagal total. Bahkan para pemimpin Moro mengatakan mereka

4
Ibid,hlm.25-26
6

ditipu dan Manila tidak memenuhi janjinya. Di Basilan, Maya Ali, kepala kantor

teknologi dan pembangunan lokal menilai gagasan otonomi itu sebuah lelucon.

Walaupun dengan tekonologi lama dan sederhana, tetapi hal tersebut tetap

dimaksimalkan pemanfaatan oleh kelompok-kelompok yang melakukannya.

Singkatnya, ruang dan peluang yang dimiliki oleh kelompok teroris untuk

menjalankan aksinya semakin meluas. Hal ini menjadikan terorisme sebagai

sebuah ancaman serius karena relatif sulit menentukan kapan dan dimana

kelompok teroris akan melakukan aksinya.

Selanjutnya menurut Philips J Vermonte mengatakan:5

"Alasan kedua adalah tindak pidana terorisme berlaku


indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait
langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai aksi
teror yang dilakukan dan juga pada instansi negara yang
dipandang sebagai target yang sah dalam pemahaman
konvensional atas konsepsi perang.
Alasan ketiga adalah kelompok-kelompok teroris tidak lagi
bergerak dalam situasi isolasi dimana fakta-fakta
menunjukan bahwa saat ini terorisme sulit dipisahkan dan
berkembangnya organisasi kejahatan transnasional
terorganisasi (transnational organized crime). "

Globalisasi sering dianggap sebagai penyebab meluasnya fenomena

transnational organized crime ini. Globalisasi jelas mendorong meluasnya modul

bisnis legal yang melintas batas negara, namun pada saat yang sama ia juga

memberi peluang pada meluasnya bisnis illegal karena kemudahan yang

ditawarkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi, utamanya teknologi komunikasi

dan transportasi.

5
Ibid., hlm. 26
7

Akibatnya konsumerisme dan komersialisme Barat yang dicitrakan

melalui gaya hidup dan kemakmuran yang ditrasnfer melalui citra televisi, internet

dan lain-lain, mendorong orang untuk mendapatkannya dengan cara mudah yakni

melalui bisnis-bisnis illegal, yang sering disebut sebagai kelompok black dollar,

yang jumlahnya meningkat pesat di berbagai tempat di dunia.

Terorisme sebenarnya telah menjadi perdebatan publik internasional pasca

terjadinya tragedi World Trade Center dan menimbulkan perbedaan dalam

pemaknaannya. Perbedaan pemaknaan ini cenderung lebih disebabkan karena

adanya perbedaan kepentingan dari berbagai negara tersebut.

Menurut Indriyanto Seno Aji, hal ini terjadi karena adanya dua paradigma

yang berbeda dalam memahami istilah terorisme.

"Pertama adalah pengertian awal terorisme yang


dikategorikan sebagai perbuatan atau tindak pidana yang
dijatuhkan terhadap negara atau crimes against state.
Kedua adalah definisi terorisme yang diperluas menjadi
crimes against humanity, yang meliputi tindak pidana untuk
menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu,
golongan dan masyarakat umum dalam suasana teror dan
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil." 6

Penerapan standar ganda Barat dalam upaya memerangi aksi-aksi

terorisme saat ini justru menimbulkan ketidakpuasan berbagai pihak yang tidak

menutup kemungkinan akan melahirkan aksi-aksi teroris lain di masa datang

sebagai akibat tersumbatnya jalan damai dalam mengatasi berbagai perbedaan

pandangan. Upaya perang terhadap terorisme yang dilakukan Barat sebenarnya

tidak menyentuh kepada akar penyebab timbulnya aksi terorisme. Apalagi pelaku

teroris dewasa ini cenderung identik dengan identitas muslim yang terjadi pada

6
Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan Ham, Kompas, Selasa, 29 Oktober 2001,
hlm. 4.
8

pelaku teror Born Ball ataupun World Trade Center. Namun sebenarnya ada sisi

menarik dari para pelaku teror tersebut terutama untuk kasus Bom Bali.

Mereka melakukan teror tersebut atas dasar jihad untuk melawan

ketidakadilan yang umat Islam rasakan terutama dari dunia Barat. Hal ini perlu

segera diklarifikasi agar pelaku teror yang mengatasnamakan agama tersebut

sebenarnya telah melakukan kekeliruan di dalam menerapkan konsep jihad

sehingga anggapan islam sebagai agama yang penuh kekerasan dapat dibantah

dengan tegas, padahal kita semua sepakat bahwa islam merupakan agama yang

membawa rahmat bagi segenap manusia yang tercermin dari qjarannya yang

penuh akan nilai-nilai keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia,

masalah utama penyebab terjadinya aksi terorisme ialah masalah keadilan.

Dalam prinsip dasar ajaran Islam pelaksanaan keadilan tidak boleh berat

sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial, kekayaan, kelas, ras, pengaruh

politik ataupun keyakinan agama. Namun demikian ketidakadilan inilah yang

sesungguhnya membuat seseorang atau kelompok dapat diposisikan sebagai

terorisme oleh orang atau kelompok lain seperti yang telah dituduhkan oleh

Amerika Serikat kepada jaringan AL Qaeda, Jamaah Islamiyah atau pun Iraq.

Penafsiran yang kabur tentang ketidakadilan pada akhirnya menimbulkan saling

mengklaim bahwa dirinya yang paling benar dan orang lainlah yang bersalah

sehingga mereka punya alasan melakukan tindakan terhadap orang lain. Karena

merasa paling benar maka kebenaran tersebut dijadikan parameter untuk menilai

orang lain yang belum tentu benar menurut pandangan yang lain. Kesalahan

penggunaan parameter ini diakibatkan tersumbatnya saluran komunikasi, sehingga


9

penyesuaian pemikiran dan pemahaman masing-masing agar tercipta saling

menghargai dan toleransi yang tidak terjadi.

M. Abdul Gani mengutip AL-QUR'AN:

"Islam mengajarkan melalui AL QUR'AN bahwa


melaksanakan keadilan (hukum) merupakan bentuk
ketakwaan terhadap ALLAH (QS, 5:8; 4: 135) sehingga
orang adil dalam pandangan Islam memiliki posisi mulia
dihadapan ALLAH."7

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan terorisme

itu merupakan suatu kejahatan yang bersifat global dan dampaknya dapat

merugikan kepentingan umat manusia, demikian juga tindak pidana terorisme itu

sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, karena

kadang perbuatan terorisme itu mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk

melakukan tindak pidana terorisme.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah pengertian terorisme menurut Hukum Islam dan Undang-

Undang No15 Tahun 2003?

2. Bagaimanakah materi terorisme menurut Hukum Islam dan Undang-

Undang No15 Tahun 2003?

3. Bagaimanakah penyelesaian terorisme menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang No15 Tahun 2003?

7
M.Abdul Gani, Jurnal Ilmu Hukum, LITIGASI, Fak. Hukum Unpas Volume 4, Nomor 1
Februari 2003, hlm. 83-84
10

C. Kegunaan Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, maka diharapkan akan diperoleh

kegunaan penelitian, baik secara teoritis maupun praktis.

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penulisan hukum dalam bentuk skripsi ini secara

ilmiah dapat memberikan konstribusi bagi perkembangan ilmu hukum

pada umumnya, dan secara khusus tentang bagaimana perspektif hukum

Islam dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 untuk menyingkapi

masalah terorisme.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat penegak

hukum dalam melaksanakan tugasnya agar dapat diterima oleh masyarakat

luas, khususnya dalam menuntaskan kasus-kasus yang berhubungan

dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.

D. Kerangka Pemikiran

Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila, tindak pidana terorisme itu

sangat bertentangan dengan Pancasila khususnya sila ke 2 yaitu kemanusiaan

yang adil dan beradab, karena didalam sila ke 2 memuat mengenai masalah:8

a. Butir ke 5 mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap

orang lain;

b. Butir 6 menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

8
Pancasila, Fokusmedia, Jakarta, hlm. 40.
11

Tindak pidana terorisme juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar

1945.

Hak Asasi Manusia yang dilanggar oleh para teroris didalam Undang-

undang Dasar 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 28 G ayat (1).

"Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,


keluarga, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."9

Demikian juga pasal 28 I ayat (2).

"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat


diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
10
diskriminatif."

Selama ini yang menjadi sasaran para teroris di Indonesia ialah kaum

minoritas dan itu sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam

melakukan aksinya di Indonesia para teroris sering mengatasnamakan agama

sebagai alasan mereka melakukan teror, dalam aksinya itu para teroris memakai

alasan jihad sebagai landasan dasar mereka dalam melakukan perbuatan

terorisme. dalam hukum Islam jihad itu diatur dalam AL QUR'AN. Seperti yang

dikemukakan Mochtar Naim dalam bukunya Kompendium Himpunan Ayat-ayat

AL-QUR'AN yang berkaitan dengan HUKUM.11

"Perangilah di jalan ALLAH orang-orang yang


memerangi kamu, tetapi jangan melampau batas.
Sesungguhnya ALLAH tidak suka kepada orang-orang
yang melampaui batas (Q.S: 2 ayat 190)."

9
Undang-Undang Dasar 1945 Dan Amandemennya, Fokusmedia, hlm. 26.
10
Ibid,hlm. 27.
11
Moctar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-ayat AL-QUR’AN yang berkaitan dengan
HUKUM, HASANAH, Jakarta, 2001.
12

"Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang


munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka (Q.S: 9
ayat 73-74)."
"orang-orang yang gugur pada jalan ALLAH akan masuk
surga (Q.S: 47 ayat 4-6)."

Menurut Hamka mengemukakan bahwa:12

"Maksudnya diizinkan berperang untuk mempertahankan


diri, kalau pihak lawan yang memulai menyerang. Apalagi
dalam masalah ibadah atau mempertahankan keyakinan
aqidah, karena hidup seorang muslim adalah dengan niat
menegakkan jalan Allah".

Selanjutnya menurut Hamka mengemukakan bahwa:13

"Maksudnya Jihad artinya berjuang bersungguh-sungguh


atau bekerja keras pada jalan Allah. Di dalam ayat ini
Rasul disuruh berjihad kepada kafir dan munafik. Dengan
ini sudah nyata bahwa kedudukan munafik sudah
disamakan dengan kafir. Tingkah laku mereka adalah
menentang Rasul dari dalam. Sedang orang kafir sudah
nyata dari luar atau menentang secara terbuka. Hendaklah
mereka itu dijihadi. Dilawan, dihadapi dan ditangkis
tantangan mereka dengan berbagai cara. Satu diantaranya
hendaklah bersikap keras atau gagah kepada mereka,
artinya jangan mereka diberi hati".

Hamka mengemukakan bahwa:14

"Maksud arti dalam ayat ini apabila jihad itu dilaksanakan


dengan sungguh-sungguh maka jaminanya ialah surga,
tetapi kenyataanya para teroris melakukan jihad secara
salah caranya yaitu dengan banyak mengorbankan
manusia yang tak berdosa dan itu menyalahi maksud
dalam pandangan agama juga tujuan jihad yang selama ini
dikobarkan para terons itu sangat tidak sesuai dengan
ajaran agama sesunguhnya".

12
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu X, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986, hlm. 118.
13
Ibid.
14
Ibid.
13

Dalam hal ini Islam membolehkan untuk berperang untuk

mempertahankan diri dari musuh yang mulai menyerang, pada saat ini umat Islam

selalu disudutkan dan dipojokan oleh penerapan standar barat yang selalu

menuduh bahwa umat Islam itu sebagai teroris. Oleh karena itu selalu

diperlakukan tidak adil, sehingga timbulah perlawanan-perlawanan dari

segolongan kelompok yang ingin menuntut ketidakadilan tersebut, maka timbulah

bentuk perlawanan seperti peledakan Bom bunuh diri, dan lain-lain.

Dalam Islam diperbolehkan berperang untuk mempertahankan diri, untuk

membela agama dan aqidah yang diyakini, seperti di Palestina dan Libanon, tetapi

jangan melampaui batas, dalam Islam boleh beperang tetapi jangan sampai

membunuh rakyat sipil yang tidak berdosa seperti orang tua, jompo, dan juga

anak-anak, apabila musuh sudah menyerah itu jangan sampai dibunuh. Jelas

bahwa Islam sangat mulia dan adil terhadap sesama manusia, tetapi pada saat ini

ada sebagian kelompok yang mengatasnamakan jihad dalam perjuangannya untuk

menuntut ketidakadilan.

Dalam Islam memang dikenal adannya jihad yaitu bersungguh-sungguh

berjuang di jalan Allah untuk memerangi orang kafir. Pada saat ini umat Islam

teraniaya oleh kebijakan dari barat seperti terjadi di Palestina dan Libanon dalam

hal ini jihad dibolehkan untuk mempertahankan diri dan aqidah, jihad menurut

Rosul kalau di lakukan dengan sunguh-sungguh akan mendapat jaminan surga.

Pada saat ini banyak orang yang mengatasnamakan jihad tetapi pada

pelaksanaannya bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri, karena mereka

belum mengerti arti sebenarnya dari jihad itu apa.


14

Jadi arti perang (jihad) yang dimaksud para teroris itu tidak sesuai dengan

yang ada pada penjelasan ayat-ayat di atas, mereka melakukan tindakan

perangnya (jihad) dengan cara yang menyimpang, misalnya dengan cara bom

bunuh diri yang mengakibatkan banyaknya korban yang terbunuh.

Din Syamsudin berpendapat:

"Bom bunuh diri itu amat sangat bertentangan dengan


islam dan hukumnya haram. Bom bunuh diri adalah
tindakan putus asa yang jelas-jelas bertentangan dengan
AL QUR'AN, itu merupakan faham yang salah karena hal
itu tidak terdapat atau tercantum di dalam AL QUR'AN
dan Hadits. Kalau mereka menggunakan ayat-ayat AL
QUR'AN, itu semata-mata karena kesalahpahaman atau
ayat yang terpotong-potong."15

Ahmad Bagja juga berpendapat:

"Para teroris yang menggunakan ajaran Islam sebagai


landasan pembenaran tindakannya itu sesungguhnya
belum lagi selesai belajar soal Islam. Pemahamannya baru
setengah-setengah. Bom bunuh din itu tidak dapat
dikategorikan sebagai mati sahid atau jihad dalam rangka
untuk membela agama itu perbuatan haram."16

Tindakan para teroris yang banyak membunuh orang itu bertentangan

dengan ajaran Islam sendiri karena dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan

membunuh. Di dalam kitab jinayah dalam hukum pidana islam dijelaskan

mengenai sanksi bagi tindak pidana pembunuhan, membunuh orang adalah dosa

besar.

Pembunuhan yang dilakukan oleh para teroris ialah betul-betul disengaja

yaitu dilakukan dengan cara orang yang akan dibunuhnya dengan

mempergunakan suatu senjata (Bom) yang dapat digunakan untuk membunuh

orang. Hukum ini wajib di Qisas, berarti dia wajib dibunuh pula, kecuali apabila

15
Din Syamsudin, dalam bukunya, HD Haryo Sasongko, Terorisme, Dialog, dan
Toleransi, Pustaka Grafiksi, Jakarta, 2006, hlm. 10.
16
Ibid.
15

dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau

dimaafkan sama sekali.

Setelah menjelaskan hal-hal di atas mengenai tindak pidana terorisme yang

telah banyak melanggar nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai-nilai agama maka

dapat diketahui bahwa perbuatan terorisme itu tidak diperbolehkan dalam ajaran

agama Islam.

Menurut pandangan As'ad Sahamrani hukum Islam (dari organisasi Fiqih

dan ilmiah di Al Azhar) terorisme itu adalah:

"Terorisme adalah tindakan menimbulkan rasa takut


terhadap keamanan masyarakat, mengganggu kepentingan
umum, memusnahkan harta, mengganggu kebebasan
dan kemanusiaan karena ingin membuat kerusakan di
Bumi. perang dalam syariat islam tidak boleh dilakukan
kecuali karena faktor darurat yang terjadi pada dua kondisi
berikut. Pertama, membela Negara dari penjajahan dan
perampasan kekayaan Negara. Kedua, perang melawan
upaya-upaya merusak keyakinan kaum muslimin."17

Sangat jelas sekali perbuatan terorisme itu bertentangan dengan nilai-nilai

yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia, karena dalam prakteknya perbuatan

terorisme itu banyak membunuh ribuan manusia dan perbuatan itu telah

melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

pemberantasan tindak pidana terorisme. Bahwa yang dimaksud tindak pidana

terorisme menurut peraturan perundang-undangan yang ditulis tim Perum

Negotirto:

17
As’ad As Sahamrani penerjemah Erwin Yuandani, Menyingkapi Terorisme Dunia, Era
Intermedia, Solo, 2005, hlm. 13-14.
16

"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan


kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek-objek vital yang srategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
Internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."18

Dari sini dapat dijelaskan bahwa tindak pidana terorisme itu merupakan

suatu kejahatan yang banyak mengorbankan umat manusia, tindak pidana

terorisme merupakan kejahatan yang paling berbahaya dalam abad ini, karena

tindak pidana terorisme saat ini memakai teknologi tinggi dan berimplikasi sosial,

budaya, politik, dan agama. Paradigma tentang kejahatan abad 21 bertemakan

nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, keadilan dan HAM.

Terorisme merupakan suatu kejahatan yang melanggar nilai-nilai

kemanusiaan, keadilan dan HAM, oleh karena itu tindak pidana terorisme sangat

dimusuhi oleh setiap umat manusia. Tindak pidana terorisme merupakan tindak

pidana intemasional yang mempunyai dampak global dan salah satu kejahatan

yang memenuhi kriteria sebagai kejahatan Hostis Humanis Generis (kejahatan

umat manusia). Perluasan konsep kejahatan Internasional dapat menempatkan

kejahatan terorisme sebagai salah satu kejahatan Internasional dan terhadap

kejahatan terorisme dapat diberlakukan asas au dedere aupunere.

18
Perum negotirto, Kumpulan Peratuan Perundangan Anti Terorisme, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2006, hlm. 15.
17

Asas dikemukakan oleh Hugo Grotius, yaitu:

"Terhadap pelaku tindak pidana Internasional dapat di


pidana oleh negara tempat Locus delicti terjadi dalam
batas teritorial negara tersebut atau diserahkan atau di
ekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi
untuk mengadili pelaku tersebut."19

Bassioumjuga mengungkapkan asas au dedere aujudicare yaitu:

"Setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan


mengadili pelaku tindak pidana Internasional dan
berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan negara
lain didalam menangkap, menahan dan menuntut, serta
mengadili pelaku untuk tindak pidana Internasional."20

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini difokuskan pada masalah pokok terorisme dalam

perspekif hukum islam dan Undang-Undang No.15 Tahun 2003. Study

terhadap definisi, materi dan penyelesaian.

Berangkat dari fokus penelitian diatas, maka pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan penelitian hukum normatif atau disebut juga

penelitian hukum doktrinal atau disebut juga penelitian kepustakaan yaitu

penelitian hukum yang menggunakan data sekunder (data yang sudah

tertulis).

19
Hugo Grotius, dalam bukunya, Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana
Internasional, refika ADITAMA, Bandung, 2000, hlm. 14.
20
Ibid.
18

2. Sumber dan Jenis Data

Berpedoman dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif atau penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum

kepustakaan maka data yang digunakan berupa data sekunder yang

meliputi :

1) Al-Qur’an

2) Buku-buku

3) Undang-Undang

4) Sumber Lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara study

kepustakaan.

4. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan analisis

normatif kualitatif untuk memperoleh gambaran definisi, materi dan

penyelesaian tindak pidana terorisme.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman skripsi ini, maka

penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Skripsi ini dimulai dengan Pendahuluan yang menguraikan

mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Kegunaan


19

Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika

penulisan.

Bab II TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Bab ini akan membahas mengenai apa itu tindakan terorisme dan

mengapa sampai terjadi tindak pidana terorisme. Pandangan Islam

tentang terorisme yang menyatakan terorisme itu tidak dibenarkan

dalam Islam dan merupakan tindakan yang salah. Bahwa dalam aksi

terorisme yang terjadi di Indonesia yang didasarkan atas hukum

Islam adalah suatu pandangan yang salah, karena dalam hukum

Islam sendiri tidak dibenarkan untuk melakukan aksi terorisme.

Bab III TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

NO.15 TAHUN 2003. Dalam bab ini akan dibahas mengenai

peristiwa-peristiwa tentang peledakan bom di Indonesia terutama

membahas tentang peledakan bom di Bali, serta membahas

mengenai pengertian dan unsur-unsur dari tindak pidana terorisme.

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGERTIAN,

MATERI DAN PENYELESAIAN TINDAK PIDANA

TERORISME. Bab ini akan membahas mengenai permasalahan –

permasalahan tindak pidana terorisme dalam perspektif hukum

Islam, serta permasalahan-permasalahan terorisme menurut Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003, serta dalam hal terjadinya hambatan-

hambatan dalam proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana

terorisme, seperti kurang efisiennya Undang-undang Nomor 15


20

Tahun 2003, karena dalam Undang-undang tersebut masih terdapat

banyak kerancuan. Selain itu dibahas pula mengenai upaya

penyelesaian atau solusi agar terorisme bisa diatasi misalnyadengan

menciptakan rasa cinta damai, dialog, toleransi antar masyarakat dan

antar umat beragama serta dengan menegakkan hukum dengan

sebaik-baiknya.

Bab V PENUTUP

Pada Bab ini akan membahas mengenai latar belakang mengapa

teriadi suatu tindak pidana terorisme, kemudian bagaimana

pandangan hukum Islam dan pandangan Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta

bagaimana solusi agar tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme

dimasa yang akan datang.


BAB II

TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Sejarah Terorisme

Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau,

ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman

yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula

dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah

menjadi pembunuhan, baik

yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap

penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah

dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada

sejarah Terorisme modern.21

Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18,

namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant

Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme

sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak

paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan

Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem

rezim teror.22

Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis Ie terreur yang

semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi


21
Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id.
22
Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorisme Global, http://www.polarhome.com, 17
November 2002
Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan

dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan

anti pemerintah. Selanjutnya kata

21
Loudewijk F. Paulus, Terorisme, http://buletinlitbang.dephan.go.id.
22
Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorisme Global, http://www.polarhome.com, 17
November 2002
23

Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di

Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut

tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.23

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang teriadinya Perang

Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia. 24 Pada pertengahan abad ke-19,

Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka

percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan

revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang

berpengaruh.25 Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia

melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal

terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi

Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan

ideologi.26

Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme

dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk

kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang

mempopulerkan "serangan yang bersifat acak" terhadap masyarakat sipil yang

tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai

Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan

tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun

60an dan terkenal dengan istilah "Terorisme Media", berupa serangan acak

terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.27

23
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal
Kriminologi FISIP UI, vol 2 no III, Desember 2002hlm, 30.
24
Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.
25
History Of Terrorism, www.terrorismfiles.org/encyclopedia/history_of_terrorism.
26
Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.
27
Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre,
Jakarta, 2002, hlm. 168.
24

Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

1. Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan

tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM;

2. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama,

radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya

kota;

3. Kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu

lintas.

Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang

ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui

tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan

"the philosophy of the bomb" yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. 28 Pasca

Perang Dunia H, dunia tidak pernah mengenal "damai". Berbagai pergolakan

berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa

yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia

Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan

melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur

tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di seklan banyak negara Dunia

Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa

frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak

yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya

Terorisme. Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an.

28
Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam kriminalisasi,
Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, no. III, Desember 2002, hlm. 1.
25

Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme

agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh

pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.29

B. Pengertian Terorisme

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun

sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan

tindak pidana terorisme. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali

mendeklarasikan perang melawan teroris belum mendefinisikan dengan gamblang

dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa

dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan. Kejelasan

definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan

kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target meresponsi

hak asasi manusia yang seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.

Memang tidak bisa disalahkan jika kata terorisme dikaitkan dengan

persoalan pelanggaran hak asasi manusia, karena akibat terorisme, banyak

kepentingan umat manusia yang dikorbankan, rakyat yang tidak bersalah

dijadikan ongkos kebiadaban, dan kedamaian hidup antar umat manusia jelas-jelas

dipertaruhkan. Namun demikian, ada komunitas sosial keagamaan yang

mengenalkan bentuk implementasi keagamaan sebagai bagian dari strategi

perjuangan. Strategi perjuangan ini dipopulerkan dalam kategori "jihad".

Meskipun begitu, bukan berarti terorisme tidak termasuk kejahatan, khususnya

29
Loudewijk F Paulus, Loc. Cit.
26

jika dikaitkan dengan persoalan dampaknya secara makro. Meskipun dengan

menggunakan kategori "jihad", tetapi jika manusia yang tidak berdosa menjadi

korban dan kepentingan publik menjadi rusak berantakan serta negara dilanda

disharmonisasi nasional, maka kategori jihad itu patut dipertanyakan.

Ketiadaan definisi hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-

merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum

nasional masing-masing Negara-negara, disamping bukan berarti meniadakan

sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku

terorisme bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, begitu bunyi

sebuah asas hukum tua, yang bermakna, bahwa tiada kejahatan yang boleh

dibiarkan berlalu begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya terorisme

sudah bukan lagi sekadar internasional crime dan sudah menjadi internationally

organized crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan ini tanpa

adanya kerjasama dan pemahaman yang sama dikalangan Negara-negara.

Kata teroris dan terorisme berasal dari kata latin "terrere "yang kurang

lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata "teror" juga bisa

menimbulkan kengerian tentu saja, kengerian dihati korban dan pikiran

korbannya. Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa

diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah "terorisme" merupakan sebuah

konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme

menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan tehadap orang-orang

yang tidak berdosa. Tidak ada negara yang ingin dituduh pendukung terorisme

atau menjadi tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok terorisme.


27

Ada yang mengatakan seseorang bisa disebut sebagai teroris sekaligus juga

sebagai pejuang kebebasan. Hal itu tergantung dari sisi mana masing-masing

Negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan dan keyakinan mereka

sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas didalam European

Convention on the suppression of terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 teriadi

perluasam paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Against

Humanity, Crimes Against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan

suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum

ada dalam suasana teror. Seruan diperlukannya suatu perundang-undangan

terorisme pun disambut pro-kontra mengingat polemik definisi mengenai

terorisme masih bersifat multi- interpretatif, umumnya lebih mengarah pada

polemik kepentingan Negara atau state interested.

Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana mumi (mala perse)

yang dibedakan dengan Administrative criminal law. Kriminalisasi tindak pidana

terorisme sebagai bagian dari pekembangan hukum pidana dapat dilakukan

dengan banyak cara seperti; melalui sistem revolusi misalnya amandemen

terhadap pasal-pasal KUHP, melalui sistem global melalui pengaturan yang

lengkap diluar KUHP kekhususan hukum acaranya, sistem kompromi dengan cara

memasukan bab baru dalam KUHP "tentang kejahatan teorisme".

Untuk memahami makna teroris lebih jauh dan mendalam kiranya perlu

dikaji telebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan oleh

baik beberapa lembaga maupun beberapa penulisan atau pakar ahli, yaitu:
28

Menurut US Central Inteligence agency (CM):

"Terorisme intemasional adalah terorisme yang dilakukan


dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing
dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau
pemerintah asing."30

Menurut US Federal Bureau Of Investigation (FBI):

"Terorisme Adalah Penggunaan kekerasan tidak sah atau


kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi
sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemenya
untuk mencapai tujuan sosial atau politik."31

Menurut A.C Manullang pengertian terorisme adalah:

"Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan


dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya
pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan
ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan
pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan
ideologi fanatisme."32

Menurut Hadi al-Makdkhaly:

"Terorisme adalah sebuah kalimat yang terbangun di


atasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beraneka
ragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau terror
atau gerakan yang menebarkan rasa ketakutan kepada
individu atau kelompok masyarakat." 33

30
Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia,Op. Cit, hlm. 171.
31
Ibid, hlm. 172.
32
A.C Manullang, Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, Jakarta,
Januari 2001, hal. 151.
33
Al-Madkhaly, Muhammad, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Makhtabah Salafy Press,
Tegal, 2002, hlm. 1-2.
29

Menurut Salah Kansu:

"Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan


pada serdadu (militer) melainkan terhadap orang-orang
yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Mereka adalah
pembunuh-pembunuh pengecut yang mengambil sikap
dengan membunuh orang-orang yang tidak bersalah,
dengan target, yaitu menciptakan ketakutan. Teroris
adalah menakut-nakuti dan mengancam. la tidak bisa
diterima oleh akal manusia dan tidak dibenarkan oleh
semua agama. Apa yang dilakukan oleh Al qaidah adalah
nyata-nyata tindakan teroris dan tidak bisa dikatakan
sebagai perjuangan di jalan Allah. la adalah aksi murahan,
pengecut dan tidak jantan."34

Menurut Paul Wilkinson:

"Terorisme adalah aksl terror yang sistematis, rapi dan


dilakukan oleh organisasi tertentu."35

Menurut Syed Hussein Alatas:

"Teroris adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai


senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan
pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa
menimbang salah satu benar dari segi agama atau moral,
berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh
dilakukan bagi mencapai tujuan maklumat
36
persengketaan."

Menurut kamus besar bahasa Indonesia kontemporer:

"Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman


untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan
menakutkan, terutama untuk tujuan politik. "37

34
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan terorisme dal perspektif
agama, HAM dan hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 30.
35
Ibid, hlm. 29.
36
Ibid, hlm. 31.
37
Ibid.
30

Menurut Muhammad Mustofa pengertian terorisme adalah:

"Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman


kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak
(tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang
berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan,
ketidakpastian dan keputusasaan massal. "38

Menurut Fauzan Al- Anshari:

"Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan


atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik
atau kekuasaan dalam suatu pemerintah Negara."39

Menurut Ustadz Abu Bakar Ba'asyir pengertian terorisme adalah:

"Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan


atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik
atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Terorisme itu bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang
melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa untuk
menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu
pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi
untuk mempertahankan kekuasaannya".40

Dari pengertian-pengertian di atas jelas bahwa tindak pidana terorisme

merupakan suatu kejahatan yang luas, karena selain menggunakan teknologi yang

canggih, kekerasan dalam setiap pelaksanannya, terror terhadap masyarakat juga

merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi tindak pidana terorisme yang saat

ini teriadi banyak yang berlatar belakang politik untuk mendapatkan suatu hal,

orang rela mengorbankan kepentingan rakyat yang tidak berdosa seperti peristiwa-

peristiwa yang terjadi di tanah air, mereka tega mengorbankan rakyat yang tak

berdosa demi mencapai tujuan yang mereka inginkan apapun bentuk dari

38
Muhammad Mustofa, Op. Cit.
39
Fauzan, Saya Teroris (“Sebuah Pledoi”), Republika, Jakarta, 2002, hlm. 24.
40
Abu Bakar Baasyir, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam Surakarta, Surakarta,
2004, hlm. 16.
31

tujuan dari para terroris itu ialah salah dan bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan, HAM, karena banyak mengorbankan kepentingan orang lain.41

C. Tipologi Terorisme dan Awal Timbulnya Terorisme

Dalam hal tipologi, tindak pidana terorisme dapat terbagi dalam beberapa

tipologi terorisme atau terbagi ke dalam beberapa tipe sebagai berikut:

1. Tipologi terorisme terdiri dari:

Tipe kesatu
"Political terrorism adalah bentuk terorisme yang
dirancang untuk menimbulkan ketakutan di kalangan
masyarakat dengan tujuan politik secara umum, semua
terorisme ditengarai bermuatan politik setidaknya,
demikianlah pandangan klasik mengenai terorisme,
karenanya tipe political terrorism menjadi sangat
dominan, dan dengan mudah ditemukan dalam berbagai
kasus.

Tipe kedua
Nonpolitical terrorism, kekerasan dan ancaman kekerasan
dilakukan diluar motif politik. Jadi terorisme non politik
adalah bentuk terorisme yang dilakukan untuk tujuan-
tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas dendam,
penyelamatan, maupun semata-mata karena kegilaan.

Tipe ketiga
Quasi terrorism. Menggambarkan kegiatan incidental
guna melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan
caranya menggunakan metode teror. Ilustrasi dari tipe ini
dapat ditemukan pada kasus-kasus pembajakan pesawat
atau penculikan tokoh yang tidak didasarkan pada
motivasi idiologis. Dalam tipe quasi terrorism ini, para
pelaku terror lebih tertarik untuk melakukan tindakan
teror, semata-mata karena untuk memperoleh uang
tebusan.

41
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik Op. Cit. hlm. 31-32.
32

Tipe keempat

Limited political terrorism pada tipe ini, terorisme jelas


bermotifkan politik, meskipun dalam skala terbatas.
Artinya, kegiatan teror dilakukan tidak menampakan
bagian dari suatu gerakan untuk menyerang negara contoh
dari tipe ini adalah pembunuhan politik.
Tipe kelima

“State terrorism memang masih menjadi perdebatan


sengit para pakar hukum internasional. Disatu sisi, state
terrorism diartikan negara sebagai pelaku teror, dan sisi
yang lain diartikan negara hanya menjadi sponsor dari
kelompok atau negara yang melakukan aktivitas terorisme.
Sejumlah negara sering disebut-sebut sebagai state
terrorism.” 42

2. Awal timbulnya terorisme

Dalam mengkaji terorisme, satu hal yang perlu diingat adalah adanya

perbedaan sudut pandang tentang terorisme. Lebih dari itu, terorisme hingga

saat ini menjadi sebuah gejala sosial yang kompleks. Sudut pandang dan

kepentingan para pihak larut dalam memaknai terorisme. Pemaknaan dari

sudut pandang yang berbeda tersebut yang menyebabkan terjadinya

pergeseran makna terorisme dari masa kemasa. Terorisme pada awal

kemunculannya berkonotasi positif, kini menjadi sebuah kejahatan berat dan

kejahatan terhadap kemanusian crime againt humanity.

Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis

(1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri teriadi jauh

sebelunmya. Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia

sejak zaman Yunani kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan

dalam bukunya tentang terorisme dalam term "perang psikologis" untuk

menaklukkan musuh. Pada awal abad masehi tercatat nama

42
Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam, Surakarta, hlm. 19-22.
33

Kaisar Rome Tiberius (14-37 M) dan Caligula (37-41 M) yang melakukan

terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.

Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah organisasi

partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang menentang

penjajah Roma. Mereka menuntut kemumian religius dan menentang segala

tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka menggunakan

pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket. Dengan senjata

sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarii dilakukan dengan cara

bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu pelanggaran mereka

langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar. Metode yang mereka

gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman kuno. Tindakan ini

bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat. Motivasi kelompok Zealot

adalah agama dan didukung oleh kitab suci.

Teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi Perancis

(1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French

Revolution's terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien

Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan

Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik.

Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang

pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi

(democracy). Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil;

terror, without which virtue is helpless. ... terror is nothing but justice,

prompt,severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue.


34

Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution's terrorism.

Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak (random) dan tidak

juga indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara

terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis

(systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi

terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution's terrorism

(regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang

lebih baik (a new and batter society).

Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami

munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi

era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti

pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan

orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia,

melakukan gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori "the propaganda by

deed".

Hingga menjelang perang dunia I, terrorisme berkonotasi revolutioner,

bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan,

penggunaan istilah terorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama,

teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Dan, kedua, mengacu pada

pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-colonialis. Konotasi kedua

memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan (negara dunia ketiga) dengan

stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma teroris yang melekat pada

mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang untuk kemerdekaan dan


35

kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme tetapi freedom fighters.

Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray area

phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok

orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam perdagangan obat terlarang.

Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan

penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada

gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompok bukan

negara.

Bila ditelaah lebih mendalam pada awalnya kata terror merupakan jargon

politik yang berasal dari bahasa Perancis yang selanjutnya diserap kedalam bahasa

Inggris yang merupakan ekses negatif teriadinya revolusi perancis, berupa

lahirnya pemerintahan yang memiliki sifat teror terutama pada awal pasca

revolusi perancis yang diawali oleh pemerintahan yang dipimpin Maximilian

Robespierre yang diakhiri kudeta oleh Napoleon Bonaparte sehingga terbentuklah

Republik Perancis.

Bila pada masa pasca revolusi perancis terorisme dilakukan Negara dalam

bentuk penekanan terhadap lawan politiknya, maka pada dewasa ini terminologi

yang umum tentang terorisme adalah, bentuk kekerasan yang dilakukan oleh

kelompok atau individu yang sebagian besar ditunjukan pada komunitas muslim

terhadap kepentingan negara tertentu terutama terhadap nagara-negara barat.

Pandangan ini ternyata tampak lebih nyata ketika dunia barat melakukan upaya

penanggulangan terhadap aksi-aksi terorisme dengan melakukan standar ganda

seperti terlihat dalam kasus Irak dan Korea Utara.


36

D. Ciri-ciri Hukum Islam dan Perpektif Hukum Islam Terhadap Terorisme

1. Ciri-ciri hukum Islam adalah sebagai berikut: 43

1) Mempakan bagian dan bersumber dari agama Islam;

2) Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman

atau kaidah atau aqidah dan kesusilaan atau aqhlak Islam;

3) Mempunyai dua istilah kunci yaitu:

a. Syariat,

b. Fiqih.

4) Terdiri dari dua bidang utama yaitu:

a. Ibadah,

b. Muamalah.

5) Strukturnya berlapis terdiri dari:

a. Al'Quran,

b. Hadist,

c. Ijtihad.

6) Mendahulukan kewajiban daripada hak;

7) Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani

dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan

secara keseluruhan;

8) Pelaksanaanya dalam praktik digerakan oleh iman dan aqhlak umat

Islam;

9) Berwatak universal, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat

atau negara pada suatu masa saja.

43
Mohammad Daud Ali Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 52-54.
37

Dari uraian-uraian diatas Islam merupakan suatu agama yang

sempurna bisa dilihat dad ciri-cirinya, Islam agama yang mendahulukan

kewajiban daripada hak, dalam Islam kewajiban itu ialah suatu hal yang harus

didahulukan seseorang, menurut Islam seperti halnya dalam contoh bekerja

dulu baru menerima upah, Islam juga sangat menghargai dan menghomiati

sesama umat manusia, Islam ialah agama pelindung bagi segenap mausia

karena dalam prakteknya di gerakan oleh rasa keimanan dan akhlak yang

terpuji.

2. Perspektif Hukum Islam Terhadap Terorisme

Menurut pandangan As'ad As Sahamrani dari (Hukum Islam organisasi

Fiqh dan ilmiah di Al Azhar) terorisme itu adalah:

"Terorisme adalah tindakan menimbulkan rasa takut


terhadap keamanan masyarakat, mengganggu kepentingan
umum, memusnahkan harta, mengganggu kebebasan dan
kemanusiaan karena ingin membuat kerusakan di Bumi.
perang dalam syariat islam tidak boleh dilakukan kecuali
karena faktor darurat yang terjadi pada dua kondisi
berikut. Pertama, membela Negara dari penjajahan dan
perampasan kekayaan Negara. Kedua, perang melawan
upaya-upaya merusak keyakinan kaum muslimin."44

Sementara dari sudut pandang agama, bahwa terorisme sebagai

kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama

Islam. Agama Islam mengajarkan etos kemanusian yang sangat menekankan

kemanusiaan universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang

mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan. Akan tetapi, perjuangan

44
As’ad As Sahamrani, Op. Cit.
38

itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap

perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan

adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia,

Islam memang menganjurkan dan memberi justfikasi kepada muslim untuk

berjuang dan berperang terhadap para penindas musuh-musuh Islam, dan

pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup

berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslim.

Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamin, jelas menolak dan

melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan termasuk

tujuan yang baik sekalipun, Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis

kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada

alasan etik dan moral sedikit pun yang bisa membenarkan suatu tindakan

kekerasan, terlebih teror. Kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan

oleh kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena

ajaran etika moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi di bank

tempurung tindakan tersebut.

Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita

tidak mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur

kebatilan dan kejahatan serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai

jihad. Dimana dalam Islam diizinkan dengan sengaja membunuh atau

mencederakan orang-orang yang tidak bersalah dan tidak terlibat. Dalam

peperangan yang sah saja Islam tidak mengizinkan tindakan yang demikian
39

terhadap mereka yang tidak terlibat alasan yang berperang pun meski

diperlakukan dengan kemanusian, termasuk si pengganas sendiri.

Menurut Ali Mubarok pandangan Hukum Islam terhadap terorisme

adalah:

"Sebenarnya tidak ada urusan antara agama dan kekerasan


(teroris). Agama dalam kasus-kasus kekerasan dimanapun
tidak lebih hanya sebagai faktor yang menambah bobotnya
saja kalau ditamsilkan, hanya sebagai bumbu penyedap
yang hanya mempergawat situasi konflik yang sudah
terjadi karena faktor-faktor lain. Memang sulit dijelaskan
bahwa faktor itu dipicu secara independen antar agama.
Apalagi Islam sendiri, sangat menjungjung tinggi
perdamaian."45

Fenomena terorisme yang mengatakan agama bisa jadi merupakan

akibat dari hubungan antar negara agama, ketika negara dipersepsikan

sebagai representasi agama sehingga setiap konflik yang muncul antar negara

disebut juga konflik agama seperti konflik antar negara-negara Arab dan

Israel, padahal yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari

kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memang memiliki perbedaan

agama. Namun sulit untuk menarik hubungan bahwa agama merupakan

sumber dari aksi terorisme.

Kenyataan ini sedikit banyak memberikan pandangan kuat terhadap

masyarakat internasional bahwa radikalisme dan ekstrimisme merambah ke

Tanah air. Setidaknya gerakan Islam politik di Tanah air mempunyai

kemiripan dan kedekatan idiologis dengan beberapa gerakan Islam politik di

negara lain. Kedua pandangan tersebut memang sulit untuk diterima, tetapi di

45
Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Op. Cit, hlm. 43.
40

sisi lain juga sangat sulit untuk ditolak. Sebab, dalam era teknologi seperti

sekarang ini, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, sehingga

mengaitkan peledakan Bom di Bali dengan jaringan terorisme intemasional

bisa menjadi dugaan sementara hingga terdapat bukti-bukti atau sebaliknya

nanti tidak terbukti pada titik ini, agama sering dijadikan bulan-bulanan dan

objek tuduhan. Benarkah agama mendorong para terorisme. Pandangan

negatif tehadap agama kian tersebar karena ada bau tidak sedap dan

stigmasasi yang dimondialkan terhadap kelompok keagamaan tertentu, dan

bahkan dianggap sebagai representasi yang paling absah terhadap sebagian

besar tindakan terorisme global, tudingan diarahkan kepada kelompok

tersebut.

Uraian di atas dengan sendirinya mengharuskan masyarakat supaya

lebih giat mengembangkan cara-cara menyelesaikan masalah idiologi, sosial,

kebenaran, dan ketidakadilan tanpa kekerasan dan pemaksaan. Cara-cara

kekerasan, otoritarisme, dan pemaksaan lahan bagi cara-cara kekerasan masih

harus disikapi dengan kearifan dan penuh kesabaran. Salah satu caranya

dengan membina ruang publik sebagai strategi utama mengatasi ruang

kematian. Bila kehidupan sosial, potitik, dan ekonomi diibaratkan sebagai

ruang, kita tentu mengangankan ruang publik yang terbuka, toleran dan

beradab.
BAB III

TERORISME DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG

NOMOR 15 TAHUN 2003

A. Latar Belakang Munculnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

Peristiwa Peledakan dari Tahun 1984-2009 dalam angka

Sebagaimana diketahui bersama bahwa teror dalam bentuk peledakan bom

sebagaimana yang terjadi di Bali bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia-

Teror-teror tersebut seringkali terjadi seiring dengan moment-moment politik

tertentu sehingga dengan mudah diduga bahwa pelaku teror adalah pihak-pihak

yang berkepentingan dengan moment politik tersebut atau pihak yang

berkepentingan dalam sebuah dinamika politik.

Tetapi selain dengan motif tersebut, banyak yang melatar belakangi

terjadinya tindak pidana terorisme yang terjadi di Negara Indonesia, untuk itu

dibutuhkan kewaspadaan dari semua pihak, baik dari pihak pemerintah atau

negara dan tentunya semua lapisan masyarakat, hal tersebut perlu dilakukan

mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana terorisme sangat

merugikan dan akan menimbulkan kesengasaraan.

Awal timbulnya terorisme di Indonesia, itu banyak dilakukan dengan

beberapa peristiwa ledakan bom seperti yang terjadi berikut ini:46

46
Bambang Abimayu, Teror Bom Di indonesia, Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 82-90.
40
42

Kronologis Bom Di Indonesia

4 Oktober 1984 Ledakan terjadi di BCA Jl. Pecenongan, BCA

kompleks pertokoan glodok, BCA Jl. Gadjah

Mada. Para pelaku mengaku protes atas

peristiwa tanjung priok. Lima pelaku ditangkap

dan dipenjara.
Desember 1984 Gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Jl.

Margono, Malang, Jawa Timur, dilempari bom

dan meledak. Motifnya diduga untuk memecah

kerukunan antar umat beragama. Pelaku

berhasil diketahui.
20 Januari 1985 Peledakan terhadap Candi Borobudur yang

dilakukan oleh seorang Mubaligh Husein Ali

Alhabsby. Pada awalnya Husein mendapat

ganjaran penjara seumur hidup, namun pada 23

maret 1999 mendapat grasi dari Habibie.


16 Maret 1985 bom meledak dal bus Pengemudi Ekspress di

Banyuwangi, Jawa Timur. Tersangka pelaku

Abdul Kadir Alhabsby, anggota majelis taklim.

Kasus ini dikaitkan dengan kasus peladakan

Candi Borobudur.
13 September 1991 Sebuah Bom meledak secara tidak sengaja di

Demak, Jawa Tengah, Tiga pemuda Timor-

Timur sebagai tersangka, namun Xanana

Gusmao menyatakan bertanggungjawab.


18 Januari 1998 Lagi-lagi Bom meledak dengan tidak sengaja di
43

Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Barat,

Agus Priono, anggota SMID, menjadi

tersangka dan dipenjara tujuh bulan.


15 dan 19 April 1999 Terjadi peledakan Bom di Plaza Hayam Wuruk

(15 April 1999) dan Masjid Istiqlal (19 April

1999). Angkatan Mujahidin Islam Nusantara

pimpinan Edy Rianto menjadi tersangka

pelaku.
15 Mei 2000 Ada Peledakan Bom Di Gereja Kristen

Protestan, Indonesia Medan, Sumatra Utara.

Kemungkinan Besar Bermotif Adu Domba

Antar Umat Beragama. Sehari Kemudian

Menyusul Ledakan Gereja Katholik Jl. Pemuda

Medan.
4 Juli 2000 Sebuah Bom meledak di kejaksaan Agung,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Bom

dikategorikan M-I buatan pindad, kasusnya

belum terungkap.
12 Oktober 2002 Diskotik Paddy’s Café dan Sari Club. Legian,

Kuta, Bali. Meledak kurang lebih sebanyak 202

orang meninggal dunia, dan ratusan mengalami

luka-luka.
5 Desember 2002 Restourant siap saji Mc Donal’s Jl. Sam

Ratulangi, Makasar. Meledak tiga orang tewas

akibat Bom rakitan ini.


5 Agustus 2003 Hotel JW Marriott di Jl. Casablanca, Jakarta
44

Pusat, diledakan. Sebanyak 10 orang tewas,

dua diantaranya satpam dan supir.


9 September 2004 Terjadi ledakan dahsyat di depan Gedung

Kedubes Australia, di Jl. HR. Rasuna Said,

Kuningan, Jakarta Selatan. Ledakan Bom yang

terdengar sampai radius 4 Km itu juga

memecahkan kaca sejumlah gedung pencakar

langit di sekitar lokasi kejadian. Pintu depan

Kedubes dan pohon-pohon disekitar rontok

terbakar api akibat bom yang berdaya hulu

tinggi itu.
21 Maret 2005 Ledakan Bom terjadi di Batu Merah,

Kecamatan Sirimau, Ambon, pada hari senin

malam melukai 19 warga sipil.

8 Juni 2005 Sebuah Bom meledak dihalaman samping

rumah salah seorang aktifis Islam, Abu Jibril,

Pemulang, Banten. Tidak ada korban dalam

peristiwa yang terjadi sekitar pukul 05.00 WIB

itu.
17 Juli 2009 Bom Jakarta 2009, 17 Juli 2009, dua ledakan

dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-

Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hamper

bersamaan, sekitar pukul 7.00 WIB.

Sebagai catatan saja selama kurun waktu 2005


45

-2009 semasa pemerintahan SBY-JK relatif

tidak ada bom, namun di akhir masa

pemerintahan mereka diwarnai bom yang

terjadi di tempat yang sama JW Marriott.

Semoga di masa masa mendatang Indonesia

diwarnai kedamaian tanpa adanya serangan

teror dan pertikaian lagi seterusnya.


46

 Kronologis Peledakan Bom Di Bali Tanggal 12 Oktober 2002

 Suasana Bali Sebelum Terjadinya Peledakan Bom 47

Bali telah menjadi kata kunci bagi gerbang kelangsungan hidup bangsa

Indonesia. Ketika negeri ini memasuki krisis ekonomi dan hamper semua

wilayah menderita akibat krisis itu, Bali tetap tegak dengan tegar. Wisatawan

asing yang datang membawa dollar menemukan Bali bagaikan the lost

paradise, surga yang hilang, karena murahnya kehidupan yang diukur dengan

dollar.

Sebaliknya, bagi sebagian anak negeri yang mencari nafkah di pulau

seribu dewa itu, Bali adalah the last paradise, surga yang terakhir. Wisatawan

asing (selanjutnya disingkat Wisman) membawa dollar dan mengisi kantong

orang Indonesia yang berhubungan dengan mereka, utamanya melalui

pariwisata.

Salah satu sebab dan sekaligus prasyarat mengapa Bali bagaikan the

last resort yang tidak terganggu krisis adalah keamanannya. Sebagai pulau

yang tidak terlalu besar, pencurian kendaraan bermotor frekuensinya rendah

(apalagi mobil), karena Polisi akan dengan mudah menemukannya.

Jumlah Polisi di Bali, dibandingkan dengan penduduknya (ratio)

memang termasuk yang paling ideal dibandingkan di daerah-daerah lain di

Indonesia, Ratio antara Polisi dengan penduduk tercatat 1 : 294. Ini jauh lebih

baik dari angka nasional yang sebesar 1 : 1080.

Namun, perlu dicatat, bahwa hingga Oktober 2002, Polda Bali berada

pada status Kelas B-l. artinya, Polda dipimpin oleh seorang Kapolda

47
History Of Terrorism, http: // www.terrorismfiles.org/ encyclopedia/ history_of_
terrorism.html.
47

berpangkat Brigadir Jenderal Polisi dengan Wakapolda Komisaris Besar.

Status ini sudah direncanakan untuk ditingkatkan menjadi lebih tinggi

sebelum akhir 2002 (akhirnya setelah kasus bom Bali naik menjadi status

Kelas A). Status ini berkaitan erat dengan sarana dan prasarana yang dimiliki

oleh Polda, karena menyangkut alokasi dana (anggaran) yang lebih kecil

dibanding Polda yang statusnya lebih tinggi (Kelas A).

Kondisi ganda yang menampilkan dimensi kekuatan sekaligus

kelemahan Polda Bali, juga agak terbantu oleh setidaknya dua faktor, yaitu :

pertama, faktor exposure terhadap unsur-unsur eksternal, bahkan luar negeri,

sangat intern dan ekstensif, sehingga membuat Polisi Bali relatif lebih terbuka

terhadap orang luar, termasuk gagasan-gagasan dari luar institusi Polri. Kedua,

banyak posisi kunci di dalam struktur organisasi, terutama yang bersifat

kewilayahan (Polsek) dipegang oleh para perwira muda yang sangat

potensial.48

Dengan ratio Polisi dibanding penduduk yang ideal, ditambah dengan

lokasi geografis yang relatif tertutup (sehingga memudahkan pengamanan

wilayah), serta infrastruktur keamanan yang mapan dan efektif (perangkat

adat, terutama pecalang), maka situasi keamanan dan ketertiban masyarakat

(kamtibmas) secara umum sangat kondusif.

Suatu situasi yang pada satu sisi membentuk citra bagus, sebagaimana

ditampilkan oleh Polisi Pariwisata, namun pada sisi lain juga menyebabkan

kemampuan pengendalian kamtibmas yang kurang siap untuk kasus-kasus

yang berskala besar.

48
Ibid.
48

Itulah wajah Bali hingga 12 Oktober 2002, ketika terjadi tiga kali

peledakan bom, dengan dua diantaranya diledakkan di kawasan Legian, Kuta

dan satu di kawasan Renon, Denpasar. Bom Bali bukan hanya mengubah

wajah lokal, tetapi juga wajah nasional Indonesia.

Pada tingkat dan skala lokal, dampak bom Bali bukan hanya sekedar

mengejutkan atau membuat terkejut, tetapi membuat "terpana", baik bagi

masyarakat Bali sendiri dan terlebih lagi bagi Kepolisian setempat. Bom Bali

telah meluluhlantakkan rasa percaya diri aparat keamanan, masyarakat lokal,

pemukim pendatang dan bahkan turis-turis asing maupun domestik. Suatu

efek teror yang betul-betui mencapai sasaran teror, yaitu menyebarkan rasa

ketakutan hingga maksimal.

Kronologi peristiwa peledakan Bom di Bali dapat dilihat seperti

berikut ini:

 Pertemuan Persiapan

Ada empat kali pertemuan yang dilakukan berturut-turut mulai tanggal

2 Agustus, 8 Agustus, 21 Agustus dan 28 Agustus 2002, dilanjutkan 12

September dan 20 September 2002. Pertemuan dilakukan secara bergantian di

daerah Solo dan Lamongan. Rangkaian pertemuan itu diikuti berganti-ganti

oleh Amrozi, Muhammad Ali Imron alias Alik (30), Umar alias Patek (35),

Umar alias Wayan (35), Idris alias Joni Saputra alias Gembrot (35), Did Matin

alias Amar Usman alias Muktamar alias Djoko Supriyanto (32) dan Fatih alias

Fat alias Kudama alias Abu Umar alias Abdul Aziz alias Heri alias Imam

Samudra (35).
49

Setelah perencanaan cukup matang, dengan dana yang memadai, mulai

dilakukan berbagai persiapan teknis, seperti pembelian mobil L-300 dan

pembelian sejumlah bahan peledak. Bahan peledak berupa Amonium Nitrat

dibeli di toko Tidar Kimia dan Aneka Kimia. Kedua toko berada di Surabaya.

Di took Tidar Kimia, Amrozi membeli satu ton Kalium Klorat (KC103), dua

zak Sulfur, safu long bubuk Alumunium, 25 kilogram Tawas, dan satu ember

Klorin. Karena jumlahnya banyak, pembelian dilakukan dalam beberapa kali.

Dan toko Tidar Kimia menghubungi toko Aneka Kimia untuk membantu

pengadaan.

Mobil Mitsubishi L-300 dibeli Amrozi dari Anas. Mobil inilah yang

akan digunakan untuk membawa bom yang akan diledakkan di Bali. Setelah

pembelian, mobil mulai dimodifikasi di Lamongan guna mengganti dengan

cara menggerinda dan memahat nomor palsu, nomor mesin dan nomor rangka.

Tindakan ini merupakan tindakan antisipasi jika seandainya ledakan tersebut

tidak menghancurkan seluruh mobil.

Artinya, dengan mengubah atau mengganti nomor mesin dan nomor

rangka, akan memutus kaitan dengan para pelaku, terutama pemilik mobil atau

yang melakukan pembelian mobil. Di kemudian hari, tindakan antisipasif ini

cukup efektif dalam mengecoh Kepolisian (dalam hal ini Laboratorium

Forensik), bahkan termasuk Tim Forensik dari Kepolisian Australia (AFP,

Australia Federal Police).

Dana yang disalurkan untuk realiasasi rencana ini diperkirakan sebesar

Rp. 120 juta rupiah. Uang yang dikumpulkan terdiri atas mata uang rupiah,
50

ringgit Malaysia, dollar Singapura dan dollar Amerika Serikat. Jumlah dana

tersebut dengan perhitungan kebutuhan pembelian mobil, bahan peledak dan

kebutuhan lainnya (yang nantinya termasuk pembelian sebuah sepeda motor

Yamaha Fl-ZR). Setelah rangkaian pertemuan di luar Bali, kelompok tersebut

berangkat ke Bali guna mempersiapkan teknis peledakan. Diperkirakan,

kelompok ini berangkat secara terpisah dan semuanya berada di Bali tanggal 5

Oktober 2002. Tanggal tersebut merupakan kesepakatan kelompok penggagas

untuk kembali bertemu di Bali.

 Persiapan Teknis Peledakan

Pertemuan pertama kali diadakan di Bali dilakukan pada tanggal 5

Oktober 2002, lokasinya di Hotel Harum, Denpasar, yang membahas

mengenai persiapan lebih teknis. Keberadaan bahan-bahan peledak, gambaran

situasi lokasi yang akan diledakkan dan kesiapan kelompok eksekutor dibahas

secara intensif.

Diputuskan bahwa lokasi peledakan adalah Sari Club yang berada di

Legian, Kuta. Diduga, pemilihan lokasi ini dilakukan oleh orang luar Bali

yang tidak begitu mengetahui situasi. Dugaan ini berkaitan dengan banyaknya

orang yang tewas justru bukan merupakan warga negara Amerika Serikat,

namun Australia. Setelah pertemuan 5 Oktober tersebut, masih dilakukan

pertemuan-pertemuan intensif (kemungkinan setiap hari) untuk membahas

perkembangan situasi.

Pada tanggal 10 Oktober 2002, dilakukan pembelian motor bekas yang

dilakukan oleh Amrozi dan 2 orang lainnya dari "kelompok eksekutor"

(diduga Idris alias Joni Saputra, sebagaimana disebutkan dalam kuitansi


51

pembelian, serta kemungkinan Umar alias Wayan). Pembelian dilakukan di

sebuah Showroom Toko Mitra Motor di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Selain

membeli sepeda motor, mereka juga menyewa mobil Kijang Grand Extra

Nopol. DK-1435-CR, yang digunakan untuk melakukan pemindahan bahan

peledak dari lokasi penyimpanan ke lokasi tempat perakitan bom, Pemindahan

kemungkinan dilakukan dengan menempatkan bahan peledak (handak) di

bawah jok sopir.

Setelah melakukan pemindahan bahan campuran TNT tersebut, bom

segera dirakit menggunakan peralatan (kunci-kunci) yang ada di bawah jok

motor. Hal ini dikuatkan dengan penemuan residu peledak berupa HMX,

Tetril, Nitrat dan PETN di bawah jok dan kunci-kunci sepeda motor Fl-ZR

tersebut. Selain itu motor juga dipasangi 3 buah swicth yang nampaknya

digunakan sebagai pemicu jarak jauh (remote) dari bom yang akan

diledakkan. Meskipun demikian, besar kemungkinan bahwa switch detonator

dari jarak jauh ini tidak digunakan, dan yang digunakan adalah handphone

sebagai perangkat kontrol jarak jauh (remote control device).

Alternatif ini diketahui karena dari ledakan kecil di Renon ditemukan

serpihan handphone, Setelah semua siap, kemudian bom diletakkan dalam

mobil Mitsubishi L-300. Tanggal 11 Oktober merupakan hari terakhir

persiapan dan setelah mengecek persiapan peledakan. Pada tanggal ini,

beberapa orang sudah meninggalkan Bali. Tetapi, kelompok yang bertugas

untuk melakukan peledakan tetap tinggal di Denpasar.


52

 Malam Peledakan49

Tanggal 12 Oktober 2002, kelompok eksekutor yang sudah diserahi

tanggung jawab mulai menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan

pelaksanaan lapangan. Malam harinya, mobil yang sudah dipasangi bom dan

motor yang sudah dilengkapi dengan switch remote mulai bergerak

meninggalkan tempat mereka berkumpul. Orang yang membawa motor,

diperkirakan juga membawa bahan peledak siap pakai., namun tidak sebanyak

dan sebesar yang diletakkan di dalam mobii L-300. Kemungkinan besar, motor

melakukan pemantauan lokasi terakhir dengan melintasi jalan Legian, Kuta.

Jalan Legian merupakan salah satu jalan paling ramai dan macet di

daerah Kuta. Di sepanjang jalan ini banyak terdapat tempat-tempat hiburan

semacam klub malam dan kafetaria. Kemacetan kian memuncak di atas pukul

sepuluh malam. Biasanya dari pukul 10.00 WITA sampai pukul 04.00 WITA,

kemacetan sangat parah karena malam Minggu (Sabtu malam).

Sumber kemacetan adalah ramainya orang yang melintas di sepanjang

jalan ini, ditambah dengan banyaknya kendaraan yang berhehti, terutama taksi

untuk mengambil penumpang. Situasi ini sangat mendukung pelaksanaan

peledakan. Kondisi macet dan ramai jelas menguntungkan pelaku karena tidak

akan timbul kecurigaan orang-orang di sekitar lokasi.

Banyak skenario yang bisa dikembangkan berdasarkan keterangan

saksi-saksi di sekitar lokasi peledakan. Skenario tersebut berkembang karena

pada saat yang bersamaan ada dua ledakan di jalan Legian, Kuta dan satu

ledakan di Jalan Puputan, Renon.

49
Ibid.
53

 Sampai dengan Pukul 23.00 W1TA

Banyak alternatif skenario yang mungkin dilakukan oleh para pelaku

beberapa saat menjelang ledakan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

 Skenario 1

Pelaku A (kemungkinan membawa motor Fl-ZR) menuju Jl.

Legian dan menunggu pelaku yang membawa mobil L-300 (pelaku B).

Setelah menunggu beberapa saat, mobil L-300 yang dibawa oleh

pelaku B terlihat oleh Pelaku A. Pelaku A segera masuk ke dalam

Paddy's Café dan meletakkan tas berisi bom di sebuah kursi (bisa juga

meja) yang berada di antara bar tengah (lantai 1) dan meja DJ (Disc

Jockey). Setelah itu Pelaku A keluar dan kembali menunggu pelaku B

sampai pada posisi di depan Sari Club.

Posisi mobil L-300 sudah di depan Sari Club dan Pelaku B

telah melihat Pelaku A keluar dari Paddy's Cafe. Pelaku B kemudian

mematikan mobil dan meninggalkan mobil tersebut menuju ke arah

Pelaku A. kemudian keduanya segera meninggalkan lokasi.

 Skenario 2

Pelaku A berangkat menuju Legian. Setelah tiba di depan

Paddy's Cafe, sejenak menunggu mobil L-300 yang dibawa Pelaku B

terlihat Setelah mobil L-300 terlihat di kejauhan, Pelaku A yang

membawa tas berisi bom segera masuk dan mengambil posisi duduk di

kursi yang ada di bar tengah (lantai 1). Beberapa saat kemudian,

Pelaku A keluar meninggalkan Paddy's, namun meninggalkan tas


54

berisi bom tersebut di kursi yang didudukinya. Dengan demikian,

pelaku tidak dicurigai dan dianggap hanya sebentar meninggalkan

kursinya. Pelaku A segera meninggalkan lokasi.

Sementara itu Pelaku B yang membawa mobil L-300 sudah

berada di depan Sari Club. Kemudian mematikan mobil dan

meninggalkannya. Pelaku B kemudian naik taksi yang berada tepat di

depan mobil L-300 yang dikendarainya. Pelaku B segera

meninggalkan lokasi menggunakan taksi.

 Skenario 3

Pelaku A menuju Paddy's dari arah Kuta membawa bom

(kemungkinan di dalam tas). Setibanya di depan Paddy's, Pelaku A

segera masuk ke Paddy's (lantai 1) dan mengambil posisi duduk di

kursi yang berada di antara bar tengah dan meja DJ. Pelaku A tetap di

dalam Paddy's sampai bom meledak (kemungkinan bom bunuh diri).

Pelaku B telah sampai di depan Sari Club, kemudian

mematikan mobil dan meninggalkannya. Kemudian Pelaku B segera

meninggalkan lokasi.

 Skenario 4

Pelaku A dengan membawa bom (kemungkinan di dalam tas)

menuju Paddy's diantar oleh pelaku lainnya. Sesampainya di Paddy's,

Pelaku A langsung masuk dan mengambil posisi duduk di kursi yang

berada di antara bar tengah dan meja DJ. Pelaku A tetap di dalam

Paddy's sampai bom meledak (kemungkinan bom bunuh diri).


55

Sementara Pelaku membawa mobil L-300 sampai di depan Sari

Club, mematikan mobil dan meninggalkannya.

 Pukul 23.15 WITA

Bom pertama meledak di dalam Paddy's Cafe. Ledakan ini memakan

korban jiwa sebanyak 8 orang, satu orang tewas dengan kondisi Sangat

mengenaskan karena berada sangat dekat dengan bom yang meledak. Hanya

betis ke bawah dan dada, kepala yang utuh, sementara tubuhnya hancur terkena

ledakan.

Para saksi mata yang lolos dari maut menyebut ledakan berasal dari

tengah-tengah kerumunan pengunjung yang sedang menari di lantai dansa.

Begitu bom meledak, seluruh pengunjung Paddy's berhamburan. Ledakan itu

segera disusul dengan nyala api dan kebakaran. Di lokasi kejadian ditemukan

residu RDX dan THT.

 Pukul 23.15.03

Sementara itu, beberapa saat menjelang ledakan di Paddy's Cafe, mobil

Mitsubishi L-300 yang ditinggal dalam keadaan mati di depan Sari Club

mengundang perhatian pengunjung dan pejalan kaki yang melintasi Sari Club.

Beberapa orang berkerumun di sekitar mobil tersebut. Tidak bergeraknya

mobil L-300 membuat mobil dibelakangnya mengambil jalur kiri untuk

mendahului.
56

Mobil Carry dan diikuti taksi yang berada di belakang L-300 bisa

mendahului. Sementara di belakang kedua mobil yang berhasil mendahului ada

Kijang Abu-abu DK-1738-CR yang tejebak di belakang L-300 mengambil ke

kiri dan tidak bisa mundur karena ada Kijang Abu-abu Metalik DK-1257-JC

dan Ford Laser Merah Metalik DK-8164-BX.

Di jalur sebelah kiri, ada beberapa mobil yang sedang di parkir.

Tercatat mobil Kijang Merah Metalik DK-1524-AC, Daihatsu Espass DK-

1706-BQ dan Timor Biru Metalik DK-53-GA serta beberapa mobil lainnya

yang terparkir sekitar 13 meter dari mobil L-300.

Setelah ledakan di Paddy's, banyak pengunjung Paddy's berlarian

keluar. Ketika itulah, dalam jarak waktu hanya 3 detik, mobil Mitsubishi L-300

yang berada di depan Sari Club meledak. Ledakan sedemikian besar dan

kerasnya, sehingga langsung membuat listrik padam. Ini terutama karena

hancumya gardu tegangan rendah yang berada di samping Sari Club akibat

ledakan.

Ledakan menimbulkan kebakaran yang dengan cepat menghanguskan

Sari Club beserta isinya (termasuk pengunjung yang berada didalamnya).

Kebakaran bisa cepat terjadi karena Sari Club adalah bangunan semi permanen

yang terbuat dari kayu. Beberapa orang tewas seketika dalam keadaan

mengenaskan (banyak yang gendang telinganya hancur).

Ledakan tersebut selain menimbulkan kebakaran dan kerusakan yang

luas, juga sangat keras. Dari kondisi korban, dapat disimpulkan banyak yang

tewas karena kerasnya suara (di samping rambatan hawa panas). Sampai
57

beberapa menit selanjutnya tidak ada yang bisa mendekati pusat ledakan

(ground zero) karena panas.

Pada saat evakuasi pertama dilakukan, tercatat 71 orang tewas dalam

keadaan tubuh utuh, namun "hangus" karena terbakar. Pada lokasi ledakan

ditemukan TNT, RDX, HMX, Tetril dan Nitrat.

 Pukul 23.15.33

Tiga puluh detik setelah ledakan kedua di jalan Legian, persis di depan

Sari Club, terjadi ledakan ketiga di Jalan Puputan, Renon, Denpasar. Lokasi

ledakan di trotoar jalan yang berjarak diagonal 100 meter dari Konsulat

Amerika Serikat di Jalan Hayam Wuruk, Renon dan sekitar 300 meter dari

Konsulat Australia di Jalan Puputan. Ledakan ini tidak menimbulkan korban

jiwa. Kerusakan hanya pada beton trotoar dan dahan, ranting-ranting serta

dedaunan pepohonan di sekitar trotoar yang berguguran.

Pada lokasi ledakan di Renon ini ditemukan residu bahan peledak

(handak) jenis TNT dan komponen elektronika yang kemudian diidentifikasi

sebagai handphone merek Nokia dengan kode body DMC 00455-3. Para saksi

yang mendengar ledakan tersebut melukiskan suara yang keras, meskipun efek

ledakan tidak sekeras suaranya. Jika dihitung dari interval waktu yang sama

dari ketiga ledakan, yaitu 30 detik, maka kemungkinan pengaktifan remote

control dilakukan dari Pelaku yang sama di Legian, meskipun tidak tertutup

kemungkinan pelaku peledakan di Renon adalah orang lain dari kelompok

yang sama.
58

 Pasca Peledakan50

Kesibukan menanggulangi akibat ledakan dimanfaatkan pelaku untuk

menghilangkan jejak. Setelah merealisasikan rencana peledakan, dua orang

pelaku yang mengendarai sepeda Motor Yamaha Fl-ZR Nopol. DK-5228-PE

menuju musholla Al-Ghuroba di Sanglah, Denpasar. Mereka memarkir motor

di samping musholla, salah seorang melepas helm dan kaus tangan kulit,

kemudian mengambil kain lap dari atas jok sepeda motor disebelahnya, dan

kain lap tersebut ditutupkan di atas jok sepeda motor Yamaha yang

diparkirnya.

Salah seorang di antara kedua pelaku sempat mencuci muka, sementara

lainnya menunggu di luar. Tampaknya pelaku yang menunggu diluar resah,

sehingga pelaku yang telah selesai mencuci muka langsung menghampirinya

dan keduanya meninggalkan musholla tersebut. Motor Yamaha Fl-ZR yang

tadinya dibawa, dibiarkan tetap terparkir di samping musholla.

Beberapa pelaku segera ke luar dari Bali pada keesokan harinya.

Diperkirakan, paling lama dalam waktu empat hari setelah hari peledakan,

seluruh pelaku sudah meninggalkan Bali, semuanya melalui jalur darat.

 Dampak Peristiwa51

Kasus bom Bali bukan sekedar menyisakan persoalan kemanusiaan dan

perkara kriminal yang belum terselesaikan sepenuhnya, melainkan tetap

memberikan dampak yang luar biasa, baik terhadap kehidupan masyarakat

50
Ibid.
51
Ibid.
59

lokal Bali, bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bahkan dunia

internasional.

Akibat dari pemboman itu sangat luas. Perubahan-perubahan struktural

dan fungsional terjadi begitu cepat dan berlangsung dalam skala yang sangat

besar. Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa dalam kilas balik

mengenai seminggu pertama setelah pengeboman, sesungguhhya nasib bangsa

Indonesia dipertaruhkan.

Segera setelah pemboman 12 Oktober 2002 itu, potensi-potensi laten

dari konflik horizontal berpeluang besar untuk muncul ke permukaan. Jika saja

masyarakat Bali tidak mampu segera mengendalikan diri dari tindakan-

tindakan penghancuran diri (self destruction), seperti sweeping kaum

pendatang, khususnya yang beridentitas "Jawa", yaitu etnik Jawa-Madura yang

Muslim.

Setelah itu, berbagai dampak struktural dan fungsional mulai muncul di

permukaan berurutan. Berbagai isu nasional telah menjadi wacana publik,

mulai dari diterbitkannya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang). Rancangan Undang-Undang Antiterorisme, sampai rekonstruksi

ekonomi dan validasi organisasi Polri, bahkan hingga politik luar negeri

Republik Indonesia, serta sikap dunia internasional terhadap Indonesia.

Semuanya terpengaruh dan mengubah banyak asumsi mengenai situasi

Indonesia menjelang peralihan tahun.


60

 Perpu dan Undang-Undang Anti Terorisme

Dampak langsung lain dari bom Bali menyangkut aspek hukum.

Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang (PERPU) dan menyegerakan proses pengesahan Rancangan Undang-

undang Antiterorisme ke DPR. Tetapi, kedua payung hukum ini segera pula

menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak kalangan, terutama aktivis

pro-demokrasi, yang menentang, dengan argumen, bahwa keduanya bisa-bisa

dijadikan payung hukum bagi pemerintah untuk menindas dan mematikan

oposisi. Misalnya, dapat digunakan laporan intelijen sebagai bukti permulaan

yang cukup, sehingga dengan laporan tersebut seseorang dapat ditangkap atas

kecurigaan terlibat dalam tindak pidana terorisme. Hal lain yang tidak lazim

adalah kewajiban Hakim (Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri) untuk

memeriksa laporan intelijen yang diajukan kepadanya. Hakim di sini tidak

dilatih untuk mampu memeriksa seperti itu.

Kontroversi lain, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap

setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan

bukti permulaan yang cukup untuk waktu paling lama 7 x 24 (tujuh kali

duapuluh empat) jam (pasal 28 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Jadi seseorang dapat ditangkap

tujuh hari tanpa kejelasan akan dilakukan penahanan atau tidak atas dirinya. Di

dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, penangkapan dilakukan

untuk waktu paling lama satu hari, dan selebihnya harus dengan surat

penahanan (pasal 19 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).


61

Dalam hal Rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, yang sebelumnya terlihat lambat dibahas, mengalami

percepatan pembahasan. Bom Bali telah menjadi pemicu terjadinya percepatan

pembahasan tersebut Tekanan internasional atas keseriusan Indonesia dalam

memberantas terorisme telah semakin kuat, sehingga perdebatan mengenai

perlu tidaknya atau masalah isi menjadi berkurang banyak.

Tidak hanya itu, tentangan juga semakin berkurang. Tokoh-tokoh yang

biasanya bersuara keras, sudah ditahan Polisi atau memilih diam. Mayoritas

akan mengambil posisi mengikuti arus. Dengan peristiwa Bali, penentang

Rancangan Undang-undang ini bisa saja dianggap sebagai pendukung

terorisme. Dengan demikian, melihat kompleksitas dampak yang muncul baik

pada tingkat lokal, nasional dan internasional, maka bom Bali adalah sebuah

ujian berat bagi kekuatan lokal, yaitu legitimasi adat dan agama Hindu.

Kerukunan antar umat beragama dan antar etnik sedang dipertaruhkan dalam

kasus ini.

Rangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di wilayah Negara

Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas,

mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga

menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi kehidupan sosial,

politik, ekonomi, dan hubungan Negara Indonesia dengan dunia internasional.

Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme

yang telah menjadi fenomena umum dibeberapa negara. Terorisme merupakan

kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana


62

internsaional yang mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan

keamanan nasional maupun internasional.

Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan

dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 alinia ke 4 (empat) yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan

sosial, berkewajiban untuk melindungi seluruh wargannya dari setiap ancaman

kejahatan baik yang bersifat nasional, transnasional, maupun yang bersifat

internasional.

Pemerintah juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan serta

memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman baik

yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak diperlukan

penegakkan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.

Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, serta untuk memberikan

landasan hukum yang kuat, dan kepastian hukum yang kuat, serta kepastian

hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam hal

pemberantasan tindak pidana terorisme, Presiden Republik Indonesia telah

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


63

Terorisme menjadi Undang-undang, dalam hal ini menjadi Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

B. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Positif Indonesia

Seperti yang telah diterangkan, tindakan terorisme di Indonesia itu

memiliki unsur membuat rasa takut kepada orang lain, dan rasa takut itu

juga harus ditujukan kepada orang yang banyak atau massal. Seumpama

tidak termasuk dari unsur ini, maka kejahatan tersebut hanya masuk di

dalam ketentuan pidana biasa.

Dalam hal ini, termasuk dari tindakan terorisme adalah kejahatan

yang dilakukan berkaitan dengan transportasi penerbangan atau pesawat.

Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 8 Undang-Undang No.15 Tahun 2003

Tindak Pidana Terorisme. Pasal 8 ini adalah merupakan usaha pencegahan

berlakunya kejadian serupa dengan 9/11 di New York.

Selanjutnya di Pasal 9 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tindak

Pidana Terorisme, terdapat ketentuan pidana terorisme yaitu bagi orang

yang membantu seorang teroris untuk mendapatkan bahan peledak,

amunisi dan yang menyamainya. Hanya saja, seumpama orang melakukan

tindakan yang sesuai dengan Pasal 6, maka ia akan dipidana dengan

pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat

4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sedangkan Pasal 9

menentukan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua


64

puluh) tahun. Jadi bedanya hanya pidana penjara paling singkat yaitu antara 4 dan

3 tahun.

Perlu diketahui, Pasal 6 dan 9 ini kejahatan tindakan pidana

terorisme. Akan tetapi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 ini tidak

berhenti hanya pada tindakan terorisme yang berhasil. Ia juga memberi

ketentuan bagi tindakan yang memiliki niat untuk tindak pidana terorisme,

tapi tidak berhasil. Ini terdapat di Pasal 7 dengan pidana penjara paling

lama seumur hidup.

Ada juga tindak pidana lain dari tindak pidana terorisme, akan

tetapi ia berkaitan dengan terorisme. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal

20-24. Contoh dari tindak pidanan ini adalah seperti usaha mengintimidasi

penyidik dalam penyidikan kasus teroris. Hanya saja, tindakan ini tidak

dihukum seberat dengan tindakan kejahatan terorisme murni.

Undang-Undang No.15 tahun 2003 Tindak Pidana Terorisme pula

mengatur tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Undang-Undang

No.15 Tahun 2003 ini memberikan pengaturan tentang perlindungan

korban dan ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme.52

Kompensasi pembiayaannya dibebankan kepada negara yang

dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan restitusi merupakan gati

kerugiannya diberikan oleh pelaku kepada ahli warisnya.53

Turut campurnya pemerintah dalam memberikan kompensasi

kepada korban dan keluarganya merupakan salah satu perwujudan dari

52
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 36-42.
53
Dikdik, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, 131.
65

welfare state. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kesejahteraan

bagi warga negaranya.

52
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 36-42.
53
Dikdik, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, 131.
66

Apabila negara tidak mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi warga

negaranya (dalam hal ini melindungi warga negaranya dari aksi-aksi terorisme)

pemerintah harus bertanggung jawab untuk memulihkannya.54

Salah satu keistimewaan Undang-Undang No.15 Tahun 2003

Tindak Pidana Terorisme adalah ia memiliki ketentuan kerjasama

internasional. Kerjasama internasional ini diatur di dalam Pasal 43

Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tindak Pidana Terorisme. 55

Wujudnya Pasal 43 ini mencerminkan bahwa kejahatan terorisme adalah

sebuah kejahatan internasional dan seluruh rakyat internasional ingin

melawannya.

 Delik Tindak Pidana Terorisme

Delik berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam bahasa

Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam

bahasa Belanda disebut delict. Menurut Leden Marpaimg dalam bukunya

Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik ) yaitu secara umum

oleh pakar hukum telah disetujui bahwa strafbaar feit disebut delict.56

Pengertian delik telah diterjemahkan oleh para sarjana menjadi berbagai

macam arti dan para sarjana itu mempunyai batasan dan alasan tersendiri

untuk menentukan pengertian delik.

Untuk lebih jelasnya, penulis mengutip beberapa pengertian

tentang delik menurut pakar dan ahli hukum pidana seperti tersebut di

bawah ini:

54
Ibid.
55
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 43:
56
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990, hlm.32.
67

Sianturi dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana Dan

Penerapannya, mengartikan istilah delik atau hot strafbaar feit ke dalam

bahasa Indonesia menjadi:

54
Ibid.
55
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Pasal 43:
56
Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta,
1990, hlm.32.
68

a. Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum;

b. Peristiwa pidana;

c. Perbuatan pidana;

d. Tindak pidana.

Selanjutnya Sianturi mengutip pendapat Moeljatno bahwa delik

maksudnya adalah perbuatan pidana, yaitu:

“Hal itu dibuat oleh seseorang dan ada sebab maupun

akibatnya, sedangkan pengertian peristiwa pidana tidak

menunjukkan bahwa yang melakukan adalah seorang

manusia, bisa hewan atau alam yang melakukannya.'' 57

Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,

menerjemahkan delik dengan istilah perbuatan pidana adalah:

"Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum


larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan
diancam pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan
atau kejadian yang ditentukan oleh kelakuan atau
perbuatan orang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. " 58

Pengertian delik menurut Bambang Purnomo dalam bukunya Asas-asas

Hukum Pidana adalah tindak pidana, yang mengatakan bahwa:

57
Ibid.
58
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.54.
69

"Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang


mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum
pidana sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran
dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum
pidana, perbuatan pidana mempunyai pengertian yang
abstrak dari peristiwa-peristiwa konkrit dalam lapangan
hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan
jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai
sehari-hari dalam kehidiyan masyarakat." 59

Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut

dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman.

Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa

tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima

secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme

tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan

pandangan yang subjektif.60

Tidak mudahnya untuk merumuskan definisi dari Terorisme itu sendiri,

hal tersebut dapat dilihat dari usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan

membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism pada tahun 1972 yang bersidang

selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan definisi.61 Pengertian paling

otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan

ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan

pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut.62

59
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.16.
60
Indriyanto Seno Adji, Loc. Cit.
61
Muhammad Mustofa, Op. Cit, hlm. 35.
62
Kunarto, Intelejen Pengertian dan Pemahaman, Jakarta, Cipta Manunggal, 1999,
hlm.19.
70

Dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang

sekarang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1,

Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur

tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai

perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur

dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, pasal 7, bahwa

setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. "Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman


kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-
obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas intrnasional (Pasal 6)." 63
2. "Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda
orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal
7)." 64

63
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Citra Umbara, Bandung, 2007, hlm. 215.
64
Ibid.
71

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak

Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, pasal 9,

pasal 10, pasal 11 dan pasal 12 Undang-Undang Nomor 15

tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak,

yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

1) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut;

2) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu;

3) Menggunakan kekerasan;

4) Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud

mengintimidasi pemerintah;

5) Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari

pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

C. Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam

Seperti yang telah diterangkan di pembahasan sebelumnya, bahwa dalam

Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai “terorisme”. Akan

tetapi ia mengukuti bab jinâyah. Di sisi lain, karena melihat bentuk kejahatan

terorisme itu banyak (seperti pembajakan, penculikan, pengeboman, dan lain-

lain), maka perlulah dibahas dari beberapa sisi.

Tokoh terorisme yang terkenal di dunia dan dianggap sebagai teroris

yang paling dicari oleh Amerika dan koalisi-koalisinya adalah Usamah bin

Ladin. Aksi yang dilakukan termasuk mengebom dan aksi teror terhadap

militer maupun sipil dari orang Amerika dan sekutunya.


72

Ini terbukti di dalam fatwa Usama bin Ladin yang menurut

perspektifnya adalah jihad: 65

Bahwa hukum membunuh orang-orang Amerika dan


sekutunya – baik sipil maupun militer – adalah wajib
individual (fardl al-‘ain) bagi setiap muslim yang mampu
melakukannya di setiap negara di mana mungkin untuk
melaksanakannya, sampai al-Masjid al-Aqsha dan al-
Masjid al-Haram berhasil dibebaskan dari cengkeraman
mereka, sampai tentera mereka keluar dari seluruh tanah
Islam, tunduk dan tidak mampu lagi mengancam setiap
muslim.66

Dalam fatwa yang diberikan Usamah di sini, dapat difahami bahwa

target kejahatan yang akan dilancarkan adalah orang-orang Amerika dan

sekutunya (seperti Inggris, Australia dan lain-lain) baik sipil maupun militer.

Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya adalah salah. Menurut fiqh Islam,

orang yang akan diperangi haruslah bebas dari 2 krateria: 1) Kafir yang

diamankan (musta`manîn), yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir

dzimmî; 2) Tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang

Islam.67 Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmî atau musta`manîn

(yaitu ia adalah kafir harbî) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan

menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini disebut

dengan jihad.

Walau bagaimanapun kafir harbî masih harus dipilah-pilah.

Seumpama kafir harbî itu adalah militer, maka ia boleh diperangi. Jikalau

kafir harbî itu adalah warga sipil, maka tidak diperkenankan untuk membunuh

65
‘Abd Allah bin Husain Bâ’alwî, `Is’âd al-Rafîq wa Bughyah al-Shâdîq (Indonesia: Dâr
`Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), 138-139.
66
Usamah bin Ladin, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin (Jakarta:
Ababil Press, 2001), 63.
67
Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2004),
vol. 8, 5855.
73

perempuan, anak kecil, orang gila, orang tua uzur, orang cacat, orang buta,

bisu, yang tidak mampu berperang, agamawan (seperti rahib), atau petani,

selagi mereka tidak ikut memerangi orang Islam. Ketika mereka memerangi

orang Islam, maka barulah diperkenan membunuh mereka.68

Menurut ulama kontemporer, Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti, bahwa

dapat difahami (mafhûm muwâfaqah) seorang lelaki dewasa pun, selagi ia

bukan militer (atau yang menyamainya) termasuk dari pelarangan untuk

membunuh di sini. Ini disesuaikan dengan ruh-ruh syariat, bahwa warga sipil

yang tidak ikut-ikut di dalam sebuah peperangan adalah dilarang untuk

dibunuh.69

Sehingga, dalam hal ini, pada tahun 1980 M/1401 H di Damascus telah

menetapkan Pasal 23 sebagai berikut:

Ketika di dalam perang, tidak diperkenankan membunuh


kanak-kanak, perempuan, orang tua, agamawan dan
selainnya dari orang-orang yang tidak ikut di dalam
peperangan. Dan tidak (diperkenankan) memotong pohon,
menjarah harta, dan tidak (diperkenankan) merobohkan
pembangunan tamadun, dan tidak boleh disamakan
dengan orang yang diperangi. Bagi yang cedera berhak
untuk mendapatkan obat, dan bagi tawanan harus diberi
makan dan dilindungi.70

Lebih-lebih lagi, persepsi jihad ini bertentangan dengan dasar paling

awal di dalam Islam. Dalam Islam, jihad merupakan hak abosulut pemimpin

bagi negara itu. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi mana-mana bagian dari

rakyatnya

68
al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5855-6.
69
Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The Reckless
Against The Killing of Civilians (Germany: Warda Publication, 2005), 20.
70
Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 6454-5.
74

untuk melakukan jihad tanpa ada perintah dari pemimpin negara tersebut. 71 Ini

dinyatakan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaylî dan dinukil juga oleh Syaikh

Muhammad Afifi al-Akiti:

Perintah jihad diwakilkan kepada pemimpin/presiden dan


ijtihadnya. Wajib bagi rakyat untuk mentaati perintah
imam tentang apa yang menjadi pemikirannya untuk
masalah tersebut.72

Sedangkan kenyataan yang berlaku, para martir itu melakukan apa

yang mereka klaim dengan jihad pada warga negara (sipil) yang tidak dalam

keadaan perang bersama negara asal mereka. Ini adalah kesalahan besar

mereka sehingga dapat dikategorikan sebagai teroris.

Di sisi lain, teknik yang digunakan oleh para martir tersebut

kebanyakannya salah di sisi Islam. Salah satu yang selalu dipakai oleh martir

adalah praktek misi bunuh diri (martydom). Kalau dahulu, ketika masih dalam

perang dunia kedua, tentera Jepang yang setia dengan Kaisar Jepang

melakukan praktek kamikaze yaitu dengan menaiki pesawat terbang yang

membawa bom besar, lalu pesawat tersebut dijatuhkan ke kapal perang

Amerika beserta dengan pilotnya sekalian. Kematian ini membawa bangga

tersendiri bagi para martir Jepang tersebut. Sedangkan di dunia modern ini,

misi bunuh diri adalah dengan cara membajak pesawat, bom bunuh diri, dan

lain-lain.73

71
Suheil Laher, “Indiscriminate Killing”, dalam The State We Are In – Identity, Terror
and The Law of Jihad, ed. Aftab Ahmad Malik (Bristol: Amal Press, 2006), 53.
72
Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî, vol. 8, 5852; Afifi al-Akiti, Defending The
Transgressed, 21.
73
“Suicide Attack”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses
tanggal 21 Mei 2010.
75

Praktek seperti ini adalah salah besar. Dalam Islam, segala jenis bunuh

diri diharamkan dan ia termasuk dosa besar.74 Ini berdasarkan surah al-Nisâ`

ayat 29 dan 30:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya


Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan
Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak
dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke
dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.

Syaikh Muhammad Afifi al-Akiti telah menulis perincian metode-

metode penyerangan bunuh diri yang diharamkan. Secara ringkasnya, semua

metode yang dipakai oleh para martir di zaman sekarang adalah termasuk

praktek bunuh diri yang diharamkan. Ini mengecualikan sebuah misi yang

dapat berakibat mati karena dibunuh musuh, yang mana secara dasarnya

bukan dengan sengaja membunuh diri sendiri. Seperti contoh, seorang

mujahid yang masuk di barisan perang musuh dengan membunuh general

musuh, lalu dia dibunuh oleh pasukan yang lain. Secara mendasar, walaupun

ini seperti praktek membunuh diri, akan tetapi ini tidak termasuk dalam

kategori membunuh diri yang diharamkan karena secara realnya ia tetap saja

dibunuh oleh orang lain dan dalam aksinya masih memungkinkan ia tidak

sampai dibunuh musuh dan hanya ditangkap.75

74
`Ahmad bin Muhammad `Ibn Hajar, al-Zawâjir (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.), vol. 2, 95
75
Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed, 24.
76

D. Unsur-unsur Dari Tindak Pidana Terorisme

Dari beberapa perumusan delik jelas bahwa adanya suatu

perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut merupakan unsur-unsur

yang sangat penting di dalam usaha mengemukakan adanya suatu tindak

pidana.

Unsur-unsur delik menurut Leden Marpaung, yaitu:

1. Unsur Pokok Subyektif

Asas pokok hukum pidana " tak ada hukuman kalau tak ada

kesalahan

" (An act does not make a person gutty unless mind is guilty / actus non

facitt reum, nisi mens sit red). Kesalahan dimaksud adalah sengaja ( The

intention /Qpzet/dolus) dan kealpaan (the negligence/schuld).

1) Sengaja ( The Intention/ Dolus )

Menurut para pakar ada 3 (tiga ) bentuk sengaja yaitu :

a) Sengaja sebagai maksud ( oogmerk);

b) Sengaja dengan keinsafan pasti ( opset bijzekerheids bewusziJn);

c) Sengaja dengan keinsafan akan kemungkinan ( dolus evantualis).

2) Kealpaan (The Negligence/ Culpa)

Adalah merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari dolus

(sengaja). Ada 2 (dua) bentuk kealpaan yakni:

a) Tak berhati-hati;

b) Dapat menduga akibat perbuatan itu.


77

2. Unsur Pokok Obyektif

Unsur pokok obyektif terdiri dari :

1) Perbuatan manusia, berupa:

a) Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut

perbuatan positif;

b) Ommission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.

Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan

perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.

2) Akibat (result) perbuatan manusia

Hal ini erat hubungannya dengan. causalitat. Akibat dimaksud

adalah membahayakan atau merusak atau menghilangkan kepentingan-

kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan

kemerdekaan, hak milik atau harta benda, kehormatan dan lain

sebagainya.

3) Keadaan-keadaan ( The circumstences )

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara:

a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

b) Keadaan setelah perbuatan melawan hukum.

4) Sifat yang dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang

membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah

bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau

perintah.
78

Dalam bukunya tersebut Leden Marpaung juga menjelaskan

mengenai unsur-unsur delik menurut para pakar hukum, antara lain:

a. Menurut Satochid Kartanegara

Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri dari unsure obyektif dan

unsur subyektif.

1) Unsur Obyektif

Adalah unsur-unsur yang terdapat di mar manusia yang kesemuanya

ini dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang yaitu

berupa:

a) Suatutindakan;

b) Suatu akibat;

c) Keadaan (omstandigheid).

2) Unsur Subyektif

Yang juga termasuk " Algemene Leerstukken " adalah unsur-unsur

subyektif dari perbuatan dan yang dapat berupa:

a) Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan);

b) Schuld (Kesalahan).

b. Menurut Moeljatno

Menurut Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur

lahir, oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Selanjutnya

Moeljatno mengatakan, bahwa disamping kelakuan dan akibat untuk adanya


79

perbuatan pidana biasanya diperlukan juga adanya, hal ihwal atau keadaan

tertentu yang menyertai perbuatan.

c. Menurut P.A.F. Lamintang

Menurut Lamintang unsur-unsur delik terdiri dari 2 macam yaitu:

1) Unsur-unsur subyektif

Adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindakan itu adalah:

a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culfa);

b) Maksud atau vornemen pada suatu percobaan atau poging;

c) Macam-macam maksud atau oogmerk;

d) Merencanakan teriebih dahulu atau voorbedacht6 food;

e) Perasaan takut atau vrees.

2) Unsur-unsur obyektif

Adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari

si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana:

a. Sifat melawan hukum atau wederrechtelykfieid;

b. Kualitas dari si pelaku, yakni hubungan antara tindakan sebagai

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.


80

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang

sekarang telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai

dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia,

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme

sebagai berikut: tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-

undang ini (pasal 1 ayat 1).

Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat 1

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana

terorisme di atas adalah, perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara

sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara,

dan membahayakan bagi kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang menimbulkan rasa takut

dan teror terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat

masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta

benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan, atau kehancuran terhadap objek-

objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau

fasilitas Intemasional.

Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam pasal 6 Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 yang dikualifikasikan sebagai Delik materil.

Disebutkan dalam pasal 6 Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003: 76

76
Abdul Wahid,Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op. Cit., hlm. 76.
81

76
Abdul Wahid,Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op. Cit., hlm. 76.
82

"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan


kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau
mengakibatkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta
benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap objek-objek vital atau lingkungan
hidup, atau fasilitas publik dan fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling
lama dua puluh tahun."

Pasal ini adalah termasuk delik materil yang ditekankan pada akibat yang

dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran.

Kalaupun yang dimaksud kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup adalah

tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan

mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi

kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainya.

Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau

membuang zat energi, dan atau komponen lain yang berbahaya dan beracun

kedalam tanah, udara, air dan permukaan yang membahayakan terhadap orang

atau barang.

Berdasarkan beberapa pemahaman tersebut di atas, terorisme dapat

diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang

direncanakan secara sistematis, menimbulkan suasana teror atau rasa takut,

dilakukan oleh kelompok atau sendiri-sendiri, dilancarkan secara mendadak dan

tiba-tiba terhadap sasaran langsung yang lazimnya untuk mencapai suatu

tujuannya.
83

Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain

yang bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5, yang

menyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini

dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan

tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana

dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.

Di dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, pasal 5 mengecualikan kegiatan terorisme terhadap

kejahatan-kejahatan dengan motivasi-motivasi politik dengan alasan, supaya

pihak-pihak gerakan atau aksi-aksi demonstrasi untuk melaksanakan hak-hak

politik, sosial dan ekonomi dapat diwujudkan tanpa perlu adanya rasa takut

dituduh sebagai teroris. Asas nondiskriminatif yang tidak mengaitkan perumusan

tindak pidana terorisme memakai prinsip depolitisasi. Sebab, sekalipun citra

tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik, tetapi penekanan lebih pada

perbuatan dan akibatnya. Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

dinyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini

bukan merupakan tindak pidana politik, atau tindak pidana dengan motif politik,

atau tindak pidana dengan tujuan politik menghambat ekstradisi.

Sedangkan yang mengenai delik formil tindak pidana terorisme terdapat

dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan

tindak pidana terorisme.


84

Isi dari pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah: 77

"Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan


kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
masal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangriya
nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau
fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana
dengan pidana penjara paling lama seumur hidup."

Dalam hal ini perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan

teorisme adalah, bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan dimana perbuatan tersebut dapat menimbulkan

suasana teror ditengah-tengah masyarakat Sebenarnya terlalu berat sanksi bagi

tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak apapun, kepada orang

lain yang terlalu berlebihan. Pasal ini juga memungkinkan kepada aparat untuk

melakukan tindakan refresif dengan alasan-alasan yang kurang akurat.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa adanya unsure batin dari

pembuat hendak menjangkau secara luas yaitu rumusan "dengan maksud untuk

menimbulkan teror."

Delik formil lainnya, yang menyangkut suatu kejahatan yang dilakukan

terhadap dan didalam pesawat udara. Misalnya pasal 8 menyebutkan bahwa

dipidana melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang menghancurkan,

membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu

lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut.

77
Ibid., hlm. 79.
85

Pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme di atas mengatur tentang tindak pidana terorisme yang

dilakukan terhadap fasilitas umum yaitu fasilitas penerbangan. Hal ini

sebagaimana diatur dalam BAB XXIX tentang Kejahatan Penerbangan dan

Kejahatan Sarana/Prasarana Penerbangan pasal 479 KUHP disebutkan yaitu

sebagai tindak pidana menghancurkan, mencelakakan, membuat tidak dapat

dipakainya pesawat udara, yang dilakukan karena sengaja maupun kealpaan:

menimbulkan kebakaran, Ledakan, kecelakan, kehancuran dan lain sebagainya.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 9 Isinya sebagai berikut: 78

"Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan


ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,
menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau
mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,
menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan
ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi,
atau
sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana
terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat tiga
tahun dan paling lama dua puluh tahun."

Dipertegas dalam perumusan pasal 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun

2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut adalah unsur-

unsurnya:

1) Setiap orang (kelompok/korporasi);

2) Melawan hukum;

3) Memasukan ke Indonesia.

78
Ibid., hlm. 85.
86

Hal ini dilakukan sebagai upaya preventif atau pencegahan yang

dimaksudkan untuk mendeteksi sejak dini tentang kedudukan kepemilikan senjata

api dan amunisi secara ilegal dalam artian kepemilikan senjata-senjata yang

dimaksud dalam perundangan-undangan tersebut dimiliki oleh selain pihak-pihak

yang diberi kewenangan oleh undang-undang.

Pasal 10 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 isinya sebagai berikut: 79

"Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana


sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata
biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau
komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau
rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan
korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap
kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan,
keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan,
kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis,
lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas
internasional."

Pasal di atas, juga termasuk dalam delik baru dan itu tergolong ke dalam

delik formil yang titik tekannya menyangkut perbuatan yang dilarang, dan

kaitannya dengan yang ada dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sering disebut sebagai

technological terrorism (tindak pidana terorisme yang dalam perbuatan

kejahatannya menggunakan teknologi) yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan

kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, dan komponennya,

dan yang lain ialah tindak pidana berupa dengan sengaja menyediakan atau

mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan untuk kegiatan

terorisme.

79
Ibid.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang

No.15 Tahun 2003

1. Kejahatan Terorisme Menurut Hukum Islam

Seperti yang telah diterangkan di pembahasan sebelumnya, bahwa

dalam Islam kata terorisme tidak dibahas secara khusus sebagai “terorisme”.

Akan tetapi ia mengukuti bab jinâyah. Di sisi lain, karena melihat bentuk

kejahatan terorisme itu banyak (seperti pembajakan, penculikan, pengeboman,

dan lain-lain), maka perlulah dibahas dari beberapa sisi.

Kenyataan ini menurut Islam pada dasarnya adalah salah. Menurut fiqh

Islam, orang yang akan diperangi haruslah bebas dari 2 krateria: 1) Kafir yang

diamankan (musta`manîn), yang memiliki perjanjian dengan Islam, atau kafir

dzimmî; 2) Tidak membatas-batasi dakwah Islam, dan pemahaman tentang

Islam. Maka, ketika orang tersebut bukan kafir dzimmî atau musta`manîn (yaitu

ia adalah kafir harbî) dan menghalang-halangi dakwah Islam dan

menentangnya, maka barulah ia boleh diperangi yang dalam hal ini disebut

dengan jihad.

Bilamana mengacu pada ajaran Islam, kita mendapati informasi yang

melimpah ruah mengenai hal ini, dan kita menyaksikan bahwa para ahli hukum

Islam telah mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan persoalan ini. Kita

memiliki pendapat mengenai al-baghi, yaitu pemberontakan bersenjata

83
88

menentang pemerintahan yang sah dan adil, intimidasi kepada khalayak

banyak dan penyelidikan atas tujuan politik yang bermaksud memecah belah

serta membahayakan keutuhan nasional.

Kita juga memiliki pendapat mengenai al-harabah, yang berdefinisi

“penggunaan senjata, di darat dan di laut, siang atau malam hari, untuk

mengintimidasi rakyat, kota-kota atau daerah lainnya, oleh laki-laki atau

perempuan lemah dan kuat.” Allah Swt berfirman dalam al-Quran:

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang


memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di atas bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri. Yang demikian itu suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:33) 

Ayat tersebut menyebutkan subjek dan tujuan yaitu perang melawan

masyarakat dan menyebarkan kerusakan di atas bumi. Juga disebutkan

hukuman berat yang ditimpakan pada pelakunya, hal ini menunjukkan

perhatian Islam pada permasalahan ini.

Ada pula hukum-hukum tentang pencuri dan pembunuhan yang dapat

disebutkan dalam masalah ini. Kita juga mendapati teks Islam yang berkenaan

dengan ini, misalnya pembunuhan (al-fatk), penipuan (al-ghilah) dan

persekongkolan jahat (al- I’timar).

Terdapat juga teks-teks yang menetapkan penghormatan mendalam atas

perjanjian bahkan bila ditemukan kemudian bahwa perjanjian tersebut


89

menguntungkan orang lain. Selama dia taat pada ketetapan, perjanjian ini mesti

diperhatikan.

Lebih jauh lagi, kita juga mendapati persyaratan sistem moral Islam

yang terdiri dari konsep-konsep yang tidak diketahui oleh hukum positif

namun berakar secara mendalam pada sistem ini. Misalnya berbohong

termasuk dosa besar dan begitu pula fitnah. Oleh karena itu, kita meyakini

bahwa Islam benar-benar melindungi seluruh bentuk kebebasan manusia yang

sebenarnya, dan melindungi harkat martabat individu dan masyarakat, juga

kepaduan masyarakat dan integritas keluarga. Islam memandang segala bentuk

penyerangan atas mereka sebagai kejahatan besar yang mesti dihukum seberat-

beratnya seperti hukuman mati, penyaliban dan sebagainya.

Islam menegakkan prinsip tanggung jawab personal dan memandang

serangan berupa apapun terhadap orang tak berdosa sebagai kejahatan besar.

Islam berorientasi pada perlindungan pada si lemah, si tertindas dan menyeru

jihad untuk melindungi mereka: “Dan mengapakah engkau tidak berperang

karena Allah, dan orang-orang tua laki-laki dan wanita yang tidak berdaya

…” (QS. 4:75).

Umat Islam diharuskan senantiasa membela orang tertindas hingga

mereka mendapatkan hak-hak mereka. Imam Ali as memberi nasehat pada

kedua anak laki-lakinya: “Jadilah kalian penentang para penindas dan

pelindung para tertindas.” Beliau juga berkata: “Bagiku orang yang rendah

adalah mulia hingga aku memperoleh hak-hak untuk mereka, dan orang yang

kuat adalah lemah hingga aku memperoleh hak-hak dari mereka.”


90

Teror ini menyebabkan tertumpahnya darah orang tak berdosa, hilang

dan terampasnya harta benda, terkoyaknya kehormatan, dan porak porandanya

persatuan. Selain itu keadaan yang tenang bisa berubah menjadi fitnah dan

bencana yang dahsyat dan munculah kerusakan di muka bumi. Lalu

berembuslah angin fitnah yang busuk ke tengah masyarakat dan terbentanglah

sayapnya yang mengerikan. Diantara tindak terorisme ini adalah pembajakan

pesawat dan transportasi darat, penculikan penguasa, pengeboman, kudeta,

penyerangan pusat-pusat perdagangan oleh kelompok-kelompok bersenjata

dengan dalih dakwah islamiyyah, lalu membunuh dan merampas harta dan lain

lain. Contoh konkritnya adalah usaha pembunuhan terhadap Raja Abdul Aziz

bin Abdurrahman Alu Faishol tahun 1353 H, penyerangan Masjidil Haram oleh

Juhaiman bin Saif Al- Utaibi dan Muhamad bin Abdullah Al-Qohthoni tahun

1400H, demonstrasi yang dilakukan jama’ah haji Iran pengikut Khomeini

1407H silam, penyerangan Saddam Husain ke Kuwait 1411 H dan lain lain.

Termasuk tindakan terorisme adalah berbagai macam usaha menakut-

nakuti, gangguan, ancaman, dan perampokan. Semua tindak kekerasan atau

ancaman sebagai realisasi tindak kriminal baik dari perorang atau kelompok

dan bertujuan menyebarkan rasa ketakutan di tengah masyarakat, atau

ancaman terror atau perbuatan yang dapat menyeret kehidupan bermasyarakat,

kemerdekaan, atau ketentraman mereka ke situasi yang gawa, semua itu

termasuk perbuatan kerusakan di muka bumi. Allah telah melarangnya dalam

firman-Nya : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.


91

Sesunguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.“

(QS Al-Qoshosh : 77).

Allah telah menyiapkan balasan yang menakutkan bagi pelaku tindak

teror dan kerusakan dan dikategorikan sebagai permusuhan kepada Allah dan

rasul-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi

Allah dan rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka

dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang atau

diasingkan. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di

dunia dan di akhirat mereka memperoleh siksa yang besar.” (QS Al-Maidah :

33)

Termasuk tindakan terorisme adalah terror yang dilancarkan oleh suatu

negara. Yang paling kejam adalah yang digencarkan oleh Yahudi terhadap

muslimin Palstina, agresi dan pembantaian muslim Bosnia Herzegovina oleh

Serbia. Maka tindakan pembelaan diri terhadap merka adalah jihad

fisabilillah.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme

adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja

yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan


92

pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang

dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

a. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda

orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap

obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas

publik atau fasilitas internasional (Pasal 6)80

b. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap

orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,

dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan

harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran

terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau

fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7)81

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme,

berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15

tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak

definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu

Tindak Pidana Terorisme adalah:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.

2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

80
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Op. cit.,
pasal 6.
81
Ibid., pasal 7.
93

3. Menggunakan kekerasan.

4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi

pemerintah.

5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku,

yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

B. Materi Terorisme Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No.15


Tahun 2003

Dalam kasus bom Bali tanggal 12 Oktober tahun 2002, apabila kita

perhatikan bahwa kasus tersebut merupakan unsur sengaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan, telah menimbulkan rasa takut terhadap orang

secara luas, dengan cara meledakan bahan peledak itu disebut sebagai tindak

pidana terorisme karena ia telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu

membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau coba

menyerahkan, menguasai, membawa mempunyai persedian padanya, atau

mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mempergunakan suatu senjata api, atau

amunisi, atau suatu bahan peledak, atau bahan-bahan lainnya yang berbahaya,

dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Penerapan standar ganda Barat dalam upaya memerangi aksi-aksi

terorisme saat ini justru menimbulkan ketidakpuasan berbagai pihak yang tidak

menutup kemungkinan akan melahirkan aksi-aksi terorisme lain dimasa yang

akan datang sebagai akibat tersumbatnya jalan damai dalam mengatasi berbagai

perbedaan pandangan. Upaya perang terhadap terorisme yang dilakukan Barat

sebenarnya tidak menyentuh kepada akar penyebab timbulnya aksi terorisme.


94

Apalagi pelaku teroris dewasa ini cenderung identik dengan identitas muslim yang

terjadi pada pelaku teror Bom Bali ataupun World Trade Center. Namun

sebenarnya ada sisi menarik dan para pelaku teror tersebut terutama untuk kasus

Bom Bali.

Mereka melakukan teror tersebut atas dasar jihad untuk melawan

ketidakadilan yang umat Islam rasakan terutama dari dunia Barat. Hal ini perlu

segera diklarifikasi agar pelaku teror yang mengatasnamakan agama tersebut

sebenarnya telah melakukan kekeliruan di dalam menerapkan konsep jihad

sehingga anggapan islam sebagai agama yang penuh kekerasan dapat dibantah

dengan tegas, padahal kita semua sepakat bahwa islam merupakan agama yang

membawa rahmat bagi segenap manusia yang tercermin dari ajarannya yang

penuh akan nilai-nilai keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia,

masalah utama penyebab terjadinya aksi terorisme ialah masalah keadilan.

Masalah keadilan ini juga yang menyebabkan Amrozi, Imam Samudera

dan rekan-rekannya yang tergabung dalam suatu kelompok melakukan beberapa

peledakan Bom di Indonesia. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan, tetapi

keadilan yang bagaimana yang mereka inginkan, mereka bersembunyi dibalik

nama agama dalam melakukan setiap aksinya dan mengatasnamakan jihad dalam

setiap pelaksanaanya, tetapi apa yang mereka lakukan itu salah dan mereka telah

melakukan kekeliruan terhadap makna dari jihad mereka melakukan terror dan

ketakutan terhadap manusia dengan cara meledakan Bom dan membunuh banyak

orang.
95

Fenomena terorisme yang mengatasnamakan agama bisa jadi merupakan

akibat dari hubungan antar agama negara, ketika Negara dipersepsikan sebagai

representasi agama.82 Sehingga setiap konflik yang muncul antar negara disebut

juga konflik antar agama seperti konflik antara negara Arab dan Israel, padahal

yang menjadi pelaku kekerasan atau teror berasal dari kelompok-kelompok dalam

masyarakat yang memang memiiki perbedaan agama. Namun sulit untuk menarik

hubungan bahwa agama merupakan sumber dari aksi terorisme.

Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita tidak

mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur kebatilan dan

kejahatan serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai jihad. Dimana dalam

Islam diizinkan dengan sengaja membunuh atau mencederakan orang-orang yang

tidak bersalah dan tidak terlibat. Dalam peperangan yang sah saja Islam tidak

mengizinkan tindakan yang demikian, terhadap mereka yang tidak terlibat dan

yang berperang pun meski diperlakukan dengan kemanusian, termasuk si

penggagas sendiri.

Banyak orang mengatakan bahwa terorisme tidak ada kaitannya dengan

Islam sebab tindakan kejahatan seseorang harus dibedakan dengan Islam. Islam

adalah suatu ajaran yang suci sebagaiman tercantum dalam AL-QUR'AN dan di

ajarkan oleh Rasullulah, sedangkan yang melakukan atau berbuat kejahatan

adalah orangnya, jadi Islam harus dibedakan dengan orangnya.

Cara yang proposional untuk menghindari kemungkinan adanya tindakan

teror, bagi muslim adalah dengan cara memperbaiki pemahaman, penghayatan

dan implementasi keislamanya. Pemahaman yang sempit dan dangkal harus

82
Ibid., hlm. 42.
96

diperluas dengan tafsir keagamaan yang inklusif dan esotolik harus sering

digalakkan atau disosialisasikan. Bagaimanapun, dengan pemahaman keagamaan

yang sempit akan sulit menjadi nalar cerdas dalam menyikapi pluralitas sosial dan

demokratisasi dalam beragama Permasalahan terorisme ada 3 faktor yaitu

kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan dari ketiga faktor tersebut yang

menjadi faktor utama timbulnya terorisme pada saat ini ialah faktor ketidakadilan,

pada saat ini lahirnya ketidakadilan memandang sesuatu dengan parameter yang

keliru yang tenyata parameter tersebut cenderung bersifat sepihak, dan akhirnya

menimbulkan sifat fanatisme yang berlebihan.83

Sementara dari sudut pandang agama, bahwa terorisme sebagai kekerasan

politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Agama

Islam mengajarkan etos kemanusian yang sangat menekankan kemanusiaan

universal, Islam mengajarkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian,

keadilan, dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan

dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan

harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus

diperjuangkan dan dibela setiap manusia.

Islam memang menganjurkan dan memberi justfikasi kepada muslim

untuk berjuang dan berperang terhadap para penindas musuh-musuh Islam, dan

pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup

berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum muslim. Islam sebagai agama

yang rahmatan lilalamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan

untuk mencapai tujuan-tujuan tennasuk tujuan yang baik sekalipun, Islam

83
Philip J Vermonte, Op. Cit., hlm. 250
97

menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan

dengan kemungkaran pula. Tidak ada alasan etik dan moral sedikit pun yang bisa

membenarkan suatu tindakan kekerasan, terlebih teror. Dengan demikian kalau

ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu, maka

sudah pasti alasanya bukan karena ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain

yang tersembunyi di balik tempurung tindakan tersebut.

Permasalahan tindak pidana terorisme menurut hukum pidana juga sama

pada masalah ketidakadilan yang dirasakan oleh sekelompok orang. Kinerja

pemerintah dan aparat hukum yang kurang meyakinkan atau belum professional

dalam mengantisipasi dan menghadapi kejahatan-kejahatan berat, maka sulit

dipungkiri kenyataan memprihatinkan, bahwa aparat penegak hukum yang

sebenarnya punya misi mulia untuk menjaga kewibawaan negara hukum akhirnya

dijadikan objek eksperimen oleh kalangan teroris. Teroris posisinya menjadi

subjek yang menentukan, sedangkan penegak hukum menjadi objek yang

menunggu dan ditentukan.

Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 serta peristiwa lain yang

mengikuti termasuk peristiwa Bali 12 Oktober tahim 2002 memunculkan berbagai

pertanyaan pelik yang belum memperoleh jawaban tuntas. Adanya Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme

maka Amrozi, Imam Samudera dan para pelaku terorisme lainnya dapat dijerat

dan dihukum, tapi pada praktek pelaksanaannya banyak hambatan-hambatan

dalam proses penyelesaian dan penanganan tindak pidana terorisme oleh Undang-
98

undang nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

ini.

Hambatan yang harus dihadapi dalam proses penyelesaian dan penanganan

mengenai tindak pidana terorisme, ialah mengajarkan rasa cinta damai dan kasih

sayang serta dialog dan toleransi dalam menyelesaikan kasus terorisme,

mungkinkah itu bisa terwujud, mengingat masyarakat Indonesia yang pluralistik

ini, membangun wacana dialog serta keterbukaan yang penuh semangat toleransi,

ketika truth claim dari suatu kalangan keagamaan tertentu masih dominan dan

truth claim itu kemudiaan digulirkan dalam bentuk kekerasan untuk memvonis

pihak lain yang dipandangnya salah satu bahkan sesat. Jawabannya sudah jelas,

tidak mungkin.

Kita tidak mungkin bergotong royong membangun sebuah jembatan,

ketika yang akan gotong royong justru saling berbeda pendapat tentang satu sama

lain mengenai perlu tidaknya jembatan itu dibangun. Apalagi yang akan dibangun

adalah jembatan dengan fondasi agree in disagreement dengan kerangka

pluralisme dan demokrasi sementara dipihak lain mereka mengusung fondasi

dengan kerangka yang desain serta konstuksinya berbeda namun sudah diklaim

bahwa itulah yang benar dan konstruksi itu pulalah yang harus diikuti.

Hambatan atau permasalahan yang dihadapi oleh hukum pidana dalam hal

ini oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dalam proses peyelesaian dan

penanganan tindak pidana terorisme ialah :


99

1) Mengenai rumusan pasal bersifat karet

Misalnya dalam rumusan definitif seperti dalam pasal 6 ini akan

meyulitkan orang atau rakyat mengira apakah tindakanya

merupakan tindakan terorisme atau bukan. Kesulitan dalam

memprediksi sedari awal sebuah tindakan itu bisa dilihat dari

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas.

Pengertian suasana teror dan tase, takut secara meluas itu sama

sekali tidak ada kuantifikasinya dalam Undang-undang ini, jika

sebuah definisi tidak mengandung kerincian dalam menunjukan

unsurnya, maka terpenuhinya unsur pidana terorisme tersebut akan

sangat ditentukan oleh kehendak dan pandangan subyektif

penyelidik atau penyidik. Sehingga pengertiannya nantinya akan

kabur dan tidak jelas batasanya yang pada giliranya akan sangat

mudah diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam pasal 20

dan 22 terdapat tiga istilah yang sangat luas pengertiannya atau

multi intepetatif, yaitu : pertama istilah, "mengintimidasi". Kedua,

istilah "proses peradilan menjadi terganggu". Dan ketiga, istilah

"tidak langsung". Istilah-istilah tersebut akan membuat orang sulit

untuk memperkirakan apakah tindakannya melawan Undang-

undang ini atau tidak. Setiap orang dengan demikian akan khawatir

atau takut aktifitasnya akan dikualifikasikan sebagai perbuatan

terorisme.
100

2) Adanya delik-delik kealpaan

Pertanyaan pertama yang sangat relevan berkaitan dengan masalah

delik kealpaan ini adalah, apakah suatu kealpaan bisa dianggap

suatu perbuatan terorisme.

Contohnya terdapat dalam BAB III tentang Tindak Pidana

Terorisme pasal 8 huruf d dan pasal 8 huruf g.

3) Penggunaan laporan intelejen

Dalam rumusan ini mengindikasikan bahwa laporan intelejen bisa

digunakan dan bisa tidak digunakan. Namun masalah yang perlu

diperhatikan adalah, "untuk memperoleh bukti permulaan yang

cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen" (pasal

26 ayat 1) ialah, apakah hanya dengan laporan intelejen saja sudah

bisa dikulifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup atau

laporan intelejen tersebut hanya merupakan tambahan saja dalam

mengkualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup. Hal itu

tidak ada penjelasannya.

4) Mengandung justifikasi terhadap pelanggaran HAM

Karena dalam Undang-undang ini masih terdapat penjatuhan

pidana yang berupa pidana mati, sedangkan pidana mati sangat

ditentang karena melanggar HAM.

5) Penulisan yang tidak cermat

Karena dalam Undang-undang ini tidak sedikitpun mengatur secara

khusus mengenai hak-hak tersangka maupun terdakwa. Selain itu


101

hal yang tidak kalah pentingnya adalah, tidak adanya pengertian

atau definisi mengenai terorisme itu sendiri dalam Undang-undang

ini. Tetapi dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya

menyebutkan mengenai pengertian atau definisi dari tindak pidana

terorisme saja.

C. Penyelesaian Tindak Pidana Terorisme Menurut Hukum Islam dan

Undang-Undang No.15 Tahun 2003

1. Upaya Penyelesaian Masalah Terorisme Menurut Hukum Islam

Terorisme adalah perlawanan atau peperangan bukan pada militer,

melainkan pada orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil. Teror

adalah menakut-nakuti dan mengancam, terorisme tidak bisa diterima oleh

akal manusia dan tidak dibenarkan oleh semua agama.

Kejahatan terorisme merupakan produk perilaku kebiadaban, karena

akibat yang ditimbulkan sangat terasa sebagai wujud pelanggaran terhadap

hak asasi manusia (HAM). Di dalam hukum Islam memang ada tindakan

kekerasan yang dibenarkan tetapi hal tersebut sebagai wujud implementasi

hukum (syari'ah), seperti masih diakuinya sanksi dalam bentuk hukuman mati.

Tetapi cara-cara keji seperti yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana

terorisme dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah tidaklah

dibenarkan dalam ajaran hukum Islam.

Dalam pandangan hukum Islam solusi yang terbaik agar tidak terulang

kembali terjadinya tindak pidana terorisme adalah dengan menciptakan rasa


102

cinta damai dikalangan masyarakat, hal ini sesuai dengan makna atau hakekat

dari Islam itu sendiri. Rasa cinta damai ini menunjukan pula akan fitrah

manusia sebenarnya, yang satu sama lainya adalah bersaudara sehingga

pemikiran awal yang harus dimiliki oleh manusia adalah, bagaimana

mempertahankan persaudaraan tersebut. Tentunya mempertahankan

persaudaraan memiliki arti dan aplikasi multi makna, persaudaraan seperti

makna persaudaraan sesama muslim, makna persaudaraan sesama umat

manusia dan lain sebagainya.

Rasa cinta damai yang dimiliki oleh manusia berfungsi untuk

mempertemukan manusia dalam kebaikan, dan menjauhkan manusia dari

kerusakan sehingga bentuk kekerasan seperti terorisme dalam pandangan

Islam sebenarnya dapat dihindarkan manakala umat manusia memiliki rasa

ini, oleh karena itu usaha untuk menumbuhkembangkan rasa cinta damai di

hati umat manusia merupakan langkah awal dalam memerangi terorisme

bukan dengan langkah kekerasan yang justru akan menimbulkan aksi-aksi

serupa dimasa yang akan datang.

Untuk menciptakan rasa cinta damai terutama di lingkungan

masyarakat dan negara tentunya diperlukan figur-figur yang memiliki

komitmen untuk berlaku jujur dan tidak berat sebelah dalam membuat suatu

keputusan. Perilaku ini penting karena dengan kemampuan inilah

permasalahan dari setiap perselisihan dapat diselesaikan dengan situasi

kebijakan yang adil tanpa kekerasan termasuk dalam masalah terorisme.

Keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan hukum dan keadilan sosial.
103

Selain itu hal yang terpenting adalah, bahwa jangan ada lagi salah

tafsir atau salah untuk mengartikan terorisme sebagai bagian dari "jihad",

yang jelas-jelas bahwa agama Islam dan hukum Islam tidak pernah

mengajarkan dan memerintahkan umatnya untuk saling membunuh,

melakukan teror, merugikan orang lain dan semua hal yang dapat

mendatangkan kesengsaraan bagi umat manusia. Terlebih dengan adanya sifat

atau sikap fanatisme yang terlalu berlebihan tanpa melihat suatu permasalahan

dari sisi objektifhya, atau melihat pada ajaran atau hukum Islam yang

sebenarnya, sehingga seseorang atau sekelompok orang tidak terjerumus

dalam ajaran atau pandangan yang salah dengan melakukan tindak pidana

terorisme yang bersembunyi di balik nama agama atau hukum islam yang

mengatasnamakan "jihad".

2. Upaya Penyelesaian Masalah Terorisme Menurut Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2003

Konflik timbul karena adanya ketidaksesuaian dalam hal proses-proses

sosial. Secara teoretik konflik sering didefinisikan sebagai suatu kondisi yang

menunjukkan adanya pertentangan antara dua pihak atau lebih yang saling

berbeda pandangan atau kepentingan. Konflik juga merupakan suatu bentuk

perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti: nilai, status,

kekuasaan, otoritas, dan sebagainya, dimana tujuan dari mereka yang

berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan tetapi juga untuk
104

menundukkan saingannya. Selain itu ada juga yang menganggap bahwa

konflik timbul karena adanya ketidak sesuaian dalam hal proses-proses sosial.

Konflik merupakan suatu bentuk perjuangan untuk memperoleh hal-

hal yang langka seperti: nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya,

dimana tujuan dari mereka yang berkonflik itu tidak hanya untuk memperoleh

keuntungan tetapi juga untuk menundukkan saingannya. Oleh karena itu,

konflik lebih sering dipandang sebagai sesuatu yang bersifat negatif, hal ini

karena orang melihat dampak dari konflik yang bersifat kekerasan (seperti

perang, dan sebagainya) sering menunjukkan kerusakan dan kerugian yang

bersifat materi maupun non materi. Konflik sering dianggap sebagai sesuatu

yang bersifat traumatik, dan mengganggu stabilitas atau keseimbangan yang

menjadi cita-cita ideal masyarakat.

Teori resolusi konflik artinya menghentikan konflik dengan cara-cara

yang analitis dan masuk ke akar permasalahan. Resolusi konflik, berbeda

dengan sekedar 'manajemen' atau 'settlement', yang mengacu pada hasil,

dalam pandangan pihak-pihak yang terlibat, merupakan solusi permanen

terhadap suatu masalah.84

Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang

menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses

terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap

sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi

konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya

dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai

84
Burton Jhon, Conflict Resolution and Prevention, Mac Milan Press, London, 1990.
105

suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak

berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari

dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu

konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk

suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai

suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.

Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika

dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang

relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara

efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan

perdamaian yang langgeng.

Upaya penyelesaian masalah terorisme menurut Undang-undang atau

hukum yang berlaku di negara Indonesia adalah dengan menegakkan hukum

atau peraturan perundang-undangan tersebut dengan sebaik-baiknya, tanpa

membedakan status atau kedudukan seseorang atau sekelompok orang. Selain

itu, dalam pembentukan suatu peraturan atau perundang-undangan tidak boleh

menimbulkan kontroversi, dan harus sesuai dengan keinginan masyarakat,

serta tidak membingungkan bagi masyarakat, selain itu diperlukannya

kedisiplinan dari para aparat penegak hukum agar berbuat adil dan bijaksana

dalam setiap pengambilan keputusan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam hal penerapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang telah disahkan menjadi


106

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme harus dapat berlaku secara efektif, sehingga tercipta keadaan yang

aman, damai, dan sejahtera. Upaya yuridis yang berupa pengaturan hukum

harus disadari sebagai suatu hal yang penting, karena aturan hukum

merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk bertindak secara

proposional dan profesional. Dalam hal pemberantasan tindak pidana

terorisme, dan diharapkan para penegak hukum dapat secara konsisten

sehingga dapat tercipta ketertiban dan keadilan di masyarakat serta

terlindungnya hak-hak asasi manusia.

Selain itu, melalui produk hukum yang diberlakukan yang kemudian

menjadi hukum positip, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi

harkat dan martabat manusia. Hak-hak asasi manusia, seperti hak bebas dari

ketakutan, hak untuk dilindungi jiwa dan nyawanya, dan hak-hak lainnya yang

menjadi tanggungjawab negara untuk melindunginya. Bentuk penghormatan

dan perlindungan yang hams diberikan oleh negara adalah berupa penegakkan

hukum terhadap segala perbuatan yang dikategorikan perbuatan yang

melawan hukum termasuk tindak pidana terorisme.

Penegakkan hukum tersebut akan menentukan citra dan jati diri

Negara hukum, berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara segala tindakan

penguasa dan masyarakat harus berdasarkan atas hukum dan bukan

berdasarkan atas kekuasaan belaka, dengan maksud untuk membatasi

kekusaan penguasa dan melindungi kepentingan masyarakat yaitu


107

perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan yang sewenang-

wenang.

Pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang telah diatur di

dalam Undang-undang tersebut, maka pelaku atau para pelaku tindak pidana

terorisme tersebut harus mendapat sanksi atau hukuman sebagaimana telah

diatur di dalam bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang

tersebut, sehingga diharapkan akan timbul efek jera, dan akan menekan

bahkan diharapkan tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme di Indonesia.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kita perlu menerapkan definisi terorisme dengan tepat supaya kita tidak

mencemarkan pemikiran agama yang murni dengan unsur-unsur kebatilan

dan kejahatan, serta menganggap perjuangan tanpa moral sebagai jihad

yang identik dengan kaum muslim, dimana dalam prakteknya mereka

membunuh atau mencederakan orang-orang yang tidak bersalah.

Sebagimana yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 190,

At-Taubab ayat 5, 24, 16, 73, 74, 111, As-Shoffayat 10-11, Al-Anfal ayat

65, maupun yang terdapat di dalam hadist-hadist shohih, bahwa terorisme

bukanlah jihad, sehingga terdapat kesalahan dalam pemaknaan jihad itu

sendiri. Agama adalah pembawa kesejukan dan kedamaian entah agama

apapun, bukan alat kekerasan yang tampil dengan sangar dan beringas.

Tak satupun agama di dunia ini yang membenarkan tindakan terorisme

meskipun untuk tujuan yang baik, dimana untuk mencapai suatu tujuan

tidak dapat menghalalkan berbagai cara walaupun tujuan yang baik

sekalipun.

2. Hambatan yang terjadi dalam proses penyelesaian dan penanganan

terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh hukum pidana, ialah

dalam hal Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dalam penerapan

terhadap tindak pidana terorisme, terjadi pada beberapa pasal di dalam

104
109

Undang-undang tersebut yang mempunyai banyak kelemahan diantaranya:

- Rumusan pasalnya bersifat karet (pasal 6, pasal 20, dan pasal 22);

- Adanya delik kealpaan (pasal 8 huruf d, dan pasal 8 huruf g);

- Penggunaan laporan intelijen (pasal 26 ayat 1);

- Mengandung justifikasi terhadap pelanggaran HAM, (pasal 6, pasal 8,

pasal 9, pasal 10, pasal 14);

- Penulisan tidak cermat, dengan tidak adanya definisi terorisme dalam

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.

Hambatan yang terjadi dalam proses penyelesaian dan penanganan

terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan juga ialah bahwa

keanekaragaman suku, ras, agama di Indonesia melahirkan sifat ego dari

masing-masing golongan tersebut, tiap golongan mengklaim bahwa

dirinya yang paling benar. Jadi intinya hambatan untuk menciptakan tata

cara dan kasih sayang, dialog serta toleransi itu terganjal oleh sifat

pluralistik dari bangsa Indonesia.

3. Dalam pandangan hukum Islam solusi yang terbaik agar tidak terulang

kembali terjadinya tindak pidana terorisme adalah dengan menciptakan

rasa cinta damai dikalangan masyarakat. Adapun cara untuk menciptakan

suasana cinta damai diantaranya adalah dengan usaha:

a) Menciptakan silaturahmi secara terus-menerus, memelihara kasih

sayang dan menghindarkan ucapan, sikap dan tingkah laku yang dapat

menyinggung atau melukai perasaan apalagi menimbulkan

perselisihan;
110

b) Bersedia untuk menciptakan suasana damai apabila ada pihak lain

yang mengajak untuk berdamai, sehingga bentuk-bentuk

penyelesaian segala perselisihan dengan kekerasan yang

menimbulkan kemudharatan dapat dihindarkan;

c) Dengan cara berdialog dan mengembangkan sikap toleransi antar umat

beragama.

Upaya penyelesaian masalah Terorisme menurut Undang-undang Nomor

15 Tahun 2003 adalah selain dengan menegakkan supermasi hukum di

Negara Indonesia, dibutuhkan juga kesadaran dari seluruh lapisan

masyarakat, bahwa tindak pidana terorisme tidak akan membawa pada

suatu perubahan yang lebih baik. Terorisme hanya akan membawa

kesengsaraan dan menimbulakan perpecahan. Tentunya sangat diharapkan

bahwa Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme ini

dapat berlaku secara efektif, agar tidak terjadi lagi tindak pidana terorisme

dimasa yang akan datang.

B. Saran

1. Bahwa tindak pidana terorisme yang mengatasnamakan jihad atas dasar

hukum Islam adalah suatu kekeliruan yang besar, maka dari itu harus

adanya suatu kesepahaman atas makna dari jihad itu sendiri, dengan

kembali mengacu pada Al’Quran dan Hadist, sehingga tidak ada lagi

kesalahan penafsiran atas makna dari jihad yang sebenarnya.


111

2. Bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, masih terdapat kerancuandalam

beberapa pasalnya, sehingga diperlukan perubahan untuk beberapa

pasalnya atau dengan menambahkan penjelasan atas beberapa pasalnya,

sehingga tidak ada penafsiran yang salah atas isi pasalnya, terutama

memasukan satu pasal mengenai pengertian dari terorisme, sehingga jelas

mengenai apa yang dimaksud dengan terorisme.

3. Agar solusi di atas dapat dilaksanakan hrus ada kerjasama dari setiap

lapisan masyarakat dan pemerintah, dengan cara menolak dan menentang

segala bentuk terorisme. Apa yang dihasilkan dari terorisme hanya akan

memupuk kenistaan, kesedihan, dan keresahan bagi masyarakat, karena

watak dari terorisme yang identik dengan kekerasan dan teror. Peristiwa

yang menimpa Bali dapat dijadikan momentum untuk merefleksi sejauh

mana keberagamaan kita dalam kebangsaan. Dengan demikian akan

tercipta satu kesatuan yang utuh diantara semuanya sehingga tidak terjadi

lagi tindak pidana terorisme dimasa yang akan datang.


112

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Hamka, Tafsir Al-Azhar, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986.

Mochtar Naim, Kompendium Himpunan ayat-ayat AL-QUR’AN yang berkaitan


dengan hukum, Hukum Hasanah, Jakarta, 2001.

A.C Manullang, Menguak Tabu Intelejen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei,
Jakarta, Januari 2001.

Abdillah Toha, Islam dan Sikap Defensif, Republika, 15 Agustus 2003.

Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif


Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung 2004.

Al-Akiti, Muhammad Afifi. Defending The Transgressed by Censuring The


Reckless Against The Killing of Civilians. Germany: Warda Publication,
2005.

Al-Madkhly, Muhammad, Terorisme dalam Tinjauan Islam, Makhtabah Salafy


Press, Tegal, 2002.

Al-Zuhaylî, Wahbah. al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh. Damaskus: Dâr al-Fikr,


2004.

Amirudin, Terorisme, Definisi dan Aksi mengenai Undang-undang Nomor 15


Tahun 2003.

As’ad As-Sahamrani, Menyingkapi Teroris Dunia, Era Intermedia, Solo, 2005.

Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia,Grafindo, Jakarta, 2005.

Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Burton Jhon, Conflict Resolution and Provention, MacMilan Press, London,


1990.

Daud Ali, Islam Untuk Disiplin, Ilmu Hukum, Sosial dan Politik, Bulan Bintang,
Jakarta, 1988.

Daud Ali, Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
113

Haryo Sasongko, Terorisme, Dialog dan Toleransi, Pustaka Grafika, Jakarta,


2006.

Hajar, `Ahmad bin Muhammad `Ibn. al-Zawâjir. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.t.

___________, Terorisme, Perpu No.1 Tahun 2002 dalam Perspektif Hukum


Pidana dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis
dan Associates, 2001.

Kunarto, Intelejen Pengertian dan Pemahamannya, Jakarta: Cipta Manunggal,


1999.

Laher, Suheil. “Indiscriminate Killing”. The State We Are In – Identity, Terror


and The Law of Jihad. ed. Aftab Ahmad Malik. Bristol: Amal Press,
2006.

Luqman Hakim, Terorisme di Indonesia, Forum Studi Islam Surakarta, Surakarta,


2004.

Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mansur, Dikdik M. Arief. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan. Jakarta:


Rajagrafindo Persada, 2007.

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Muhammad Afifi al-Akiti, Defending The Transgressed by Censuring The


Reckless Against The Killing of Civilians (Germany: Warda
Publication, 2005), 20.

Philips J Vermonte, terorisme definisi, aksi, dan regulasi, imparsial, Jakarta, 2003.

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama,


Bandung, 2002.

Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM,


Jakarta, 1990.

Wahbah al-Zuhaylî, al-Fiqh al-`Islâmî wa `Adillatuh (Damaskus: Dâr al-Fikr,


2004), vol. 8, 5855.
114

Undang-Undang :

___________, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab


Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Asa Mandiri, 2006.

___________, Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Fokusmedia,


Jakarta.

___________, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana


Pemberantasan Terorisme dan Pancasila, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2006.

Yesmil Anwar, Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke 4, Citra Umbara,


Bandung, 2000.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme.

Sumber Lain :

Azyumardi Azra, Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Histories,


Dalam Jurnal Islamika, edisi 4, April-Juni 1994.

Fauzan, Saya Teroris (“Sebuah Pledoi”), Republika, Jakarta, 2002.

History Of Terorism, http: // www.terrorisfiles.org/ encyclopedia/


history_of_terrorism.html.

http://akitiano.blogspot.com/2009/12/kejahatan-terorisme-kajian-prespektif.html

http://abualitya.wordpress.com/2009/01/21/definisi-terorisme/

http: //alghuroba.org/index.php?read=54

http: //id.wikipedia.org/wiki/Terorisme

http: //groups.yahoo.com/group/assunnah/message/32044

http: //www.detiknews.com/read/2008/11/09/015608/1033710/10/kronologi-bom-
bali-eksekusi-mati-amrozi-cs.

http: //www.Kompas.Com/kompas-cetak/0211/13/opini/berb04.html.

Indriyanto Seno Adji, Bali, Terorisme dan Ham, Kompas, Selasa, 29 Oktober
2001.
115

“Jangan Cepat Menuding”. Utusan Online, (Online),


(http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?
y=2009&dt=0919&pub=utusan_malaysia&sec=Muka_Hadapan&pg=m
h_01.htm&arc=hive, diakses tanggal 15 November 2009).

M. Abdul Gani, Jurnal Ilmu Hukum, Litigasi, Fakultas Hukum Pasundan Volume
4, Nomor 1 Februari 2003.

Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal


Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III Desember 2002.

___________, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam


Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI no III. Desember
2002.

Rikard Bangun, Indonesia di Peta Terorism Global, http://www.polarhome.com,


17 November 2002.

“Suicide Attack”, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_attack, diakses


tanggal 21 Mei 2010.

Usamah bin Ladin, Karya Asli Fatwa dan Wawancara Usamah bin Ladin
(Jakarta: Ababil Press, 2001), 63.

www.lebahmuda.multiply.com/journal/multi-culture.

You might also like