You are on page 1of 227

“Copyan artikel-

artikel”

MUHAMMAD
2010
Jilbab mengurangi penyakit kangker

Saat ini, jilbab bukan lagi fenomena kelompok sosial tertentu, tetapi sudah menjadi
fenomena seluruh lapisan masyarakat. Tidak sedikit jumlah artis, eksekutif, dan publik figur
lainnya menggemari dan menggunakannya.

Beruntunglah Anda yang sudah mengenakan jilbab (veil), kerudung bagi wanita muslim
ini tak hanya menunjukkan kerendahan hati dan kesopanan, tetapi juga melindungi Anda dari
penyakit mematikan.

Jilbab yang dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador (Iran), pardeh (India dan
Pakistan), milayat (Libya), abaya (Irak), charshaf (Turki), hijab (Mesir, Sudan, dan Yaman),
dapat memperkecil risiko pemakainya terkena kanker tenggorokan dan hidung. Alasannya, jilbab
mampu menyaring sejumlah virus yang suka mampir ke saluran pernapasan bagian atas.

Profesor Kamal Malaker asal Kanada, menyatakan wanita Arab Saudi – yang sebagian
besar menutup wajahnya secara penuh- jarang sekali terserang virus Epstein barr, yang
menyebabkan kanker nasofaring. Bisa dikatakan jumlah penderita kanker jenis ini sangat rendah.

“Jilbab melindungi wanita dari infeksi saluran pernapasan bagian atas, ” tulis Saudi
Gazette, Jumat (19/3), mengutip pernyataan Malaker, “Di Arab Saudi, jumlah wanita penderita
kanker nasofaring sangat rendah dibandingkan laki-laki,” lanjut Malaker.

“Kenyataan ini sungguh menarik, bagaimana pakaian adat yang begitu sederhana
memiliki pengaruh begitu besar pada kehidupan manusia,” ujar Malaker, kepala bidang onkologi
radiasi Rumah Sakit King Abdul Azis.

Kanker nasofaring merupakan kanker yang paling banyak diderita masyakarakat untuk
jenis kanker Telinga Hidung Tenggorokan (THT) Kepala Leher (KL).

Tingginya angka penderita kanker nasofaring terutama akibat keberadaan virus epstein
barr yang hampir ada pada 90 persen masyarakat di negara berkembang. Jika virus tersebut
‘terbangun’, maka dapat terjadi mutasi sel yang berujung pada kanker nasofaring. Nasofaring
merupakan saluran yang terletak di belakang hidung, tepatnya di atas rongga mulut.
Gejala awal dari kanker nasofaring tersebut antara lain gejala pada telinga yang ditandai
dengan dengingan terus-menerus pada telinga.

Di samping itu, sering disertai gejala pada hidung seperti pilek berkepanjangan yang
disertai dengan darah, suara parau yang berkepanjangan, sering mimisan dan nyeri saat menelan.

Kanker nasofaring merupakan penyakit kanker keempat yang paling banyak menyerang
penderita kanker di Indonesia. (zrp/Reuters)

Sumber: Kompas.com

Sedekah lewat senyum

"Senyummu terhadap saudaramu merupakan sedekah."

(Riwayat al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam (SAW) adalah pribadi yang selalu


tersenyum.Diriwayatkan dari Jabir dalam Shaih Bukhari dan Muslim, Jabir berkata,”Sejak aku
masuk Islam, Rasulullah SAW tidak pernah menghindar dariku.Dan beliau tidakmelihatku
kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku,”.

Makanya, Rasulullah SAW juga menganjurkan umatnya untuk tersenyum kepada saudara
mereka.Ini menunjukan bahwa aktivitas tersenyum bukanlah hal yang remeh, apalagi sia-sia,
bahkan sebaliknya.menunjukkan bahwa tersenyum itu sangat penting.

Pendapat itu didukung oleh para ahli.Majalah Psychology Today pernah menurunkan
nasihat, dengan tersenyum orang lain yang baru mengenal bakal merasa nyaman untuk
melakukan komunikasi.Dan ketika seseorang tersenyum, betapapun sedang tidak bahagianya
orang tersebut, otak mereka akan mengeluarkan sejumlah zat kimia yang tak hanya
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, tapi sekaligus juga memberi daya daya angkat bagi
kondisi psikologis seseorang.
Seorang psikolog di Universitas Michigan, Prof.James V.McConnel juga mengatakan
bahwa, orang yang tersenyum cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih
efektif, serta mampu membesarkan anak-anak yang lebih bahagia.Senyum itulah yang
mendorong semangat.

Kesimpulannya, ternyata disamping baik untuk kondisi fisik dan psikis yang
bersangkutan, senyuman juga memberikan dampak positif bagi orang lain.Pantaslah jika
Rasulullah SAW menilainya sebagai bentuk sedekah.

Sumber:Majalah Hidayatullah

Umur yang mencair seperti Es

Cepat sekali waktu berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi
menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin
ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita... semakin dekat ke liang
lahat. Saudaraku, entah, apakah pertambahan dan perguliran waktu itu, berarti mendekatkan diri
kita pada kenikmatan surga. Atau mendekatkan kita pada kesengseraan neraka. Nauzubillah....

Rasul saw. Menyifatkan cepatnya perjalanan waktu kehidupan seperti perjalanan seorang
musafir yang hanya sejenak berhenti di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat panjang.
Para ulama juga banyak menguraikan ilustrasi tentang hidup yang amat singkat ini. "Umurmu
akan mencair seperti mencairnya es, " kata Imam Ibnul Jauzi. (Luthfu fil Wa'z, 31)

Saudaraku, sahabatku,

Semoga Allah memberkahi sisa usia kita, Permasalah terbesar setiap orang adalah ketika
kecepatan umur dan waktu hidupnya tidak seiring dengan kecepatannya untuk menyelamatkan
diri dari penderitaan abadi di akhirat. Ketika, usia yang sangat terbatas itu tidak berfungsi
sebagai pelindung diri dari beratnya adzab dan siksa Allah swt. Di saat, banyaknya hembusan
dan tarikan nafasnya tak sebanding dengan upaya dan jihadnya untuk terhindar dari lubang
kemurkaan Allah. Ketika, jumlah detak jantung dan aliran darah yang di pompa di dalam
tubuhnya, tak sebanyak gerak dan tingkahnya untuk menjauhi berbagai kemaksiatan yang dapat
memunculkan kesengsaraan akhirat.

Saudaraku,

Sesungguhnya jiwa kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah jiwa ini akan kembali....

Suasana hati seperti inilah yang perlu kita tumbuhkan. Adakah di antara kita yang tidak
mempunyai dosa? Atau merasa mampu menebus kotoran dan dosa yang telah dilakukan selama
puluhan tahun usia yang telah lewat? Tentu tidak. Perasaan kurang, merasa banyak melakukan
kemaksiatan, lalu menimbulkan penyesalan adalah bagian dari pintu-pintu rahmat Allah yang
akan mengantarkan kita pada taubat. Suasana hati seperti inilah yang akan mendorogng
pemilikinya bertekad mengisi hari dengan amal yang lebih untuk menebus kesalahan yang lalu.

Saurdaraku, mari menangguk pahala, meraih rahmat dan ampunan Allah sebanyak-
banyaknya sekarang juga. Perbanyaklah dzikir, bersedekah, berjihad dan beramal shalih.....Tak
ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan. Sekarang dan jangan tunda-tunda lagi niat baik
kita.... Semoga Allah meneguhkan kekuatan kita untuk melakukan kebaikan yang kita niatkan...

Amiiin.

Kecantikan wanita

Untuk membentuk bibir yang menawan, ucapkanlah kata-kata kebaikan. Untuk


mendapatkan mata yang indah, carilah kebaikan pada setiap orang yang anda jumpai. untuk
mendapatkan bentuk badan yang langsing, bagikanlah makanan dengan mereka yang kelaparan.
Untuk mendapatkan rambut yang indah, mintalah seorang anak kecil untuk menyisirnya dengan
jemarinya setiap hari. Untuk mendapatkan sikap tubuh yang indah, berjalanlah dengan segala
ilmu pengetahuan, dan anda tidak akan pernah berjalan sendirian.

Manusia, jauh melebihi segala ciptaan lain. Perlu senantiasa berubah, diperbaharui,
dibentuk kembali, dan diampuni. Jadi, jangan pernah kecilkan seseorang dari hati anda. Apabila
anda sudah melakukan semuanya itu, ingatlah senantiasa. Jika suatu ketika anda memerlukan
pertolongan, akan senantiasa ada tangan terulur. Dan dengan bertambahnya usia anda, anda akan
semakin mensyukuri telah diberi dua tangan, satu untuk menolong diri anda sendiri dan satu lagi
untuk menolong orang lain.

Kecantikan wanita bukan terletak pada pakaian yang dikenakan, bukan pada bentuk
tubuh, atau cara dia menyisir rambutnya. Kecantikan wanita terdapat pada mata, cara dia
memandang dunia. Karena di matanya terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia, di mana
cinta dapat berkembang.

Kecantikan wanita bukan pada kehalusan wajah. Tetapi pada kecantikan yang murni,
terpancar pada jiwanya, yang dengan penuh kasih memberikan perhatian dan cinta dia berikan.
Dan kecantikan itu akan tumbuh sepanjang waktu

http://catatanharian.wordpress.com

Sepotong Cinta

"Pakabar, Cinta?”

Ini adalah pertanyaan yang selalu saya dengar ba’da salam, setiap kali saya
berjumpa dengan Maimon Herawati, muslimah kelahiran Padang yang merantau ke Jakarta dan
bekerja sebagai Redaktur Majalah Wanita Islam “Ummi”. Kata ini adalah kata yang sangat
sederhana, namun membuncah perasaan saya setiap mendengarnya.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Dan ini adalah sapa kedua ba’da salam yang selalu saya dengar dari rekan kerja saya, Ifa
Avianty. Memandang wajahnya saya selalu merasa ringan, seakan puluhan orang mengulurkan
tangannya dan siap mendekap saya.
“Apa pun yang kamu perlukan,” kalimat ini merupakan terjemahan dari senyum dan
anggukan tulus teman saya, Meutia Geumala, setiap kali saya datang padanya.

Tetapi tak ada kata yang terucap ba’da salam, dan hanya keheningan sesaat, setiap kali
saya bertemu dengan Nurul Hidayati, seorang muslimah biasa, yang banyak membagi makna
kehidupan dalam cahaya Islam kepada saya. Mata dan hati kami yang bicara, dan kedua matanya
yang jeli akan berkaca-kaca. Sedang saya selalu menangis, tanpa sepatah kata pun. Lalu orang-
orang sekeliling kami akan menatap tak mengerti.

Setiap kali bertemu seseorang saudara di sabilillah, kau akan menyadari, betapa mereka
berarti dan meninggalkan jejaknya dalam di hatimu, walau jarak dan waktu membentang. Maka,
tinggalkanlah juga jejakmu di hati saudara fillah yang kau cintai. Dan kau tak akan merugi
sedikitpun.

HTR, dari: Pelangi Nurani, Penerbit Syaamil, 2000

Amarah Laut dan Cinta Terputus

Allah, Allah, Allah. Hembusan nafas-Mu menjelma butiran-butiran salju yang turun satu-
satu. Titik-titik putih yang lembut melayang di tengah kegelapan mahaluas. Tengah malam. Kota
ini masih terjaga, tepat di jantung Eropa. Kerlap-kerlip lampu menjelma jutaan kunang-kunang
terbang di kejauhan. Kota tua di jantung Eropa, meringkuk berselimutkan musim dingin yang
perlahan mencapai puncaknya. Temperatur udara menurun dengan cepat, beberapa derajat
celsius di bawah nol.

Aku belum tertidur, kekasihku. Mataku masih terpicing. Aku masih menyelam di dalam
lautan jiwaku yang gelisah. Memikirkanmu. Di manakah kamu, kekasihku?

Allah, Allah, Allah. Nafas-Mu menyentuh ujung-ujung bulu mataku, membasahi kelopak
mataku yang membengkak seperti permukaan kulit kerang yang tebal. Adakah Kau dapat
merasakan gemuruh langit kelabu di dalam dadaku? Hujan yang turun di bulan Desember.
Begitu senyap di luar, begitu bergejolak di dalam diriku.

Seperti gelombang laut yang meluruk masuk daratan berkilo-kilometer jauhnya. Di


Banda Aceh, kota kelahiranku. Ya, Allah, aku merindukan kota kelahiranku itu. Seperti apakah
sosoknya sekarang setelah bencana itu? Aku merindukan setiap sudut kota yang kukenal dan
telah menjadi orang tua asuhku sejak lama. Ia menyaksikanku tumbuh. Dari seorang anak yatim
piatu menjadi seorang perempuan dewasa, istri, dan ibu, yang berani terbang jauh ribuan
kilometer ke jantung Eropa untuk menimba ilmu. Banda Aceh-ku, seperti apakah sekarang
rupamu?

Oh, aku merindukan pemandangan Masjid Raya Baiturrahman yang dulu begitu kukenal.
Arsitekturnya yang megah dan menenteramkan mata menjadi penanda penting kotaku itu.
Bentangan Krueng Aceh, sudut-sudut kawasan Rex, tempat favorit untuk ngobrol bersama teman
sambil menikmati makanan dan kopi Aceh. Aku merindukan Pakcik Hazil dan Makcik Khadijah,
kedua orang tua angkatku, manusia mulia, yang telah membesarkanku dengan curahan kasih
sayang yang takkan mungkin kubalas. Betapapun aku menyerahkan seluruh hidupku untuk
membahagiakan mereka. Aku merindukan Bang Hasan, suamiku tercinta, yang menggenggam
separuh jiwaku, dan separuh jiwanya juga berada dalam genggamanku.

Orang-orang tercinta. Di manakah kalian? Aku limbung dan tak lagi bisa menangis.
Begitu saja aku kehilangan kontak dengan kalian. Masih hidupkah? Atau sudah tiada? Jika mati,
siapa memandikan dan mengafani jasadmu? Siapa memimpin shalat jenazah dan menyerukan
Adzan menjelang ditutupnya tanah liang lahatmu? Di manakah nisan kuburmu? Ataukah semua
itu terlalu mewah untuk keadaan darurat di sana, sehingga aku harus mengikhlaskan jika jenazah
kalian yang hanya terbungkus plastik dikubur massal bersama korban-korban lainnya di lubang
besar yang becek?

Ya Allah, hidup dan mati dalam genggaman-Mu. Aku tak lagi bisa menangis. Karena air
mata takkan mengubah apa pun. Banda Aceh. Seperti apakah kotaku itu sekarang? Aku melihat
gambar-gambar mengerikan terserak di internet, televisi, dan koran pagi. Mayat- mayat telantar
di berbagai sudut kota dan desa. Gambar-gambar kehancuran kota-kota pesisir di Nanggroe-ku.
Aku melihat semuanya. Banda Aceh, Meulaboh, Calang, Lhok Nga, Simeuleu. Semuanya.
Ya Allah Yang Maha Rahman, adakah jawaban untuk itu semua? Aku tak tahan dengan
kebisuan-Mu. Minggu pagi, 26 Desember 2004, setelah gempa berkekuatan 8,9 skala Richter di
kedalaman Lautan Hindia, disusul hantaman gelombang Tsunami itu, hidup tak akan pernah lagi
sama bagi setiap orang Aceh. Tak akan pernah sama. Juga buatku.

Malam semakin larut. Di luar, salju semakin deras turun. Pikiranku masih mengembara.
Aku ingin pulang. Mengemas barang-barangku sesegera mungkin. Mencari tahu kabar orang-
orang tercinta. Mungkinkah itu kulakukan sekarang? Aku teringat telepon terakhir Bang Hasan
dari Banda Aceh, malam terakhir sebelum datangnya bencana itu. Pesan yang harus kupatuhi.
Selesaikan dulu studimu. Keadaan masih belum terlalu aman. Mudah-mudahan keadaan menjadi
lebih baik buat kita dan buat Aceh di tahun-tahun mendatang. Oh, serasa suara Bang Hasan terus
tergiang di benakku.

Bang Hasan. Senyumnya yang lembut, sorot matanya yang mengingatkan pada rembang
petang tatkala matahari bersiap tenggelam, membuatku sulit menolak ketika ia memintaku mau
menjadi istrinya beberapa tahun lalu. Hanya berselisih sebulan setelah tiran tua yang memerintah
lebih tiga dasawarsa itu mengundurkan diri. Aku baru menyelesaikan studi S1. Kenaifan
membuatku memiliki harapan berlebih terhadap masa depan Aceh. Kupikir, setelah terjadi
pergantian kepemimpinan nasional di ibu kota negara, keadaan akan menjadi lebih baik buat
Nanggroe-ku.

Aku salah. Bang Hasan-lah yang menyadarkanku. Betapa Aceh sudah kebal dikecewakan
orang-orang dari Pusat. Kurang apa yang diberikan Aceh untuk negeri ini, kata Bang Hasan
dengan berapi-api. Siapa yang tidak mengakui kegigihan para pahlawan nasional dari tanah
rencong? Aceh-lah satu satunya daerah yang tidak mampu ditaklukkan secara utuh oleh
Kolonialisme Belanda hingga menjelang masuknya balatentara Dai Nippon.

Dalam keadaan darurat Revolusi Kemerdekaan, para perempuan Aceh pula yang dengan
sukarela mengumpulkan perhiasan berharga milik mereka, agar Republik ini untuk pertama
kalinya bisa memiliki pesawat sendiri untuk menerbangkan pemimpin nasionalnya, kata Bang
Hasan sambil menunjuk DC-3 Seulawah yang kini terpajang di lapangan Blang Padang, Banda
Aceh.
Ah, Bang Hasan. Matahari hidupku. Ia selalu berbicara dengan bersemangat jika sudah
menyinggung masalah ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Cerita selanjutnya aku
pun tahu. Kekecewaan demi kekecewaan, mulai dari digabungnya Aceh sebagai bagian Provinsi
Sumatera Timur pada zaman Orde Lama, hilangnya kekayaan alam dikeruk perusahaan
multinasional, pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) yang membawa korban
perempuan, anak-anak, dan orang-orang tidak bersalah.

Mereka memilih membunuh lalat yang menjengkelkan dengan meriam, tambah Bang
Hasan dengan nada pahit. Aku hanya bisa memandang Bang Hasan dengan tatapan iba. Tentu
kekasihku itu mengerti betul. Ia tahu apa artinya kehilangan orang yang dicintai, saudara
kandung, pada masa pemberlakuan DOM di Aceh.

Bang Hasan memang hanya seorang intelektual. Seorang dosen berhati lembut yang tidak
mungkin bergabung dengan gerakan separatis bersenjata. Namun, sebagai seorang terdidik, ia
pun selalu berbicara lantang perihal ketidakadilan yang dialami tanah kelahiran kami. Karena
itulah, kecemasan telah menjadi bagian sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga kami. Sudah
biasa bagi kami jika merasa ada seseorang tengah memata-matai kami. Teror melalui telepon pun
sering kami terima. Bang Hasan pun pernah merasakan beratnya interogasi aparat keamanan dan
ditahan di balik tembok berterali besi. Namun, tak pernah sekali pun kusesali pilihan hidupku
bersama Bang Hasan.

Tepat sebelum darurat militer diberlakukan di Aceh, Bang Hasan-lah yang memintaku
berangkat ke Eropa untuk menerima tawaran beasiswa melanjutkan pendidikanku di sana.
Bawalah Ilham, katanya sambil tersenyum. Ia bisa menjadi malaikat kecil pelindungmu di sana,
katanya sambil mencubit pipi anak kami satu-satunya itu.

Allah, Allah, Allah. Langit masih gelap di luar sana. Kulihat Ilham-ku terbangun dari
tidurnya. Ia biasa begitu. Suka terbangun tengah malam, meminta minum atau diantar ke kamar
mandi. Ia mengucak-ucak matanya. Melihatku.

"Bunda…"

"Ya, Nak…"

"Bunda belum tidur? Bunda masih terus menangis?"


Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku mengalihkan perhatiannya dengan bertanya,
"Ilham mau minum?"

Ia mengangguk. Aku mengambilkan air minum untuknya. Usianya baru lima tahun.
Ilham terlalu tenang untuk anak seusianya. Terkadang aku merasa seperti tengah berhadapan
dengan orang dewasa yang memiliki kematangan spiritual. Sering aku berpikir, mungkinkah
Ilham tergolong anak indigo, anak yang memiliki bakat khusus berupa kekuatan intuisi dan
indera keenam?

Semalam sebelum datangnya bencana itu, Ilham tampak lebih pendiam daripada
biasanya. Matanya berkabut. Kutanya, ada apa? Dua butir air mata jatuh di pipinya. Aku merasa
Ayah, Kakek, dan Nenek, akan pergi jauh meninggalkan kita, katanya dengan terbata-bata.
Pergi? Pergi ke mana? Mereka tidak akan pergi ke mana-mana. Mereka menunggu kita di
kampung halaman. Mengapa Ilham berkata begitu?

"Bunda, kok melamun?"

Mataku yang bengkak mengerjap. Ya, aku masih di sini, bersama Ilham anakku. Ribuan
kilometer jauhnya dari tanah air sendiri.

"Bunda ingat Ayah, ingat semuanya. Bunda mencemaskan keselamatan mereka."

Ilham sudah tahu dari ceritaku soal bencana itu. Bahwa sesuatu yang sangat dahsyat telah
menimpa kampung halaman kami semua.

Ilham memelukku. "Bunda jangan sedih terus," katanya. "Mengapa Bunda tidak boleh
bersedih?"

"Tadi aku bertemu Ayah dalam mimpi. Tidak usah mencemaskan kami, begitu pesan Ayah."

"Ayah bicara seperti itu dalam mimpi Ilham? Lalu apa lagi?"

"Kata Ayah, kelak kita akan berkumpul kembali bersama-sama di tempat terbaik yang
disediakan Allah untuk kita."

Ya Allah, kupeluk anakku satu-satunya. Mataku kembali basah. Inikah isyarat dari-Mu,
Tuhanku? Bahwa aku harus merelakan kepergian orang-orang yang kucintai?
Baiklah. Aku belum mati. Aku hanya bersedih. Kesedihan tidak akan mampu
membunuhku. Aku perempuan Aceh. Perempuan Aceh sudah berkawan dengan kesedihan sejak
lama. Aku menatap Ilham-ku. Aku tahu sekarang apa yang harus kulakukan. Aku akan bertahan
hidup untuknya.

Rachmat H. Cahyono

Dengarkan Bisikanku Ibu!

Dengarkan bisikanku ibu!

Ibu... kini Engkau jauh dariku..

Ingin kurengkuh dalam pelukanmu

Rengkuhlah aku dalam pangkuanmu

Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak
perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang pernah akrab dengan dengan
kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi
bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat kudengar alunan lagu tentang
ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan
dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku.

Sudah setahun terakhir ini aku dan temanku memang tinggal di rantau dalam rangka
studi. Ada masa-masa dimana aku dan temanku bertemu, berbagai rasa, suka dan duka. Obrolan
kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada
yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya
pada ibunya di tanah air yang sudah satu tahun ditinggalkannya karena harus menuntut ilmu di
negeri Sakura. Kulihat air matanya pun menetes mengingat kerinduan itu.

Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan
kesukaannya yang sangat lezat. Kebanggaan itu diperkaya dengan status ibunya sebagai seorang
peneliti dengan karir yang sangat cemerlang di salah satu instansi pemerintah. Namun betapapun
sibuk ibunya, beliau masih menyempatkan diri untuk selalu memeluk tubuh sahabatku saat dia
akan memejamkan mata. Betapapun sibuk ibunya menyiapkan pakaian yang pantas saat
sahabatku hendak wisuda di akhir kuliahnya adalah bagian lain yang tidak pernah dia lupakan.
Sahabatkupun selalu meminta nasehat ibunya saat dia tengah dirundung masalah. Bagi
sahabatku, ibunya adalah sosok wanita yang pantas ditirunya.

Sedangkan bagiku, ibu adalah sosok yang tidak pernah kurasakan kehadirannya. Saat aku
kedinginan dan ketakutan, aku hanya mampu berdiam di kamar dan memeluk tubuhku sendirian.
Bahkan saat ku terima dua buah undangan khusus yang diberikan universitas saat wisuda
istimewaku, aku tidak tahu siapakah yang harus turut merasakan kebahagiaanku saat itu. Aku
hanya terdiam saat itu tanpa tahu apa yang hendak kulakukan. Atau saat aku merasa sedih di
negeri Sakura inipun, aku tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Lagi–lagi aku hanya bisa
menuliskan untaian kalimat yang melukiskan perasaanku di laptopku.

Akupun tidak tahan untuk menahan rasa kerinduan yang teramat dalam atas ibuku. Rasa
rindu itu semakin membara terasa saat ku harus menuntut ilmu di negeri Sakura ini. Entah sudah
berapa cara yang kucoba tuk menemukan ibuku tercinta. Tapi Allah mungkin belum
menakdirkan pertemuan kami berdua.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan ibuku sebagai seorang hamba Allah, mungkin
ibuku bukanlah seorang yang istimewa seperti ibu sahabatku. Beliau hanyalah seorang wanita
biasa yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam
pendidikan. Beliau adalah seorang wanita yang harus menjalani liku-liku kehidupan dengan
begitu kerasnya. Beliau juga harus berjuang mengais rezeki untuk sesuap nasi untuk anaknya
dengan jalan meminta uang dari para pemilik kendaraan beroda empat.

Sejak kecil hingga 22 tahun kini, aku hanya bisa menatap teduh wajah ibuku sebanyak
tiga kali, yaitu saat aku duduk di taman kanak- kanak. Saat itu ibu masih memakaikan seragam
sekolah TK ku dan juga masih menyisir rambutku. Tapi tiba- tiba dengan alasan yang tidak ku
mengerti saat itu, ibu meninggalkanku.

Aku menangis sambil memegangi kedua kaki ibuku dan memohon agar tidak
meninggalkanku. Tapi ibu menepiskan kedua tanganku dan berlalu meninggalkan diriku yang
masih kecil tanpa menoleh lagi ke arahku. Tanpa mengerti apa latar belakang pertengkaran
antara ibu dan ayahku, kusadari itulah penyebab utama kepergian beliau.

Setelah kepergian ibu, kakeklah yang memandikan dan memakaikan seragam sekolah
juga menyisir rambutku. Sementara ayahku pun juga meninggalkanku sendirian. Beliau memilih
menikmati hidupnya dengan seorang istri barunya tanpa berusaha mengerti betapa saat itu aku
sangat membutuhkannya. Aku selalu berusaha menemui beliau di ‘istana’ barunya, tapi beliau
rupanya lebih mencintai kehidupan barunya dan melupakan sosok mungilku dari masa lalunya.

Ayahku hanya terdiam tak mampu bergerak saat ku menangis meminta kehadiran beliau
setiap minggu ke rumah kakekku. Akhirnya hanya sosok kakek dan neneklah yang bersamaku
dan mengusap air mataku juga menemani tidurku. Masa kecilku kulalui tanpa mengerti
sepenuhnya siapa sosok ibuku. Saat kutanya pada kakek tentang ibu, beliau selalu memintaku
untuk senantiasa bersabar dan mendoakan ibuku.

Entah di tahun ke berapa, aku kurang ingat betul tepatnya, suatu hari saat aku pulang dari
sekolah, kudapati sosok wanita yang tengah mengendong seorang anak kecil. Wanita itu terlihat
kurus dengan pakaian sederhana yang dikenakannya dan tidak kulihat goresan kosmetik
sedikitpun di wajahnya. Namun kulit wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa
lalunya. Kulihat tangannya hanya memegang sehelai selendang lusuh yang sebagian dibelitkan
ke tubuh mungil di dekapannya.

Tiba- tiba sosok wanita yang terlihat asing di mataku itu memeluk tubuhku. Sebagai anak
kecil yang kurang mengerti akan bagaimana harus menyikapi suasana ini, aku cuma tertegun
diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku kemudian berlari mendekati kakekku yang segera
merengkuhku dalam pelukannya. Saat itu kulihat air mata menetes di wajah kakekku yang segera
kuhapus dengan tangan kecilku. Kakek kemudian berkata padaku, "Nak, jangan takut… dialah
ibumu yang selama ini selalu kau tanyakan. Ayoo… beri salam dan cium ke dua tangannya agar
hidupmu selalu bahagia."

Tapi aku tetap tak mampu menggerakkan tubuhku menghampirinya. Aku hanya tetap
terdiam dalam pelukan kakekku seraya memandang wajah sosok wanita itu yang juga tengah
memandangku sambil meneteskan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bahkan saat
ibu harus pamit balik ke rumahnya di Ibukota setelah tiga hari lamanya berada bersamaku. Aku
tidak sanggup meneteskan air mata. Aku tidak mampu memahami kenapa hal itu terjadi.

Suatu hari, dua minggu setelah Lebaran, ketika memasuki perguruan tinggi di tahun
pertama, Ibu datang kembali menemuiku. Saat itu kakekku pun telah tiada dan hanya seorang
wanita tua yang tidak kuasa berjalan yang ada bersamaku. Ibu terlihat amat kurus dan masih
tetap mengenakan pakaian yang begitu sederhana tanpa polesan lipstik di bibirnya.

Kulihat wajah beliau yang kusam seperti menangung banyak masalah kehidupan. Beliau
terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Saat itu ibu menangis memelukku sambil memberikan
sepasang baju bermotif bunga kecil warna biru muda yang hanya dibungkus dengan plastik putih
tipis dan berkata : "Maafkan ibu nak, karena hanya baju ini yang bisa ibu berikan padamu," ucap
ibuku sambil berkaca- kaca.

Aku tidak mampu menggerakkan bibirku saat kuterima sepasang baju pemberian ibuku.
Aku hanya bisa meneteskan airmata sambil ku usap air mata ibuku. Beliau kemudian bercerita
tentang apa yang telah dilakukannya padaku sambil terus memeluk erat tubuh mungilku.

Ya! ibuku ternyata seorang peminta-minta yang membawa kedua adik tiriku yang masih
kecil untuk ikutan mengamen hanya untuk sekedar mencukupi kehidupan mereka di ibukota.
Saat kutanyakan tentang sosok ayah adik tiriku, Beliau hanya bisa meneteskan air mata sambil
mengatakan bahwa laki-laki itu telah meninggalkannya tanpa memberi nafkah sedikitpun dan
Ibuku tidak pernah tahu di mana keberadaan laki-laki itu saat ini.

Aku berulang kali memeluk beliau dan mengusap kedua air mata yang menetes di kedua
pipi beliau. Semakin merasa hatiku kian teriris pedih saat kuajak beliau untuk menunaikan
shalat. Beliau menggeleng sedih dan mengatakan bahwa beliau tidak bisa menunaikan shalat.
Aku merasakan suatu goresan pisau tajam tengah menusuk hatiku saat ibu terbata-bata
melafalkan beberapa bacaan shalat mengikutiku.

Aku menyadari, hidup ini terkadang memang keras. Aku dibesarkan dalam lingkungan
keluarga tanpa sosok ibu yang bagi kebanyakan mungkin telah banyak memberikan bahan
pelajaran kewanitaan menyongsong kehidupan di masa mendatang. Aku kadang merindukan
yang demikian. Entah itu soal jahit menjahit, memasak, arisan, pengajian, hingga dongeng
sebelum tidur, dari seorang ibu terhadap anak perempuannya.

Setelah seminggu lamanya di pertemuan kedua kami, ibu kembali pergi meninggalkan
diriku lagi meski telah berulang kali kuminta agar ibu tinggal bersamaku dan nenek. Yaa.. saat
itu nenek masih belum bisa menerima kehadiran ibuku kembali di tengah kebersamaan kami.
Wajah nenek selalu memancarkan ketidaksenangan dan tak henti-hentinya melontarkan
perkataan memarahi dan mengusir ibuku. Saat itu sambil menangis ibuku berlari meninggalkan
rumahku tanpa sempat memberikan pesan apapun.

Sesudah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang ibuku. Aku telah berusaha
menemukannya dengan menyusuri berbagai gang kecil di daerah terpencil Ibukota sebelum
kutinggalkan negeri tercinta, namun hingga detik ini aku tidak pernah menemukan ibuku.

Sementara di negeri Sakura, aku senantiasa bertanya pada hatiku, adakah ibuku masih
meminta-minta? Adakah ibuku tengah menggeluti perihnya kehidupan di tengah kemiskinan ini
padahal anak perempuannya nun jauh disana jauh lebih baik kondisinya? Ada rasa berdosa yang
tidak dapat saya cari penyebabnya dalam diri ini.

Kalau harus mengingat sepotong baju yang pernah diberikan kepadaku waktu itu, rindu
pada beliau ini sulit untuk dikemukakan dengan kata-kata. Terkadang aku membayangkan, andai
saja aku diberi kesempatan mengenakan Kimono pada tubuh ibuku, sebagai hadiah kecil sang
anak terhadap beliau, betapa bahagianya hati ini.

Sementara Jepang dan manusianya sibuk menyongsong majunya teknologi dan pesatnya
komunikasi, hanya sepotong doa dan air mata yang kuharapkan bisa mengurangi kerinduan ini
pada ibuku.

Yaa Allah.......

Dzat Yang Maha Menguasai segala sesuatu.....

Bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi Engkau duhai Allah

Tuk pertemukan hamba dengan ibu hamba


Duhai Allah......

Di bulan Ramadhan yang suci ini

Kumohon sampaikan rasa kangen hamba kepada ibunda

Kumohon bisikkan ke dalam hati ibunda

Bahwa hamba sangat merindukannya

Ambiyah

Gadis Pujaan

Ry, seperti biasa sore ini aku memandang ke luar jendela, nunggu someone. Seorang
gadis yang tak kuketahui nama dan rumahnya dimana, tapi selalu kulihat setiap pagi dan sore
berjalan di depan rumahku. Kamu tahu kan Ry, kalau aku suka sama "gadis pujaanku" sejak 2
tahun yang lalu. Ia membawa pesona yang lain dari yang lain. Wajahnya yang baby-face,
hidungnya yang mancung, matanya yang bulat, bibirnya yang mungil dan rambutnya yang
panjang ditambah kulitnya yang mulus, maka lengkaplah sudah ia menjadi "gadis pujaanku", Ry!

9 Januari 1995

Hari ini perasaanku kacau, Ry. Setelah melihat "gadis pujaanku" bergandengan tangan
dengan cowok lain. Kamu bisa membayangkan dong, bagaimana perasaanku, Ry? Aku tidak rela
melihat mereka berdua. "Si gadis pujaanku" digandengnya dengan mesra. Ingin rasanya
memisahkan mereka, tapi apa dayaku? Aku bukan siapa-siapanya, Ry. Gimana, dong???

10 Januari 1995

Ry, setelah kejadian kemarin aku jadi nggak punya semangat hidup. Makan nggak enak,
tidur tak nyenyak dan belajar pun tak mengerti. Pokoknya hari ini hari beteeee banget!
19 Februari 1995

Maaf ya Ry, udah sebulan nggak ketemu. Biasa lagi males, nich! Tapi kamu tetep jadi
sohib terbaikku kok! Tau nggak Ry, ternyata "si gadis pujaanku" udah pegat ama cowoknya.
Aku tau tahu itu waktu kemarin di Mall CINERE, mereka lagi marahan. Wuiih, aku jadi seneng
deh, berarti masih ada kesempatan, dong! Pokoknya selama janur kuning belum terpasang, masih
ada kesempatan lah!

20 Februari 1995

Ry, hari ini ada berita yang menggemparkan seluruh isi dunia, lho. (nggak juga sich!). Itu
tuh, "si gadis puajaanku" potong rambut, bondol lagi! Tapi nggak apalah dia tetep cuantik kok,
nggak kalah dech ama yang namanya Demi Moore. Dia jadi tambah imut, lho. Wah, coba kalau
kamu punya mata Ry, kamu bakalan jadi sainganku dech! Percaya nggak??

25 April 1995

Nggak kerasa ya Ry, waktu berlalu dengan cepat. Aku udah mau ujian semester genap.
Mau naik kelas III. Eh, ngomong-ngomong dia juga lagi pengen EBTANAS, nich! Kira-kira "si
gadis pujaanku" masuk SMU mana ya? Masuk ke SMU-ku, nggak? Udah ah, jangan mikirin dia
mulu kapan belajarnya, donk! N'tar nilainya jelek, dech. Nggak mauuuu...

13 Juli 1995

Eh Ry, sekarang aku udah kelas III SMU, nich! Udah gede yah, walau kadang-kadang
aku masih merasa seperti anak kecil. Tapi hari ini aku lagi seneng banget soalnya nilai raportku
lumayan bagus, rangking 3, boo!! Siiplah, koleksi Tamiya-ku nambah satu, dech. (hadiah dari
bokap). Eh Ry, "si gadis pujaanku" ternyata masuk SMU favorit lho, SMU 999. Wow, nggak
sembarangan orang tuh yang bisa masuk ke SMU itu. Ternyata "gadis pujaanku" pinter juga,
yah! (Jadi bangga, nich!).

14 Juli 1995

Hari ini ada pemandangan aneh lho, Ry. "si gadis pujaanku" lagi MOS, deh! Tau kan
MOS? Itu lho, Masa Orientasi Siswa. Soalnya rambutnya yang bagus itu diiket sembilan, terus
bawa-bawa kardus Indomie pula dipunggungnya (kaya pemulung aja, ya!). Tapi "si gadis
pujaanku" itu tetep aja cuaantik! Pokoknya didandanin seperti apapun, si gadis tetep aja cantik
bagiku! (bener, lho!!).

19 Juli 1995

Hari ini aku dibikin malu sekelas, Ry. Dasar si doer Slamet, dia koar-koar ke seluruh isi
kelas kalo aku lagi suka sama seorang gadis. Aku yang terkenal dingin ama cewek ini, jadi
ketauan deh belangnya. Memang salahku juga sih, curhat di belakang buku matek's (habis lagi
bete sih!). Terus dibaca deh, ama si doer Slamet. Tapi yang membuatku lebih malu lagi, itu
ulahnya si Tejo cs. Mereka berteriak " Woro-woro! Ada kabar gembira lho, Temen kita yang
satu ini udah normal kembali, lho!". Dasar gila!

21 Juli 1995

Surprise!! Hari ini "si gadis pujaanku" berangkat ke sekolah dengan penutup kepala alias
kerudung. Aduh sayang deh, rambutnya yang lebat dan hitam itu tertutup oleh sehelai kain. Tapi
biarlah, dia tetep cantik bagiku dengan tubuhnya yang langsing dan kulit wajahnya yang putih
itu, Ry. Nggak apa-apa dong, Ry!

2 November 1995

Dari hari ke hari aku nambah bingung lho, Ry! "Si gadis pujaanku" banyak berubah.
What's happened with my girl? Awalnya dia potong rambut terus pake kerudung dan sekarang
dia pakai jubah (gamis), Ry! Coba bayangkan, tubuhnya yang langsing itu tidak terlihat lagi.
Tapi ada yang aneh deh. Apanya yah? Oh iya, dia nambah anggun lho!

14 Maret 1996

Hari ini aku nekat ngikutin dia, Ry. Kebetulan hari ini kan hari Minggu, lagi libur
sekolah. Tapi "si gadis pujaanku" seperti biasa dengan jubahnya yang dikenakannya itu, dia pergi
entah kemana yang nantinya aku juga akan tau. Selama perjalanan aku berusaha agar nggak
diketahui olehnya, hingga pada suatu tempat ia berhenti dan masuk ke dalam gedung. Ada acara
apa, ya? Ternyata acara seminar. Setelah aku baca spanduk besar yang terpampang dengan judul
"INDAHNYA ISLAM", aku jadi tertarik dengan acara tersebut, Ry. Akhirnya aku ikuti acara
tersebut sampai habis, kemudian pada akhirnya aku merasakan ada suatu kalimat yang membuat
aku terkesima yaitu ketika pembicara mengatakan "... Allah bukan hanya sebagai pencipta,
melainkan Dia juga sebagai pengatur. Segala sesuatu diatur oleh-Nya, termasuk segala perbuatan
kita. Dan Islam mempunyai semua aturan itu". Karena kalimat itulah aku merasa terpanggil
untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang agamaku sendiri. Tanpa terasa si gadis pun terlupakan
olehku, Ry.

29 Oktober 1996

Ry, sudah tujuh bulan ini aku belajar tentang Islam. Mulai dengan membaca buku-buku
tentang Islam, mendengar ceramah sampai mengikuti berbagai seminar. Seperti halnya pada hari
ini, aku mengikuti sebuah seminar yang berjudul "Nidzon Istima'i fil Islam" (Sistem Pergaulan
dalam Islam). Dari sini aku mulai mengetahui mengapa si gadis memakai jilbab (pakaian longgar
yang menutupi tubuh tanpa potongan alias jubah), karena itu memang sudah menjadi
kewajibannya, terus larangan berpacaran, kewajiban ghadul bashar (memelihara pandangan), dan
masih banyak lagi. Dari seminar kali ini aku juga dapat kenalan baru, lho! Namanya Kak Faisal,
orangnya baik dan banyak mengetahui tentang Islam. Kamu pasti akan suka dia deh, Ry!

8 Januari 1997

Ry, aku sudah tau segalanya. Aku harus melupakan "si gadis pujaanku". "Kalau memang
jodoh nggak akan kemana", begitu kata kak Faisal. Dan aku jadi sadar bahwa hanya Allah dan
Rasul-Nyalah cinta sejatiku. Mulai saat ini pun aku mulai belajar Islam dengan kak Faisal, Ry.

9 Februari 2001, Empat tahun kemudian...

Lama aku nggak punya catatan harian, Ry. Sekarang aku sudah dewasa, sudah kerja.
Bukan lagi anak SMU ataupun anak kuliahan. Ry, kamu masih ingat kan dengan "si gadis
pujaanku"? Sekarang aku sudah tau namanya, bahkan alamatnya. Namanya Safitri Azkiyah
tertulis di atas kartu undangan dengan tinta emas bersama dengan namaku, Adhan Ramadhan,
SE. Ya, kamu benar Ry! Dia akan menjadi istriku besok. Kalo jodoh memang tak kan kemana!

KotaSantri.com
Pertolongan DIA

Warna merah jingga mulai muncul di ufuk Timur. Aku beranjak dari dekapan selimut dan
setengah berlari ke kamar mandi. Hampir saja aku tertinggal shalat Subuh. Mungkin terlalu lelah
karena perjalanan kemarin. Atau karena perbedaan waktu antara di sini dengan di tanah air.

Kemarin, aku tiba di Sydney. Di bandara, Anton, sepupuku, menjemput dengan


mobilnya, kemudian menuju Goald Coast. Gold Coast adalah sebuah kota pantai di negara
bagian Queensland, Australia. Kota ini lebih cocok menjadi tempat berlibur daripada tempat
untuk menuntut ilmu. Tapi entah mengapa, apa berkeras mengirimku ke sini.

Aku tidak terlalu berminat untuk mengambil Master di bidang Hukum. Posisiku sudah
cukup baik di pekerjaan, walau dengan mengandalkan ijazah S1. Dengan pendapatanku, aku
sanggup untuk mencukupi seluruh kebutuhanku, tanpa ada lagi subsidi dari orang tua. Bahkan,
aku sanggup untuk menafkahi seorang istri. Istri.....??? Ah....! Daripada kuliah lagi, sebenarnya
aku lebih memilih untuk menikah. Aku sempat mengutarakan niat itu kepada Papa dan Mama.

"Rio, kamu itu laki-laki. Untuk apa kamu kawin cepat-cepat?" tukas Papa. "Mumpung
masih muda kamu ambil Master. Itu lebih penting untuk masa depan kamu. Jaman sekarang
nggak cukup ijazah sarjana. Nggak laku! Kita ini harus punya nilai lebih dibanding orang lain."

"Kamu juga harus ingat Rio. Mbak-mbak kamu belum ada yang nikah. Apa kamu tega
melangkahi Mbak Risa dan Mbak Rosi? Mama ikut menimpali.

"Memangnya kamu mau nikah sama siapa? Eh, kamu ini pacaran sama siapa sih? Papa
kok nggak pernah lihat kamu gandeng perempuan? Cerita dong sama Papa Mama kalau sudah
ada calon."

"Calon? Enggg.... belum ada Pa! Tapi niat yang sudah ada."

"Ah kalau begitu nanti saja. Kalau kamu sudah jadi Master, pasti banyak yang ngejar-ngejar
kamu."

Aku terbahak mendengar gurauan Papa, sambil menggaruk-garuk kepalaku yang


sebetulnya tidak gatal. Rasanya memang menikah belum menjadi kebutuhan yang mendesak.
Dan sekarang, aku berada di sini, mengikuti anjuran Papa. Papa mempersiapkan segala
sesuatunya dengan baik. Anton diminta untuk memilihkan tempat tinggal yang nyaman. Terlalu
nyaman bahkan.

ku menempati apartemen tipe studio di Focus Apartment. Apartemen yang cukup mewah.
Gedungnya berbentuk bundar. Lokasinya strategis. berada di Esplanade Avenue, Central Surfers
Paradise, yaitu jalan yang berbatasan langsung dengan wilayah pantai.

Ruanganku mempunyai jendela berkaca lebar. Dengan jelas keindahan laut terpampang
di depan mata. Ombak bergulung-gulung dengan perlahan. Anak-anak kecil berlarian dan
bermain pasir. Beberapa orang berenang. Sebagian lagi berjemur matahari. Matahari sudah tinggi
sekarang. Aku bergegas mandi. Tidak lama lagi Anton akan menjemputku. Rencananya kami
akan ke kampus dan keliling kota.

Sudah dua minggu ini aku punya kebiasaan rutin. Menghabiskan waktu di pagi hari
dengan memandangi laut. Awalnya memang begitu. Sejak kecil aku suka laut. Tapi, perhatianku
kemudian beralih kepada gadis-gadis bule yang berenang dan berjemur di pantai. Pakaian
mereka amat minim. Dengan teleskop kecil yang kubeli seminggu yang lalu di Dolphin Center,
pusat pertokoan yang tak jauh dari apartemenku, pengamatanku jadi tampak lebih jelas. Ah...
pantai yang sangat indah, pikirku.

Lama-kelamaan, ada perasaan bersalah yang datang menyelinap. Kata-kata Zulfikar


terngiang-ngiang di telingaku. Belum lama ini dia mengirim e-mail. Menanyakan kabar, plus
nasehat yang mengingatkanku. Bagiku, Zul adalah guru sekaligus sahabat. Kami dekat semasa
kuliah. Ia membimbingku dalam masalah agama dan yang mengenalkanku pada dunia anak
Rohis. Sekarang Zul bekerja di perusahaan nasional dan membina Rohis di kantornya. "Hey Rio,
hati-hati! Di sana jangan umbar pandangan. Jaga diri kamu baik-baik." Aku tak akan lupa kata-
kata Zul lewat telpon ketika hari keberangkatanku ke Australia. Aku pun menghentikan acara
memandang laut di pagi hari.

Kehidupan kampus menyenangkan. Aku mudah akrab dengan banyak orang. Ada
beberapa gadis yang tampaknya mendekatiku. Dua bule dan satu Philiphine. Salah satunya sering
memaksa untuk mengantarku pulang. Dengan berbagai dalih, ada saja caraku untuk menolaknya.
Sayang, dari semua gadis yang kutemui, tidak ada satu pun yang menutup aurat. Gadis dari
Indonesia, jangankan berjilbab, malah ada yang bercelana pendek ke kampus.

Jarak dari Focul Apartment ke Bond University cukup jauh. Setiap kuliah, Anton selalu
menjemputku. Aku tak enak bergantung terus padanya. Aku lalu mencari apartemen yang lebih
dekat dengan kampus. Yang bisa dicapai dengan bus atau berjalan kaki.

Tiga bulan kemudian aku pindah. Homestay ke sebuah rumah yang cantik di daerah
Burleigh. Pemilik rumah adalah sepasang suami istri dengan dua orang anak. Yang tertua, laki-
laki, sudah bekerja dan tinggal di Sydney. Anak perempuan mereka, Kathy, kebutulan juga
kuliah di Bond University. Nuansa kekeluargaan lebih terasa di sini. Kami cepat sekali akrab.
Rasanya aku betah. Kadang-kadang aku ikut membantu memotong rumput atau mengerjakan
pekerjaan rumah.

Malam itu baru saja aku akan mulai belajar. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan muncul
wajah Kathy di balik pintu. "Rio, I have to make a paper about Indonesian culture. Would you
help me?"

Aku mengangguk. Lalu sepanjang malam aku berceloteh panjang lebar tentang budaya Indonesia
sejauh yang aku tahu. Kathy memperhatikanku dengan seksama. Kadang-kadang ia menyela
dengan pertanyaan.

Berada berdua saja di dalam kamar dengan Kathy membuatku merasa gerah. Tubuhnya
hanya dibalut kaos tanktop dan celana pendek, yang dua-duanya sama-sama ketat dan
membentuk lekuk tubuh dengan jelas. Sebagai laki-laki normal, tentu saja ada reaksi melihat
Kathy yang berpakaian sangat minim. Apalagi jarak kami sangat dekat.

"Kathy, it's late now. I am sleepy. We'll discuss tomorrow," kataku sambil bergerak ke
arah pintu untuk mempersilahkannya keluar. Tiba-tiba Kathy mendekatkan tubuhnya padaku dan
berkata, "Don't you feel that I am in love with you? I love you since the fist time I saw you.
Now, I wanna make love with you."

Mendadak Kathy memelukku dengan erat dan tiba-tiba ia sudah berada di atas tubuhku.
Cepat sekali gerakannya. Sejenak seluruh sistem saraf dan kontrol pada tubuhku jadi tidak
berfungsi. "I know you want me too Rio," desahnya lirih. Pikiranku kacau. Tidak lagi bisa
berpikir dengan jernih. Siapa pula yang ingin menolak kalau keadaannya seperti ini.

Namun sebuah sinyal alarm masih sanggup berbunyi di pusat kalbu, menyuarakan tanda
bahaya. Aku mengelak, melepaskan pelukannya. "Come on!" Kathy berusaha meraihku.

Masa bodoh apa yang dikatakannya. Aku tak perduli. Aku merasa takut. Dengan cepat
Kathy kuseret, kubuka pintu, dan kudorong ia keluar kamar. Pintu berdebam keras, lalu ku kunci
rapat-rapat.

Di balik pintu aku jatuh terduduk, bersimpuh. Tubuhku menggigil. Aku takut. Takut
sekali. Belum pernah aku merasa takut seperti ini. Takut pada diriku sendiri yang mungkin saja
tak sanggup untuk menguasai diri. Takut kepada dosa besar yang tak pernah terbayangkan akan
terjadi.

Aku terisak. Ini pertama kalinya menangis setelah dewasa. Aku bangkit. Berwudhu dan
shalat syukur. Bersyukur atas pertolongan Allah yang menghindarkanku dari jerat-jerat yang
menjerumuskan. Kalau bukan Allah, lalu siapa lagi penolongku? Esoknya, tanpa pikir panjang,
aku berkemas dan langsung angkat kaki dari rumah itu.

Terinspirasi dari kisah perjalanan Sayyid Quthb ke Amerika Serikat dan kisah Nabi Yusuf as.

Radoek

Relung Tersepih

AKU menatap lekat pada dua mata, yang pendarnya pijarkan jiwaku. Ranum dua pipinya
tak lekang gelitik gemas hatiku. Lama aku menacari-cari pada wajah di balik bingkai foto itu,
pada setiap lekuk wajahnya yang membundar. Adakah lekuk itu milikku? Akankah senyum riang
itu masihkan tercipta untukku? Selaksa beban tindih batinku tuk akui kata iya, dan hatiku
mengerucut di ujung kalah. Mungkinkah belahan itu masih tetap bagian diriku. Seperti dulu, saat
lincah kakinya tak henti jejaki rumah ini. Temaram lampu malam ini lingkupi mendung jiwaku
yang kesepian.

"Sudahlah Ravina…!" aku menasehati diriku sendiri. Coba bagi hatiku pada sosok ibu
dan manusia. Membuka dialog yang kuharap bisa sembuhkan luka sesalku. Luka yang
membentuk aku pada sebentuk manusia yang gagal mendidik diri menjadi seorang ummi. "Dulu
kau ingin ia menghilang, maka biarkan sekarang ia pergi!" Riak batin mengingatkanku pada
jejak-jejak sikapku yang tanamkan antipati pada ruhani puteriku. Tidak! Jangan ingatkan aku
tentang itu. Jangan membuatku semakin terpuruk pada rasa bersalah. Iya, aku sadar. Aku masih
ingat jika selama lima tahun ini selalu kutepis tangan cacat putriku saat coba sentuh kulitku.
Selalu kututup pintu kamar kala dia ingin mendekat dan memintaku menyisir rambutnya yang
ikal. Dan aku tahu jika hatiku tidak pernah tersentuh untuk memeluknya, saat dia bangun
ketakutan dari mimpi buruk yang kerap ganggu tidurnya.

Kuakui, aku memang salah karena lebih mempercayakannya pada eyangnya saja. Atau,
mungkin lebih tepatnya mengabaikan tanggung jawabku dan menyandarkannya pada orang lain,
walau itu ibu kandungku sendiri. Tapi, apa kalian tahu setumpuk rasa kecewaku padanya? Rasa
kecewa yang matikan perasaan sayangku selama lima tahun ini dan porak-porandakan
ketegaranku sebagai seorang perempuan. Walau kini aku terhimpit di antara tebing sesal, karena
ternyata aku benar-benar kehilangan buah hatiku. Satu-satunya permata yang kumiliki walau kini
secara fisik ia tak sempurna. Tapi, dia tetap penyempurna kehidupanku.

Dulu, puteriku begitu cantik dan enerjik. Hidung mancungnya adalah warisan ayahnya.
Jika kalian lihat bundar lingkar matanya dengan bulu-bulu mata yang panjang melentik, maka
itulah warisan dariku. Sudah kubilang dia enerjik, itulah sebabnya dia tak suka diam. Sama
seperti ikan-ikan kecilnya di aquarium kaca. Dia menjadi puteri tunggal kami sejak rahimku
diangkat karena kanker waktu mengandung adiknya yang tak jadi lahir untuk menemaninya
bermain. Seringpula ia membuatku jengkel dengan manjanya, tapi saat dua tangan mungilnya
melingkari leherku, rasa marah itu tiba-tiba musnah. Hilang entah ke mana. Dan yang tinggal
adalah setaman cinta berhias kasih untuknya.
"Manda, pergi sekolahnya sama Bunda aja ya…, ayah lagi sakit, nak!" rayuku mencoba
hentikan lengking tangisnya yang pekakan telinga seisi rumah.

"Nanti kalau Ayah sudah sembuh, diantar Ayah lagi!" imbuhku sambil menggendongnya.
Tapi, rayuanku tak berarti apa-apa selain gemuruh yang mulai mengundang tetangga satu
kompleks bertanya mengapa. Saat itu aku begitu ingin mencubitnya. Aku begitu kesal pada
manjanya yang selalu uji sabarku, hingga akhirnya ayahmu mengalah juga.

"Ya sudah, sekolahnya diantar Ayah!" begitu kata ayahmu. Dan kau sama sekali tak
mengindahkan diamku. Saat kecupan pertamamu di pipiku sebelum pergi, aku sudah dibuatmu
tersenyum. Dan, saat kau beri aku kecupan keduamu aku sudah kau buat bisa memelukmu. Ah,
Amanda kau memang selalu hidup di ruang batin kami, dan selalu menawan perasaan kami
untuk tidak bersikukuh denganmu.

Tapi ada apa Amanda? Ya Robbi, apa ini? Aku yakin ini mimpi dan aku ingin segera
bangun. Tapi, mataku ternyata sudah terbuka, dan kulit tanganku pun bisa merasakan sakit waktu
kucubit dengan keras. Lihat Amanda! Ayahmu kini sedang terbaring kaku bertutup kain putih
karena motor yang kalian tumpangi menabrak pilar. Sudah Bunda bilang, ayahmu sedang sakit,
jadi tak bisa mengantarmu pergi sekolah. Tapi kau tak mau tahu dan malah menangis sambil
menjerit keras. Dan, kau, kini terbaring koma di ruang ICU. Anakku, kau kehilangan tangan
kirimu dan di tangan kananmu pun hanya tersisa satu ibu jari saja. Wajah cantikmu raib diparut
jalan berhotmik. Ada sepuluh jahitan di pipimu. Bisakah kamu rasakan goncangan di dada ibumu
ini, nak?

Aku kehilangan ayahmu dan yang ditinggalkannya kini adalah kau, seorang anak cacat.
Aku bukan batu yang tak punya rasa sedih, marah dan kecewa. Itu sebabnya aku tak mau
menyentuhmu. Itu sebabnya aku tak mau mendekatimu. Karena manjamu kau hancurkan rumah
indahmu sendiri. Kau hancurkan harapan ibumu sendiri. Walau ibu gurumu begitu baik, mau
menerimamu tetap sekolah sebagaimana layaknya anak-anak normal. Tapi bagiku kau tetap aib.
Kecacatanmu bunuh kepercayaanku untuk menghadapi dunia. Dan, bagiku, itu adalah perjalanan
batin yang paling sulit. Kau tak lagi manja untuk minta diantar pergi sekolah. Bahkan, kau mau
naik becak Pak Samin, setiap pergi dan pulang sekolah. Dan, kita semakin jauh. Aku menjadi
sosok monster yang manakutkan bagimu. Lalu, kau sakit, demam tinggi karena perlakuanku dan
di lidahmu hanya ada Pak Samin di setiap igauanmu, hingga kau hanya bisa sehat saat ada di
rumah Pak Samin. Kau mulai tinggal di sana dan kulihat kau bahagia.

Awalnya aku biasa. Tapi, saat pembagian raport enam bulan yang lalu, kau menjadi juara
kelas. Lalu, dengan antusiasnya kau mencium lengan kanan Pak Samin dengan menggamitnya di
dadamu dengan satu lenganmu. Kau cium kedua pipinya sambil bersorak-sorak dengan saudara-
saudaramu yang baru. Kau sama sekali tak melirik padaku. Dan, kurasakan ada sesuatu yang
menoreh perasaanku. Kau tak lagi mengenaliku sebagai bundamu. Kau menjauh dariku saat
kudekati kamu dan berhambur ke pelukan Pak Samin. Lalu kau berkata, "Maaf Nyonya, maaf…"

Kau, kau panggil aku nyonya. Bukankah aku Bundamu Amanda. Kemari, kemarilah.
Bundamu kini ingin mengajakmu pulang untuk membayar kesalahannya. Kita akan kembali
tertawa di rumah kita, walau tanpa ayah. Kita masih bisa semesra dulu, nak. Tapi, kau malah
diam. Kau tidak lagi menangis keras, bahkan tidak berkata apa-apa. Tapi, diam dan derai air
matamu yang tak henti mengalir sudah membuatku mengerti kalau kau tak lagi merasa nyaman
tinggal bersamaku. Kau tahu nak, tak ada lagi yang tersisa dari hidup Bundamu selain engkau.
Tapi, apa usiamu yang belum genap sepuluh tahun cukup mengerti untuk merasakan itu.
"Amanda sayang, beri Bunda sedikit ruang di hatimu nak!" getir bathinku sambil mengusap
wajah cantik dibingkai foto, yang kacanya sudah basah air mata. Airmataku sendiri.
[MQMedia.com]

Ririe al Rasyid

Tirisan Hati

Hidup menjanda sebagai buruh pemilih damar di pekon (desa) Seray. Itulah hidup
terberat bagi seorang uncu Diana. Obsesinya hanya satu dapat menyekolahkan kedua anaknya
agar martabat mereka terhormat dilingkungan tempat tinggal. Selama ini uncu Diana sekeluarga
dikucilkan oleh warga pekon Seray karena tidak memiliki sanak saudara.
Subuh baru saja menginjak pada rakaatnya. Sebelum maatahari terbit, uncu Diana sudah
berkutak-katik pada kebiasaan rutin. Masak air, menanak nasi, menggulai dan menumis untuk
sarapan pagi dan makan siang. Sedangkan Amin dan Ivos kedua anaknya mulai menimba,
mengangkat air untuk keperluan ibunya di dapur dan untuk mereka mandi.

Rumah papan itu sudah nampak sepi, seharusnya memang jam di dinding telah
menunjukkan jam delapan. Sejak di tinggal kedua anaknya berangkat sekolah, uncu Diana justru
malas-malasan untuk memilih damar pekerjaannyal. Sebelum pulang bekerja kemarin, Juragan
Ijad yang sudah mempunyai istri dan enam anak itu mengedipkan matanya dengan genit kepada
uncu Diana. Uncu Diana mengira juragan damar itu hanya lelucon atau matanya saja yang
kelilipan, namun tanpa diduga ia dicegat ketika melewati pinggiran laut saat menjelang pulang
kerumahnya.

Suara ketukan dari luar memanggil langkahnya untuk membuka pintu. Ngah Khoi
mengantar buak(kue) lepot dan satu bingkisan. "Ator ni, nyak ngantak ko bungkusan sinnji jak
jeno bingi" (Seharusnya saya mengantarkan bungkusan ini tadi malam)". Dengan basa-basi itu
Ngah Khoi teman uncu Diana memilih damar itu kemudian pamit dan berlalu meningalkannya.
Belum sempat uncu Diana untuk diizinkan tidak bekerja hari ini kerena dia tidak enak badan.

Hati uncu Diana sangat berdebar, kedua tangannya gemetar ketika membuka bungkusan
itu. Ternyata yang dilihatnya disana selembar surat cinta dan sebuah gaun pesta yang sangat
indah. Beberapa hari yang telah lewat memang ngah Khoi pernah menyinggung tentang
perhatian juragan Ijad pada dirinya.

"Juragan neram risok mandang niku, Cu!" (juragan sering memandang kamu, cu!) kata
ngah Khoi dengan logat L yang bercampur penyebutan R yang tilor. "Tapi…mungkin ia juga
mencintai dan ingin menikahimu, Cu!" Lagi-lagi ngah Khoi mengemukakan pendapatnya Uncu
Diana tidak menanggapi pembicaraan ngah Khoi tempo hari. Sekarang di benaknya hanya satu,
apakah benar surat yang diberikan juragan Ijad itu. "Saya ingin menyuntingmu, persiapkan
dirimu dengan tulus dan ikhlas". Berkali-kali dibacanya kertas merah jambu dihadapannya itu.
Sekujur tubuhnya yang sedikit meriang jadi tambah demam. Hatinya diliput haru, takut dan
penuh sejuta tanda tanya. Jika menjadi istri juragan damar yang kaya raya sampai tujuh turunan
bakal makan enak terus. Walaupun menyatu dengan istri pertama, namun ia tidak akan susah
payah mencarikan dana buat kedua anaknya sekolah dan kehormatan mereka terlindungi sebagai
istri. Bukan berstatus sebagai budak pemilih damar lagi.

"Walaupun sudah menjadi janda dua tahun, aku memang masih kelihatan cantik dan
nampak lebih muda". Sembari menatap wajah dikaca, uncu Diana merenung dan berkhayal pada
masa yang akan datang. Ditatapnya gaun pesta pemberian juragan Ijad. Namun yang lebih
membuatnya terpana lagi, disebelah bungkusan gaun ada juga kotak spesial berisi kalung dan
gelang berlian. Uncu Diana sangat terpukau. Selama hidupnya. Belum pernah ia mengenakan
perhiasan seindah itu. Dipungutnya kembali dari atas kasur. Namun tak lama kemudian, uncu
Diana meneteskan airmata. Entah bahagia atau menderita. Mulutnya bergumam "Apakah juragan
damar itu benar-banar menyayangiku, akan kuterima saja pinangannya".

Janda muda, cantik dengan segala kelebihan yang membuat para lelaki terutama hidung
belang berhasrat untuk memilikinya. Hidung mancung, kulit putih, mata belok, bibir yang selalu
menyunggingkan senyum manis, perawakan tinggi sintal, padat berisi itulah yang menjadikan
uncu Diana sebagai janda seray mutiara dalam lumpur.

Dugaannya benar, muncul suara sumbang. Uncu Diana digosipkan telah menjual diri
secara diam-diam. Sampai hal itu terdengar juga pada istri juragan Ijad yang tertua. Seperti siang
ini terjadi menakjubkan di gudang damar, "Pantas gawoh do niku aga beguai jadi budak ni
kajong ku! (pantas saja kamu ingin bekerja jadi budak suamiku)! dijambaknya rambut uncu
Diana. Kepalanya di gesekkan pada dinding gudang. Kakinya pun ikut bergerak menendang.
Uncu Diana tidak mengadakan perlawanan. Ia hanya menangis dan meratapi nasibnya. Menahan
pedih yang membelenggu. Disaat seperti itu, hanya ngah Khoi saja yang dapat mengerti hatinya.

Juragan damar tidak berbasa-basi saja, dia membuktikan kejantanannya. Lelaki hidung
belang itu memandang uncu Diana penuh hasrat jiwa. Matanya bak elang seakan menghunjam
hingga keakar hati uncu Diana. Juragan Ijad tidak melepaskan pandangannya hingga dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki. Keheningan mencekam, di saat juragan damar itu kembali
menuturkan keinginannya. Uncu Diana tidak dapat berbicara dengan kata-kata, hatinya diliputi
kebahagian. Ternyata masih ada orang yang peduli dengan diri dan kedua anaknya. Bila seorang
wanita telah dilamar, maka lima puluh persen dia telah menjadi bagian dari lelaki yang melamar
itu. Selain uncu Diana serta kedua anaknya, turut yang hadir keluarga ngah Khoi.
Sepuluh hari kemudian baru dilangsungkan akan nikah dan resepsi pernikahan. Pesta itu
sangat meriah. Cukup menggemparkan pekon Seray. Undangan yang hadir sebagian besar dari
teman-teman juragan Ijad. Prasangka buruk tentang juragan Ijad tidak lagi menohok, namun
bergeser pada kekaguman bahwa juraagan Ijad adalah lelaki jantan yang dapat mengangkat
derajat seperti uncu Diana. Senyum uncu Diana tidak pernah surut, setiap undangan yang hadir
memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Keharuan dan kebahagiannya menjadi
satu. Organ tunggal yang sengaja disewa untuk memeriahkan acara tersebut terus saja
menggema. Memberi kenikmatan hiburan warga pekon Seray. Selama ini ini mereka hanya
dikejar oleh perjalanan waktu yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup.

Matahari telah mencapai singgasananya. Pagi telah melenyapkan diri. Silih berganti
undangan datang dan pergi. Ijab Kabul dan resepsi adalah babak baru bagi uncu Diana.
Kebahagian, keharuan bercampur kesedihan meliputi rongga dadanya. "Mungkinkah aku hidup
bersama juragan, harus satu atap juga dengan istrinya? atau aku harus tetap tinggal dirumah
papanku ". Sedikit ketakutan dan kecemasan mulai menusuk hati. Mengingat istri pertama
juragan Ijad sangat memusuhi diri dan keluarganya.

Seperti pasang surutnya air laut, tamu-tamu yang datang dan pergi membuat suasana
bertambah ramai. Kemudian redup dan sepi. Arus kehidupan seakan memperlambat jalannya
resepsi pernikahan itu. Kelelahan sepasang pengantin itu kian nampak. Juragan Ijad tidak mampu
lagi untuk berdiri lama. Kaki yang pernah diamputasi itu meregang. Ditengah hiruk pikuknya
suasana pesta, gaun pengantin yang di kenakan uncu Diana seakan terbang. Tatkala adzan yang
dilantunkan bilal dari gerbong masjid pekon Seray, seiring itu pula juragan Ijad terkulai lemas.
Mulutnya mengeluarkan busa. Uncu Diana panik!! Undangan gamang menyaksikan tragedi
tragis yang menimpa juragan Ijad?

MQMedia.com
Senandung Duka Tanah Rencong

Geliat bumi mengundang badai

Duka terulur mendekap pagi

Tanah Rencong digulung ombak

Siapa nyana pagi indah berubah warna

Prahara menjelang dalam deru lagu gelombang

Rintih yang tertindih...

Ratap yang tenggelam...

Lagu duka bergema di setiap sudut

Puing berserakan...

Luka hati berceceran...

Desember menuai lara

Roboh sudah surau tempat kami mengaji

Musnah sudah dataran hijau tempat kami menabuh rentak gendang tari Saman

Sketsa alam berganti wujud

Mendung di batas cakrawala

Lirih tasbih berlagu pilu

Selaksa doa dalam basah air mata

Yaa Robbi...
Meski lara menggores rasa

Meski pilu menoreh kalbu

Kami yakin musibah ini terjadi atas seizin-Mu Ya Allah...

Yaa Sami...Yaa Basir...

Kuatkanlah iman kami

Payungilah kami dengan cinta dan kasih-Mu

Agar tabah itu tetap berlabuh di dada kami

Bumi Sapporo, 12012005

Siapkah Kita, Bila Maut Datang Menjemput Kita

Dapatkah kita menduga atau mengira

Bilamana ajal kita akan tiba

Di mana umur kita akan berakhirnya?

Dapatkah kita merencana atau berjanji

Bagaimana cara kematian akan kita alami

Sehingga kita siap rohani dan jasmani?

Dapatkah kita memohon jatah umur yang bagi kita tepat

Sehabis Ramadhan atau berhaji, ketika dosa diampuni tammat

Dan nyawa dicabut malaikat ketika kita dalam keadaan sehat?


Dapatkah waktunya kita majukan atau mundurkan

Ketika nafas terakhir itu dihembuskan

Dan sorotan mata kita dikosongkan?

Dapatkah kita membereskan segala yang terlalai

Hutang-hutang, janji-janji, kerja yang terbengkalai

Cita-cita yang belum tercapai?

Dapatkah kita menekan semua bentuk kesombongan

Dan kepada orang-orang yang hatinya kita sakitkan

Dengan membungkuk merendah kita minta dimaafkan?

Dapatkah kita menyaring pergosipan dan pergunjingan

Lalu suatu waktu total sepenuhnya dihentikan

Sehingga daging saudara sendiri tak lagi dikunyah dimakan?

Dapatkah kita menghabisi semua ganjalan iri hati

Kecemburuan yang dibisikkan jin di telinga kanan dan kiri

Dan mereka diusir sejauh usir dengn ayat Kursiy?

Dapatkah kita padamkan segala bentuk dendam

Yang di dalam hati lama kita pendam-pendam

Dan dengan tulus memberikan permaafan?

Dapatkah kita musnahkan perilaku ujub dan riya kita

Suka mencerca dalam hati, pamer jasa dan harta

Dan berhenti menyebut-nyebutnya?


Dapatkah kita dengan tepat melaksanakan evaluasi

Terhadap harta benda yang selama ini diakumulasi

Sehingga benar-benar bersih bagi yang akan diwarisi?

Dapatkah kita kepada jantung kita yang berpuluh tahun bekerja setia

Setiap detik dia berdenyut untuk kelangsungan hidup kita

Siapkah kita, bila jantung kita berkata, "Sudah, cukup sampai di sini saja?"

Pada suatu masa, di suatu tempat, maut akan tiba

Beratus kemungkinan waktunya

Beribu kemungkinan tempatnya

Melalui gabungan kemungkinan bentuk dan cara

Lewat penyakit, kecelakaan, perang, berbagai bencana

Di dalam rumah, kendaraan, jalan raya, di alam terbuka

Secara sangat pelahan dan begitu lama orang dapat menduga-duga

Secara pelahan orang mana mungkin menerka

Secara tak disangka, sangat tiba-tiba tanpa isyarat suatu apa

Dan tepat pada detik terjadinya

Kita yang menyaksikan, semua terpana, menundukkan kepala

Semua terpukul, tergoncang, terhempas, terobek, tiada sepatah kata

Semua menitikkan air mata

Belum pernah mereka yang mengalami dicabut nyawanya

Kembali ke dunia dan menyampaikan pengalaman ajal yang nyata


Sehingga paling banyak kita hanya mengira menduga

Mereka yang berlarian bergelimpangan di pantai Lhok Nga

Mereka yang digulung lumpur tsunami sepanjang jalan Syiah Kuala

Mereka yang kehabisan nafas dikejar dinding air setinggi pohon cemara

Kanak-kanak yang bertengger di dahan batang nangka

Orang-orang yang memanjat pohon kelapa

Ibu-ibu yang hanyut dengan bayinya

Kabel putus habis, tiang listrik yang bengkok patah tiga

Rumah punah, hotel rubuh, truk remuk, asrama rata

Berpuluh, beratus, beribu, berpuluh ribu banyaknya

Jenazah di bawah puing, di tengah puing, di atas puing berada

Bergelimang lumpur, bergelimang air mata

Menyesak udara, menyesak dada kita semua

Wahai Krueng Aceh

Wahai Krueng Lamteh

Jadilah air sungai yang jernih kembali kiranya

Maut telah menjemput saudara-saudara kita

Jannah jualah bagi mereka

Maut akan menjemput kita pula

Dapatkah kita menyusul ke Firdaus yang sama?

Taufiq Ismail
Berawal Dari Jilbab

Sore itu, Anti mendapatkan satu pesan singkat dari nomor yang asing baginya. Isinya
cukup membuat dirinya menjadi sedikit penasaran. Namun tak lama kemudian Anti baru sadar.
Ya, beberapa jam yang lalu setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memanfaatkan waktu yang
tersisa untuk chatting. Namun chatting kali ini beda, Anti chatting di situs yang berlatar belakang
Islam.

Dunia yang baru ia dalami setelah beberapa bulan terakhir ini ia memakai jilbab.
Kebetulan waktu itu Anti hanya chat berdua saja. Di awal perbincangan mereka saling
memperkenalkan nama asli masing masing. Tak lama kemudian teman chat Anti menyebutkan
nama aslinya. “Oohh. Namanya Rizal“ bisik Anti. Anti pun menyebutkan nama aslinya. Sebentar
mereka ngobrol, namun Rizal langsung minta nomor telpon Anti.

Tanpa pikir panjang, Anti memberikannya. Ya, maklumlah Anti adalah orang yang
mudah bergaul dan senang bila mempunyai banyak teman. Apalagi temannya yang satu ini
sepertinya mengerti banyak hal tentang Islam. Dengan begitu Anti bisa belajar banyak dari Rizal
yang Insya ALLAH mau membimbing Anti menapaki dunia yang begitu indah..dunia Islam.
Tapi sayang Anti tidak mendapatkan nomor telpon Rizal. Tiba tiba ia menghilang entah ditelan
apa. Namun pesan singkat yang baru ia terima tidak menyebutkan nama. Anti hanya bisa
menebak nebak dalam hati. Waktu itu bulan Ramadhan, ketika sahur tiba tiba hp Anti berdering.

“Ah..nomor itu lagi “ gumamnya. Namun ia tetap menjawabnya dengan harapan rasa
penasarannya selama ini tertuntaskan. “Hallo.. Assalamu’alaikum..” sambut Anti.
“Wa’alaikumsalam… hayoo, udah sahur belum ???“ kata orang misterius itu.

Orang itu memutuskan hubungan telponnya. Lagi…lagi.. rasa penasaran Anti semakin
menjadi jadi. Ya maklumlah Anti tidak suka dengan kemisteriusan. Hilang sudah kesabaran
Anti, akhirnya ia memutuskan untuk mengirim SMS kepada orang itu dengan maksud
menanyakan siapa dia sebenarnya. Sebelumnya Anti sudah menduga kalau orang itu adalah
Rizal. Ternyata dugaan Anti benar.
Dia adalah Rizal, sebuah nama yang baru beberapa hari ini ia kenal. Setelah hari itu,
SMS-an pun berlanjut. Kali ini pesan singkat yang dikirim Rizal untuk Anti masih biasa biasa
saja hanya menanyakan kabar Anti dan tidak ada yang istimewa. Hingga pada suatu malam Rizal
kembali menelpon Anti. Di sanalah mereka melanjutkan perkenalan dan pertanyaan yang selama
ini tertunda. Suara Rizal terdenganr begitu dewasa. Kata kata yang terucap begitu bermakna.

Dari beberapa pertanyaan yang diajukan Rizal, ada satu pertanyaan yang membuat Anti
terperangah. Yaitu tentang jilbab. Suatu benda yang baru beberapa bulan terakhir ini menutupi
rambutnya yang indah itu. “Anti, sebelumnya aku minta maaf kalau pertanyaanku ini agak
lancang. Hmm… apakah kamu berjilbab ?” tanya Rizal dengan nada hati hati.

“Alhamdulillah, beberapa bulan ini aku memang sudah memakainya. Tapi aku juga
masih perlu bimbingan. Banyak hal yang belum aku ketahui tentang Islam.” jawab Anti.
“Syukurlah… jangan khawatir insya ALLAH aku akan membantu kamu, ya.. kita sama sama
masih belajar kok…” sambut Rizal dengan semangat. Dalam hati Anti, Rizal sudah mendapatkan
suatu tempat.

Akhirnya Anti sudah mendapatkan orang yang selama ini ia cari. Orang yang akan
membimbingnya menapaki Islam. Tanpa Anti minta, Rizal sudah bersedia membantunya.
Namun pertanyaan Rizal tentang jilbab tidak hanya sampai di situ. Ia menanyakan alasan Anti
memakai jilbab.

“Kalau boleh aku tahu, apa alasan yang membuat kamu memutuskan untuk berjilbab?.”
Tanya Rizal. “Hhmm… aku memakai jilbab tentunya karena ini memang suatu kewajiban yang
terlambat aku sadari…tapi disamping itu ada suatu alasan yang mendorongku untuk berjilbab.
Aku melihat sahabatku menikah, ia seorang akhwat yang begitu menjaga kehormatan dirinya
dengan berjilbab sampai akhirnya ada seseorang yang datang melamarnya.” jawab Anti malu
malu.

Pertanyaan Rizal tentang jilbab, membuat Anti bertanya balik “Hhhmm… kalau boleh
aku tahu, kenapa sih kamu menanyakan aku sudah berjilbab atau belum? Memangnya ada apa
dengan jilbab?” tanya Anti polos.
Ditanya Anti seperti itu, Rizal sebenarnya punya kesempatan untuk mengutarakan
keinginan hatinya. “Tidak ada yang salah dengan jilbab. Dan alasan kamu untuk berjilbab, aku
pikir wajar saja dan itu hak kamu. Aku malah ingin punya istri yang berjilbab. Wanita akan
tampak lebih cantik dan anggun dengan jilbab di kepalanya. Akan terjagalah kehormatan wanita
itu. Itulah alasanku menanyakan itu ke kamu” jawabnya panjang. Hati Anti sedikit berdebar
mendengar pernyataan Rizal. Namun entahlah niat apa yang tersembunyi di balik pertanyaan
pertanyaan itu.

Dari obrolan panjang itu, Anti baru mengetahui kalau ternyata Rizal juga kuliah sambil
bekerja sama seperti dirinya. Rizal kuliah di salah satu PTS di Jakarta jurusan Teknik Elektro.
Tebakan Anti tentang Rizal hampir semua benar. Namun untuk yang satu ini, Anti salah. Anti
mengira usia Rizal diatas dirinya.

Ternyata usia Rizal di bawah Anti dua tahun. Namun meski demikian, tidak memutuskan
tali persahabatan yang sedang dirajutnya bersama Rizal. Bahkan setelah Anti tahu kalau Rizal
dipanggil Abang oleh adiknya, ia jadi ikut ikutan memanggilnya Abang --sapaan yang
seharusnya ditujukan untuk orang yang usianya lebih tua, namun tidak begitu dengan Anti.

Menurut Anti, walaupun dari segi usia ia lebih muda darinya namun cara berpikir dan
berbicara Rizal sangatlah dewasa. Wawasannya begitu luas, mungkin karena ia suka membaca
buku. Sama seperti Anti yang juga suka membaca buku. Hanya bedanya, kalau Anti lebih suka
baca novel, puisi, atau cerpen apalagi yang bertemakan islami. Mungkin karena pembawaan
sifatnya yang agak melankolis. Sedangkan Rizal, ia suka baca buku apa saja yang menurutnya
bagus untuk ia baca.

Untuk kali pertama obrolan mereka lewat telepon berakhir sampai di situ. Obrolan yang
cukup panjang, Anti jadi lebih mengenal Rizal. Setelah hari itu, hari hari Anti jadi lebih indah.
Pesan singkat yang Rizal kirim untuk Anti, membuatnya semakin dekat bukan hanya pada Rizal
tetapi juga pada Penciptanya.

Bagaimana tidak pesan singkat yang selalu mengingatkan Anti bukan hanya pada
pengirimnya, perlahan lahan membuat Anti berubah. Ia jadi semakin rajin shalat. Tidak hanya
shalat lima waktu saja yang selama ini memang ia rasakan masih suka bolong bolong, tetapi juga
shalat sunah pada malam hari bahkan ia mulai belajar mengaji. Ajaib… sungguh ajaib, begitu
cepat Anti berubah. Padahal Anti belum pernah melihat Rizal. Entahlah Anti sendiri bingung
melihat perubahan yang dialaminya. Dalam kegelisahannya, ia hanya bisa berdoa kepada
ALLAH agar diberikan petunjuk oleh-Nya.

Ya Rabb…. Engkaulah Maha pemilik hati manusia Engkaulah Maha pembolak balik hati
manusia Hanya pada-Mu lah hamba serahkan ini semua Jika Engkau mengizinkan Temukanlah
hamba dengan seseorang yang juga berjalan menuju arah-Mu Yang bisa mengingatkan hamba
akan diri-Mu Yang bisa membukakan hati dan mata hamba akan kebesaran-Mu Yang bisa
membimbing hamba berjalan menuju surga-Mu Semoga Engkau berkenan Ya Allah…
Amiiiin…. Doa itulah yang selalu ia panjatkan disetiap akhir shalatnya.

Hari yang dinAnti telah tiba. Hari Raya Idul Fitri. Seperti biasa kita saling bermaaf
maafan. Begitu juga dengan Anti dan Rizal, mereka tak lupa saling meminta maaf yang diwakili
dengan pesan singkat ucapan selamat dan permintaan maaf dari keduanya. Hari lebaran mereka
lewati dengan kesibukan masing masing, maklum keluarga Rizal adalah keluarga besar jadi dua
hari pertama lebaran dilewatinya bersama keluarga dirumah. Hingga pada suatu hari, Rizal
mengajak Anti untuk bertemu di suatu tempat yaitu di toko buku, tempat yang paling mereka
sukai. Sebenarnya Anti takut kalau Rizal mengajaknya bertemu. Anti takut setelah ia bertemu
dengan Rizal, Rizal akan berubah sikapnya pada Anti.

Kekhawatiran Anti cukup dapat dimengerti, ia khawatir akan kehilangan Rizal


pembimbingnya selama ini. Namun akhirnya Anti menyanggupi ajakan Rizal. Anti menyerahkan
itu semua pada-Nya, Dialah yang berkuasa atas segala hal.

Untuk kali pertamanya mereka bertemu. Setibanya Anti di toko buku itu, ternyata Rizal
sudah sampai lebih dulu. Tiba tiba hp Anti berdering, ternyata Rizal menghubungi Anti. “
Assalamu’alaikum,.. Anti kamu dimana???” terdengar suara Rizal “ Wa’alaikumsalam, aku udah
di depan nih..” jawab Anti “Oh, ya udah aku ke depan deh…, Hhhmm.. kamu pake baju apa
ya???” tanya Rizal lagi “Aku pakai baju coklat muda dan jilbab coklat motif kembang
kembang..” Anti menjelaskan. Setelah mendengar penjelasan dari Anti, Rizal langsung
memutuskan telponnya. Anti hanya bisa menunggu Rizal.

Tidak lama kemudian Hp Anti berdering lagi, Rizal menelpon lagi memastikan kalau
yang ia lihat itu adalah Anti. “Anti… kalau aku tidak salah, aku dibelakang kamu” kata Rizal
Rizal langsung memutuskan telponnya. Anti dengan hati yang berdebar debar menoleh
kebelakang. Subhanallah, diam diam hati Anti berdzikir untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Rizal yang Anti lihat saat itu, sama sekali tidak mencerminkan seorang pria berusia 20 tahun. Ia
tampak begitu dewasa dan berwibawa dengan dandanan seperti itu ditambah lagi dengan
kacamata yang bertengger dimatanya.

Rizal menyambut Anti dengan senyuman. Anti pun membalas senyuman Rizal dengan
malu malu sambil menundukkan pandangan. Mereka berdua berjalan seiring dengan tetap
menjaga jarak. Tanpa Anti sadari, ternyata warna baju yang mereka pakai sama. Coklat muda. “
Eh, kita ngga janjian khan pake bajunya???? “ kata Rizal. Anti hanya tersenyum malu. “Kok bisa
ya…” begitu bisik hatinya.

Tak banyak kata yang mengalir dari perbincangan mereka berdua. Untuk beberapa saat
mereka berpisah. Rizal menuju rak buku Islam sedangkan Anti menuju rak novel kesukaannya.
Anti mengira ngira apa yang Rizal pikirkan tentang dirinya. Cukup lama mereka berpisah.
Akhirnya mereka bertemu lagi setelah mendapatkan buku yang mereka cari. Rizal meminta buku
yang Anti pilih. Ia bermaksud membelikannya untuk Anti sebagai hadiah pertemuan. Dan Anti
tidak bisa menolaknya.

Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 16.00, Rizal mengajak Anti untuk shalat Ashar.
Setelah selesai shalat Ashar, mereka berdua pulang. Karena mereka searah jadi pulang bersama
sampai di simpangan Pal, mereka berpisah karena arah mereka bertolak belakang. Tak lupa Rizal
mengucapkan terima kasih pada Anti karena mau menemaninya ke toko buku. Sepanjang
perjalanan pulang, Anti tersenyum dalam hati. Begitu bahagianya ia dipertemukan dengan Rizal.
Rizal begitu menjaga keislamannya. Dan Anti merasa aman dan bahagia di dekatnya.

Namun Anti menyerahkan ini semua pada-Nya, biarlah Dia yang memutuskan. Masih
asyik dengan lamunannya, tiba tiba hp Anti berdering. Ternyata hanya SMS. Ya, Rizal mengirim
SMS pada Anti. Kali ini, isinya cukup membuat Anti terkejut. “ \Ass, sudah sampai mana??, hati
hati ya dindaku sayang…” begitu isinya. Membacanya, membuat Anti tersenyum. Rizal
memanggil Anti dengan sebutan dinda. Sebutan untuk seorang kekasih. Ya Rabb..lindungilah
hamba-Mu ini, Berilah hamba petunjuk…, Begitulah doa nya dalam hati. Anti tidak langsung
membalas SMS dari Rizal. Sesampainya Anti dirumah, pas waktu shalat maghrib tiba. Anti
istirahat sejenak untuk melepaskan lelah. Hp Anti berdering lagi, seperti biasa Rizal selalu
mengingatkan Anti untuk shalat.

Untuk kali keduanya, Rizal memanggil Anti dinda.. “Ass, udah shalat maghrib belum??,
jangan lupa untuk menyelipkan namaku di sela sela do’amu dindaku sayang… Rizal” Isi pesan
singkat itu. Setelah selesai membaca pesan singkat yang indah itu, Anti bergegas shalat maghrib.
Anti tidak lupa pesan Rizal untuk menyelipkan namanya disetiap do’a Anti. Tanpa diminta pun
Anti selalu menyebutkan nama Rizal di setiap doanya.

Entahlah Anti belum juga ingin membalasnya. Mungkin ia masih terhanyut dalam rasa
bahagianya. Sampai sampai ia bingung harus bilang apa untuk membalasnya. Seperti biasa Anti
selalu memanfaatkan waktu sepertiga malamnya untuk berdoa. Ia ingin mengungkapkan segala
perasaan yang dialaminya, kebingungan dan kegundahan yang melanda hatinya pada
Penciptanya.

Perjalanan kisah mereka tidak selalu berjalan mulus. Keesokan harinya Anti terkena
musibah. Ia mengalami kecopetan di sebuah angkutan ketika pulang kuliah yang mengakibatkan
Hp nya raib. Anti bingung karena nomor Rizal belum sempat ia hafal. Anti memang paling tidak
suka kalau disuruh menghafal nomor telepon. Sesampainya Anti dirumah, ia langsung menuju
pesawat telpon. Anti hanya ingat kepalanya saja 0855 selebihnya ia mencoba menekan secara
acak meskipun sebenarnya ia tidak yakin berhasil.

Dan ternyata memang tidak berhasil. Anti kehilangan Rizal, ia kehilangan pengingat
shalatnya, pembimbing dirinya. Ia kehilangan pesan singkat yang indah itu yang belum sempat ia
balas. Entahlah apa yang ada di pikiran Rizal saat ini, mungkin ia akan mencap Anti sebagai
wanita yang angkuh dan sombong karena sampai saat ini SMS darinya belum juga dibalas. Ya
Allah.. seandainya Rizal tahu apa yang sedang Anti alami sekarang…Begitulah doanya dalam
hati. Hampir tiga bulan mereka kehilangan kontak. Hingga pada suatu hari, Anti begitu ingin
pergi ke toko buku tempat dulu mereka untuk kali pertama bertemu. Namun kali ini bukan itu
niat Anti. Memang nama Rizal masih tersimpan baik baik didalam hatinya.

Entahlah sepertinya ada sesuatu yang mendorong Anti untuk melangkah pergi ke tempat
itu. Sesampainya di tempat itu, seperti biasa Anti langsung menuju rak novel. Anti teringat
pertemuan empat bulan yang lalu dengan Rizal. Namun ia berusaha untuk tidak larut dalam
kesedihannya. Kesedihan kehilangan Rizal.

Terlalu asyiknya ia berjalan menuju kasir sambil membaca, ia menabrak seorang pria
berkacamata yang juga sedang membaca. Buku mereka berjatuhan. Anti yang merasa bersalah
berinisiatif meminta maaf lebih dulu sambil mengambilkan buku milik orang itu. Belum sempat
Anti melihat wajah orang itu, namun pria berkacamata itu memanggil namanya. “Anti…..??”
kata orang itu dengan penuh tanda tanya. Kontan saja Anti terkejut, karena sepengetahuannya ia
belum pernah menyebut namanya. Perlahan Anti menegakkan pandangan, matanya tepat menuju
mata pria berkacamata itu.

Wajah yang ada di hadapannya, begitu jelas tergambar dalam ingatan Anti. Ya.. wajah itu
mengingatkan Anti pada seseorang. Lama juga mereka saling menatap. Hingga tanpa sadar Anti
menyebutkan sebuah nama. “Rizal……?????” sebut Anti. Tak lama kemudian mereka tersadar
dari lamunannya masing masing. Anti langsung kembali menundukkan pandangannya malu
malu. Diam diam hartinya berdzikir, Astagfirullah… Ya Rabb, ampuni hamba-Mu ini yang telah
melakukan dosa. Ya.. Rabb Engkau mempertemukan kembali hamba dengan dia.. Ini adalah
kehendak-Mu Ya Allah. Rizal memulai percakapan diantara mereka.

“Anti.. apa kabar, kemana saja kamu??? SMS dari ku tak pernah kau balas?? Apa kamu
marah padaku???” tanya Rizal dengan nada penasaran. Anti sudah menduga, kalau Rizal berpikir
seperti itu tentang dirinya. Dan menanyakan tentang SMS yang tak pernnah dibalasnya itu.
Dengan perlahan lahan Anti menjawab semua pertanyaan Rizal dan menjelaskan apa yang terjadi
dengan dirinya waktu itu.

“Abang ri, alhamdulillah kabarku baik. Bukan maksudku tidak mau membalas SMS dari
abang, hanya saja belum sempat aku membalas dan menghafal nomor hp abang ri, hpku hilang
dicopet. Aku sudah berusaha mengingatnya, sayangnya aku hanya ingat kepalanya saja 0855.
Begitu ceritanya. Anti pikir, Anti telah kehilangan Abang ri ” jawab Anti.

“Innalillahi… tapi kamu ngga apa apa khan ??? “ Tanya Rizal penuh kekhawatiran.

“Alhamdulillah, aku ngga apa apa… Mungkin ini ujian dari-Nya “ Anti menjelaskan.
“Syukurlah…Dan ternyata Allah telah mempertemukan kita lagi ditempat yang sama…,
meskipun tanpa komunikasi tanpa janjian terlebih dahulu” kata Rizal dengan semangat. Untuk
kali keduanya Rizal menghadiahkan buku itu untuk Anti, kali ini dengan alasan sebagai hadiah
untuk dindaku sayang… katanya. Untuk kali keduanya juga Anti tidak bisa menolak pemberian
dari Rizal.

Anti menerimanya dengan malu malu. Setelah acara ditoko buku selesai, Rizal mengajak
Anti makan di sebuah resto yang ada di dalam kompleks toko buku itu. Sambil makan Rizal
menanyakan suatu hal yang pribadi pada Anti. Rizal menanyakan tentang tipe calon suami yang
Anti cari. Entahlah mengapa tiba tiba ia menanyakan itu pada Anti. Anti tetap menjawab
sejujurnya tanpa ada prasangka apa apa pada Rizal. “Tipe suami yang aku cari adalah yang bisa
membimbingku menuju jalan-Nya, yang bisa membawaku menuju surga-Nya, yang bisa menjadi
imam baik dalam shalatku maupun dalam kehidupan berumah tangga nantinya, yang mampu
bertanggung jawab dunia dan akhirat. Hhhmmm… pokoknya yang sholeh ” jawab Anti dengan
semangat.

Merasa dirinya terlalu banyak bicara, Anti langsung meminta maaf. “Aduhh…maaf ya
kalau bicaraku terlalu banyak. Mungkin aku agak berlebihan..” kata Anti.

Rizal tidak berpikir seperti itu, malah ia senang mendengar Anti berbicara. “Oh.. ngga
kok, malah aku senang mendengar kalau kamu bicara, lucu kayak nenek nenek..” ledek Rizal
pada Anti. Diledek Rizal seperti itu, Anti langsung merubah mimik mukanya. Melihat perubahan
mimik muka Anti, Rizal langsung minta maaf khawatir Anti marah.

“Uupss.. maaf deh becanda kok, jangan marah ya dindaku…, Ngga kok, aku pikir wajar
wajar saja kalau seseorang itu memiliki sebuah impian sebuah harapan.

Namun masalahnya tidak ada manusia yang diciptakan sempurna. Sebaik-baiknya


manusia, pasti ia pernah melakukan kesalahan. Apa kamu mau menerima segala kekuarangan
dan kelebihan yang ada pada dirinya” kata Rizal serius. Anti tidak mau kalah. “Tentu saja, aku
akan terima dia dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dia punya. Dan Insya Allah, aku
akan setia mendampinginya dalam suka dan duka. Aku akan tetap menyayanginya” jawab Anti.
Rizal begitu serius memperhatikan cara Anti mengungkapkan pendapatnya. Mungkin
dalam hati Rizal tertawa geli. Karena Anti kalau sudah bicara serius, tanpa ia sadari, kata kata
puitisnya keluar. Ya..maklumlah Anti itu pemilik sifat melankolis. Dan Rizal tahu itu. Kerap
juga ia meledek Anti. Setelah selesai makan, Rizal mengajak Anti shalat Maghrib karena waktu
sudah menunjukkan pukul 18.15. Kali ini Rizal mengajaknya shalat berjama’ah meskipun
dengan menggunakan hijab. Anti kaget sekaligus senang, Rizal menjadi imam dan Anti menjadi
ma’mum.

Karena moment itulah yang selalu ia tunggu tunggu. Memang kebetulan di mushalla itu
baru mereka berdua yang shalat. Selesai berdo’a, tanpa Anti duga Rizal mengungkapkan
perasaannya pada Anti. Dengan selembar kain sebagai hijab diantara mereka berdua, Rizal
mengutarakan keinginannya untuk melamar Anti. Di keheningan suasana, suara Rizal terdengar
begitu indah dibalik hijab yang memisahkan mereka berdua. Anti mendengarkan dengan penuh
cemas.

“Assalamu’alaikum, dinda…abang ri mau bilang sesuatu. Tapi dinda jangan marah


ya….” Begitu katanya.

“Wa’alaikumsalam, bilang apa abang ri, bilang aja Insya Allah Anti ngga marah” suara
Anti terdengar lembut di balik hijab.

“Sungguh maha suci Allah yang telah menganugerahkan rasa cinta kepada manusia. Rasa
cinta itu begitu suci dan murni. Tidak sepantasnya kita menodainya. Kehadiran rasa cinta itu di
dalam hati abang ri, membuat abang ri bingung dan takut. Abang ri takut rasa cinta itu ternoda.
Oleh karena itu abang ri akan membawa cinta ini ke jalan yang di ridhoi-Nya. Sejak pertama kita
bertemu dan kali ini atas kehendak Allah kita dipertemukan kembali, sebenarnya abang ri
mempunyai perasaan lebih pada dinda.

Alhamdulillah abang ri sudah minta petunjuk-Nya. Dan semua itu mengarah pada dirimu
dinda. Setelah proses perkenalan yang kita lalui bersama, abang ri berniat melamar dinda.
Sekarang terserah pada diri dinda… Dinda boleh shalat istikharah lebih dulu mohon petunjuk-
Nya. Apapun itu keputusannya, abang ri akan terima dengan ikhlas.
Sekarang sudah malam sebaiknya kita pulang yuk.., nanti dinda dicariin sama orang
rumah” kata Rizal perlahan namun pasti.

Anti benar benar terkejut. Tanpa ia sadari, air mata menetes di pipi Anti. Anti menangis
karena bahagia. Setelah itu Anti tidak mampu berkata kata lagi. Ia hanya menangis. Rizal yang
melihat Anti menangis khawatir. Ia khawatir kalau ada kata kata yang menyakiti hati dindanya.
“Dinda.. kenapa kamu menangis, maafkan aku kalau ada kata kataku yang menyakiti hatimu”
tanya Rizal dengan penuh kekhawatiran.

Mendengar Rizal berkata seperti itu, Anti langsung menjelaskan alasan ia menangis.
“Abang ri, Anti menangis bukan karena ada kata kata abang ri yang menyakiti hati Anti. Anti
menangis karena bahagia, doa-doa yang selalu Anti panjatkan disetiap shalat Anti akhirnya
dikabulkan oleh-Nya. Anti bahagia karena akhirnya Allah telah mengirimkan seseorang untuk
menjadi pendamping hidup Anti dan itu adalah Abang ri. Dan Anti menangis karena ingat
Almarhumah ibu.

Seandainya beliau masih ada, pasti ikut merasakan kebahagiaan yang Anti rasakan
sekarang. Ya Rabb.. terimalah ia disisi-Mu” kata Anti sambil terisak menangis. Mendengar Anti
berdo’a, Rizal mengamiinkan. “Amiiinn…., Ya sudah sekarang kita pulang yuk, hari sudah
malam” ajak Rizal.

Anti menolak diantar pulang oleh Rizal. Karena rumah mereka sama jauh dan Anti tidak
mau merepotkan abangnya. Sebelum mereka berpisah tidak lupa Rizal menanyakan nomor
telpon rumah Anti dan alamat e-mailnya agar bisa tetap berkomunikasi.

Sesampainya dirumah, kira kira pukul 20.30 Rizal telpon untuk memastikan kalau Anti
sudah sampai dirumah dengan selamat. Keesokan harinya ditempat ia bekerja, Anti mengecek e-
mail yang masuk dan ternyata ada e-mail dari Rizal. Isinya tentang rencana kedatangan dirinya
bersama keluarga untuk silahtuhrahmi tiga bulan lagi.

Tiga bulan sudah Anti lalui dengan harap harap cemas.

Hingga tiba hari itu, keluarga Rizal datang. Dari perbincangan antara orang tua kedua
belah pihak, akhirnya di putuskan hari pernikahan mereka yang insya Allah akan diadakan
sekitar tiga bulan lagi. Waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Tak
henti henti Anti berdzikir dalam hati. Ia amat bersyukur mendapatkan seorang Rizal.

Rizal adalah pria seorang sholeh. Insya Allah. Meskipun mereka sama sama masih kuliah
namun itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk melaksanakan ibadah yang sangat mulia ini.
Dan meskipun perbedaan usia mereka yang dua tahun itu, tidak menghalangi niat Rizal untuk
memperistri Anti. Atas kehendak-Nya lah semua ini terjadi. Hingga tiba hari itu, hari pernikahan
mereka berdua. Mereka begitu tampak bahagia. Semoga kehidupa baru yang akan mereka jalani,
selalu mendapat berkah dan rahmat dari-Nya.

Nurhayanti

Kasih Tanpa Batas

Terlalu banyak kenangan manis yang terekam bersama sosok yang selalu menempati
tangga cinta yang tinggi di hatiku. Kemarin malam aku kembali merekam satu lagi kenangan
manis itu. Sebuah cinta yang tidak terucap dengan kata-kata. Sebuah kerinduan yang tidak
terdengar sebagai suara. Sebuah kasih sayang yang tanpa batas, yang kusimpulkan dari sebuah
pemberian yang hampir tak masuk akal.

Sosok anggun yang selalu menempati tangga cinta yang tinggi di hatiku adalah ibuku.
Sampai kemarin malam aku masih jauh berpisah dengannya. Tapi jarak tidak pernah membatasi
rasa kasih. Tak terasa empat tahun sudah aku berpisah dengannya, menuntut ilmu di negeri
Musa, Mesir.

Rombongan pertama mahasiswa baru Al-Azhar dari Persatuan Islam (Persis) baru datang
semalam. Merekalah yang membantu Ibuku menyampaikan rasa kasihnya padaku. Seperti para
ibu lainnya kepada anak mereka masing-masing. Kehadiran mahasiswa baru selalu membawa
kebahagiaan tersendiri. Bahagia karena mendapat teman baru, adik baru, rekan seperjuangan
baru, terutama jika mahasiswa baru itu satu daerah dengan kita. Bahagia juga karena mereka
selalu membawa "kasih" dan "cinta" yang dititipkan ibuku.

"cinta" dan "kasih" itu kadang berbetuk sepasang baju baru dan makanan ringan khas,
kadang juga berbentuk buku-buku, dan sebagainya. Yang paling membahagiakan adalah untaian
kata-kata yang ditulis oleh keluarga, surat dari ibu, ayah, saudara selalu memberi kesan yang
sangat mendalam. Tak terasa tiba-tiba ada air mata yang menitik di pipi. Dan kerinduan yang
demikian menggelembung sedikit terobati. Dan semangat yang terkadang redup kembali
menyala terang. Dan malam-malam penyambutan mahasiswa baru pun jadi memiliki warna
tersendiri bagi mereka yang menerima titipan cinta dan kasih dari orang-orang terkasih mereka.

Aku sendiri kemarin malam merasakan hal tersebut. Dan untuk tahun ini bentuk "cinta"
yang dikirimkan ibuku sangat berbeda dari biasanya. Biasanya, aku selalu mewanti-wanti kepada
keluargaku untuk tidak mengirimiku makanan, aku lebih memilih dikirimi buku-buku terbaru.
Tetapi malam kemarin, "cinta" titipan ibuku bukan hanya maknanan, tapi makanan kesukaanku.
Ayam goreng kelapa, sambal tomat, sambal goreng tempe kering, plus krupuk ikan tenggiri,
lalap, dan buah untuk cuci mulutnya. Semuanya dengan resep Warung Nasi Seni Rasa, warung
nasi kebanggaan keluarga kami.

Teman-temanku ribut mengetahui aku mendapatkan titipan yang begitu banyak. Mereka
ribut karena tahu sebentar lagi aku akan pulang, S1-ku selesai tahun ini. Ya, begitulah, aku
sendiri surprise dengan "cinta" yang dititipkan ibuku. Apakah beliau lupa, putera yang
dikiriminya itu berada di Mesir, hingga tidak merasa takut makanan basah yang dikirimnya basi?
Tapi kayaknya ibuku tidak lupa, beliau telah memperhitungkan kualitas masakannya dengan
jarak waktu yang dihabiskan dari Garut sampai Mesir. Hasilnya, 95% makanannya selamat dan
bisa disantap bersama malam itu juga.

Dalam surat singkat yang menyertai titipan itu, ibuku berpesan, "Ummi tau ini lauk
kesukaan zamzam, masaklah nasi yang banyak, terus ajak teman-teman untuk makan bersama.
Itung-itung perpisahan sebelum zamzam pulang. Jangan lupa diphoto ya..."

Subhanallah, sampai sejauh itu ibuku memikirkanku. Padahal putera-puterinya ada tiga
belas orang! Ah, aku sadar, ibu memang memiliki kasih yang tiada batas. Aku pun menuruti
permintaan ibu. Memasak nasi yang cukup banyak dan mengajak semua kawan yang sedang
berkumpul di rumah untuk makan malam bersama. Semua merasa senang. Sebagian yang sudah
kenal dengan masakan ibuku, mengaku teringat dengan nostalgia ketika mereka makan di
Warung Nasi Seni Rasa, Garut.

Cinta ibu tiada batas luasnya. Bagi ibu, batas yang bisa menghalanginya untuk
memberikan kasih sayang kepada putera-puterinya tidak pernah ada. Tidak hanya jarak yang bisa
ditembus oleh kasih sayang seorang ibu. Bahkan dinding emosi yang bagaimanapun tebalnya,
bagi seorang ibu bukan batas yang menghalanginya untuk memberikan kasih sayang. Mungkin
seorang anak sudah beribu-ribu kali menusukkan rasa sakit di hati sang ibu, tapi itu bukan alasan
baginya untuk membatasi rasa kasih dan sayangnya. Pantas Allah dan Rasulul-Nya
menempatkan seorang ibu pada tempat yang mulia di mata anak-anaknya, sangat pantas sekali.
Karena mereka memiliki satu hal, kasih tanpa batas.

Untuk Ummiku, Jazakillah khairan katsiran atas semua kasih sayangnya. Nanda takan
pernah sanggup membalas semua pemberianmu. Tapi yakinlah, nanda kan berusaha menjadi
yang terbaik di mata Ummi dengan menjadi yang terbaik bagi umat, tentu di atas semua itu Allah
adalah yang pertama. Nanda selalu ingat harapan Ummi agar nanda menjadi pengganti para
pahlawan pembela Islam dan negeri Indonesia. Semoga Allah memberi kekuatan kepada nanda.
Amin.

Zamzam M Ma'mun

Kuntum Cintanya....

“De’… de’… Selamat Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku.
“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu
sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di
hadapanku.
Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami
lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak
ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke
kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan
selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa
bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku
seperti putri hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan
mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me….
Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini
aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak
punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa
membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku
menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering
keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar.
Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

“De… Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap
di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa
bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu
semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.

Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari
mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan
bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.

“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata.
Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku.
Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan
sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak
bersyukurnya aku.

“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin
kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan
tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku.
Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi…
mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya
karuniamu masih aku pertanyakan.

“A’ lihat aku…,” pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di
matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan
dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan
ketulusan itu. “Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara isakan.
“Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku
kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus
perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama....”
bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi
keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada
suaminya yang selalu telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya
semakin kencang di pelukanku.

Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata,
tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan
dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih
bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa
ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi
pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

Al Birru

Semoga Kujelang Lagi

Tenggorokan berasa lho keringnya kalau harus cuap-cuap tak berhenti. Satu kelas
tigapuluh dua murid. kecil kecil anak SD, bisa dibayangkan ributnya. 'Nyanyian' jadi dobel, baik
pelajaran maupun kalimat berintonasi tanda seru, biar arena terkendali. Pada jam ketiga biasanya
mobil pembawa bento (makan siang) tiba, aroma terus bergerilya sampai kehidung-hidung kami.
Tanpa kecuali.

Semua anak bersemangat, semangat ingin segera break makan siang. Ketika bento dibagi
oleh petugas piket, semua bergembira. Celoteh "duh sedaap, tambah boleh ya nanti", pun terus
berderai hingga hampir usai istirahat makan siang. Hati melayang kepada ananda-ananda
pejuang tercinta di sekolah SD lain. Semoga kalian kuat sayang, do'a hati saya.

Semua murid dan guru sudah terbiasa dengan tidak pedulinya saya dengan menu sekolah.
Yang mereka bingung sudah hari ke empat ini saya tidak makan siang. Teman seberang meja tak
tahan kemudian bertanya "Bu, kok sudah beberapa hari ini tidak bawa bekal?"

Kemudian pak Saori langsung juga ikut bertanya "iya, sudah lama nih, saya pingin makan
kerupuk udang yang sering ibu bawa".

Saya tersenyum, pak Saori dan bu Hirano memang yang paling dekat dengan saya. Saya
membagi masakan ala Sunda pengganti buah dan sushi atau pun shashimi yang kadang mereka
bawa untuk dibagi. Keduanya ramah dan sering membantu menunjukkan, sewaktu kertas atau
buku yang saya tak tahu di laci mana letaknya. Cenderung bukan 'dimana' yang saya cari,
terlebih kepada tulisan kanji yang belum nempel di kepala.
Dengan tak sabar pak Saori bertanya kembali "Ah ibu, pasti diet ya?!". Saya cukup
berkernyit untuk menjawab, tapi hm... akhirnya hanya anggukan saja tanda setuju pada
pertanyaan akhir pak Saori.

***

Pukul 3 pagi saya turun untuk menyiapkan sahur bagi keluarga. Bbrr... dingin sekali.
Saya menuju dapur yang dingin. Sambil gemetar saya mulai menyalakan kompor menjerang air
untuk sop. Membuat teh hangat dan memotong kue manis kecil yang sore tadi memang disisakan
untuk sahur. Saya memasak sahur hanya secukupnya. Anak anak tidak terlalu bersemangat
makan banyak. "Ngantuk", ujar mereka. Suami pun demikian hanya makan ala kadarnya,
memenuhi sunah Nabi saja katanya. Ia belum terbiasa walau sudah tahun ke sembilan berpuasa,
tetap tidak berselera makan di dini hari.

Saya sebagai penyemangat anak anak dan suami, terus mengunyah tak jera meminta
mereka untuk menghabiskan hidangan di meja.

Puasa jatuh pada musim dingin, ada enaknya, sahur bisa berlama-lama. Pernah kami
terlambat sahur hampir setengah lima. Tapi beruntung karena imsak jatuh setengah jam
setelahnya. Semua dibangunkan, bergegas kami turun ke dapur, memakan seadanya, yang hangat
hanya nasi. Alhamdulillah nikmat dan masih masuk waktu. Begitupun ketika waktu berbuka tiba,
jam lima sore! Tapi memang langit di luar sudah hampir gelap. Jam enam, sudah gelap pekat.

Beduk maghrib dan azan hanya kami dengar lewat komputer. Murotal dan pujian atau
penyegar rohani di waktu sahur, juga di komputer. Hal hal seperti ini yang begitu terasa lain, ada
yang hilang, ada yang kurang, pokoknya rindu mendera. Teringat kampung halaman, Ibu, Ayah,
kakak dan adik serta handai taulan. Seakan seluruh orang bergembira, hangat, indah menyentuh
sanubari, sulit dilukiskan walau beruntai kalimat pun. Suasana itu tidak kami dapatkan di negeri
sakura ini. Kebetulan buka puasa bersama di kota yang diadakan oleh perkumpulan Islam
serumpun, amat jauh untuk kami tempuh.

Suasana yang lain ini, membuat seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan. Untuk
menyemangati anak-anak yang berpuasa sendirian di kelasnya. Saya dan suami selalu mencari
ide, hadiah dan kasih sayang lebih. Membayangkan buah hati kami, akan berada di perpustakaan
ketika makan siang tiba. Mereka tidak mengikuti dengan penuh olahraga berat; lari cepat atau
lompat tali dan sebagainya. Padahal kami tahu si kecil suka sekali lompat tali. Dan tak ada satu
pun yang sama seperti mereka di sekolah itu.

***

Di keluarga saya mengajak berpuasa tidak memaksa, hanya memberi contoh dan cerita,
kepada si kecil hanya saya ceritakan betapa mudahnya menambah tabungan adek, mas, bunda
dan otosan beli tiket ke surga. Sebab pahala di bulan Ramadhan bisa berpuluh puluh kali lipat.
Suami yang memang percaya betul dengan makna puasa, kebanyakan segi logika yang ia pakai.
Betapa mesin saja harus masuk bengkel, harus ganti onderdil, diistirahatkan. Apalagi tubuh
manusia yang mempunyai banyak tugas dan fungsi. Betapa Allah memang Maha Mengetahui
atas ciptaan-Nya. kebenaran ajaran Islam inilah yang membuat umat Muslim makin bertambah
saja di negeri sakura ini.

Bayangkan, perkumpulan Mukmin Jepang di kota Fukuoka sudah ada tigapuluh dua
keluarga Jepang Asli dan campur, maksud saya, ada yang beristri atau bersuami dari negri lain.
Inipun belum disebar luas undangan bagi keluarga atau kerabat yang lain.

Namun jumlah itu sudah cukup menghibur. Hiburan dan penguat saya dan keluarga serta
anak anak adalah yakin; Allah selalu membuatkan teman bagi kami, bagi kita di manapun
berada. Itu Karunia yang indah yang amat saya syukuri.

***

Saya hela nafas panjang dan menutup dulu diary tahun lalu. Saya baca tadi untuk
mengingatkan kembali. Apa yang indah, apa yang kurang terutama ibadah kami. Ah, tak terasa
esok hari sudah akan tiba Ramadhan. Bulan penuh Rahmat yang ditunggu.

"Bunda, tadi pagi mas bilang sama bu guru, kalau besok akan masuk bulan Ramadhan".

Si adek kecil ikut bicara, "iya bunda, adek juga sudah bilang, minta disiapkan ijin
membaca di perpustakaan kalau makan siang tiba"

Dengan lancar mereka meneruskan cerita kalau Tanin Sensei atau guru wali kelas mas-
nya, yang kini menjadi wali kelas adek, sudah belajar Islam sejak delapan bulan lalu.
Saya terpana, terpesona kepada mata mata bulat indah di depan saya. Mereka selalu
menjawab jujur bersahaja apa adanya, "puasa to sholat wa Allah kara koo site nasai yuwaretta
nno"! (Puasa dan Sholat adalah perintah Allah). MasyaAllah, itu yang membawa ibu wali kelas
terus mencari ingin tahu.

Tahun ini mudah mudahan saudara Muslim di negeri matahari terbit bertambah satu, satu
satu, terus bertambah. Saya berjanji dalam hati, saya akan katakan kepada semua orang kalau
saya berpuasa!

Ini perintah Allah, bukan diam atau hanya mengangguk tak peduli. Aku tak sabar
menanti. Ya Allah semoga Ramadhan bisa kujelang lagi.

Rose Firdauzi Nakamura

Semua Karena Cinta

Pagi belum lagi tiba, bahkan fajar pun belum menggantikan langit sisa semalam. Segera
bangun mendahului ayam jantan yang biasa bertugas memulai hari, bahkan jauh lebih dulu dari
petugas masjid sebelum ia membangunkan orang untuk sholat subuh. Aku sudah harus
menggigil kedinginan bergumul dengan air kamar mandi. Pagi ini, pagi kemarin dan pagi
seterusnya tetap begitu agar tak terlambat tiba di kantor.

Kecup kening istri, usap lembut kepala anak-anak yang masih terbuai mimpi-mimpinya.
Usai mengucap salam, diri ini bergegas meninggalkan halaman rumah, membuang sisa kantuk
semalam, melangkah cepat menyusuri jalan melewati masjid yang kutinggalkan lebih awal dan
menyisakan segelintir hamba Allah yang khusyuk dengan dzikir mereka. Seperti biasa, seringkali
kulafazkan dzikirku di perjalanan, sambil merapal beberapa ayat yang masih kuhapal.

Tiba di stasiun kereta api Bogor. Bersyukur jika masih tersisa bangku kosong agar dapat
sedikit menuntaskan lelah dan kantuk yang tertunda sejak semalam. Lumayan untuk
mengumpulkan energi agar nampak lebih segar tiba di kantor dan meniti hari tanpa menguap.
Tapi nyatanya, tak semua yang kita bayangkan akan menjadi kenyataan karena aku lebih sering
mendapati kereta dalam keadaan sesak penuh bahkan sebelum kereta beranjak. Maka dimulailah
hari demi hari, dan setiap hari dengan berhimpit, berdesak, dan menahan panas, pengap, juga bau
keringat ratusan orang di satu gerbong.

Berdiri selama tidak kurang satu jam sebelum tiba di stasiun tujuan, dengan mata terus
awas terhadap gangguan tangan jahil. Kalau pun mendapatkan tempat duduk, biasanya tak bisa
menikmati dengan bebas karena biasanya baru beberapa menit saja harus tergantikan oleh wanita
hamil, ibu yang menggendong anaknya, atau mereka yang lanjut usia dan cacat.

Begitulah aku mengawali pagi. Setiap hari.

Sore. Setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas kantor, hampir sama episode yang
berlangsung setiap sore dan malam. Adzan maghrib berkumandang sementara kereta belum juga
tiba, segera kutinggalkan peron untuk menghadap-Nya. Usai sholat maghrib berlari kembali
menuju peron ternyata kereta baru saja lewat dan aku harus menunggu kereta berikutnya
seperempat hingga setengah jam ke depan.

Masih dengan suasana yang tak jauh berbeda dengan pagi hari. Berhimpit, berdesak dan
menahan keseimbangan, juga berpeluh di tengah kerumunan ratusan orang di sebuah gerbong.
Bedanya, aromanya jelas tidak senyaman pagi hari.

Tiba di rumah. Tak jarang kujumpai istriku sudah terlelap lelah setelah seharian
mengurus dan mendidik anak-anak. Kuketuk pintu berulang kali. Sekali lagi. Menunggu
beberapa saat dan akhirnya, dengan segurat wajah lelahnya istriku membukakan pintu.

Begitulah malam menutup hariku. Setiap hari.

Dik, Aku memang harus melupakan banyak waktu bersamamu, melewatkan detik-detik
menyenangkan melihat tingkah dan tawa anak-anak. Bahkan aku terlalu sering tak bertemu
dengan anak-anak lantaran mereka belum bangun saat aku berangkat dan sudah terlelap
sesampainya aku di rumah. Hanya wajah-wajah polos tanpa dosa yang menyambutku dalam
lelapnya yang hanya bisa kukecup lembut agar tak membuyarkan mimpinya.
Kulakukan semua itu karena cinta. Cinta kepada Allah yang menganugerahkan cinta dan
kehidupan ini, yang memperkenankan aku hidup bersama orang-orang yang mencintaiku. Cinta
lah yang tetap membuatku tegar menjalani hidup, seberat apapun itu.

Bayu Gautama

Titip Rindu untuk Ayah

Seraut wajah penuh gurat. Membuatku selalu teringat larik Ebiet G Ade,

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa

Benturan dan hempasan terpahat di keningmu

Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras

Namun kau tetap tabah

Meskipun nafasmu kadang tersengal

Memikul beban yang makin sarat

Kau tetap bertahan

What should I say about him?

Sedari kecil, aku tak terlalu dekat dengannya. Lumrah mungkin, karena seorang anak
memang biasanya lebih dekat dengan ibunya. Sosok wanita yang senantiasa hadir di rumah,
membimbing anak-anaknya.

Aku tak terlalu dekat dengannya. Sosok itu selalu pergi pagi pulang sore. Setiap beliau
tiba, selalu kucari, adakah ia membawa bingkisan bagiku? Dan ibuku senantiasa menyuruhku
menyiapkan makan baginya. Sebuah permintaan yang selalu kupenuhi sembari enggan
menggelayuti jasad. Sebuah sikap yang selalu kusesali hingga saat ini.
Sosok itupun jarang berbicara. Selalu kulihat ia bekerja dalam diam. Ah, satu sifat yang
lewat kuteladani. Ya, ayah adalah sosok yang serba bisa menurutku. Dan jelas dambaan wanita
masa kini. Karena beliau tidak pernah segan melakukan pekerjaan wanita, tanpa melalaikan
amanahnya sebagai ayah. Bahkan kadang kupikir, di beberapa sisi beliau lebih jago dari ibuku.
Beliau bisa menjahit dengan rapi dan sangat teliti. Membuatkan ciput untuk kakak perempuanku,
sebagai orang pertama yang memakai kerudung di keluargaku. Memasak dengan sangat bersih
dan apik. Membuat sendiri beberapa perkakas dapur dari kayu. Membersihkan halaman dan
menggunting rumput. Pernah suatu kali, seorang sales mengira beliau adalah tukang kebun!
Jadilah rumahku selamat dari serbuan sales.

Benar, ayah adalah pekerja yang sangat teliti. Kadang aku dan juga kakak-kakakku sering
gemas ... "Ayo dong Yah, cepetan dikit! Atau kita aja deh yang ngerjain". Tapi proses yang
'lambat' itulah yang mewujudkan hasil mengesankan.

Mengecat ayunan taman bersama. Pergi ke pasar dengan pakaian lusuh. Beli sepeda, lalu
kita kayuh bergantian. Menemaniku ke toko buku. Membelikanku gula-gula harum manis yang
besar, karena saat itu aku malu memegangnya. Memboncengku di sepeda 'unta'. Menghadirkan
bola basket saat aku memang sedang kepingin-kepinginnya. Mewariskan kepadaku beberapa
buku sastra masih dengan ejaan lama. Berkolaborasi dengan ibuku, menjahitkan seprei berenda
untuk Idul Fitri.

Satu lagi dari ayahku adalah, beliau tidak pernah mengeluh. Sungguh! Sosok itu memang
jarang tersenyum. Beberapa temanku mengaku takut melihat ayahku. Wah, mereka belum tau
saja bila isengnya kumat, ayahku bisa meniru sosok ibu via telpon, dan sudah beberapa teman
yang tertipu!

Perpaduan sinergis jarang tersenyum dengan tiada keluhan sedikit pun dari lisannya.
Bahkan saat beliau sakit dan harus dirawat di rumah sakit -pertama dan hanya sekali dalam
seumur hidupnya-, hingga sosok tegar itu menemui Izrail di sana. Akibat sakit yang menyerang
hatinya. Akibat akumulasi zat-zat toksik ketika dulu beliau bekerja di pabrik belasan tahun
lamanya. Sedikitpun tak pernah kudengar keluhan keluar dari lisannya. Padahal sering beliau
tidak melalui malam dengan mata terpejam, karena sakit memerih di hatinya. Bahkan beliau
menolak keinginanku untuk menemaninya di rumah sakit hanya karena khawatir mengganggu
sekolahku.

Satu ketika seorang sahabat bercerita kepada saya, kakunya ia membangun komunikasi
dengan ayahnya. Aku hanya bisa terdiam miris. Menyembunyikan basah di mataku. Duhai
sahabat, segeralah bangun komunikasi dengannya. Sebelum maut mewujudkan jarak antaranya.

Mengenang ayahku, selalu kuingat tanggal itu, 31 Agustus 1995. Paska kepulangannya
dari Baitullah. Ternyata beliau pun harus berpulang pada Dzat yang selalu kita nantikan
pertemuan dengan-Nya. Kamis mendung mendesak awan. Tubuhnya telah terbalut kain putih.
Menyisakan seraut wajah bergurat. Tatkala wajahnya dipalingkan menghadap kanan. Dan
gundukan tanah merah basah menindihnya, menghalangi kami sedikit demi sedikit ...
menjarakkan kami kian jauh ...

Rabbi,

Lapangkanlah kuburnya.

Terangilah ia dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.

Datangkanlah sosok tampan di hadapannya, sebagai wujud amal kebaikan beliau selama ini.

Kutitipkan ia pada-Mu Ya Allah ...

Rabbi,

Rahmatilah hamba sebagai anak shaleh, agar mampu mendoakan kedua orang tua hamba.

Sampaikan kepadanya, larik yang belum sempat kuverbalkan di hadapannya, bahwa Aku
mencintainya.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini

Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan

Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari

Kini kurus dan terbungkuk


Namun semangatmu tak pernah pudar

Meski langkahmu kadang gemetar

Kau tetap setia

Rindu Ayah. Sungguh.

Dian Rahmarinadhe_afk@yahoo.com

Keadilan dan Hukum

Salah satu prioritas utama pemerintah yang baru saja dilantik adalah melawan korupsi
dengan melaksanakan keadilan bidang hukum semaksimal mungkin. Tidak diragukan lagi, Islam
menjunjung tinggi keadilan dan persamaan ini seperti dinyatakan dalam banyak ayat Alquran
dan hadis Nabi SAW, ''Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil.'' (Al-Nahl: 90).

Nabi Muhammad SAW dalam kepemimpinannya secara cemerlang telah berhasil


membangun suatu masyarakat berkeadilan, menjauhi segala bentuk dan cara-cara diskiriminasi.
Dalam berbagai buku sejarah Nabi Muhammad disebutkan bahwa dalam menegakkan hukum
beliau tidak membeda-bedakan antara kawan dan orang asing, yang kuat dan yang lemah, kaya
dan miskin, kulit hitam dan putih. Beliau tidak membenarkan adanya hak-hak istimewa dimiliki
segelintir orang, yang menjadikan mereka kebal terhadap hukum.

Nabi pernah bersabda, ''Sesungguhnya yang merusakkan orang-orang sebelum kamu


adalah apabila ada di antara mereka yang berkedudukan mencuri (korupsi), mereka membiarkan
saja tanpa memberikan hukuman. Tetapi, jika yang melakukan orang kecil (rakyat jelata),
mereka mengenakan sanksi hukum.'' Sabda beliau ini dikemukakan ketika ada upaya untuk
membebaskan hukuman seseorang yang melakukan kejahatan, hanya karena yang bersangkutan
seorang bangsawan Quraish.
Sikap Nabi memang tidak pandang bulu, termasuk sanksi hukuman terhadap keluarganya
sendiri. Seperti dinyatakan dalam sabda beliau, ''Andai kata putriku Fatimah mencuri, akan
kupotong tangannya.''

Pernah terjadi ketika beliau menata barisan perang dalam Perang Badar, beliau
mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari orang lain. Rasulullah
menggunakan tongkatnya untuk menekan perut orang itu agar ia mundur sedikit ke belakangan,
sehingga barisan akan menjadi lurus.

Prajurit itu berkata, ''Wahai Rasulullah, demi Allah tongkat ini menyakiti perutku, aku
harus membalas.'' Rasul memberikan tongkatnya kepada prajurit itu dan membuka baju di bagian
perutnya seraya berkata, ''Balaslah!'' Prajurit itu maju ke depan dan mencium perut Nabi. ''Aku
tahu bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku ingin menyentuh tubuhmu yang
suci.'' Belakangan ia menghambur ke depan dan gagah menyerang musuh dengan pedangnya
hingga ia syahid.

Persamaan dan keadilan dalam Islam, tidak hanya sebatas yang ditetapkan dalam UU,
tetapi juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
''Yang termulia di antaramu di sisi Allah, ialah orang yang lebih bertakwa.'' (Al-Hujurat: 13).

Pernah suatu ketika Umar Bin Khattab menghadiri sidang pengadilan. Begitu melihat
kedatangan Khalifah Umar, kadi (hakim) yang memimpin sidang menunjukkan rasa hormat
secara berlebihan padanya. Kepada sang hakim Umar mengatakan, ''Bila Anda tidak mampu
memandang dan memperlakukan Umar dari orang biasa, sama dan sederajat, Anda tidak pantas
menduduki jabatan hakim.''

Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi, juga menentang keras segala bentuk diskriminasi
hukum. Pernah suatu ketika ia memprotes seorang hakim, karena dia dipanggil dengan gelar
Abul Hasan. Sementara lawannya disebut dengan sebutan biasa. Karena itu, dalam masa
pemerintahan baru sekarang ini, di mana banyak harapan rakyat tertumpu, jangan lagi ada
diskriminasi di bidang hukum dan keadilan. Wallahu a'lam. (Alwi Shahab)

Republika
Srikandi Muslimah

Perempuan adalah saudara laki-laki. Demikian ungkapan Rasulullah SAW tentang


perempuan, seperti diriwayatkan dalam sahih Bukhari. Pernyataan seperti ini banyak ditemui
dalam sirah dakwah Nabi SAW.

Kaum Muslimin tidak akan lupa bahwa yang pertama kali mengimani Muhammad ibnu
Abdullah sebagai Nabi dan Rasul adalah seorang perempuan yang dijadikan oleh Allah SWT
sebagai istrinya, Ibu Khadijah.

Beliaulah yang membantu Rasul berdakwah, membelanya, dan mengeluarkan harta


bendanya bagi dakwah. Ia sangat mencintai suaminya di saat banyak orang mengucilkan dan
membencinya. Beliaulah yang berada di sisi Rasul dan membela dakwah Nabi dengan tegar
tanpa surut sampai akhir hayatnya tiga tahun sebelum hijrah. Inilah srikandi Muslimah pertama.

Di Makkah dan Madinah bukan hanya laki-laki yang berdakwah, melainkan juga
perempuan. Saudah binti Zam'ah, setelah memeluk Islam, segera mendakwahi keluarganya
sampai suaminya masuk Islam.

Bahkan keduanya saling mendukung untuk turut berhijrah ke Habasyah. Demi dakwah,
sang suami pun meninggal di negeri Najasyi itu. Akhirnya sepulangnya ke Makkah, Allah SWT
menetapkannya sebagai istri Nabi SAW.

Ummu 'Ammar (istri Yasir, ibunya 'Ammar bin Yasir) adalah orang pertama yang
terbunuh fi sabilillah untuk kemudian diikuti oleh suaminya. Demikian pula Fatimah binti Al-
Khatab yang didampingi oleh suaminya berdiskusi dengan kakaknya Umar bin Khatab yang
berakhir dengan masuknya Umar ke dalam Islam.

Di kala pasukan Nabi hendak pergi ke Khaibar, pergilah Ummu Sinaan menghadap
Beliau, meminta disertakan dalam pasukan guna keperluan menjaga minuman, mengobati orang
sakit dan orang luka, dan menjaga perbekalan. Permintaan tersebut dikabulkan Rasulullah
dengan menyatakan, ''Pergilah dengan mendapat berkah dari Allah.''
Tidak jarang peran perempuan Muslimah ketika itu pada bidang yang berisiko tinggi.
Asma binti Abu Bakar bertugas mengantar makanan bagi ayahandanya (Abu Bakar) dan
Rasulullah SAW yang tengah bersembunyi di gua Sur dalam perjalanan hijrah ke Madinah.

Peran ini sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya. Namun, dengan cerdik, Asma
berjalan menuju bukit itu sambil menggembalakan kambing. Ia berjalan di depan, kambing-
kambingnya di belakang sehingga jejak kakinya terhapus jejak kambing. Akhirnya Rasul dan
Abu Bakar pun lolos.

Terang sekali, betapa kaum perempuan seyogianya menjadi srikandi Muslimah seperti
mereka. Sudah saatnya perempuan menolak kaum hawa didudukkan atau mendudukkan diri
sebagai pengeksploitasi birahi, penghibur dengan goyangan dahsyat, penumpuk kekuatan pada
kecantikannya, dan pengabai terhadap kehidupan masyarakat yang para warganya dilahirkan
dengan penuh kesusahan? (Dedeh Wahidah Achmad)

republika

Godaan Dunia

Dalam kisah Isra' dan Mi'raj, dunia secara simbolik digambarkan seperti wanita lanjut
usia (lansia). Tapi, meski sudah lansia, ia tetap ingin tampil lebih menarik. Ia tidak lupa
mempercantik diri dengan dandanan dan aksesori yang beraneka ragam. Itulah dunia yang,
karena kecantikannya, sangat digemari manusia meski usianya sudah sangat tua.

Manusia memang memiliki kecenderungan yang sangat kuat kepada dunia dan
kemewahannya. Allah SWT berfirman, ''Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga).'' (Ali 'Imran: 14).
Perkataan dunia dalam ayat di atas, menurut Imam Ghazali, dapat dipahami secara fisik
dan nonfisik.

Secara fisik dunia menunjuk kepada seluruh benda-benda yang ada di alam ini,
sedangkan secara nonfisik (rohani), dunia menunjuk kepada sikap dan perbuatan (A'mal al-
qulub) terhadap dunia itu sendiri seperti sifat loba, serakah, sombong, dan membanggakan diri.
Bagi Ghazali, semua sifat-sifat ini disebut dunia dalam arti bathini atau rohani.

Sebagai tokoh sufi, Ghazali banyak memberikan nasihat dan taushiyah dalam soal dunia
ini. Intinya, ia mengingatkan agar manusia tidak tergoda dan teperdaya oleh daya tarik dunia.
Pesannya, ''Wahai sekalian manusia, jangan sekali-kali kalian condong pada dunia, karena ia
suka menipu dan memperdaya. Tipu dayanya terkadang membuat kamu jatuh hati. Ia terus
bersolek di hadapan para penggemarnya, sehingga ia tak ubahnya seorang pengantin wanita yang
sangat cantik jelita. Semua pandangan tertuju padanya. Semua orang terpikat dan
merindukannya. Namun, jangan kalian lupa, betapa banyak orang yang merindukannya justru
dibunuhnya, dan orang yang sepenuh hati mencintainya justru dikhianatinya.''

Agar tidak tertipu, menurut Ghazali, setiap Muslim perlu mengetahui hakikat dunia,
termasuk mengetahui mana yang buruk, mana yang harus dijauhi, dan mana yang boleh diambil.
Dalam kaitan ini, dunia terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, bagian dunia yang bernilai abadi
dalam arti berguna dan bermanfaat bagi manusia di akhirat, yaitu ilmu dan amal.

Kedua, bagian dunia yang merupakan kesenangan sesaat dan tidak ada nilainya sama
sekali di akhirat kelak, seperti bersenang-senang dan berfoya-foya dengan kenikmatan dunia.

Ketiga, bagian dunia yang mendukung kebaikan akhirat. Bagian ini tidak sama dengan
bagian pertama, tapi merupakan pendukung dan sarana bagi terwujudnya bagian pertama.

Dari bagian ini, yang diburu oleh banyak manusia justru bagian kedua, yaitu bagian yang
pada akhirnya akan membuat manusia menderita. Hal ini, karena bagian tersebut hanya akan
mendatangkan dua hal saja, yaitu hisab (audit dan pertanggungjawaban kekayaan) dan azab atau
siksa. Kata Nabi, ''Harta itu halalnya hisab sedangkan haramnya merupakan azab.'' Jadi, kalau
begitu, kita harus pilih bagian pertama dan ketiga, supaya kita selamat dari godaan dunia.

Republika
Budaya Malu

Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, ''Apabila kamu sudah tidak punya perasaan
malu, maka lakukanlah apa pun yang kamu mau.'' Dari riwayat tersebut Rasulullah ingin
mengajarkan bahwa malu merupakan salah satu prasyarat untuk ketakwaan, dalam artian ketika
ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan perasaan malu ada dalam hati maka keinginan
untuk melakukannya menjadi hilang.

Malu yang dimaksud oleh Rasulullah di sini bisa diartikan dua hal. Pertama, malu kepada
Allah, karena setiap perbuatan manusia sekecil apa pun dan detik per detik tentu tak akan lepas
dari muraqabatullah. Ketika Allah membenci setiap perbuatan maksiat seorang hamba, ketika
itulah si hamba harus sadar bahwa kemurkaan Allah akan didapatkan kalau perbuatan itu terus
dilakukan.

Kedua, malu kepada manusia. Ini bukan berarti kita berubah menjadi menuhankan
manusia itu sendiri, tetapi yang dimaksud di sini adalah perasaan malu ketika manusia lain
mengetahui perbuatan tersebut. Sebab, secara manusiawi setiap orang yang melakukan kesalahan
pasti ingin menyembunyikan dari orang lain, karena hati kecil manusia selalu dan akan selalu
mengajak kepada perbuatan mulia.

Kalau dikaitkan dengan potret pemilu di Indonesia sekarang, kita sampai kepada
kesimpulan bahwa perasaan malu sudah tidak lagi dipunyai para elite politik. Keinginan untuk
memperoleh jabatan dan kekuasaan mengalahkan bisikan hati nurani. Rasa malu karena
kekalahan dan ejekan pendukung mengalahkan rasa malu kepada Allah yang menciptakan
kekuasan itu sendiri. Berbagai upaya ditempuh untuk sebuah kebanggaan di dunia walaupun
harus melakukan cara-cara tercela.

Semakin jauhnya harapan rakyat dari realita tidak memberikan kesadaran dan rasa malu
bagi mereka yang gagal mengemban amanah rakyat. Krisis ekonomi semakin menghimpit,
harga-harga melangit, kesejahteraan wong cilik semakin tak tersentuh. Pengangguran, anak
jalanan, kriminalitas semakin menjadi-jadi. Tapi, ketika mengampanyekan diri untuk menjadi
pemimpin, dengan tidak punya rasa malu kembali berteriak lantang sebagai orang yang paling
peduli kepada rakyat.
Janji menciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN dan money politics justru
diteriakkan lantang oleh orang yang menyuburkan korupsi. Entah ke mana lagi rasa malu yang
dipunyai calon pemimpin kita. Kepada manusia sendiri sudah hilang. Apalagi kepada Allah
sebagai tempat pertanggungjawaban yang mahaadil di akhirat kelak.

Kepemimpinan dapat diartikan sebagai amanah sekaligus teladan kepada rakyat.


Kepemimpinan bertujuan membimbing dan mengarahkan rakyat untuk sejahtera dan
mengesampingkan kesenangan pribadi dan kolega, siap menderita ketika harus sampai kepada
pilihan berbagi kesengsaraan dengan rakyat.

Mungkin masih relevan pesan nurani Bung Hatta, Sang Proklamator Kemerdekaan
Indonesia, ''Pemimpin yang bisa diandalkan rakyatnya adalah pemimpin yang mempunyai
keberanian untuk menderita dan menahan rasa sakit.'' (Okrisal Eka Putra)

Republika

Rambu - Rambu Ibadah kita

Kata ibadah tentu sangat akrab bagi kaum muslimin. Ibadah merupakan aktivitas yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan
jin oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya.

Di tengah rutinitas menjalankan aktivitas ibadah, bisa jadi tidak semua muslim paham
makna ibadah itu sendiri. Padahal, ketidakpahaman makna ibadah bisa mengakibatkan
tertolaknya ibadah yang dilakukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al
Ubudiyyah menerangkan, ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bisa terdiri dari ucapan maupun perbuatan, baik nampak
maupun tidak.
Semua yang Allah cintai telah Allah bawakan dalam Al Qur'an dan diterangkan oleh
RasulNya. Begitu pula apa yang Allah benci, telah Allah jelaskan. Sehingga di dalam Al Qur'an
dan Al Hadits, Allah Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan suatu perbuatan karena Allah
mencintainya dan Allah melarang sebuah perbuatan karena Allah membencinya. Karena itu,
dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyyah mengatakan ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para RasulNya.

Pendapat Al Qurthuby bisa melengkapi penjelasan Ibnu Taimiyyah. Menurut Al


Qurthuby, asal ibadah adalah kehinaan dan ketundukan. Karena itu amalan-amalan syar'i pada
seorang mukallaf (seorang mukmin yang sudah terbebani syariat) disebut ibadah karena mereka
mengamalkannya dalam keadaan tunduk dan menghinakan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala.

Dari dua pengertian ibadah tersebut, diperoleh penjelasan bahwa sesuatu dikatakan
sebagai ibadah kepada Allah jika dilakukan pada segala yang dicintai dan diridhai Allah serta
dilakukan dalam keadaan tunduk dan hina di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Dari sini, dipahami pula bahwa ibadah terbagi ke dalam dua jenis, yaitu ibadah lahir dan
ibadah batin. Ibadah lahir mencakup ucapan lisan dan perbuatan anggota badan seperti shalat,
puasa, zakat, haji, dan seterusnya.

Dalam melakukan ibadah, seseorang harus memiliki landasan agar ibadah tersebut
diterima Allah. Dalam hal ini, para ulama menjelaskan, ada tiga landasan yang harus dimiliki
seorang muslim dalam beribadah. Landasan pertama adalah mahabbah, yaitu rasa cinta kepada
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, RasulNya Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan syariatNya. Landasan
kedua adalah raja', yaitu mengharap pahala dan rahmat Allah, dan yang ketiga adalah khauf, rasa
takut dari siksa Allah dan khawatir akan nasib jelek di akhirat nanti.

Seorang ulama bernama Ibnu Rajab Al Hambaly mengatakan, ibadah hanya akan
terbangun di atas tiga prinsip, yaitu khauf, raja', dan mahabbah. Masing-masing dari ketiganya
harus ada dan wajib menggabungkannya. Karena itu para ulama salaf mencela orang yang
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan salah satunya saja. Demikian Ibnu Rajab
menerangkan. (Syarh Wasithiyyah karya Abdul Aziz Ar Rasyid hal. 76).
Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan, barangsiapa yang beribadah kepada Allah
hanya dengan cinta, dia adalah zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran). Siapa yang
beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya dengan rasa takut maka dia adalah harury
(Khawarij, yang menganggap setiap yang berdosa besar telah kafir). Siapa yang beribadah
kepada Allah hanya dengan raja' (penuh optimis), maka dia adalah murji' (orang yang
menganggap amal shaleh tidak berpengaruh terhadap imannya, selama masih ada iman di
hatinya). Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta, takut, dan mengharap maka
dialah orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. (Ma'arijul Qabul 2/437).

Jadi, pengakuan cinta kepada Allah tanpa disertai rasa hina, takut, mengharap, dan
tunduk kepada Allah adalah pengakuan dusta. Karena itu, sering dijumpai orang yang
berperilaku demikian seringkali terjatuh dalam maksiat dan dilakukan tanpa ia peduli. Demikian
pula orang yang hanya memiliki sikap raja' (mengharap, penuh optimis dengan ampunan Allah),
jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat berani melakukan maksiat dan merasa aman
dari makar Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Dan orang yang hanya memiliki rasa takut dalam
beribadah kepada Allah, jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat su'udhan (buruk
sangka) kepada Allah dan akan berputus asa dari rahmatNya.

Perlu diketahui dan diingat pula bahwa tidak semua ibadah yang dilakukan seorang
hamba akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah baru akan menerima ibadah bila
memenuhi syaratnya. Allah jelaskan dalam surat Al Kahfi ayat 110, artinya:

"Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah hendaknya ia beramal shaleh


dan tidak membuat sekutu di dalam ibadah kepada Rabb-nya sesuatupun."

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerangkan dalam ayat ini bahwa seseorang yang
menghendaki pertemuan denganNya hendaklah melakukan dua hal.

Pertama, beramal shaleh menuruti syariat ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini mutlak dilakukan, sebab bila menyalahi contoh Nabi
Shalallahu Alaihi Wa Sallam akan ditolak karena terjerumus ke dalam bid'ah. Hal ini
sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan :
"Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintahku maka tertolak."
(HR. Muslim dari Aisyah).

Kedua, tidak membuat sekutu apapun dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Artinya, ia harus benar-benar ikhlas dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan
kepada Allah semata. Tidak kepada selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau
makhluk-makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat atau mudharat.

Orang yang melakukan kesyirikan dalam ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah
Subhanahu Wa Ta'ala terangkan dalam hadits Qudsi :

"Aku paling tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan ibadah yang ia
menyekutukan Aku, maka aku akan meninggalkannya bersama sekutunya." (HR. Muslim)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga menerangkan di dalam Al Qur'an :

"Dialah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kalian siapakah yang
paling baik amalannya." (Al Mulk : 2-3).

Perhatikan, Allah menyatakan yang paling baik amalannya bukan sekadar paling banyak
amalannya, tetapi salah. Seorang ulama bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri
ayat tersebut : "Yakni yang paling ikhlas dan paling benar". Beliau ditanya, "Wahai Abu Ali,
bagaimana yang paling ikhlas dan paling benar itu ?" Beliau menjawab, sesungguhnya sebuah
amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi tidak ikhlas, tidak
diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima). (Majmu' Fatawa 11/6)

Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya akan menerima ibadah seorang hamba jika
dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan
dipersembahkan hanya untukNya semata. Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta,
penuh mengharap, dan juga takut. Dengan demikikan sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah
Subhanahu Wa Ta'ala akan menerimanya. Wallahu A'lam.

myquran.com
Sesungguhnya Cinta Itu (Tidak) Kontroversial

Ingatkah saat Anda dulu jatuh cinta? Atau mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya?
Itulah yang sedang terjadi pada salah seorang sahabat saya. Akhir-akhir ini tingkah lakunya
berubah drastis. Ia jadi suka termenung dan matanya sering menerawang jauh. Jemari tangannya
sibuk ketak-ketik di atas tombol telpon genggamnya, sambil sesekali tertawa renyah, berbalas
pesan dengan pujaan hatinya. Di lain waktu dia uring-uringan, namun begitu mendengar nada
panggil polyphonic dari alat komunikasi kecil andalannya itu, wajahnya seketika merona. Lagu-
lagu romantis menjadi akrab di telinganya. Penampilannya pun kini rapi, sesuatu yang dulu luput
dari perhatiannya. Bahkan menurutnya nuansa mimpi pun sekarang lebih berbunga-bunga.
Baginya semuanya jadi tampak indah, warna-warni, dan wangi semerbak.

Lebih mencengangkan lagi, di apartemennya bertebaran buku-buku karya Kahlil Gibran,


pujangga Libanon yang banyak menghasilkan masterpiece bertema cinta. Tak cuma menghayati,
kini dia pun menjadi penyair yang mampu menggubah puisi cinta. Sesekali dilantunkannya bait-
bait syair. "Cinta adalah kejujuran dan kepasrahan yang total. Cinta mengarus lembut, mesra,
sangat dalam dan sekaligus intelek. Cinta ibarat mata air abadi yang senantiasa mengalirkan
kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga."

Saya tercenung melihat cintanya yang begitu mendalam. Namun, tak urung menyeruak
juga sebersit kontradiksi yang mengusik lubuk hati. Sebagai manusia, wajar jika saya ingin
merasakan totalitas mencintai dan dicintai seseorang seperti dia. Tapi bukankah kita diwajibkan
untuk mencintai Allah lebih dari mencintai makhluk dan segala ciptaan-Nya?

Lantas apakah kita tidak boleh mencintai seseorang seperti sahabat saya itu? Bagaimana
menyikapi cinta pada seseorang yang tumbuh dari lubuk hati? Apakah cinta itu adalah karunia
sehingga boleh dinikmati dan disyukuri ataukah berupa godaan sehingga harus dibelenggu?
Bagaimana sebenarnya Islam menuntun umatnya dalam mengapresiasi cinta? Tak mudah
rasanya menemukan jawaban dari kontroversi cinta ini.

Alhamdulillah, suatu hari ada pencerahan dari tausyiah dalam sebuah majelis taklim
bulanan. Islam mengajarkan bahwa seluruh energi cinta manusia seyogyanya digiring mengarah
pada Sang Khalik, sehingga cinta kepada-Nya jauh melebihi cinta pada sesama makhluk. Justru,
cinta pada sesama makhluk dicurahkan semata-mata karena mencintai-Nya. Dasarnya adalah
firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.

Jadi Allah SWT telah menyampaikan pesan gamblang mengenai perbedaan dan garis
pemisah antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman melalui indikator perasaan
cintanya. Orang yang beriman akan memberikan porsi, intensitas, dan kedalaman cintanya yang
jauh lebih besar pada Allah. Sedangkan orang yang tidak beriman akan memberikannya justru
kepada selain Allah, yaitu pada makhluk, harta, atau kekuasaan.

Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana
manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. Urutan tertinggi perasaan cinta adalah
kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk
diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang
mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya. Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan
juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah (QS 9: 24).

Subhanallah!

Perasaan cinta adalah abstrak. Namun perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku
yang tampak oleh mata. Di antara tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak
bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu
bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq
memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa
berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-
khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud. Betapa indahnya jalinan cinta itu!

Tidak hanya itu. Apa yang difirmankan oleh Sang Khaliq senantiasa didengar,
dibenarkan, tidak dibantah, dan ditaatinya. Kali ini saya baru mengerti mengapa iman itu
diartikan sebagai mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Seluruh ayat-
Nya dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa sehingga seseorang yang mencintai-Nya merasa
sanggup berkorban dengan jiwa, raga, dan harta benda demi membela agama-Nya.

Totalitas rasa cinta kepada Allah SWT juga merasuk hingga sekujur roh dan tubuhnya.
Dia selalu mengharapkan rahmat, ampunan, dan ridha-Nya pada setiap tindak-tanduk dan tutur
katanya. Rasa takut atau cemas selalu timbul kalau-kalau Dia menjauhinya, bahkan hatinya
merana tatkala membayangkan azab Rabb-nya akibat kealpaannya. Yang lebih dahsyat lagi,
qalbunya selalu bergetar manakala mendengar nama-Nya disebut. Singkatnya, hatinya tenang
bila selalu mengingat-Nya. Benar-benar sebuah cinta yang sempurna.

Puji syukur ya Allah, saya menjadi lebih paham sekarang! Cinta memang anugerah yang
terindah dari Maha Pencipta. Tapi banyak manusia keliru menafsirkan dan menggunakannya.
Islam tidak menghendaki cinta dikekang, namun Islam juga tidak ingin cinta diumbar mengikuti
hawa nafsu seperti kasus sahabat saya tadi.

Jika saja dia mencintai Allah SWT melebihi rasa sayang pada kekasihnya. Bila saja
pujaan hatinya itu adalah sosok mukmin yang diridhai oleh-Nya. Dan andai saja gelora cintanya
itu diungkapkan dengan mengikuti syariat-Nya yaitu bersegera membentuk keluarga sakinah,
mawaddah, penuh rahmah dan amanah... Ah, betapa bahagianya dia di dunia dan akhirat...

Alangkah indahnya Islam! Di dalamnya ada syariat yang mengatur bagaimana


seharusnya manusia mengelola perasaan cintanya, sehingga menghasilkan cinta yang lebih
dalam, lebih murni, dan lebih abadi. Cinta seperti ini diilustrasikan dalam sebuah syair karya
Ibnu Hasym, seorang ulama sekaligus pujangga dan ahli hukum dari Andalusia Spanyol dalam
bukunya Kalung Burung Merpati (Thauqul Hamamah), "Cinta itu bagaikan pohon, akarnya
menghujam ke tanah dan pucuknya banyak buah.

Wallahua’lam bish-showab.

Milis DT Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar

Belajar Mendengar

Suatu hari, Rasulullah SAW didatangi oleh Uthbah bin Rabi'ah. Ia seorang utusan
bangsawan Quraisy yang berniat membujuk Rasulullah agar berhenti berdakwah. Melihat
Uthbah bin Rabi'ah datang, Rasulullah pun berkata kepadanya, ''Katakanlah wahai Abu Al-Walid
(panggilan Uthbah), aku pasti akan mendengarkannya.'' Setelah Uthbah bin Rabi'ah berbicara
panjang lebar, Rasulullah SAW kembali bertanya, ''Apakah kamu telah selesai berbicara wahai
Abu al-Walid?''

Ketika utusan Quraisy itu menyampaikan unek-uneknya, Rasulullah SAW


mendengarkannya dengan seksama. Setelah Uthbah selesai berbicara, barulah Rasulullah
memintanya agar mendengarkan beliau, yang akan membacakan surat Fushilat kepadanya.
Akhirnya Uthbah pun yakin bahwa apa yang diserukan Rasulullah adalah kebenaran yang datang
dari Dzat Yang Mahabenar. Surat Fushilat, antara lain, menjelaskan, Rasulullah adalah manusia
biasa yang diberi wahyu yang mengajak pada kebenaran.

Begitu juga, ketika Rasulullah SAW berhadapan dengan Khaulah binti Tsa'labah, yang
mengadukan tingkah laku suaminya, Aud bin Shamit. Suaminya itu tanpa sebab yang jelas ingin
menjauhi Khaulah. Dengan keteduhan dan perasaan mengayomi, Rasulullah berhasil membuat
Khaulah merasa keluhannya diperhatikan dan didengarkan. Keluhannya tentang sang suami
ditanggapi dengan baik oleh Rasulullah. Itulah sebabnya, Khaulah tidak merasa sungkan
bercerita tentang problemnya kepada Rasulullah, sehingga jelas jalan keluar dari permasalahan
yang menimpanya itu.

Mendengarkan merupakan suatu proses yang menentukan, apakah hubungan akan


berlanjut secara efektif dengan orang lain atau tidak. Dan, ini memerlukan kekuatan emosional.
Mendengarkan memerlukan kesabaran, keterbukaan, dan keinginan untuk mengerti perasaan
orang lain. Tentu saja, untuk mencapai pola ideal seperti ini diperlukan proses kelapangan dada
yang harus dilakukan dan dipelajari terus-menerus hingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari akhlak keseharian.

Kalau kita perhatikan, terjadinya berbagai aksi yang sering berakhir dengan bentrokan,
yang banyak memakan korban, terjadi karena adanya pihak-pihak yang mengabaikan sikap
mengalah dan mau mendengarkan apa yang menjadi unek-unek pihak lain. Padahal, tindakan
mendengarkan ini memiliki kekuatan emosional yang mampu meredam ketegangan. Namun,
mereka mengabaikannya. Akibatnya, terjadilah apa yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Terkait dengan pentingnya kebiasaan mendengarkan ini, ulama (asy-Syahid) Abdullah


Azzam dalam kitabnya Tarbiyah Jihadiyah menjelaskan bahwa hikmah karunia dua telinga dan
satu mulut yang dimiliki manusia adalah agar manusia lebih banyak mendengar daripada bicara.
Esensi dari penjelasan itu adalah agar manusia, terutama para pemimpin dan tokoh
masyarakat, tidak terlalu mengobral kata-kata. Dengan kata lain, agar manusia mampu
mengendalikan lidahnya, di samping berupaya memfungsikan telinga untuk mau dan bersabar
mendengarkan berbagai hal dari orang lain. Wallahu a'lam.

Republika - Muhammad Bajuri

Hakikat Dunia

Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdullah, mengabarkan bahwa Rasulullah pernah melewati
sebuah pasar hingga kemudian banyak orang yang mengelilinginya. Sesaat kemudian beliau
melihat bangkai anak kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan memegang telinga
kambing itu seraya bersabda, ''Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing ini
dengan harga satu dirham.'' Para sahabat menjawab, ''Kami tidak mau anak kambing itu menjadi
milik kami walau dengan harga murah, lagi pula apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai
ini?'' Kemudian Rasulullah berkata lagi, ''Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik
kalian?'' Mereka menjawab, ''Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat
telinganya. Apalagi dalam keadaan mati.'' Mendengar pernyataan mereka, Nabi bersabda, ''Demi
Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini
untuk kalian.'' (HR Muslim).

Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar. Beliau berpesan,
''Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang sekadar melewati jalan
(musafir).'' Abdullah menyimak dengan khidmat pesan itu dan memberikan nasihat kepada
sahabatnya yang lain. ''Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah engkau menanti
datangnya pagi. Sebaliknya, bila engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti
datangnya sore. Ambillah (manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan
gunakanlah masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.'' (HR Bukhori).

Allah SWT berpesan pada pelbagai ayat tentang hakikat, kedudukan, dan sifat dunia yang
memiliki nilai rendah, hina, dan bersifat fana. Dalam surat Faathir ayat 5, Allah menekankan
bahwa janji-Nya adalah benar. Dan, setiap manusia janganlah sekali-kali teperdaya dengan
kehidupan dunia dan tertipu oleh pekerjaan setan.

Di ayat lain dalam surat Al-Hadid ayat 20, Allah berfirman, ''Ketahuilah bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan,
dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.

''Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai
air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di
muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan
adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.'' (QS Al-Kahfi: 45).

republika - Mahyudin Purwanto

Kerja dan Ibadah

Bekerja merupakan kewajiban Muslim yang sehat fisik dan mental. Orang yang bekerja
dengan benar, dalam rangka menjalankan perintah dan mengharapkan ridho Allah akan
mendapat ganjaran pahala dari-Nya. Sebaliknya, orang yang mengabaikannya mendapat dosa,
apabila tidak ada halangan syar'i dalam mewujudkannya.

Kerja merupakan wujud syukur kepada Allah. Orang bekerja berarti telah menggunakan
nikmat kesehatan fisik yang diberikan Allah secara baik dan benar. Allah berfirman, "Bekerjalah
hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku
yang berterima kasih." (QS 34:13).

Islam menghargai orang yang makan dan minum dari hasil kerja sendiri. Rasulullah
SAW bersabda, "Tidaklah seseorang mengonsumsi makanan itu lebih baik daripada
mengonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab Nabi Allah, Daud,
mengonsumsi makanan dari hasil kerjanya." (HR Bukhari). Hadis ini mendorong Muslim bekerja
memperoleh kebutuhan hidup menggunakan tangan dan kekuatan fisik. Kemuliaan dan
kehormatannya ditentukan oleh kemampuan menggunakan potensi diri untuk bekerja.

Dalam bekerja harus ada rencana yang baik dan matang karena akan menentukan
keberhasilan dari kerja tersebut. Rencana dibuat untuk jangka pendek dan panjang. Allah
berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS 59:18).

Muslimin diperintahkan Allah bekerja, tetapi ia tidak mengetahui dan bisa memastikan
hasilnya. Ini pula yang mendorongnya bekerja maksimal agar mencapai hasil memuaskan. Allah
berfirman, "Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS 31:34).

Setiap Muslim dituntut bekerja sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan.
Allah menilai kesungguhannya dalam bekerja. Allah berfirman, "Katakanlah: 'Hai kaumku,
berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan
mengetahui, siapakah di antara kita yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini'."(QS
39:39).

Kerja merupakan bagian ibadah kepada Allah, sehingga dilakukan dengan cara terbaik.
Kerja tidak boleh melalaikan Muslim dari ibadah kepada Allah. Allah berfirman, "Hai orang-
orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui." (QS 62:9).

Setelah bekerja secara maksimal, Muslim dituntut tawakal, menyerahkan hasilnya kepada
Allah. Tawakal penting agar ketika berhasil tidak lupa bersyukur kepada Allah yang
menganugerahkan hasil kerja tersebut. Dan ketika gagal, ia tidak putus asa karena hal itu ujian
dari Allah agar kita bersabar. Allah berfirman, "Dan bertakwalah kepada Allah. Dan cukuplah
Allah sebagai Pemelihara." (QS 33:3).

republika – Firdaus
Mencintai yang Lemah

Rasulullah bersabda, ''Carilah aku di antara orang-orang lemah kalian. Sesungguhnya


kalian diberi rezeki dan kemenangan karena orang-orang lemah kalian'' (HR. Abu Daud). Orang
lemah yang dimaksud adalah mereka yang tak berdaya karena suatu musibah. Atau, mereka yang
fakir miskin, anak telantar, dan yang terzalimi, baik disebabkan ketidakadilan atau berjuang di
jalan Allah.

Rasulullah sangat menekankan menolong serta membantu orang-orang seperti mereka. Di


antara mereka itulah umat Islam bisa menjumpai kebaikan, rezeki, dan kemenangan. Kata beliau,
''Sesungguhnya Allah telah memenangkan umat ini dengan adanya kaum dhu'afa, karena doa-
doa, shalat, dan keikhlasan mereka.'' (HR An Nasai'i).

Tak hanya menolong, Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Al-Hasan juga
menganjurkan mencintai orang lemah, terutama fakir miskin, layaknya mencintai diri sendiri.
''Cintailah (kasihinilah) fakir miskin umatku sebab sesungguhnya mereka memiliki negara kelak
pada hari kiamat,'' sabda beliau.

Dalam hadis lain riwayat Al Hasan disampaikan pula bahwasanya Rasullullah SAW
bersabda, ''Banyak-banyaklah mengenal fakir miskin dan bantulah mereka, sesungguhnya
mereka memiliki negara.'' Para sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa gerangan negara
mereka?'' Beliau menjawab, ''Jika kelak di hari kiamat diserukan (pada fakir miskin), lihatlah
orang yang pernah memberi kalian makan (meski) pecahan-pecahan roti, meminumi kalian
meski hanya seteguk, dan memberi pakaian kalian meski hanya sehelai baju, lalu gandenglah
tangannya dan berlalulah ke surga.''

Seberapa pun pertolongan dan bantuan yang kita berikan bila diniatkan ikhlas mencari
ridha Allah, maka Allah akan membalasnya dengan pahala yang berlipat. Tak terbatas pada
individu, tapi juga kelompok, organisasi, lembaga, termasuk pemerintah. Bahkan yang terakhir
ini, perannya sangat penting, karena merekalah (pejabat negara) yang bisa mengoordinasi,
mengatur, memelihara, memperhatikan kebutuhan warganya tepat sasaran, sempurna, dan
berkesinambungan.

Maka, jabatan pemerintahan harus difungsikan sebenar-benarnya demi memperhatikan


kepentingan dan kebutuhan rakyat. Jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan. Ketika negara
(pemerintah) menunaikan tugas-tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, kewajiban yang lain
(rakyat) untuk membantunya. Dengan begitu akan terjadi bahu-membahu, tolong-menolong
antara rakyat dan pemimpinnya. Dan dari sinilah akan tercipta persaudaraan yang hakiki.

Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, ''Rasullulah SAW bersabda, 'Sesama Muslim
itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya dan jangan mendiamkannya. Siapa saja yang
memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikan kepentingannya. Siapa saja
yang melapangkan satu kesulitan sesama Muslim, niscaya Allah akan melapangkan satu
kesulitan dari beberapa kesulitannya di hari kiamat. Siapa saja yang menutupi kejelekan seorang
Muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat'.'' (HR. Bukhari-Muslim).

republika - Aris Solikhah

Menikah Itu Ibadah

Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang menikahi seorang wanita karena
kedudukannya, maka Allah tidak akan menambahkan baginya kecuali kehinaan. Barang siapa
yang menikahi seorang wanita karena kekayaannya, maka Allah tidak akan menambahkan
baginya kecuali kefakiran.''

Beliau melanjutkan, ''Barang siapa yang menikahi seorang wanita karena kemuliaan
nasabnya, maka Allah tidak akan menambahkan baginya kecuali kerendahan. Dan, barang siapa
yang menikahi seorang wanita dan ia tidak menginginkan kecuali supaya dapat menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluannya atau menyambung tali silaturahim, maka Allah akan
memberkahi mereka berdua.'' (HR Thabrani).

Dari hadis di atas, ada dua hal penting yang dapat dijadikan petunjuk bagi umat Islam
yang hendak membangun rumah tangga. Pertama, sebuah rumah tangga akan diberkahi Allah
atau tidak, salah satunya disebabkan oleh bagaimana niat awal dalam membangun rumah tangga
tersebut. Niat yang tidak benar menyebabkan rumah tangga yang dibangun akan jauh dari
keberkahan Allah. Dan, bahkan dapat menyebabkan rumah tangga kandas di tengah jalan.
Sebaliknya, rumah tangga yang dibangun dengan niat benar, di antaranya untuk lebih menjaga
kesucian diri dan menyambung persaudaraan, maka keberkahan Allah akan diraihnya dan
kelangsungan rumah tangga dapat terus dijaga.

Kedua, menikah adalah ibadah. Nikah tidak sekadar menyatukan dua insan atau dua
keluarga. Pernikahan bukan pula merupakan kontrak sosial. Tetapi, nikah merupakan salah satu
ibadah. Dengan nikah, sesuatu yang asalnya haram dilakukan menjadi boleh dilakukan dan dari
asalnya dosa menjadi pahala.

Allah menerangkan masalah pernikahan dalam salah satu ayat-Nya dengan diawali kata-
kata ''Tanda-tanda kekuasan-Nya'' dan diakhiri dengan perintah kepada manusia untuk berpikir
agar menjadi orang yang bertakwa. Allah berfirman, ''Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.'' (QS 30: 21).

Rasulullah pun menjelaskan dalam sabdanya, ''Apabila seorang hamba (manusia) telah
menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agama, karena itu hendaklah ia bertakwa
kepada Allah dalam separuh yang tersisa.'' Dan, dalam suatu riwayat Thabrani dijelaskan,
''Barang siapa yang nikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh iman, karena
itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam separuh yang tersisa.''

Dalam bahasa Alquran, pernikahan disebut sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang
kuat dan sangat berat). Karenanya, Allah dan rasul-Nya melarang pernikahan dijadikan sebagai
main-main. Rasulullah melarang pernikahan yang bersifat kontrak atau sementara. Bahkan,
perceraian pun merupakan sesuatu yang boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Allah. Wallahu
a'lam.

republika – Mulyana
Menjadi Pribadi Yang Bijak

Bismillaahirrahmanirrahiim,

Satu ciri ketakwaan seseorang kepada Allah adalah sifat bijak dalam kehidupannya. Yaa
Ayyuhan naasu innaa khalaqnaakum min dzakariw wa untsa wa ja'alnaakum syu'uubaw
waqabaa-ila li ta'aarafuu inna akramakum'indallahi atqaakum innallaha 'aliimun khabiir (Qs.Al-
Hujuraat ayat 13). "Hai sekalian manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih
taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti".

Ciri orang yang bertaqwa adalah dia merupakan orang yang bijaksana. Pertanyaan
pertama ketika kita bercermin adalah apakan diri ini sudah bijak, jika jawabannya belum maka
jadikanlah hal ini sebagai sebuah cita-cita.

Jika ada yang mengatakan rindu pemimpin yang bijak, jika kita mengatakan bahwa
bangsa ini krisis keteladanan, maka jangan mencari teladan karena susah untuk ditemukan, untuk
itu yang paling mudah adalah menjadikan kita sebagai tauladan paling tidak untuk keluarga,
janganlah menuntut untuk mendapatkan presiden yang bijak karena akan susah untuk didapat,
karena itu yang dapat kita lakukan adalah menuntut diri kita sendiri. Orang yang bijaksana itu
merupakan suatu keindahan tersendiri, misalkan ketika menjadi seorang guru yang bijak
biasanya sangat disukai oleh murid-muridnya. Seorang pemimpin yang bijak biasanya ia
disegani oleh kawan maupun lawan, jika orang tua bijaksana maka akan dicintai oleh anak-
anaknya.

Pada dasarnya kebijakan ini tidak susah untuk dimiliki. Ud'u illa sabiili rabbika bil
hikmati wal mau 'izhatil hasanati, wa jaadilhum billatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa'alamu bi
man dhalla 'an sabilihii wa huwa a'lamu bil muhtadiin. Artinya: "Serulah kepada jalan (agama)
Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara sebaik-
baiknya, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari
jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".

Sumber kearifan dan kebijaksanaan dapat datang dari :


Sikap hidupnya yang siddiq yaitu orang yang sangat menyukai kebenaran, sekuat tenaga
hidupnya berusaha berbuat benar dan selalu ingin membuat orang menjadi benar, semangat
didalam hati akan cinta terhadap kebenaran, istiqomah dalam kebenaran dan ingin orang juga
memiliki sikap yang benar maka hal tersebutlah yang membuat orang menjadi bijaksana.

Sikap hidup yang amanah, rasa tanggung jawab karena hidup yang hanya sekali dan ingin
mempertanggung jawabkan hidup ini baik sebagai anak, ayah, orang tua, anggota masyarakat,
sikap amanah ini timbul dari dalam jiwa kita.

Sikap hidup Fathonah, berwawasan luas, berilmu luas jadi begitu banyak pilihan sikap
yang merupakan buah dari kecerdasan.

Sikap hidup yang Tabligh adalah dapat menyampaikan sesuatu dengan baik kebenaran.
Sehingga menyebabkan mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa merusak tatanan yang ada.

Bagaimana Cara Menjadi Orang Yang Bijak

Tidak Emosional, hal itu berarti orang yang temperamental, mudah marah, meledak-
ledak, gampang tersinggung, sulit menjadi bijaksana dan hanya dapat menjadi bijak dengan
pertolongan Allah dan kegigihan usaha untuk berubah, jadi orang yang bijak adalah orang yang
terampil mengendalikan diri. Berhati-hatilah jika kita termasuk orang yang mudah marah maka
jika bertindak biasanya cenderung tergesa-gesa. Orang-orang yang emosional tersinggung sedikit
akan sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena yang dicari adalah
kemenangan pribadi bukan kebenaran itu sendiri.

Tidak egois, orang yang egois jelas tidak akan dapat menjadi bijak, karena bijak itu pada
dasarnya ingin kemaslahatan bersama, orang yang egois biasanya hanya menginginkan kebaikan
untuk dirinya sendiri. Rasulullah selalu hidup dalam pengorbanan, begitu pula Indonesia dapat
merdeka oleh orang-orang yang berjuang penuh pengorbanan. Orang yang bijak adalah orang
yang mau berkorban untuk orang lain bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya
sendiri.

Suka cinta dan rindu pada nasihat, akan sangat bodoh jika kita masuk hutan tanpa
bertanya kepada orang yang tahu mengenai hutan. Jika kita di beri nasihat seharusnya kita
berterima kasih. Jika kita tersinggung karena di sebut bodoh maka seharusnya kita tersinggung
jika disebut pintar karena itu tidak benar. Jika kita alergi terhadap kritik, saran, nasehat atau
koreksi maka kita tidak akan bisa menjadi orang yang bijak. Jika seorang pemimpin alergi
terhadap saran atau nasehat, bahkan memusuhi orang yang mengkritik, maka dia tidak akan
pernah bisa memimpin dengan baik.

Memiliki kasih sayang terhadap sesama, Rasa sayang yang ada diharapkan tetap berpijak
pada rambu-rambu yang ada seperti ketegasan. Diriwayatkan bahwa orang yang dinasehati oleh
Rasulullah secara bijak berbalik menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang
yang bijak akan sayang terhadap sesama. Berbeda dengan orang-orang yang hidup penuh dengan
kebencian, dimana kepuasan bathinnya adalah menghancurkan orang lain. Pemimpin sebaiknya
memiliki kasih sayang yang berlimpah tidak hanya pada waktu kampanye saja. Kasih sayangnya
juga tidak hanya untuk satu pihak atau kelompok melainkan merata untuk semua golongan.

Selalu berupaya membangun, Orang yang bijak tidak hanyut oleh masa lalu yang
membuat lumpuh tetapi selalu menatap ke depan untuk memperbaiki segalanya. Orang yang
bijak akan membangkitkan semangat orang yang lemah, menerangi sesuatu yang gelap. Jika
melihat orang yang berdosa, maka ia akan bersemangat untuk mengajak orang tersebut untuk
bertaubat. Orang yang bijak ingin membuat orang maju dan sangat tidak menyukai kehancuran
dan kelumpuhan kecuali bagi kebathilan. Semangat orang yang bijak adalah semangat untuk
maju tidak hanya untuk dirinya tetapi juga bagi orang lain disekitarnya.

Jadi yang dibutuhkan pada seorang pemimpin bijak adalah pribadi yang tidak emosional,
tidak egois, penuh kasih sayang, cinta akan nasihat dan memiliki semangat terus menerus untuk
membangun dirinya, ummat serta bangsa ini, dia tidak akan peduli walaupun dibalik kebangkitan
yang ada dia mungkin akan tenggelam. Pemimpin yang bijak tidak peduli akan popularitas dan
tidak peduli dengan adanya pujian manusia karena kuncinya adalah ketulusan dan tidak
mengharapkan apapun dari yang telah di lakukan, adalah tidak akan bisa bijak jika kita
mengharapkan sesuatu dari apa yang kita lakukan. Kita hanya akan menikmati sikap bijak jika
kita bisa memberikan sesuatu dari rizki kita, bukannya mengharapkan sesuatu dari yang kita
kerjakan.

Alhamdulillaahirobbil’alamin.

Sumber: KH Abdullah Gymnastiar Buletin InfoDT Jakarta - No.13/Tahun IV/Agustus


2004 Rangkuman Pengajian Majelis Manajemen Qolbu, Masjid Istiqlal, Ahad 8 Agustus 2004. -
Humas DT Jakarta
Mengikis Sifat Otoriter

Orang yang otoriter memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu
dari sisi kejelekannya saja. Otoriter. Sebuah istilah yang menimbulkan kesan tidak enak bila kita
mendengarnya. Sama tidak enaknya dengan mendengar kata 'egois' atau 'menang sendiri'.
Terlebih jika kita melihat langsung orang yang memiliki sifat tersebut.

Tapi sayang, agaknya kita jarang menyisihkan waktu untuk bertanya secara jujur pada
diri kita sendiri, adakah sifat-sifat itu melekat pada diri kita? Salah satu yang berbahaya di antara
penyakit hati adalah sifat egois, tidak mau kalah, ingin menang sendiri, ingin selalu merasa
benar, atau sifat selalu merasa dirinya tidak berpeluang untuk berbuat salah. Sifat seperti ini
biasanya banyak menghinggapi orang-orang yang diamanahi kedudukan, seperti para pemimpin
dalam skala apapun.

Sifat-sifat tersebut tak jarang memunculkan sikap otoriter, bahkan jika dibiarkan akan
berubah menjadi diktator sebutan yang dinisbahkan pada Adolf Hitler, Benito Musolini, Fidel
Castro, atau Saddam Husein. Orang-orang yang dicap otoriter, biasanya menginginkan semua
berada dalam kekuasaannya, harus tunduk dan patuh kepadanya, dan ujungnya adalah kejatuhan
dan kehinaan.

Orang-orang otoriter tak jarang memiliki versi tersendiri dalam menilai sebuah kejadian.
Dia selalu memandang dirinya lebih dari orang lain dan selalu melihat sesuatu dari sisi
kekurangannya dan kejelekannya saja. Akibatnya, sebaik apa pun yang dilakukan orang lain
akan mendapatkan cacian darinya.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa para korban narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (NAPZA) adalah mereka yang tumbuh besar dari kalangan orang tua otoriter,
keras, mau menang sendiri, tidak komunikatif, dan tidak ada dialog antar anggota keluarga. Tak
mengherankan bila si anak menjadi seorang yang apatis, acuh, dan akhirnya jatuh pada
perangkap NAPZA, na'uzubillah. Begitu pun dengan anak yang terlalu dikekang oleh orang
tuanya. Dia sangat berisiko untuk menjadi pecandu narkoba.

Contoh kasus, seorang anak selalu bentrok dengan ibunya, karena si ibu
menginginkannya taat 100 persen tanpa reserve. Terlebih bila disertai dengan penilaian yang
selalu negatif. Sang ibu selalu mengungkapkan sisi-sisi salahnya saja dari diri si anak. Sehingga
muncullah ungkapan, "Sedikit-sedikit salah, sedikit-sedikit salah!" Saking kesalnya, si anak pun
berkata: "Kalau saya ini salah terus, lalu kapan benarnya saya sebagai manusia ini? Mengapa
semua yang saya lakukan selalu disalahkan?

Idealnya, orang tualah yang mesti lebih dahulu mengetahui dan paham ketimbang si
anak. Tetapi, karena ketidaktahuan dan kurangnya ilmu, tanpa disadari si ibu telah menggiring
dan menjerumuskan anaknya ke dunia NAPZA. Begitulah, gaya mendidik yang otoriter, kaku,
dan kurang komunikatif akan menghasilkan anak-anak dalam kondisi tertekan, tidak aman, yang
berujung dengan larinya sang anak dari kenyataan sebenarnya.

Begitu pula di kantor atau perusahaan-perusahaan yang memiliki pimpinan otoriter. Para
karyawan dapat dipastikan bekerja dalam kondisi tertekan. Bos yang otoriter hanya akan melihat
kesalahan-kesalahan karyawannya saja. Mengapa begini? Ini salah! Itu Salah! Jarang memuji,
menghargai, dan jarang menyapa dengan baik. Bahkan, saking sangat jarangnya tersenyum,
wajahnya tampak menyeramkan dan angker. Akhirnya disiplin karyawan menjadi disiplin takut
atau disiplin terpaksa. Mereka akan kelihatan taat, namun hatinya tertekan, sakit hati, dan bahkan
benci pada pimpinan otoriter ini.

Di antara ciri perusahaan yang memiliki pemimpin otoriter adalah cepatnya perputaran
keluar masuknya karyawan. Seluruh karyawan dari tingkat tertinggi hingga terendah
berkeinginan keluar. Jika ada yang bertahan, bukan karena senang bekerja di sana, melainkan
semata-mata pertimbangan penghasilan. Pemimpin otoriter biasanya sangat mudah marah dan itu
bisa dilakukan di sembarang tempat. Bila bertemu orang yang dimarahi, dia akan meluapkan
kemarahannya. Padahal kemarahan seperti itu justru akan mempermalukan dirinya sendiri.
Sebab, orang lain yang melihatnya akan memberikan penilaian negatif. Karena itu, siapa pun
yang memiliki sikap otoriter, ia harus siap menjadi orang yang tidak disukai dan dibenci banyak
orang. Wallahu a'lam.

republika - KH Abdullah Gymnastiar


Mengendalikan Diri

Tidak ada kemuliaan bagi orang yang memperturutkan hawa nafsu. Kemuliaan hanya
bagi orang-orang yang mau mengendalikan diri dan memelihara kesucian diri dengan gigih.

Dalam sebuah peperangan, Imam Ali ra berhasil menjungkalkan lawan tandingnya.


Ketika akan ditusuk, meludahlah musuh itu tepat mengenai wajahnya sehingga Imam Ali tidak
jadi membunuhnya. "Ali, kenapa engkau tidak jadi membunuhku?" Imam Ali menjawab, "Aku
khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tetapi karena ludah".

Apa yang ditunjukkan Imam Ali dalam petikan kisah di atas memberikan pelajaran
kepada kita bahwa pengendalian diri harus selalu kita perhatikan dalam berbagai situasi, tempat,
dan waktu. Pengendalian diri merupakan sesuatu yang sangat penting untuk selalu kita
perhatikan, bahkan ia tergolong jihad an-nafs yang betul-betul harus menjadi prioritas.

Biasanya kita lebih sibuk dengan musuh-musuh lahir tanpa punya kesibukan untuk
mengendalikan diri sendiri. Padahal musuh lahir hanya sekadar bonus dari Allah, trigger, atau
alat supaya kita dapat kesempatan berjihad di jalan-Nya. Dan kunci dari pengendalian diri ini
adalah pengendalian hawa nafsu.

Jika kita umpamakan nafsu itu kuda dan setan sebagai pelatihnya, maka jika kuda itu
nurut kepada kita dan bukan pada setan, maka insya Allah kita bisa lebih cepat mencapai tujuan
dan bisa menghemat energi. Tapi sebaliknya, kalau kuda (nafsu) itu tidak dikendalikan, maka
kita akan seperti rodeo, terombang-ambing, lalu terpelanting.

Salah satu tabiat nafsu adalah tidak seimbangnya antara kesenangan yang didapat dengan
akibat serta risiko yang harus dipikul. Misalnya, ketika kita memakan makanan haram. Memang
enak terasa, tapi enaknya tidak akan lama, hanya ketika ada di mulut saja. Bandingkan dengan
mudharat yang harus kita pikul karena makanan tersebut. Begitu pula dengan pandangan yang
tidak terjaga. Melihatnya hanya beberapa saat, tapi bayangannya sulit dilupakan, bahkan shalat
pun menjadi tidak khusyuk.

Karenanya, kita jangan menganggap remeh pengendalian diri, karena bisa


menghancurkan nama baik dan karir kita. Rasulullah SAW pun mengatakan bahwa perang
melawan diri (nafsu) lebih berat dari Perang Badar yang merupakan perang terberat yang
dihadapi Rasulullah SAW.
Ada banyak segi yang harus selalu kita kendalikan dari diri kita, seperti panca indra,
perut, syahwat, ataupun perasaan. Andai kita memandang, tahanlah sekuat mungkin dari sesuatu
yang diharamkan. Segera berpaling karena Allah SWT melihat yang kita lakukan. Ketika mau
menonton TV bertanyalah, "Haruskah saya nonton acara ini?" Apa ini berpahala?" Kalau tidak,
matikanlah segeta TV tersebut. Untuk lebih menjaga pandangan ada baiknya di samping tempat
tidur kita sediakan Alquran agar mudah dibaca. Atau siapkan buku bacaan di sekitar tempat kita
beraktivitas agar kita selalu terkondisi untuk melakukan hal-hal yang positif.

Mengendalikan nafsu yang berkaitan dengan perut juga tidak kalah penting. Bertanyalah
selalu sebelum menyantap makanan. "Apakah saya harus membeli makanan semahal ini?
Apakah saya harus makan sebanyak ini? Apakah yang saya makan ini terjamin kehalalannya?
Mana yang lebih baik, saya makan makanan sederhana dengan kalori yang sama dan sisa
uangnya disedekahkan untuk makan orang lain?". Kalau kita terus bertanya maka nikmat makan
akan pindah; bukan dari nikmat rasa lagi tapi nikmat syukur.

Begitu pula ketika hendak berbelanja, membeli aksesoris dunia. Proses bertanya harus
selalu dilakukan sebagai alat mengendalikan keinginan dan nafsu. Luruskan niat terlebih dahulu.
Jangan sekadar pengen, karena nafsu itu biasanya tidak pakai perhitungan. Termasuk yang
sedang jatuh cinta. Tanyalah selalu, "Apakah saya harus mencintainya? Sudah siapkan aku
menikah dengannya? Haruskah hari-hariku tersita karena memikirkan dia? Apakah cinta ini
harus kupelihara? Apa sih untungnya?.

Dengan terus bertanya kepada hati, insya Allah kita akan memiliki pengendalian diri
yang baik. Apalagi yang kita miliki jika kita tidak bisa mengendalikan diri dan terus ditipu serta
diperbudak hawa nafsu. Apalagi yang berharga pada diri kita?

Yakinlah bahwa tidak ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu
yang tidak di jalan Allah SWT. Kemuliaan hanya bagi orang-orang yang mau mengendalikan
diri dan mau memelihara kesucian diri dengan gigih. Wallahu a'lam bish-shawab.

republika - KH Abdullah Gymnastiar


Memupus Kedendaman

''(Orang-orang bertakwa) yaitu mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu


lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan'' (QS Ali Imran [3]: 134).

Dendam adalah buah dari hati yang terluka, hati yang tersakiti, teraniaya, atau karena
merasa terambil haknya. Wujud dendam yang paling nyata adalah kemarahan dan kebencian
yang membludak. Bila dendam seseorang membara, maka dia akan mencari jalan untuk
mencemarkan, mencoreng, atau kalau perlu mencelakakan orang yang didendaminya sampai
binasa. Alangkah sengsaranya orang yang hatinya penuh dendam!

Sudah menjadi tabiat manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan
boleh jadi berujung dengan kedendaman. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus dendam
setiap kali ada yang menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dizalimi, maka doakanlah orang-
orang yang menzalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang saleh. Mampukah kita
melakukannya?

Doa orang yang dizalimi itu benar-benar mustajab. Sehingga ketika dizalimi, saat itu pula
terbuka peluang doa kita terijabah. Sulit memang, tapi itulah penentu kemuliaan diri. Rasulullah
SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau
menghubungkan tali silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu,
memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi
maaf kepada orang yang menganiaya dirimu".

Rasulullah SAW adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina,
dicacimaki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia mendendam. Bahkan, ia mati-
matian berbuat baik kepada orang-orang tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan.

Karena itu, siapa saja di antara kita yang hatinya terbelit kedendaman, ingatlah! Dendam
hanya akan membawa kesengsaraan, menghancurkan kebahagiaan, merusak pikiran, dan harga
diri kita. Yang paling mengerikan, dendam bisa menyeret kita pada panasnya api neraka.
Na'udzubillah.
Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi seorang pendendam, bahkan berubah menjadi
seorang pemaaf seperti dicontohkan Rasulullah SAW? Ada dua hal yang harus diperhatikan.
Pertama, kita harus menyadari bahwa semua orang beriman itu bersaudara. Allah SWT
berfirman dalam QS Al-Hujuraat [49]: 10, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat (Allah)".

Pemahaman bahwa setiap orang bersaudara, sedikit banyak, akan membawa tambahan
energi bagi kita dalam mengendalikan kemarahan dan rasa sakit hati. Bila konsep ini tertanam
kokoh di hati, maka kita akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mencelakakan saudara kita.

Kedua, kita terus berlatih untuk mengikis sifat dendam tersebut. Sebagai ilustrasi, kita
bisa belajar dari para karateka yang berhasil menghancurkan batubata dengan tangannya.
Pertama kali memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Tapi, dia tak patah semangat.
Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut. Akhirnya, pada pukulan kesekian,
pada hari kesekian, bata tersebut berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak,
tetapi dia mendapatkan hasil yang diinginkan.

Begitu pula dengan hati. Jika hati dibiarkan sensitif, maka hati ini akan mudah sekali
terluka. Akan tetapi, jika hati sering dilatih, maka hati kita akan semakin siap menghadapi
pukulan dari berbagai arah. Jika kita telah disakiti seseorang, kita jangan melihat orang tersebut,
tetapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal kita terhadap Allah. Kita akan semakin
sakit, tatkala melihat dan mengingat orangnya.

Bagaimana seandainya kita dicaci, dikritik, atau diserang orang dengan kata-kata yang
tidak mengenakkan? Kuncinya evaluasi diri. Kita tidak akan pernah rugi diperlakukan apa pun
oleh orang lain, jika kita menyikapinya dengan cara yang benar. Setelah mengevaluasi diri, kita
perlu memperbaikinya. Balasan dan jawaban yang efektif adalah dengan akhlak yang baik. Kita
dicemooh, dihina, dan diolok-olok orang lain, maka biarkan saja. Pada akhirnya, orang akan
melihat siapa yang difitnah dan siapa yang memfitnah.

Jika kita menjadi lebih baik, Allah akan memuliakan kita. Jika Allah sudah memuliakan,
maka kita tidak akan menjadi hina karena hinaan orang lain. Balaslah keburukan orang lain
dengan cara terbaik; Ifda' billati hiya ahsan. Itulah kunci kemuliaan diri. Wallahu a'lam bish-
shawab. republika - KH Abdullah Gymnastiar
Memilih Pergaulan

Berhati-hatilah dalam memilih pergaulan. Barang siapa bergaul dengan pandai besi,
niscaya akan mendapat bau bakaran, bahkan bukan tidak mungkin akan ikut terbakar. Akan
tetapi, barang siapa bergaul dengan tukang minyak wangi, maka tidak bisa tidak, ia akan
terciprati oleh bau-bauan yang harum. Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya agar
bersikap selektif dalam memilih teman. Secara khusus, Allah melarang hamba-Nya berteman
dengan setan. Barang siapa yang mengambil setan menjadi temannya, maka setan itu adalah
teman yang seburuk-buruknya (QS. An-Nisa: 38).

Seseorang bisa tergelincir berteman dengan setan dalam arti sesungguhnya. Ia dengan
sadar menjadikan setan sebagai pelindung dan penolongnya, serta menjadikannya sebagai
pendamping dan pemberi kekuatan saat menolong orang lain yang datang membutuhkan
pertolongan. Selain itu, berteman dengan setan bisa juga dalam wujud lain, yakni bergaul dengan
mereka yang tenggelam memperturutkan hawa nafsunya, gemar berbuat maksiat, dan selama
hidupnya hanya sibuk dengan urusan dunia semata. Mereka tidak tahu arti hidup. Dan tentu saja,
termasuk orang-orang yang paling merugi baik di dunia maupun di akhirat.

Mereka sangat jauh dari pertolongan Allah dan sebaliknya dekat dengan murka-Nya.
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah
sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan
mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui.
Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang keras. Sesungguhnya amat buruklah apa yang
telah mereka kerjakan (QS Al-Mujaadilah: 14-15). Dengan demikian, ketidakhati-hatian dalam
memilih teman, tidak bisa tidak, akan menimbulkan akibat yang tidak sepele.

Betapa tidak! seseorang itu, demikian sabda Rasulullah SAW, akan mengikuti pendirian
(perilaku) sahabat karibnya. Karena itu, seseorang hendaknya memperhatikan siapakah yang
harus dipergaulinya. Teman yang tidak baik termasuk "virus keempat" setelah kelalaian menjaga
pandangan, lisan, dan perut. Semuanya bisa merusakkan hati dan menghancurkan masa depan.
Barang siapa yang lingkungan pergaulannya orang-orang yang tidak mengenal Allah, maka
hampir dapat dipastikan cita-citanya, pembicarannya, gerak-geriknya, dan hobinya, pasti tidak
akan jauh berkisar dari hanya urusan duniawi dan urusan memuaskan hawa nafsu belaka. Ia akan
selalu diliputi oleh ketamakan dan kedengkian terhadap apa yang dimiliki orang lain.
Kita pun paham betul bahwa ahli dunia selalu dekat dengan kerusakan, terutama
kerusakan akhlak. Lain halnya jika kita berteman dengan orang-orang yang mengenal Allah
dengan baik. Pembicaraan mengenai dunia sama sekali tidak akan mengotori hatinya. Betapa
tidak! Dunia terlampau kecil dibandingkan dengan segala keagungan dan kebesaran Allah.
Walhasil, apa pun yang ada di dunia ini tidak akan pernah membuat kotor hati, tamak, dan rakus.
Bergaul dengan orang-orang yang mengenal Allah akan senantiasa tawaashau bil haqqi wa
tawaashau bish shabr.

Mereka akan saling menolong serta berkeinginan agar teman-temannya menjadi baik dan
semakin baik. Mereka tidak saling memposisikan diri menjadi beban satu sama lain, tetapi justru
ingin saling meringankannya. Mereka akan berusaha agar sahabatnya semakin mulia di sisi
Allah. Bahkan, kesulitan demi kesulitan akan menjadi jalan penambah keakraban dan dinikmati
karena semua itu, tidak bisa tidak, akan membuahkan pahala sabar. Hasil dari pergaulan yang
benar-benar diselimuti dengan kecintaan kepada Allah dan ketaatan terhadap Islam akan tampak
indah dan sinergis. Karena itu, berhati-hatilah terhadap pergaulan.

Jika saat ini tengah berada dalam lingkungan pergaulan yang buruk, maka kita harus
punya keberanian untuk segera berhijrah. Bukan untuk meninggalkan segala-galanya, melainkan
agar kita memiliki lingkungan yang dapat membuahkan tenaga dan energi baru untuk
menghadapi hidup ini dengan baik. Sehingga, bila kita bertemu dengan orang-orang yang lalai,
bukannya diri kita yang terbawa lalai, melainkan kitalah yang akan membantu mereka menjadi
lebih baik. Salah memilih pergaulan berarti kita siap menyiksa dan membinasakan diri.

Adapun keuntungan bergaul dengan orang-orang yang taat, shalih, dan berakhlak mulia,
mau tidak mau akan membuat kita terbawa menjadi orang yang bersih dan taat pula. Semoga
Allah Azza wa Jalla senantiasa menitipkan sahabat-sahabat dan lingkungan yang akan
memelihara iman dan amal-amal kita. Amin.

republika - KH Abdullah Gymnastiar


Membangun Masa Depan

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran dan menetapi kesabaran. (QS. Al-'Ashr: 1-3).

Kita sepakat bahwa orang yang paling rugi di dunia ini adalah orang yang diberikan
modal, tapi ia hamburkan modal itu sia-sia. Modal kita dalam hidup adalah waktu.

Sering kita tidak menyadari betapa berharganya jatah waktu yang kita miliki. Kita sering
menghabiskan waktu produktif hanya untuk mencari pensil. Kita sering menghabiskan waktu
berjam-jam hanya untuk mengumbar ketidaksukaan kita, untuk memendam kedengkian atau
kemarahan kita. Padahal, waktu berlanjut terus dan kita tidak tahu kapan hidup ini berakhir.

Oleh karena itu, Mahasuci Allah yang Mengungkapkan dalam QS. Al-'Ashr bahwa
kerugian manusia itu dapat diukur dari sikapnya terhadap waktu. Kalau ia sudah berani
menghamburkan waktunya, maka ia tergolong orang yang sudah menyia-nyiakan kehidupannya.

Secara umum waktu terbagi tiga. Pertama, masa lalu. Ia sudah lewat. Kita sudah tidak
berdaya dengan masa lalu. Tapi banyak orang sengsara hari ini gara-gara masa lalunya yang
memalukan. Karena itu, kita harus selalu waspada jangan sampai masa lalu merusak hari kita.

Kedua, masa depan. Kita pun sering panik menghadapi masa depan. Tanah kian mahal,
pekerjaan semakin sulit didapat, takut tidak mendapat jodoh, dan lainnya. Masa lalu dan masa
depan kuncinya adalah hari ini. Inilah bentuk waktu yang ketiga. Seburuk apapun kita di masa
lalu, kalau hari ini kita benar-benar bertaubat dan memperbaiki diri, insya Allah semua
keburukan itu akan terhapuskan.

Sayangnya, kita banyak merusak hari ini dengan masa lalu. Dulu gelap sekarang putus
asa, sehingga kita tidak mendapat apapun. Dulu berlumur utang, sekarang tidak bangkit, tentu
utang tidak kan terlunasi. Masa lalu kita bisa berubah drastis dengan masa kini. Begitu pun
dengan masa datang. Sungguh heran melihat orang yang punya cita-cita tapi tidak melakukan
apapun pada hari ini. Padahal hari ini adalah saat kita menanam benih, dan masa depan adalah
waktu untuk memanen. Maka mana mungkin kita bisa memanen bila kita malas menanam benih.
Karena itu, siapa pun yang ingin tahu masa depannya, maka lihatlah apa yang dilakukannya
sekarang.
Maka sehebat apapun cita-cita di masa depan, taruhannya adalah masa kini. Pada saat
sekarang kita duduk santai, tidak mau bekerja, dan pada saat yang sama orang lain bekerja keras,
menempa diri, menimba ilmu, mengasah diri, dan memperkuat ibadahnya. Maka, suatu saat nanti
akan bertemu rezeki yang harus diperebutkan oleh dua orang. Yang satu dengan ilmu. Yang satu
dengan pengalaman. Yang satu dengan wawasan. Dan yang satu lagi dengan kebodohan.
Siapakah yang akan mendapatkan rezeki tersebut?

Saudaraku, kita harus mulai menghitung apapun yang kita lakukan. Ucapan kita sekarang
adalah bekal kita. Kita bisa terpuruk besok lusa hanya dengan satu patah kata. Kita pun bisa
menuai kemuliaan dengan kata-kata. Uang yang kita dapatkan sekarang adalah tabungan masa
depan. Bila kita dapatkan dengan cara tidak halal, niscaya aibnya tidak akan tertukar.

Karena itu, terlalu bodoh andai kita mau melakukan sesuatu yang sia-sia. Detik demi
detik harus kita tanam sebaik mungkin, karena inilah bibit yang buahnya akan kita petik di masa
depan. Kalau kita terbiasa berhati-hati dalam berbicara, dalam bersikap, dalam mengambil
keputusan, dalam menjaga pikiran, dalam menjaga hati, maka kapan pun malaikat maut
menjemput, kita akan selalu siap. Tapi kalau kita biarkan bicara sepuasnya, berpikir sebebasnya,
tak usah heran bila saat kematian kita menjadi saat yang paling menakutkan.

Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar masa depan kita cerah. Pertama, pastikanlah
hari-hari yang kita jalani menjadi sarana penambah keyakinan pada Allah. Kita tidak akan
pernah tenteram dalam hidup kecuali dengan keyakinan yang kuat pada Allah SWT. Pupuk dari
keyakinan adalah ilmu. Orang-orang yang tidak suka menuntut ilmu, maka imannya tidak akan
bertambah. Bila iman tidak bertambah, maka hidup pun akan mudah goyah.

Kedua, tiada hari berlalu kecuali jadi amal. Di mana pun kita berada lakukankanlah yang
terbaik. Segala sesuatu harus menjadi amal. Dilihat atau tidak, kita jalan terus. Karena rezeki kita
adalah apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketiga, orang yang beruntung adalah orang yang setiap
hari terus melatih diri untuk menjadi pemberi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran, dan yang
setiap harinya melatih diri untuk menerima nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Ia mampu
memberi nasihat, karena ia senang diberi nasihat. Orang yang gagal memberi nasihat, awalnya
karena ia gagal menerima nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Wallahu a'lam bish-shawab.

republika - KH Abdullah Gymnastiar


Masihkah Kita Muliakan Orang Tua?

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tua, ibu
bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.
Hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS Luqman: 14)

Mahasuci Allah Dzat yang tak pernah bosan mengurus semua hamba-Nya. Yang telah
menjadikan amalan memuliakan orang tua (birul walidain) sebagai amalan yang amat dicintai-
Nya. Demi Allah, siapa pun yang selalu berusaha untuk memuliakan kedua orang tuanya,
niscaya akan Ia angkat derajatnya ke tempat paling tinggi di dunia maupun di akhirat.

Alangkah tepat andai firman Allah tersebut kita baca berulang-ulang dan kita renungkan
dalam-dalam. Sehingga Allah berkenan mengaruniakan cahaya hidayahnya kepada kita,
mengaruniakan kesanggupan untuk mengoreksi diri dan mengaruniakan kesadaran untuk
bertanya: "Telah seberapa besarkah kita memuliakan ibu bapak?". Boleh jadi kita sekarang mulai
mengabaikan orang tua kita. Bisa saja saat ini mereka tengah memeras keringat banting tulang
mencari uang agar studi kita sukses. Sementara kita sendiri mulai malas belajar dan tidak pernah
menyesal ketika mendapatkan nilai yang pas-pasan. Bahkan, dalam shalat lima waktunya atau
tahajudnya mereka tak pernah lupa menyisipkan doa bagi kebaikan kita anak-anaknya.

Tetapi, berapa kalikah dalam sehari semalam kita mendoakannya? Shalat saja kita sering
telat dan tidak khusyuk. Ada seorang perwira tinggi yang sukses dalam karirnya, ternyata
memiliki jawaban yang "sederhana" ketika ditanya seseorang, "Waktu kecil apakah Bapak
pernah bercita-cita ingin jadi seorang jenderal?" Pertanyaan itu dijawabnya dengan tegas; "Saya
tidak pernah bercita-cita seperti itu, kalau pun ada yang saya dambakan ketika itu, bahkan hingga
sekarang, saya hanya ingin membahagiakan kedua orang tua saya!" Betapa dengan keinginan
yang sepintas tampak sederhana, ia memiliki energi yang luar biasa, sehingga mampu menempuh
jenjang demi jenjang pendidikan dengan prestasi gemilang.

Bahkan ketika mulai masuk dinas ketentaraannya, ia mampu meraih jenjang demi jenjang
dengan gemilang pula, hingga sampai pada pangkat yang disandangnya sekarang. Subhanallah.
Karena itu, kita jangan sampai mengabaikan amalan yang sangat disukai Allah ini. Rasulullah
SAW menempatkan ibu "tiga tingkat" di atas bapak dalam hal bakti kita pada keduanya. Betapa
tidak, sekiranya saja kita menghitung penderitaan dan pengorbanan mereka untuk kita, sungguh
tidak akan terhitung dan tertanggungkan. Seorang ulama mengatakan, "Walau kulit kita dikupas
hingga telepas dari tubuh tidak akan pernah bisa menandingi pengorbanan mereka kepada kita."

Berbulan-bulan kita bebani perut ibu, hingga ketika ia miring dan bergerak jadi sulit,
karena rasa sakit menahan beban kita di dalam perutnya. Berjalan berat, duduk pun tak enak, tapi
ia tak pernah kecewa. Sebaliknya, ia selalu tersenyum. Begitu pun ketika melahirkan, ibu kita
benar-benar dalam keadaan hidup mati. Darah berhamburan, keringat bercucuran. Sakit tiada
terperi. Namun, ia ikhlas! Manakala melihat kita si jabang bayi, hilanglah semua penderitaan.
Senyum pun tersungging, walau tubuh lunglai tatkala mendengar tangisan kita, yang kelak
banyak menyusahkannya. Ingatkah kita ketika masih bayi? Kepalanya kita kencingi. Badannya
kita beraki. Sedang tidur pun kita bangunkan. Kita suruh ia mencuci popok hampir setiap waktu.

Tiba waktu sekolah, orang tua kita harus peras keringat banting tulang, bahkan mau
bertebal muka, ngutang ke sana ke sini. Semuanya dilakukan agar anak-anaknya bisa sekolah,
bisa berpakaian seragam yang pantas. "Rutinitas" itu berlangsung bertahun-tahun, mulai dari SD,
SMP, SMA, hingga kita kuliah. Bahkan, setelah menikah pun tetap saja kita menyusahkan dan
membebani mereka dengan aneka masalah. Benar-benar tak tahu malu, kita menengadahkan
tangan pada kedua orang tua sekian tahun lamanya. Semua contoh di atas seharusnya
menyebabkan kita bisa mengukur diri, apa yang bisa kita lakukan untuk keduanya selama ini?
Betapa sering kita mengiris-iris hatinya. Mulai dari tingkah-laku kita yang jauh dari kesopanan,
ucapan yang terkadang menyakitkan, hingga perlakuan kita yang sering merendahkan.

Yang lebih kurang ajar lagi, kita sering memperlakukan mereka sebagai pembantu.
Bahkan ada di antara kita yang malu mempunyai orang tua yang lugu dan sederhana. Tentu kita
terlahir ke dunia tidak untuk berlaku rendah seperti itu. Allah dan Rasul-Nya tidak akan pernah
ridha melihat kelakuan tersebut. Dari sinilah kita harus berusaha menjaga hubungan baik dengan
mereka, karena di sana terbuka pintu surga. Ridha orang tua adalah ridha Allah SWT. Betapapun
ada satu dua perlakukan orang tua kita yang kurang berkenan di hati, tapi ingatlah bahwa darah
dagingnya mengalir dan melekat di diri kita? Makanan yang sehari-hari kita makan pun adalah
buah dari tetesan keringatnya.

Alangkah lebih baik apabila kita bersabar dan teruslah panjatkan doa. Karena itu, jangan
tunda waktu untuk membahagiakan mereka. Mohonkanlah maafnya atas segala kesalahan dan
kelalaian kita selama ini. Karena siapa tahu Allah akan segera menakdirkan perpisahan antara
kita dengan mereka untuk selama-lamanya. Kalau keduanya sudah berada di dalam kubur,
bagaimana kita bisa mencium tangannya. Kita tidak bisa mempersembahkan bakti apapun kalau
mereka sudah terbujur kaku. Jangan enggan untuk menjaga, membela, membahagiakan,
memuliakan, menghormati, dan berbuat yang terbaik terhadap keduanya. Jangan lupa untuk
selalu mendoakan keduanya agar mendapatkan khusnul khatimah.

Mudah-mudahan perjuangan kita yang ikhlas dalam memuliakan keduanya membuat


Allah ridha, sehingga Ia berkenan mengangkat derajat mereka berdua dan kita pun menjadi
hamba yang berada dalam naungan cahaya ridha-Nya. Wallahu a'lam bish-shawab.

republika - KH Abdullah Gymnastiar

Cermin Diri

Dalam keseharian kehidupan kita, begitu sangat sering dan nikmatnya ketika kita
bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap itu-itu juga, aneh
bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan kita selalu menyempatkan
diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya kurang lebih karena kita ingin selalu
berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan,
apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.

Sebabnya penampilan kita adalah juga cermin pribadi kita. Orang yang necis, rapih, dan
bersih maka pribadinya lebih memungkinkan untuk bersih dan rapih pula. Sebaliknya orang yang
penampilannya kucel, kumal, dan acak-acakan maka kurang lebih seperti itulah pribadinya.

Tentu saja penampilan yang necis dan rapih itu menjadi kebaikan sepanjang niat dan
caranya benar. Niat agar orang lain tidak terganggu dan terkecewakan, niat agar orang lain tidak
berprasangka buruk, atau juga niat agar orang lain senang dan nyaman dengan penampilan kita.

Dan Allah suka dengan penampilan yang indah dan rapih sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW, "Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal", "Sesungguhnya ALLOH itu indah dan
menyukai keindahan". Yang harus dihindari adalah niat agar orang lain terpesona, tergiur, yang
berujung orang lain menjadi terkecoh, bahkan kemudian menjadi tergelincir baik hati atau
napsunya, naudzhubillah.

Tapi harap diketahui, bahwa selama ini kita baru sibuk bercermin 'topeng' belaka. Topeng
'make up', seragam, jas, dasi, sorban, atau 'asesoris' lainnya. Sungguh, kita baru sibuk dengan
topeng, namun tanpa disadari kita sudah ditipu dan diperbudak oleh topeng buatan sendiri. Kita
sangat ingin orang lain menganggap diri ini lebih dari kenyataan yang sebenarnya. Ingin tampak
lebih pandai, lebih gagah, lebih cantik, lebih kaya, lebih sholeh, lebih suci dan aneka kelebihan
lainnya. Yang pada akhirnya selain harus bersusah payah agar 'topeng' ini tetap melekat, kita pun
akan dilanda tegang dan was-was takut 'topeng' kita terbuka, yang berakibat orang tahu siapa kita
yang 'aslinya'.

Tentu saja tindakan tersebut, tidak sepenuhnya salah. Karena membeberkan aib diri yang
telah ditutupi ALLOH selama ini, adalah perbuatan salah. Yang terpenting adalah diri kita
jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang
sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin
tidak hanya 'topeng' yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isinya, yaitu
diri kita sendiri.

Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya
bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara
jahannam?" Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini yang kelak dapat menatap
penuh kelezatan dan kerinduan, menatap ALLOH Yang Mahaagung, menatap keindahan surga,
menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih ALLOH kelak? Ataukah mata
ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah
mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama
ini?"

Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut
kalimat thoyibah, 'laillahailallah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan
di akherat akan memakan buah zakun yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap
usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah
serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"
"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Wahai mulut yang malang betapa banyak
dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang
mengiris tajam? Berapa banyak kata-kata manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk
menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut
nama ALLOH dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar ALLOH
mengampuni?"

Lalu tataplah diri kita tanyalah, "Hai kamu ini anak sholeh atau anak durjana, apa saja
yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini dan apa yang telah engkau berikan? Selain
menyakiti, membebani, dan menyusahkannya. Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya
engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!

"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita,
bercengkrama di surga atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar
membara jahannam terasang tanpa ampun derita tiada akhir"

"Wahai tubuh, berapa banyak masiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang
yang engkau dzhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba ALLOH yang lemah
yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau
acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau napas?"

"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu?Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu
atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau
selemah atau selemah daun-daun yang mudah rontok?

Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"

Lalu ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikan,
berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini?" "Apakah
engkau ini dermawan atau sipelit yang menyebalkan?" Berapa banyak uang yang engkau
nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu".

"Apakah engkau ini sholeh atau sholehah seperti yang engkau tampakkan? Khusukkah
shalatmu, dzikirmu, doamu, ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang
malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"
Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi,
betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah
seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi"

Wahai sahabat-sahabat sekalian, sesungguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat
agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini. ***

sumber : KH Abdullah Gymnastiar milis daarut tauhid@ yahoo.com

Ketika Cinta Berbuah Dilema

eramuslim - Suatu hari Fatimah binti Rasulullah Saw, berkata kepada Sayidina Ali,
suaminya.

"Wahai kekasihku, sesunguhnya aku pernah menyukai seorang pemuda ketika aku masih
gadis dulu."

"O ya," tanggap Sayidina Ali dengan wajah sedikit memerah. "Siapakah lelaki terhormat
itu, dinda?"

"Lelaki itu adalah engkau, sayangku," jawabnya sambil tersipu, membuat sayidina Ali
tersenyum dan semakin mencintai isterinya.

Percakapan romantis Siti Fatimah dengan Sayidina Ali di atas mungkin sudah menjadi
hal biasa bagi para suami isteri. Tetapi tidak bagi mereka yang belum menikah. Percakapan-
percakapan romantis yang sering ditemukan dalam buku-buku pernikahan itu sungguh sangat
imajinatif bagi para lajang yang sudah merindukan pernikahan, sekaligus juga misteri, apakah ia
bisa seromantis Siti Fatimah dan Sayidina Ali?

Alangkah bahagianya, seorang pemuda yang sejak lama memimpikan obrolan-obrolan


romantis akhirnya sampai di terminal harapan, sebuah pernikahan suci. Apa yang selama ini
menjadi imajinasinya saat itu akan ia ungkapkan kepada isterinya. "Wahai kekasihku, ada satu
kata yang dari dulu terpenjara di hatiku dan ingin sekali kukatakan kepadamu, aku
mencintaimu."
Tetapi, kebahagiaan ini hanya milik mereka yang telah dikaruniai kemampuan untuk
mengikat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidha), pernikahan itu. Bagi mereka yang masih
harus melajang, semuanya masih hanya mimpi yang terus menggoda.

Terkadang, ada pemuda yang tidak kuat melawan godaan imajinasinya. Keinginan untuk
mengungkapkan cinta itu tiba-tiba sangat besar sekali. Tetapi kepada siapa perasaan itu harus
diungkapkan? Sementara isteri belum punya, kekasih pun tidak ada. Karena kata pacaran sudah
lama dihapus dalam kamus remajanya. Tapi, dorongan itu begitu besar, begitu dahsyat.

Awalnya, kuat. Sampai tibalah sebuah perjumpaan. Sebuah rapat koordinasi di organisasi
kemahasiswaan atau dalam tugas kelompok dari sekolah telah mempertemukan dua pesona.
Imajinasi itu kembali menari-nari.

"Nampaknya, dibalik jilbabnya yang rapi ia adalah gadis yang kuimpikan selama ini."

"Oh, ketegasannya sesuai dengan penampilannya yang kalem, dia mungkin yang
kuharapkan."

Dan cinta itu hadir.

Tetapi, sudahkah saatnya cinta itu diucapkan? Padahal mengikat perjanjian yang berat
belum sanggup dilakukan. Lalu apa yang harus dilakukan ketika dorongan untuk mengatakan
perasaan semkain besar, teramat besar? Hingga perjumpaan dengannya jadi begitu
mengasyikkan; menerima sms-nya menjadi kebahagiaan; berbincang dengannya menjadi
kenikmatan; berpisah dengannya menjadi sebuah keberatan; ketidakhadirannya adalah rasa
kehilangan.

Indah. Tapi ini adalah musibah! Interaksi muslim dan muslimah yang semakin longgar
telah menggiring mereka kepada dua dinding dilema yang semakin menyempit dan begitu
menekan. Cinta terlanjur hadir. Meski indah tapi bermasalah. Mau menikah, persiapan belum
cukup atau kondisi belum mendukung. Menunggu pernikahan, seminggu saja serasa setahun.
Melepaskan dan memutuskan komunikasi, cinta terlanjur bersemi. Menjalani interaksi seperti
biasa, semuanya membuat hati semakin merasa bersalah.

Apa yang bisa dijadikan solusi? Jawabannya akan sangat panjang lebar jika yang
dijadikan landasan adalah realita dan logika. Tetapi, marilah kita bicara dengan nurani dan
keimanan, agar semua bisa terselesaikan dengan cepat dan tuntas.
Tanyakan kepada nurani tentang keimanan yang bersemayam di dalamnya? Masihkah
memiliki kekuatan untuk mempertahankan Allah sebagai nomor satu dan satu-satunya? Dengan
kekuatan iman, cinta kepada Allah bisa mengeliminir cinta kepada seseorang yang telah
menjauhkan dari keridhaan-Nya. Cinta macam apa yang menjauhkan diri dari keridhaan Allah?
Untuk apa mempertahankan cinta yang akhirnya membuahkan benci Dzat yang sangat kita
harapkan cinta-Nya?

Tanyakan pada keimanan dan nurani, siapa yang lebih dicintai, Allah ataukah "dia"?

"Qul Aamantu Billahi tsummastaqim!" (al-Hadits)

Wallahu a'lam.

Special untuk mereka yang sedang terjebak dalam lorong-lorong dilema bernama "cinta".
Buat kawan-kawan seperjuangan di Kairo, Tafahna al-Asyraf, dan Zaqaziq, Mesir, kuatkan
hatimu! Jadilah pemenang melawan sisi lain hatimu! Bersama doa dan cintaku.

Zamzam muharamsyah

Sedikit Bukanlah Sia-Sia

Ketika masih tinggal di kampung, saya sering mendengar lagu-lagu merdu yang
dimainkan seorang pengamen tua menggunakan harmonikanya. Pak Slamet, nama pengamen itu,
adalah orang yang sederhana. Walau begitu, ia selalu tampil rapi dengan baju bersih yang
dimasukkan. Rambutnya dipotong pendek dan tersisir lurus ke belakang.

Ia biasanya berdiri di depan pintu dengan sikap tegak seperti orang mengheningkan cipta,
lalu mulai memainkan harmonikanya. Matanya berkali-kali terpejam saat mengalunkan nada-
nada yang mengalir seperti air, tanda ia sungguh kusyuk menyampaikan lagunya.

Meski tak mengerti lagu apa yang dimainkan Pak Slamet, kesungguhannya bermain
harmonika telah menarik saya untuk mengetahui apa yang dia lantunkan. Dalam salah satu
kesempatan, saya bertanya, "Pak, itu lagu apa?" Ia menjawab dalam bahasa Jawa halus, yang
kira-kira terjemahannya demikian: "Ini adalah lagu agar orang-orang yang mendengarnya
menjadi tenteram dan damai. Banyak orang tidak tenteram karena pikiran. Semoga saya bisa
membantu menenteramkan mereka."

Jawaban itu sungguh tidak saya sangka-sangka. Tadinya saya mengira akan mendapat
jawaban bahwa lagu itu lagu Jawa kuno, atau lagu pop masa lalu. Ternyata dugaan tersebut
meleset. Bagaimana mungkin orang tua ini memiliki pemikiran seperti itu? dalam hati
kubertanya.

Tapi saya, yang waktu itu adalah seorang mahasiswa dengan pengetahuan mahaluas,
yang percaya hanya tindakan besarlah yang bisa mengubah dunia, kembali melontarkan
pertanyaan dengan nada sedikit melecehkan, "Lalu sudah sampai mana Pak Slamet menyebarkan
ketenteraman itu? Sudah berapa orang yang mendengarnya dan sembuh dari kegalauan
hidupnya?"

Ia menjawab tersenyum, "Hanya pada beberapa orang yang rumahnya saya lewati di
sekitar sini. Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu
saya, walau tidak bagus saya memainkannya. Syukur kalau kedamaian itu ditularkan."

Jawaban tersebut menunjukkan betapa besar hatinya dan membuat kecut hatiku. Dalam
kesederhanaannya, pengamen tua itu memberikan apa yang bisa disumbangkan bagi orang lain.
Tampaknya remeh, karena lagu-lagunya hanya dihargai seratus perak dan hanya didengar oleh
segelintir orang di sebuah wilayah kecil. Tapi ketulusan dan kesungguhannya dalam memberi,
bernilai jauh lebih tinggi dari itu.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya beberapa hari lalu ketika sedang membaca koran
mengenai bencana tsunami, saya menyadari keponakanku terus menerus memandangi deretan
nama-nama penyumbang dan jumlah yang mereka berikan bagi korban bencana di halaman lain
koran. Keponakan yang masih kecil itu kemudian bertanya, "Ndrong (dari kata gondrong,
panggilan saya di rumah), kalau nyumbangnya sedikit, namanya ditulis nggak?"

"Ya ditulis juga," jawabku, sambil menduga anak ini pasti ingin menyumbang agar
namanya masuk koran.
Di luar perkiraan, jawaban itu justru membuat raut mukanya kecewa. Saya tahu sebabnya
setelah dia melanjutkan, "Aku cuma punya uang sedikit. Malu kalau namanya ditulis. Kalau aku
nyumbang sedikit, nggak bisa buat nolong mereka ya?"

Saat itu juga bayangan Pak Slamet terlintas. Kata-katanya, "...Semoga ada satu atau dua
di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya
memainkannya..." seolah terdengar lagi.

Teringat kalimat itu, dengan haru saya katakan pada keponakan saya, "Akan ada satu atau
dua orang yang tersambung hidupnya karena sumbangan adek, walau hanya sedikit yang adek
berikan. Yang sedikit itu tidak sia-sia karena akan menjadi banyak saat dikumpulkan bersama."

Sebagai catatan, kisah mengenai Pak Slamet sering saya ceritakan kepada teman-teman
yang merasa putus asa karena usaha mereka menyerukan perdamaian dirasa sia-sia. Usaha
mereka memerangi korupsi seolah tak ada artinya. Usaha menegakkan keadilan seperti tak ada
hasilnya.

Saya katakan, bila dilihat dari besar kecilnya yang dilakukan, usaha Pak Slamet membagi
kedamaian serasa sia-sia, seperti juga perasaan kita saat kita memperjuangkan sesuatu sendirian
atau dalam skala kecil. Tapi walaupun kecil, apa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
mungkin bisa menggerakkan orang lain, seperti pengamen tua itu telah menggerakkan saya
menceritakan hal ini, walau --sekali lagi-- cerita ini hanyalah cerita biasa yang tampak sia-sia.

Namun dalam apa yang sering kita anggap sia-sia, sebenarnya tersimpan harapan karena
orang-orang lain barangkali memiliki pemikiran sama. Maka tepatlah kata-kata John Lennon
dalam lagunya, Imagine: "You may say I'm a dreamer... but I'm not the only one, I hope someday
you'll join us, and the world will live as one..."

Wisnubrata - milis daarut tauhid at yahoo dot com


Air Mata

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang ustadz melihat seorang anak
berwudhu di tepi sungai sambil menangis. Ia bertanya, ''Nak, mengapa engkau menangis?''

Anak tersebut menjawab, ''Saya membaca ayat Alquran, 'Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka' (At-Tahrim: 6). Saya khawatir, jangan-jangan
Allah memasukkan saya ke dalam neraka.''

Ustadz menjelaskan, ''Wahai anak kecil, kamu tidak akan disiksa, karena kamu belum
baligh, jangan merasa takut, kamu tidak berhak memasuki neraka.''

Anak tersebut menjawab, ''Wahai Ustadz, engkau adalah orang yang pandai, tidakkah
Ustadz tahu bahwa seseorang yang menyalakan api untuk satu keperluannya, memulai dengan
kayu-kayu yang kecil baru kemudian yang besar?''

Rasulullah SAW bersada, ''Tiada pelupuk mata yang tergenangi dengan air mata
melainkan pasti diharamkan jasadnya dari neraka, dan tiada air mata yang mengalir pada pipi
melainkan akan dihapuskan daripadanya suatu kotoran dan kehinaan, dan apabila ada seseorang
di antara umat yang menangis niscaya mereka akan dirahmati. Tiada suatu amal pun kecuali
bernilai seperti kadar dan timbangannya, kecuali tetesan air mata. Sesungguhnya air mata itu
dapat memadamkan samudera api neraka.''

Tangisan orang-orang saleh terlahir dari khouf (rasa takut). Karena, dengan rasa takut
inilah, perbuatan-perbuatan dosa dapat dilenyapkan. Rasulullah menjelaskan, apabila badan
seorang hamba gemetar karena takut kepada Allah, maka jatuhlah segala kesalahannya
sebagaimana jatuhnya dedaunan dari pohonnya di musim kemarau.

Rasulullah bersabda, ada dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata
yang menangis karena Allah di pertengahan malam dan mata yang terbangun berjaga di jalan
jihad fisabilillah. Dan, di antara yang mendapat perlindungan di hari kiamat adalah seseorang
yang berdzikir kepada Allah dalam kesepian lalu berlinangan air matanya.

Allah Rabbul Izzati berfirman di dalam hadis qudsi, ''Demi keperkasaan-Ku, tak akan
menyatu dua rasa takut pada diri hamba-Ku dan tidak aku satukan dua rasa aman pada dirinya.
Apabila dia merasa aman di dunia, niscaya akan Kami buat takut di hari kiamat; dan apabila dia
takut kepada-Ku di dunia, maka akan Kami buat aman dia di hari kiamat. Maka, basuhlah empat
hal dengan empat macam. Yaitu, wajahmu dengan tetesan air matamu, gigi-gigimu dengan
bedzikir menyebut Tuhanmu, hatimu dengan rasa takut kepada Tuhanmu, dan dosa-dosamu
dengan taubat. (Abu Darda kepada para ikhwan di Ka'bah).

Takut kepada Allah akan menumbuhkan jiwa itsar (sifat yang selalu mengutamakan
kepentingan saudara seiman daripada kepentingannya sendiri), iffah (kemampuan untuk menjaga
diri), dan wara (sikap berhati-hati).

Ramadhan telah memasuki hari-hari terakhir. Saatnya bagi setiap Muslim mengevaluasi
nilai dan makna Ramadhan pada hari yang telah terlewati. Dan, menambah amalan semakin
lebih baik, menjelang perpisahan dengan Ramadhan.

Sejatinya pula, ada kekhawatiran bila semua ini tidak sempurna, apatah lagi hanya
mendapatkan lapar dan haus saja. Sebagaimana Rasulullah menjelaskan, ''Banyak sekali orang
yang berpuasa, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasa itu kecuali hanya lapar dan haus
saja (tak berpahala).'' (HR Nasa'i dan Ibnu Majah).

republika : Mahyudin Purwanto Senin, 08 Nopember 2004

Muara Kemewahan

Rombongan Abu Ubaidah bin Jarrah tiba di Madinah dengan membawa banyak harta dari
Bahrain. Maka, penuhlah masjid untuk shalat subuh bersama Rasulullah SAW.

Usai shalat, Rasul bertanya, ''Saya menduga kalian mendengar Abu Ubaidah datang
membawa sesuatu dari Bahrain.''
''Benar, wahai Rasulullah,'' jawab jamaah serempak.

Rasul bersabda, ''Bergembiralah, namun renungkan apa yang menggembirakan kalian itu.
Demi Allah, bukan kefakiranmu yang aku khawatirkan, melainkan bila kemewahan dunia telah
menimpamu, sebagaimana orang-orang sebelummu. Lalu, kamu berlomba-lomba dan binasa,
seperti mereka.'' (HR Muslim).

Peringatan Rasul terlalu serius untuk diabaikan karena mengawalinya dengan sumpah.
Sejarah dan realitas kontemporer memang membuktikan sabdanya. Persia dan Romawi hancur.
Bahkan, meski menerapkan sebagian hukum Islam, Daulah Umayyah, Abbasiyah, dan
Ustmaniyah juga runtuh lantaran para pembesar menjauhi kehidupan sederhana seperti Rasul dan
sahabatnya, hingga mudah ditelikung musuh.

Kemewahan pembesar adalah tanda kehancuran. Dalil naqlinya, ''Bermegah-megahan


telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.'' (QS At Takaatsur, 102: 1-2).

Kehancuran, misalnya, karena melihat langsung neraka Jahiim (ayat 6-7). Secara implisit,
berarti mendiaminya. Di ayat lain, ''Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka
Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati-Nya),
namun mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.'' (QS 17: 16).

Mafhum mukhalafah (makna kebalikan) ayat ini adalah hanya para pembesar yang
berlaku zuhud dan sederhana, mengonsumsi sesuai kebutuhan, bukan kemauan (nafsu), yang
akan menaati Allah, sekaligus memimpin rakyatnya ke arah Islam. Itulah negeri yang akan
diselamatkan Allah.

Kehancuran akibat perilaku mewah juga terjelaskan secara aqliyah (rasionalitas).


Pertama, berlaku mewah dikendalikan hawa nafsu. Gagal mengendalikan nafsu sendiri, berarti
akan gagal mengendalikan nafsu anak buah dan rakyat. Kedua, berkuasanya nafsu akan
melemahkan akal, sekaligus produktivitas manusia, mulai dari berpikir, bersikap hingga
bertindak.
Takkan ada keinginan untuk memperbaiki kehidupan negerinya, karena dirinya sibuk
berlaku konsumtif. Padahal, perubahan selalu dimulai dari akal, sehingga ketika titik tolak itu
lemah, maka melemah pula kekuatan untuk memperbaiki diri dan negeri. Ini mirip dengan
susahnya perbaikan orang yang akalnya rusak karena narkoba dan minuman keras.

Ketiga, terjadi persaingan tidak sehat, saling dengki, dan menjatuhkan karena iri yang
lain lebih mampu bergaya mewah. Keempat, meluasnya korupsi, kolusi, dan pencurian harta
negara dan rakyat.

Bagaimanapun, gaya hidup mewah tidak mengenal batas, sementara penghasilan resmi
dan halal pasti ada batasnya. Karena itu, tiada alasan tidak menjadikan bulan Ramadhan sebagai
awal ditinggalkannya gaya hidup mewah oleh para pembesar hingga kita terjauh dari
kehancuran.

republika : Fahmi AP Pane Senin, 25 Oktober 2004

Dinda di Mana...

Gelap masih menyelimuti lelap, bergelayut manja di pelupuk mata. Pulas, karena lelah
lembur seharian mengalahkan dingin yang menelusup dari celah dinding. Hening, diselingi
dengkuran halus yang silih berganti mengisi sunyi.

'Uwaaa... uwaaa...,' tangisan si kecil memecah sepi. Kaget ! Mata mengerjap, perasaan
pun masih mengawang. Aah, si kecil ngompol rupanya. Popoknya sudah basah, pingin diganti.

'Ma... ma... si kecil ngompol nih,' berbisik perlahan, sambil tangan membangunkan istri
yang tampak sangat lelah.

Uwaaa... uwaaa... lebih kencang. 'Ma, bangun dong digantiin dulu tuh popoknya!' lebih
keras. Sedikit menggeliat, alhamdulillah... akhirnya bangun juga,
'Bibik...!!!' Lho???

*****

Terlalu lama tinggal di Perumahan Mertua Indah kadang membuat sebuah keluarga susah
mandiri. Dari suami selaku kepala rumah tangga yang kadang sulit mengambil keputusan sendiri,
atau istri yang tidak terlatih. Seiring bergulirnya waktu, syukurlah rezeki semakin bertambah,
akhirnya ngontrak rumah. Gak terlalu besar, tapi cukup untuk sebuah pasangan muda.

Kebahagiaan pun semakin bertambah, si kecil lahir di sela-sela kesibukan kita yang
sama-sama bekerja. Kesibukan istri di sebuah perusahaan swasta pun berganti dengan rutinitas
seorang ibu muda. Cuti melahirkan selesai, ia balik lagi dengan kesibukan rapat dan kerja,
maklum wanita karir.

'Pa, cari pembantu ya, masa' setiap hari harus nitip anak ke ibu,' pintanya suatu saat.
Seorang perempuan berumur, yang selalu berjilbab panjang warna pudar itu akhirnya menetap di
rumah.

'Bik, bisa tuh kerja dengan baju panjang seperti itu?' tanya istriku sangsi, di suatu hari.
'Insya Allah bisa Non,' sahutnya sopan.

Entahlah, mungkin karena sikapnya yang penuh santun, atau pekerjaan yang selalu beres
membuat kami betah memperkerjakannya di rumah. Istriku pun senang, lalu semakin larut waktu
demi waktu dengan kesibukan mengejar impian.

***

Uwaaa... uwaaa... Kembali tangisan si kecil membuyarkan lamunanku, aah... dinda,


dimanakah kau berada?

Kesibukan siang malam melarutkan kewajibanmu, duhai adinda. Entah apa yang engkau
kejar, status atau kedudukan-kah? Rasanya sudah cukup rezeki dari gajiku selama ini, entahlah,
mungkin kau akan malu dengan status ibu rumah tangga karena dirimu adalah seorang sarjana.
Lulus dengan IPK tertinggi, pujian karena ketekunan dan kepintaran membuatmu semakin
melupakan risalah mulia sebagai wanita.
Bukan... bukan aku melarang, karena syariat pun membolehkan, tapi tidakkah kau
merasakan hausnya kasih sayang buah hati kita akan peluk cium seorang ibunda? Tidakkah kau
ingin menjadikan dirimu madrasah sehingga kelak dari keluarga kita akan lahir jundullah?
Betapa kubutuh dirimu dinda, marilah bersama mengayuh bahtera.

*****

'Mama pulang...!!!' teriak si kecil sambil berlari memeluk tubuh mamanya. Tampak binar
kerinduan yang membuncah di mata, sambil tak lupa menagih oleh-oleh yang entah keberapa
kali selalu diterimanya. Tak lama boneka Winnie The Pooh-pun dipeluknya, 'Ma kasih ma...'
hanya sesaat, dan dengan langkah kecilnya kencang berlari ke dapur dengan raut wajah gembira.

'Bibik, dibeliin mama boneka!!!' teriaknya, sambil bergelayut manja. Tak lama bibir
mungil itu bercerita dengan logat cadelnya tentang beruang madu dan sahabat-sahabatnya,
berceloteh penuh semangat diselingi tawa kecilnya. Begitu mesra.

Deg!!!

Dari balik pintu sepasang mata memandang dengan sedih, tanpa sadar mata yang selalu
penuh semangat saat memimpin rapat itu pun berkaca-kaca. Hatinya perih setiap kali adegan itu
terjadi. Kelebat jeritan rintih menyeruak dari relung jiwa wanita muda tersebut, 'Ia anakku, bukan
anak perempuan itu!!!' Pedih, batinnya menjerit.

Tubuh yang selalu bergelora mengejar impian itu mendadak ringkih, jiwa goncang, dan
berbalik menatapku yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan. Wajah penuh airmata,
melunturkan make-up yang selalu setia menghiasinya. Kupapah istriku tanpa berkata apa-apa.
Mungkinkah do'a yang selama ini terhatur kepada-Nya akan segera terjawab?

*****

Uwaaa... uwaaa... Lho, dinda di mana? Aaah... ternyata ia belum juga berubah, buruk
sangka. Apakah aku lupa kalau ia kembali ada rapat kerja?

Uwaaa... uwaaa... lebih kencang. Duh dinda, dimanakah kau berada?


Terdengar langkah tergopoh-gopoh menghampiri, 'Cup... cup sayang. Ini mama nih, maaf
ya tadi lagi sholat malam.' Ia membungkuk, lalu mengangkat si kecil yang tadi terbangun karena
mimpi ke dalam dekapannya, memeluk dengan selimut kasih sayang, menepuk-nepuk lembut
punggungnya hingga si kecil pun kembali terlelap.

Aku menatapnya dengan bahagia, ia pun tersenyum di balik mukena, dan kulihat
wajahnya begitu bercahaya.

*IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA*

Al-Hubb FiLLAH wa LiLLAH,

(Buat para dinda di seluruh dunia, bekerjalah, namun jangan lupakan risalah mulia)

Abu Aufa alhikmah.com [30.06.2004]

Untuk Dia yang Entah di Mana

Kala itu 4 Maret 2002. Semuanya begitu cepat terjadi dan menyentak. Ya, di sanalah
salah satu episode kehidupanku yang mungkin akan terus dikenang sampai maut menjemput.
Bagaimana tidak, di antara percaya dan tidak, ternyata saya harus mendekam di dalam sel
tahanan. Sungguh, sebuah garis hidup yang tak pernah terlintas di benakku. Pasalnya sederhana
saja, saya bukanlah teroris seperti yang mereka gariskan. Saya bukanlah pembuat onar seperti
yang mereka minorkan, dan saya bukanlah penjahat yang layak dihujat. Dan saya bukanlah
penjagal kakap yang harus ditangkap. Asal tahu saja, menyembelih ayam pun saya belum
pernah!!

Kendati demikian, bukan itu yang layak kukenang. Tapi, Allah hadirkan di tengah-tengah
kami sosok setengah baya. Dugaanku ia berusia 40 tahunan. Perawakannya tegap, wajahnya
teduh, janggutnya melebat, dibungkus jubah yang tak pernah lepas dari raganya. Ia sangat
santun, lembut, kerap melempar senyum, dan jauh dari kesan garang, apalagi kejam dan sadis.
Tahukah Anda? Kata mereka yang tengah tertawa terbahak-bahak seperti setan di luar sel sana,
sosok santun itu adalah teroris berbahaya!! Dagelan yang tak lucu.

"Jangan sedih, insya Allah kalian lekas dibebaskan. Sesungguhnya di balik kesukaran itu
ada banyak kemudahan, berdo'alah kepada Yang di atas sana," ujar sosok teduh itu kepada kami
yang tengah dililit ketakutan mencekam, keputusasaan yang memuncak dan kekalutan yang
menggurita. Bayangkan! Kami dipenjara. Masalahnya adalah, penjara itu identik dengan
kekejaman dan penyiksaan.

Lalu, saya ingat betul cerita orang-orang dan di buku-buku ihwal kengerian di penjara
politik. Setruman listrik, tendangan dan pukulan yang siap mendarat, hardikan dan teriakan kasar
sipir, makanan yang menjijikan, dan intinya adalah hewanisasi insan. Itulah menu harian
penghuni sel.

Sontak saja saya berdo'a dengan sepenuh hati. "Ya Allah, selamatkanlah hamba-Mu ini...
Ya Allah, jauhkanlah saya dari kekejaman orang-orang zalim... Ya Allah, teguhkanlah hatiku
atas cobaan ini..." Dan saya pun terus komat-kamit mengeja lafal do'a di atas.

Jujur saja, sepanjang hayatku, tak pernah saya memohon sesyahdu dan sekhidmat itu.
Tapi kali itu, hatiku diseret untuk mengemis kasih-Nya. Asaku bermuara di hulu cinta-Nya. Dan
Firman-Nya pun menyentil qalbuku yang gelisah menggulana.

Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan... (An-Naml: 62)

Dan benar saja, Yang di atas sana mendengar jeritan kami. Hanya siksaan mental yang
mendera kami. Dikurung di bawah tanah selama tiga pekan tanpa nur mentari. Pengisi perut yang
terhidang di ember bak dedak pakan ternak, plus lauk sayuran yang hambar tak berasa, dibalut
kepedihan serta nestapa yang menganga.

Dan di saat gamang itulah sosok santun itu kembali menyapa kami. Ia muncul laksana
induk ayam temukan anak-anaknya. Kami dirangkulnya. Kami dihiburnya. Ia ajari kami hakikat
kesabaran. Ajari kami tentang optimisme. Ceburkan kami ke samudera ketabahan dan ketegaran.
Suapi kami dengan lantunan kalam ilahi. Dan yang terpenting, ia ajari kami untuk menangis
sembari mengais rahmat-Nya, dalam shalat berjamaah kami, dalam sahur dan ifthar puasa kami,
dalam zikir kami dan do'a-do'a parau kami. Geliat yang jarang kami lakukan di luar sel sana.
Kami terhenyak, ternyata dunia telah memalingkan kami. Sejatinya kita bercermin diri,

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak... (At-Taubah: 82)

Saya merenung, jangan-jangan sosok itu tengah menafsir ulang petuah Yusuf as,

"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku." (Yusuf:
33)

Lalu, saat kami bersiap ke peraduan menjemput mimpi, kulihat sosok itu masygul dengan
shalatnya. Selepas Isya hingga larut ia habiskan waktunya untuk shalat dan terus shalat, lalu,
tetes air matanya yang meleleh tengah mengiba Tuhannya. Ia tak kenal jemu untuk memohon
dan terus memohon. Itulah pemandangan jelang larut malam selama tiga pekan kami mendekam.
Sementara saya hanya melongo, berpikir dan memutar otak bagaimana caranya cepat keluar dari
penderitaan ini.

Tapi, berkat sentuhan lembut sosok santun itu, ternyata dari hari ke hari, kami lewatkan
bersamanya dalam bara tazkiah yang membara. Sehingga jalinan kasih kami mengerat jiwa dan
terhimpun dalam cinta-Nya. Ia bagian dari kami dan kami pun bagian darinya. Kami seperti satu
saudara, dan memang sesama Muslim wajib bersaudara.

Sampai kemudian, tepat tiga pekan setelah kami "ditraining" di sel, kami bebas. Tak
pelak senyum sumringah menghiasi raut muka kami. Kami bergegas dan terus bergegas tanpa
hirau. Tapi, tahukah Anda, di manakah gerangan sosok santun itu ketika kami bergegas?
Ternyata kami telah melupakannya. Saking gembiranya, kami lupa bahwa ia tengah berada di
kamar mandi sel.

Tapi untunglah, rekan kami yang dibebaskan setelah kami membawa kabar. Kabar itu
adalah, sosok santun itu kirim salam atas kami, sosok santun itu menangisi kepergian kami, dan
sosok itu memohon do'a dari kami. Akhirnya kami tertegun sembari mengaca diri dan tak kuasa
untuk menangis haru. Lalu kami berapologi dalam untaian do'a,
Ya Allah, maafkan kami... Kami tak peduli padanya... Ya Allah, sampaikan cinta tulus
kami terhadapnya... Ya Allah, bebaskanlah belenggu raganya kendati jiwanya merdeka... Ya
Allah, ganjarkan dia atas ajaran-ajaran cara mencinta-Mu, cara memohon-Mu dan cara
meneteskan air mata karena-Mu... Ya Allah, terima kasih atas semuanya...

Dan sosok santun itu kami biasa memanggilnya dengan sapaan Syekh. Ya, Syekh Abdul
Qadir. Itulah nama yang kami tahu. Ia guru ngaji yang kata jongos-jongos asing disebut sebagai
teroris. Masa hukumannya tak jelas. Kami tak tahu kapan ia akan kembali menghirup udara
kebebasan? Tapi yang kami tahu ialah, ia lebih tegar dari kami. Ia lebih optimis ketimbang kami.
Ia terus memohon kepada Tuhannya. Dan yang membuat hati kami pilu adalah, kini ia entah di
mana. Di duniakah? Atau telah menemui Rabbnya?

Dan lewat penggalan syair Sayyid Qutb, semoga kita dapat memahami ketegaran sosok
santun itu.

Saudaraku, Anda merdeka di balik tembok itu Saudaraku, Anda merdeka dengan
belenggu itu

Jika Anda jadikan Allah sebagai sandaran Maka apakah gerangan yang akan
memperdayakanmu

Ya Allah, terima kasih atas semuanya.

Untuk sahabat-sahabatku, jangan pernah lupa berkirim do'a untuknya... Terima kasih atas
semua teladannya...

M. Ilyas eramuslim, 29 Oktober 2004


Ayah, Bolehkah Berpacaran?

"Tiada pemberian seorang bapak terhadap anak-anaknya yang lebih baik daripada
(pendidikan) yang baik dan adab yang mulia." (HR At-Tirmidzy).

"Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anak, maka ia telah berbuat jahat secara
terang-terangan…" (Ibnu Qayyum).

Seorang ayah, bila ia mempunyai putra yang beranjak remaja, lambat atau cepat ia akan
disergap oleh pertanyaan seperti ini: "Ayah, bolehkah berpacaran?" Pengertian ‘berpacaran’
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bercintaan, berkasih-kasihan.

Sebagai Ayah yang baik, kita sudah seharusnya sejak jauh hari berusaha menyiapkan
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun seringkali kita tidak siap
dengan jawaban ketika pertanyaan tadi terlontar dari mulut anak kita.

Seorang ayah mempunyai posisi strategis. Ayah tidak saja menjadi pemimpin bagi
keluarganya, seorang ayah juga seharusnya bisa menjadi teman bagi anak-anaknya, menjadi
narasumber dan guru bagi anak-anaknya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap kamu akan dimintai pertangungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang suami
(ayah) adalah pemimpin bagi anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap apa yang telah dipimpinnya atas mereka.” (HR Muslim).

Ada sebuah contoh yang datangnya dari keluarga Pak Syamsi. Ketika Iwan anak
remajanya bertanya soal berpacaran, Pak Syamsi yang memang sudah sejak lama
mempersiapkan diri, dengan santai memberikan jawaban seperti ini: "Boleh nak, sejauh
berpacaran yang dimaksud adalah sebagaimana yang terjadi antara Ayah dan Bunda…"

Pak Syamsi menjelaskan kepada Iwan, bahwa berpacaran adalah menjalin tali kasih,
menjalin kasih sayang, dengan lawan jenis, untuk saling kenal-mengenal, untuk sama-sama
memahami kebesaran Allah di balik tumbuhnya rasa kasih dan sayang itu. Oleh karena itu,
berpacaran adalah ibadah. Dan sebagai ibadah, berpacaran haruslah dilakukan sesuai dengan
ketentuan Allah, yaitu di dalam lembaga perkawinan.
Di dalam sebuah Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan
seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya".

"Di luar ketentuan tadi, maka yang sesungguhnya terjadi adalah perbuatan mendekati
zina, suatu perbuatan keji dan terkutuk yang diharamkan ajaran Islam (Qs. 17:32). Allah SWT
telah mengharamkan zina dan hal-hal yang bertendensi ke arah itu, termasuk berupa kata-kata
(yang merangsang), berupa perbuatan-perbuatan tertentu (seperti membelai dan sebagainya)."
Demikian penjelasan Pak Syamsi kepada Iwan anak remajanya.

“Di dalam lembaga perkawinan, ananda bisa berpacaran dengan bebas dan tenang, bisa
saling membelai dan mengasihi, bahkan lebih jauh dari itu, yang semula haram menjadi halal
setelah menikah, yang semula diharamkan tiba-tiba menjadi hak bagi suami atau istri yang
apabila ditunaikan dengan ikhlas kepada Allah akan mendatangkan pahala.” Demikian
penjelasan pak Syamsi kepada Iwan.

“Namun jangan lupa,” sambung pak Syamsi, “Islam mengajarkan dua hal yaitu
memenuhi Hak dan Kewajiban secara seimbang. Di dalam lembaga perkawinan, kita tidak saja
bisa mendapatkan hak-hak kita sebagai suami atau isteri, namun juga dituntut untuk memenuhi
kewajiban, menafkahi dengan layak, memberi tempat bernaung yang layak, dan yang terpenting
adalah memberi pendidikan yang layak bagi anak-anak kelak…”

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Seorang yang membina anaknya


adalah lebih baik daripada ia bersedekah satu sha’…” (HR At-Tirmidzy).

“Nah, apabila ananda sudah merasa mampu memenuhi kedua hal tadi, yaitu hak dan
kewajiban yang seimbang, maka segeralah susun sebuah rencana berpacaran yang baik di dalam
sebuah lembaga perkawinan yang dicontohkan Rasulullah…” Demikian imbuh pak Syamsi.

Seringkali kita sebagai orangtua tidak mampu bersikap tegas di dalam menyampaikan
ajaran Islam, terutama yang sangat berhubungan dengan perkembangan psikoseksual remaja.
Seringkali kita 'malu' menyampaikan kebenaran yang merupakan kewajiban kita untuk
menyampaikannya, sekaligus merupakan hak anak untuk mengetahuinya.
Sebagai anak, seorang Iwan memang harus mempunyai tempat yang cukup layak untuk
menumpahkan aneka pertanyaannya. Sebagai lelaki muda, yang ia butuhkan adalah sosok ayah
yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cerdas, memuaskan, dan tepat. Seorang
ayah yang mampu menjawab pertanyaan bukan dengan marah-marah. Berapa banyak remaja
seperti Iwan diantara kita yang tidak punya tempat bertanya yang cukup layak?

Bagi seorang Iwan, sebagaimana dia melihat kenyataan yang terjadi di depan matanya,
berpacaran adalah memadu kasih diantara dua jenis kelamin yang berbeda, sebuah ajang
penjajagan, saling kenal diantara dua jenis kelamin berbeda, antara remaja putra dengan remaja
putri, yang belum tentu bermuara ke dalam lembaga perkawinan. Hampir tak ada seorang pun
remaja seperti Iwan yang mau menyadari, bahwa perilaku seperti itu adalah upaya-upaya
mendekati zina, bahkan zina itu sendiri!

Celakanya, hanya sedikit saja diantara orangtua yang mau bersikap tegas terhadap
perilaku seperti ini. Bahkan, seringkali sebagian dari orangtua kita justru merasa malu jika
anaknya yang sudah menginjak usia remaja belum juga punya pacar. Sebaliknya, begitu banyak
orangtua yang merasa bangga jika mengetahui anaknya sudah punya pacar. "Berapa banyak
kejahatan yang telah kita buat secara terang-terangan…?"

Di sebuah stasiun televisi swasta, ada program yang dirancang untuk mempertemukan
dua remaja berlawanan jenis untuk kelak menjadi pacar. Di stasiun teve lainnya ada sebuah
program berpacaran (dalam artian perbuatan mendekati zina) yang justru diasosiasikan dengan
heroisme, antara lain dengan menyebut para pelakunya (para pemburu pacar) sebagai “pejuang”.
Dan bahkan para “pejuang” ini mendapat hadiah berupa uang tunai yang menggiurkan anak-anak
remaja. Perilaku para “pejuang” ini disaksikan oleh banyak remaja, sehingga menjadi contoh
bagi mereka.

Makna pejuang telah bergeser jauh dari tempatnya semula. Seseorang yang melakukan
perbuatan mendekati zina disebut “pejuang”. Hampir tidak pernah kita mendengar ada seorang
pelajar yang berprestasi disebut pejuang. Jarang kita dengar seorang atlet berprestasi disebut
pejuang.

sumber : Tontowy Djauhari Hamzah alhikmah.com [24.09.2003]


Bersihkan Jiwa Dengan Do'a

Saudara-saudara yang dimuliakan Alloh SWT.

Untuk kesekian kalinya marilah kita sampaikan puji dan sukur kehadhirat Alloh SWT
yang telah begitu banyak melimpahkan karunianya kepada kita . Mudah-mudahan semua nikmat
yang telah diberikan oleh Alloh SWT dapat kita fungsikan sebaik-baiknya, sehingga dapat kita
harapkan nikmat-nikmat Alloh yang kita syukuri dan kita fungsikan sebaik-baiknya semakin hari
semakin ditambahkan lagi kepada kita semuanya, amin. Semoga Alloh SWT juga semakin
membukakan pintu hati kita. Sehingga keimanan kita semakin mantap menghunjam dihati kita
dan kita semakin mengenal dan mengingat Alloh SWT. Dengan pengenalan yang semakin
mendalam kepada Alloh SWT, insya Alloh kita dapat mewujudkan Syukur kita kedalam
perbuatan-perbuatan yang positif dan kita bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban beribadah
dengan sebaik-baiknya dan seihsan-ihsannya, amien.

Dalam salah satu untaian doa Rosululloh SAW yang seringkali beliau ucapkan adalah
"Ya Alloh berikanlah ke dalam Hati kami Ketaqwaan dan Ketaatan, Sucikanlah Hati kami ini,
Engkaulah yang paling baik dalam mensucikan Hati ini, Engkaulah Pemilik hati ini, Engkaulah
Pembimbing". Dalam upaya melakukan Tazkiyah (pensucian) dan peningkatan kualitas hati dan
jiwa kita, banyak cara, wasail atau sarana yang bisa kita lakukan. Salah satunya adalah Tazkiyah
melalui Doa dan Munajat.

Salah satu senjata yang sangat ampuh dari Alloh SWT yang diberikan kepada hamba-
hambaNya orang-orang beriman adalah Doa. Namun sayang sebagian besar diantara kita masih
banyak yang belum menyadari dan sekaligus juga belum dapat memfungsikan senjata doanya ini
sebagai salah satu senjata yanhg ampuh untuk merealisir cita-cita dan harapannya. Padahal
dalam sebuah hadist Rosululloh SAW mengatakan bahwa "Intisari dari Ibadah itu adalah Doa"

Manakala kita membaca sejarah Nabi-nabi dan orang-orang soleh, maka kita akan
menemukan betapa banyak kisah-kisah yang diabadikan didalam Al-Quran yang menjelaskan
betapa pentingnya Doa itu dan betapa Maha Kuasanya Alloh SWT dalam mengabulkan doa dan
permintaan hamba-Nya ketika hamba itu bermunajt kepada-Nya . Barangkali ada diantara kita
ingat betapa ampuhnya Doa yang dipanjatkan oleh 3 orang yang terkurung dalam sebuah goa,
ketika mereka bernaung ditengah hujan yang lebat. Kemudian mulut goa itu tertutup dengan batu
yang sangat besar dan begitu kuatnya dalam bermunajat kepada Alloh SWT akhirnya mereka
bisa lepas dari mulut goa itu.

Juga bagaimana pula Rosululloh SAW bersama para sahabatnya, ketika mereka
bermunajat baik dalam peperangan maupun dalam permohonan minta hujannya atau dalam
berbagai kesempatan-kesempatan yang sangat banyak, manakala kita telaah dalam siroh
Rosululloh SAW, doa itu langsung bersambut dikabulkan oleh Alloh SWT. Selanjutnya,
bagaimana yang harus kita lakukan agar dapat mengefektifkan Silahu du'a ini dalam rangka
merealisasikan obsesi dan cita-cita serta keinginan-keinginan kita untuk membersihkan jiwa dan
hati kita?

Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari bisa dikatakan, kita sudah sangat akrab dengan
yang namanya berdoa, yang belum banyak barangkali Jawaban Terhadap Doa tersebut. Penting
kiranya kita tanyakan lebih lannjut adalah mengapa doa-doa yang kita panjatkan dan munajatkan
belum juga bersambut dikabulkan oelh AllohSWT. Dan bagaimana mengefektifkannya sehingga
nantinya ketika kita sampaikan kehadhirat Alloh SWT kemudian mendapatkan sambutan yang
cepat langsung dari Alloh SWT.

Suatu kali pernah Ibrohim bin Adam ditanya oleh muridnya. kata muridnya "Wahai
Ibrahim bin Adam, kami sudah begitu sering dan banyak meminta dan bermunajat kepada Alloh
SWT, ternyata sampai saat ini belum terlihat jawabannya. Apakah gerangan yang menyebabkan
doa-doa itu bersambut dikabulkan oleh Alloh SWT? Kemudian Ibrohim bin Adama meberikan
jawabannya. Salah satu diantaranya dikatakan "Wajar saja kalau doa yang kamu panjatkan itu
belum juga dikabulkan oleh Alloh SWT, karena Hati kalian masih banyak yang kotor, bahkan
tiidak sedikit diantara kalian sudah mengeras hatinya." Sementara Alloh SWT dalam banyak
ayatnya menyebutkan bahwa dia mencintai kepada orang-orang yang suci dan bersih.

Saudara-saudara yang dimulikan Alloh SWT

Ada beberapa kriteria atau persyaratan-persyaratan yang kita perlu kita penuhi agar Doa
dan Munajat yang kita sampaikan kehadhirat Alloh SWT nantinya akan mendapatkan sambutan
yang positif. Termasuk juga ketika kita meminta kepada Alloh SWT agar Alloh SWT
mensucikan hati dan jiwa kita,membersihkan diri kita dari berbagai kotoran dosa dan kesalahan.
Faktor-faktor yang menyebabkan cepatnya Doa kita dikabulkan oleh Alloh SWT adalah :
1.Tingkatkan Fungsi dan Peran Kita Sebagai Seorang 'Abid (Hamba).

Ketika kita semakin meningkatkan penghambaan kepada Alloh SWT yang berarti
semakin meningkat taqorubnya kepada Alloh, maka Allohpun akan semakin dekat kepada kita.
Dalam sebuah Hadist , " Apabila Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal saja, maka Aku
akan mendekat kepadanya sehasta dan manakala Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehasta maka
Aku akan mendekat kepadanya sedepa dan kalau Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sambil
berjalan maka Aku akan mendekat kepadanya sambil berlari".

Adapaun yang dimaksud dengan pendekatan kita kepada Alloh SWT di hadist ini adalah
dengan peningkatan ibadah, dalam surat 2 ayat 186 Alloh SWT berfirman "Apabila hamba-
hamba-Ku yang selalu mengabdi kepada-Ku bertanya kepadamu Wahai Muhammad tentang
Aku, maka sesungguhnya Aku ini dekat. Pada ayat ini Alloh SWT tidak mengatakan "Apabila
manusia bertanya kepadamu", tetapi ayat ini redksinya menggunakan kata "Ibadi" (hamba). Hal
ini menunjukkan ada korelasi sangat kuat antara kata 'Ibadi' (hamba ) dengan kata
"Sesungguhnya Aku ini dekat kepada hamba-hamba-Ku yang selalu mengabdi kepada-ku....".

Bagaimana misalnya Nabiyulloh Ibrahim as karena komitmennya yang begitu tinggi


sehingga dalam Surat Al-Baqoroh itu sampai diabadikan komitmennya yang luar biasa itu.
Ketika Alloh SWT berfirman kepada Nabi Ibrohim " Tunduklah Engkau wahai Ibrohim maka
nabi Ibrohim langsung memberikan jawabannya, "Aku tunduk kepada Alloh Robbul 'alamin".
Nah karena komitmen taqorub dan ibadahnya, loyalitasnya kepada Alloh SWT yang begitu
tinggi.

Sehingga ketika Nabiyulloh Ibrohim bermunajat seperti diungkapkan dalam Surat


Ashoffat ayat 99 dan seterusnya, salah satu di antaranya dia meminta kepada Alloh SWT dalam
usianya yang sudah lanjut agar Alloh SWT memberikan anak keturunan, langsung Alloh SWT
mengabulkan permintaan Nabiyulloh Ibrahim, sekalipun menurut logika kemungkinannya sangat
kecil, mengingat Nabi Ibrohim sudah sangat lanjut usianya.

Begitulah ketika Nabiyulloh Ibrohim menampakkan komitmennya yang luar biasa,


ketaatannya kepatuhannya kepada Alloh SW, maka munajatnya kemudian langsung bersambut
dikabulkan oleh Alloh SWT. Demikian juga masih banyak lagi kisah-kisah yang lain diantaranya
doanya Nabi Zakaria , doanya Siti Maryam,dan banyak lagi yang diungkapkan didalam Al-
Qur'an.

2. Selaraskan Antara Do'a Dengan Perbuatan dan Perilaku

Disebutkan didalam QS. 2: 201-202, Alloh SWT berfirman, "Di antara mereka ada yang
bermunajat meminta kepada Alloh SWT, Ya Alloh berikanlah kepada kamikebaikan didunia dan
diakhirat dan selamatkanlah kami dari azab api neraka. Kemudian ayat ini disambung dengan
"Mereka itu akan mendapatkan dari apa yang mereka usahakan" artinya hendaknya setiap
munajat dan doa yang setiap kita minta kepada Alloh SWT, hendaknya kita sinkronkan dengan
langkah-langkah konkrit kita. Jangan antara doa dan perilaku kita bertolak belakang. Disatu sisi
kita minta kepada Alloh SWT agar dibersihkan jiwa, badan dan hati kita. Tetapi di sisi lain
perbuatan dan perilaku kita mengotori jiwa kita itu. Bahkan kalau kita amati, banyak sekali
dicontohkan bahwa manakala antara yang kita minta dengan yang kita lakukan sudah sejalan dan
upaya-upaya yang kita lakukan telah mencapai batasannya yang maximal, maka disaat itulah
akan datang pertolongan dan bantuan dari Alloh SWT.

Jadi di sini dituntut kita untuk menyesuaikan antara permintaan kita dengan langkah-
langkah kita disatu sisi, dan di sisi lain dituntut untuk mengoptimalkan langkah-langkah kita itu.
Tidak cukup langkah yang asal-asalan. Ketika kita menginginkan meminta, misalnya Rezeki
yang halal, baik dan banyak, sudah barang tentu harus diringi dengan langkah-langkah yang
optimal dari kita. Inilah yang disebut Tawakkal yang Shohih. Perpaduan antara permintaan dan
mengantungkan harapan kepada Alloh SWT semata dengan langkah-langkah konkrit untuk
merealisir harapan dan permintaan kita.

Suatu kali Rosululloh SAW menceritakan, katanya "Sekiranya kamu bertawakkal seperti
tawakkalnya burung, niscaya Alloh SWT akan memberikan rezeki yang banyak kepadamu
seperti rezeki yang diberikan kepada burung-burung itu. Mereka terbang di pagi hari dengan
perut yang kosong, dan mereka kembali pada petang hari dengan perut yang berisi penuh".

Begitulah upayanya itu maksimal, terbangnya itu jauh. Oleh karenanya kita bisa melihat
datangnya pertolongan-pertolongan Alloh SWT kepada Siti Maryam, seorang wanita yang suci,
Pada waktu itu ketika dia sudah hamil tua, sementara keluarganya tidak bisa menerima kondisi
seperti itu, terpaksa kemudian dia mengucilkan dirinya. Di saat-saat akan melahirkan, maka Siti
Maryam kemudian berteduh di bawah sebuah pohon kurma yang di bawahnya mengali aliran air.
Kemudian setelah dia melahirkan dalam kondisinya yang masih sangat lemah, oleh Alloh SWT
masih dituntut kepada Maryam itu agar berusaha. Kata Alloh SWT dalam firmannya, " Wahai
Maryam, goyanglah pohon kurma itu yang ada disampingmu, niscaya dia akan berjatuhan".

Untuk diketahui bahwa pohon kurma itu digoyang berdua atau bertiga belum tentu
bergerak, apalagi digoyang oleh seorang wanita yang baru saja melahirkan. Tetapi usaha tetap
dituntut semaksimal kemampuan kita. Nanti diatas usaha yang maksimal dari kita itu, datanglah
pertolongan dari Alloh SWT Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Kuasa.

Inilah langkah yang kedua agar doa kita mustajab, perlu keselarasan antara langkah-
langkah perbuatan yang kita lakukan dengan permintaan yang kita ajukan kepada Alloh SWT.
Bagaimana contohnya Nabiyulloh Ibrohim as ketika dia meminta, "Ya Alloh karuniakanlah
kepadaku keturunan yang sholih", lalu setelah Alloh SWT memberikan anak, maka Nabi
Ibrohim pun mendidik, menempatkan anak ini dilingkungan yang kondusif, seperti disebutkan
dalam Surat 14, "Ya Alloh aku tempatkan sebagian keturunanku ini ditanah yang tandus,tidak
subur, tetapi di lingkunagn yang kondusif disisi Baitulloh yang mulia, Ya Alloh agar mereka itu
bisa menegakkan Sholat".

Ternyata Nabi Ibrohim tidak hanya meminta dan meminta saja agar anaknya menjadi
anak yang sholih, tetapi kemudian diletakkan dan ditempatkan dalam suatu komunitas yang
kodusif. Nah karena keterpaduan antara permintaan untuk mendapatkan anak yang sholih dengan
langkah-langkah kongkrit dengan menempatkan anak itu di lingkungan yang baik, kemudian
dikabulkan oleh Alloh SWT dalam kurun waktu yang begitu singkat akhirnya Alloh SWT
memberikan karunianya dengan berhasilnya Ismail dididik oleh keluarganya dengan pemantauan
langsung oleh ibunya, kemudian menjadi Pemuda yang cerdas, sholih, dan taat kepada Alloh
SWT.

Begitulah kita bisa amati. Terkabulnya doa Nabi Ibrohim as karena perpaduan doanya
dengan langkah-langkahnya. Oleh karena itu Rosululloh SAW, ketika ada salah seorang sahabat
memohon kepada beliau agar menggunakan doa mustajabnya Rosululloh SAW. Beliau
mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa, "Agar kita memperoleh kesuksesan dan
kemenangan maka kita harus berjuang dulu, kita harus tabah dulu dalam perjuangan baru nanti
kita bermunajat meminta kepada Alloh SWT, bukan belum melangkah belum berjuang kemudian
meminta kemenangan itu."

Inilah dialog antara seorang sahabat yang bernama Khobab bin Arrodh meminta kepada
Rosululloh SAW, "Ya Rosululloh, kenapa tidak meminta untuk kemengan kita saja, minta
pertolongan, kesuksesan dari Alloh SWT, sehingga kita bisa langsung menguasai dan
menaklukkan lawan-lawan kita". Jawaban Rosululloh SAW, "Ya Khobab orang-orang mukmin
dahulu sebelum kita, perjuangan mereka jauh lebih dahsyat, lebih ulet, ketabahan mereka luar
biasa. Sampai sebagian di antara mereka tetap bertahan sekalipun ada yang digergaji kepalanya
sampai belah dua, mereka tetap bertahan sekalipun badan mereka dicabi-cabik dengan sisir besi.
Tetapi kalian ini adalah orang yang terlalu terburu-buru ubntuk meminta dan mendapatkan
kesuksesan dan kemengan itu".

Rosululloh belum mengabulkan untuk menggunakan doanya itu. Tetapi beliau menuntut
untuk bisa berjuang terlebih dahulu dan tabah dalam perjuangan, baru kemudian ditengah-tegah
perjuangan yang ulet, ditengah-tengah ketabahan yang tinggi, lalu kita bermunajat kepada Alloh
SWT.

Masih ada faktor-faktor lain yang menyebabkan permintaan kita cepat dikabulkan oleh
Alloh SWT .dan sekaligus dan membersihkan jiwa dan hati kita.

sumber : Abdul Hasib Hasan alhikmah.com [3.03.2002]

Dunia & Akhirat

Allah Swt membagi kehidupan menjadi dua bagian, yakni kehidupan dunia dan akhirat.
Apa yang dilakukan manusia di dunia akan berdampak dalam kehidupan akhirat, enak dan
tidaknya kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia menjalani
kehidupan di dunia ini. Manakala manusia beriman dan beramal shaleh dalam kehidupan di
dunia, iapun akan mendapatkan kenikmatan dalam kehidupan di akhirat. Karena itu, ketika
seseorang berorientasi memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan di akhirat, maka ia akan
menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya sebagaimana yang ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya.

Ketika manusia berorientasi kepada kehidupan akhirat, bukan berarti ia tidak boleh
menikmati kehidupan di dunia ini, hal ini karena segala hal-hal yang bersifat duniawi sangat
disukai oleh manusia, karenanya Islam tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati
kehidupan duniawinya selama tidak melanggar ketentuan Allah Swt, apalagi sampai melupakan
Allah Swt sebagai pencipta dan pengatur dalam hidup ini.

Manusia memang memandang indah segala hal yang bersifat duniawi dan itu wajar-wajar
saja selama ia tidak merngabaikan tempat kembalinya, Allah Swt berfirman yang artinya:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan disisi Allahlah tempat
kembali yang baik (syurga). (QS 3:14).

Hakikat Keindahan

Muhammad Ali Ash Shabuny di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli tafsir
berbeda pendapat tentang siapa yang menjadikan syahwat itu sebagai sesuatu yang indah.
Pendapat pertama mengatakan bahwa yang menjadikan indah adalah syaitan dengan cara
membisikkan kepada manusia dan menjadikannya tampak indah dihadapan mereka, lalu mereka
condong kepada syahwat itu dan lalai dalam ketaatan kepada Allah Swt, pendapat ini didasari
pada firman Allah yang artinya: Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah
perbuatan-perbuatan mereka (yang salah) lalu menghalangi mereka dari (jalan) Allah, sehingga
mereka tidak mendapat petunjuk (QS 27:24).

Pendapat kedua mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan indah terhadap syahwat
sebagai ujian dan cobaan untuk menentukan siapa diantara mereka yang baik perbuatannya, hal
ini didasari pada firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada
di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka, siapakah diantara mereka yang
terbaik perbuatannya (QS 18:7).
Dua pendapat yang nampak bertolak belakang itu sebenarnya bukan sesuatu yang
bertolak belakang. Allah Swt dan Syaitan sama-sama memiliki “kepentingan” dalam kaitan
dengan syahwat manusia terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi. Allah Swt ingin menguji
manusia agar mereka dapat meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah
Swt, sedangkan syaitan justeru ingin menjerumuskan manusia ke jalan yang sesat.

Oleh karena itu, ketika menafsirkan kalimat: “Dijadikan indah pada pandangan manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini”, Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an mengatakan:
Ungkapan kalimat ini tidak memiliki konotasi untuk menganggapnya kotor dan tidak disukai.
Tetapi ia hanya semata-mata menunjukkan tabiat dan dorongan-dorongannya, menempatkannya
pada tempat tanpa melewati batas serta tidak mengalahkan apa yang lebih mulia dan lebih tinggi
dalam kehidupan serta mengajaknya untuk memandang ke ufuk lain setelah menunjukkan
vitalnya apa-apa yang diingini itu, dengan tanpa tenggelam dan semata-mata bergelimang di
dalamnya. Disinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima
kenyataannya serta berusaha mendidik, merawat dan meninggikannya, bukan membekukan dan
mematikannya.

Sebagian kalangan sufi menganggap bahwa syahwat merupakan sesuatu yang tercela,
karenanya harus dijauhi sehingga mereka cenderung meninggalkan dunia. Padahal bagi seorang
muslim, bukan tidak boleh memiliki dan menikmati kehidupan dunia ini, yang penting adalah
jangan sampai kehidupan dunia membuat manusia menjadi lupa dan lalai, karena hal itu hanya
akan membawa pada kerugian, tidak hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Allah Swt
berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-
anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka
mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 63:9).

Kita memang harus mengakui bahwa syahwat itu bisa positif tapi bisa juga negatif.
Kekhawatiran kita kepada hal-hal yang negatif mestinya tidak sampai kita mengharamkannya,
disinilah letak pentingnya keshalehan manusia, karena bila segala kenikmatan duniawi itu ada
ditangan orang yang shaleh, maka kenikmatan itu akan memberikan kenikmatan yang lebih besar
lagi, ni’mal maalu ash shalih, rajulun shaleh.
Sedangkan bila suatu kenikmatan berada di tangan orang yang tidak shaleh, hal itu akan
sangat membahayakan, tidak hanya membahayakan dirinya, tapi juga membahayakan orang lain.
Kehidupan akhirat memang lebih baik, tapi bukan berarti kehidupan dunia ini jelek dan harus
dicampakkan, karenanya di dalam surat Al Imran: 15, Allah Swt mengemukakan bahwa ada
yang lebih baik dari kesenangan-kesenangan duniawi, ayat tersebut artinya:

Katakanlah : “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian
itu?”. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-
isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya
(QS 3:15).

Di samping itu, Allah Swt juga menegaskan tentang tidak haramnya menikmati hal-hal
yang bersifat duniawi sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?”. Katakanlah: “semuanya itu disediakan
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di akhirat.
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (QS 7:32)

Sikap Kepada Dunia

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bagaimana sikap yang harus kita tunjukkan
kepada dunia. Paling tidak, ada sikap positif yang harus kita miliki dalam memandang kehidupan
dunia.

Pertama, capai segala kenikmatan dunia dengan cara-cara yang baik dan halal, bukan
dengan menghalalkan segala cara dalam memperolehnya. Bahkan seandainya untuk
mendapatkan kenikmatan itu harus dikejar sampai ke ujung dunia, maka hal itu tidak menjadi
masalah, karena Allah Swt memang memerintahkan kepada manusia untuk mencari karunia-
Nya, di muka bumi yang amat luas, hal ini terdapat dalam firman-Nya: Apabila telah ditunaikan
shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS 62:10).
Kedua, gunakan apa-apa yang sudah kita peroleh dengan cara yang baik dan untuk
kebaikan, bukan malah untuk hal-hal yang bisa mendatangkan kerusakan, baik kerusakan diri
sendiri, orang lain maupun kerusakan lingkungan hidup tempat kita menjalani kehidupan ini,
Allah Swt berfirman yang artinya: Dan carilah apa-apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS 28:77).

Ketiga, jangan sampai lupa kepada Allah Swt dalam menikmati hal-hal yang bersifat
duniawi sehingga menikmatinya tetap dalam kerangka bersyukur dan beribadah kepada Allah
Swt, bila itu yang dilakukan, maka kenikmatan duniawi itu akan terasa sedemikian banyak rasa
dan manfaatnya meskipun jumlahnya sedikit, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan (ingatlah
juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih (QS 14:7).

Dengan demikian, apapun yang kita raih dan kita nikmati dalam kehidupan di dunia ini,
semua adalah dalam kerangka membekali diri kita untuk kembali kepada Allah Swt dengan amal
shaleh yang sebanyak-banyak dan ketaqwaan yang setinggi-tingginya. Wallohu a’lam.

sumber : Drs. H. Ahmad Yani alhikmah.com [27.06.2002]

Episode Cinta

Cinta adalah karunia Allah. Bahkan Allah menciptakan alam semesta ini karena
cintaNya. Karenanya alam dan dunia ini adalah lautan cinta. Kekuatannya mampu meluluh
lantahkan arogansi diri dan kerendahan materi. Maka bukan tanpa alasan seorang Saini KM
menuliskan bait-bait terakhirnya dalam puisi Burung Hijau :
Saat kamu tengadah dan dengan tersipu berkata:

'Memang, yang terbaik dari diri kita layak disatukan.'

Saya pun mabuk karena manis buah berkah, dan melihat:

Malaikat menghapus batas antara dunia dan akhirat.

Ibnu Qoyyim Al jauziyah pernah berkata tentang arti sebuah cinta : 'Tidak ada batasan
cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri; membatasinya justru hanya akan menambah
kabur dan kering maknanya. Maka batasan dan penjelasan cinta tersebut tidak bisa dilukiskan
hakikatnya secara jelas, kecuali dengan kata cinta itu sendiri.

Kenyataannya, sejarah Islam mencatat kisah-kisah cinta manusia-manusia langit dengan


tinta emas dalam lembaran-lembaran sejarah peradaban. Sebuah sejarah yang mengartikan cinta
bukanlah utopia dan angan-angan kosong belaka dalam sebuah potret realita.

Tak apalah meregang nyawa bagi seorang Hisyam bin ‘Ash takkala mendengar seorang
saudaranya merintih kehausan dalam peperangan Yarmuk, memberikan air miliknya sementara
bibir bejana hampir menyentuh bibirnya. Atau indahnya ungkapan yang diberikan seorang
sahabat yang mencintai sahabatnya karena Rabb-Nya. Atau seorang Rasul yang memanggil
umatnya takkala sakaratul maut menyapa dirinya.

Teringat episode cantik dalam sejarah seorang wanita yang rela menukar cinta dan
hatinya dengan Islam sebagai maharnya. Takkala Rumaisha binti Milhan dengan suara lantang
menjawab pinangan Abu Tholhah, seorang terpandang, kaya raya, dermawan dan ksatria
'Kusaksikan kepada anda, hai Abu Tholhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul Nya,
sesungguhyna jika engkau Islam, aku rela engkau menjadi suamiku tanpa emas dan perak.
Cukuplah Islam itu menjadi mahar bagiku !' Akhirnya tinta emas sejarah mencatatnya sebagai
seorang ummu Sulaim yang mendidik anaknya, Anas bin Malik dan dirinya sebagai perawi
hadits Rasulullah sementara suaminya menjadi mujahid dalam sejarah Islam.

Melagu hati Sayyid Qutb dalam nada angan akan sebuah keinginan. Lompatan jiwanya
melebihi energi yang ada. Baginya kehidupan dunia bukanlah segalanya. Ia belokkan gelora
yang ada hanya pada pencipta-Nya yang dengannya syahid menjadi pilihan hidupnya. Tiada
mengapa tanpa wanita.

Gejolak gelora percintaan Rabiah dengan Rabbnya mengajarkan keikhlasan akan sebuah
arti penghambaan. Tak sanggup rasanya mengikutinya yang mengharap Ridho-Nya sekalipun
neraka menjadi pilihan akhir tempat tinggalnya.

Lain pula kisah sang Kekasih Allah, Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam. Sebuah kisah
yang menggoreskan samudra hikmah kehidupan bagi manusia yang mengedepankan ketundukan
dan kepasrahan yang terbalut cinta daripada darah daging sendiri untuk menjadi persembahan.

Adakah cinta yang masih ada di hati kita menyamai atau bahkan melebihi cinta mereka
terhadap apa yang mereka cintai? Jika tidak, lantas apa yang membuat kita membusungkan dada
dan mengklaim sebagai pecinta sejati hanya lantaran bunga-bunga kata tanpa makna realita yang
kita lontarkan? Diri kita seringkali mencari pembenaran (apologi) atas ketidak mampuan dan
ketidak berdayaan dalam mengakui segala kelemahan yang kita miliki. Jika cinta yang mereka
hadirkan dapat begitu mempesona bukan hanya karena mereka para sahabat dan shahabiyah atau
para Nabi dan Rasul.

Perlu diingat, mereka juga adalah manusia yang mempunyai keinginan dan
kecenderungan sebagaimana manusia biasa. Artinya kecintaan mereka dapat kita duplikasikan
pada diri kita. Lihatlah bagaimana sejarah kembali mencatat arti sebuah cinta anak manusia
dalam akhir hayatnya, sebuah cinta yang dihadirkan oleh mujaddid akhir zaman, Hasan Al
Banna yang mendahulukan iparnya Abdul Karim Mansur untuk diberi pertolongan justru pada
saat tujuh peluru masih bersarang ditubuhnya……

Ibnu Taimiyah berkata, 'Mencintai apa yang dicintai kekasih adalah kesempurnaan dari
cinta pada kekasih.' Teori ini bukanlah teori belaka. Teori ini merupakan sebuah konsekuensi
logis dan sebuah keniscayaan dari sebuah cinta. Segala daya dan upaya ‘kan menjadi tak
berharga jika ia dapat menjadi serupa. Hal ini berlaku kebalikannya. Membenci apa saja yang
dibenci kekasih adalah kesempurnaan dari cinta pada kekasih. Amboi, indahnya jika semua itu
dilandasi atas kecintaan kepada Rabb-Nya. Dan menundukkan kecintaan lainnya karena ia
hanyalah kenikmatan sesaat.
Sesungguhnya siapakah kita ini kekasihku?

Hanya setitik debu melekat di bintang mati.

Menggeliat sejenak karena embun dan matahari:

Hanya sedetik dalam hitungan tahun cahaya.

(SAINI KM)

Jika saja Sapardi mengungkapkan kekuatan keinginan cintanya dengan bait-baitnya :

AKU INGIN,

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Spardi Dj. D)

Maka Islam mengajarkan indahnya cinta dalam untaian do’a :

'Ya Alloh, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu.
Telah berjumpa dalam taat pada-Mu. Telah bersatu dalam da'wah pada-Mu. Telah terpadu dalam
membela syari'at-Mu. Kokohkanlah, Ya Allah ikatannya, kekalkan cintanya. Tunjukilah jalan-
jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah
dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal pada-Mu.
Nyalakanlah hati kami dengan ma'rifat kepada-Mu. Matikanlah ia dalam syahid di jalan-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong…. Wallahu a’alam.

sumber : Abu Saifulhaq Asaduddin alhikmah.com [18.02.2003]


Islam Agama Peradaban

Keterlibatan agama dalam ranah sosial menjadi isu menarik untuk dicermati belakangan
ini. Munculnya persepsi bahwa realitas sosial tak lagi humanis, kemungkaran terjadi di mana-
mana, saling membunuh antar sesama, begitu pula bunuh diri, merupakan dampak dari
keberadaan umat yang tak lagi mempunyai spirit keimanan. Pun, ritual keagamaan hanya
dijadikan hal yang formal. Pada gilirannya, umat manusia bercerai-berai dan mengingkari
fitrahnya sebagai umat yang satu (ummah wahidah).

Rasulullah SAW pernah bersabda :Akan datang pada manusia suatu zaman ketika Tuhan-
Tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka adalah seks, agama mereka adalah uang, kemuliaan
mereka adalah kekayaan. Tidak tersisa dari iman kecuali namanya, tidak tersisa dari Islam
kecuali upacaranya. Masjid-masjid mereka ramai tetapi hati mereka kosong dari petunjuk.
Mereka tidak mengenal ulama kecuali dari pakaian keulamaan yang bagus. Mereka tidak
mengenal al-Quran kecuali bacaan yang bagus, mereka duduk rapat di Masjid tetapi dzikirnya
dunia dan kecintaannya dunia (Kitab Jami Al-Akhoar).

Sebuah refleksi terhadap hadits di atas bisa jadi membuat kita gelisah, tepatnya jika
disandarkan pada realitas sosial yang saat ini boleh dikata membenarkan apa yang termaktub di
dalamnya. Namun, kiranya kurang tepat jika realitas sosial yang tergambar dalam hadits tersebut
dianggap sebagai sesuatu yang given. Memang banyak kalangan yang menilai bahwa penganut
keagamaan (umat Islam) tak lagi mengedepankan urusan ukhrawi, lantaran mereka lebih sibuk
mengurusi persoalan duniawi. Padahal, urusan ukhrawi tidak serta merta meninggalkan urusan
duniawi. Sinergitas inilah yang ditegaskan dalam Al-quran.

Anehnya, ketika segala peristiwa tentang kemanusiaan selalu dikorelasikan pada teks
hadist maupun al-Quran, inilah yang dalam teologi Islam disebut sebagai teologi Asyariyah-
Jabbariyah, di mana segala sesuatu yang terjadi di muka bumi sudah ditentukan oleh Tuhan sejak
zaman azali. Sejatinya, hadist di atas tidak menjadi alat legitimasi terhadap kondisi umat yang
secara implisit telah kehilangan ruh keimanannya. Namun, lebih dari itu, sebab-sebab turunnya
(asbabul wurud) hadist tersebut juga harus dikaji secara jernih dan komprehensif.
Bagaimanapun, secara sosial dan kultural, kondisi umat saat ini berbeda dengan ketika hadist itu
disampaikan oleh Nabi. Maka kurang relevan jika hadist itu menjadi hal yang dominan serta
menjadi alat justifikasi atas realitas umat Islam saat ini, tanpa ada upaya untuk
mengkontekstualisasikan pesan teks tersebut.

Sebenarnya, problem yang menimpa umat Islam saat ini adalah bagian dari
ketidakpahaman mereka terhadap substansi ajaran agama. Tragisnya, ketika teks agama
dijadikan satu-satunya pijakan dalam mengatasi segala persoalan kemanusiaan, pada akhirnya
ritual-transendental dijadikan jurus ampuh untuk memerangi ketidakadilan sosial.

Meminjam istilah Robert N Bellah, agama sesungguhnya merupakan cara manusia


memahami dunia. Sementara Clifford Geertz mendifinisikan agama sebagai sebuah sistem
simbol yang berperan membangun suasana dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama
dalam diri manusia dengan cara merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum dan
membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan suatu aura faktualitas, sehingga suasana hati dan
motivasi tampak realistik secara unik.

Konsepsi itu meletakkan agama pada sangat posisi urgen dan mempunyai peran
signifikan dalam kehidupan sosial-politik maupun budaya manusia. Di manapun dan kapanpun,
kehadiran agama menjadi sesuatu yang integral dalam membangun peradaban manusia. Lebih
lanjut Frank Whalling ketika berusaha mendifinisikan agama, menyatakan bahwa sebuah
komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di
dalamnya. Salah satunya adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial-politik (involvemen in
social and political contexts). Bahkan Whalling menyebut bahwa Islam adalah agama yang
keterlibatan sosial-politiknya paling tinggi. Ungkapan ini tidak sekadar datang dari luar Islam.
Farid Esack, seorang pemikir liberal Islam, meyakini hal itu.

Menghadirkan Islam sebagai agama peradaban menjadi mutlak adanya. Dengan


demikian, aura keagungan Islam tidak akan layu sampai kapanpun. Hal ini akan terjadi manakala
umat Islam tidak terkooptasi dan terhegemoni oleh teks al-Quran yang kaku, karena teks bukan
satu-satunya yang dominan dalam mencari kebenaran sebagaimana yang diungkapkan oleh Nasr
Hamid Abu Zaid. Farid Esack dalam Qur’an Liberation and Pluralism, memberikan tawaran
kepada umat Islam dewasa ini untuk melakukan reinterpretasi terhadap istilah-istilah agama yang
telah mengalami pembakuan.
Dengan pembakuan itu,akan sulit menciptakan keadilan. Justru yang terjadi adalah,
istilah itu akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Islam,
iman,dan kufr, menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan kesenjangan,
bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis. Sebagai catatan terakhir, penulis ingin
menggarisbawahi bahwa kondisi umat dewasa ini bukanlah kutukan Tuhan atau imbas dari sabda
Nabi, sebagaimana yang secacar tekstual tertera dalam hadis Nabi itu, akan tetapi meminjam
istilah Munir Mulkhan realitas ini menjadi bagian dari hidup manusia dalam proses ber-Islam.

Wallahu alam bissawab.

Abdus Salam Asad alhikmah.com [21.09.2004]

Jangan Sia-siakan Masa Mudamu

Masa muda merupakan masa keemasan setiap anak manusia, masa dimana semua potensi
potensial terkumpul dalam beragam bentuk dan warnanya pada diri pemuda. Masa yang sangat
dirindukan oleh kalangan tua dalam khayalan perkataannya, “Andaikan masa muda dapat
terulang kembali“, bahkan merupakan pondasi tegaknya peradaban suatu bangsa.

Sungguh indah untaian kalimat yang mengalir dari seorang mujahid dakwah yang telah
mengorbankan harta bahkan jiwanya kepada para pemuda didalam suatu liqo`at (pertemuan) :

"Wahai para pemuda ......Sesungguhnya kesuksekasan suatu fikrah (ideologi) dilandasi


oleh keimanan yang mengakar, keikhlasan yang murni dalam menempuh perjalanannya,
semangat yang menggelora dan aktor yang mampu menopang fikroh ini dalam bentuk amal dan
pengorbanan. Keempat perihal ini (keimanan, keikhlasan, semangat dan amal) merupakan ciri
khas para pemuda.

Karena pondasi keimanan adalah hati yang cerdik, pondasi keikhlasan adalah hati yang
suci, pondasi semangat yang menggelora adalah perasaan yang sensitif dan pondasi beramal
adalah azzam (motifasi yang kuat) seorang pemuda. Semua ini tidak terdapat kecuali pada jiwa
pemuda ...!!!”

Akhi & ukhti fiilah ...Berapa banyak waktu yang telah kita sia-siakan dalam keseharian
aktivitas kita, berapa banyak waktu kita yang terbuang sia-sia karena tidak ihtimah (perhatian)
terhadap waktu yang Allah berikan kepada kita. Ia merupakan suatu amanah yang akan dipinta
pertanggungjawabannya oleh Allah pada hari akherat, “waktu mudamu untuk apa engkau
pergunakan?”. berulang kali kita mendengar, membaca, mengucapkan bahkan menelaah
perkataan, “tanggung jawab kita lebih banyak dari waktu yang tersedia.” Ataukah kita lalai dan
melupakannya?

Akhi & ukhti fiilah ...Allah telah mengajarkan kita akan urgensi waktu dalam kehidupan
kita bahkan Allah memperingati kita didalam surat Al ‘Ashr, “Demi masa, Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat
menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. 103: 1-3).

Baginda Rosulullah SAW pun telah berwasiat kepada kita, “waktu itu seperti pedang, bila
kita tidak memotongnya maka kita akan dipotongnya.”

Akhi & ukhti fillah ...Dakwah sangat memerlukan rijal yang mampu memenej waktunya
untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. maju mundurnya umat ini ada ditangan kita sebagai
pemuda. Apakah kita sudah siap? Cobalah renungi nasehat imaniyah dari imam syahid semoga
menjadi bahan renungan untuk menyusun langkah kedepan meraih kejayaan Islam dan muslimin,

“... bertolak dari sinilah sesungguhnya tanggung jawab kalian sangat banyak dan besar ...
diatas pundak kalian terpikul hak-hak dan amanah umat yang harus kalian bawa dan tunaikan ...
oleh karena itu kalian haruslah berpikir panjang, banyak bekerja, meletakan kondisi dan situasi
pada tempatnya dan bersegera mengewejantahkannya serta menunaikan hak-hak umat secara
paripurna.”

Wallahu’alam bish shawab

sumber : Abdurrahman azzam - Cairo alhikmah.com [24.04.2002]


Jihad Tidak Sama Dengan Terorisme

Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan (termasuk Islam). Akan tetapi ketika
terjadi ketegangan atau konflik, agama kerap kali dijadikan alat legitimasi. Sehingga tidak jarang
agama (Islam) dimusuhi, dibenci, disisihkan bahkan diperangi. Hal ini juga dialami para
pemeluknya, termasuk 17 aktivis Islam yang dituduh sebagai teroris yang kemudian ditangkap
meski hukum acara yang dipraktekkan oleh penegak hukum menyalahi KUHAP.

Agaknya itulah fenomena yang dihadapi Islam saat ini. Pasca tragedi WTC, pengeboman
Legian-Kuta- Bali, pengeboman hotel JW Marriot mau tidak mau, Islam khususnya kaum
fundamentalis dijuluki sebagai teroris untuk kesekian kalinya. Hal ini seolah mendapat justifikasi
ketika para sosok fundamentalis seperti Usamah bin Laden, Abu Bakar Ba’asyir, Imam
Samudera dan kawan-kawannya dijadikan tersangka dan dijatuhi vonis atas tindak kriminal
tersebut.

Di sisi lain ada pihak yang melegitimasi tindakan tersebut dengan menganggapnya
sebuah perjuangan suci (jihad), diridhai Tuhan, sehingga bebas dari dosa. Fenomena tersebut
mengindikasikan bahwa seakan Islam memuat doktrin-doktrin suci yang menghalalkan segala
cara dalam mencapai tujuan.

Maka, secara langsung atau tidak dengan bantuan pers Barat, dapat menggiring opini
masyarakat, terutama kalangan barat (non muslim) bahwa Islam adalah agama yang patut
dibasmi karena ajarannya sarat dengan kekerasan. Sehingga tidak mengherankan kalau akhirnya
mengundang reaksi kalangan Barat utuk merubah paradigma, war againts terrorisme menjadi,
war againts Islam.

Sungguh ironis, bagaimana mungkin Islam sebagai rahmatan lil alamin, sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, diberi ajektif sebagai
agama para teroris hanya karena pemahaman yang kurang tepat akan arti fundamentalisme dan
makna Jihad. Keduanya dianggap sebagai momok oleh dunia Barat.

Pada dasarnya fundamentalisme dilihat dari perspektif teologis adalah sebagai bentuk
penghayatan seseorang atas ajaran agamanya dan pendasaran seluruh pandangan dunianya, nilai-
nilai hidupnya pada ajaran agamanya dengan memahaminya secara skipturalis (Suseno.2002).
Sedangkan terorisme adalah berbagai bentuk tindakan yang bertujuan untuk menebarkan
ketakutan, keresahan dalam masyarakat dalam bentuk intimidasi.

Menurut Goddard (2002), fundamentalisme mempunyai banyak arti dilihat dari


perspektif yang berbeda. Secara teologis, ia berarti paradigma mengenai kitab suci dan
bagaimana paradigma tersebut terbentuk. Secara filosofis, ia berarti suatu paradigma yang
mengecam studi kritis terhadap kitab suci. Secara sosiologis ia terkait dengan fenomena
sektarianisme yang menganggap bahwa people outgroup bukan orang yang beriman. Dalam
perspektif historis ia berarti sebuah bentuk keagamaan yang konservatif atau kembali pada asal-
usul keimanan. Dan secara politik ia berarti revolusi atas nama agama, dengan kata lain
seseorang atau sebuah kelompok dianggap sebagai kaum Fundamentalis apabila mereka
menentang pemerintah yang sekuler dan pro-Barat.

Jadi menurut Goddard, penggunaan kata fundamentalisme tidak bisa digunakan secara
sembarangan karena terkait dengan perspektif yang digunakan. Seorang muslim atu kristen bisa
disebut sebagai fundamentalis di satu sisi dan tidak dari sisi yang lain.

Disamping itu hal yang dianggap momok oleh dunia Barat adalah Jihad. Memang selama
ini term Jihad kerap disalah pahami, baik oleh kalangan umat Islam maupun oleh kalangan Barat
(non muslim). Sebenarnya, jihad menempati posisi yang sangat urgen dalam Islam sebagai
mekanisme defensif {mempertahankan diri}.

Tetapi tidak jarang jihad dimaknai dan dipraktekkan sebagai alat untuk menghalalkan
segala cara dalam mencapai tujuan. Jihad yang mempunyai makna yang cukup luas, kemudian
direduksi dan dipahami sebagi perang fisik semata. Akhirnya tidak heran ketika orang
mendengar kata jihad yang terbayang adalah kemarahan membabi buta, lepas dari nilai etika dan
syariah disertai pekik Allahu Akbar.

Menurut Wahbah Zuhaily dalam fiqh al islamy wa adillatuh, jihad berasal dari bahasa
Arab yang berarti pengerahan seluruh potensi dalam menangkis serangan musuh, baik musuh
yang berwujud manusia yang memerangi Islam, setan {segala bentuk kebatilan} atau diri sendiri
{hawa nafsu}. Selain itu jihad juga mencakup segala bentuk usaha yang maksimal dan optimal
untuk penerapan dan penegakan Islam, pemberantasan kedzaliman, ketidakadilan terhadap diri
pribadi maupun masyarakat secara umum. Dalam bahasa Qur’an populer dengan istilah amar
maruf nahi munkar.

Menurut M.Quraish shihab (1998) yang tidak berbeda dengan Ibnu Qayyim, ada tiga
bentuk jihad berdasarkan pelaksanaannya :

Pertama, jihad mutlak yaitu berupa peperangan fisik melawan musuh dengan syarat
peperangan tersebut harus dilakukan karena faktor defensif dan tidak berlebih-lebihan (QS.2:
190), untuk menghilangkan fitnah {QS.2:193}, untuk menciptakan perdamaian {QS.8:61}, dan
untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan (QS.60:8).

Kedua, jihad hujjah, Ibn Taimiyah menyebutnya sebagai al jihad bi al ilm wa al bayan
(jihad dengan ilmu pengetahuan dan argumentasi). Oleh karena itu, jihad model ini mencakup
perjuangan dalam hal intelektual (ijtihad) atau bisa berbentuk dialog atau diskusi argumentatif
dengan pemeluk agama lain (QS.58:11), (QS.3:7), (QS.4:162).

Ketiga, jihad amm yang mencakup perjuangan di semua aspek kehidupan, baik ekonomi,
politik, sosial dan bidang kehidupan lainnya.

Selain itu, seperti halnya diriwayatkan oleh Baihaqi dari jabir bin Abdillah bahwasanya
rasul membagi bentuk jihad menjadi dua yaitu jihad akbar (perang melawan diri sendiri/hawa
nafsu) dan jihad asghar (perang fisik).

Jadi, jihad bukanlah sekedar perang disertai pekik Allahu Akbar, Lebih dari itu, jihad
merupakan suatu bentuk konsekwensi religius. Jihad bukanlah sebuah mekanisme balas dendam
atau sebuah bentuk ekspresi kemarahan yang menggila dan membabi buta. Tetapi jihad adalah
upaya maksimal dan optimal untuk menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
membebaskannya dari segala bentuk eksploitasi, kedzaliman, kebatilan dan ketidakadilan.

Jadi, penegakan dan pelaksanaan jihad jika diartikan sebagai perang, maka tidak boleh
lepas dari sejumlah aturan etika, moralitas, aturan kemanusiaan serta tidak boleh keluar dari
koridor syariah (QS.8:39), (QS.2:190).
Anallisa wacana jihad di atas bermaksud untuk membuktikan bahwa konsep jihad
bukanlah terorisme. Akhirnya diperlukan suatu usaha untuk menghadirkan Islam yang ramah dan
membebaskan Islam dari ajektif sarang teroris. Diantaranya,

Pertama; yang perlu dilakukan bukanlah menghapuskan konsep jihad atau menghapus
mata pelajaran fiqh al jihad dari kurikulum pesantren atau lembaga-lemgaga pendidikan Islam.
Melainkan sangat diharapkan kepada para ulama, dai, para pendidik atau pengajar agar tidak
menghadirkan makna jihad sebagai perang fisik semata kepada umat atau anak didik mereka.

Selain itu diharapkan kepada meraka agar menghadirkan ayat-ayat dan hadits yang
berkaitan dengan jihad secara komprehensip dan bukan secara snapshot. Karena ayat-ayat
tersebut saling berkaitan dan saling menjelaskan satu sama lain. Akan sangat berbahaya jika
ayat-ayat tersebut dihadirkan secara sepotong-sepotong..

Kedua, perlu adanya kerja sama dengan media massa, agar menghadirkan pemberitaan
yang obyektif dan tidak serta-merta ikut-ikutan memviktim agama tertentu begitu kekerasan
terjadi dan memblow up nya secara besar-besaran demi mengejar oplah. Selain itu Islam harus
berani memperkenalkan diri di tengah media Barat. Hal ini penting agar Barat mengetahui the
real Islam dan bukan Islam versi mereka.

Ketiga, perlu dilakukan dialog antara Islam dan Barat. Bukan hanya dialog yang
berkaitan dengan masalah sosial-kemanusiaan tetapi dialog yang menembus wilayah teologis
(Akbar S Ahmed. 2002). Hal ini bertujuan agar Islam mengetahui Barat yang sesungguhnya dan
sebaliknya agar Barat tidak hanya mengetahui Islam perspektif mereka tetapi juga Islam yang
sebenarnya.

Keempat, menuntut pemerintah (dalam konteks Indonesia) untuk menciptakan tatanan


sosial yang berkeadilan. Karena kekerasan {termasuk kekerasan yang mengatasnamakan agama}
seringkali terjadi sebagai suatu bentuk kekecewaan terhadap ketidak adilan (Azyumardi Azra.
2002).

Akhirnya perlu diyakinkan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan dan melegitimasi
segala bentuk kekerasan, pemaksaan dan pertumpahan darah, karena perbuatan tersebut sangat
kontraproduktif dengan ajaran Islam yang mengajarkan toleransi, kebebasan, rahmat dan hikmat
(QS.2:216). Adapun kekerasan yang diklaim sebagai bentuk terorisme selama ini adalah
perbuatan manusianya dan bukan ajaran agama.

Wallahu a’lam bisshawab.

Sekbid IPTEK IMM Cabang Malang

sumber : Hermin Sriwulan alhikmah.com [19.04.2004]

Ketika Kita Harus Berpisah

Setiap hari kita selalu merasakan pertemuan dan perpisahan. Bertemu dengan keluarga,
tetangga, rekan kerja, maupun dengan orang-orang yang belum kita kenal sebelumnya.
Pertemuan rutin ini, diakhiri dengan perpisahan rutin pula. Dalam keluarga misalnya, dengan
masing-masing aktifitas yang berbeda antar anggota keluarga, ada saatnya mereka pergi keluar
rumah dengan tempat tujuan berbeda yang mengharuskan mereka harus berpisah. Setelah itu
mereka bertemu dalam kumpulan keluarga kembali.

Begitulah perpisahan antar anggota keluarga selalu kita rasakan setiap kala. Demikian
pula halnya dengan rekan kerja, setiap hari kita merasakan pertemuan dan perpisahan itu, pagi
dan senja.

Berpisah memang merupakan satu yang pasti dialami oleh setiap manusia yang pernah
bertemu. Bagai dua kutub berlawanan, pertemuan mengharuskan adanya perpisahan maupun
sebailknya.

Pada dasarnya ketika seseorang saling bertemu baik secara individu maupun kolektif,
maka ketika itu mereka mesti menyadari sejak awal bahwa mereka akan berpisah entah kapan,
baik untuk sementara maupun selamanya sepapahit apapun dirasa.
Berpisah bisa secara rutin, untuk jangka waktu dekat, bisa juga untuk jangka waktu yang
cukup lama bahkan bisa jadi perpisahan selamanya. Illustrasi di atas adalah contoh jenis
perpisahan yang pertama yakni perpisahan rutin atau berkala. Perpisahan dalam waktu yang
cukup lama misalnya perpisahan seseorang dengan rekan studi setelah kelulusannya, perpisahan
antar rekan kerja setelah keluarnya, dan lain sebagainya.

Perpisahan untuk jangka waktu yang lama misalnya ketika seseorang maninggalkan kita
berpindah menuju alam barunya (alam qubur –red). Perpisahan untuk jangka waktu selamanya
adalah perpisahan hakiki antara kebenaran dan kebathilan, antara keimanan dan kekufuran,
antara tauhid dan syirik. Secara hakiki, keduanya tidak mungkin bertemu untuk selamanya.
Sebab, keduanya adalah perpisahan antara kebahagiaan dan kesedihan.

Keadaan ini menuntut pelakunya berpisah untuk selamanya. Di akhirat kelak, mereka
juga tidak pernah bertemu lagi kecuali dialog-dialog singkat kesenangan dan penyesalan antara
penghuni surga dan neraka. Alloh SWT menggambarkan dialog singkat itu, di antaranya:

Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka (dengan


mengatakan): 'Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami
janjikankepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang
Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?' Mereka (penduduk neraka) menjawab: 'Betul'.
Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: 'Kutukan
Allah ditimpakan kepada orang-orang yang lalim, (yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir
kepada kehidupan akhirat.'

Penghuni neraka menyeru penghuni surga: 'Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau
makanan yang telah dirizekikan Allah kepadamu'. Mereka (penghuni surga) menjawab:
'Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir, (yaitu) orang-
orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia
telah menipu mereka'. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana
mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Kami.
Secara psikologis, semakin lama seseorang bertemu, semakin lama pula ia merasakan
kenangan; kenangan manis maupun sebaliknya. Intensitas interaksi antar mereka juga
menentukan kenangan ini.

Saya berharap kita tidak pernah berpisah dalam menghamba kepada-Nya, sehingga pada
saatnya nanti ketika –secara fisik-- perpisahan itu harus kita lalui, namun hati tetap bersatu dan
bertemu dalam cinta-Nya. Jika sebelumnya kita mengenal pertemuan mengharuskan perpisahan,
ketahuilah sesungguhnya dalam cinta dan kasih-Nya kita tidak pernah mengenal perpisahan itu.
(mus)

sumber : Mustofa alhikmah.com [26.12.2002]

Nilai Seorang Perempuan Muslimah

Betapa rendahnya wanita islam sekarang, banyak mereka yang mengaku dirinya islam
tapi sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang wanita yang islami. Justru banyak dari
mereka yang merusak agamanya sendiri.

Dalam hal ini saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa saya sendiri terkadang juga
pernah melakukan hal yang mencoreng agama saya sendiri. Sebagai seorang muslimah tidak
sepantasnya kita berperilaku seperti orang-orang jahiliyah dahulu, memang untuk melakukan hal
itu sekarang sangatlah sulit, tapi bukan berarti kita harus melepas aqidah ataupun melupakan apa
yang seharusnya tidak boleh kita lakukan sebagai seorang muslimah.

Banyak sudah wanita-wanita islam yang sudah keluar dari jalur keislamannya hanya
karena menuruti hawa nafsunya saja. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terlihat batasannya, busana-busana yang tidak lagi menutupi aurat (berjilbab tapi masih kelihatan
celana dalamnya) adanya pendapat tentang berpacaran secara islami, itu semua adalah bohong
dan tipu daya syetan agar manusia terjerumus dalam siksa neraka saja. Dan yang lebih
memprihatinkan lagi pelaku-pelaku maksiat tersebut justru orang yang berpendidikan tinggi
seperti mahasiswa ataupun mahasiswinya.

Bisa kita lihat sekarang ini betapa banyaknya perempuan yang sudah tidak perawan lagi,
tapi mereka tidak punya malu dan masih merasa dirinya suci dengan tetap entengnya untuk bisa
mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi. Naudzubillah.

Saya lebih heran lagi dan jujur juga sangat jijik perempuan-perempuan tersebut ternyata
adalah mereka yang tahu tentang agamanya juga mereka berjilbab, astaghfirullah. Betapa
malunya saya, sebagai salah satu pengikut jilbab harus ikut menaggung dengan mencoreng
wanita yang berjilbab. Jilbab tidak lagi mereka gunakan sebagai hiasan mahkota muslimah tapi
hanya sebagai tameng untuk menutupi kebusukan mereka.

Padahal ciptaan Allah SWT pertama kali untuk perempuan adalah alat vitalnya dimana
itu adalah amanat terbesar yang dititipkan kepada kita, namun begitu mudahnya kita melanggar.

Jangan kita menangis atau menyalahkan orang-orang yang duduk didalam pemerintahan
atas apa yang sudah menimpa negara kita, ini semua tidak lain adalah perbuatan kita sendiri yang
sudah banyak berbuat kerusakan dimuka bumi ini. Negara Indonesia tidak akan menjadi negara
terhormat bila wanita-wanitanya tak lagi bisa menjaga kehormatan dirinya. Wanita adalah tiang
negara, jika tiangnya saja sudah ambruk bagaimana mungkin negara tersebut bisa berdiri tegak
dan kokoh.

Mari kita sama-sama saling membenahi diri selagi kita masih diberi kesempatan untuk
bisa melakukan yang bermanfaat. Dan para wanita muslimah umumnya dan mahasiswi
khususnya janganlah kalian menjadi salah satu bahan bakar neraka jahanam, tunjukkan identitas
kalian sebagai seorang muslimah sejati dengan menegakkan agama Allah dan juga menjaga
kehormatan kaum muslimah, itu tidak sulit tapi memang berat namun jika kita berhasil maka kita
akan sama nilainya dengan para mujahid-mujahid yang berperang di jalan Allah. Jadilah ladang
yang subur dan bagus, sehingga bisa menghasilkan tanaman-tanaman yang berkualitas baik
secara ilmu ataupun secara agamis.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan melindungi kita semua dari hal-
hal yang munkar. Ingat manusia yang paling mulia adalah manusia yang bisa mengendalikan
hawa nafsunya, wallahu allam bishowab.

sumber : Hesi Nur Rohmayanti alhikmah.com [27.09.2004]

Pacaran = Percobaan Tindak Pidana Perzinahan?

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
menjalan hukum Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman"
(QS.An-Nuur:2)

Tidak di kampus, tidak di kantor, tidak di pertokoan, tidak di bus, tidak di kereta api,
lebih-lebih di tempat-tempat hiburan dengan mudah kita akan temukan dua sejoli yang belum
terikat tali pernikahan asyik berduaan, bergandengan tangan bahkan berpelukan mesra. Kadang
kita menjadi kikuk karenanya. Mau ditegur jadi ribut. Tidak ditegur merusak pandangan.
Akibatnya perjalanan kita menjadi tidak nyaman.

Itulah pacaran. Salah satu budaya sekaligus gaya hidup kaum muda Indonesia. Dengan
alasan penjajakan pra nikah, berbagai carapun dilakukannya. Yang penting katanya “Tidak MBA
(Married By Accident)”. Meskipun realitas membuktikan tidak sedikit para remaja yang hamil
sebelum nikah. Dan telah melakukan hubungan badan sesama lawan jenisnya.

Sehubungan dengan itu, mari kita kaji masalah ini dalam tinjauan hukum positif
Indonesia. Pada saat yang sama kita juga perlu membandingkannya dengan hukum Islam,
sebagai referensi dan pedoman tertingggi bagi kehidupan kaum muslimin. Sehingga dengan ini,
kita sebagai kaum muslimin dapat menentukan sikap berkaitan dengan masalah pacaran ini. Baik
terhadap diri kita, saudara kita, anak kita, tetangga kita atau teman dan kolega kita.

Dalam Hukum Positif


Dalam KUHP Indonesia, kita tidak temukan istilah pacaran. Namun bukan berarti
masalah ini tidak diatur dalam KUHP. Karena dalam Bab XIV diatur masalah kejahatan terhadap
kesopanan. Khususnya pasal 281 yang menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak
kesopanan dimuka umum diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan. Yang dimaksud dengan merusak kesopanan ini, R. Susilo dalam bukunya “Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya” antara lain yaitu mencium lawan jenis
dsb. Dan sebagainya disini bisa berarti pula berpelukan tergantung kebijakan hakim dalam
memtuskan masalah ini. Tergantung pula dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku pada
sebuah masyarakat.

Yang perlu digarisbawahi tindakan ini harus dilakukan di depan umum. Diantaranya
yaitu di terminal, stasiun, tempat perbelanjaan, gedung bioskop, kampus dan perkantoran. Dan
harus dilakukan dengan sengaja. Yang dibuktikan dengan tindakan saling berpelukan atau
berciuman di depan umum. Sedangkan bagi mereka yang melakukan diluar tempat umum tidak
dapat dikenakan delik ini. Karena unsur di tempat umum tidak terpenuhi.

Dari ketentuan itu sebenarnya cukup jelas bahwa pacaran yang dibarengi dengan pelukan
atau berciuman di depan umum dapat dianggap sebagai kejahatan yang diancam dengan penjara
2 tahun 8 bulan.

Masalahnya adalah karena terjadinya pergeseran budaya, sehingga tindakan semacam itu
sepertinya telah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar oleh sebagian besar orang tua, pendidik
dan aparat penegak hukum lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan bangsa Indonesia
telah menurun. Demikian halnya rasa malu yang dimiliki bangsa ini. Padahal Rasulullah
menyatakan Al Hayaau minal iiman (malu adalah sebagian dari iman). Lalu dimana letak
keimanan kita jika membiarkan anak-anak kita melakukan hal itu ???

Menurut Hukum Islam

Sebelum kita berbicara masalah pacaran dalam tinjauan hukum Islam kita perlu lebih
dahulu memahami maslah hudud, qishash dan ta’zir. Yang dimaksud dengan hudud adalah
ketentuan–ketentuan pidana yang telah diatur secara tegas dan jelas termasuk jenis hukumannya
dalam Alqur’an atau sunnah Nabi dan yang merupakan hak prerogratif Allah Swt. Semisal
mencuri, menyamun, berzina, dan memfitnah.
Sedangkan qishash adalah pembalasan setimpal sehubungan dengan pembunuhan atau
penganiayaan dimana hak menentukan hukumannya diserahkan kepada korban atau ahli waris
korban. Apakah ingin membalas yang setimpal, membayar denda atau memaafkan pelakunya.

Adapun ta’zir adalah ketentuan yang diatur oleh penguasa atau hakim selain dari kedua
hal diatas (hudud dan qishash). Fungsinya yaitu untuk mengisi kekosongan hukum. Semisal
masalah percobaan pembunuhan atau percobaan pencurian atau percobaan perzinahan yang tidak
diatur dalam syariat Islam. Disini penguasa atau hakim diberikan wewenang untuk menentukan
besarnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku tindak pidana.

Kembali ke masalah pacaran, penulis juga cukup terkejut ketika membaca buku “Al
Ahkam Al Sulthaniyyah” halaman 459 karya Imam Al Mawardi. Ternyata dalam hukum Islam
pacaran dimasukkan sebagai salah satu bentuk percobaan tindak pidana perzinahan. Dimana
hukumannya ditentukan oleh ta’zir penguasa atau hakim.

Menurut beliau pacaran yang dibarengi dengan ngobrol berduaan dalam satu
kamar/rumah maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak tiga puluh kali (30). Jika berduaan
dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai bersetubuh dikenakan hukuman cambuk
sebanyak enam puluh (60) kali. Jika ngobrol dijalanan maka dikenakan dua puluh (20)
cambukan. Jika saling mengikuti dengan saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman
cambuk sebanyak sepuluh (10) kali.

Hal itu selaras dengan ayat ayat 32 surat Al Israa’ yang artinya “Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”.

Disini cukup jelas bahwa yang dilarang bukan hanya zina, bahkan segala sesuatu yang
dapat menghantarkan seseorang jatuh kepada perbuatan zina. Satu diantaranya adalah pacaran.
Karena pacaran akan menghantarkan pada zina hati, penglihatan, pendengaran dan tangan.

Karena itu dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk menundukkan pandangan
(ghadhul bashar). Firman Allah artinya :

“Katakanlah kepada laki-laki beriman “ hendaklah mereka menundukkan / menahan


pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(An Nuur : 30).
Jalan Keluar

Masalah yang timbul sekarang adalah bagaimana dengan anak-anak, teman atau saudara
kita yang saat ini pacaran. Haruskah kita cambuk sesuai hukum Islam? Tentu saja tidak semudah
itu, karena hukum pidana Islam belum diformalkan di negeri kita. Jalan keluar yang paling
mungkin yaitu dengan cara mensegerakan mereka menikah. Kalau mereka masih sekolah atau
kuliyah bisa dengan cara nikah gantung sebagaimana terjadi dalam hukum adat masyarakat jawa.
Yaitu menikahkan secara resmi tapi belum boleh berkumpul dalam satu rumah dan melakukan
hubungan suami istri.

Hal itu juga pernah dicontohkan Rasulullah ketika menikahi ‘Aisyah, karena saat itu
Aisyah belum menginjak baligh. Dan Rasulullah baru berkumpul dalam satu rumah setelah
‘Aisyah dewasa atau baligh. Model nikah semacam inilah yang seharusnya kita populerkan.
Sehingga pacarannya menjadi resmi, karena dilakukan setelah ijab kabul. Sehingga ketika sang
suami yang nikah gantung apel pada malam minggu akan merasa tenang dan nyaman. Tidak
takut ditangkap hansip apalagi dicambuk hingga puluhan kali.

Lalu bagaimana dengan yang belum pacaran dan belum menikah. Jalan keluarnya yaitu
dengan cara mencari istri lewat orang tua, ustadz atau teman. Apabila sudah cocok setelah
melakukan penyelidikan terhadap sang calon segera saja dilamar dan dinikahi. Hal ini pernah
dicontohkan oleh orang tua kita. Meskipun mereka tidak berpacaran toh anaknya banyak dan
perkawinannya kekal hingga akhir hayat. Ini sangat berbeda dengan para artis dan anak muda
sekarang, meskipun berpacaran cukup lama, tapi toh tingkat perceraiannya cukup tinggi.

Model pernikahan semacam itu juga sudah mulai dipraktekkan oleh para aktivis dakwah
kampus dan anak-anak tarbiyyah Islamiyyah. Dan alhamdulillah menurut pengamatan penulis
perjalanan rumah tangga mereka berjalan dengan baik, aman dan nyaman. Jika anda masih ragu-
ragu jangan segan-segan bacalah buku “Indahnya Pernikahan Dini” atau buku “Berpacaran
Dalam Islam”. Mudah-mudahan dengan itu budaya pacaran lambat laun akan hilang dari
kehidupan masyarakat Indonesia yang mengaku religius ini. Wallahu ‘alam.

Haryanto alhikmah.com [27.07.2002]


Setitik Harapan

Kisah ini bukanlah dongeng pengantar tidur. Juga bukan kisah dari negeri antah berantah.
Apatah lagi kisah pengantar kuliah. Kisah ini adalah kisah nyata anak manusia. Sebuah kisah
perjalanan hidup yang tak ada dusta. Ketika anak-anak bertelanjang dada memainkan alat musik
seadanya di setiap perempatan lampu merah. Setiap langkahnya penuh harapan bahwa kan ada
seseorang yang menaruh hati memberi uang receh yang tak pernah terpikir harganya bagi orang
tersebut namun menjadi penyambung hidup mereka. Tak peduli masa kanak-kanaknya terenggut
dengan mengepalkan tangan mungil mereka mencoba merobohkan sekat dunia yang ada. Atau
kisah ketika barisan ibu-ibu rumah tangga dalam antrian tuk sekedar mendapatkan minyak tanah
bagi keluarganya.

Sekelumit kisah para sarjana yang menganga dengan ijasahnya. Bersama 2,5 juta rekan
sarjananya yang lulus setiap tahunnya berbaris dalam antrian lowongan pekerjaan. Ah rasanya
angka 40 juta pun tak bisa menampung pencari kerja murni saat ini. Sementara para pemuda
lainnya berada dalam barisan 1,7 juta para pengguna narkoba. Ibarat gunung es, angka ini
merupakan sebuah angka yang fantastis dalam realita.

Di negeri yang bak surga dunia ini, anak-anaknya tak mampu tuk sekolah. Pendidikan
bagi mereka adalah barang mewah yang setara dengan sofa peristirahatan tetangganya. Yang
tertinggal adalah semangat untuk mendapatkannya sementara sarana yang adapun ambruk
termakan usia. Ah, sekiranya 167 trilliun APBN sejak tahun 1999 sampai 2004 dapat
terselamatkan, tentu mereka bukan hanya dapat sekolah. Sementara keberpihakan atas ghorimin
berdasi yang melarikan dana negara menjadi sandiwara yang biasa.

Begitu banyak derita bangsa ini. Seakan samudra tinta takkan cukup tuk menuliskannya.
Sekiranya saja orang-orang yang diberi amanah di pundak mereka memahami bagaimana para
pendahulu mereka memegang amanah. Takkala Abu Bakar As shiddiq dibalik kelembutannya
dengan sigapnya siap memenggal bagi siapa saja yang mencoba merongrong syariat-Nya. Atau
Umar bin Khattab yang mengangkat sendiri gandum yang akan diberikan kepada rakyatnya.
Pemimpin spt Umar bin Abdul Azis yang menyerahkan semua hartanya kepada negara.
Pemimpin yang menyerap sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh penghulu semua pemimpin,
yaitu Shaft, (shiddiq, amanah fathonah dan tabligh). Dan kewajiban kita semua untuk
mewujudkan pemimpin seperti itu, tanpa usaha kita –sekecil apapun itu-, semua harapan tersebut
hanyalah utopia belaka.

sumber : Abu Saifulhaq Asaduddin alhikmah.com [4.10.2004]

Tentang Kita

'Never judge a book from it's cover,' tentunya ungkapan tersebut tidak lagi asing di
telinga kita, ungkapan ini seringkali dilontarkan untuk mengingatkan seseorang agar tidak cepat-
cepat mengambil kesimpulan mengenai kepribadian seseorang berdasarkan penampilan awal
mereka, baik itu kesimpulan yang negatif maupun yang positif.

Dalam maknanya yang tersirat, ungkapan ini meminta kita untuk tidak terburu-buru
memberikan kesimpulan akhir pada sebuah buku sebelum membacanya halaman per halaman
dari awal hingga akhir (from cover to cover). Misalnya saja, jika pada halaman-halaman awal
sebuah buku terasa membosankan, adalah ketergesa-gesaan jika kita kemudian menjadikan
kenyataan tersebut sebagai dasar bahwa buku tersebut membosankan dan buruk bagi kita hingga
kita memiliki alasan untuk 'mencampakkannya', bisa saja pada halaman pertengahan hingga
akhir buku tersebut memberikan kejutan-kejutan menarik yang pada akhirnya membuat kita
kemudian beralih memberikan penilaian yang baik tentang buku tersebut, bahkan
merekomendasikan buku tersebut pada orang lain.

Kenyataannya, ada buku yang judulnya tampak tak menarik namun ketika membacanya
kita serasa dihanyutkan oleh isinya yang luar biasa, belum lagi manfaatnya bagi peningkatan
kualitas diri kita. Namun ada juga buku yang judulnya sangat menarik begitupula rantaian
kalimat-kalimatnya, namun ternyata memiliki pengaruh yang buruk bagi kita. Begitu beragam,
begitu misterius, namun begitu menarik....demikian pula halnya dengan kita, manusia.

Manusia tentu saja tidak bisa disamakan dengan buku, namun setiap petuah pastilah
menyimpan kearifan yang mendalam, maka adalah sikap yang bijak jika kita kemudian
menjadikan petuah di atas sebagai pedoman kita dalam berhubungan dengan sesama manusia.
Bukan untuk membuat kita semakin memperbesar rasa curiga kita, atau melebih-lebihkan sikap
kehati-hatian kita dalam bergaul, namun sebaliknya agar kita menjadi lebih arif dalam menyikapi
kelemahan-kelemahan orang lain.

Jika buku hanyalah merupakan objek pasif yang ditulis oleh sang subjek, maka manusia
adalah subjek sekaligus objeknya, ia adalah tulisan yang ia tulis sendiri. Manusialah yang
bertanggung jawab atas citra dirinya sendiri. Tidak seperti sebuah benda mati, manusia memiliki
kemampuan untuk berpikir, merenung, menghayati setiap perjalanan hidupnya, setiap
perilakunya, karenanya manusia memiliki potensi untuk mengubah dirinya, mengubah citranya,
mengubah tulisan yang tadinya membosankan dan tidak berguna menjadi tulisan yang menarik
dan bermanfaat bagi para pembacanya. Karenanya selagi manusia tersebut masih diberi
kesempatan untuk terus 'menulis', tetap tidak boleh ada kesimpulan baku mengenai dirinya.

Setiap kita pasti pernah mengalami kekecewaan karena keburukan sikap orang lain,
namun apakah bijak bila kemudian kita gegabah memberikan kesimpulan yang buruk mengenai
orang tersebut, sementara Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menutup akhir
kehidupannya dengan kebaikan?

Setiap kita juga pasti pernah mengecewakan orang lain dengan sikap buruk kita,
karenanya apakah juga bijak bila kita menyepelekan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan
dengan terus menerus melakukan perbuatan serupa? Relakah kita bila kemudian berakhir
bagaikan sebuah buku yang tidak menarik dan tidak berguna, yang hanya dikenang dan dihujat
keburukannya, atau bahkan tidak patut untuk dikenang sama sekali?

Karena kitalah yang mengawali penulisannya di halaman pertama, maka kitalah yang
menentukan bagaimana kita akan menutupnya pada halaman terakhir.

Selamanya, Tuhanlah penguasa kebenaran dan kesempurnaan.

sumber : mr alhikmah.com [30.04.2004]


Untuk Kesekian Kali Kutulis: “Antara Cinta Dan Hukum”

"Keimanan memang tidak selalu memuaskan persepsi manusia, tetapi sering menuntut
persepsi ruhani dan kebeningan jiwa." (Sri Vira Chandra).

Berangkat dari rasa penasarannya terhadap seekor kucing, yang setiap kali diberi
potongan daging, setiap kali itu juga ia berlalu dengan potongan tersebut, lalu kembali dalam
waktu sekejap. Ibnu Babsyaz (salah seorang pakar Nahwu di negeri Kinanah) memutuskan untuk
mengikuti arah kucing tersebut. Kucing itu mengarah ke sebuah sudut reruntuhan bangunan kuno
yang di situ terdapat seekor kucing buta yang setia menanti. Ternyata, potongan daging yang ia
bawa itu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi ia letakkan tepat di hadapan kucing buta itu, agar ia
dapat menyantapnya.

Melihat hal itu Ibnu Babsyaz berkomentar: “jika kucing buta ini dijamin kehidupannya
oleh Allah melalui seekor kucing yang tidak buta, lalu bagaimana mungkin Allah menyia-
nyiakan makhluk seperti aku ini? (Rawa’i wa Tharaif, oleh Ibrahim an-Nikmat, hal. 143). Dan
demikianlah kasih sayang Allah SWT yang amat luas.

Tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki indra serta kemampuan bergerak, dengan kasih
sayang-Nya, Allah menganugerahkan baginya akar, dengan akar tersebut ia mampu
mengumpulkan beragam komponen, berupa air, udara serta tanah-tanah halus yang kemudian
disalurkan ke berbagai dahan dan ranting. (Hujjatullah Al-Bâlighah 1/44).

Begitu juga, ketika seorang ibu dengan momongan bayinya yang sedang menyusui
datang menghadap Rasulullah SAW, Rasulullah bersabda kepada sahabat-sabatnya: “Menurut
kalian, apakah ibu ini tega membuang anaknya ke dalam api?" Para sahabat menjawab: “Demi
Allah, ia tidak akan melakukannya”. Rasulullah SAW bersabda: “Allah lebih penyayang dan
pengasih kepada hambanya di banding ibu itu kepada anaknya.” (HR. Muslim: 2745).

Ketiga gambaran di atas hanyalah setetes kasih sayang Allah SWT untuk makhluknya
dari luasnya kasih sayang yang dimiliki-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT
menjadikan kasih sayang itu menjadi 100 bagian, di sisi Allah terdapat 99 bagian, sedang 1
bagian diturunkannya ke bumi, dari 1 bagian itulah makhluk hidup saling berkasih sayang.” (HR.
Muslim: 2752)
Jika kasih sayang Allah sedemikian besar terhadap makhluknya, lalu patutkah
makhluknya tersebut meragukan hukum-hukum yang Ia turunkan kepada hamab-Nya melalui
Rasul-Nya? Layakkah makhluknya berkata: "Hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an tidak
sesuai dengan zaman modern saat ini?"

Dengan kasih sayang-Nya, kembali Allah SWT mengingatkan hambanya untuk tidak
berpaling dari hukum-Nya. Allah Swt berfirman: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
hendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin? (QS. Al-Maidah:50).

Berhukum kepada selain Allah, menyebabkan dua konsekwensi, Pertama: Kafir I’tiqadi
(secara keyakinan) yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Kedua: Kafir Amali (secara
amalan) yang tidak mengeluarkannya dari agama (al-kufr dûna al-Kufr).

Kafir keyakinan (terhadap hukum Allah), mengeluarkan pelakunya dari agama. Ia


beragam bentuknya, diantaranya:

Pertama: Kelompok yang menentang hukum Allah dan rasul-Nya, kafir menurut
kesepakatan ahli ilmu. Merupakan ketetapan dasar, bahwa mengingkari salah satu ushul dari
ushul-ushul agama ini adalah kafir dan menyebabkan pelakunya keluar dari Millah.

Kedua: Kelompok yang tidak mengingkari hukum Allah dan Rasul-Nya bahkan
mengakui eksistensinya, tapi bersamaan dengan itu ia berkeyakinan bahwa hukum selain hukum
Allah adalah lebih baik, lebih sempurna, dan lebih merangkul. Tidak diragukan lagi bahwa
kelompok ini adalah kafir dan pelakunya keluar dari millah, karena ia telah mengunggulkan
hukum produk makhluk yang tidak lebih dari pada sampah pemikiran dari pada hukum Allah
yang maha bijaksana lagi maha terpuji.

Ketiga: Kelompok yang tidak meyakini bahwa hukum d luar hukum Allah dan Rasul-Nya
adalah lebih baik dari pada hukum Allah dan Rasul-Nya, tetapi berkeyakinan bahwa hukum
keduanya adalah sama baiknya. Maka kelompok ini keadaannya tidak jauh berbeda dengan
dengan dua kelompok sebelumnya, yaitu kafir dan menyebabkan pelakunya keluar dari Millah.
Karena ia telah mensejajarkan antara sang Pencipta dengan makhluk, padahal Allah SWT
berfirman: “(Allah) tidak ada yang serupa dengan-Nya" (QS. Asy-Syura’:11)
Keempat: Kelompok yang tidak menyakini bahwa hukum di luar hukum Allah dan
Rasul-Nya sama baiknya dengan hukum Allah dan Rasul-Nya apalagi menyakini lebih baik dari
pada kedua-Nya, tetapi ia berkeyakinan bahwa boleh berhukum dengan sesuatu yang menyalahi
hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka ia juga telah kafir dan keluar dari millah, karena ia telah
meyakini bolehnya melanggar sesuatu yang sangat jelas keharamannya.

Kelima: Kelompok yang lebih parah dari pada kelompok-kelompok sebelumnya,


kelompok yang paling pembangkang dan yang paling terang-terangan menentang bahkan tidak
segan-segan menghina Allah dan Rasul-Nya. Mereka berusaha menutup dan mengunci syariat-
syariat Allah dengan serapat-rapatnya, dan sebagai gantinya mereka menjadikan hukum buatan
manusia sebagai pedoman dan undang-undang hidup, seperti undang-undang Perancis, Amerika,
Inggris dan lain-lainnya.

Kelompok ini banyak tersebar di negara-negara yang banyak berpenduduk muslim. Lalu
dimanakah akal sehat orang-orang seperti ini? bukankah hukum buatan itu adalah di produk
orang-orang seperti mereka juga, yang pemikiran-pemikirannya pun tidak jauh berbeda dengan
manusia-manusia lainnya, yang tidak mustahil mengandung kesalahan, bahkan salahnya lebih
banyak dari pada benarnya, atau sama sekali tidak memiliki kebenaran kecuali jika bersandar
kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.

Keenam: Kelompok yang berhukum dengan hikayat-hikayat nenek moyang mereka atau
dari adat-adat yang mereka warisi secara turun-temurun dan dijadikan sebagai sumber rujukan
ketika terjadi persengketaan di antara mereka. Mereka lebih senang kejahiliyaan mereka dari
pada kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Kelompok ini pun kafir dan keluar dari
millah.

Adapun bagian yang kedua dari pembagian kafir adalah kafir yang tidak mengeluarkan
dari millah. Yaitu, mereka yang senantiasa mengikuti syahwat dan hawa nafsunya dalam
berhukum di luar hukum Allah, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap meyakini bahwa hukum
Allah dan Rasul-Nya adalah hak dan mengakui pada dirinya sendiri bahwa perbuatannya adalah
keliru dan sangat jauh dari kebenaran. Kelompok ini walaupun kekafirannya tidak
mengeluarkannya dari millah tetapi ia telah melakukan sebuah kemaksiatan yang besar. Fa’tabiru
Yaa Ulil Albab.
Wallahu A'laa Wa A'lam bi Ash-Shawab. [deruja_chandra@yahoo.co.uk]

sumber : Asha Gazzaz alhikmah.com [19.03.2004]

Jaga Dermagamu, Dik!

“Dik, jangan gegabah seperti itu, pikirkan dulu masak-masak dampaknya kelak. Sayang
jika kau nodai apa yang sudah dengan susah payah kau bangun dan bina selama ini. Bersabarlah,
saatnya pasti akan tiba. Saat yang telah diputuskan Allah sejak kau dalam rahim ibumu. Pada
hari yang dijanjikan itu, pasti akan bersua jua dirimu dengannya.”

“Adik sudah cukup lelah bersabar, kak. Sampai kapan adik harus menunggu? Sementara
detik demi detik terus berpacu, adik sudah tidak muda lagi sekarang”

“Semua wanita memiliki fitrah yang sama, ingin segera membina sebuah keluarga. Tapi
jodoh itu kan Allah yang mengatur. Kau tidak sendiri, dik! Masih banyak saudari-saudarimu
yang usianya jauh lebih tua darimu juga belum diperkenankan Allah untuk memikul amanah itu.
Kau sendiri tahu kan berapa umur kakak ketika menikah...”

“Ya, kalau pada akhirnya happy ending seperti kakak...Kak, semua saudara seperjuangan
juga sudah angkat tangan membantu mempertemukan adik dengan laki-laki pilihan itu, terus apa
nggak boleh kalau kemudian adik berusaha sendiri?”

“Adikku sayang, bukan berarti kau tidak boleh mencari sendiri. Tapi kecenderungan rasa
kita pada seseorang biasanya akan membutakan mata hati kita karena semua yang ada pada si dia
akan terlihat begitu indah tanpa cela. Cukuplah kakak yang mengalaminya. Ingat, dik, sesal itu
selalu datang diakhir cerita”

“Tapi laki-laki dari kantor pusat itu orang baik, kak! Dia rajin sholat, santun dan ikut
pengajian rutin. Menurut teman-temanku sih begitu...”

“Teman-temanmu yang mana? Teman-teman kantor yang kau bilang biasa dugem di
kafe-kafe sampai pagi? Sudah berapa kali kakak bilang jauhi mereka! Dan laki-laki itu, apakah
bisa disebut laki-laki baik kalau dia tak pernah absen mengirim puisi-puisi sentimentil untukmu?
Jangan-jangan dia juga biasa mengirim puisi-puisi itu ke perempuan-perempuan lain. Atau gara-
gara dia selalu mengirim sms untuk mengingatkanmu sholat, lalu kau anggap dia itu laki-laki
baik? Ironisnya, mengapa dia tidak mengirim sms yang sama kepada teman-temanmu yang lain
supaya mereka juga ingat sholat...”

“Ah, pasti kakak mau bilang bahwa dia bukan laki-laki yang tepat untuk adik, kan? Kak,
yang namanya laki-laki sholeh itu jauuuuh...jauh di ujung laut sana. Kalaupun dia mau berlabuh,
pasti akan memilih dermaga yang bagus. Dermaga yang cantik, pintar, kaya, tinggi, putih bersih,
dst...dst! Kalau seperti aku dengan tampang cuma nilai enam, IQ standar, pegawai biasa dan kulit
sawo kematangan sih nggak bakal masuk hitungan. Waiting listnya kepanjangan, kak!”

“Ya, berusaha dong menjadi dermaga yang bagus. Dermaga yang bagus kan nggak selalu
dengan kriteria seperti itu. Perbaiki dermagamu dengan mempercantik akhlak, memperbanyak
ibadah, meningkatkan potensi diri, dengan izin Allah pasti akan ada yang berlabuh juga.”

“Kakak nggak ngerti sih. Siapa sih yang nggak mau berjodoh dengan laki-laki pilihan
yang punya tujuan hidup sama dengan kita. Laki-laki sholeh, yang akan membimbing istri dan
anak-anak ke surga...Kalaulah pada akhirnya adik berjodoh dengan laki-laki yang “biasa-biasa
saja”, bukan sesuatu yang nggak mungkin kan kalau adik yang justru membimbing dia ke arah
sana?”

“Dik, kakak sangat mengerti kegundahan hatimu, karena kakak pernah mengalami masa-
masa usia krisis sepertimu. Dalam keputus-asaan, kakak mencoba mencari si dia dengan cara
kakak sendiri, tabrak sana sini. Kakak pun dulu mempunyai prinsip yang sama denganmu,
bertekat akan bimbing si dia menjadi laki-laki yang sholeh. Mencari-cari waktu agar sering
bersama, mengenalkan si dia lebih jauh dengan Islam. Meski tak pernah dijamah, tapi itu
namanya sudah berdua-duaan, berkhalwat! Toh, semua berakhir mengecewakan, si dia tak
seperti yang kakak harapkan. Mudahnya berpaling ke perempuan lain, karena dengan kakak
banyak yang tak bolehnya. Begitu seterusnya, beberapa bahkan ada yang sudah ikut pengajian
rutin sebelum kenal dengan kakak. Mereka sempat membuat hari-hari kakak begitu berbunga-
bunga, sekaligus menderita! Karena semua bunga itu semu, dan tak akan pernah menjadi buah.
Kakak merasa lelah, capek! Ternyata apa yang kakak harapkan dengan melanggar takdir itu pun
tak pernah membuahkan hasil. Kakak telah mencoreng muka sendiri, hina rasanya dimata Allah,
dan malu dengan teman-teman seperjuangan. Tapi Allah Maha Pemurah dan Penyayang, Allah
mengirimkan seorang laki-laki pilihanNya, seorang yang begitu baik untuk kakak. Ketahuilah
dik, rasa bersalah itu tidak pernah hilang, meski si Abang ikhlas dan mau mengerti dengan
“story” kakak sebelum menikah dengannya.”

“Lalu adik harus bagaimana mengisi hari-hari sendiri, kak? Hampa rasanya, ilmu-ilmu
yang adik terima tentang membina rumah tangga sakinah, tentang mendidik dan membina anak,
semua itu hanya tinggal sebuah teori indah dalam khayal. Mubazir, karena nggak jelas kapan
akan dipraktekkan. Bagaimana jika sampai akhir hayat adik ditakdirkan tetap sendiri, karena
laki-laki pilihan itu tak kunjung datang?”

“Adikku sayang, percayalah pada takdir Allah dan bersabarlah. Mungkin Allah belum
mengabulkan doa-doamu karena belum kau panjatkan dengan segenap kepasrahan, belum kau
lepas keangkuhanmu karena kau berusaha menerjang ketetapanNya yang berlaku bagimu.
Mungkin juga belum kau tinggalkan segala hal yang mendekati kemaksiatan. Itulah yang
menjauhkan terkabulnya doa-doa kita,dik. Ketahuilah jika Allah memang berkehendak, jodoh
adik bisa datang tanpa disangka dan diduga. Akan tetapi jika kehendak Allah sebaliknya, Insya
Allah, itulah hal terbaik yang ditetapkan Allah bagi dirimu. Mungkin, Allah berkehendak
memperjodohkan adik dengan bidadarinya di surga kelak ”

“Saya terima nikahnya Muthmainnah binti Syaiful dengan mas kawin....”

“Alhamdulillah,ya Allah... Kak, hari yang dijanjikan itu akhirnya datang juga. Laki-laki
pilihan itu kini mengikat janji untuk berlabuh di dermagaku...”

“Subhanallah! Biarkan bulir-bulir bahagia itu luruh di matamu,dik. Kakak bangga,


kesabaran adik pada akhirnya berbuah kebahagiaan. Kesucian dermagamu telah kau jaga dengan
baik, dan hanya kau peruntukkan bagi laki-laki sholeh yang mulai saat ini akan menemanimu
menempuh bahtera kehidupan, dunia akhirat. Barokallah, semoga Allah memberkatimu dan
memberikan berkah atas kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan, adikku
sayang...”

Melati Salsabila Kafemuslimah.com - Thursday, 02 September 2004


Pernah Nggak

Pernah Ngak

Kita bayangkan

Jika kita nggak punya teman

Perkumpulan reuni smu delapan kota kembang

Perkumpulan reuni smp satu kota hantu

Perkumpulan reuni sd tiga kota sandiwara

Ikatan pengurus yang semakin dibelenggu oleh urusan

Ikatan pengelola yang semakin dikelola oleh dunia

Ikatan motor besar-besar

Ikatan motor kecil-kecil

Scooter Owner's Group Jakarta

Bahagianya kita punya banyak teman

Senangnya tiap akhir bulan kita bisa berutang

Asalkan jangan jadi kebiasaan

Senangnya tiap tahun kita saling perjamuan

Asalkan jangan terus-terusan

Nikmatnya tiap lebaran kita saling berkunjungan

Tuk sekadar bermaaf-maafan atau

Cuma pengen ngabisin cokelat di meja makan


Tapi memang enak kok kita punya banyak teman

Cuma yang paling sulit

Adalah menjaga hubungan

Agar jangan sampai bersinggungan

Jangan sampai terluka perasaan

Jangan sampai menguruskan kantung uang

Cuma yang paling sulit

Menyemikan citra bahwa kita memang layak dibanggakan

Bahwa kita memang teman yang paling dipercayakan

Pada setiap curahan air mata yang ia berikan

Pada setiap kesusahan yang ia bagikan

Dan pada setiap kenikmatan yang ia kabarkan

Cuma yang paling sulit

Menjaga agar kita selalu bersama dalam setiap aral yang melintang

Menjaga agar kita selalu bersama dalam setiap hujan yang menghadang

Menjaga agar kita selalu bersama dalam setiap terik yang memekik

Sahabat

Bersyukurlah karena kita punya teman

Jika tidak

Maka

Pada siapa surat itu kautujukan


Pada siapa cuap-cuap itu kausampaikan

Pada siapa langkah kaki itu kauayunkan

Pada siapa jemari manis itu kaulambaikan

Pada siapa senyum manis itu kau sunggingkan

Pada siapa tatapan mata itu kauhadapkan

Pada siapa telinga itu kauperdengarkan

Pada siapa sebagian harta itu kaudermakan

Pada siapa engkau bicara (sendirian)

Kepada setan?

Ah, aku tidak berharap demikian

Kita kumandangkan azan, lalu kita shalat sendirian

Kita serukan Islam, dan kita dengarkan sendirian

Kita dianugerahi mulut dan ia butuh didengarkan

Kita dianugerahi telinga dan ia butuh nasihat teman

Kita dianugerahi hati dan ia butuh siraman hujan

Kita selalu kesepian

Kita selalu dirundung kegelisahan

Kita selalu dilanda kesedihan

Dan alangkah indahnya

Jika

Teman kita itu adalah


Yang selalu temani kita dalam cahaya maupun kegelapan

Yang selalu temani kita dalam nikmat maupun ujian

Yang selalu temani kita dalam sarapan

Yang selalu temani kita dalam kedamaian

Teman bersama dalam menggapai kenikmatan iman

Teman yang kekal dalam menyempurnakan ketakwaaan

(duh mau nyebut istri aja muter-muter kebingungan)

Ya udah istri.

Sahabat

Tapi

Teman yang kekal

Adalah teman sepemikiran

Teman seperjuangan

Teman satu tujuan

Dalam membumikan risalah Tuhan

Carilah ia mulai sekarang

Meski ia tidak dihinggapi kekayaan

Meski ia tidak dihinggapi ketampanan

Meski ia tidak dihinggapi jabatan

Asalkan keimanan ada dalam genggaman

Utamakan tujuan
Prioritaskan masalah keumatan

Dan terus bersama dalam perjuangan

Sampai ajal menjemput di hadapan

Dan kamu akan rasakan

Bahwa kamu benar-benar mendapat keuntungan

Dari sebuah perdagangan yang diridai Tuhan

Agus Sujarwo alhikmah.com [15.12.2003]

Bukan Sangkar Emas

Sudah beberapa hari ini rumahku bak kapal pecah, berantakan! Biarin, aku lagi nggak
peduli. Eh, memang aku sengaja deh biar suamiku “ngeh” kalau aku lagi melakukan aksi unjuk
diam. Bukan diam mulut tapi diam nggak ngapa-ngapain. Tapi yang bikin gemes, dia cuek aja.

“Jadi liburnya kapan, Yah?” Entah untuk yang keberapa kali aku menanyakan hal ini
pada suamiku. Bukan apa-apa, sudah beberapa kali pula suamiku selalu mengumumkan
penangguhan libur di tempat kerjanya. Padahal anak-anak sudah bosan main di rumah,
nggg...aku juga sih, bosan di rumah terus.

“Masih belum tahu. Soalnya jadwal baru belum disusun di kantor” suamiku menjawab
ringan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar TV, serius mengikuti perkembangan
Palestina di BBC.

“Selalu nggak jelas begitu. Nggak professional!” Aku beranjak ke meja komputer.
Raihan dan Rauda, kedua anakku sudah terlelap setelah aku tunaikan rutinitas mendongeng
untuk mereka. Mending internetan! Tapi...ah, baru saja kubuka situs langgananku, tiba-tiba
Rauda bangun lagi dan merengek minta aku kembali ke kamar.
Hhhhh…kenapa sih bangun lagi, batinku. “Yah, tolong tuh Rauda ditemani bobo.”

“Sini, Rauda...”

Rauda makin ribut. Ugh, bukannya dijemput! Lha kalau lagi ngambek begitu Rauda
mana bergeming?

“Tolong dong dijemput, Yah. Bunda mau internetan” Aku mulai kesal.

Tak ada respon.

“Setiap hari beginiiii terus... Kapan Bunda punya waktu untuk diri sendiri, kapan punya
waktu untuk memperluas wawasan…kalau dari pagi sampai malam cuma capek dan sibuk
ngurus anak-anak, ngurus ayah, ngurus rumah…” Dan bla-bla-bla…rasanya puncak kekesalanku
sudah mencapai ujung rambut. Rauda jadi cemas, rengekkannya berubah menjadi tangis
kencang.

Awalnya tak pernah terbayang olehku, bahwa hidup bisa sedemikian cepat berubah.
Terlalu sangat tiba-tiba, malah. Dulu aku terbiasa sibuk dengan organisasi kampus, kemudian
kerja di kantor, juga organisasi sosial kemasyarakatan. Pergi pagi pulang malam,
hhmmm...sampai nggak sempat belajar bagaimana caranya mengurus rumah. Ups! Aktivitas
yang satu itu memang aku paling malas, apalagi memasak! Dan disaat sibuk meneruskan kuliah
Masterku, tiba-tiba seseorang datang meminang, aku jadi kelabakan. Apalagi jeda waktu
persiapannya begitu pendek, sampai sulit rasanya untuk bernapas. Tapi pernikahan memang
perlu disegerakan, agar tidak timbul fitnah, apalagi untuk kami yang sedang merantau di negeri
orang. Alhamdulillah, pada akhirnya segala urusan lancar. Hanya saja, setelahnya aku sempat
terseok-seok menyelesaikan thesisku karena aku dan suamiku memutuskan untuk tidak menolak
amanah, memiliki anak.

Beruntung profesorku orang yang baik dan mau mengerti kondisiku. Aku banyak diberi
kelonggaran-kelonggaran termasuk waktu kuliahku yang diperpanjang. Aku berhasil
menyelesaikan studiku, saat Raihan berusia 6 bulan. Tak sampai setahun kemudian aku kembali
dikaruniai anak kedua. Maka sejak saat itulah aku mulai belajar mengubur angan-angan,
beraktifitas di luar rumah dan berkarir.

Mungkin kalau aku tega, bisa saja anak-anak aku titip di tempat penitipan anak seperti
saran profesorku dulu saat aku kelimpungan membagi waktu antara menyelesaikan thesisku dan
mengurus keluarga. Tapi aku tidak rela dan tega. Anak-anakku butuh ASI bundanya setiap saat
mereka haus, butuh dekapan dan belaian sayang saat merasa cemas atau sakit, dan yang pasti aku
ingin mendidik anak-anakku aqidah Islam sejak usia dini. Tentu ada konsekuensinya. Seluruh
waktuku otomatis terpaku pada urusan suami, anak dan rumah. 24 jam sehari! Layaknya para
perantau, di negeri ini, semua harus dikerjakan sendiri karena tenaga manusia teramat sangat
mahal. Awalnya aku begitu bahagia dan bangga, bisa mengurus segala sesuatu dengan tanganku
sendiri. Setiap bulan, saat menelpon mama di Jakarta ada saja laporan resep masakan yang telah
sukses aku praktekkan.

Tapi lama kelamaan kerja rutin 24 jam itu membuatku bosan dan aku merasa otakku
makin tumpul. Aku jadi cepat lupa, jangankan untuk mempertahankan jumlah vocab bahasa
Inggrisku, bahkan untuk mengingat hari dan tanggal saja aku sering kewalahan! Mau bergaul
dengan tetangga juga susah, selain mereka individual, bahasanyapun aku tak begitu mengerti
karena bahasa utama mereka bukan bahasa Inggris. Sementara suamiku... ah, dia asyik sendiri
dengan kuliah dan kerjanya. Kalau sudah begitu, ingin rasanya segera pulang ke tanah air. Aku
bisa lebih banyak beraktifitas disana, tidak seperti disini. Semakin hari aku merasa semakin
suntuk dan terpuruk, seperti burung dalam sangkar emas...

Beberapa hari belakangan suamiku tampak sibuk di depan komputer. Setelah makan
malam dan sholat, dia akan serius mengetik sampai larut malam. Hhhh... paling-paling
mengerjakan thesisnya, tulisan-tulisannya atau tugas-tugas kantor. Aku tidak peduli. Setelah
capek seharian aku lebih memilih langsung tidur bersama anak-anak.

“Coba tolong dibaca, Nda. Barangkali ada yang kurang” Suamiku menyodorkan beberapa
lembar kertas.

Sejenak kupandangi saja kertas-kertas ditangannya. Tak berminat. Dulu, saat aku masih
kuliah dia biasa minta tanggapan dan masukan-masukan dariku untuk setiap tulisan-tulisan yang
dibuatnya, entah tugas kuliah atau tugas kantornya. Begitu juga sebaliknya dia akan membantu
dan memberi kritiknya untuk tugas-tugas kuliahku. Tapi belakangan aku sudah malas, selain
capek membaca dan mencerna tulisan berbahasa Inggris itu, aku juga merasa patah arang. Untuk
apa, toh aku hanya akan mengurusi rumah saja.

“Baca dulu dong, say...”


Ugh, maksa lagi! Setengah hati kuambil kertas-kertas itu. Lho ini kan draft proposal
untuk kuliah S3... kulihat juga lembar-lembar CVku dan beberapa tulisan yang dulu pernah
dikerjakan suamiku. Wah, nggak nyangka, ternyata dia pakai juga masukan-masukanku untuk
tulisan-tulisannya, dan mencantumkan namaku sebagai co-authornya.

“Gimana, kalau masih ada yang kurang bisa cepat dilengkapi. Biar Ayah bisa segera
kirim ke Universitas”

Aku diam, masih takjub.

“Kalau sudah nggak ada yang kurang, cepat Bunda tanda tangani surat permohonannya,
ya”

“Anak-anak...Biayanya...” Ya, saat itu yang terpikir olehku bagaimana nasib anak-anak.
Siapa yang akan mengurus mereka kalau Bundanya kuliah lagi, dan dari mana kami bisa
membayar biaya kuliah yang mahal sedangkan untuk mendapat beasiswa susahnya bukan main.

“Bunda baca lagi deh pelan-pelan. Itu kan proposal untuk kuliah jarak jauh, jadi bisa dari
rumah. Ya, mungkin sekali-sekali perlu juga ketemu sama dosen, tapi waktunya bisa diatur kok.
Mudah-mudahan, kalau profesornya punya proyek Bunda bisa dilibatkan disana, jadi bisa gratis
untuk biayanya. Tapi proposalnya juga harus yang menarik. Insya Allah, kita kan sedang
mencoba dan berusaha. Thesis Bunda kemarin bagus, ayah yakin paling tidak akan sempatlah
dilirik oleh profesornya. Maaf ya Nda, ayah memang sengaja buat ini. Habis waktu luang Bunda
setelah mengurus rumah hanya habis buat internetan dan balas email-email aja sih...”

Aku tersenyum malu, kucubit pinggangnya manja. Ah, ternyata dia masih memikirkanku
dan tak ingin segala potensi dalam diriku berkarat dan tumpul karena termakan waktu. Hhmm,
nanti malam aku akan mulai lagi membuka-buka materi-materi kuliahku dulu, banyak baca
literatur Inggris lagi, dan...ah, aku merasa api semangatku mulai menghangat dan berkobar.
Tidak apa-apa tidak kuliah di ruang kelas, tidak bertemu teman-teman atau dosen di kampus....
Tentu, aku akan lebih bahagia membayangkan belajar ditemani anak-anakku dalam ruang-ruang
rumah kami yang nantinya tidak lagi seperti sangkar emas.

Melati Salsabila – NL Kafemuslimah.com - Thursday, 02 September 2004


Dimana sang cinta itu kini berada?

Mereka semua berdatangan

Mereka mencoba membuatku tertawa

Mereka mengajakku bermain

Sebagian bermain untuk bersenang-senang dan

Sebagian untuk dikenang

Dan kemudian mereka pergi

Meninggalkan aku di tengah reruntuhan

permainan

Tanpa tahu yang mana harus dikenang dan

Yang mana untuk sekadar bersenang-senang dan

Meninggalkan aku dengan gema dari

Tawa yang bukan milikku

Lalu datanglah kau

Dengan caramu yang lucu

Tidak seperti orang lain

Dan kau membuatku menangis tersedu sedan

Dan tampaknya kau tidak peduli meski aku menangis

Kau bilang permainan sudah selesai

Dan menunggu

Sampai seluruh air mataku berubah menjadi ….

Kebahagiaan

[Kiriman pos setahun lalu saya menerima selembar kertas bekas diremas dan terkena
noda air yang ditulisi dengan spidol biru--Untuk Torey dengan penuh 'Cinta' ]
Torey hayden seorang guru dengan bekal kesabaran dan kasih yang mendalam berjuang
di ruang kelas mengajar seorang murid. Anak gadis berusia 6 tahun yang baru saja membakar
anak lelaki berusia 3 th sampai nyaris mati. Menderita problem emosional parah namun ber IQ
180. Dia tak pernah menangis, baik disaat sedih, marah maupun kesakitan. Dia agresif,
membangkang dan destruktif Mungkin karena sang ibu meninggalkannya dijalanan saat berumur
4 tahun, mungkin karena ayahnya pemabuk dan tak mampu memberinya pengasuhan yang layak.
Mungkin karena dia memang tak tahu bagaimana membuat orang lain mencintainya.

Kisah nyata yang mampu mengacak emosi …….

Dengan sentuhan2 ketulusan dan aura kepekatan cinta yang dalam.

Cinta yang hanya cukup dengan Cinta.

Cinta yang memberi dengan keikhlasan ……

Untuk orang yang dicintainya bisa berekspresi secara wajar.

Cinta yang hanya bisa dirasa dengan Cinta.

Cinta dalam kesabaran yang tak putus ……..

Untuk sekadar mengajarkan sang anak mengerti dirinya

Cinta yang hanya bisa dibasuh dengan Cinta.

Cinta dalam lautan pengorbanan ………

Untuk merubah airmata menjadi kebahagiaan

Cinta yang hanya bisa diganti dengan Cinta.

Hanya waktu lah yang bisa menutup luka hati….

Hanya cinta lah yang dapat membasuh luka batin ….

Hanya kasih sayang lah yang sanggup mengobati luka nurani.

Dengan mencintai profesinya, Torey tampil utuh mencoba mengerti permasalahan anak2
muridnya. Kapan disaat harus marah, kapan disaat harus tegas, kapan disaat harus berkorban,
kapan disaat harus menunjukan perhatian, kapan disaat harus meninggalkan mereka, kapan
disaat mereka harus berusaha sendiri, kapan disaat harus menolong diri mereka sendiri... juga ...
kapan mengajarkan anak2 belajar bagaimana agar orang lain mencintainya.

Merubah anak yang dekstruktif memang tidak mudah,

Merubah anak yang tidak bisa menangis tidak lah gampang,

Merubah anak yang tidak mau menulis tidak lah sepele,

Merubah anak yang bau ompol dan berambut kusut bukan lah basa basi

Merubah anak dengan trauma diperkosa pamannya,

Sungguh ...... pekerjaan yang ruarr biasa !!

Menjadi gadis kecil yg cantik dg pita dirambut pirangnya,

Menjadi gadis kecil yg lincah di atas panggung pentas sekolah,

Menjadi gadis kecil yg bisa meneteskan air mata,

Menjadi gadis kecil yg bisa dicintai teman-temannya,

Menjadi gadis kecil yg bisa menulis puisi cinta untuk gurunya,

Dari seorang anak yg distempel “Penjahat” oleh lingkungannya,

Sungguh.....sebuah perjuangan batin yang mengharukan untuk anak seusianya.

Andaikan...

Andaikan....

Para pengajar kita mempunyai kekuatan cinta dan bekal kesabaran seper ti Torey.

Anak-anak kita pun akan dibekali cinta dalam hidupnya.

Cinta yang mampu memilah perbuatan yang benar atau salah.

Cinta yang mampu menolak budaya hedonis,

Cinta yang mampu meredam gemerlap dunia yang menyilaukan

Cinta yang mampu membawa kepada cahaya kebenaran-Nya.

Sebuah Utopia .....

Dimana sang cinta itu kini berada ?


Terlena dalam pelukan Bumi kah,

Atau tertidur lelap di kaki Sang Langit.

Dwi Irwanti alhikmah.com [12.11.2003]

Doakan Aku, Sayang

“Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.” Kalimat itu muncul kembali dalam benakku.
Pernah terluncur dari bibir sahabatku saat percakapan panjang di telepon itu berakhir pada
keputusanku untuk tetap menikahi seorang lelaki yang menurutnya tidak tepat untukku. Lelaki
itu kini menjadi ayah dari calon anakku.

Seminggu kami berdebat. Dia sahabatku tersayang, tempat biasa aku bercerita banyak,
mungkin sambil tergugu. Tentang aku, tentang dia, tentang ibuku yang dingin, tentang ibunya
yang kolot. Tentang adik-adik kelas kami di sekolah borju yang semakin memprihatinkan.
Tentang kampus berembun ditingkahi gilasan roda kereta di rel. Di tengah kedongkolan akan
jadwal telat kereta yang berbarengan dengan jadwal kuliah Pengantar Lingustik Umum. Sambil
berbicara tentang kakaknya yang sudah menginjak tiga puluh limaan tetapi belum ditemani
pendamping. Kini kami berdebat tentang sesosok lelaki yang berniat menjadi pendampingku.
Dan kini tidak lagi ditingkahi hiruk pikuk suasana Tebet-Depok, melainkan melalui sambungan
telepon kantor.

Temanku ini yang bertugas “mewawancarai” lelaki itu. Pada awalnya begitu banyak
kesamaan yang diceritakan temanku itu tentangnya. Katanya aku begitu banyak miripnya dengan
lelaki itu. Aku suka berpetualang, begitu juga dia yang suka kemping ke sana ke mari. Ketika
menelisik lebih jauh dirinya, banyak juga perbedaan dalam diri kami. Dan temanku yang
pertama kali menunjukkan itu. Ternyata ia bukan orang berada, karena itu dulu ia harus
mengalah berhenti dari kuliahnya demi adiknya, dan dia harus bekerja. Padahal saat itu ia baru
saja mencicipi semester tiga informatikanya. Saat ia bingung harus memikirkan bagaimana
mencari tambahan biaya untuk keluarga –karena ayahnya baru saja diPHK—mungkin aku
sedang duduk-duduk bersama teman kuliahku sambil bersenda di kursi taman kampus. Lalu saat
itu ia harus rela hanya kuliah diploma satu demi menggenggam sebuah ijazah selain ijazah SMU.

Karena itulah, kemudian mencari definisi sepadan menjadi sangat sulit bagi kami. Dan
temanku tersayang yang pertama kali melontarkan bahwa mungkin aku bukan untuk lelaki itu
dan dia bukan untuk aku. Berhari-hari aku mencari jawaban. Apakah tesis itu benar adanya?
Semua yang aku tanya rata-rata menjawab demikian. Terlebih lagi kakak ipar lelakiku. Lelaki itu
tidak pantas untukku.

Entah mengapa ada satu sisi nuraniku yang mengatakan itu tidak benar. Apakah kalau
aku lulusan sarjana sementara calon suamiku hanya lulus diploma satu, menjadikan kami tidak
serasi satu sama lain? Apakah dengan kewajibannya secara ekonomi terhadap keluarga
menjadikannya tidak pantas untukku? Lalu bagaimana dengan Muhammad? Apakah ia tidak
layak untuk Khadijah? Hanya karena Muhammad seorang lelaki miskin?

Mungkin aku yang terlalu naif atau temanku yang realistis. Aku tidak tahu. Mungkin
orang bilang aku gila. Tapi aku tidak bisa menafikan satu suara yang mengatakan bahwa semua
itu atribut dunia yang sifatnya relatif, serba tidak pasti, dan sementara. Dan aku tidak ingin
keputusanku aku sandarkan pada hal-hal yang aku pikir tidak sesuai dengan orientasiku.
Kampung akhirat. Akhirnya kami mendapatkan kesimpulan yang bertolak belakang. Dan
akhirnya aku memutuskan untuk menikahi lelaki itu.

“Jadi aku berhak mendapatkan yang terbaik, sementara dia nggak? Seorang residivis pun
berhak, kau tau?!” tangkisku sewot. Sementara di ujung telepon, suara khawatir temanku
terdengar semakin perlahan.

“Aku pengen kamu mendapat yang terbaik. Itu aja,” ujarnya putus asa.

“Ya, aku mengerti,” lirihku. “Aku hanya merasa aku bukan apa-apa. Tidak pantas aku
minta yang terbaik. Aku sudah curhat sama Allah, dan aku hanya menemukan jawaban ini.
Doakan aku ya. Semoga ini benar-benar keputusan dari Allah. Semoga ini yang terbaik.”
Kalimat itu yang terakhir aku ucapkan kepadanya.
Pagi agung, saat sebuah janji nikah diucapkan lelaki itu di depan ayahku. Sebutir air mata
jatuh dari bening mata temanku. Tapi bibirnya membentuk senyum untukku. Doakan aku,
sayang… doakan aku, bisikku.

Kafemuslimah.com - Monday, 26 July 2004

Kenangan Indah untuk Mantan Kekasih

Seorang sahabat dengan wajah sangat bersedih datang ke rumah saya. Belum lagi uraian
keterangan menghiasi pembicaraan, air matanya telah berderai dengan deras hingga akhirnya
tercetuslah keinginan yang sungguh mengagetkan saya.

“Saya ingin mati saja. Buat apa saya hidup lebih lama lagi jika begini keadaannya? Saya
ingin bunuh diri mbak.”

Innalillahiwainnailaihirajiun. Sesungguhnya, segala sesuatu itu datang dari Allah dan


akan kembali kepada Allah. Itu yang sesungguhnya. Artinya, hidup dan mati kita ada di tangan
Allah. Tak seorang pun yang kuasa untuk mendatangkan kematian pun tak ada seorang pun yang
kuasa menghadirkan kehidupan. Tapi mendengar keinginan yang tercetus tersebut, tak urung
membuat saya tercenung. Mengapa?

Mengapa tercetus keinginan yang sebegitu dasyat tersebut? Apakah memang hidup sudah
begitu memuakkannya hingga harus segera diakhiri? Apakah hidup memang sudah sangat
sedemikian tidak berartinya hingga harus segera dihentikan? Apakah karena hidup sudah begitu
tak sedapnya hingga harus disingkirkan? Tak ada yang tahu jawabannya.

Tapi ada reka-rekaan. Yaitu urutan awal permasalahan atau biasa disebut sebab musabab
hingga lahirlah keinginan dasyat tersebut. Yaitu kehendak yang tidak tercapai.
Usut punya usut, ternyata sahabat saya itu baru putus cinta dengan kekasihnya.
Kekasihnya itu memutuskan hubungan karena dalam perjalanan percintaan mereka, kekasihnya
tersebut bertemu dengan orang ketiga yang ternyata dirasakan lebih cocok ketimbang ketika
bersama dengan sahabat saya itu. Akhirnya. Sahabat saya ditinggalkannya dan jadilah kejadian
kemarin terjadi. Sahabat saya merasa kecewa berat dan ingin bunuh diri karenanya. Apakah ini
jalan pintas?

“Buat apa kamu bunuh diri hanya karena putus cinta?”

“Entahlah mbak. Saya ingin mati saja karena saya sangat mencintai dia. Rasanya hidup
ini tidak akan indah lagi jika dia tidak ada di sisi saya.” (Alamak.. )

“Tapi apa dampak terbesar yang akan kamu peroleh dengan peristiwa bunuh diri
tersebut?” Saya bertanya padanya, mencoba mengajaknya berpikir dahulu sebelum dia
melakukan peristiwa dasyat tersebut.

“Yang pasti, dia akan tahu bahwa saya sangat kecewa dengan tindakannya itu dan agar
dia tahu bahwa saya sangat mencintainya.”

“Hanya itu?”

“Ya, Hanya itu.”

“Hanya itu?” Kembali saya bertanya dengan pertanyaan yang sama. Sahabat saya tidak
menjawab. Sebaliknya dia mengkerutkan keningnya keheranan karena saya bertanya dua kali.
Lalu saya kembali bertanya, “Ayo apa lagi alasannya, masa hanya itu?” Dia semakin keheranan.

“Apa lagi?” Ujarnya.

“Terserah. Tapi saya mengharapkan jawaban alasan yang lebih dasyat dari itu. Bunuh diri
itu peristiwa yang sangat dasyat. Ganjarannya kamu akan masuk neraka, kelanjutannya kamu
tidak akan lagi hidup di dunia ini, sambungannya kamu akan berdiam di alam kubur dengan azab
kubur yang menanti. Ke depannya, semua kenangan yang pernah kamu miliki akan dilupakan
orang. Semua prestasi, semua pangkat, semua kedudukanmu akan habis dilupakan orang. Yang
orang akan kenang dari dirimu hanya satu, itu si A yang mati bunuh diri karena putus cinta. Tak
ada lagi yang kenal kamu sebagai A yang pandai, atau yang cantik, atau yang berprestasi, dan
sebagainya. Jadi, untuk semua itu, untuk memperoleh semua kemalangan yang bererot panjang
tersebut setelah kamu meninggal kelak, harus ada alasan yang maha dasyat. Sangat dasyat. Itu
sebabnya saya bertanya, mengapa hanya itu alasannya.” Sahabat saya tercenung.

“Tapi setidaknya saya bisa menunjukkan pada mantan saya itu bahwa saya sangat
mencintainya.”

“Dia tahu itu. Itu sebabnya selama ini dia bersedia jadi pacar kamu.”

“Saya ingin dia tahu bahwa saya sangat kecewa dengan tindakannya.”

“Dia mungkin tahu itu. Tapi kamu harus ingat satu hal. Dia juga tahu apa yang dia
inginkan untuk kebahagiaan hidupnya sendiri. Bisa jadi, sebelum dia bertemu dengan orang lain,
dia terus mempertimbangkan apakah kamu memang layak jadi pendamping hidupnya. Setelah
waktu berjalan dan tanpa sengaja bertemu dengan orang lain, dia akhirnya sadar bahwa kamu
bukan yang terbaik untuk kebahagiaan hidupnya. Percayalah. Dia tahu bahwa sudah
mengecewakan kamu, tapi dalam hal ini, dia di hadapkan pada dua pilihan. Kebahagiaan dia
sendiri atau kebahagiaan kamu. Jika dia bertahan denganmu, bisa jadi dia akan bahagia tapi
mungkin hanya sampai huruf M, tidak sampai Z, dan dalam perkiraannya dia akan mencapai
kebahagiaan sampai huruf Z jika bersama dengan yang baru. Begitu. Semua orang jika
dihadapkan pada pilihan antara dirinya dan diri orang lain, maka cenderung untuk lebih memilih
dirinya terlebih dahulu baru orang lain. Apalagi hal-hal yang menyangkut warna hidup kita
seterusnya.”

“Kalau begitu biarlah dia mengenang saya selamanya.”

“Percayalah, jika kamu tetap mempertahankan hidup, lalu di hari depan kamu lebih
berprestasi ketimbang hari ini, kenangan indah yang ada di dalam benaknya lebih berarti karena
akan menerbitkan kebanggaan. Bisa jadi, dia suatu hari akan melihat wajahmu di koran misalnya
karena baru habis memenangkan nobel misalnya sambil bilang, ‘lihat, dulu dia pernah jadi teman
dekat saya’. Itu kenangan yang dasyat ketimbang kenangan memperhatikan wajahmu di photo
album dengan pandangan kasihan karena kamu mati bunuh diri.”

Ah. Jika hidup masih bisa diberi arti yang lebih spesial dan bermakna, mengapa harus
diakhiri dengan cara melawan takdir?

Ade Anita Kafemuslimah.com - Monday, 26 July 2004


Kerinduan akan-Mu

Adalah kerinduan akan-Mu,

seret aku ke atas hamparan sajadah ini

tenggelamkan aku dalam lautan tasbih tak bertepi

Adalah kerinduan akan-Mu,

tuntun aku telusuri baris-baris kalam-Mu

mencari makna di balik keindahan kata

Yaa Ghofur….Yaa Mujib….

Larut aku dalam munajat panjangku

Pasrah dan berserah di tengah pengharapan

akan terbalasnya rindu ini.......

Yaa Majid.....Yaa Muhaimin....

Adakah rindu yang lebih indah,

selain kerinduan akan-Mu.........

iyannomama Kafemuslimah.com - Sunday, 12 September 2004


Menjauhlah dari Hidupku

Kau menyayangiku, itu sering kau ungkapkan. Bahkan orang-orang yang mengenal kita
tahu bahwa kita saling menyintai, saling menyayangi. Tak jarang orang salah kaprah melihat
kebersamaan kita. Kau dikira ade kandungku dan orang mengiraku kakak kandungmu. Padahal
kita tak pernah tatap muka sekalipun. Andai mereka memahami, bahwa kita lebih dari sekedar
kata “Kandung”. Kita adalah sodara seaqidah dimana persaudaraan seperti ini akan lebih terasa
indah dan bermanfaat dibandingkan kata “kandung”, mungkin juga karena miskinnya kita
menerapkan rasa kasih dan sayang serta cinta pada keluarga sendiri.

Adeku sayang, menjauhlah dari hidupku! Kalau kau TERLALU menyayangiku. Mba tak
lagi ingin mendekat denganmu sayang. Mengapa ? Satu jawaban yang pasti, “Mba takut Alloh
cemburu dan menjauh darimu!” Ade mengertikan apa yang mba maksud ?

“Mba sayang sama ade, karena itu mba ungkapkan hal ini. Mba lebih rela, ade menjauh
dari mba, daripada ade dijauhi oleh Alloh. Bukankah cinta yang TERLALU itu mestinya
ditujukan pada DIA ? Bukan pada mba, sayang. Bukan tidak boleh ade menyayangi mba. Saling
menyayangi terhadap sesama sangat dianjurkan, bahkan Alloh menempatkan posisi yang
lumayan tinggi bagi hambanya yang mampu bercinta dengan sebaik-baiknya hanya karenaNYA.
Ade ingat kan, klo Alloh juga tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, sayang.”

“Cup cup cup sayang, hapus air matamu. Tersenyumlah. Mulailah putar haluan. Mari kita
sederhanakan cinta kita, agar bener-bener kita rasakan cinta karenaNYA semata. Hingga kita
bisa melangkah bersama dalam manisnya Islam. Mba sayang ade dan tak ingin ade menjauh,
menjauh dari Alloh dan dari mba juga andai kita mampu menyederhanakan cinta kita.

Belajarlah untuk TEGA. Tega menjauh dari mba selama kata TERLALU sayang pada
mba masih melekat dihatimu. Yuk.. kita belajar mencintai lebih baik lagi setiap hari. Inget janji
kita dulu, tak akan membuat Alloh cemburu. Agar kita sama-sama mendapat kaplingan tempat di
tempatNYA kelak. Hanya karena Alloh kita bertemu.”

Mawar_WS Kafemuslimah.com - Thursday, 26 February 2004


Nasihat untuk Sahabat

(kutuliskan maudu ini karena memang Nanda sangat mencintaimu)

Sahabat,

Bersama kita mulai belajar

Untuk tidak memiliki sesuatu

Apa yang pernah Rabb berikan

Apa yang pernah Rabb kasihkan

Apa yang pernah Rabb titipkan

Semuanya milik yang Maha Rahmaan

Jadi adakah bagi kita alasan

Untuk merasa keberatan

Jika sebagian harta kita sisihkan

Jika sebegian kerat roti kita berikan

Jika sebagian waktu kita infakkan

Jika sebagian permata kita dermakan

Pada saudara kita yang lebih membutuhkan

Ataukah

Engkau merasa akan dilanda kemiskinan

Jika berbuat yang demikian

Sahabat

Bersama kita belajar

Untuk tidak dimiliki oleh sesuatu

Apa yang pernah Rabb sediakan


Apa yang pernah Rabb sandingkan

Apa yang pernah Rabb mudahkan

Semuanya dijadikan sebagai ujian

Untuk membuktikan bahwa cinta yang pernah kita ikrarkan

Tidak sebatas dalam ucapan

Haruskah kita lebih mencintai abi

Haruskah kita lebih mencintai umi

Haruskah kita lebih mencintai istri

Haruskah kita lebih mencintai puri

Haruskah kita lebih mencintai merci

Haruskah kita lebih mencintai deadline tak bertepi

Haruskah nyawa kita berakhir di ujung sepi

Mengapa engkau lebih mencintai dirimu sendiri

Ketimbang mencintai Rabb

Yang telah mengadakanmu di muka bumi

Mengapa engkau lebih mencintai semuanya ini

Ketimbang mencintai Rabb

Yang telah menyediakan semua yang kamu cintai di dunia ini

Ataukah

Engkau merasa

Bahwa engkau dipersulitkan

Bahwa engkau direpotkan

Bahwa engkau disiksakan

Karena yang engkau ingin adalah ketenangan


Karena yang engkau inginkan adalah keselamatan

Karena yang engkau inginkan adalah bersenang-senang

Tanpa pedulikan umat yang mulai dihujani tusukan

Tanpa pedulikan saudaramu yang mulai dilanda kelaparan

Tanpa pedulikan saudaramu yang kini mulai ditimpa kemusyrikan

Tanpa pedulikan saudaramu yang dalam setiap sujud ditemani mortir dan dentuman

Tanpa pedulikan risalahmu yang kini mulai dicincang

Sementara kamu hirup gratis hawa ini setiap pekan

Sahabat

Bersama kita belajar

Untuk berbuat sesuatu bukan karena sesuatu

Tetapi karena Rabbmu

Apa yang pernah Rabb perintahkan

Apa yang pernah Rabb larangkan

Apa yang pernah Rabb tunjukkan

Semuanya adalah hidayah yang harus kita jadikan tuntunan

Berbuat baiklah

Karena kita memang harus berbuat baik

Beramallah

Karena memang kita harus beramal

Berjuanglah

Karena memang kita diperintahkan

Bersujudlah

Karena memang kita harus bersujud di hadapan


Dan berbuatlah

Bukan karena engkau ingin dipuji

Bukan karena engkau ingin dicintai

Bukan karena engkau ingin dikenali

Dan berbuatlah

Lebih dari sekadar takut akan azab-Nya

Lebih dari sekadar harap akan jannah-Nya

Lebih dari sekadar rindu akan cinta-Nya

Tapi berbuat baiklah

Karena kita memang begitu tulus mencintai-Nya

Sahabat,

Di manakah ujung keihklasan

Ia ada dalam setiap nikmat

Yang benar-benar membekas dan dapat kamu rasakan

Maka, adalah sebuah keniscayaan

Jika kelak kamu dapat masuk dalam jannah-Nya

Melalui sekerat roti yang pernah kau sisihkan

Melalui setitik kebaikan yang pernah kamu berikan

Bukan karena sekerat roti yang kau dermakan

Tapi karena engkau kini mulai pahamkan

Akan arti satu dari sejuta nikmat yang kamu rasakan

Agus Sujarwo alhikmah.com [18.12.2003]


Ngenet

Mengawali suatu pekerjaan memang terasa sulit untuk yang belum terbiasa. Apalagi
harus mencari pelanggan. Dari persaingan sesama pedagang kecil sampai pedagang dari pabrik
besar. Di Jakarta memang menumpuk segala macam aktifitas dari jualan, pekerjaan, perkantoran,
atase kedutaan, dan lembaga pendidikan, semua ada. Bahkan sampai kolong-kolong jembatan.

Di kampung sesuatu yang tidak dibisniskan tapi di Jakarta ini semua laku dijual. Bahkan
untuk sekedar buang air kecil atau air besar dikenakan biaya, apalagi di tempat-tempat wisata.
Jakarta memang kota metropolitan yang tidak bisa sepi. Selalu padat jadwal. Hampir 24 jam
kesibukan selalu hadir. Dalam sepak bola nasional mereka memiliki klub tangguh yang di
dukung oleh ribuan The Jack Mania, pengawal Persija Jakarta Pusat. Maka kompletlah
gemerlapnya Jakarta.

Tapi Arif bersyukur pada pekerjaan tidak untuk bersalesman. Bukan apa-apa, ia merasa
tidak bisa menguasai bahasa bicara cepat untuk promosi, itu saja. Padahal menurut kisah orang-
orang sukses dengan sales yang baik maka pendapatan lebih baik lagi. Karena bisa saja strategi
yang baik memberikan kontribusi pendapatan yang besar. Melebihi gaji orang kantoran.

Arif menerima dengan senang ketika temannya yang pemilik warung internet atau warnet
memberikan pekerjaan sebagai penjaganya. Senang walau dengan honor pas-pasan. Baginya
akan lebih senang jika sampai bisa setiap hari berkecimpung dengan komputer. Dimana
komputer masih sangat langka di kampung halamannya. Dengan modal pengetahuan komputer
di SMU yang belum komplit tentunya suatu keberuntungan jika sampai jago komputer kelak.
Dan ke arah situ bukan suatu hal mustahil. Bahkan cita-cita untuk bisa kuliah belum pupus
diharapannya.

Untuk awalnya memang ia masih canggung untuk ngenet. Tapi setelah beberapa bulan
kerja ia sudah bisa mengerti dan mengoperasikan internet plus program komputer microsoft
office lainnya.

“Mas tolong dong dibuatkan email.”

Dengan senyum sebagai pelayan yang baik, Arif segera memberikan bantuan. Ia
memaklumi pada pelanggan baru ini. Mungkin pertama kali ngenet.

“Mau bikin email di situs apa Mbak?”


“Di alhikmah.com atau ukhuwah.or.id aja.”

“Kenapa tidak di yahoo?”

“Tidak ah, aku mau coba ikutan ngeboikot.”

Dengan segera Arif membukakan situs yang dimaksud. Ia persilahkan kembali pada
pelanggannya untuk mengisi biodata.

“Terima kasih Mas.”

Arif anggukkan kepala.

****

“Anto katanya kamu besok mau ngenet, buruan mumpung lagi ada diskon.” Arif promosi
pada Anto teman sekostnya.

“Titip aja deh, tolong bukain, nih loginnya!”

“Dee gimana seh, nanti kalau ada kiriman rahasia nanti kebaca lagi.”

“Ngak apa-apa, email ini kan hanya untuk bisnis. Setengah jam masih seribu kan?”

“Masih, oh ya tadi Zulfikar telepon, katanya pesen minyak wangi melati.”

“Thanks."

Arif menengok ke arah jam dinding. Baru angka enam lebih tiga puluh. Ia jaga pas jam
tujuh. Dengan cekatan ia mengambil kemeja birunya untuk disetrika. Sudah biasa bila mau
menyetrika harus antri, bukan hanya mandi saja. Maklum satu kamar kost itu dihuni oleh tujuh
orang. Bisa dibayangkan.

Jam tujuh kurang lima menit Arif sudah ada di ruangan jaga warnet. Tidak berapa lama
datanglah seorang pelanggan yang mau ngenet. Arif menyambut dengan ramah. Ia kembali ke
meja jaganya.

Arif mengambil sebuah majalah yang tergolek di dekat deretan buku. Ia segera membaca
buku Segenggam Gumam karya Helvy Tiana Rosa. Buku yang berisi tentang kesusasteraan
Islam. Sebenarnya kemarin ia ingin membaca, namun tidak sempat karena sibuk melayani
pelanggan. Ia memang hobi membuat cerpen, tapi belum tahu detil cara-cara kaidah membuat
cerpen atau cerita lainnya yang baik dan benar sesuai aturan. Namun baru sesaat baca ia tunda
lagi karena ada pelanggan baru mau ngenet.

Seorang gadis cantik berjilbab lebar kini sudah duduk di deretan pojok warnet setelah
ditunjukkan oleh Arif. Ruangan warnet memang cukup luas ada 15 set komputer dibagi dalam 2
ruangan. Namun tidak sama besar ruangannya. 10 set komputer untuk ngenet laki-laki. Dan
ruangan lebih kecil dengan 5 set komputer untuk ngenet wanita. Maka memang sesuai keingin
pemilik bahwa harus ada pemisah ruangan antara laki-laki dan wanita.

Tanggal 23 Desember 2003. Dipenghujung tahun ini Arif mendapat kiriman email dari
Yana mengenai bahasan yang sebenarnya sudah jelas dan banyak dalil-dalil untuk
mengharamkannya.

“Assalamualaikum Wr WB...Temen2 tolong donk....Gini, bos gue yang orang bule,


nasrani, nyuruh gue bikin undangan open house natal dirumahnya tgl 25 besok, gimana nih, gue
bikinin, apa tolak perintahnya, tolong ya... sudah ditungguin sampe ntar sore nih...jazakallah
ya..Wass, Yana.” Itulah kalimat pertanyaan di milis.

Ia tersenyum simpul lalu mulai mengetik memberikan jawaban atas pertanyaan Yana,
sahabat milis di media dakwah.

”Assalamu'alaikum wr wb. Yana, saudaraku yang baik kamu harus sabar pertama2 dan
memberikan pengertian pada bosmu itu. Bahwa sesuai Ajaran Islam, kita dilarang untuk ikut
campur termasuk yang hal2 kecilpun, apalagi untuk acara natal, apalagi ini untuk bikin undangan
open house. Percayalah kemurnian Aqidah lebih utama dari pada kesenangan dunia yang sesaat
ini. Jadi jangan takut di PHK andai kamu menolak, rizki Allah masih luas lagi. Kamu beri saran
pada bosmu agar memberikan tugas itu sama orang yang beragama seperti mereka (Nasrani).
Jangan sampai anda terima dengan alasan apapun, tidak ada pintu darurat di sini karena Nabi
memberi contoh kita, ketika Nabi SAW ditawarkan untuk mengikuti ibadah kaum Musryikin
Makkah selama setahun, dan setelah itu mereka mengikuti ibadah Islam selam setahun
berikutnya, Nabi SAW menolak.

Allah berfirman dengan Al Qur'an Surat al-Kafirun ayat 1 sampai 6. Mengucapkan


selamat Hari Raya Natal atau agama2 lainnnya baik langsung, via telepon, sms, spanduk, atau
sarana lainnya hukumnya HARAM. Ini salah satu kemungkaran. Karena itu termasuk bagian
ibadah orang2 Kristen (kembali renungi QS al-Kafirun; 1-6).

Toleransi bukan berarti ikut ajaran agama lain. Makanya Nabi saw jauh2 sudah
memperingatkan jauh2 tantang bahaya ikut tradisi dan kebiasaan agama lain. Sabda Beliau :
'Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam golongan mereka,' (HR Abu
Daud).

Abu Sa'id Al Khudri meriwayatkan Rasulullah saw bersabda,' Kalian akan amengikuti
sunnah2 (tradisi) orang2 sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sedepa demi sedepa, bahkan
walupun mereka masuk ke lubang biawak, kalian pasti mengikuti mereka. 'Para sahabat
bertanya,' (Yang dimaskud) adalah Yahudi dan Nasrani.' Rasulullah menjawab.' Siapa lagi?' (HR
Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibnu Madjah).

Adalah tugas kita untuk memperingatkan keluarga, teman2 lain dan muslimin bahwa
hukum ini sudah jelas. Termasuk Valenitne Day, sama saja HARAM. Mudah2an bos mu
mendapatkan hidayah dari Allah swt setelah kamu beri pengertian arti ajaran Islam yang tak
boleh diaduk dengan tradisi agama lain. Wallahu'alam bisshowwab.”

Dengan ucapan bismillah Arif memencet tombol send untuk mengirim email yang berisi
jawaban namun dengan tulisan yang santai agar lebih komunikatif.

“Kayaknya kita ikut acara tutup tahun 2003 dimana nih?”

“Dari tanggal 24 sampai 31 Desember libur habis, plus dua hari di bulan Januari 2004.
mumpung cuti lagi banyak nih!”

“Lama amat?”

“Bukan begitu To. Pulang ke Pekalongan, kan sekalian belanja pakaian buat di dagangain
di sini. Soalnya lagi banyak pesananan motif nih!”

“Iya deh, sukses buat kamu Dim.”

“Ngomong di Mesjid At-Tin bukannya ada MABIT?” Tanya Anto pada Dimas dan Arif.

“Malam Bina Iman dan Taqwa di sana udah lewat, kan adanya tanggal 20-21 Desember.
Baru kemarin.”

“Astagfirullah lupa ya? Padahal udah niatan banget mo ngikutin acaranya.”


“Bener nih mau ngikutin acara?” Arif menatap tajam Anto. Dilihatnya Anto anggukan
kepala. “Di Mesjid Al-Ittihaad Tebet kan ngadain, besok 27-28 Desember.”

“Insya Allah yang bener-bener deh.”

“Kita percaya kok. Ngapain nambahin embel-embel dibelakang jika Allah mengizinkan.”

“Artinya itu serius banget!!”

Arif dan Dimas hanya bisa nyengir.

Di malam yang sepi. Jam menunjukkan angka tiga lebih lima menit. Sejenak ia
memandangi halaman Mesjid Al Hikmah. Sholat Tahjud kali ini Arif menyelesaikan sebelas
rokaat. Sambil istirahat menunggu sholat subuh tiba Arif membaca 5 Before 5 dari Bianglala
Annida edisi Nomor 08/16 Januari 2002, yang ia bawa. Meskipun sudah setahun tapi majalah itu
masih kelihatan bagus karena memang Arif telaten merawatnya.

Mari renungkan beberapa butir pertanyaan berikut: Apa yang sudah kamu lakukan di
tahun-tahun sebelumnya? Bagaimana perasaan kamu? Seperti apakah kamu pada saat itu?
Apakah kamu akan meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi? Bagaimana sikap kamu
terhadap hidup ini? Teman seperti apa yang kamu sukai? Apakah kamu akan bergabung dengan
gang? Apakah kamu akan pacaran dulu sebelum menikah? Apakah kamu akan melakukan
hubungan seks terlebih dahulu sebelum menikah? Apakah kamu akan meminum bir, merokok,
dan menghisap narkoba? Nilai mana yang akan kita anut? Apakah kamu akan memilih Islam
sebagai pedoman hidupmu atau yang lainnya? Hubungan seperti apa yang kamu inginkan dengan
orang tuamu? Siapakah yang akan kamu bela? Apakah yang kamu bisa lakukan untuk agamamu,
bangsamu dan negerimu? Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari hidup ini? Dibacanya ulasan
dari Ibu Ery Soekresno, Spi. Itu dengan mengupas keterangan setelah kalimat-kalimat tersebut
dengan penuh penghayatan.

Arif menutup mukanya dengan dua telapak tangannya. Hanya kalimat istighfar yang ia
baca. Betapa semua pertanyaan dari tulisan Bu Ery itu sangat menyentuh perasaannya.
Mengingatkan kembali hidup masa lalu nya yang nyaris ditelanjangi dengan pertanyaan-
pertanyaan itu.

Sungguh degradasi iman hampir membuatnya buta hati akan kebenaran. Ia bersyukur
pada seorang sahabat yang senantiasa mengingatkannya, walau pernah ia caci maki.
Satu tekad, sisa hidup harus ada artinya mulai sekarang. Maka keesok harinya disela-sela
jaga warnet ia bermilis ria dengan kutipan-kutipan dakwahnya. Sang pemilik warnet memang
memberikan fasilitas pda pegawainya 1 komputer untuk lebih memfamiliarkan dan agar tidak
ketinggalan informasi aktual di internet. Yang penting sampai tidak melupakan tugas utamanya
sebagai penjaga warnet.

Salamku tuk semua sahabatku………………..

Mustofa Sarbini alhikmah.com [5.02.2004]

Utusan syahwat

“Janganlah mengikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (yang kedua), karena


bagimu (keringanan) untuk pandangan pertama, namun tidak untuk pandangan yang kedua.”
(HR.Ahmad dari Buraidah dari ayahnya).

Dari mana datangnya cinta? Dari mata turun ke hati. Sya’ir ini sangat populer di kalangan
pecinta musik dan lagu. Sehingga penulis sempat ragu untuk mencantumkan sya’ir ini karena
khawatir menimbulkan kesan latah dan ikut-ikutan. Akan tetapi secara substansi syair itu benar
dan bahkan jauh sebelum muncul dari mulut mereka para ulama telah menyebutkannya. Toh,
mutiara tetap saja mutiara meskipun keluar dari mulut anjing.

Antara mata dan hati terdapat pintu terbuka dan jalan penghubung antara keduanya. Apa
yang dikonsumsi oleh mata, itu pula yang akan mendominasi hati. Bahkan masuknya pengaruh
pandangan mata ke dalam hati melebihi kecepatan masuknya udara ke tempat yang kosong.

Jika yang dikonsumsi mata adalah sesuatu yang haram maka hati yang merupakan
komandan seluruh jasad akan ternoda, dia tidak menyuruh kecuali yang haram.

Di antara ulama menggambarkan hubungan imbal balik antara mata dan hati dengan
dialog imajiner yang terjadi antara keduanya. Mata berkata kepada hati: “Wahai hati, mengapa
engkau menyuruhku melihat sesuatu yang haram?”
Hati mendebat mata dan berkata: “Itu gara-gara kamu juga, karena tadinya engkau
melihat yang haram, sehingga mengotoriku, maka akupun menyuruh dengan sesuatu yang haram
pula.”

Lalu datanglah anggota badan lain sebagai hakim dan berkata: “Kalian berdua ibarat dua
orang, yang satu lumpuh namun bisa melihat dan yang satu buta tapi mampu berjalan. Ketika si
lumpuh melihat buah yang menggiurkan sementara dia tak mampu meraihnya karena lumpuh,
dia pun mengabarkan kepada si buta yang mampu berjalan. Lalu untuk mendapatkannya
keduanya bekerja sama, kakinya menggunakan kaki si buta, sedangkan matanya menggunakan
mata si lumpuh. Setelah itu keduanya sama-sama merasakan lezatnya buah tersebut.

Hati dan mata, keduanya seperti dua lampu yang dipasang paralel. Jika satu tombol
dipencet yang lain ikut menyala. Jika salah satu melakukan aktivitas maka yang lain akn terkena
imbasnya.

=Siklus Dosa Berawal dari Mata=

Apa yang dikonsumsi mata, pengaruhnya terus mengalir mengikuti siklusnya. Tak akan
berhenti pada satu titik saja, bahkan tak cukup hanya sekali putaran dia mempengaruhi aktivitas
jasad seluruhnya. Seluruh dosa bisa bermula dari mata, meluapnya syahwat dari bendungannya
paling sering berawal darinya juga.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim bahwa ‘pandangan mata adalah juru
pengintai syahwat dan utusannya.’ Pasalnya, dialah yang bertugas mencari mangsa, dia pula
yang pertama mencicipinya dan dia pula yang akan menyalurkannya kepada hati sebagai
panglimanya, selanjutnya hati yang akan membagikannya kepada seluruh anggota badan sebagai
pasukannya.

Tentang bagaimana siklus dosa mengalir, terutama dosa zina dijelaskan dengan sangat
apik oleh Ibnul Qayyim di dalam bukunya Al-Jawabul Kafi.

Pertama, bermula dari pandangan. Khususnya jika obyek yang dipandang adalah wanita
(jika yang memandang laki-laki), atau sebaliknya, bisa juga berupa gambar atau film. Dari
pandangan ini, hampir pasti meninggalkan bekasnya, seberapapun kadarnya.

Kedua, siklus akan beralih dari pandangan menuju lintasan hati. Hati merekam apa yang
dilihatnya, wajahnya, auratnya dan apapun yang berkesan setelah pandangan mendarat pada
sasarannya. Pada terminal ini, teramat sulit untuk membendung bola salju yang telah
menggelinding, hingga sampailah ia pada siklus berikutnya yang lebih akut.

Ketiga, dari lintasan hati akan melahirkan pikiran. Indahnya obyek pandangan senantiasa
terbayang di benaknya hingga hati sibuk memikirkanya. Diapun berangan: ‘Seandainya saja…’,
‘Mungkinkah jika aku…’, ‘Bagaimana caranya…’ dan angan-angan lain yang menyibukkan
sebagian aktivitas pikiran dan hatinya. Bayang-bayang itu pula yang memenuhi rongga hati dan
otaknya.

Keempat, Di saat akal sibuk memikirkannya, hati antusias untuk membayangkannya,


secara otomatis, siklus berikutnya telah dimasuki, yakni hadirnya syahwat. Ya, serta merta
syahwat akan hadir di saat orang membayangkan wanita telanjang, atau berfikir seandainya yang
menjadi aktor dalam film porno yang dilihatnya itu adalah dirinya. Pada titik ini, nasib imannya
sudah berada di ujung tanduk, benteng pertahanannya sudah nyaris ambruk. Karena ia memasuki
fase yang lebih berbahaya.

Kelima, Hadirnya syahwat akan melahirkan ‘iradah’, kemauan untuk melampiaskannya.


Jika dia telah membayangkan orang berzina, niscaya timbul kemauan dia untuk melakukannya.

Siklus keenam, jika iradah semakin menguat maka terciptalah ‘azimah jazimah’, tekad
yang kuat atau gejolak nafsu yang membara. Dan jika tekad telah bulat, perbuatan zina akan sulit
untuk dibendung. Siklus ini sulit dihentikan bila terlanjur berputar. Tak heran jika kebanyakan
orang melakukan pemerkosaan bermula dari menonton film porno. Dan umumnya tidak puas
berhenti di satu titik sebelum dia bertaubat nashuha atau dihentikan sanksi yang akan
disandangnya.

=Musibah dalam Tayangan dan Media Masa=

Media yang mestinya berfungsi sebagai sumber informasi rupanya telah berubah menjadi
penyebar virus. Media menjadi pemberi kontribusi terbesar terhadap gejolak birahi secara
massal, tak pandang usia, status sosial maupun tingkat ekonomi. Orang yang ingin mendapatkan
‘sedikit’ manfaat darinya pun akhirnya harus ‘rela’ mentolelir iklan yang saru dan tabu misalnya.

Tidak tanggung-tanggung, 24 jam penuh tayangan TV dapat disaksikan. Tanpa


menafikan adanya manfaat yang disuguhkan. Namun yang pasti kapanpun orang ingin melihat
yang haram diapun dapat memilih channel-nya. Maka jika banyak generasi pemerkosa, atau
banyaknya gadis yang hilang kehormatannya, mestinya para penanggung jawab acara-acara di
TV itu turut bertanggung jawab.

Tak kalah noraknya dengan acara-acara di TV, koran dan tabloid-tabloid jalanan
berkeliaran lengkap dengan wanita yang menjajakan kehormatannya. Di pinggir jalan, siapapun
bisa memelototinya atau jika punya uang bisa membelinya.

=Solusi Syar’i=

Melihat begitu besarnya pengaruh pandangan mata, sementara setan-setan menebarkan


sasaran di setiap sudut dan lokasi yang paling strategis, kesabaran untuk menahan pandangan
lebih dituntut. Janganlah kita terlalu percaya diri mengumbar pandangan, atau meremehkan
pandangan terhadap obyek yang haram lalu menyangka tak terjadi akibat apa-apa. Karena
bertahan untuk tidak melihat yang haram betapapun beratnya, itu masih lebih ringan daripada
membendung pengaruh setelah melihatnya. Untuk itulah di antara salaf berkata: ‘ash-shabru ‘ala
ghadhil bashar aisar minash shabri ‘ala alamin ba’dahu’, bersabar untuk menahan pandangan
lebih mudah dari pada bersabar atas akibat setelah melihatnya.”

Syari’at memberikan solusi dari tindak perzinahan dan pemerkosaan sampai ke akarnya,
memotong jalan mulai dari start-nya. Allah berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya..” (an-Nuur: 30). Dan firman-Nya:

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya..” (an-Nuur: 31)

Imam Al-Qurthubi menyebutkan di dalam tafsirnya: “(Kedua) ayat tersebut tidak


menyebutkan menahan pandangan dari apa dan menjaga kemaluannya dari apa, karena otomatis
telah dimaklumi, yakni menjaganya dari yang haram, bukan yang halal.” Nabi . bersabda:

“Janganlah mengikuti pandangan (pertama) dengan pandangan yang kedua, karena


bagimu (keringanan) untuk pandangan pertama, namun tidak untuk pandangan yang kedua.”
(HR Ahmad, diriwayatkan juga oleh Muslim dan At-Tirmidzi dengan redaksi yang hampir sama)

Pandangan pertama yang dimaksud adalah pandangan yang tidak disengaja


mengarahkannya. Nabi pernah ditanya tentang pandangan tiba-tiba yang tidak disengaja beliau
perintahkan untuk memalingkan pandangannya. Termasuk di sini laki-laki memandang wanita
yang bukan istri dan bukan pula mahramnya. Karena Nabi pernah memalingkan wajah seorang
sahabat yang ketahuan melihat seorang wanita, meskipun wanita tersebut berbusana lengkap.
Lantas bagaimana halnya dengan memandang wanita yang telanjang atau nyaris telanjang?

Di samping menahan pandangan, mencegah kemungkaran adalah kewajiban mendesak


yang harus segera kita tunaikan dalam urusan ini. Bagaimana kita hendak menahan pandangan
sementara kita biarkan setan-setan membuka paksa mata kita dan membanjirinya dengan
berjubel pemandangan yang haram? Nabi bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah dia
mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu
maka dengan hatinya, itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Majalah Ar Risalah myquran.com

Dan Kita Pun Akan Menjadi Tua

Hidup bagaikan garis lurus

Tak pernah kembali ke masa yang lalu

Hidup bukan bulatan bola

Yang tiada ujung dan tiada pangkal...

Syair lagu diatas, sering kita dengar dari lantunannya Bimbo, liriknya mengingatkan kita
akan sebuah akhir. Kehidupan ini tidak akan berlangsung abadi, hingga suatu saat kita akan
menaiki tangga usia, semakin lama usia kita bertambah, semakin berkuranglah sisa umur kita
dan andai Tuhan belum memanggil kita di usia muda maka kitapun akan menjadi tua.
Melihat garis-garis di wajah sosok yang kita cintai ibu dan ayah kita, ketika kulitnya
mulai keriput, rambut hitamnya mulai memutih dan kesehatannya kian menyusut, kita diingatkan
oleh-Nya bahwa kitapun sama, suatu saat nanti akan menjadi tua, renta dan butuh begitu banyak
pertolongan, kasih sayang serta perhatian dari anak-anak kita.

Dan sekaranglah saatnya bagi kita untuk memainkan peran sebagai seorang anak,
memelihara dan menyayangi ayah dan ibu kita. Dahulu sembilan bulan kita dalam rahim ibu, kita
menyusahkannya, duduk ia tak enak, berbaring tak nyaman. Tapi ibu sabar menanti hari-hari
kelahiran kita. Tiba kita di dunia, ibu tersenyum bahagia mendapatkan kita sebagai anugerah dari
Tuhan-Nya, disusuinya, dimanjakannya dan dibesarkannya kita dengan penuh kasih sayang.
Diajarkannya kita berbagai ilmu dan sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi kita diajarkan
untuk mengenal Allah sebagai Tuhan kita. Dengan sabar ibu mengajak kita pergi ke pengajian
dan ayah selalu mengajak kita shalat berjamaah.

Menginjak remaja, kita semakin menyusahkannya, biaya sekolah yang kian besar serta
kenakalan-kenakalan yang sering kita lakukan tak jarang membuat hati ibu terluka. Sikap kita
yang kasar, egois dan selalu merasa benar terkadang membuatnya menangis, tapi ibu tetap sabar.
Dibimbingnya kita untuk memperbaiki sikap dan tingkah laku kita, ibu selalu menanamkan cinta
kepada Allah Rabb Tuhan yang maha kasih dan sayang.

Berbahagialah bagi yang masih mempunyai ibu juga ayah, karena masih mempunyai
kesempatan untuk memelihara dan menyayangi mereka. Dan saat kita menginjak dewasa, ketika
ayah yang dulu kekar sekarang sering terbaring sakit, dan ketika ibu yang dulu selalu melayani
kita makan sekarang sering terbaring lemah, inilah saat-saat yang baik bagi kita untuk
memuliakan mereka, melayani, memelihara dan memberikan perhatian kepada mereka. Inilah
kesempatan kita untuk menjadi anak yang shaleh buat mereka bahagia di ujung usianya, dan buat
mereka bangga dengan kita. Ingatkah, dahulu ketika kebetulan kita terbangun dari tidur, terlihat
ibu sedang Tahajjud tak henti-hentinya berdo'a untuk kita, agar menjadi anak yang shaleh dan
tercapai semua cita.

Jenguklah ibu dan ayah kita selagi bisa, sebelum semuanya berakhir menjadi kenangan,
bawakan oleh-oleh yang disukainya. Sebab jika mereka telah tiada maka tak akan ada lagi yang
menunggu kita pulang, tak ada lagi menyiapkan kita sarapan, yang ada hanyalah rumah yang
akan menjadi kenangan. "Muliakanlah Orang tua kita karena kitapun akan menjadi tua" (untuk
ibu di rumah dan ayah yang telah tiada, Ananda)

Abdullah Fannany eramuslim.com

Kuntum Cintanya....

“De’… de’… Selamat Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku.
“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu
sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di
hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami
lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak
ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke
kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan
selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa
bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku
seperti putri hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan
mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me….
Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini
aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak
punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa
membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku
menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering
keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar.
Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.
“De… Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap
di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa
bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu
semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.

Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari
mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan
bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.

“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata.
Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku.
Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan
sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak
bersyukurnya aku.

“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin
kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan
tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku.
Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi…
mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya
karuniamu masih aku pertanyakan.

“A’ lihat aku…,” pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di
matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan
dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan
ketulusan itu. “Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara isakan.
“Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku
kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus
perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama....”
bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi
keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada
suaminya yang selalu telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya
semakin kencang di pelukanku.

Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata,
tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan
dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih
bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa
ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi
pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…

Emine eramuslim

Berhenti Menjadi Pengemis

Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau
melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri. Satu lewat, ku beri, kemudian lewat
satu pengemis lagi, kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti dan
menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian.

Tidak setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga
tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan lima ratus rupiah,
tergantung persediaan.

Sahabat saya, Diding, punya cara lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya
tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya
lebih besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari gajinya. Tapi
setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan di Pasar Minggu,
anggapan saya itu ternyata salah.

Seorang ibu setengah baya sambil menggendong anaknya menghampiri kami seraya
menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh
ditahannya. Kemudian Diding mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu
rupiah, satu lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang ada
di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.

"Ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang seratus
ribu?" tanya Diding.

Sudah barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk
ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu.

"Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi kalau ibu pilih yang
seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam
waktu yang kita tentukan, bagaimana?" terang Diding.

Agak lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak
bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus ribu itu hanya
pinjaman?"

"Betul bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah ini
untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang
seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu tak perlu meminta-minta lagi,"
katanya.

Selanjutnya Diding menjelaskan bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk
modal bagi seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang
ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa
perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja dan lain-lain.

Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang
tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan
rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.
Diding sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain
untuk mengisi perutnya -dengan tetap membayar- ia juga berkesempatan untuk memberikan
masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.

Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu,
dua hari lalu saat Diding kembali mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak
bisa lagi tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding.
"Terima kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."

Diding mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya
sukses. Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya gagal atau
tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-
gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu.
Dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.

Ding, inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.

Bayu Gautama eramuslim.com

Apa Yang Menghalangimu Untuk Belum Berhijab Wahai Saudariku

Hijab adalah pakaian wanita muslim yang menutup bagian kepala sampai dengan kaki
(termasuk didalamnya jilbab/tudung dan pakaian yang longgar tidak memperlihatkan lekuk
tubuh). Bagi orang awam, masalah hijab mungkin dianggap masalah sederhana. Padahal
sesungguhnya, ia adalah masalah besar. Karena ia adalah perintah Allah SWT yang tentu
didalamnya mengandung hikmah yang banyak dan sangat besar. Ketika Allah SWT
memerintahkan kita suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu adalah untuk
kebaikan kita dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.

Seperti firman Allah SWT: "Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh
mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu ‫”آ‬.(QS. Al Ahzab:59)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Akan ada di akhir umatku kaum
lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu
masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, diatas kepala mereka (terdapat
suatu) seperti punuk onta yg lemah gemulai. Laknatlah mereka! Sesunggunya mereka adalah
wanita -wanita terlaknat."(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad(2/33))

Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah bersabda: “Dua kelompok
termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg
membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg
berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti
punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat
baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."(HR.
Muslim, hadits no. 2128).

Dimasa kini banyak alasan atau sebab yang sering dijadikan alasan mengapa para wanita
enggan untuk berhijab, diantaranya:

1. Belum mantap

Bila ukhti/saudari berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua
hal. Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia. Selagi masih dalam perintah
manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerimanya. Tapi bila perintah itu dari
Allah SWT tidak ada alasan bagi manusia untuk mengatakan saya belum mantap, karena bisa
menyeret manusia pada bahaya besar yaitu keluar dari agama Allah SWT sebab dengan begitu ia
tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut.

Allah SWT berfirman Allah: "Dan tidak patut bagi lelaki mukmin dan wanita mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya
maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

2. Iman itu letaknya di hati bukan dalam penampilan luar


Para ukhti/saudari yang belum berhijab berusaha menafsirkan hadist, tetapi tidak sesuai
dengan yang dimaksudkan, seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam: “Sesungguhnya
Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu tapi Dia melihat
pada hati dan amalmu sekalian.”(HR. Muslim, Hadist no. 2564 dari Abu Hurairah).

Tampaknya mereka menggugurkan makna sebenarnya yang dibelokkan pada kebathilan.


Memang benar Iman itu letaknya dihati tapi Iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. Iman
dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapat Surga. Karena
definisi Iman Menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah: "keyakinan dalam hati,
pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan". Dan juga tercantum dalam
Al-Quran setiap kali disebut kata Iman, selalu disertai dengan amal, seperti: "Orang yg beriman
dan beramal shalih....". Karena amal selalu beriringan dengan iman, keduanya tidak dapat
dipisah-pisahkan.

3. Allah belum memberiku hidayah

Ukhti/saudari yang seperti ini terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Karena bila orang
yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo'akan dirinya agar
mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa mengantarkannya
sehingga mendapatkan hidayah tersebut. Seperti firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.‫( ”آ‬QS. Ar-Ra'd: 11).

Karena itu wahai uhkti/saudari, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya


Anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah SWT. Diatara usaha itu adalah berdo'a
agar mendapat hidayah, memilih kawan yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan
merenungkan Kitab Allah, mengikuti majelis dzikir dan ceramah agama dan lainnya.

4.Takut tidak laku nikah

Syubhat ini dibisikkan oleh setan dalam jiwa karena perasaan bahwa para pemuda tidak
akan mau memutuskan untuk menikah kecuali jika dia telah melihat badan, rambut, kulit,
kecantikan dan perhiasan sang gadis. Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling
pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita.
Rasulullah Shallallahu ‫‘آ‬Alaihi Wasallam bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat
hal; yaitu karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yg berpegang
teguh dengan agama,(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu". (HR. Al Bukhari,
kitaabun nikah,9/115).

5. Ia masih belum Dewasa

Sesungguhnya para wali, baik ayah atau ibu yang mencegah anak puterinya berhijab,
dengan dalih karena masih belum dewasa, mereka mempunyai tanggung jawab yang besar
dihadapan Allah SWT pada hari Kiamat. Karena menurut syariat ketika seorang gadis
mendapatkan Haidh, seketika itu pula ia wajib untuk berhijab.

6. Orang tuaku dan suamiku melarang berhijab

Dasar permasalahan ini adalah bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus didahulukan
daripada keta’atan kepada mahluk siapa pun dia. Seperti dalam hadits shahih disebutkan:

"sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan."(HR. Al Bukhari dan Muslim). Dan
sabda Rasul dalam hadist lainnya: "Dan tidak boleh ta'at kepada mahluk dengan mendurhakai
(bermaksiat) kepada Al-Khaliq." (HR. Imam Ahmad, hadits ini shahih).

Maka dari itu wahai ukhti yang belum berhijab, semoga tulisan ini mejadi pembuka hati
yang terkunci, menggetarkan perasaan yg tertidur, sehingga bisa mengembalikan segenap akhwat
yang belum menta’ati perintah berhijab, kepada fitrah yang telah diperintahkan Allah SWT.

(Dikutip dari buku terjemahan yg berjudul asli Ila Ukhti Ghairil Muhajjabah Mal Maani'u
Minal Hijab? oleh Syaikh Abdul Hamid Al Bilaly).

Wallahu A’lam.

Hj. Dewi Setiani kafemuslimah.com


Hapuslah Air Mata di Pipi, Hilangkan Lara di Hati

Kegelisahan, kedukaan dan air mata adalah bagian dari sketsa hidup di dunia. Tetesan air
mata yang bermuara dari hati dan berselaputkan kegelisahan jiwa terkadang memilukan, hingga
membuat keresahan dan kebimbangan.

Kedukaan karena kerinduan yang teramat sangat dalam menyebabkan kepedihan yang
menyesakkan rongga dada. Jiwa yang rapuh pun berkisah pada alam serta isinya, bertanya,
dimanakah pasangan jiwa berada. Lalu, hati menciptakan serpihan kegelisahan, bagaikan anak
kecil yang hilang dari ibunya di tengah keramaian.

Keinginan bertemu pasangan jiwa, bukankah itu sebuah fitrah? Semua itu hadir tanpa
disadari sebelumnya, hingga tanpa sadar telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan.
Sebuah fitrah pula bahwa setiap wanita ingin menjadi seorang istri dan ibu yang baik ketimbang
menjalani hidup dalam kesendirian. Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya, akan
terbentuk jiwa-jiwa yang sholeh dan sholehah.

Duhai...

Betapa mulianya kedudukan seorang wanita, apalagi bila ia seorang wanita beriman yang
mampu membina dan menjaga keindahan cahaya Islam hingga memenuhi setiap sudut
rumahtangganya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala pun telah menciptakan wanita dengan segala


keistimewaannya, hamil, melahirkan, menyusui hingga keta'atan dan memenuhi hak-hak
suaminya laksana arena jihad fii sabilillah. Karenanya, yakinkah batin itu tiada goresan saat
melihat pernikahan wanita lain di bawah umurnya? Pernahkah kita menyaksikan kepedihan
wanita yang berazam menjaga kehormatan diri hingga ia menemukan kekasih hati? Dapatkah
kita menggambarkan perasaannya yang merintih saat melihat kebahagiaan wanita lain
melahirkan? Atau, tidakkah kita melihat kilas tatapan sedih matanya ketika melihat aqiqah anak
kita?

Letih...

Sungguh amat letih jiwa dan raga. Sendiri mengayuh biduk kecil dengan rasa hampa,
tanpa tahu adakah belahan jiwa yang menunggu di sana.

Duhai ukhti sholehah...


Dalam Islam, kehidupan manusia bukan hanya untuk dunia fana ini saja, karena masih
ada akhirat. Memang, setiap manusia telah diciptakan berpasangan, namun tak hanya dibatasi
dunia fana ini saja. Seseorang yang belum menemukan pasangan jiwanya, insya Allah akan
dipertemukan di akhirat sana, selama ia beriman dan bertaqwa serta sabar atas ujian-Nya yang
telah menetapkan dirinya sebagai lajang di dunia fana. Mungkin sang pangeran pun tak sabar
untuk bersua dan telah menunggu di tepi surga, berkereta kencana untuk membawamu ke
istananya.

Keresahan dan kegelisahan janganlah sampai merubah pandangan kepada Sang Pemilik
Cinta. Kalaulah rasa itu selalu menghantui, usah kau lara sendiri, duhai ukhti. Taqarrub-lah
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kembalikan segala urusan hanya kepada-Nya, bukankah
hanya Ia yang Maha Memberi dan Maha Pengasih. Ikhtiar, munajat serta untaian doa tiada habis-
habisnya curahkanlah kepada Sang Pemilik Hati. Tak usah membandingkan diri ini dengan
wanita lain, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti memberikan yang terbaik untuk setiap
hamba-Nya, meski ia tidak menyadarinya.

Usahlah dirimu bersedih lalu menangis di penghujung malam karena tak kunjung usai
memikirkan siapa kiranya pasangan jiwa. Menangislah karena air mata permohonan kepada-Nya
di setiap sujud dan keheningan pekat malam. Jadikan hidup ini selalu penuh dengan harapan baik
kepada Sang Pemilik Jiwa. Bersiap menghadapi putaran waktu, hingga setiap gerak langkah serta
helaan nafas bernilai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tausyiah-lah selalu hati dengan
tarbiyah Ilahi hingga diri ini tidak sepi dalam kesendirian.

Bukankah kalau sudah saatnya tiba, jodoh tak akan lari kemana. Karena sejak ruh telah
menyatu dengan jasad, siapa belahan jiwamu pun telah dituliskan-Nya.

Sabarlah ukhti sholehah...

Bukankah mentari akan selalu menghiasi pagi dengan kemewahan sinar keemasannya.
Malam masih indah dengan sinar lembut rembulan yang dipagar bintang gemintang. Kicauan
bening burung malam pun selalu riang bercanda di kegelapan. Senyumlah, laksana senyum
mempesona butir embun pagi yang selalu setia menyapa.

Hapuslah air mata di pipi dan hilangkan lara di hati. Terimalah semua sebagai bagian dari
perjalanan hidup ini. Dengan kebesaran hati dan jiwa, dirimu akan menemukan apa rahasia di
balik titian kehidupan yang telah dijalani. Hingga, kelak akan engkau rasakan tak ada lagi riak
kegelisahan dan keresahan saat sendiri.

Wallahua'lam bi shawab.

Abu Aufa kafemuslimah.com

Pilih Pacaran atau…..Ta’aruf?

Jaman sekarang gampang banget ketemu sama orang yang lagi pacaran. Di jalan, mal,
kampus, di mana-mana. Apalagi sekarang kan ada acara TV yang nyomblang-in orang sampai ke
pengeksposean pernyataan cinta segala.

Sebetulnya apa sih pacaran itu? Biasanya kalau ada cowok dan cewek saling suka, salah
satunya nyatain dan yang lainnya terima, itu berarti udah pacaran. Buat sebagian orang pacaran
itu isinya jalan berdua, makan, nonton, curhat-curhatan. Pokoknya just for fun lah! Ada juga
orang-orang tujuannya untuk lebih mengenal sebelum pernikahan.

Sebagai umat Islam kita perlu lho mengkritisi apakah “praktek pacaran” yang banyak
dilakukan orang ini sesuai atau tidak dengan aturan-aturan dalam Islam.

Pertama, orang kalo lagi pacaran maunya berdua terus. Ah yang bener, iya apa iya.
Beberapa hari enggak ditelpon udah resah, seharian enggak di sms udah kangen. Begitu ketemu
pengen memandang wajahnya terus, wah pokoknya dunia serasa berbunga-bunga. Apalagi kalau
pakai acara mojok berdua, di tempat sepi mesra-mesraan. Waduh, hati-hati deh, soalnya
Rasulullah SAW bersabda, “ Tiada bersepi-sepian seorang lelaki dan perempuan, melainkan
syetan merupakan orang ketiga diantara mereka.”

Kedua, kalau lagi pacaran rasanya seperti dimabuk cinta. Lupa yang lainnya. Dunia
serasa milik berdua yang lainnya ngontrak. Hati-hati juga nih, nanti kita bisa lupa sama tujuan
Allah menciptakan kita (manusia). FirmanNya, “ Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, kecuali
untuk beribadah kepadaKu.” (QS 51:56)
Ketiga, bukan rahasia lagi kalau di jaman serba permisif ini seks udah jadi bumbu
penyedap dalam pacaran (Majalah Hai edisi 4-10 Maret 2002). Majalah Kosmopolitan juga
mengadakan riset di lima universitas terbesar di Jakarta, dan ternyata dari yang mengaku pernah
melakukan aktivitas seksual, sebanyak 67,1% pertama kali melakukan dengan pacarnya.

Memang banyak orang pacaran awalnya enggak menjurus ke sana. Tapi gara-gara sering
berdua, ada kesempatan, dan diem-diem syetan udah ngerubung, yah terjadilah. Pertama pegang
tangan, terus rangkul pundak, terus cium pipi, terus…..terus…..wah bisa kebablasan deh. Jangan
salah lho, agama kita melindungi kita dengan melarang melakukan perbuatan-perbuatan itu.
FirmanNya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu pekerjaan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS 15:32) Ternyata Al Quran udah melakukan tindakan
preventif dengan melarang mendekatinya, bukan melarang melakukannya. Rasulullah SAW juga
bersabda, “Seandainya kamu ditusuk dengan jarum besi, maka itu lebih baik bagimu daripada
menyentuh perempuan yang tidak halal bagimu.” Jadi pegang-pegangan tangan juga mesti
dihindari tuh.

Keempat, ternyata pacaran bukan jaminan akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Banyak
orang di sekitar kita yang sudah bertahun-tahun pacaran ternyata kandas di tengah jalan. Pacaran
pun tidak menjadikan kita tahu segalanya tentang si dia. Banyak yang sikapnya berubah setelah
menikah.

Kalaulah kini kita tahu praktek pacaran nggak menjadi suatu jaminan bahkan banyak
melanggar aturan Allah dan tidak mendapat ridhoNya, masihkah kita yang mengaku hambaNya,
yang menginginkan surgaNya, yang takut akan nerakaNya, masih melakukannya? Tapi kalau
bukan dengan pacaran, gimana caranya ketemu jodoh? Jaman sekarang kan kita enggak bisa
gampang percaya sama orang, jadi perlu ada penjajagan. Islam punya solusi yang mantap dan
OK dalam memilih jodoh. Istilahnya ngetop dengan nama Ta’aruf, artinya perkenalan.

Pertama, ta'aruf itu sebenarnya hanya untuk penjajagan sebelum menikah. Jadi kalau
salah satu atau keduanya nggak merasa sreg bisa menyudahi ta'arufnya. Ini lebih baik daripada
orang yang pacaran lalu putus. Biasanya orang yang pacaran hatinya sudah bertaut sehingga
kalau tidak cocok sulit putus dan terasa menyakitkan. Tapi ta'aruf, yang Insya Allah niatnya
untuk menikah Lillahi Ta'ala, kalau tidak cocok bertawakal saja, mungkin memang bukan jodoh.
Tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan.
Kedua, ta'aruf itu lebih fair. Masa penjajakan diisi dengan saling tukar informasi
mengenai diri masing-masing baik kebaikan maupun keburukannya. Bahkan kalau kita tidurnya
sering ngorok, misalnya, sebaiknya diberitahukan kepada calon kita agar tidak menimbukan
kekecewaan di kemudian hari. Begitu pula dengan kekurangan-kekurangan lainnya, seperti
mengidap penyakit tertentu, enggak bisa masak, atau yang lainnya. Informasi bukan cuma dari si
calon langsung, tapi juga dari orang-orang yang mengenalnya (sahabat, guru ngaji, orang tua si
calon). Jadi si calon enggak bisa ngaku-ngaku dirinya baik. Ini berbeda dengan orang pacaran
yang biasanya semu dan penuh kepura-puraan. Yang perempuan akan dandan habis-habisan dan
malu-malu (sampai makan pun jadi sedikit gara-gara takut dibilang rakus). Yang laki-laki
biarpun lagi bokek tetap berlagak kaya traktir ini itu (padahal dapet duit dari minjem temen atau
hasil ngerengek ke ortu tuh).

Ketiga, dengan ta'aruf kita bisa berusaha mengenal calon dan mengumpulkan informasi
sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini bisa terjadi karena kedua
belah pihak telah siap menikah dan siap membuka diri baik kelebihan maupun kekurangan. Ini
kan penghematan waktu yang besar. Coba bandingkan dengan orang pacaran yang sudah lama
pacarannya sering tetap merasa belum bisa mengenal pasangannya. Bukankah sia-sia belaka?

Keempat, melalui ta'aruf kita boleh mengajukan kriteria calon yang kita inginkan. Kalau
ada hal-hal yang cocok Alhamdulillah tapi kalau ada yang kurang sreg bisa dipertimbangan
dengan memakai hati dan pikiran yang sehat. Keputusan akhir pun tetap berdasarkan dialog
dengan Allah melalui sholat istikharah. Berbeda dengan orang yang mabuk cinta dan pacaran.
Kadang hal buruk pada pacarnya, misalnya pacarnya suka memukul, suka mabuk, tapi tetap bisa
menerima padahal hati kecilnya tidak menyukainya. Tapi karena cinta (atau sebenarnya nafsu)
terpaksa menerimanya.

Kelima, kalau memang ada kecocokan, biasanya jangka waktu ta'aruf ke khitbah
(lamaran) dan ke akad nikah tidak terlalu lama. Ini bisa menghindarkan kita dari berbagai macam
zina termasuk zina hati. Selain itu tidak ada perasaan "digantung" pada pihak perempuan. Karena
semuanya sudah jelas tujuannya adalah untuk memenuhi sunah Rasulullah yaitu menikah.

Keenam, dalam ta'aruf tetap dijaga adab berhubungan antara laki-laki dan perempuan.
Biasanya ada pihak ketiga yang memperkenalkan. Jadi kemungkinan berkhalwat (berdua-duaan)
kecil yang artinya kita terhindar dari zina.
Nah ternyata ta'aruf banyak kelebihannya dibanding pacaran dan Insya Allah diridhoi
Allah. Jadi, sahabat……..kita mau mencari kebahagian dunia akhirat dan menggapai ridhoNya
atau mencari kesulitan, mencoba-coba melanggar dan mendapat murkaNya?

oetari@alexandria Kafemuslilmah.com

Rebutlah Gelar Wanita Sholehah

Pertama-tama adalah mesti engkau sadari, bahwa sesungguhnya aku tak akan menilai
kecantikan wajahmu dibalik jilbab yan engkau kenakan, serta harta yang kau miliki sebagai daya
tarik untuk menikahimu. Tapi kecantikan hati, perilaku, serta ketaatanmu kepada Dienul Islam
itu yang utama. Memang hal ini sangat musykil di zaman yang telah penuh dengan noda-noda
hitam akibat perbuatan manusia, sehingga wanita-wanitanya sudah tidak malu lagi untuk menjual
kecantikannya dan berlomba-lomba memperlihatkan aurat dengan sebebas-bebasnya demi
memuaskan hawa nafsu jahatnya. Namun itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, kepada kita
melalui haditsnya :

“Janganlah engkau peristrikan wanita karena hartanya, sebab hartanya itu menyebabkan
mereka sombong. Dan jangan pula kamu peristrikan wanita karena kecantikannya, karena boleh
jadi kecantikannya itu dapat menghinakan dan merendahkan martabat mereka sendiri. Namun
peristrikan wanita atas dasar Diennya. Sesungguhnya budak hitam legam kulitnya tetapi Dienya
lebih baik, lebih patut kamu peristrikan“. (HR. Bukhori)

Dan Allah pun tak akan melihat kebagusan wajah dan bentuk jasadmu. Tapi Dia menilai
hati dan amal yang kau lakukan. Hendaknya engkau yakin bahwa wanita-wanita salafusshaleh
adalah panutanmu, yang telah mendapat bimbingan dari nabi Muhammad SAW.

Contohlah Ummu Khomsa yang tersenyum gembira mendengar anak-anaknya gugur


dalam medan pertempuran. Tentunya engkau heran, mengapa seorang ibu seperti itu ? jawabnya
adalah karena ia yakin bahwa jannah telah menanti anaknya di akhirat, sedangkan engkau tahu,
tak seorangpun yang tidak menginginkan akhir hidup di tempat yang penuh kenikmatan itu.

Katakanlah kepada anak-anakmu kelak :

…janganlah engkau bimbang dan ragu wahai anakku, kalau kamu syahid daripada sibuk
mengumpulkan hartadan memburu pangkat. Maka kalau kamu ingin termasuk ke dalam
golongan-golongan pejuang ISLAM yang benar-benar memperjuangkan hak Allah dan Rasul-
Nya. Serahkan dirimu dan ketaqwaan yang kuat dan tanamkan pula dalam hatimu iman serta
keinginan untuk menemuin-Nya secara syahid. Bayangkanlah bahwa jannah sedang menanti,
bersama para bidadari yang sedang berhias menanti kekasih-kekasihnya, yaitu kamu sendiri.
Seperti Firman Allah :

“Dan didalam Jannah itu ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang
tersimpan baik” (QS 56 : 22-23) Ajarkanlah pada anak-anak kita kelak, bahwa hidup dalam
ISLAM tidak berarti mencari kenikmatan semu di dunia ini sehingga mereka bersenang-senang
didalamnya dan lupa akan Akhirat. Padahal Rasulullah mengajarkan “ Addunya mazra’atul
akhiroh (Dunia adalah ladangnya akhirat). Jadi dunia bukan tujuan akhir, tapi hanya sekedar
jembatan untuk menuju kehidupan akhirat yang lebih baik dan kekal sehingga mereka mengerti
bahwa mencari keridhoan Allah berarti pengorbanan yang terus menerus, Seperti Firman-Nya :

“ Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhoan
Allah dan Allah maha penyantun kepada hamba-hambanya”. (QS. Al Baqarah : 207)

Akhirnya merekapun tahu bahwa jalan yang mereka pilih itu tidak menjanjikan harta di
dunia ini yang banyak, rumah mewah, kendaraan yang banyak, atau kasur-kasur yang empuk,
pangkat dan wanita, tapi jalan mereka semua adalah jalan yang penuh dengan duri-duri cobaan
serta seribu datu macam tantangan. Karena Allah tidak akan memberi Jannah kepada kita dengan
harga yang murah.

Berdo’alah kepada-Nya agar engkau lahirkan kelak dari rahimmu seorang anak pewaris
perjuangan nabi-nabi-Nya yang senantiasa mereka mendo’akan kita. Didiklah mereka agar taat
dan berbuat baik kepada kita serta tidak menyekutukan Allah, seperti yang diwasiatkan Luqman
kepada anak-anaknya (31:31). Fahamkan mereka bahwa pewaris perjuangan Rasul dan Nabi
bukanlah berarti mereka hanya menjadi pejuang di medan jihad, tapi juga seorang abid (zuhud)
di malam hari. Anak kita kelak adalah amanah dari-Nya oleh sebab itu Allah akan murka
seandainya kita menyia-nyiakannya. Pembentukan pribadi anak itu sangat tergantung kepada kita
yang mendidiknya. Apakah ia akan menjadi orang yang beriman atau sebaliknya. Hendaklah
engkau perhatikan makanan untuk mereka, pergaulannya serta pilihkan pendidikan yang mereka
ikuti.

Jadilah engkau seperti Siti Maryam yang dapat mendidik Isa a.s. di tengah-tengah
cemoohan dan cacian masyarakat. Atau Siti Asiyah(istri fir'aun) yang dapat memupuk keimanan
Musa a.s. di dalam istana yang penuh dengan kedurhakaan dan kekufuran. Kemudian Masyitoh
yang mampu memantapkan hati anak-anaknya walaupun harus menghadapi air yang mendidih
demi kebenaran. Atau deperti Siti Khadijah R.ha. Aisyah R.ha, Sayidina Fatimah R.ha yang
membesarkan anak-anaknya di tengah-tengah kemiskinan.

Bila engkau telah memahami tugas terhadap anak-anakmu dalam Islam, maka mudah-
mudahan Allah akan memberkahi ktia dengan memberikan anak-anak yang sholeh, yang
bersedia mengorbankan nyawanya demi mematuhi perintah Allah, seharusnyalah engkau faham
juga bahwa dunia ini adalah perhiasan dan sebaik baiknya perhiasan adalah wanita sholehah.

Dan salah satu ciri yang harus engkau miliki jika ingin menjadi wanita sholehah dan
bersedia untuk taat terhadap suamimu kelak seperti Firman-Nya dalam surat An-Nisaa :34 bahwa
laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dan istri yang baik adalah mereka yang setia (taat) kepada
suami dan selalu memelihara kehormatannya selama suaminya tidak ada di rumah.

Hendaklah engkau berbeda dengan wanita-wanita saat ini yang benyak melalaikan suami
dan anak-anaknya, mereka lebih sibuk dengan karir, arisan, undangan, atau menyia-nyiakan uang
dan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna, serta cenderung pamer wajah dan aurat kepada
yang bukan muhrimnya. Carilah ridha suami dengan cara-cara yang telah diyariatkan Islam,
karena Rasulullah telah bersabda :

“Wahai Siti Fatimah, kalau engkau mati dalam keadaan Ali tidak ridha padamu, niscaya
aku ayahandamu tidak akan menyolatkanmu“.

Jadilah engkau perhiasan yang tinggi nilainya di dalam rumah tangga, sumber penyejuk
dan kebahagiaan hati suami, berhiaslah engkau untuk menyenangkan suami, jagalah hatinya agar
engkau tak menyakiti dia. Walaupun dengan hal-hal yang kecil. Katakan kepadaku jika akan
berangkat mencari nafkah :

“Wahai suamiku carilah rezeki yang halal disisi Allah, janganlah engkau pulang
membawa rezeki yang haram untuk kami. Kami rela berlapar dan hidup susah dengan makanan
yang halal.”

Dan janganlah engkau cegah, jika aku hendak meninggalkanmu berhari-hari karena
memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya. Tabahlah seperti tabahnya Siti Hajar dan Ismail yang
ditinggalkan Ibrahim a.s. ditengah padang pasir yang tandus. Jika aku mengikuti jejak yasir,
maka ikutilah di belakangku sebagai sumayyah, bila kukatakan kepadamu “perjuangan itu pahit”
maka jawablah olehmu “Jannah itu Manis”

Sudah kiranya yang ingin aku sampaikan padamu, hendaklah engkau pahami dan ikuti
seperti yang telah aku tunjukkan kepadamu tapi harus diingat bahwa engkau melakukannya
karena Allah bukan karena aku, semoga Allah meridhoi kita dan memberi kemudahan dalam
mengikuti petunjuknya, amin.

antithogut Kafemuslilmah.com

Kayu Bakar Api Neraka

Mukaddimah

Islam adalah agama yang universal dan sangat memperhatikan permasalahan yang
berkaitan dengan wanita secara transparan dan proporsional. Ia menempatkan wanita dalam
kedudukan yang layak dan bermartabat dimana sebelumnya di masa Jahiliyyah, dianggap
sebagai "harta pusaka" yang diwariskan dan dipergilirkan; dia dapat diwariskan kepada anak.
Disamping itu, dia juga dianggap sebagai noda yang dapat mencemarkan keluarga bila
terlahirkan ke dunia sehingga harus dienyahkan dari muka bumi sebelum sempat menghirup
udara kehidupan dengan cara menanamnya hidup-hidup.

Kedudukannya yang semacam inilah kemudian diangkat dan dihormati setinggi-tingginya


oleh Islam, diantaranya; dia dijadikan orang yang paling pertama harus dipersembahkan bakti
kepadanya ketika menjadi seorang ibu, adanya satu surat dalam al-Qur'an yang dinamakan
dengan kaumnya (an-Nisa'), menjanjikan bagi orangtua yang berhasil mendidiknya sebagai jalan
masuk surga, dan banyak lagi yang lain.

Namun begitu, Islam juga menyebutkan bahwa kaum wanita adalah orang-orang yang
kurang akal dan diennya, banyak mengeluh/permintaan serta suka memungkiri kebaikan suami.

Berkaitan dengan yang terakhir ini, sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa di abad
kontemporer ini banyak sekali isteri-isteri -yang barangkali karena memiliki jasa dan andil dalam
pemenuhan anggaran belanja rumah tangganya- merasa diatas angin dan tidak sedikit yang
semena-mena terhadap suami. Hal ini terjadi, lebih dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap
agama yang merupakan sesuatu yang esensial bagi seorang calon suami sebelum berubah
menjadi suami melalui aqad yang sah. Sang suami hendaknya dalam memilih calon isteri lebih
memprioritaskan sisi keshalihahannya.

Karena kurangnya pemahaman agama, sang isteri tidak mengetahui bahwa sebenarnya
agama mewajibkannya untuk patuh dan taat kepada suami bahkan kerelaan suami terhadapnya
ibarat prasyarat masuk ke surga –disamping syarat-syarat yang lain yang berkaitan dengan syarat
diterimanya amal manusia secara umum- sebagaimana dalam makna hadits yang menyatakan
bahwa siapa saja isteri yang meninggal dunia sementara suaminya rela terhadapnya maka dia
akan masuk surga.

Dari kurangnya pemahaman agama tersebut kemudian berdampak kepada banyak kaum
wanita yang bekerja di luar rumah dan berbaur dengan kaum lelaki dengan anggapan bahwa
mereka memiliki hak yang sama dengan kaum pria dalam segala bidang tanpa terkecuali,
sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh kaum feminis, termasuk dalam urusan rumah
tangga. Lapangan kerja yang disesaki oleh tenaga wanita mengakibatkan meningkatnya angka
pengangguran di kalangan kaum pria, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga namun tidak
memiliki skil yang cukup untuk bekerja sehingga mendorong sang isteri untuk keluar rumah,
terkadang menggantikan posisi suami dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tentunya hal ini memiliki implikasi negatif, belum lagi dari sisi syar'inya, terhadap watak
sang isteri. Dia seakan merasa telah berjasa dan memiliki andil dalam menghidupi keluarganya
sedangkan sang suami hanya seorang penganggur. Atau dalam kondisi yang lain, dia memiliki
pekerjaan dan gaji yang jauh lebih tinggi dari sang suami. Hal ini, kemudian dijadikan alasan
yang kuat untuk memberontak, menyanggah, meremehkan bahkan memperbudak sang suami.
Suami yang, misalnya, memiliki gaji kecil terkadang nafkah yang diberikannya kepada keluarga,
disambut oleh isterinya dengan rasa ketidakpuasan dan kurang berterimakasih.

Apalagi, bila kebetulan sang isteri juga bekerja dan gajinya lebih besar dibanding suami,
tentu akan lebih parah lagi sikapnya terhadap suaminya yang seorang penganggur atau bergaji
kecil. Dalam pada itu, hanya wanita-wanita shalihah yang memahami agama mereka dengan baik
dan tahu bagaimana bersikap kepada suami-lah yang terselamatkan dari kondisi seperti itu.

Mengingat betapa urgennya pembahasan tentang hal ini dari sisi agama dan perlunya
kaum wanita mengetahuinya, khususnya tentang ancaman terhadap wanita yang melakukan hal
tersebut alias banyak mengeluh/permintaan dan suka memungkiri kebaikan suami, maka kami
berupaya menuangkannya dalam bagian pembahasan hadits kali ini-disamping pembahasan
tentang hal yang lain- dengan harapan, kiranya ada dari sekian banyak kaum wanita, yang
menyempatkan diri membaca tulisan ini. Kami mengambil materi pembahasan hadits ini dari
sebuah kajian hadits berbahasa Arab oleh seorang Syaik dan kami anggap laik untuk diturunkan.

Kami berharap bagi pembaca yang kebetulan menemukan kesalahan, khususnya dari sisi
materi dan bahasa (terjemahan), agar sudi kiranya memberikan masukan yang positif kepada
kami sehingga pada pembahasan hadits selanjutnya dapat dihindarkan. Wallaahu a'lam.

Dari Jabir bin 'Abdullah –radhiallaahu 'anhuma- dia berkata:

"Aku melaksanakan shalat pada hari 'Ied bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam; beliau memulai dengan shalat dulu sebelum khuthbah, tanpa azan dan iqamah,
kemudian berdiri sambil merangkul Bilal. Beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah,
mengajak berbuat ta'at kepadaNya, mewasiati manusia dan mengingatkan mereka, kemudian
beliau berlalu (setelah berbicara panjang lebar-red) hingga mendatangi (menyentuh
permasalahan-red) kaum wanita lantas mewasiati dan mengingatkan mereka, sembari bersabda:
'bersedekahlah! Karena sesungguhnya kebanyakan kalian adalah (menjadi) kayu api neraka
Jahannam'. Lalu seorang wanita yang duduk ditengah-tengah mereka berkata: kenapa demikian
wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: 'karena kalian banyak keluhkesah/permintaannya dan
memungkiri (kebaikan yang diberikan oleh) suami'.

Jabir berkata: "lalu mereka bersedekah dengan perhiasan-perhiasan mereka dan


melempar anting-anting dan cincin-cincin mereka kearah pakaian bilal". (H.R.Muttafaqun 'alaih).

Sekilas Tentang Periwayat Hadits

Dia adalah seorang shahabat yang agung, Jabir bin 'Abdullah bin 'Amru bin Haram al-
Anshary. Dia dan ayahnya mendampingi Rasulullah sebagai shahabat. Bersama ayahnya
menyaksikan "Bai'atul 'Aqabah al-Akhirah". Ayahnya termasuk salah seorang "Nuqaba'"
(pemimpin suku) yang ikut dalam bai'at tersebut. Dia ikut serta dalam banyak peperangan
bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia berkata:"Aku ikut serta berperang bersama
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sebanyak 19 kali peperangan".

Dia adalah salah seorang dari "al-Muktsirûn li riwâyatil hadits" (kelompok shahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadits) dari Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Dia memiliki
halaqah (kelompok pengajian) di al- Masjid an-Nabawy. Halaqah ini banyak dihadiri oleh orang-
orang yang ingin menggali ilmu darinya. Dia juga termasuk orang yang dipanjangkan umurnya
oleh Allah dan merupakan salah seorang shahabat yang paling belakangan meninggal di
Madinah. Dia wafat disana pada tahun 78 H dalam usia 94 tahun.

Faedah-Faedah Hadits Dan Hukum-Hukum Terkait

A. Hadits yang mulia diatas menjelaskan beberapa hukum yang terkait dengan shalat 'Ied,
diantaranya:

Hadits tersebut menyatakan bahwa dalam shalat 'Ied tidak ada azan dan iqamah.

Khuthbah 'Ied hendaknya mencakup ajakan agar bertaqwa kepada Allah Ta'âla sebab ia
merupakan kolektor semua kebaikan, demikian pula ajakan agar berbuat ta'at kepada-Nya dan
saling mengingatkan dalam hal itu.

Khuthbah dilakukan setelah shalat 'Ied bukan sebelumnya sepertihalnya pada shalat
Jum'at. Masing-masing dari keduanya memiliki dua khuthbah *) akan tetapi pada shalat Jum'at
dilakukan sebelum shalat sedangkan pada 'Ied dilakukan sesudah shalat. Inilah yang dilakukan
oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan para Khalifah-nya ar-Rasyidun.
*) terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah khuthbah shalat 'Ied; ada ulama yang
mengatakan sekali saja dan ada yang mengatakan dua kali. Ibnu Qayyim al-Jauziah nampaknya
menguatkan pendapat kedua, yakni dua kali.

Shalat dalam dua 'Ied hukumnya adalah fardhu kifayah; untuk itu seorang Muslim harus
berupaya secara optimal dalam melakuksanakannya, menghadiri serta mendengarkan
khuthbahnya agar mendapatkan pahala dan mendapatkan manfaat dari wejangan dan at-Tadzkir
(peringatan) yang disampaikan oleh Imam/khathib.

B. Islam sangat memperhatikan eksistensi kaum wanita dan menempatkan mereka kepada
kedudukan yang agung dan tinggi; spesialisasi serta karakteristik mereka dalam beberapa
hukum terlihat dalam hadits diatas, diantaranya:

Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengkhususkan bagian khuthbah tersendiri buat
mereka dalam khuthbah 'Ied, setelah mewasiati dan mengingatkan kaum lelaki. Untuk itu,
hendaknya seorang Imam/khathib pada 'Ied mengkhususkan khuthbahnya untuk mereka dan
membicarakan problematika mereka. Khuthbah khusus ini diberikan bila mereka tidak
mendengarkan khuthbah yang bersifat umum akan tetapi bila mereka mendengarkannya maka
hendaknya dia menjadikan sebagian dari khuthbah tersebut, khusus berkaitan dengan perihal
kaum wanita.

Bahwa seorang wanita diharamkan berbaur dengan kaum lelaki atau berjejal dengan
mereka baik hal itu dilakukan di masjid-masjid ataupun di tempat lainnya. Akan tetapi
semestinya, kaum wanita berada di tempat-tempat yang sudah dikhususkan untuk mereka. Hal
ini dimaksudkan agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan timbulnya fitnah atau menjadi
sarana dalam melakukan hal-hal yang diharamkan. Tidak berbaurnya wanita dengan kaum lelaki
sudah merupakan kaidah umum yang wajib difahami oleh seorang wanita Muslimah dan wali-
nya karena banyak sekali faedah-faedah yang didapat dari hal tersebut.

Mendapatkan 'ilmu merupakan hak semua orang; laki-laki dan wanita, untuk itu
hendaknya seorang wanita berupaya secara optimal dalam menuntut ilmu yang dengannya dia
memahami agamanya. Diantara sarana itu adalah: gairah serta semangatnya dalam
mendengarkan wejangan-wejangan, juga, bertanya tentang hal-hal yang sulit baginya,
sebagaimana tampak dalam hadits diatas.
Secara global kaum wanita memiliki sifat-sifat, diantaranya: banyak keluhan/permintaan
dan memungkiri kebaikan suami alias terhadap nafkah yang telah diberikan olehnya. Sifat-sifat
ini merupakan sifat yang tercela yang dapat menggiringnya ke neraka. Oleh karena itu, seorang
wanita Muslimah harus menghindari hal itu dan berupaya keras untuk menjauhinya.

Ciri khas seorang wanita Muslimah adalah bersegera dalam berbuat kebajikan dan
memenuhi panggilan iman. Hendaklah dia menambah aset kebajikannya sebanyak yang mampu
dilakukan.

Kepemilikan terhadap harta merupakan hak laki-laki dan wanita, masing-masing


memiliki harta secara sendiri-sendiri dan kewenangan dalam memberdayakannya; oleh karena
itulah, isteri-isteri para shahabat bersegera dalam menginfaqkan harta-harta mereka tanpa
meminta izin terlebih dahulu dari suami-suami mereka. Seorang wanita berhak memberdayakan
hartanya dan menginfaqkannya meskipun tidak mendapat izin dari sang suami. Dalam hal ini,
Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam telah menyetujui tindakan isteri-isteri para shahabat
radhiallaahu 'anhunna.

C. Khathib dan Penceramah memiliki tanggung jawab yang besar

Hal ini disebabkan mereka adalah bertindak sebagai orang yang menyampaikan
permasalahan halal dan haram dari Allah Ta'ala. Dari sini, seorang khathib hendaknya
melakukan tanggung jawab tersebut sebaik-baiknya; menceramahi manusia dengan apa yang
mereka ketahui, mengajarkan mereka hal-hal yang bersifat agamis dan duniawi yang tidak
mereka ketahui, mensugesti mereka untuk berbuat kebajikan, memperingatkan mereka dari
berbuat kejahatan serta menjelaskan kepada mereka hal-hal yang dapat mendekatkan diri mereka
kepada surga dan menyelamatkan mereka dari neraka. Demikian pula, hendaknya mereka
menghindari berbicara tentang hal-hal yang tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan
umum kaum muslimin dan hal yang tidak bermanfaat bagi agama mereka.

D. Sedekah memiliki faedah yang besar dan buah yang agung di dunia dan akhirat

Diantaranya; bahwa ia menjaga dari keterjerumusan kedalam api neraka, dan ini
diperkuat oleh sabda beliau yang lain: "takutlah kepada api neraka meskipun (bersedekah)
dengan sebelah dari buah tamar/kurma".
E. Islam selalu berupaya agar seorang Muslim dalam berinteraksi dengan orang lain
menggunakan manhaj yang transfaran dan proporsional meskipun terhadap orang yang
paling dekat hubungannya dengannya.

Dengan demikian, dia mesti meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya; yang
memiliki keutamaan ditempatkan sesuai dengan keutamaannya, yang memiliki hak diberikan
haknya yang sepatutnya, tidak mengurangi hak manusia, menjauhi setiap hal yang dapat
menyakiti mereka serta menghindari perkataan yang kotor dan mungkir terhadap jasa yang telah
diberikan kepadanya.

F. Seorang penuntut ilmu harus haus akan ilmu, banyak bertanya kepada gurunya tentang
kesulitan yang dihadapinya.

Namun, hendaknya pertanyaan yang disampaikan dilakukan dengan penuh kesopanan


dan tatakrama agar dia mendapatkan jawaban sesuai dengan apa yang diinginkannya dari
gurunya tersebut.

alsofwa.or.id

Aku Masih Sendiri

Sebagai seorang lelaki yang masih lajang dan umur sudah mendekati dua puluh lima,
hasrat untuk menikah selalu ada. Namun, mental, ilmu, serta keyakinan masih belum siap.
Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut bukan alasan, artinya hanya dengan modal nekad tak
banyak yang perlu di pertimbangkan, dan kenyataannya banyak yang menikah tanpa perhitungan
yang matang, tak melihat ketentuan umur yang telah di tetapkan oleh Pemerintah, tak pernah
memperhitungkan apa bekal yang akan di persiapkan, semua ini tergantung pada niatnya masing-
masing.
Saudaraku yang baik, semua orang mengharapkan berumahtangga itu dalam keadaan
tentram, sejahtera, penuh dengan ketenangan, dan diantara kiatnya adalah harus dengan ilmu.
Sebagaimana Allah telah berfirman di dalam Al’Qur’an yaitu surat Ar-Ruum Ayat 21 yang
artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya, Dia menciptakan untuk kamu istri dari jenismu
supaya kamu tentram bersamanya. Dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kamu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang yang berpikir.

Sahabatku, bagi seorang yang sedang merantau atau tinggal di kota seperti saya ini,
banyak sekali pertimbangannnya untuk menikah, diantaranya kuliah belum beres, tempat tinggal
masih ngontrak, gaji belum setabil, tapi saat aku lihat cucian tertumpuk di kamar mandi, kamar
yang berantakan, kondisi badan yang sering sakit, hasrat untuk menikah kembali semangat.

Sekarang aku mulai sadar kalau cucian sering tertumpuk, kalau kamar sering berantakan,
kalau badan sering sakit, ternyata “ aku masih sendiri.”

Kalau melihat kondisiku sekarang ini, artinya gaji yang belum stabil, bahkan setiap bulan
sering kehabisan anggaran sehingga makan kadang tiga kali dalam sehari bahkan terkadang dua
atau satu kali dalam sehari, sepertinya ini keputusan yang tepat menurutku untuk sendiri. Bahkan
sepertinya teman-teman di kantor akan merasa iri kalau aku menikah duluan, kenapa ! karena
ada diantara teman-temanku yang secara umur jauh lebih lebih tua, entah kenapa teman-teman
ku di kantor yang sudah pada maksimal umurnya belum juga menikah, alasannya belum siap
mental, atau mungkin masih mencari yang lebih baik segalanya.

Jika ada sahabat yang kondisinya sama seperti aku sekarang, yang terbaik kiranya untuk
tetap semangat, sabar, ikhtiar, dan senantiasa semangat untuk terus memperbaki diri. Kita yakin
semakin terus memperbaki diri maka Allah akan memberikan yang terbaik pula. Begitu pula
mengenai jodoh insya Allah, Allah akan memberikan yang terbaik, semoga Allah senantiasa
membimbing kita semua dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan ujian serta cobaan.
Amin...(Rahmat Maulana)

manajemenqolbu.com
Katakan Aku Cinta Padamu

Kawan, saat engkau bangun pagi ini, sudahkah engkau katakan cinta bagi orang-orang
terdekat: Istri atau Suami? Ibu, Bapak, Kakek, Nenek, Adik, Kakak dan kerabatmu?

Belum, mungkin itu jawabmu. Karena di keluargamu tak ada budaya mengatakan cinta.
Hingga kagok terasa bila harus mengungkapkannya.

Boro-boro, barangkali itu katamu. Sedang pagi hari semua harus ke tampat kerja dan ke
sekolah, berpacu dengan waktu. Mana sempat bilang I Love U?

Kawan, saat bertemu dengan para sahabat hari ini, sudahkah engkau sampaikan cinta bagi
mereka? Semua orang dekat baik di mata maupun di hati? Semua orang dekat baik karena darah
maupun pertalian aqidah?

Tidak! Mungkin begitu tangkismu. Kebersamaanmu dengan mereka lebih karena tuntutan
kerja dan aktifitas, mungkin itu jawabnya.

Tak biasa! Barangkali demikian kau bilang. Toh, obrolan dan jalan bersama sudah
menunjukkan cinta. Hingga ia tak harus diuntai dalam kata. Sedang sikap dan perhatian lebih
menunjukkan rasa yang kau punya untuk mereka.

Bisa jadi demikian halnya. Namun, alangkah indah jika engkau coba Sabda kekasihNya.

Dari Abu Karimah Al Miqdad bin Ma'dikariba ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Apabila seseorang mencintai Saudaranya, beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya”
(HR Abu Daud)

Dari Anas ra, ia berkata: Ada seorang laki-laki duduk di hadapan Nabi SAW, kemudian
ada seseorang yang lewat di situ, lalu orang yang duduk di hadapan Nabi berkata: “Ya,
Rasulullah, sesungguhnya saya mencintai orang itu.”

Nabi SAW bertanya: “Apakah kamu sudah memberitahukan kepadanya?”

Dia menjawab: “belum.”

Beliau bersabda: “Beritahukanlah kepadanya!”

Kemudian dia menemui orang itu dan berkata: “Sesungguhnya saya mencintaimu karena
Allah.”
Orang itu menjawab: “Semoga kamu dicintai oleh Zat yang menjadikanmu mencintaiku
karenaNya” (HR Abu Daud)

Kawan, pernahkah engkau mengunjungi kerabat, saudara dan sahabat, hanya karena
engkau ingin mengunjunginya? Semata karena ingin menjalin tali cinta?

Tidak sempat. Bisa jadi seperti itu alasanmu. Terlalu banyak pekerjaan dan urusan yang
tak mungkin ditinggalkan.

Kawan, pernahkah engkau menelepon 'hanya' untuk sekedar bersilaturahmi? Sekedar


menyapa, mendengar suara di seberang sana dan menanyakan kabarnya?

Ah, tak terpikirkan. Dapat pula itu ungkapmu. Sedang masih banyak nomor terkait
kewajiban menunggu untuk dihubungi.

Mungkin ada baiknya, jika engkau dengar sabda Sang Nabi berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra, dari nabi SAW, beliau bersabda: “Sesungguhnya ada seseorang
akan berkunjung ke tempat Saudaranya yang berada di desa lain, kemudian Allah ta'ala
mengutus malaikat untuk mengujinya.

Setelah malaikat itu berjumpa dengannya ia bertanya: “Hendak kemanakah kamu?”

Ia menjawab: “Saya akan berkunjung ke tempat saudaraku yang berada di desa itu.”

Malaikat bertanya lagi: “Apakah kamu merasa berhutang budi padanya sehingga merasa
perlu mengunjunginya?

Laki-laki itu menjawab: ”Tidak. Aku mengunjunginya semata karena aku mencintainya
karena Allah ta'ala."

Malaikat kemudian berkata: “Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untuk


menjumpaimu, dan Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena Allah
(HR Muslim)

Kawan, sudahkah kau jabat tangan saudaramu ketika bertemu? Sudahkah kau peluk
keluargamu hari ini?

Pasti, seperti itu barangkali kau sampaikan. Karena itu telah menjadi kebiasaan
masyarakat.
Bukan, sahabat! Karena ia adalah sesuatu yang disunnahkan. Menjadi penggugur dosa
para pelakunya. Mewujudkan cinta para penghasungnya. Semoga berita yang dibawa sahabat
dari sang pembawa risalah meneguhkanmu.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Nabi SAW mencium Al Hasan bin Ali ra, kemudian
Aqra' bin Habis berkata: Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tetapi saya tidak pernah
mencium seorang pun dari mereka.” Maka Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa tidak mengasihi
ia tidak akan dikasihi.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari 'Aisyah ra, ia berkata: “Zaid bin Haritsah dtang ke Madinah dan rasulullah SAW
sedangn berada di rumahku, kemudian ia datang dan mengetuk pintu, lantas Nabi bangkit dan
menarik kainnya, serta memeluk dan menciumnya.” (HR Turmudzi)

Dari Al Barra' ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ dua orang islam yang bertemu
kemudian mereka berjabat tangan maka dosa kedua orang tersebut diampuni sebelum keduanya
berpisah.” (HR Abu Dawud)

Kawan, mengatakan cinta bukanlah tabu, bahkan ia disunnahkan Al musthafa.. Engkau


tidak harus romantis untuk melakukannya. Engkau tidak usah malu karena merasa sudah bukan
masanya. Karena cinta tidak mengenal usia. Bolehlah ia diungkap oleh anak kepada Bapak dan
ibunya, Ayah bunda pada sang putra, keponakan kepada kerabatnya. Seseorang pada sahabatnya.
Terlebih bagi pasangan hidupnya. Karena cinta adalah bahasa dunia.

Maka, apa yang menghalangimu mengatakan Aku Cinta Padamu hari ini, dan
menunjukkan kasih sayang pada keluarga, saudara, kaum kerabat dan sahabat. bagi yang
mencintaiku dengan sms dan telpon harian, maaf jika balasku tak sebesar cintamu. Tapi sungguh
aku mencintaimu.

Azimah Rahayu kafemuslimah.com


Ketika Cinta Berbalas

Saya masih ingat ada seorang sahabat yang menulis artikel dengan judul "Cinta tak
terbalas". Ya, jika udah bicara tentang "CINTA", tidak akan pernah ada kata akhirnya, karena
CINTA adalah anugerah yang indah sekaligus bikin gelisah.

Cinta tak/belum terbalas mungkin menyakitkan .. bikin penasaran … sekaligus berbunga


angan-angan, "andaikan dia mau sama aku..", "apa dia tahu perasaanku ya ?". Mau tidak mau,
kita dipaksa untuk mengakui dengan jujur…. , tiap hari pertanyaan serupa itu selalu muncul
berganti-ganti.

Bila si dia menunjukkan respon ke arah "sana", hati kita langsung "kling-kling" bersinar
cemerlang, serasa hanya kita yang diperhatikan .. "o, ternyata benar .. dia juga punya perasaan
sama", "tuh, hanya aku yang dapat perhatian seperti itu…bla bla..bla ". Lagi, kalau si dia yang
bikin kita kebat-kebit cuek dalam satu hari, hati tanpa dikomando bilang "tuh, aku mah ge-er
aja… ", "ah, ternyata dia nggak suka ma aku". Lingkaran ini akan selalu berputar tak
berkesudahan bila kita tidak bertanya langsung kepada si dia (karena takut resikonya ditolak).

Setuju sekali dengan pendapat sang ukthi, betapa naifnya hanya karena cinta pada satu
orang, kita melupakan cinta dari orang-orang yang telah memberikan cinta sejatinya dari orang
tua, saudara, sahabat, guru-guru, dll.

Nah, sekarang bagaimana kalau CINTA BERBALAS? Apakah memang seperti


gambaran orang-orang yang patah hati karena cinta mereka bertepuk sebelah tangan? Cinta yang
berbalas itu indah dan membahagiakan?

Cinta. Anugerah terindah itu pasti akan pernah mampir kepada manusia, makhluk
ciptaan-Nya yang dilengkapi akal dan perasaan. Kita juga tidak pernah berencana untuk
mencintai seseorang. Cinta itu datang tak terduga, mengalir begitu saja dan paling parah.. sukar
untuk menghentikannya.! Di saat, virus merah jambu itu datang pada kita… dan bluss !!
ternyata… CINTA ITU BERBALAS! Benar-benar indahkah? Membahagiakan kah?

Ternyata dari beberapa hasil survey, didapat kesimpulan "Cinta yang berbalas juga tidak
selamanya sesuai harapan". ILMU, yang dilengkapi oleh kejujuran hati nurani yang dititipkan
oleh SANG PEMILIK CINTA membuat kita gelisah : takut zina hati sekaligus menikmati
gejolak perasaan yang bervariasi.
Hari-hari dipenuhi keraguan.. di saat kita gembira bertemu dengan "dia", di saat itu pula
rasa "takut" hadir, di saat kita merindukannya, di saat itu pula kita merasa malu karena kita
jarang mengingat pemiliknya, Ar-Rahman. Pergulatan batin akan jadi sangat melelahkan jika
kita tidak berusaha untuk "mempertahankan" diri sekuatnya.

Okelah, bagi yang sudah punya kemampuan dan keinginan untuk menikah dalam restu
orang tua, mereka punya solusi : SEGERA MENIKAH! Berbahagialah bagi sahabat-sahabat
yang berada dalam atmosfir seperti ini.

Nah, bagi yang belum punya kemampuan? atau yang jatuh cinta pada yang nggak
seakidah, atau yang belum direstui orang tua untuk segera menikah, atau lagi, yang jatuh cinta
pada tunangan, suami atau isteri orang lain? Wah.. wah.. ini nih UJIAN BERAT!, bukan berarti
Allah nggak sayang sama kita, memberi anugerah sekaligus cobaan, tapi justru kita adalah
orang-orang yang terpilih untuk membuktikan kesungguhan cinta kepada-Nya. Lalu? Haruskah
kita hanyut dan terlena dengan cinta yang sesaat ini?

Ayo sobat ! Cinta sesungguhnya terbingkai dalam mahligai pernikahan. Dalam bingkai
itulah kita benar-benar berhak mengekspresikan seluruh perasaan cinta yang ada… untuk meraih
cinta-Nya yang Agung. Lamar atau minta dilamar, hanya itu pilihan.

Jangan terjebak CINTA SEMU !! Jika nama "dia" hadir tanpa diundang, segera ganti
dengan istighfar dan sibukkan diri dengan aktifitas yang membutuhkan konsentrasi. Berhati-
hatilah dengan hati yang melambung tinggi karena akan sangat sakit bila terhempas.

Tulisan ini hanya sekedar wacana untuk sama-sama jadi renungan. Mudah-mudahan kita
bisa menikmati CINTA yang dianugerahkan-Nya dengan rasa syukur yang dalam, membuat kita
makin mencintai-Nya dalam setiap hembusan nafas, berusaha mempertahankan zikrullah agar
tidak berganti dengan nama si "dia".

Mari nikmati CINTA hanya untuk mengharap balasan cinta dari Sang Pemilik Cinta,
karena hanya Dia yang tidak pernah mengecewakan kita.

Farah Adibah manajemenqolbu.com


Waktu Begitu Cepat Berlalu

Subuh baru saja usai. Mentari pagi bergerak perlahan, meninggalkan peraduannya, untuk
menerangi bumi, menjalani titah Illahi. Detik demi detik berselang, berganti menit, kemudian
jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Kini……mentari 2004 telah terbit.Tak terasa, waktu begitu
cepat berlalu.

Ketika kuingat kembali, sudah lama nian aku pergi meninggalkan kampung halaman.
Teman mainku di kala anak-anak, kini sudah menjadi orang tua anak-anak. Bayi-bayi lucu yang
dulu sering kugendong dan kuajak bermain telah beranjak dewasa dan tak kukenali lagi.

Orang-orang tua satu demi satu telah pergi, memenuhi panggilan Illahi. Generasi baru
telah datang. Yang dulu anak-anak, kini sudah mempunyai anak. Yang dulu remaja, kini sudah
hidup berumah tangga.

Padahal, masih amat sedikit kerja yang terselesaikan, masih sedikit amal yang terlaksana,
sementara masih sangat banyak pekerjaan yang belum tersentuh, dan masih banyak amal yang
terabaikan, namun waktu tak bisa kembali diputar, untuk dikembalikan ke saat semula.
Dan…..menyesali diri tanpa disertai perbaikan pun bukanlah hal yang berguna.

Teramat wajar jika dari sejak awal Alloh berwasiat kepada kita:” Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran”(Q.S.Al ‘Ashr: 1-3).

Alloh Maha Tahu tentang diri kita. Alloh, Maha Tahu resep hidup yang tepat bagi diri
kita. Bahkan Alloh Maha Sayang kepada kita, sehingga kita diberi kemerdekaan untuk memilih
jalan yang kita suka.

Alloh tunjukkan kepada kita dua jalan-Nya. Yaitu jalan kefasikan dan jalan ketaqwaan
(“maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya”.Q.S. Asy Syams : 8-10)

Juga, Alloh telah tunjukkan kepada kita jalan kebajikan dan kejahatan (“Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan : ialah jalan kebajikan dan kejahatan”. (Q.S. Al Balad : 10).
Kita tinggal memilih. Pilih selamat dan mendapat surga, atau pilih yang lainnya.
Karenanya Alloh berfirman : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam; sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thogut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S.Al Baqoroh : 256).

Sahabat, selagi masih ada kesempatan untuk berbuat, marilah kita gunakan sisa usia kita
sebaik-baiknya, tuk menghimpun bekal menghadap Sang Pencipta. Agar kita tak menyesal di
kemudian hari, karena telah menggunakan masa muda untuk mengerjakan hal yang sia-sia.

Kita catat kuat-kuat dalam hati kita Sabda Rasululloh : “Gunakan waktu luangmu
sebelum waktu sempitmu, gunakan waktu mudamu sebelum tuamu, gunakan waktu kayamu
sebelum miskinmu, gunakan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan gunakan waktu hidupmu
sebelum matimu”.

Sungguh amat merugi bila kita gunakan waktu ini untuk sebuah kesia-siaan. Karena
melakukan sebuah amal saleh pun kita harus berhitung dengan cermat. Jangan-jangan diantara
amal saleh kita ada terselip perasaan ria, jangan-jangan diantara amal saleh kita ada asa untuk
memperoleh pujian, jangan-jangan diantara amal saleh kita ada pamrih yang tak terkatakan.
Astaghfirulloohal ‘adziim, na’udzu billahi min dzaalik. Semoga kita terlindung dari semua itu.

Alloh mengingatkan kita dalam firman-Nya : “Katakanlah: “Apakah akan Kami


beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-
orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baikanya. (Q.S. Al Kahfi : 103-104).

Terakhir, marilah kita resapi firman Alloh ini agar kita selalu ingat: “Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah
orang-orang yang fasik”. ( Q.S. Al Hasyr : 18-19).
Semoga Alloh berkenan untuk senantiasa melindungi kita dari kesia-siaan, dan
menetapkan petunjuk-Nya atas diri kita.

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’daidz hadaitanaa wahablanaa milladunka rahmatan


innaka antal wahhaab. Robb, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan
sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah rahmat dari sisi Engkau;
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). (Q.S. Ali Imron : 8) Aamiin. Wallohu a’lam
bishshowwab.

Ummu Shofi. kafemuslimah.com

Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang, Sadarlah!

Inilah yang kami sedihkan pada kaum wanita saat ini. Zaman sudah semakin rusak.
Perzinaan di mana-mana. Pornografi yang sudah semakin marak. Bahkan hal-hal porno semacam
ini bukan hanya digandrungi oleh orang dewasa, namun juga anak-anak. Bahkan terakhir ini
yang sudah membuat kami semakin geram, tidak sadar-sadarnya wanita dalam berpakaian. Saat
ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai
membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian
ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan
memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat
kondisi zaman yang semakin rusak ini.

Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan
lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan
sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi
keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ء‬b ‫ ا‬eََg ‫س‬ e eَl‫ا ان ا‬he‫ه‬g‫ى ت‬r‫ ت‬h‫ش‬g ‫ض‬


he ‫و‬e ‫س‬ g e‫ش ي‬ g eَe‫ ا‬z‫ر‬e‫ أ‬h‫ك‬e b‫اط‬e‫ ي‬h‫س‬g ‫ى‬h
g he‫ق‬e‫نث‬z ‫ب ا‬ g hr‫عه‬e e‫ ي‬z‫و‬hg‫ى‬e‫ ق‬eَ‡‫ ا‬r‫سه‬e e‫ى أ‬eg ‫س ن‬
g eَl‫م ان ا‬g ‫ه‬g e‫ي أ‬
g ‫ ا‬eََg r‫ص ف‬
g
‫خ‬z e‫‡َل‬
g ‫يي‬ z e‫اسي‬e
r ‫اخ‬ z e‫اسي‬
g ‫اخ ع‬ g ‫ك‬e

‫ج‬
g ‫ير‬ g ‫ذ‬r ‫ج‬e ‫ى‬r‫ي‬e‫ا ن‬e‫حه‬e ‫سي‬g g‫وإ‬e ‫ا‬e‫يحه‬
e h‫س‬g e‫ي ي‬ e ‫س‬g ‫ذ‬g ‫ج‬g e‫ ي‬e‫ول‬e eَ eَl‫ج ح‬e ‫ن‬z ‫ه ا‬z ‫خ‬r ‫ذ‬g e‫ ي‬e‫ح ل‬ g e ‫كأ‬e r‫سه‬r ‫ءو‬r r‫خ س‬z e‫ل‬g‫ائ‬e‫ي‬
z ‫د‬g ‫خ‬g r‫نث‬z ‫َ ا‬g eََ‡ َrg ‫س ح‬
g e‫ه‬g‫ ئ‬eَ‡‫ان ا‬
‫زا‬e ‫ك‬e ‫و‬e ‫ا‬e‫كز‬e

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum
yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang
berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya
tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman
kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak
muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun
kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul
Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih
parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa
ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan
dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja
menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi
telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim,
9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada
yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para
wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian
tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka
memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah,
125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun,


“Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena
wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna
lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa.
Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah.
Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya
lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya
(yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna
kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya.
Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita
ini sebenarnya telanjang.
Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya.
(Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai
pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat
yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi


sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu
tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama
perjalanan sekian dan sekian.”

Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara
sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium.
Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:

Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun
sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota
tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita
seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.

Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk
pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu
Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di
khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya
memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut
yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi?
Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya!

Wahyu Dari Langit Memerintahkan Menutup Seluruh Tubuh Kecuali Wajah dan Telapak
Tangan

Allah Ta’ala berfirman,

e‫د أ‬g e‫ أ‬e‫ك‬h g‫رن‬e ‫ه‬g g‫يث‬g‫ات‬h e‫جه‬e ‫ي‬


g ‫ه‬g ‫ي‬g e‫عه‬e e‫َن‬g ‫ي‬
e ‫ذ‬g r‫ ي‬e‫َن‬rg ‫ي ي‬
g َg َr z ‫ء‬g ‫ ا‬eََg ‫س‬
‡ ‫ان ؤ‬ e ‫ذ‬g eَr‫ ا‬e‫وت‬e ‫ك‬
e ‫و‬e ‫ك‬ e ‫اج‬
g ‫و‬e ‫ص‬g e ‫أ‬g‫م ن‬z r‫ ق‬l‫َي‬g eَ‫ث‬
l ‫ا ان‬e‫ه‬l‫ي‬e‫ا أ‬e‫ي‬
«‡‫حي ا‬g ‫س‬e ‫ىس«ا‬r‫غف‬e r‫كا انه¯ه‬e ‫ري و‬e ‫ؤ‬r‫ا ي‬e‫ه‬e‫ف ف‬
z ‫ش‬e ‫ع‬g r‫ي‬
e g g

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah
penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar.
Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

z e‫حف‬g e‫وي‬e ‫ه‬g ‫اس‬ e g‫ت‬e‫ي أ‬


‫ ا‬eََg r‫ي ه‬
g ‫ش‬ g ‫ذي‬g g‫ث‬r‫ا ي‬e‫ون‬e r‫جه‬e ‫شو‬r r‫ظ ف‬
e e‫ه‬e‫ا ظ‬e‫ن¯ا ي‬g‫ إ‬r‫ ه‬eَ eَr‫صي ر‬ g ‫ص‬ g ‫ض‬r g eَr‫ي ا‬
g ‫غض‬g e‫خ ي‬ ‡ ‫ه ؤ‬z g‫م ن‬z r‫وق‬e
g َg َr

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya,


dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah
dan kedua telapak tangan.

Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup
wajah adalah mustahab (dianjurkan). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul
Mun’im, hal. 14)

Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan


Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki
syarat-syarat. Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau
dijual di toko muslimah dapat kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus
kita kembalikan pada syarat-syarat pakaian muslimah.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak menunjukkan bahwa
pakaian yang memenuhi syarat seperti ini adalah pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak
sama sekali. Semua syarat pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al Qur’an dan
hadits yang shohih, bukan pemahaman golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan disalah
pahami.

Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama
yang melengkapi syarat yang beliau sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im
hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para ulama sebutkan bukan mereka karang-karang
sendiri. Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shohih.

Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga telapak kaki.

Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar
bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya
lambang partai politik! Yang terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum
muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‡ e‫ون‬r‫نأ‬z ‫¯ح ا‬g ‫هي‬g ‫ه‬g ‫جا‬e ‫ن‬z ‫ج ا‬e ‫ش‬l e‫ذث‬e ‫ج‬
g ‫ ¯ش‬e‫ذث‬e ‫ا‬e‫ون‬e ‫ك‬
r ‫ذ‬g ‫ى‬r‫ي‬r‫في ت‬g ‫ش‬
g e‫وق‬e

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-
orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Tabarruj adalah perilaku wanita yang
menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena
hal itu dapat menggoda kaum lelaki.
Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah untuk
menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk
menutup perhiasan wanita malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita
temukan.

Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat
menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan tidak ketat
sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua
golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki
cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang,
berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini
dan ini.” (HR.Muslim)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para
wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya,
pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka
memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, 125-126)

Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang
banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai
syari’at atau tidak.

Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ح‬b eََg ‫ي‬ e ‫ي‬e ‫ه‬g e‫ا ف‬e‫يحه‬


e ‫صا‬ g ‫ذوا‬r ‫ج‬g e‫ني‬g ‫و‬º ‫ى‬g e‫ ق‬e‫عه‬e ‫خ‬
g ‫س‬g ‫ي‬ g eََ« َ‡ ‫ش‬ g ‫ش‬e e‫عط‬g ‫ر‬e ‫اس‬
e e‫خ ف‬ g ‫ج‬º e ‫شأ‬e ‫ي‬g ‫ ا‬eَ‡‫ ا‬l‫ي‬e‫أ‬

“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan
Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih).
Lihatlah ancaman yang keras ini!

Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ء‬g ‫ ا‬eََg l‫ي ان س‬ g e‫شج¾ ل‬e eََr


g ‫خ‬ ‡ ‫ان ر‬ g ‫ج‬e ‫ي ان ¾ش‬
z ‫و‬e ، ‫ال‬ l eََr ‫ان ‡خ‬
g e‫َين‬g eَ‫ث‬ l ‫ع ان‬e e‫ن‬
z - ‫ صه ا عهيه وسهى‬- َg eَ‫ث‬

“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang
menyerupai kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)

Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong
merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali
wanita bebas-bebas saja memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan
lagi, mana yang pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ى‬ g ‫ى‬re ‫ه‬e‫و ف‬º ‫ى‬g e‫تق‬g e‫شث¯ه‬e ‫ذ‬e ‫ي‬


g َr َg r‫ي ه‬ e

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayid/bagus)

Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi
mode-mode busana barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan
bintang film. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas (baca: pakaian
syuhroh).

Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ س«ا‬eَe‫ه ا‬g ‫في‬g e‫ة‬e‫نه‬z e‫ى أ‬


¯ r‫ح ث‬
g e‫اي‬e‫قي‬g ‫ن‬z ‫و ا‬e ‫ى‬g e‫ح ي‬ e ‫ى‬g e‫ ث‬r‫ انه¯ه‬r‫سه‬e e‫نث‬z e‫ ا أ‬eََg ‫ي‬
º ¯‫ ن‬e‫ز‬e‫ب ي‬ e ‫ذ‬l ‫ف ان‬ º ‫ش‬e ‫ه‬g ‫ش‬r ‫ب‬
g ‫ج‬ e ‫ى‬g e‫س ث‬
e ‫ث‬g e‫ي ن‬
e
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan
pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah atau pakaian
yang paling kere atau kumuh sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud
pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri
tersebut dan tidak digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.

Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.

Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia berkata,

e‫َ ن‬r
hg ‫ي ي‬
g َg َr z ‫و‬l r‫د أ‬g he‫ان‬e‫ق‬e‫ة ف‬z ‫هي‬g h‫ص‬
‡ ‫ان ؤ‬ º e ‫ أ‬he‫يش‬g ‫ ا‬e‫ ه‬he‫خ ع‬
g ‫ذ‬e ‫ه‬g h‫في‬g ‡‫ دا‬h‫ش‬g r‫ج ت‬ g e ‫ أ‬h‫ش‬e e‫ ف‬e‫َ ن‬r
hg ‫ي ي‬ z ‫ ¾و‬r‫ع أ‬e he‫د ي‬g hg‫ي‬e‫نث‬z ‫تا‬g r‫َىف‬r eَe‫ ط‬eَl‫ك ا‬
‡ ‫ان ؤ‬
g َg َr r
e ‫سس‬e ‫ئ‬g e‫ه ف‬g ‫حي‬g ‫ش‬e ‫اط‬
‫ىل‬r z ‫ه‬g ‫حي‬g ‫ش‬e ‫اط‬
z

r‫ه‬e‫ضث‬ e َg eَ‫ح‬e ‫ي‬e‫سأ‬e ‫را‬e g‫كا إ‬e -‫صه ا عهيه وسهى‬- ‫ه‬g ¯‫انه‬
e e‫ ا ق‬e‫ز‬e‫ى ه‬

“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Aisyah), lalu beliau
melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Ummul Mukminin lantas
mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya.” (HR.
Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya
adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”

Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan
hewan).

Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan
bertabaruj sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang
mendukung hal ini.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang
memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung
merubah warnanya dan menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda,

g ‫خه‬e ‫ى ب‬rg ‫شث¾ه‬e r‫ي ي‬


g‫ق ا‬z g eَl‫ش ¯ذ ان ا‬e e‫ أ‬g‫إ‬
g e‫اي‬e‫ي‬g‫و انق‬e g‫ى‬e‫ات«ا ي‬e‫عز‬e ‫س‬
g ‫ح ان ¾ز‬

”Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang
menyerupakan ciptaan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad)

Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.

Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.

Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan .

Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah. Seperti
mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang dilakukan
oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu
Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada
landasannya.

Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin melihat
penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab
Wanita Muslimah’. Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang
ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh Al Albani.

Jika Allah memberikan waktu longgar, kami akan melengkapi pembahasan syarat-syarat
pakaian wanita pada posting tersendiri. Semoga Allah memudahkan urusan ini.

Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri, anggota
keluarga atau saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering
lalai dari hal ini. Semoga ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.

‫د‬z ‫ذا‬e h‫ش‬g b‫اظ‬he‫غه‬g ‫ح‬b h‫ك‬e g‫ائ‬e‫ه‬e‫ا ي‬he‫يه‬g e‫عه‬e ‫ج‬r ‫س‬e ‫جا‬e ‫ح‬g ‫ن‬z ‫وا‬e r‫ س‬eَl‫ا ان ا‬e‫ده‬r ‫ى‬r‫وق‬e ‫ س«ا‬eَe‫ى ا‬g ‫ك‬r ‫هي‬g ‫ه‬g e‫وأ‬e ‫ى‬g ‫ك‬r ‫س‬e َr َg e‫ ف‬e‫ىا أ‬r‫َا ق‬r e e‫زي آ‬g ¯‫ا ان‬e‫ه‬l‫ي‬e‫ا أ‬e‫ي‬
r ‫يى‬
‫ا‬e‫ ي‬e‫ى انه¯ه‬r‫عص‬g e‫ا ي‬e‫ن‬
eَb‫شو‬r e‫ؤي‬rg ‫ا ي‬e‫ى ي‬r‫عه‬e ‫ف‬z e‫وي‬e ‫ى‬rg ‫شه‬e e‫ي‬e‫أ‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap perintah-Nya
dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Rujukan:

1. Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah

2. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al


Islamiyah-Amman, Asy Syamilah

3. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman

4. Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon,
Asy Syamilah

5. Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

Muhammad Abduh Tuasikal

http://ru maysho.com

wallahu’alam moga menjadi mamfa’at

You might also like