You are on page 1of 12

Stroke

1. Pengertian Stroke
Menurut WHO (1997) stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global)
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler. (Hendro Susilo, 2000).
Stroke adalah awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral yang disebabkan oleh oklusi atau
stenosis pembuluh darah karena embolisme, trombosis, atau hemoragi, yang mengakibatkan iskemia otak. (Susan Martyn Tucker, 1996).
Menurut Arif Mansjoer (2000 : 17) stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit
neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan
oleh gangguan perdarahan otak non traumatic.
Menurut Sylvia A. Price (1995) pengertian dari stroke adalah suatu gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu
proses patologi pada pembuluh darah serebral, misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vascular dasar,
misalnya aterosklerosis, arteritis, trauma, aneurisma dan kelainan perkembangan.
Dari beberapa pendapat tentang stroke diatas, maka ditarik kesimpulan bahwa pengertian stroke adalah gangguan sirkulasi serebral yang
disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga terjadi
penurunan aliran darah ke otak yang timbulnya secara mendadak.
Stroke dibagi menjadi dua :
a. Stroke Non Haemoragik
Yaitu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat
anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah, pandangan kabur dan dysfhagia. Stroke non haemoragik dibagi lagi menjadi
dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik.
b. Stroke Haemoragik
Yaitu suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid.
Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku
kuduk.
2. Anatomi fisiologi Sistem Neurologi
a. Otak
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron. Otak terdiri dari empat bagian besar
yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon. (Satyanegara, 1998)

Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus
frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, lobus parietalis yang
berperanan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang
merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima
informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang
memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus
gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.
Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata
merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan
muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan
serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf
asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.
Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima
dan pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan
menimbulkan hemibalismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus
berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan
saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi. (Sylvia A. Price, 1995)
b. Sirkulasi darah otak
Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme
aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dan dalam rongga kranium,
keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.(Satyanegara, 1998)
Arteri karotis interpna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna
masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri
anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula interna, korpus
kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik.
Arteri serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis korteks serebri.
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui
foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris, arteri basilaris
terus berjalan sampai setinggi otak tengah, dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-
cabang sistem vertebrobasilaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri
serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, aparatus
koklearis dan organ-organ vestibular. (Sylvia A. Price, 1995).
Darah di dalam jaringan kapiler otak akan dialirkan melalui venula-venula (yang tidak mempunyai nama) ke vena serta di drainase
ke sinus duramatris. Dari sinus, melalui vena emisaria akan dialirkan ke vena-vena ekstrakranial. (Satyanegara, 1998)
3. Etiologi
Penyebab terjadinya stroke adalah :
a. Stroke Non Haemoragik
1) Trombosis
Trombosis merupakan penyebab stroke paling sering. Trombosis ditemukan pada 40% dari semua kasus stroke yang telah
dibuktikan oleh para ahli patologi. Biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis.
2) Embolus
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dan merupakan 5-15% dari berbagai penyebab utama stroke. Dari penelitian
epidemiologi (community based) didapatkan bahwa sekitar 50% dari semua serangan iskemia otak, apakah yang permanen atau
yang transien, diakibatkan oleh komplikasi trombotik atau embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar
atau sedang; dan sekitar 25% disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil di intra cranial dan 20% oleh emboli dari jantung
(Lumbantobing, 2001). Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis Kebanyakan emboli
serebri berasal dari suatu thrombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan
penyakit jantung.
b. Stroke Haemoragik
1) Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab kasus gangguan pembuluh darah otak dan merupakan
persepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteria serebri.
2) Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita biasanya masih muda dan 20% mempunyai
lebih dari satu aneurisme. Dan salah satu dari ciri khas aneurisme adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang (Sylvia A.
Price, 1995)
3) Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan).
- Trombosis sinus dura
- Diseksi arteri karotis atau vertebralis
- Vaskulitis sistem saraf pusat
- Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
- Migran
- Kondisi hyperkoagulasi
- Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin)
- Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
- Miksoma atrium.
Faktor Resiko :
- Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi
atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria.
- Yang dapat diubah : hypertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan obat dan alcohol, hematokrit meningkat, bruit karotis
asimtomatis, hyperurisemia dan dislidemia.
4. Patofisiologi
Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat otak menerima seperenam dari curah jantung. Otak
mempergunakan 20% dari oksigen tubuh. Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak
mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total).
Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu :
a. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga
aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-
perubahan iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis.
b. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke jaringan (hemorage).
c. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
d. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan
melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area
dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur
anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan
kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya
peristiwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di
samping itu reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai
serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanent
Skema : Perdarahan arteri, Trombus,
Emboli

Penurunan tekanan perfusi vaskularisasi distal

Iskemia Pelebaran kontara lateral

Anoksia Aktivitas elektrik terhenti

Metabolisme Anaerob Pompa natrium dan kalium gagal

Metabolisme Asam Natrium dan air masuk ke sel

Asidosis lokal Edema intra sel

8
( Satyanegara, 1998)

Pompa natrium gagal Edema ekstra sel

Edema dan nekrosis jaringan Perfusi jaringan serebral

Sel mati secara progresif (defisit fungsi otak)

5. Tanda dan Gejala


a. Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral
- Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
- Peningkatan refleks tendon
- Ataksia
- Tanda babinski
- Tanda-tanda serebral
- Disfagia
- Disartria
- Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
- Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
- Muka terasa baal.
b. Arteri Karotis Interna
- Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
- Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
c. Arteri Serebri Anterior
- Gejala paling primer adalah kebingungan
- Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
- Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
- Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
- Gangguan sensorik kontra lateral
- Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
d. Arteri Serebri Posterior
- Koma
- Hemiparesis kontralateral
- Afasia visual atau buta kata (aleksia)
- Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis.
e. Arteri Serebri Media
- Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
- Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
- Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
- Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi
- Disfagia
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1) Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.
2) Blood (Tekanan Darah)
- Usahakan otak mendapat cukup darah.
- Jangan terlalu cepat menurunkan tekanan darah pada masa akut.
3) Brain (Fungsi otak)
- Atasi kejang yang timbul.
- Kurangi edema otak dan tekanan intra cranial yang tinggi.
4) Bladder (Kandung Kemih)
- Pasang katheter bila terjadi retensi urine
5) Bowel (Pencernaan)
- Defekasi supaya lancar.
- Bila tidak bisa makan per-oral pasang NGT/Sonde.
b. Menurunkan kerusakan sistemik.
Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversible inti sentral jaringan otak. Di sekitar zona jaringan yang mati mungkin ada
jaringan yang masih harus diselamatkan. Tindakan awal yang harus difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik.
Tiga unsur yang paling penting untuk area tersebut adalah oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen dapat
dipantau melalui gas-gas arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika ada indikasi. Hypoglikemia dapat dievaluasi dengan
serangkaian pemeriksaan glukosa darah.
c. Mengendalikan Hypertensi dan Peningkatan Tekanan Intra Kranial

9
Kontrol hypertensi, TIK dan perfusi serebral dapat membutuhkan upaya dokter maupun perawat. Perawat harus mengkaji masalah-
masalah ini, mengenalinya dan memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Pasien dengan hypertensi sedang biasanya tidak
ditangani secara akut. Jika tekanan darah lebih rendah setelah otak terbiasa dengan hypertensi karena perfusi yang adekuat, maka
tekanan perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan darah diastolic diatas kira-kira 105 mmHg, maka tekanan
tersebut harus diturunkan secara bertahap. Tindakan ini harus disesuaikan dengan efektif menggunakan nitropusid.
Jika TIK meningkat pada pasien stroke, maka hal tersebut biasanya terjadi setelah hari pertama. Meskipun ini merupakan respons
alamiah otak terhadap beberapa lesi serebrovaskular, namun hal ini merusak otak. Metoda yang lazim dalam mengontrol PTIK mungkin
dilakukan seperti hyperventilasi, retensi cairan, meninggikan kepala, menghindari fleksi kepala, dan rotasi kepala yang berlebihan yang
dapat membahayakan aliran balik vena ke kepala. Gunakan diuretik osmotik seperti manitol dan mungkin pemberian deksamethasone
meskipun penggunaannya masih merupakan kontroversial.
d. Terapi Farmakologi
Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragik, meskipun heparinisasi pada pasien stroke iskemik akut mempunyai
potensi untuk menyebabkan komplikasi haemoragik. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR) menawarkan alternatif pada
penggunaan heparin dan dapat menurunkan kecendrungan perdarahan pada penggunaannya. Jika pasien tidak mengalami stroke,
sebaliknya mengalami TIA, maka dapat diberikan obat anti platelet. Obat-obat untuk mengurangi perlekatan platelet dapat diberikan
dengan harapan dapat mencegah peristiwa trombotik atau embolitik di masa mendatang. Obat-obat antiplatelet merupakan
kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragi seperti pada halnya heparin.
e. Pembedahan
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita stroke. Sulit sekali untuk menentukan penderita mana
yang menguntungkan untuk dibedah. Tujuan utama pembedahan adalah untuk memperbaiki aliran darah serebral.
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak. Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga
menderita beberapa penyulit seperti hypertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi
umum sehingga saluran pernapasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.
7. Komplikasi
a. TIK meningkat
b. Aspirasi
c. Atelektasis
d. Kontraktur
e. Disritmia jantung
f. Malnutrisi
g. Gagal napas.
8. Tindakan Pencegahan
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pembatasan makan garam; dimulai dari masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa garam atau
makanan bayi rendah garam.
b. Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan darah selama
tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat penenang berlebihan dan istirahat
ditempat tidur yang terlalu lama.
c. Peningkatan kegiatan fisik; jalan setiap hari sebagai bagian dari program kebugaran.
d. Penurunan berat badan apabila kegemukan
e. Berhenti merokok
f. Penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok, karena resiko timbulnya
serebrovaskular pada wanita yang merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16 kali
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan pil kontrasepsi.
9. Dampak Masalah
a. Bagi Individu
1) Biologis
Penderita akan mengalami gangguan pernapasan akibat hilannya reflek batuk dan penurunan kesadaran hingga terjadi
akumulasi secret. Nyeri kepala akibat infark serebri yang luas, penurunan kesadaran, gangguan kognitif, disorientasi, mual dan
muntah, gangguan menelan, tidak bisa menjalin komunikasi karena klien aphasia, terjadi konstipasi akibat tirah baring dan
kurangnya mobilisasi, dan dekubitus akibat tirah baring yang lama.

2) Psikologis
Cemas sedang akibat hemiparese, terutama pada penderita yang mempunyai beban tanggung jawab pada keluarganya.
Penderita dapat mengalami depresi disamping rasa rendah diri yang bisa dipahami sebagai suatu reaksi emosional terhadap
kemunduran kualitas dan keberadaannya.
3) Sosial
Apabila keadaan sakitnya sampai terjadi kelumpuhan dan gangguan komunikasi, klien akan mengalami kesulitan untuk
mengadakan interaksi dengan keluarga maupun masyarakat. Mungkin juga klien akan menarik diri dari interaksi sosial karena
merasa harga dirinya rendah dan merasa tidak berguna.
4) Spiritual
Penderita mungkin akan mengalami kesulitan didalam melakukan kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
keterbatasannya. Mungkin juga penderita akan merasa bahwa Tuhan tidak adil kepada dirinya akibat dari depresi. Penderita juga
mengingkari dan menolak keberadaan dari Yang Maha Kuasa.
5) Bagi keluarga
Penderita akan menjadikan beban bagi keluarga, karena keluarga yang sehat berupaya untuk mencarikan biaya pengobatan,
membantu memberikan perawatan, karena penderita sendiri sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Keluarga
akan merasa cemas mengenai keadaannya. Apabila penderita suami atau isteri mungkin menghadapi resiko depresi dan perubahan
emosional.
B. Penurunan Kesadaran
1. Pengertian
Penurunan kesadaran adalah keadaan klinis ketidaksadaran dimana pasien tidak tanggap terhadap dirinya sendiri dan lingkungan
(Brunner & Sunddarth, 2001 : 2123).
Menurut Susan Martin Tucker, 1998 : 479 pengertian dari penrunan kesdaran adalah keadaan di mana terjadi perubahan dalam interaksi
hemisfer serebral dan system aktivasi retikuler (SAR) mengakibatkan ketidakmampuan individu untuk menghubungkan dirinya dengan
lingkungannya.
Letargia dapat memburuk sehingga kontak bahasa agak sukar, tetapi masih dapat dilakukan lagi, tetapi perangsanagn pada tubuh masih
dapat menimbulkan reaksi. Keadaan semacam ini dinamakan stupor. Bilamana keadaan lebih menurun lagi, sehingga reaksi motorik tidak
dibangkitkan lagi, meskipun rangsang protopatik kasar/keras digunakan, maka derajat kesadran semacam itu dinamakan koma (Priguna
Sidharta. M. D., Ph. D, 1999 : 501).

10
2. Etiologi
Gangguan tingkat kesadaran dapat terjadi karena berbagai sebab (Tuti Pahria, 1996 : 30) seperti :
a. Lesi masa subtentorial. Lesi ini terjadi dibawah tentorium seperti perdarahan serebral, tumor, atau abses
menggangu kesadaran dengan menekan atau mengancurkan RAS di atas area midspons. Lesi
menyebabkan gangguan kesadaran antara lain dengan kompresi langsung terhadap batang otak, herniasi
ke atas melalui takik tantorial, dan herniasi ke bawah mengenai medula. Kompresi terhadap batang otak
bagian bawah pada umumnya akan mnyebabkan perubahan respiratori dan kardiovaskular, tidak terhadap
kesadaran kecuali akibat anoksia.
b. Gangguan metabolic dan difusi serebral. Gangguan kesadaran ini berkaitan dengan kegagalan
metabolisme neural. Factor yang dapat menyebabkan kegagalan antara lain : metabolic enselopati primer
sebagai akibat gangguan metabolisme neural dan sel glial; metabolic enselopati sekunder sebagai akibat
penyakit ekstraserebral yang mengganggu metabolisme otak atau menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. Penyakit ekstreserebral menyebabkan gangguan kesadaran apabila otak tidak mendapatkan
cukup suplai oksigen, glukosa dan berbagai enzim otak ko-faktor penting untuk metabolisme, untuk
produksi neuro-transmitter atau mempertahankan membrane potensial.
3. Patofisiologi
Adanya perubahan atau gangguan tingkat kesadaran terjadi apabila ada interupsi impuls dari RAS atau kegagalan kortek serebral untuk
merespon impuls yang datang.
RAS tergantung pada stimuli untuk dapat berfungsi secara benar dalam mekanisme “kesadaran”. Rangsangan tersebut dapat datang dari
luar (lewat serabut sensoris) ataupun dari kortek sendiri yang merupakan aktivitas balikan dari sistem motoris maupun sensasi visceral.
Apabila RAS terstimuli, keseluruhan otak menjadi aktif termasuk kortek serebral, thalamus, basal ganglia, bagian-bagian lain dari
bantang otak dan medulla spinalis. Sekali terangsang kortek mengirimkan balik impuls ke RAS yang pada gilirannya merupakan lanjutan ke
kortek (mekanisme umpan balik positif). Sehingga dengan demikian terjadi siklus antara serebral kortek dan RAS, dan ini akan
mempertahankan kesadaran dan kesiapan mental.
Kesadaran tidak hanya tergantung pada sirkuit nueral dengan RAS, tetapi juga tergantung factor lain yaitu fungsi metabolic yang
menjamin ketersediaan oksigen secara adekuat, ketersediaan nutrisi khususnya glukosa. Disamping itu kecepatan dan volume aliran darah
serebral, normal oksihemoglobin dan permeabilitas barier darah merupakan factor yang penting (Tuti Pahria, 1996 : 31).
4. Dampak perubahan tingkat kesadaran
a. Perubahan pola napas
b. Perubahan reaksi dan ukuran pupil
c. Perubahan fungsi motoris
d. Perubahan suhu tubuh
e. Perubahan tekanan intracranial
5. Penatalaksanaan medis
a. Bantuan oksigen/ventilator
b. Terapi oksigen
c. Cairan dan elektrolit
d. Pemantauan tekanan intracranial
e. Bantuan nutrisi
f. Obatan-obatan seperti obatan-obatan TIK, diuretik, antiaritmia,
antihipertensi, antibiotic.
6. Komplikasi
a. Gangguan pernapasan seperti aspirasi, atelektasis, pneumonia, adema pulmonal neurogenik, sindrom
distress pernapasan dewasa, gagal napas.
b. Deubitus, konstipasi, kontraktur, malnutrisi
c. Ulserasi corneal
d. Koagulasi intravascular diseminata (KID)
e. Infeksi salaruan kemih (ISK)

C. Konsep Asuhan Keperawatan


Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik dimana secara langsung perawat dan klien secara bersama - sama menentukan masalah
keperawatan sehingga membuat asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan dengan menggunakan lima tahap yang terdiri dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dapat teratasi melalui intervensi yang dibuat dan implementasi yang dilakukan.
Dari seluruh aspek diatas, maka dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan Stroke Non Haemoragic diperlukan suatu
asuhan keperawatan yang konprehensif yaitu dengan memandang klien sebagai individu yang utuh terdiri dari bio, psiko, sosial, mental, dan
spiritual yang mempunyai kebutuhan sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya.
Menurut Griffith Kenney dan Christensen ( 1986 : 85 ) Mendefinisikan proses keperawatan sebagai “aktivitas yang logis dan rasional untuk
melakukan praktek keperawatan secara sistematis”. Proses keperawatan terdiri dari lima tahap yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

PROSES KEPERAWATAN

Pengkajian

Diagnosa
Klien Keluar
Keperawatan

Klien Masuk
Perencanaan

Evaluasi

11
Implementasi

1. Stroke
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dan proses keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua
data/informasi tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan di analisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. (Gaffar, 1997 ).
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar bagi seorang perawat dalam melakukan pendekatan secara sistematis untuk mengumpulkan
data dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan pasien tersebut. Pengumpulan data yang akurat dan sistematik akan membantu
menentukan status kesehatan dan pola pertahanan pasien serta memudahkan perumusan diagnosa keperawatan (Doenges; 2000; hal.5)
Menurut Doenges (1999 : 290) dasar data pengkajian klien dengan stroke adalah sebagai berikut :
A. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri/kejang otot)
Tanda : Gangguan tonus otot (flaksid, spatis): paralitik (hemiplegia) dan terjadi kelemahan umum.
Gangguan penglihatan.
Gangguan tingkat kesadaran.
B. Sirkulasi
Gejala : Adanya penyakit jantung (MI, reumatik/penyakit jantung vaskuler, GJK, endokarditis bakterial), polisitemia dan riwayat
hipotensi postural.
Tanda : Hipertensi arterial (dapat ditemukan/terjadi pada CSV) sehubungan dengan adanya embolisme/malformasi vaskuler.
Nadi Frekuensi dapat bervariasi (karena ketidakstabilan fungsi jantung/kondisi jantung, obat obatan, efek stroke pada
pusat vasomotor)
Disritmia, perubahan EKG.
Desiran pada karotis, femoralis dan arteri iliaka/aorta yang abnormal.
C. Integritas Ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira.
Kesulitan untuk mengekspresikan diri.
D. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria.
Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus negatif (ileus paralitik).
E. Makanan/cairan
Gejala : Nafsu makan hilang
Mual muntah selama fase akut (peningkatan TIK)
Kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah,pipi,dan tenggorok, disfagia.
Riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda : Sulit menelan (gangguan pada palatum dan faringeal, obesitas faktor resiko)
F. Neurosensori
Gejala : Sinkope/pusing (sebelum serangan CSU/selama TIA)
Sakit kepala akan sangat berat dengan adanya pendarahan intraserebreal atau subarakhnoid.
Kelemahan/kesemutan/kebas (biasanya terjadi selama serangan TIA yang ditemukan dalam berbagai derajat pada
stroke jenis yang lain). Sisi yang terkena terlihat seperti “mati /lumpuh”.
Penglihatan menurun, seperti buta total, kehilangan daya lihat sebagian (kebutaan monokuler), penglihatan ganda
(diplopia) atau gangguan yang lain.
Sentuhan: hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada extremitas dan kadang-
kadang pada ipsilateral (yang satu sisi) pada wajah.
Gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
Tanda: Status mental/tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis ketidaksadaran biasanya akan tetap sadar
jika penyebabnya adalah trombosis yang bersifat alami : gangguan tingkah laku (seperti letargi, apatis, menyerang):
gangguan fungsi kognitif (penurunan memori, pemecahan masalah.
Ekstremitas: kelemahan/paralysis (kontralateral pada semua jenis stroke), genggaman tidak koma, refleks tendon
melemah secara kontralateral. Pada wajah terjadi paralisis atau parese (ipsilateral ).
Afasia: gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia motorik yaitu kesulitan untuk memahami kata-kata
secara bermakna atau afasia verbal yaitu gabungan dari kedua hal diatas.
Kehilangan kemampuan untuk mengenali/menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran, taktil (agnosia),
seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelalaian terhadap bagian tubuh yang terkena
gangguan persepsi.
Kehilangan kemampuan untuk menggunakan motorik saat pasien ingin menggerakkannya (apraksia).
Ukuran/reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan/herniasi).
Kekakuan nukal (biasanya karena perdarahan), kejang (biasanya karena adanya pencetus perdarahan).
G. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intesitas yang berbeda-beda (arteri karotis terkena).
Tanda : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot/fasia.
H. Pernapasan
Gejala : Merokok (faktor resiko )
Tanda : Ketidakmampuan menelan/batuk/hambatan jalan nafas
pernapasan sulit dan tidak teratur
Suara nafas terdengan/ronchi (aspirasi sekresi )
I. Keamanan
Tanda : Motorik/sensorik: masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan), kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri (pada
stroke kanan), hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata dan wajah yang pernah dikenalnya dengan baik.
Gangguan berespons terhadap panas dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh.
Kesuliatan dalam menelan, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri (mandiri).
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, tidak sadar/kurang kesadaran diri (stroke kanan)
J. Interaksi Sosial
Tanda : Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
K. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke (faktorresiko), pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan alkohol (faktor

12
resiko)
Pertimbangan dan rencana pemulangan :
Mungkin memerlukan obat/penanganan teraupetik.
Bantuan dalam hal transportasi, berbelanja, penyiapan makanan, pertahanan diri dan tugas-tugas rumah/
mempertahankan kewajiban. Perubahan dalam susunan rumah secara fisik dan tempat transisi sebelum kembali ke
lingkungan rumah.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik, seperti perdarahan
atau obstruksi arteri: adanya titik oklusi atau ruptur.
2. Scan CT : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
Catatan: mungkin tidak dengan segera menunjukkan semua perubahan tersebut.
3. MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(MAV)
4. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis
(aliran darah/muncul plak arteriosklerotik).
5. Fungsi lumbal : menunjukkan adanya tekanan normal dan biasnya ada trambosis, emboli serebral
dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya haemoragik
subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis
sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
6. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7. Sinar x tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari massa yang meluas. Klasifikasi karotis interna terdapat pada trambosis serebral
klasifikasi parsial dinding aneurisme pada perdarahan subarakhnoid.
a. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat tehadap
masalah kesehatan/ proses kehidupan (Carpenito, 1996).
Diagnosa keperawatan pada Stroke Non Haemorogic (Doenges, 2000) adalah sebagai berikut:
1) Perubahan Perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan oklusif, haemorogi, vasospasme serebral dan edema serebral
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia ; flaksid/paralisis hipotonik; paralysis spastis
3) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral; kelemahan/
kelelahan umum.
4) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis/stress psikologis.
5) Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan tahanan, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
6) Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
7) Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi
8) Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi
9) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, pengobatan b/d kurang informasi, keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi informasi, kurang
mengingat, tidak mengenal sumber informasi.

b. Perencanaan keperawatan
Perencanaan yaitu tahapan dari proses keperawatan atau tahap penentuan apa yang akan dilakukan untuk membantu klien. Pada tahap
ini mempunyai empat kompenen yaitu: menetapkan prioritas masalah, merumuskan tujuan, kriteria hasil dan menentukan rencana tindakan,
sehingga tujuan nyata dapat diukur dan mempunyai batas waktu pencapaian serta dapat mengetahui rencana tindakan apa yang akan
dilakukan selanjutnya (Gaffar, 1997). Rencana tindakan yang dilakukan pada klien yang mengalami stroke menurut (Doenges, 2000) adalah:
1. Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intra cerebral
Tujuan:
Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil:
- Klien tidak gelisah
- Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
- GCS 456
- Pupil isokor, reflek cahaya (+)
- Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit)
Rencana tindakan :
1.1 Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab- sebab peningkatan TIK dan akibatnya
Rasional : keluarga lebih berpartisipasi alam proses penyembuhan.
1.2 Anjurkan kepada klien untuk bed rest totat
Rasional : Untuk mencegah perdarahan ulang
1.3 Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelain tekanan intrakranial tiap dua jam
Rasional : mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk menerapkan tindakan yang tepat.
1.4 Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri bantal tipis)
Rasional : mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral.
1.5 Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
Rasional : batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra cranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.
1.6 Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
Rasional : rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin
diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke/perdarahan lainnya
1.7 Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor
Rasional : memperbaiki sel yang masih variabel.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, parastesia ; flaksid/paralisis hipotonik; paralysis spastis
Tujuan :
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil :
- Tidak terjadi kontraktur sendi
- Bertambahnya kekuatan otot
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas
Rencana tindakan :

13
2.1 Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan
2.2 Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit
Rasional : Gerakkan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
2.3 Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit
Rasional : otot volunter akan kehilangan tonus otot dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan
2.4 Berikan papan kaki pada ekstremitas dalam posisi fungsionalnya
Rasional : mencegah terjadinya kontraktur dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali.
2.5 Tinggikan kepala dan tangan
Rasional : meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah terbentuknya edema.
2.6 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien
Rasional : program yang khusus dapat dikembangkan untuk menemukan kebutuhan yang berarti/menjaga kekurangan tersebut
dalam keseimbangan, koordinasi dan kekuatan.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral;
kelemahan/ kelelahan umum.
Tujuan :
Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal
Kriteria hasil :
- Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
- Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
Rencana tindakan :
3.1 Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat.
Rasional : memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien.
3.2 Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi.
Rasional : mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain.
3.3 Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”.
Rasional : mengurangi kecemasan dan kebingungan pada saat komunikasi.
3.4 Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.
Rasional : mengurangi rasa isolasi social dan meningkatkan komunikasi yang efektif.
3.5 Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi.
Rasional : memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi.
3.6 Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara.
Rasional : melatih klien belajar berbicara secara mandiri dengan baik dan benar.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma neurologis/stress psikologis.
Tujuan :
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
- Adanya perubahan kemampuan yang nyata
- Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Rencana tindakan :
4.1 Tentukan kondisi patologis klien
Rasional : untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan.
4.2 Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
Rasional : untuk mempelajari kendala yang berhubungan dengan disorientasi klien.
4.3 Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan telaten dan seksama
Rasional : agar klien tidak kebingungan dan lebih berkonsentrasi.
4.4 Observasi respon perilaku klien, seperti menangis, bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat.
Rasional untuk mengetahui keadaan emosi klien
4.5 Berbicaralah dengan klien secara tenang dan gunakan kalimat-kalimat pendek.
Rasional : memfokuskan perhatian klien, sehingga setiap masalah dapat dimengerti.
5. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan tahanan, kehilangan
kontrol/koordinasi otot.
Tujuan :
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil :
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan kemampuan pasien.
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan
Rencana tindakan :
5.1 Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual.
5.2 Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh.
Rasional : meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus menerus.
5.3 Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Rasional : klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam
mencegah frustasi adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk dirinya untuk mempertahankan harga diri
dan meningkatkan pemulihan.
5.4 Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya.
Rasional : meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu.
5.5 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi.
Rasional : memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan penyokong
khusus.
6. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil :
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
14
- Hb dan albumin dalam batas normal

Rencana tindakan :
6.1 Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
Rasional : menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien.
6.2 Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
Rasional : klien lebih mudah menelan karena gaya gravitasi.
6.3 Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas
bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan.
Rasional : membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler.
6.4 Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.
Rasional : memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan
masukan.
6.5 Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar.
6.6 Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air.
Rasional : makanan lunak mudah untuk mengendalikan didalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi.
6.7 Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
Rasional : menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko tersedak.
6.8 Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan/kegiatan.
Rasional : meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan.
6.9 Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui selang.
Rasional : mungkin diperlukan untuk memberikan asupan makanan cairan pengganti jika klien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu ke mulut.
7. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan
menelan, imobilisasi
Tujuan :
Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas
Tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
Rencana tindakan :
7.1 Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas
Rasional : klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidak efektifan bersihan jalan napas.
7.2 Rubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : perubahan posisi dapat melepaskan secret dari saluran pernapasan.
7.3 Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari).
Rasional : air yang cukup untuk mengencerkan sekret
7.4 Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan napas.
7.5 Auskultasi suara nafas.
Rasional : mengetahui kelainan suara napas.
7.6 Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien.
Rasional : agar dapat melepaskan secret dan mengembangkan paru-paru.

8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama


Tujuan :
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil :
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka

Rencana tindakan :
8.1 Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin.
Rasional : meningkatkan aliran darah kesemua daerah.
8.2 Rubah posisi tiap 2 jam.
Rasional : menghindari tekanan yang berlebihan dan meningkatkan aliran darah.
8.3 Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol.
Rasional : menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol.
8.4 Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi.
Rasional : menghindari kerusakan-kerusakan kapiler.
8.5 Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan
jaringan tiap merubah posisi.
Rasional : hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
8.6 Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit.
Rasional : mempertahankan keutuhan kulit.
9. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan
menelan, imobilisasi
Tujuan :
Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas

15
Tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
Rencana tindakan :
9.1 Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas
Rasional : klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidak efektifan bersihan jalan napas.
9.2 Rubah posisi tiap 2 jam sekali.
Rasional : perubahan posisi dapat melepaskan secret dari saluran pernapasan.
9.3 Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari).
Rasional : air yang cukup untuk mengencerkan sekret
9.4 Observasi pola dan frekuensi nafas.
Rasional : mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan napas.
9.5 Auskultasi suara nafas.
Rasional : mengetahui kelainan suara napas.
9.6 Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien.
Rasional : agar dapat melepaskan secret dan mengembangkan paru-paru.
10. Kurang pengetahuan klien/keluarga mengenai kondisi, pengobatan b/d kurang informasi, keterbatasan kognitif, kesalahan
interpretasi informasi, kurang mengingat, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan:
Pengetahuan klien/keluarga mengenai kondisi penyakit dan pengobatan bertambah atau meningkat.
Kriteria hasil:
- Berpartisipasi dalam proses belajar
- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan
- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi atau prognosis dan terapeutik.
Rencana Keperawatan :
10.1 Evaluasi tipe atau derajat dari gangguan persepsi sensorik.
Rasional: Defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isi/ kompleksitas instruksi.
10.2 Diskusikan keadaan patologis yang khusus atau kekuatan pada individu.
Rasional: Membantu dalam membangun harapan yang realistis dan meningkatkan pemahaman terhadap keadaan dan kebutuhan
saat ini.
10.3 Tinjau ulang atau pertegas kembali pengobatan yang diberikan.
Rasional : Aktivitas yang dianjurkan, pembatasan dan kebutuhan obat/terapi dibuat pada dasar pendekatan interdisiplin
terkoordinasi.
10.4 Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Rasional : Berbagai tingkat bantuan mungkin diperlukan/ direncanakan berdasarkan kebutuhan individual.
10.5 Sarankan klien menurunkan atau membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berfikir.
Rasional : Stimulasi yang beragam dapat memperbesar gangguan proses berpikir
10.6 Rekomendasikan klien untuk meminta bantuan dalam proses pemecahan masalah dan memvalidasi keperawatan sesuai
kebutuhan.
Rasional : Beberapa klien mungkin mengalami gangguan dalam cara pengambilan keputusan yang memanjang dan berperilaku
impulsif.
10.7 Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan kontrol secara medis.
Rasional : Evaluasi dan intervensi dengan cepat menurunkan resiko terjadinya komplikasi/ kehilangan fungsi yang berlanjut.
10.8 Rujuk pada perencanaan pemulihan atau pengawasan perawatan di rumah dengan mengunjungi perawat.
Rasional : Lingkungan rumah mungkin memerlukan evaluasi dan modifikasi untuk memenuhi kebutuhan individu.
10.9 Tegaskan perlunya evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi.
Rasional: Meminimalkan adanya gejala sisa/ penurunan kesadaran.
c. Pelaksanaan
Merupakan realisasi dari perawatan yang telah dibuat. Perawat mempertimbangkan beberapa alternatif dalam tindakan keperawatan,
memutuskan dan melaksanakan tindakan yang mungkin berhasil mengurangi atau memecahan masalah klien. Ada beberapa fase perencanaan
keperawatan yaitu fase pertama persiapan yang meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan
mengimplementasikannya, fase kedua adalah puncak pelaksanaan yang berorientasi pada tujuan. Hal penting dalam pelaksanaan adalah
mengumpulkan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Fase ketiga merupakan
terminasi antara perawat dan klien setelah implementasi, termasuk didalamnya kesimpulan dari semua pelaksanaan yang telah dilakukan.
d. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan melibatkan
klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan strategi evaluasi.
Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
8. Penurunan Kesadaran
Asuhan keperawatan yang digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan menggunakan lima tahap yang terdiri dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan terhadap penderita dengan Penurunan Kesadaran, perawat memandang klien sebagai individu yang
utuh yang terdiri dari bio, psiko, sosial, dan spritual, yang mempunyai kebutuhan sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya sama seperti
pada klien yang sadar.
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dan proses keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data/informasi
tentang klien yang dibutuhkan dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan (Gaffar, 1997 : 44).
Pengkajian dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui observasi keadaan umum klien, wawancara (Tanya jawab)
dengan klien dan kelurganya, pemeriksaan fisik dari kepala sampai ujung kaki dengan teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta
memperhatikan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.
Pengkajian pada pasien tidak sadar (Tucker, 1998 : 479) adalah :
- Tingkat kesadaran : Skala Koma Glasgow yang terdiri dari respon buka mata, respon motorik, gerakan mata,
dan agitasi.
- Fungsi motorik
- Abnormalitas fungsi motorik yaitu adanya flaksiditas, kontraktur, spastisitas, dan postur abnormal (dekortikasi
dan deserebrasi)
- Fungsi pernapasan yaitu kepatenan jalan napas, sekresi, pernapasan yang meliputi frekuensi, pola napas
(cheynes stokes, apneatik, kluster, ataksia), dan bunyi napas.
- Fungsi kardiovaskuler yaitu frekuensi jantung, irama, kualitas,nadi perifer, dan tekanan darah.
- Suhu tubuh yaitu adanya hipotermi atau hipertermi.
16
- Kulit yaitu warna dan turgor.
- Pengkajian nutrisi yaitu masukan diet, penurunan berat badan, dan penurunan dalam pengukuran antropometrik.
Pemeriksaan laboratorium/diagnostik (Tucker, 1998 : 478) yaitu:
- Elektrolit, profil kimia yang terdiri dari gula darah puasa (FBS), natrium, klorida, kalium, kalsium, fosfor, dan
magnesium.
- ETOH serum (alkohol).
- CSS (cairan serebrospinal).
- Pemeriksaan gas darah arteri.
- Urine yang terdiri dari skrining toksikologi dan kreatinin klirens.
- Pemeriksaan foto ulang tengkorak.
- EEG

b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon actual atau potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap
masalah kesehatan/proses kehidupan (Carpenito, 1996)
Diagnosa keperawatan yang berlaku pada pasien tidak sadar (Tucker, 1998 : 480) adalah :
1) Resiko ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan kerusakan neurologis.
2) Defisit perawatan diri : nutrisi, hygiene/mandi, toileting, mobilitas, berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.
3) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilsasi.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurologis.
5) Resiko terjadinya cedera berhubungan dengan kerusakan nuerologis.
6) Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan penyakit atau trauma neurologis.
7) Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasi dan atau ketidakmampuan jangka panjang yang melelahkan
kapasitas pendukung.
c. Perencanaan keperawatan
Perencanaan yaitu tahapan dari proses keperawatan atau tahap penentuan apa yang akan dilakukan untuk membantu klien. Pada tahap
ini mempunyai empat komponen yaitu : menetapkan prioritas masalah, merumuskan tujuan, kriteria hasil, dan menentukan rencana tindakan,
sehingga tujuan nyata dapat diukur dan mempunyai batas waktu pencapaian serta dapat mengetahui rencana tindakan apa yang akan
dilakukan selanjutnya (Gaffar, 1997 : 18).
Rencana tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien yang mengalami gangguan kesadara menurut Tucker (1998 : 480) adalah :
1) Resiko ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan kerusakan neurologis.
1.1 Kaji dan pantau frekuensi, kedalaman, dan pola pernapasan; kaji upaya ventilasi.
1.2 Pertahankan kepatenan jalan napas; pertahankan leher dalam posisi garis tengah; hindarkan fleksi leher.
1.3 Berikan oksigen dan humidifikasi sesuai indikasi.
1.4 Berikan bantuan ventilasi sesuai indikasi.
1.5 Kaji tanda dan gejala distress pernapasan.
1.6 Auskulltasi bunyi napas setiap 4 sampai 8 jam atau sesuai indikasi.
1.7 Pasang jalan napas nasofaring sesuai indikasi untuk menangani sekresi, penghisap nasoparing.
1.8 Pantau gas-gas darah arteri.
1.9 Pantau volume tidal.
1.10 Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat bila memungkinkan.
2) Defisit perawatan diri : nutrisi, hygiene/mandi, toileting, mobilitas, berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.
2.1 Kaji status nutrisi; tetapkan berat badan dasar.
2.2 Pertahankan keseimbangan nutrisi.
2.3 Sikat rambut setiap hari; keramas setiap minggu.
2.4 Pertahankan kuku terpotong rapid an tetap bersih.
2.5 Lakukan hygiene oral setiap 2 sampai 4 jam.
2.6 Lakukan inspeksi mata dan perawatan mata setiap jam.
2.7 Berikan perawatan hidung setiap 4 sampai 5 jam.
2.8 Inspeksi telinga setiap 4 sampai 6 jam terhadap tanda kekeringan atau haluaran segar.
2.9 Pantau haluaran urine; kaji terhadap kejernihan, sedimentasi.
2.10 Pantau defekasi setiap hari.
3) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilsasi.
3.1 Kaji dan pantau integritas kulit setiap 4 sampai 8 jam.
3.2 Inspeksi telinga, siku, tumit, dan semua titik tekanan dengan seksama.
3.3 Berikan perawatan kulit setiap 2 jam.
3.4 Gunakan matras udara atau matras crate egg.
3.5 Pasang pelindung tumit dan siku.
3.6 Masase punggung dan titik tekanan dengan lotion.
3.7 Pertahan sprei tempat tidur tetap ketat, kering, bebas kerut.
3.8 Balikkan dan ubah posisi setiap 2 jam.
3.9 Lepaskan dan bersihkan kulit di sekitar selang (nasogastrik atau endotrakeal) setiap hari.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurologis.
4.1 Kaji massa otot terhadap tanda kontraktur sendi.
4.2 Lakukan latihan rentang gerak pasif untuk semua ekstremitas setiap 2 sampai 4 jam, libatkan bagian yang besar (lengan dan kaki)
dan bagian yang kecil (jari-jari tangan dan kaki) kelompok otot.
4.3 Pertahankan tubuh dalam kesejajaran yang tepat; reposisikan setiap 2 jam; gunakan pemutar, bantal sesuai kebutuhan.
4.4 Pasang splints sesuai kebutuhan.
5) Resiko terjadinya cedera berhubungan dengan kerusakan nuerologis.
5.1 Kaji status mental dan fisik untuk menentukan potensial terjadinya cedera.
5.2 Lakukan strategi untuk mencegah cedera yang sesuai untuk status fissiologis.
5.3 Pertahankan tempat tidur dalam posisi rendah, dengan pagar tempat tidur terpasang bila pasien tidak sadar.
5.4 Berikan bantalan pada pagar tempat tidur bila pasien gelisah atau agitasi.
5.5 Berikan mitela tengan sesuai indikasi; lepaskan setiap 8 jam untuk melakukan perawatan tangan.
5.6 Berikan restrain lembut; merupakan kontraindikasi jika terjadi kejang.
5.7 Bicara dengan lembut pada pasien, pastikan dan jelaskan prosedur serta aktiviats.
6) Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan penyakit atau trauma neurologis.
6.1 Kaji tingkat kesadaran setiap 8 jam; pantau dan laporkan tingkat kesadaran mental.

17
6.2 Bicara pada pasien; orientasikan pasien pada hari, jam dan tempat.
6.3 Jelaskan semua aktivitas dan prosedur.
6.4 Berikan dorongan pada keluarga, teman untuk berbicara pada pasien dan untuk menyentuh pasien.
6.5 Kaji rangsangan lingkungan; kurangi kebisingan yang dapat mengganggu pasien semaksimal mungkin.
6.6 Pertahankan lingkungan yang sesuai terhadap waktu; buka tirai selama siang hari, matikan lampu pada malam hari.
6.7 Atur aktiviats rutin.
6.8 Berikan benda-benda di sekitar tempat tidur yang dapat meningkatkan rangsangan yang berarti; jam, kalender, benda-benda yang
berarti secara pribadi.
7) Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasi dan atau ketidakmampuan jangka panjang yang melelahkan
kapasitas pendukung.
7.1 Berikan informasi yang tepat dan terbaru.
7.2 Bantu keluarga untuk mendapatkan persepsi yang realistik tentang kondisi pasien dan prognosisnya.
7.3 Kaji anggota keluarga untuk mengidentifikasi perubahan peran potensial yang penting untuk mempertahankan integritas keluarga.
7.4 Berikan dukungan emosional pada keluarga atau orang terdekat (misalnya, membiarkan mereka mengekspresikan perasaan
kehilangan, kemarahan).
7.5 Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan tentang kematian, sekarat, dan kehilangan.
7.6 Izinkan dan berikan dorongan untuk ikut serta dalam perawatan pasien sesuai keinginan.
7.7 Biarkan keluarga untuk melakukan tugas-tugas kecil bagi pasien; menyisir rambut pasien, mengoleskan losion, melakukan rentang
gerak.
7.8 Berikan dorongan penggunaan sumber-sumber untuk membantu dalam penyesuaian terhadap sistuasi (misalnya, konseling,
pendeta).
d. Pelaksanaan
Merupakan realisasi dari rencana perawatan yang telah dibuat. Perawat mempertimbangkan beberapa alternatif dalam tindakan
keperawatan, memutuskan dan melaksanakan tindakan yang mungkin berhasil mengurangi atau memecahan masalah klien. Ada beberapa fase
perencanaan keperawatan yaitu fase pertama persiapan yang meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan
keterampilan mengimplementasikannya, fase kedua adalah puncak pelaksanaan yang berorientasi pada tujuan. Hal penting dalam pelaksanaan
adalah mengumpulkan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Fase ketiga
merupakan terminasi antara perawat dan klien setelah implementasi, termasuk didalamnya kesimpulan dari semua pelaksanaan yang telah
dilakukan.
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan
melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan
strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang.
Hasil atau evaluasi yang diharapkan pada masing-masing diagnosa menurut Tucker (1998) yaitu:
1) Resiko ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan kerusakan neurologis.
Hasil yang diharapkan adalah pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas (frekuensi, irama, dan pola pernapasan normal)
2) Defisit perawatan diri: nutrisi, hygiene/mandi, toileting, mobilitas, berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.
Hasil yang diharapkan adalah kebutuhan pasien terhadap hygiene, eliminasi, nutrisi, dan mobilitas terpenuhi.
3) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilsasi.
Hasil yang diharapkan adalah integritas kulit pasien dapat dipertahankan.
4) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurologis.
Hasil yang diharapkan adalah pasien bebas dari kontraktur sendi, massa otot dapat dipertahankan.
5) Resiko terjadinya cedera berhubungan dengan kerusakan nuerologis.
Hasil yang diharapkan adalah pasien bebas dari cedera.
6) Perubahan persepsi sensoris berhubungan dengan penyakit atau trauma neurologis.
Hasil yang diharapkan adalah pasien memperagakan kestabilan emosional dan/atau tidak memperlihatkan tanda agitasi atau stress.
7) Ketidakefektifan koping keluarga berhubungan dengan krisis situasi dan atau ketidakmampuan jangka panjang yang melelahkan
kapasitas pendukung.
Hasil yang diharapkan adalah keluarga memperlihatkan kemampuan untuk mengatasi situasi, mengungkapkan perasaan, mencari
informasi untuk mengerti/memahami situasi, memperlihatkan penurunan ansietas mengenai kebersamaan dengan pasien.

18

You might also like