You are on page 1of 2

Horornya Perfilman Indonesia.

Anggota Kelompok:

Handal Prima A.(11)

Inna Y.K (12)

Jefri Mars S.(13)

Sheila Monica(23)

XIA-2

Film berjudul Loetoeng Kasaroeng yang muncul pertama kali pada tahun 1926, diprakarsai oleh
sutradara asal belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp merupakan film bisu yang menjadi motor
penggerak perfilman Indonesia. Hingga saat ini, lebih dari 2.200 film telah diproduksi di Indonesia
dengan berbagai macam genre, mulai dari romance, komedi, tragedy, hingga horror. Namun, film-film
Indonesia yang kini beredar justru mayoritas bertema horor dan dibumbui adegan seks.

Film horor yang menyerempet pornografi ini sedang menjadi topik serius di kalangan
masyarakat karena cerita-cerita yang sensasional dan tidak mendidik. Jika film ini dibiarkan terus
beredar, akan berdampak buruk bagi perkembangan perfilman Indonesia.

Permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kurangnya kreatifitas dalam
memunculkan ide yang inspiratif. Sutradara seringkali membuat film asal-asalan dengan alur cerita yang
monoton, tidak masuk akal, dan cenderung mengutamakan unsur pornografi. Adanya salah presepsi
tentang jenis film yang disukai masyarakat juga menjadi penyebab munculnya film horor porno. Si
pembuat film mengira bahwa masyarakat lebih menyukai horor yang disertai adegan porno. Penyebab
lain yaitu terbatasnya modal untuk membuat film. Dalam pembuatan film yang berkualitas diperlukan
biaya yang besar, hal ini sangat kontras dengan pembuatan film horor yang mungkin hanya memerlukan
sedikit biaya.

Turunnya minat masyarakat untuk menonton film-film dalam negeri, rusaknya masa depan generasi
muda, dan jatuhnya citra perfilman Indonesia di mata dunia adalah beberapa dampak yang dapat
muncul apabila film-film horror porno dibiarkan terus beredar. Masyarakat Indonesia tidak lagi segan
untuk menyaksikan adegan-adegan yang seronok di layar bioskop, dan itu akan mendorong terjadinya
tindak kejahatan seksual.

Sebenarnya, ada banyak cara untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satunya dengan mengadakan
survei mengenai genre favorit pemirsa. Para pengamat film dapat melakukan survei tersebut, jika
memang kualitas perfilman Indonesia semakin turun. Para Sutradara muda saat ini juga dapat
mencermati perfilman Indonesia yang memang selalu mengikuti pola naik-turun, mempelajari bagian-
bagian yang sangat digemari tanpa harus berpijak pada keuntungan semata, serta menyadari arti
penting perfilman Indonesia yang bisa mengangkat citra positif bagi negri ini.

Bukan hal yang mudah, jika kita berharap banyak pada sutradara muda saat ini untuk
menyuguhkan hiburan yang mendidik dan berkualitas tinggi. Dorongan untuk memperoleh pemasukan
sekian kali lipat dari modal yang dikeluarkan sangatlah wajar, karena biaya atau anggaran untuk
memakai bintang yang sedang popular sangatlah besar. Belum lagi kebutuhan primer lainnya yang
berkaitan dengan uang itu sangat menganggu pikiran murni untuk menjaga kualitas film nasional.
Sebenarnya kita dapat melihat, bahwa masyarakat kita mudah sekali terkecoh dan terpengaruh dengan
satu kalimat saja, “Tonton film si A, kamu akan lihat hebatnya film tersebut. Aku sudah melihat bahkan
lebih dari dua kali.” Alhasil, jika kita tiupkan rumor tersebut, maka akan berduyun-duyunlah orang akan
mengantri tiket. Wajar pula, jika promo tersebut kita sebarkan secara luas. Namun satu pula yang harus
ditanyakan, “Jujurkah kita dengan pola yang bertolak belakang dengan kenyataan. Jujurkah kita pada
hasil yang dicapai tersebut tidak untuk mengeruk segudang uang?”

Untuk itulah, kita harus mencermati setiap bingkisan film yang akan ditayangkan. Tenaga ahli perfilman
dalam negri dapat diminta untuk menyeleksi setiap film sebelum masa pembuatan film dilakukan. Entah
dengan membuat satu Badan Penyaring atau Lembaga Perfilman yang khusus diprakarsai oleh ahli film,
baik dalam negri ataupun luar negri.

Saran utama yang mendasari tulisan ini adalah sebuah himbauan, ataupun tanggapan atas “Bagaimana
kita harus bersikap adil dengan hati nurani. Bagaimana kita harus sadar bahwa generasi muda saat ini
butuh banyak hal guna menyadarkan mereka, apa arti negri ini bagi diri mereka?” Dan dengan
meningkatkan kualitas film yang tengah diminati masyarakat tanpa harus dibumbui pornografi sangatlah
mudah. Film dengan sarat pendidikan, dengan memutar ulang sejarah lama untuk bisa diketahui
generasi saat ini bisa dapat mendatangkan keuntungan besar jika kita memakai pola pikir generasi saat
ini di dalam pembuatannya.

You might also like