Professional Documents
Culture Documents
ISKA GUSHILMAN
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc Dr. Rachman Kurniawan, S.Si, M.Si
NIP. 19710215 199512 2 001 NIP. 19700120 199903 1 001
Mengetahui
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Tanggal Pengesahan :
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ ii
DAFTAR TABEL ................................................................................ iii
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
2 KONDISI UMUM
2.1 Letak dan Luas ............................................................................ 8
2.2 Kondisi Fisik ............................................................................... 9
2.3 Biologi dan Ekologi ..................................................................... 10
2.4 Kondisi Masyarakat ...................................................................... 12
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Taman Nasional ........................................................................... 13
3.2 Pengelolaan Taman Nasional ....................................................... 14
3.3 Hubungan Masyarakat dengan Taman Nasional ........................... 16
3.4 Karst ............................................................................................ 17
3.5 Sistem Pergoaan .......................................................................... 18
3.6 Potensi Sumberdaya Air Kawasan Karst ...................................... 19
3.7 Ancaman Terhadap Karst ............................................................ 21
3.8 Pengelolaan Kawasan Karst ......................................................... 21
4 METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 24
4.2 Bahan dan Alat ............................................................................ 24
4.3 Jenis Data .................................................................................... 25
4.4 Metode Pengambilan Data ........................................................... 26
4.5 Analisis Data ............................................................................... 28
RENCANA KERJA DAN TATA WAKTU PENELITIAN ............... 31
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Karakteristik sebuah bentang alam karst ............................................. 3
2 Letak Taman Nasional Manupeu Tanahdaru ...................................... 8
3 Perbedaan porositas di daerah non-karst dan karst ............................. 18
4 Daerah tangkapan air karst ................................................................ 20
5 Batas kawasan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru ........................ 24
6 Teknik pengolahan data spasial ......................................................... 29
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Karakteristik aliran akuifer karst ........................................................ 19
2 Jenis data yang diperlukan ................................................................. 25
3 Rencana kerja dan tata waktu ............................................................ 31
iv
I. PENDAHULUAN
Salah satu bentang alam yang memiliki nilai hidrologi sebagai penyedia
sumberdaya air adalah kawasan karst. Menurut Ford dan Williams (2007) karst
merupakan wilayah dengan hidrologi khusus dan terbentuk dari kombinasi
tingginya pelarutan batuan dengan porositas yang berkembang baik. Istilah karst
diperuntukan bagi suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief serta drainase
yang khas dan berkembang secara khusus pada batuan karbonat (Gambar 1).
Kekhasan ekosistem karst sangat dipengaruhi oleh keberadaan dua komponen
lingkungannya, yaitu eksokarst dan endokarst. Eksokarst ditandai dengan dataran
yang luas, bukit-bukit dan cekungan di atas permukaan tanah, sedangkan endokarst
merupakan sebuah ekosistem di bawah permukaan tanah berupa celah-rekah dan
lorong bawah tanah.
Kawasan karst mendapat input air dari infiltrasi dalam tanah dan aliran
permukaan yang mengalir langsung ke dalam endokarst. Sistem permukaan dan
bawah tanah kawasan karst menyatu melalui sistem drainase bawah tanah. Air
karst akan mengalir melewati celah-rekah dan lorong bawah tanah (goa) sebagai
sumber mata air. Aliran bawah tanah seringkali sangat kompleks sehingga air
yang berasal dari satu sumber bisa keluar pada beberapa mata air (Ford dan
Williams 2007).
3
Tidak heran jika kawasan karst merupakan tanki air tawar raksasa yang
selayaknya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Secara
global, mata air terbesar di dunia ini merupakan mata air karst (Jennings 1985,
diacu dalam Sunkar 2009). Di Indonesia, kawasan Karst Maros-Pangkep di
Sulawesi Selatan merupakan tanki air raksasa yang mampu menyalurkan air tawar
untuk kesejahteraan masyarakatnya. Terbukti bahwa Maros merupakan salah satu
wilayah penghasil beras yang cukup besar, dimana keberadaannya sangat
tergantung kepada ketersedian air tawar. Mata air Manavgat di kawasan karst di
Turki memiliki debit sebesar 150-130 m3/dtk dan merupakan mata air terbesar di
dunia. Air dari Fore-Alps di Itali, dengan debit sebesar 40 m3/dtk, merupakan
sumberdaya air yang penting dan menggambarkan salah satu sumberdaya yang
masih alami (Sauro 1993, diacu dalam Sunkar 2009). Mata air Chingsui, salah
satu mata air karst terbesar di Cina memiliki debit rata-rata 33 m3/dtk. Salah satu
mata air yang terkenal di wilayah Eropa dijumpai di wilayah karst, tepatnya di
4
Timavo, dengan debit rata-rata 26,25 m3/dtk (Jennings 1971, diacu dalam Sunkar
2009), sementara mata air Silver dan Blue yang merupakan terbesar di Florida,
memiliki debit sebesar 14-15 m3/dtk. Bahkan, kota-kota besar di Austria seperti
Wina dan Salzburg, sangat tergantung pada air karst, demikian halnya dengan
kota Paris dan London yang sebagian besar airnya berasal dari air karst. Di
Indonesia, batugamping berada pada urutan ketiga sebagai formasi batuan yang
dapat menyimpan air setelah batuan volkanik serta alluvial (Soetrisno 1997, diacu
dalam Sunkar 2009).
Beberapa kawasan karst yang memiliki potensi sumberdaya air yang cukup
besar telah ditetapkan sebagai kawasan taman nasional dan menjadi warisan dunia
(world heritage). Menurut Williams (2008) kawasan karst Taman Nasional
Kahurangi di Selandia Baru adalah salah satu warisan dunia yang memiliki
potensi aliran air bawah tanah. Potensi air tersebut mampu memberikan kontribusi
yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan sumberdaya air.
Contoh lain adalah adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang
merupakan daerah tangkapan air bagi sungai-sungai penting di Sulawesi Selatan
yang hampir setengah wilayahnya merupakan bagian dari kawasan Karst Maros-
Pangkep (Asrianny 2006).
Walaupun nilai penting kawasan karst sudah semakin diakui oleh
Pemerintah Indonesia, terbukti dengan dimasukkannya karst dalam Undang
Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan Undang Undang No. 32/2009
tentang Lingkungan Hidup serta Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, namun belum ada satupun kawasan
taman nasional yang memiliki bentang alam karst membagi zonasinya
berdasarkan fungsi serta keberadaan karst. Zonasi yang ada lebih merujuk pada
ekosistem permukaan dan mengabaikan komponen lingkungan karst yang penting
untuk penampung cadangan air. Menurut Sunkar (2007) keberadaan kawasan
karst seharusnya menjadi perhatian karena istilah keanekaragaman geologi
(geodiversity) sejajar dengan keanekaragaman hayati (biodiversity). Oleh karena
itu, diperlukan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan zonasi di taman
nasional karst yang mengacu pada keberadaan karst terutama fungsinya yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5
Taman nasional yang memiliki bentang alam karst yang cukup luas dan
sedang dalam tahap penyusunan zonasi adalah Taman Nasional Manupeu
Tanahdaru. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran tentang keberadaan sumberdaya air kawasan karst di Taman Nasional
Manupeu Tanahdaru, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penyusunan zonasi kawasan dan dikelola untuk kesejahteraan masyarakat.
Terpenuhinya kebutuhan air masyarakat akan meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap pentingnya keberadaan taman nasional sehingga dalam usaha
perlindungannya akan lebih mudah.
BATAS
ADMINISTRATIF
TAMAN NASIONAL
MANAPEU
TANAHDARU
SUMBA
NUSA TENGGARA
TIMUR
Pulau Sumba
2.2.2 Topografi
Kawasan Manupeu merupakan dataran perbukitan yang cukup curam
dengan topografi berkisar antara 5%-60% (Wiranansyah 2005). Karakteristik
10
2.2.3 Iklim
Pulau Sumba memiliki tipe iklim kering yang terutama dipengaruhi oleh
angin musim yang masing-masing bertiup dari daratan Asia (selama lebih kurang
3 bulan) yang membawa uap air tinggi dan Australia (selama lebih kurang 9
bulan) yang membawa uap air rendah (Wello 2008). Menurut klasifikasi Schmidt
dan Ferguson, iklim di kawasan TNMT termasuk tipe iklim E (agak kering) di
bagian selatan, tipe iklim D (sedang) di bagian utara, dan tipe iklim C (agak
basah) di bagian timur laut. Curah hujan rata-rata 500-2000 mm. Rata-rata hujan
pada bulan basah adalah 400 mm sedangkan pada bulan kering adalah 18 mm
(Purnama 2005).
2.2.4 Hidrologi
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru merupakan daerah resapan air utama
yang dialirkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan pengairan lahan
pertanian (Purnama 2005). Suplai air diperoleh dari mata air dan sungai yang
terdapat dan berhulu di kawasan taman nasional ini. Menurut Monk et al. (2000)
mata air menjadi sumber air utama untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Aliran air bawah tanah yang keluar sebagai mata air melewati goa-goa yang
terdapat di dalam kawasan.
perwakilan tipe hutan mulai dari hutan bakau (mangrove), hutan pantai hingga
hutan hujan tropika kering dan hutan semi awet hijau di dataran rendah. Menurut
Banilodu dan Saka (1993), diacu dalam Purnama (2005) tipe hutan di Pulau
Sumba terbagi atas:
1. Hutan awet hijau atau hutan hujan di daerah dengan kelembaban lebih tinggi
pada 700 mdpl.
2. Hutan musim awet hijau disepanjang daerah aliran sungai dan dataran rendah.
3. Hutan semi awet hijau atau hutan musim semi peluruh daun di daerah
perbukitan dengan kelembaban rendah.
4. Hutan elfin, hutan yang banyak ditumbuhi herba dan berlumut serta memiliki
pohon-pohon yang rapat dan bertajuk rendah (tinggi berkisar 8-20 meter).
5. Hutan semak berduri dipetak-petak pantai di bagian timur.
6. Hutan bakau di mulut-mulut sungai disepanjang pantai utara.
Taman Nasional Manupeu Tanahdaru memiliki keanekaragaman jenis flora
yang bernilai tinggi yaitu sekitar 118 jenis tumbuhan, antara lain Suren (Toona
sureni), Taduk (Sterculia foetida), Kesambi (Schleichera oleosa), Pulai (Alstonia
scholaris), Asam (Tamarindus indica), Kemiri (Aleurites moluccana), Jambu
hutan (Syzygium sp.), Cemara gunung (Casuarina sp.), dan Lantana (Lantana
camara) (Dephut 2007). Hutan primer mencakup areal perbukitan dengan
beberapa spesies antara lain Ficus septica, Casuarium oleosum, dan Palaqium
obovatum. Jenis vegetasi hutan sekunder antara lain Ficus septica, Casuarium
oleosum, Lagerstroemia sp, dan Toona sureni, Merr (Dephut 2007).
Satwa liar yang dapat dijumpai di Taman Nasional Manupeu Tanahdaru
adalah Rusa timor (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus vitatus), Biawak (Varanus
salvator), dan Ayam hutan (Gallus varius). Menurut Purnama (2005) jenis burung
endemiknya adalah Sesap madu (Nectaria buettikoferi), Pungguk wengi (Ninox
rudolfi), Pungguk wengi sumba (Ninox sumbaensis), Sikatan sumba (Ficedula
harterti), Punai sumba (Treron teysmanii), Walik rawamamu (Ptiliopus dohertyi),
Gemak sumba (Turnix everetii), dan Julang Sumba (Aceros everetii). Selain itu
juga bisa ditemui tujuh jenis kupu-kupu endemik Pulau Sumba yaitu Papilio
neumoegenii, Ideopsis oberthurii, Delias fasciata, Junonia adulatrix, Athyma
karita, Sumalia chilo, dan Elimnia amoena.
12
2.4.2 Kepercayaan
Kepercayaan asli masyarakat sumba adalah “marapu”. Marapu merupakan
suatu konsep tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menciptakan langit
dan bumi serta menjadi suatu kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia serta
tidak disebutkan namanya secara sembarangan. Pada dasarnya kepercayaan
marapu mengutamakan keselarasan hubungan antara Tuhan dan manusia serta
dengan alam. Keselarasan hubungan tersebut diwujudkan dalam aturan-aturan
marapu yang mewajibkan penganutnya melakukan berbagai upacara untuk
memuja Sang Khalik sebagai bentuk ucapan syukur, seperti: ritual sebelum dan
sesudah panen dengan membawa persembahan (Wello 2008).
III. TINJAUAN PUSTAKA
d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu yang cukup untuk
menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang
pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis
secara alami.
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya
yang langka yang keberadaannya terancam punah.
g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan khas
atau endemik.
h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.
1. Zona inti
Perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta
habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah
dari jenis tumbuhan, dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya.
2. Zona rimba
Kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat
satwa migran, dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
3. Zona pemanfaatan
Pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan,
penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang
budidaya.
3.4 Karst
Karst merupakan suatu bentang alam yang berkembang pada batuan mudah
larut, yaitu batuan karbonat. Jenis batuan karbonat yang paling umum adalah
CaCO3 (kalsit) yaitu komponen utama penyusun batu gamping. Selain kalsit,
mineral karbonat pembentuk batuan adalah CaMg(CO3)2 (dolomit). Batuan
karbonat akan mengalami proses karstifikasi dalam jangka waktu yang lama
sehingga terbentuk kawasan karst. Menurut Sunkar (2007) karst berkembang
dengan baik jika terdapat dalam bentuk batuan karbonat seperti batuan gamping
dan dolomit, gypsum, meskipun tingkatan karstifikasinya berbeda.
Karstifikasi adalah proses pelarutan dan peresapan air pada batuan karbonat
sehingga membentuk bentang alam yang khas di permukaan dan sistem drainase
di bawah permukaan (Field 2002). Pelarutan batuan terjadi secara kimia dan akan
dipercepat oleh CO2 dari aktivitas biota serta pembusukan sisa-sisa tumbuhan atau
humus yang berasal dari atmosfer diatas dan dibawah permukaan tanah. Reaksi
antara CO2 dengan air hujan akan membentuk H2CO3 yang sifatnya sangat reaktif
terhadap terhadap batu gamping (Samodra 2001).
Proses pelarutan batuan yang terjadi sangat intensif dan lebih tinggi dari
daerah lainnya. Menurut Sumardja (1999b) tingginya derajat pelarutan batuan
karst mempengaruhi karakteristik relief dan drainase kawasan karst. Ciri-cirinya
18
Aliran conduit mengimbuh sungai bawah tanah melalui ponor yang ada di
permukaan, melewati ronga-rongga besar dan mengalir cepat. Sedangkan aliran
diffuse masuk ke sungai bawah tanah melalui proses infiltrasi yang terjadi secara
perlahan-lahan melewati epikarst dan kemudian mengimbuh sungai bawah tanah
berupa tetesan atau rembesan kecil. Contohnya adalah tetesan pada ornamen goa
yang mengisi sungai bawah tanah.
kemanusiaan yang cenderung unik (Samodra 2001). Keunikan dan potensi yang
dimiliki kawasan karst menunjukkan bahwa kawasan karst perlu dipertimbangan
dalam penetapan kawasan konservasi terutama taman nasional yang memiliki
bentang alam karst.
Beberapa pedoman yang dikeluarkan oleh WCPA (World Commission on
Protected Areas) tentang pemilihan kawasan karst untuk lokasi kawasan lindung
antara lain sebagai berikut (Haryono 2005):
1. Perencanaan yang efektif di kawasan karst menuntut pemahaman yang
menyeluruh terhadap aspek ekonomis, ilmiah, dan nilai-nilai kemanusiaan
dalam kaitannya dengan budaya dan politik setempat.
2. Perlindungan kawasan karst harus diprioritaskan pada daerah atau tempat yang
mempunyai nilai alamiah, sosial dan budaya yang tinggi, memiliki gabungan
nilai atau kekayaan penting dalam satu wilayah; sedikit mengalami kerusakan
lingkungan; dan atau satu tipe yang tidak ada padanannya dalam sistem
kawasan lindung di seluruh wilayah negara atau dalam zona biogeografinya.
3. Jika mungkin daerah lindung harus mencakup keseluruhan daerah tangkapan
dari sistem drainase karst.
4. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, kontrol yang ketat (total catchment
management agreement) harus diterapkan.
Namun demikian, sebahagian besar taman nasional ditetapkan berdasarkan
aspek keanekaragam hayati (biodiversity) dan mengabaikan aspek keanekaragaman
geologi (geodiversity). Menurut Sunkar (2006) istilah keanekaragam hayati
(biodiversity) sejajar dengan keanekaragaman geologi (geodiversity) sehingga
fokus pertimbangan kawasan konservasi harus diseimbangkan.
Kerentanan sebuah kawasan karst memerlukan pertimbangan tersendiri
dalam pengelolaannya dan seringkali diabaikan dalam sebuah kawasan konservasi,
termasuk dalam penentuan ruang pemanfaatan sebuah taman nasional. Setiap
taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang menurut MacKinnon J dan
MacKinnon K (1986) merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan
kawasan konservasi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya
bertentangan dan untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda. Tujuannya
23
Pulau Sumba
2. Metode wawancara
Wawancara dilakukan terhadap pengelola taman nasional dan masyarakat
sekitar kawasan yang memanfaatkan sumberdaya air karst Taman Nasional
Manupeu Tanahdaru. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth
interview) terhadap tokoh kunci (key person) dari suatu desa yaitu tokoh
masyarakat atau kepala desa, sehingga data yang didapatkan lebih lengkap.
Pelaksanaan wawancara akan mengikuti panduan wawancara (Lampiran).
4. Pengukuran
Debit air diukur pada aliran permukaan dari mata air dan aliran bawah tanah.
Menurut Laksmana (2005) diacu dalam Handayani (2009) besarnya debit air yang
mengalir melalui suatu jalur sungai bawah tanah dapat diketahui dengan berbagai
teknik perhitungan debit air yang telah dikembangkan untuk mengukur debit
pada sungai permukaan. Pengukuran dilakukan dengan dua teknik, yaitu:
27
Ve = 1/8 x P x (D12+D22) x T
Keterangan:
Ve : Volume bejana (m3)
P : 3,14
D : Diameter mulut dan dasar bejana (m)
T : Tinggi bejana (m)
Untuk mengetahui debitnya, maka volume yang didapatkan dibagi dengan waktu
yang dibutuhkan air untuk mengisi bejana tersebut sampai penuh.
bn
dn
Keterangan:
Q : Debit air (m3)
Dn : Jeluk vertikal
Vvn : Kecepatan rata-rata (m/dt)
bn : Jarak antara vertikal ke-n
28
Peta karst
Deliniasi di dalam taman nasional
Peta biodiversity
taman nasional
Peta hidrologi
Pulau Sumba
Field MS. 2002. A Lexicon of Cave and Karst Terminology with Special
Reference to Environmental Karst Hydrology. Washington, DC: U.S.
Environmental Protection Agency.
Ford DC, Williams PW. 2007. Karst Hydrogeology and Geomorphology.
England: John Wiley and Sons.
Gregory KJ, Walling DE. 1979. Studies in Physical Geografi: Man and
Environmental Processes. England: Dawson Westview Press.
Handayani A. 2009. Analisis potensi sungai bawah tanah di gua seropan dan gua
semuluh untuk pendataan sumberdaya air kawasan karst di Kecamatan
Semanu Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta
[Skripsi]. Surakarta: Program Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sebelas Maret.
Haryono E. 2005. Konservasi Kawasan Karst. http://www.indocaver.org/.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. 2010. Laporan Studi Konservasi Lingkungan: Warna Warni
Khasanah Budaya dan Hidupan Liar Langit Sumba. Bogor: Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ismanto A. 2005. Mekanisme pemanfaatan air Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango [Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1991. Caring for the
Earth: Strategi for Suistainable Living. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 1994. Guidelinnes for
Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2003. Guidelinnes for
Management Planning of Protected Area. Gland, Switzerland: IUCN.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. Guidelinnes for
Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland:
IUCN.
Jaya INS. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Kehutanan. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Ko RKT. 2003a. Keanekaragaman Hayati Kawasan Karst. Pemerhati Lingkungan
Karst dan Gua.
_________. 2003b. Strategi Pengelolaan Kawasan Karst. Materi Kuliah Kursus
Introduksi Pengelolaan Kawasan Karst. Bogor: Himpunan Kegiatan
Speleologi Indonesia (HIKESPI).
Kurniawan R. 2010. Sistem pengelolaan kawasan Karst Maros-Pangkep Propinsi
Sulawesi Selatan secara berkelanjutan [Ringkasan Disertasi]. Bogor: Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lee R. 1988. Hidrologi Hutan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
34
Panduan Wawancara
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :