You are on page 1of 5

BUKIT BATU  

Bukit Batu yang kini lebih dikenal dengan nama Pertapaan Pahlawan Nasional Tjilik
Riwut, terletak di daerah Kalimantan Tengah. Saat ini oleh Pemerintah Daerah
Kalimantan Tengah tempat tersebut telah ditetapkan sebagai objek wisata spiritual.

ASAL USUL BUKIT BATU

Cerita panjang yang melatar belakangi munculnya pertapaan Bukit Batu tersebut
diawali dengan kisah seorang penduduk desa Tumbang Liting yang bernama Burut
Ules. Ia seorang yang bakaji . Pada suatu hari, seorang diri ia pergi menuju ke suatu
tempat untuk membuka lahan perladangan. Tanpa kawan, ia kerja keras, membabat
hutan, membangun pondok untuk tempat beristirahat,  tanpa melupakan tradisi
leluhurnya yaitu memohon izin terlebih dahulu kepada segala mahluk yang tidak
terlihat oleh mata jasmani, penunggu daerah tersebut.

Burut Ules: “ ku sangat lelah”

Suatu siang ketika Burut Ules merasa lelah, beristirahatlah ia sejenak di bawah
sebuah pohon rindang yang tinggi dan telah berusia ratusan tahun. Dengan posisi
tiduran sambil berbantalkan tangan, matanya menerawang jauh ke depan. Matahari
bersinar terik, namun karena  berada di rimba raya,  sepoi-sepoi  angin menyentuh
lembut kulitnya, sejuk  terasa, dan  kantuk mulai datang menyerang. Akan tetapi
ketika Burut Ules nyaris terlelap, ia terperanjat  dan langsung melompat bangkit.

Dilihatnya tujuh perempuan cantik yang sangat menawan turun dari langit langsung
menuju telaga yang ada didekatnya. Saat itu hujan rintik-rintik namun matahari
masih bersinar dengan teriknya. Menyaksikan hal tersebut dengan mengendap-
ngendap Burut Ules mendekati telaga.  Sambil bersembunyi ia mengintip
rombongan kecil tersebut. Gadis-gadis itu langsung membuka pakaian, besaluka 
tanpa penutup dada,  dan terjun  berenang, ceria, penuh tawa canda nan meriah.

Burut Ules terpana, mata tak berkedip menyaksikan pemandangan itu. Salah
seorang yang nampak paling muda dalam kelompok itu, gerak geriknya membuat
Burut Ules sangat terpesona. Tanpa sepengetahuan si gadis, matanya menatap
tajam ke arah sang dara. Saat itu juga Burut Ules langsung jatuh cinta.

Burut Ules: “Woow, dia sangat cantik.”

Setelah puas mandi dan berenang, kelompok kecil itu naik ke darat, kembali 
berpakaian dan melompat ke angkasa menuju langit. Sejak saat itu Burut Ules
menjadi susah, resah, gelisah. Ia sangat menyesali dirinya mengapa pada saat itu
tidak langsung memeluk si perempuan bungsu yang sedang mengenakan
pakaiannya seusai mandi, padahal jarak antara mereka tidak jauh. Rasa sesal
tersebut sangat menderanya hingga tidur tak nyenyak makan pun ia tak kenyang.
Suatu hari ketika matahari sedang bersinar terik dan turun hujan rintik-rintik,
bergegas Burut Ules ke semak-semak menunggu dan mengamati telaga tempat
idaman hatinya mandi. Usaha dan penantiannya tidak sia-sia, tidak lama kemudian
di angkasa terlihat buah hatinya dengan saudara-saudaranya menukik menuju
telaga. Menyaksikan hal tersebut, jantung Burut Ules nyaris copot. Pelan-pelan
Burut Ules menarik nafas panjang untuk menenangkan diri.

Kemudian Burut Ules melihat  adegan ulangan yang pernah ia saksikan. Ketujuh
dara yang baru tiba langsung membuka pakaian, dengan ceria terjun ke telaga,
mandi sambil berenang, penuh tawa ria. Namun ketika mereka menginjak tanah
kembali untuk berpakaian, ketika itu pula Burut Ules mendadak muncul diantara
mereka dan serta merta memeluk buah hatinya. Kepanikan pun terjadi, kelompok
kecil tersebut tergesa-gesa memakai pakaiannya masing-masing langsung lompat
menuju langit dengan meninggalkan si adik bungsu yang ketakutan dalam pelukan
erat Burut Ules.

Ketika semua kakaknya telah pergi meninggalkannya, si bungsu berkata kepada


Burut Ules.

Bidadari muda: “Mengapa aku kau sekap? Apa salahku? Dan apa maumu? Bila kau
ingin membunuhku, silahkan bunuh aku, aku tak akan melawan”.

Burut Ules tak mampu menjawab pertanyaan beruntun itu, ia hanya menjawab
singkat: “aku mencintaimu dan maukah kau menikah denganku?” Si bungsu
langsung membalas pelukan Burut Ules dan resmilah mereka menjadi suami isteri.

Selanjutnya Burut Ules sibuk menyembunyikan pakaian yang pernah dipakai oleh
isterinya saat pertama mereka bertemu. Ia khawatir isterinya akan meninggalkannya
apabila pakaian tersebut dipakai lagi oleh isterinya. Untuk selanjutnya pakaian baru
yang terbuat dari kulit kayu, yang ia berikan kepada isterinya. Singkat cerita, isteri
Burut Ules hamil dan lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama... . Burut Ules
hidup bahagia bersama anak dan isterinya.

Suatu hari muncul seorang pemuda, mamut menteng, hitam, tinggi besar
mengunjungi keluarga itu. Isteri Burut Ules mengenalkan kepada suaminya bahwa
pemuda tersebut adalah salah seorang saudaranya yang datang untuk mengunjungi
mereka.

Mamut Menteng: “Perkenalkan, nama saya Mamut Menteng.”

Bidadari Muda: “Dia saudaraku”

Burut Ules:”Oh ya...Perkenalkan nama saya Burut Ules, istri saudaramu yang paling
cantik ini.”

Burut Ules menerima kehadiran pemuda tersebut dengan baik, bahkan pemuda itu
diizinkan turut menginap di rumahnya.

Namun, lama kelamaan Burut Ules merasa curiga karena setiap mandi di telaga,
mereka selalu pergi berdua, berenang ceria, dan hanya berdua. Anak mereka yang
masih bayi  ditinggal begitu saja di gubuk. Rasa cemburu mulai muncul, namun
apabila Burut Ules menanyakan hal tersebut, isterinya selalu memberikan jawaban
yang sama, bahwa pemuda tersebut benar saudaranya.

Teguran untuk mandi renang berdua di telaga telah diberikan, namun acara renang
bersama tetap juga berlanjut. Timbul kemarahan Burut Ules.

Suatu hari, pada saat yang tepat, Burut Ules menikam pemuda hitam  tinggi besar
tersebut dengan tombak hingga tewas dan seketika jasadnya gaib. Sekalipun
tombak yang dipakai untuk membunuh telah disembunyikan, namun hal itu diketahui
juga oleh isterinya.

Ketika Burut Ules pulang ke rumah, dijumpainya isterinya berdiri di hejan  sambil
menggendong anak lelaki mereka satu-satunya.  Ketika melihat Burut Ules datang,
dengan nada penuh duka  isterinya mengatakan bahwa ia sangat sedih dan kecewa
karena suaminya tidak lagi mempercayainya bahkan tega membunuh saudaranya.
Oleh karena itu ia bertekad untuk pulang ketempat asalnya dengan membawa serta
putra mereka.

Sebelum pergi, masih sempat isterinya,

Bidadari Muda: “Kelak dikemudian hari apabila anak turunan kita membutuhkan
bantuanmu, maka anak semata wayang kita ini akan selalu siap membantu. Kelak
apabila anak kita telah dewasa, ia tidak dapat hidup dan berdiam di alam dimana
ibunya berada  karena ayah dan ibunya berasal dari alam yang berbeda. Oleh
karena itu, apabila anak kita telah dewasa, ia akan kembali ke alam ayahnya.

Setelah berkata demikian anak dan ibu lenyap dari pandangan mata Burut Ules dan
Burut Ules menjadi sedih tak terhingga.

Sesal kemudian tak berguna. Burut Ules mencoba bangkit dari kesedihannya. Hari-
harinya ia habiskan untuk kerja keras, letih tidur dan kerja lagi, kerja, kerja, dan terus
bekerja. Begitu seluruh waktunya ia lalui untuk bekerja mengurus ladang,
menangkap ikan dan banyak kegiatan lain yang ia lakukan.

Waktu berlalu, sedikit demi sedikit Burut Ules mampu bangkit kembali dari
kesedihan akibat ditinggal pergi oleh isteri dan anaknya. Kemudian kawinlah ia
dengan anak Kutat. Dari perkawinan ini lahirlah dua orang anak, seorang laki-laki
dan seorang perempuan. Diyakini bahwa hingga kini Burut Ules tidak pernah
meninggal dunia tetapi gaib ke alam lain.

Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar
memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar
diturunkan dari langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama isteri
pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji, apabila telah  dewasa ia akan 
kembali ke alam tempat bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati.
Batu yang diturunkan dari langit yang kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu
diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani,
namun ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut.
2.   Pertapaan Tjilik Riwut
Riwut Dahiang yang bertempat tinggal di daerah Sungai Sala, sangat mendambakan
anak laki-laki. Keinginan tersebut demikian kuat dan mendalam. Walau berkali-kali
Piai Riwut isterinya telah melahirkan anak, namun apabila anak laki-laki yang lahir,
selalu saja meninggal dunia dalam usia balita. Keinginan yang sedemikian kuat
membawa Riwut Dahiang bermohon dengan khusuk kepada Hatalla . Maka pergilah
ia menuju ke suatu tempat keramat yaitu Bukit Batu.

Di tempat itu Riwut Dahiang balampah  dan bermohon untuk diberikan seorang
putera laki-laki. Wangsit yang diperoleh menyatakan bahwa kelak di kemudian hari
putra lelaki yang sangat didambakan itu akan mengemban tugas khusus bagi
masyarakat sukunya.

Tanggal 2 Pebruari 1918, anak laki-laki yang sangat diharapkan lahir dengan
selamat di sebuah kebun durian Kampung Katunen Kasongan Kalimantan Tengah.

Sejak kecil oleh ayahnya, Tjilik Riwut sering diajak ke Bukit Batu sehingga bagi Tjilik
Riwut kecil tempat itu sudah tidak asing lagi baginya. Setelah melampaui usia balita,
ketika sedang bermain-main dengan teman seusia, terkadang Tjilik Riwut begitu saja
pergi meninggalkan teman-temannya menuju Bukit Batu. Entah apa yang ia lakukan
disana, tak seorang pun tahu.

Ketika menginjak usia remaja, Tjilik Riwut mulai  mengikuti tradisi orang tuanya,
pergilah Tjilik Riwut seorang diri menuju Bukit Batu. Di Bukit Batu ia balampah.
Wangsit pertama yang ia peroleh mengarahkannya untuk menyeberang laut menuju
pulau Jawa. Ketika itu komunikasi dan transportasi dari pedalaman Kalimantan ke
Jawa  amatlah sulitnya. Dapat dikatakan hanya impian. Jangankan ke pulau Jawa,
menuju Banjarmasin yang juga berada di pulau yang sama yaitu Kalimantan
membutuhkan perjuangan.

Tjilik Riwut tak kenal putus asa, halangan dan kesulitan yang menghadang ia
anggap sebagai tantangan. Segala macam cara telah ia lakukan baik berjalan kaki
menerobos rimba, naik perahu dan rakit, asalkan bisa mencapai pulau Jawa.
Akhirnya sampai juga ia ke Banjarmasin. Singkat cerita, ketika sampai di
Banjarmasin, Tjilik Riwut berusaha mendapatkan pekerjaan yang ada peluang untuk
menghantarkannya ke Pulau Jawa.  

Pada tahun 1942 di Banjarmasin, tengah malam ketika semua orang sedang tidur,
Tjilik Riwut bangun dari tidurnya dan langsung membangunkan kawan-kawannya
yang sedang terlelap tidur. Dengan begitu yakin Tjilik Riwut mengatakan kepada
kawan-kawannya bahwa ayahndanya Riwut Dahiang malam ini telah dipanggil Yang
Kuasa.
Tentu saja semua kawan-kawannya terheran-heran, tak satupun yang percaya
bahkan mengira bahwa Tjilik Riwut sedang mimpi. Namun dengan mantap dan
penuh keyakinan sekali lagi ia mengatakan bahwa semua ini benar karena
penguasa Bukit Batu baru saja datang menemuinya  menyampaikan pesan tersebut
dan mengatakan bahwa sejak saat itu Tjilik Riwut adalah teman terdekatnya.

Tjilik Riwut meminta teman-temannya untuk mencatat kejadian tersebut lengkap


dengan tanggal dan jam terjadinya peristiwa. Djainudin, Essel Djelau dan seorang
teman lagi langsung mencatat walau tidak begitu yakin bahwa apa yang dialami Tjilik
Riwut tersebut benar terjadi. Untuk mengecek kebenaran firasat tersebut hanya
mungkin apabila ada seorang warga yang berasal dari Kasongan datang ke
Banjarmasin. Saat itu komunikasi tidak semudah saat ini. Belum ada telepon, belum
ada layanan pos, pengiriman berita mungkin terjadi apabila ada kenalan yang
datang dari kampung halaman.

Suatu hari ketika seorang kawan datang dari Kasongan ke Banjarmasin, Tjilik Riwut
bergegas menanyakan keadaan orang tuanya. Memang benar pada saat firasat
dirasakan, pada saat itulah ayah tercintanya pergi menghadap ke hadirat Illahi.

Di masa Revolusi ketika Tjilik Riwut telah berhasil mencapai pulau Jawa bahkan
telah terlibat aktif dalam perjuangan menantang Belanda, dalam suatu kesempatan
ia pulang kampung dan balampah di Bukit Batu. Ia mohon petunjuk dalam
perjuangannya melawan penjajah. Dalam kesempatan itupun Tjilik Riwut bernazar
untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka . Sesuatu ia peroleh begitu usai
balampah yaitu sebuah batu berbentuk daun telinga. Wangsit yang ia peroleh
mengatakan bahwa batu tersebut dapat digunakan untuk mendengarkan dan
memonitor musuh apabila diletakkan pada daun telinganya. Namun setelah
kemerdekaan diperoleh oleh bangsa Indonesia, batu telinga itu pun gaib.

You might also like