You are on page 1of 41

Menjadi Ilmuwan dengan CTL

Contextual Teaching and Learning (CTL) atau“pembelajaran kontekstual” merupakan suatu konsep
pembelajaran yang membantu guru dan siswa menghubungkan kegiatan pembelajaran dengan situasi
dunia nyata di mana dia hidup. Konsep ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey
yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pengajaran dipertautkan dengan pengalaman dan
minat siswa.

Dalam kelas kontekstual, guru bertugas untuk membantu siswa mencapai tujuannya sendiri. Guru lebih
banyak berusaha dengan berbagai strategi daripada sekedar memberikan informasi. Di sini guru
mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi
anggota tim (siswa). Dengan pendekatan ini, pembelajaran menjadi lebih terfokus pada siswa.

Pembelajaran CTL memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu: kebermaknaan (meaningfulness), penerapan


ilmu (application of knowledge), berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), kurikulum yang digunakan
harus standar (standards-based curricula), berfokus pada budaya (cultures focussed), keterlibatan siswa
secara aktif (active engagement), dan asesmen autentik (authentic assessmen).

Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, di dalam pembelajaran CTL, siswa belajar untuk mengerjakan
pekerjaan yang berarti, mencari hubungan yang bermakna, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama,
berfikir kritis dan kreatif. Pada dasarnya, CTL terimplementasi ketika siswa menerapkan dan mengalami
apa yang diajarkan kepadanya.

Karenanya, implementasi Pembelajaran CTL tidaklah sulit dan dapat diterapkan di berbagai mata
pelajaran pada setiap jenjang pendidikan di sekolah. Selama ini, upaya pengaitan bahan ajar dengan
pengalaman baru diterapkan dalam beberapa mata pelajaran tertentu, seperti pelajaran Bahasa
Indonesia dan Bahasa Daerah. Itu pun, belum optimal.

Untuk mata pelajaran yang lain, para guru masih “terbelenggu” dengan teori-teori yang tidak mengakar
dari kehidupan nyata dan pengalaman siswa. Mata pelajaran matematika misalnya, tetap saja tidak bisa
dihadirkan sebagai “menu lokal alami” yang selalu menarik untuk “dilahap” siswa. Padahal, materi ajar
matematika sangat banyak ditemui di kehidupan nyata siswa sehari-hari.

Konsep CTL dapat menjadi alternatif strategi belajar yang memberi banyak keuntungan bagi siswa
dibanding pendekatan pembelajaran lainnya. Siswa diajak untuk belajar mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya. Siswa terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk
menemukan sendiri konstuk keilmuan yang diminati dan diamatinya.

Layaknya seorang peneliti, siswa mempresentasikan “hasil penelitian”-nya dalam bentuk apa yang
mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Dengan cara ini, belajar dipandang sebagai usaha
atau kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Apabila di masa lalu siswa dididik untuk membaca, mengerti, atau menghafal teori-teori yang terkadang
tidak terkait sama sekali dengan budaya lokal/nasional, maka di sini siswa diajar untuk memahami
budayanya dan menjadi problem solver atas masalah-masalah di sekitarnya.
Prinsip-prinsip CTL, semisal application of knowledge dan higher order thinking, senantiasa mendorong
siswa memanfaatkan kemampuannya untuk berpikir kritis, analitis, dan sintetis terhadap suatu masalah
berdasarkan pengetahuannya. Dengannya, siswa dapat membuktikan sendiri dan menemukan jawaban
dalam menghadapi kehidupan di luar kelas yang penuh dengan masalah. Dan dengan konsep CTL ini
pula, kita telah mendidik para siswa kita untuk menjadi seorang ilmuwan yang tidak hanya bergelut
dengan teori-teori “melangit” yang tidak mengakar pada kondisi sosial dan budaya negeri ini. Tetapi
menjadi ilmuan yang “mengakrabkan” teori dengan implementasi dan berperilaku lokal namun berpikir
global.

POLA STRATEGI KOMUNIKASI GURU DI KELAS RSBI

Salah satu ciri has dari program KRBI (Kelas Rintisan Bertaraf Internasional), SNBI (Sekolah Nasional
Bertaraf Internasional), atau istilah sekarang diganti lagi menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional), yang merupakan program permintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, dalam
rangka menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kompetisi global, adalah bahasa
Inggris digunakan sebagai salah satu bahasa pengantar (a medium of instruction) dalam proses belajar
mengajar MIPA (Matematika dan IPA). Penggunaan bahasa Inggris ini tidak terlepas dari fakta bahwa
bahasa inggris adalah bahasa dunia dan alat untuk membuka kran kompetisi global. Selain itu,
menguasai bahasa Inggris memungkinkan guru dan murid mengakses dan memahami materi-materi
dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, kunci sukses di era global ini adalah penguasaan bahasa Inggris
secara lisan dan tulis.

Dalam kontek penggunaan bahasa Inggris di kelas RSBI, guru diharapkan menggunakan bahasa Inggris
dalam membuka pelajaran, menerangkan materi, memberi pertanyaan, memberi perintah, memberi
contoh, menutup pelajaran dan lain-lain. Pada waktu bersamaan, murid juga diharapkan bertanya,
menjawab, dan mengerjakan latihan-latihan dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, guru dan murid
beriteraksi dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris untuk mencapai tujuan belajar. Dalam tulisan ini,
penulis akan mengangkat isu yang berhubungan dengan strategi komunikasi guru dalam mengajar MIPA
menggunakan bahasa Inggris di kelas RSBI. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian (studi kasus) di salah
satu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Malang Jawa Timur. Penelitian tersebut dilakukan
di tiga mata pelajaran: Matematika, Kimia dan Biologi dengan tiga instrument: observasi, wawancara
dan kuesioner.

Strategi komunikasi dalam kontek ini adalah strategi guru MIPA dalam menyampaikan materi MIPA pada
siswa dengan menggunakan bahasa Inggris. Tujuan penggunaan strategi secara umum adalah agar siswa
memahami apa yang disampaikan guru. Fakta menunjukkan ada tiga strategi komunikasi yang dipakai
guru Matematika, Kimia, dan Biologi dalam proses belajar mengajar. Tiga strategi ini meliputi
penerjemahan, pindah bahasa, dan pengulangan.

Penerjemahan

Dalam penerjemahan ini, guru menerjemahkan kata, frase, dan kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia. Polanya adalah pertama guru menjelaskan materi, memberi pertanyaan, atau memberi
perintah dalam bahasa Inggris, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ada dua tipe
penerjemahan dalam pola ini: penerjemahan sebagian dan penerjemahan penuh. Penerjemahan
sebagian adalah guru menerjemahkan sebagian kalimat yang dianggap penting dan sulit dipahami siswa
ke dalam bahasa Indonesia. Biasanya kalimat bahasa Inggrisnya panjang, berbentuk klausa, dan berisi
konsep, teori atau formula. Selain itu, dalam penerjemahan ini, sumber bahasa Inggrisnya berasal dari
materi yang telah dipersiapkan sebelumnya di handout atau worksheet. Guru hanya menyampaikan
materi yang ditulis dalam bahasa Inggris dengan benar. Jadi guru tidak membuat atau menghasilkan
kalimat bahasa Inggris sendiri. Tujuan penerjemahan ini adalah agar siswa mudah memahami konsep
atau materi yang diajarkan. Jadi disini, siswa mengalami kesulitan konsep dan bahasa yang dipakai pada
konsep tersebut.

Kedua, guru menerjemahkan semua kalimatnya ke dalam bahasa Indonesia. Kalimat bahasa Inggrisnya
biasanya berbentuk kata, frase atau kalimat sederhana. Yang kedua ini, guru sendiri lebih banyak yang
membuat bahasa sumbernya, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Namun, kadang kalimat
yang dibuat guru salah secara gramatika dan membingungkan, sehingga siswa sulit menangkap
maksudnya. Oleh karenanya, tujuan penerjemahan ini adalah memberi kemudahan pada siswa untuk
memahami materi, pertanyaan, atau perintah secara langsung bukan dikarenakan konsep itu sendiri,
melainkan bahasa yang dipakai guru membingungkan.

Dari segi manfaat, strategi penerjemahaan ini efektif dan membantu guru dan siswa dalam proses
belajar mengajar. Bagi guru, penerjemahan tidak memakan waktu lama dan langsung. Guru bisa
langsung menerjemahkan kalimat sumbernya ke dalam bahasa Indonesia. Konsep, teori, formula atau
istilah bisa langsung disampaikan waktu itu juga tampa harus mencari cara lain. Bagi siswa, cara ini
membantu mereka memahami konsep atau materi secara langsung dan mudah. Mereka tidak perlu
berfikir dua kali atau menerjemahkan terlebih dahulu bahasa Inggrisnya. Sebanyak 44.4% siswa
berpendapat bahwa penerjemahan sangat membantu mereka untuk memahami materi atau konsep
yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini indikasi bahwa penerjemahan menjadi cara yang paling
banyak diharapkan dalam proses belajar dan mengajar.

Pindah Bahasa

Cara yang kedua adalah pindah bahasa. Pindah bahasa ini adalah penggunaan dua bahasa (Inggris dan
Indonesian) dalam satu kalimat atau klausa. Fakta menunjukkan bahwa selain penerjemahan, guru MIPA
juga menggunakan pindah bahasa dalam proses belajar mengajar untuk memudahkan siswa memahami
konsep atau materi yang disamapaikan dalam bahasa Inggris. Alur pindah bahasa ini yaitu pertama guru
menggunakan bahasa Inggris, karena ada kesulitan, kemudian dilanjutkan dengan bahasa Indonesia.
Kesulitan ini terjadi ketika guru menyampaikan materi, memberi pertanyaan, atau memberi perintah
dalam bahasa Inggris pada siswa. Di tengah jalan, guru mengalami kesulitan, yaitu mereka tidak
menemukan kata atau istilah bahasa Inggrisnya. Dalam keadaan darurat, guru akhirnya menggunakan
kata atau istilah bahasa Indonesia untuk melanjutkan penjelasannya.

Pada dasarnya cara ini juga membantu guru dan siswa. Guru terbantu ketika mereka kesulitan
menggunakan kata bahasa Inggris yang tepat. Tanpa mengurangi atau menghambat pemahaman siswa,
guru bisa tetap melanjutkan materi yang disampaikan. Begitupula siswa, mereka tidak terhambat untuk
memahami apa yang disampaikan guru. Sebanyak 25.92% siswa berpendapat bahwa pindah bahasa juga
membantu mereka untuk memami materi dalam bahasa Inggris. Ini merupakan gambaran bahwa pindah
bahasa bisa diaplikasikan dalam proses belajar mengajar. Namun, perlu diingat bahwa cara ini bukan
semata-mata karena siswa, tapi karena guru yang tidak bisa mengunakan kata atau istilah yang
sebenarnya dalam mengajar. Dengan kata lain, cara ini terbatas hanya ketika guru mengalami kesulitan.

Pengulangan

Cara berikutnya adalah pengulangan. Yaitu guru mengulangi kata, frase atau kalimat bahasa Inggrisnya
berkali-kali. Biasanya pengulangan ini terjadi ketika guru menjelaskan konsep, memperkenalkan istilah
baru, memberi pertanyaan, dan memberi perintah. Ada dua tujuan pengulangan yang dilakukan guru.
Pertama adalah pengulangan untuk memberi penekanan pada kata atau istilah-istilah dan konsept
tertentu yang sangat penting. Penekanan ini akan memberikan kemudahan pada siswa untuk mengenali
dan memahami makna dari istilah tersebut. Kedua adalah pengulangan karena adanya kesulitan dan
kebingungan dari bahasa Inggris guru. Ini banyak terjadi ketika guru memberi pertanyaan tentang
materi. Sering kali guru harus mengulangi pertanyaannya karena siswa tidak memahami bahasa dan
maksudnya.

Strategi ini juga membantu guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Seperti yang telah dijelaskan
di atas, guru terbantu ketika ingin memberikan penekatan pada siswa dari istilah dan konsep tertentu
yang penting dengan cara pengulangan. Selain itu, guru juga bisa membuat materinya mudah dipahami
dengan cara diulangi. Bagi siswa, mereka bisa lebih mengetahui istilah atau konsep yang ditekankan
termasuk pertanyaaan yang kurang dipahami. Sekitar 18.5% siswa beranggapan bahwa pengulangan
juga membantu mereka untuk memahami materi dalam bahasa Inggris. Ini berarti pengulangan bisa
dipakai dalam pembelajaran.

Namun, kelemahan cara ini adalah guru perlu waktu lama untuk mengulangi kata, frase atau kalimatnya.
Sangat sulit atau tidak mungkin guru akan mengulangi setiap kata atau kalimat yang dirasa sulit
dipahami siswa.

Kesimpulan

Dari fakta di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga strategi komunikasi guru MIPA dalam proses
belajar mengajar menggunakan bahasa Inggris di kelas. Tiga strategi ini bisa dibilang membantu guru
dan siswa dalam proses belajar mengajar. Dari tiga strategi, penerjemahan nampaknya yang paling
efektif dalam hal penyampaian materi atau konsep pelajaran dan membantu pemahaman siswa.
Penerjemahan bersifat langsung dan tepat, karena apa yang disampaikan guru bisa langsung dipahami
siswa pada waktu itu juga. Siswa tidak perlu berfikir dua kali atau menerjemahkan bahasa Inggris guru
untuk memahami materi.

Namun perlu diingat bahwa penerjemahan tidak bagus ketika dikaitkan dengan pengembangan bahasa
siswa. Ketika guru menggunakan penerjemahan, ada kecenderungan siswa tidak memperhatikan materi
yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Mereka lebih memilih versi bahasa Indonesianya. Hal sama juga
terjadi jika pindah bahasa digunakan, siswa akan sering menjumpai kata atau istilah yang di-
Indonesiakan. Sebaliknya, pengulangan sangat baik untuk pengenalan kata atau istilah baru pada siswa.

Saran

Dari kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pengembangan selanjutnya.
Pertama, berkaitan dengan program RSBI, guru MIPA disarankan lebih meningkatkan kemampuan
bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. Kemampuan guru berbahasa Inggris yang baik akan
dapat mendukung program biligual dan mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang
disampaikan dalam bahasa Inggris. Semakin baik grammar, banyak kosa kata, dan lancar, semakin
mudah guru dalam penyampaian materi. Peningkatan ini bisa dilakukan dengan cara kursus dan in
house training yang lebih intensif di tingkat sekolah, regional atau nasional. Kedua, sehubungan dengan
strategi komunikasi yang dipakai, para guru MIPA disarankan untuk mempertimbangkan keunggulan dan
kelemahan masing-masing stretegi di atas. Penggunaan strategi harus ditetapkan berdasarkan efisiensi
waktu yang digunakan dan kemudahan langsung dan manfaat bagi guru dan siswa.

Wali Kelas dan Keberhasilan Manajemen Kelas

Kelas merupakan suatu tempat anak belajar untuk mendapatkan ilmu, berinteraksi dengan teman serta
pembentukan pribadi yang baik. Kegiatan belajar siswa yang berada di sekolah diharapkan harus intens
untuk berada di kelas. Dalam lingkup kelas terdiri siswa yang dapat ditinjau dari cara belajar mereka,
karakter siswa, hubungan sosial, kedisiplinan, tanggung jawab dalam Proses Belajar Mengajar.

Pada awal tahun pelajaran, pendidik mendapatkan pembagian jam mengajar yang tugas utamanya
adalah mengajar sebagai tugas tambahan adalah wali kelas. Untuk kelancaran KBM maka yang harus
dilakukan dengan penerapan empat fungsi dari manajemen; planning, organization, directing, dan
controlling pengawasan atas kegiatan hasil pelaksanaan yang direncanakan dan ditargetkan.

Sebagai wujud perencanaan dari tugas tersebut dibentuklah Perangkat Kelas sebagai pelaksana
aktifitas kelas sesuai fungsinya masing-masing dipilih secara demokrasi langsung memilih teman-
temannya sendiri menjadi perangkat kelas.

Untuk pelaksanaan di kelas, maka pengelolaan yang dilakukan oleh perangkat kelas dievaluasi oleh wali
kelas sebagai wujud pengawasan wali kelas, apabila ada permasalahan yang terjadi, apabila sangat
diperlukan perlu adanya koordinasi dengan BK, dan keputrusan final/ akhir pada Kepala Madrasah atau
Kepala Sekolah

Guru adalah sosok yang jadi panutan dan siswa perlu bimbingan demi keberhasilan masa depan mereka,
apabila kita sebagai guru atau wali kelas bahwa dulu pernah seperti mereka yaitu juga pernah menjadi
pelajar, pasti kita menginginkan keberhasilan cita-cita mereka, sehingga sesuatu yang dulu pernah gagal
pada diri kita jangan terjadi pada mereka

Wali kelas harus jeli, kreatif dan inovatif pada situasi dan kondisi, agar anak dalam kelas selalu
mendapatkan pengetahuan yang baik. Manajemen khusus yang harus dilakukan oleh wali kelas yang
tidak mengesampingkan tugas utamanya sebagai guru. Yakni; Sebagai fasilitator, yang memberikan
kemudahan- kemudahan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar; Sebagai pembimbing, yang
membantu siswa mengatasi kesulitan dalam proses belajar mengajar ; Sebagai penyedia lingkungan,
yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar;
Sebagai komunikator, yang melakukan komunikasi dengan siswa dan masyarakat; Sebagai model, yang
mampu memberikan contoh yang baik kepada siswanya agar berperilaku yang baik; Sebagai evaluator,
yang melakukan penilaian terhadap kemajuan belajar siswa; Sebagai motivator, yang turut
menyebarluaskan usaha-usaha pembaharuan kepada masyarakat; Sebagai agen moral dan politik, yang
turut membina moral masyarakat, peserta didik serta menunjang upaya-upaya pembangunan; Sebagai
agen kognetif , yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik dan masyarakat; dan Sebagai
manager, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga Proses Belajar Mengajar berhasil.

Selain hal yang di atas sebagai wali kelas mempunyai, pemikiran bahwa kelas harus dirancang dengan
kondisi yang nyaman, agar peserta merasa in atau betah di kelas yang merupakan bagian penting, dalam
upaya mendukung lancarnya pembelajaran di kelas, perduli dengan segala sesuatu yang terjadi di
kelas.

Apabila kita tinjau bahwa perkembangan siswa selalu berubah setiap tahun, kita harus menyadari hal
tersebut terjadi karena pergantian siswa setiap tahun yang masuk sebagai siswa baru dan keluar karena
telah lulus dari sekolah tersebut, usia mereka yang semakin bertambah serta pergaulan dari lingkungan
yang berbeda, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

Perubahan tersebut mengakibatkan perubahan cara pandang mereka, tingkah laku mereka , keinginan
mereka, maka yang harus dilakukan oleh wali kelas bisa membaca keadaan yang terjadi, berpikir
dinamis, selalu memberi penekanan secara bijaksana kepada siswa, supaya siswa dapat memilih mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, karena hal tersebut dapat mengakibatkan
belajar, ibadah mereka menjadi teledor dan prestasi sekolah mereka turun.

Apabila kita memahami tugas kita sebagai tenaga kependidikan sangat menentukan keberhasilan siswa
dan pembelajaran di sekolah, maka kita selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik serta
memberikan manfaat bagi orang lain, karena apa yang kita lakukan merupakan amanah yang harus
dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Dengan demikian kita akan menikmati apa yang kita kerjakan, dan
tidak merasa terbebani serta berat dengan pekerjaan kita, Insya Alloh tujuan untuk mencapai
keberhasilan manajemen kelas terwujud.

Melejitkan Potensi Anak Lewat Enneagram

Enneagram (baca: eni-e-grem), suatu tipologi kepribadian berawal dari Timur Tengah yang kemudian
diadaptasi oleh Oscar Ichazo dan Claudio Naranjo pada tahun 1970-an. Dewasa ini minat terhadap
Enneagram menyebar pesat di Amerika Serikat dan beberapa Negara lain.

Teori Enneagram membagi individu dalam kesembilan tipe, dengan tingkat yang berbeda-beda.
Kesembilan tipe tersebut berurutan dari tipe satu sampai tipe kesembilan yaitu, Perfeksionis, Penolong,
Pengejar Prestasi, Romantis, Pengamat, Pencemas, Petualang, Pejuang, Pendamai. Satu tipe bersifat
primer (titik pusat Enneagram), dan lainnya merupakan sekunder (sayap). Sayap merupakan angka di kiri
dan kanan angka Enneagram, sedangkan panah adalah tipe di ujung garis yang menghubungkan tiap-
tiap angka.

Kecondongan yang tanpa disadari pada sayap dan bergerak mengikuti panah akan menimbulkan variasi
dalam tiap tipe, misalnya seorang bertipe empat (Romantis) yang condong pada sayap lima (Pengamat)
kemungkinan bersifat introvert, sementara jika condong pada sayap tiga (Pengejar Prestasi),
kemungkinan menjadi ekstrovert. Dalam penggunaannya, manusia bisa bergerak secara sadar ke arah
sayap dan panah untuk menguatkan karakter dan kemampuan tertentu.

Tipe kepribadian enneagram terbagi dalam 3 kelompok utama, yaitu Tipe 2,3 dan 4 dalam pusat jantung
dan terkait dengan perkara citra dan hubungan

Tipe 5, 6, 7 berada dalam pusat kepala yang terkait dengan perkara rasa takut, tipe 8, 9 dan 1 berada
dalam pusat perut dan terkait dengan perkara kemarahan

Pembelajaran pada kelas besar, akan tampak sangat ruwet jika guru belum dapat mengenal karakteristik
siswa. Kelas dengan banyak murid 30- 40 siswa dengan guru 1 tentunya kan sangat membingungkan
Guru, terutama saat pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu diperlukan pendekatan individual
dengan enneagram untuk mengetahui potensi diri dari setiap siswa.

Misalnya ketika diskusi berlangsung, ada anak yang diam saja, mengamati only, ada anak yang berlarian,
ada anak yang bertengkar dengan temannya yang lain tentu itu banyak faktor yang menyebabkannya.
Nah enneagram ini membantu sejak dini para guru untuk dapat mengenal siswanya.

Dalam diskusi, ketika ada anak yang asyik mengamati, ada yang sibuk bertengkar, adalah dengan upaya
pendekatan guru melalui type anak itu, misal anak tipe 1, perfeksionis, yang yakin bahwa hanya ada satu
cara yang benar, untuk melakukan sesuatu, dia akan cenderung kesal dengan teman-temannya yang
type 8, pejuang, (type ini anak akan melakukan berbagai cara untuk menemukan jalan keluar dari
permasalahan yang ada), bedanya dengan tipe 1, tipe 8 melihat berbagai peluang untuk menyelesaikan
problem yang didiskusikan, kemudian type 6, pencemas, tipe anak yang dalam diskusi sering kali
tertahan dalam pemikiran dan kecemasan, dan tidak mendapatkan kesimpulan,cenderung hati-hati
dalam bersikap, takut apabila salah, tidak diterima, dan memliki temperamen yang berubah-rubah
sesuai kondisi.

Nah apabila ketiga tipe tersebut ada dalam 1 kelompok diskusi, tentunya akan terjadi banyak
permasalahan, yang satu ingin solusi A, yang 1 ingin solusi A, B, C dan yang lain sibuk dengan kecemasan
dalam dirinya.

Nah dengan mengenal berbagai tipe ini diharapkan Guru mampu action mengarahkan ke arah positif
cara berfikir mereka sesuai dengan tipe-tipe yang mereka miliki, tanpa menghilangkan ke’uniq’kan
dalam diri mereka. Tetap menjunjung ke’uniq’an dan juga mem-bludak-kan kompetensi yang mereka
miliki

Tujuan menggunakan Enneagram pada anak-anak adalah membantu kita (sebagai pendidik) mengalami
diri atau semangat dasar anak dengan mengembangkan kesadaran kita akan tipe dan karakter yang ada.
Dengan demikian kita tidak memaksakan suatu pembelajaran baik berupa substansi materi maupun
cangkang pembelajaran (metode, gaya belajar, pendekatan) pada anak, karena sesungguhnya tiap anak
memiliki karakteristik yang sangat unik.

Now, Misi kita adalah me’ledak’kan kompetensi Generasi Penerus untuk menjadi Agent Of Change,
menuju Kebangkitan Bangsa, karena sesungguhnya kita semua adalah Pendidik. Pendidik bagi diri sendiri
dan orang lain di sekitar kita.

Urgensi MBS Menuju Keunggulan Sekolah

Salah satu bentuk reformasi pendidikan oleh pemerintah adalah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
yang merupakan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah secara mandiri. Indikasi MBS tampak
pada wawasan segenap personal sekolah yang berorientasi pada mutu, pemberdayaan potensi sekolah
yang dikoordinir oleh pimpinan sekolah secara transformasional, peran aktif semua pihak terkait dalam
pelaksanaan, pengendalian mutu, dan keberhasilan pendidikan di sekolah bersama sekolah, masyarakat
dan pemerintah secara proporsional.

Kebijakan MBS memberi peluang sekolah untuk menjadi makin unggul. Sekolah ber MBS artinya dalam
menyelenggarakan manajemen pengelolaannya berorientasi pada kepentingan sekolah. Secara mandiri
sekolah menentukan visi, misi, tujuan dan segala aktivitas pelaksanaannya. Kurikulum sekolah MBS
disusun sesuai tujuan sekolah, sebagai hasil kesepakatan kehendak sekolah, orang tua, dan masyarakat
terutama pengguna lulusan sekolah.

Segala aktivitas pendidikan di sekolah diorientasikan berwawasan peningkatan mutu pendidikan sekolah
yang bersangkutan. Kontribusi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah lebih dari tanggung jawab
financial terhadap penyediaan sarana prasarana pendidikan di sekolah tetapi juga tanggung jawab
terhadap pengendalian mutu sekolah. Fungsi pengawasan makin kentara oleh orang tua dan masyarakat
terhadap sekolah secara utuh dan menyeluruh.

Wajah sekolah luar dan tampak dalam pengawasan mereka. Sekolah akan makin dituntut berbenah
segala segi dalam menampakkan diri. Bermodal kejujuran, kesungguhan dan kemitraan terbuka
bersama membangun sekolah menuju keunggulan semaksimal bisa . Semangat kerja tinggi meraih
prestasi karena tujuan jelas untuk kepentingan bersama meraih cita-cita memajukan sekolah, inilah
landasan kerja yang logikanya makin memacu kinerja mewujudkan keunggulan sekolah.

Bertambahnya sekolah berMBS di seluruh Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas akan makin
memunculan sekolah unggulan. Sebuah obsesi jika semua sekolah ber MBS maka kompetisi unggul dari
yang unggul menjadi wacana . Daya saing secara global dalam hal ini akan memberi aroma positif
terhadap pendidikan di Indonesia.

Kebijakan MBS memberi otonomi terhadap sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan di sekolah
secara mandiri. Tetapi otonomi tersebut tidak serta merta menjadikan sekolah melepaskan diri dari
kontrol pemerintah. Aturan kelembagaan yang bersifat fungsional operasional sebagai bagian dari
lembaga negara di bidang pendidikan , tentu tetap berlaku.
Kondisi Negara Indonesia yang pluralistik dengan berbagai suku bangsa dan daerah dari kepulauan besar
kecil serta wilayah terpisah di seluruh nusantara menjadi permasalahan tersendiri dalam
mengimplementasikan kebijakan MBS. Untuk kepentingan pemetaan dan penentuan jenis pelayanan
pemerintah dalam bidang pendidikan terhadap kebutuhan seluruh rakyat , maka ditetapkannya Standar
Nasional Pendidikan ( SNP).

Asas persatuan dan kesatuan bangsa dengan semangat nasionalisme tak pernah tertinggalkan. Standar
ini untuk memberi pedoman kriteria minimal pelayanan sekolah terhadap masyarakat dan untuk
mencegah terjadinya ketimpangan kualitas pendidikan di masing-masing daerah di Indonesia. Standar
yang dimaksud menjadi acuan agar sekolah tidak kualitas rendah dan standar juga tidak menjadi
penghalang memuncaknya prestasi sekolah unggulan yang bisa jadi lebih dari standar yang ditetapkan.

MBS hendaknya diimplementasikan semua sekolah, karena melalui MBS sekolah tidak hanya berbenah
tetapi juga memberdayakan potensi yang ada menuju keunggulan sekolah. Tidak ada alasan buat
sekolah tidak bisa .Konsep MBS jelas menguntungkan sekolah. Penyelenggaraan MBS di sekolah artinya
bahwa sekolah dikelola untuk kepentingan dan kemajuan sekolah, dedikasi yang tinggi untuk
berprestasi dan pada akhirnya mencapai daya jual yang tinggi.

Tentu ini akan berdampak pada pemenuhan kesejahteraan personal sekolah baik secara material
maupun spiritual. Tinggalkan kerangka berfikir lama, tidak perlu menunggu petunjuk pelaksanaan,
jalankan MBS segera. Inovasi tiada henti benahi total quality secara mandiri dan terintegras. Jangan
biarkan keberhasilan tertunda karena lambat menyikapi tuntutan era.yang makin diwarnai kemajuan
teknologi dunia .

Ajaklah masyarakat bicara, kemana sekolah mau dibawa. Bersama memecahkan masalah, menentukan
cita, satukan langkah meraih citra sekolah. Manajemen berbasis sekolah untuk meraih akuntabilitas
sekolah dan pencitaan publik yang berharga bahkan secara nasional good government adalah
indikasinya.

Belajar IPA Melalui Metode Puzzle Aktif (11)

KTSP memberi rambu-rambu pokok dalam pengembangan program dan pelaksanaan pembelajaran IPA,
yaitu: 1) menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup dalam pemenuhan kebutuhan melalui
pemecahan masalah, bukan sekedar menyerap produk IPA, 2) menekankan pada pemberian
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan
sikap ilmiah serta dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiri) dan 3) dirancang agar siswa
mengeksplorasi isu-isu sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat serta membuat suatu karya melalui
penerapan konsep IPA dan kompetensi kerja ilmiah.

Pengembangan kemampuan siswa dalam bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan
peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Metode Puzzle aktif
(MPA) merupakan metode pembelajaran kolaborasi antara permainan jigsaw puzzel dengan metode
PAKEMI, melalui metode puzzle aktif siswa mendapatkan pengalaman secara langsung, membuktikan
konsep secara menyenangkan, menggali kreatifitas, melatih cara berfikir tingkat tinggi, menguatkan
hafalan, belajar bekerja sama dengan teman dan akhirnya siswa memperoleh kebenaran secara nyata
dan ganda. Dengan metode puzzle aktif siswa berfikir merangkaikan kepingan gambar dan tulisan
sebuah konsep IPA tak beraturan sehingga membentuk konsep yang saling bertautan.

Pertimbangan penerapan MPA yang terpenting adalah penentuan materi didasarkan pada
pertimbangan keluasan dan tingkat kesulitan, permasalahan yang sering timbul dalam pembelajaran hal
tersebut bisa digunakan sebagai pertimbangan untuk menerapkan MPA pada topik yang lain.

Secara skematis penerapan MPA dalam pembelajaran IPA terdiri atas 3 tahapan, yaitu: 1) tahap
persiapan, 2) tahap pelaksanaan dan 3) tahap mengakhiri kegiatan. Keseluruhan tahapan digambarkan
secara skematis dalam gambar.1 berikut ini:

Penerapan MPA untuk pembelajaran IPA telah meningkatkan hubungan yang positif antar individu.
Individu-individu yang heterogen bekerja bersama untuk suatu tujuan, telah membuat mereka belajar
sebagaimana yang lainnya. Kekuatan menonjol dari pembelajaran metode ini adalah pencapaian hasil
yang positif, memperbaiki hubungan antar siswa, mampu meningkatkan minat dan motivasi belajar
siswa.dan meningkatkan prestasi belajar. Apek lainnya adalah penggunaan metode ini mudah, jika
diikuti oleh perubahan paradigma mengajar dari behavioristik ke konstruktivistik dengan menggunakan
berbagai metode (multi methods), multi media (multi media).

Penerapan MPA di kelas cukup mudah, apabila guru telah memahami kaidah-kaidahnya sebagai berikut:

Perubahan paradigma guru dari konsep belajar behavioristik ke konstruktifistik bahwa pemberdayaan
siswa dalam pembelajaran dengan memberi kesempatan pada siswa, untuk sharing pengetahuan,
mencari, mendialogkan, akhirnya mengkonstruksikan pengetahuan dan pengalaman serta ketrampilan
baru secara aktif.

Pergunakan media kepingan gambar dan tulisan sebagai sumber belajar untuk untuk penerapan siswa
aktif dan sarana menemukan konsep secara mendalam

Pemilihan materi yang tepat dan untuk mengajarkan topik sebaiknya dilaksanakan dengan kegiatan
menggali dan menemukan sendiri

Berdayakan siswa untuk aktif melakukan, mengemukakan pendapat dan bertanya secara terbuka baik
peda guru maupun teman

Ciptakan suasana diskusi mendalam antar siswa dan antara siswa-guru oleh karenanya upayakan untuk
selalu belajar dalam kelompok

Berilah peserta didik kesempatan untuk melakukan refleksi sebelum pelajaran berakhir

Penilaian hendaknya tidak hanya berdasarkan tes tetapi proses dalam pembelajaran

Akhirnya semoga artikel ini dapat memberikan kontribusi dalam mendorong keberhasilan siswa dalam
belajar IPA. Selamat mencoba dan pasti hasilnya lebih maksimal. Selamat berkarya.
Peran Penting PTK dalam Keberhasilan Belajar

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang guru di
kelasnya sendiri atau dilakukan dalam pembelajaran biasa bukan kelas khusus. PTK dijalankan dengan
merancang, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan
untuk memperbaiki kinerja guru sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Manfaat penelitian ini memberikan dampak positif ganda yaitu pertama, peningkatan kemampuan
dalam menyelasaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Kedua, peningkatan kualitas
isi, masukan, proses dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga
kependidikan lainya. Keempat, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian sebagai upaya
peningkatan kemampuan meneliti di masa lalu yang cenderung dirancang dengan pendekatan RDD
(Research Development Dissemination).

Pendekatan ini lebih menekankan perencanaan penelitian yang bersifat topdown dan bersifat kuat
orientasi teoritiknya. Paradigma demikian dirasakan tidak sesuai dengan perkembangan pemikiran baru,
khususnya manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Pendekatan ini menitikberatkan
pada upaya perbaikan mutu yang inisiatifnya berasal dari motivasi internal pendidik dan tenaga
kependidikan itu sendiri (an effort to internally initiate endeavor for quality improvement) dan bersifat
pragmatis naturalistik.

Melalui PTK masalah-masalah pendidik dan pembelajaran dapat dikaji, ditingkatkan dan dituntaskan
sehingga proses pendidikan dan pembelajaran yang inovatif dan hasil belajar yang lebih baik dapat
diwujudkan secara sistematis. Pelaksanaan PTK diharapkan dapat menciptakan sebuah budaya belajar
(learning culture) di kalangan guru dan siswa di sekolah. PTK menawarkan peluang sebagai strategi
pengembangan kinerja sebab pendekatan penelitian ini menempatkan pendidik dan tenaga
kependidikan sebagai peneliti dan sebagai agen perubahan yang pola kerjanya bersifat kolaboratif.

Beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan profesional
seorang guru yaitu PTK sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka, tanggap terhadap dinamika
pembelajaran di kelasnya. Dia menjadi reflektif dan kritis terhadap lakuan apa yang dia dan muridnya.
PTK dapat meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi profesional.guru tidak lagi sebagai seorang
praktis yang sudah merasa puas terhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya
perbaikan dan inovasi namun juga sebagai peneliti dibidangnya.

Dengan melaksankan tahapan-tahapan dalam PTK guru mampu memperbaiki proses pembelajaran
melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terjadi di kelasnya.Tindakan yang dilakukan guru
semata-mata didasarkan pada masalah aktual dan faktual yang berkembang dikelasnya. Pelaksanaan
PTK tidak mengganggu tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK
merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran.

Dengan melaksanakan PTK guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya
inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar
yang dipakainya. Penerapan PTK dalam pendidikan dan pembelajaran memiliki tujuan untuk
memperbaiki atau meningkatkan kualitas praktik pembelajaran secara berkesinambungan sehingga
meningkatkan mutu hasil instruksional, mengembangkan ketrampilan guru, meningkatkan
relevansi,meningkatkan efisiensi pengelolaan instruksional serta menumbuhkan budaya meneliti pada
komunitas guru.

Membangun Intuitif Moralistic pada Anak

Mencermati permasalahan yang dihadapi oleh anak masa puber sangat mengundang perhatian para
pemerhati anak dan remaja. Peristiwa demi peristiwa mewarnai kehidupan anak-anak puber modern
yang telah melampaui dan lebih jauh lagi keluar dari tatanan nilai-nilai moral yang telah dibangun
ratusan tahun silam oleh nenek moyang dan agama. Mereka lebih senang membangun nilai-nilai baru
yang berkembang masa kini.

Pendidikan yang berkembang selama ini cenderung mengandalkan pada kecerdasan intelektual. Model
seperti ini hanya menekankan pada ketercapaian secara intelegensia dengan tolok ukur nilai ulangan,
nilai tugas atau nilai rapor yang tinggi. Dengan kata lain pengembangan pendidikan di sekolah adalah
kemampuan otak kiri (logis rasionalistic). Sedang intuitif moralistic (pembentukan moral) cenderung
diabaikan.

Padahal pembentukan moral amat penting dalam pertumbuhan anak agar mampu beradaptasi dengan
lingkungannya tanpa harus terpengaruh dengan nilai-nilai negatif yang ada. Intuitif moralistic juga
penting dalam mengasah kepekaan dan kemampuan emosi spiritual. Perubahan tatanan nilai memang
tidak sekara terjadi pada anak namun juga terjadi pada pendidik.

Perubahan sikap negatif (negative attitude) terkadang murni tidak muncul dari keunikan yang dimiliki
namun lebih dipengaruhi oleh external factor. Sikap yang muncul kebanyakan bentuk peniruan dari
media tontonannya atau dikarenakan pada dunia global saat ini dimana media menjadi sangat bebas
tersebar dikalangan anak-anak tanpa filter terhadap perilaku luar dirinya.

Media elektronik saat ini memang menjadi konsumsi harian dengan segala macam tontonannya yang
tidak pantas ntuk anak-anak. Hasilnya dampak tontonan ini terwujud menjadi perilaku anak-anak. Pada
prinsipnya anak banyak belajar dari apa yang dilihat daripada apa yang didengar dan akan lebih melekat
dengan apa yang dilakukannya. Oleh karena itu tidak selamanya anak itu salah dan diberi hukuman atas
perilakunya.

Selain external factor sebagai penyebab prubahan negative attitude, ada pula faktor unfocus dari
pendidik yang harusnya lebih perhatian terhadap intuitif moralistic. Pendidik tidak memperhatikan
kelebihan atas kemampuan masing-masing siswa sehingga pekerjaan utama pendidik telah lepas dari
hakikat mengajar yaitu menjadikan anak mampu belajar dan memiliki moral terpuji.

Sikap seperti inilah yang menjadikan anak tidak bangga lagi dengan perubahan sikap positif dirinya
namun lebih bangga dengan pengumpulan nilai tinggi terhadap mata pelajaran. Logis rasionalistic
menjadi dominan dalam diri anak dan menguasai obsesi dirinya untuk mencapai nilai tertinggi tanpa
memedulikan terhadap potensi intuitif moralistic yang dimiliki.
Dengan pendidikan yang mengedepankan intuitif moralistic pada anak-anak akan menjadikan mereka
bertahan dan mampu menghadapi efek globalisasi. Intuitif moralistic yang dimaksud adalah pendidikan
moral melalui agama dan pembiasaan terhadap perbuatan baik anak, baik yang harus dimunculkan oleh
pendidik maupun teman sejawatnya.

Intuitif moralistic terwujud dari aktivitas yang diberikan terhadap anak baik pada saat pembelajaran
maupun aktivitas di luar pembelajaran dengan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kepekaan
anak terhadap sikap orang lan maupun lingkungannya. Oleh karenanya perlu ada perhatian dan
peningkatan penerapan intuitif moralistic yang berbentuk pemberian motivasi moral.

Tujuan pemberian materi tersebut dalam rangka mengetuk dan melembutkan hati pendidik dan anak-
anak kerena prinsipnya kepekaan moral akan mudah masuk pada diri seseorang ketika hati mulai lembut
dan peka terhadap kondisi lingkungan. Pelaksanaan materi atau kegiatan tersebut dapat dilakukan
setiap saat di sekolah atau sesuai pengelompokan permasalahan anak.

Faktanya, seringkali sekolah melakukan self intropection kontemplasi hanya pada saat mendekati ujian
nasional. Itu pun dalam rangka bisa lulus dalan ujian artinya nilai masih menjadi dominasi tujuan (value
dominating). Jika intuitif moralistic diterapkan sejak dini maka sekolah atau lembaga pendidikan tidak
akan lagi diibukkan dengan kenakalan anak dan pada saat persiapan ujian akhir mereka sudah
memahami tanggung jawabnya.

Untuk melaksanakan intuitif moralistic perlu adanya komunikasi aktif antara pendidik dan anak-anak
selaku peserta didik sehingga pelaku pendidikan saling memahami dan dipahami maka visi dan misi
pendidikan yang diharapkan segera tercapai dengan baik

Membangun Mental Siswa dengan Asmaul Husna

Istilah Asmaul Husna tentu tidak asing bagi umat Islam terlebih bagi kalangan santri baik di pondok
pesantren maupun sekolah keagamaan (madrasah). Asmaul Husna berasal dari bahasa Arab, yakni kata
Asma (bentuk jamak dari kata ism) yang berarti nama-nama dan kata Husna yang artinya paling baik
atau terbaik. Jadi Asmaul Husna dapat didefinisikan sebaga nama-nama Allah yang terbaik.

Menurut Prof DR Quraisy Shihab, Asmaul Husna bisa dijelaskan sebagai nama-nama Allah yang
menunjukkan sifat-sifat Nya. Penyebutan dalam bentuk kata superlatif itu memberi pengertian bahwa
nama-nama tersebut bukan hanya baik, tetapi yang terbaik jika dibandingkan dengan yang selain Allah
SWT. Sifat Rohman (pengasih) misalnya, manusia juga punya tetapi tentu tidak sama dengan sifat
pengasih yang dimiliki Allah.

Jumlah nama-nama Allah yang terbaik (Asmaul Husna) sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ada
sembilan puluh sembilan. “Inna lillahi tis’un watis’ina isman, man ahshaha dakholal jannah”. Artinya :
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barang siapa yang menghafalnya niscaya
Allah akan memasukkan dia ke surga (HR. Bukhari Muslim).

Arti yang tersurat dan tersirat dalam Asmaul Husna memaklumkan kepada kita bahwa betapa baiknya
sifat-sifat Allah SWT dan betapa indah dan agungnya ketika kita renungkan dengan kondisi pikiran dan
hati yang bersih. Nama nama Allah yang sembilan puluh sembilan itu perlu dibaca supaya keyakinan dan
iman kita kepada Allah semakin kuat dan mantap serta dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa
yang kita hafal.

Hati manusia selalu dipengaruhi dua kekuatan yaitu kekuatan Ilahiyah (ketuhanan) kekuatan
syaithoniyah (setan). Apabila hati penuh dengan keimanan maka akan mengarah dan membimbing kita
pada sikap dan tingkah laku yang positif. Sebaliknya bila hati kurang terisi keimanan tentu bisikan
setanlah yang dominan, sehingga segala ucapan dan tingkah laku selalu mengarah pada kejelekan
sebagaimana sifat setan.

Sifat dan perbuatan setan itu dilaknat oleh Allah SWT. Nabi telah bersabda dalam potongan haditsnya;
“Inna fil jasadi mudghotan idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu, waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu,
ala wahiyal qolbu”, artinya sesungguhnya dalam tubuh (manusia) ini ada segumpal daging, apabila
segumpal daging itu baik maka baiklah semua anggota tubuh dan apabila segumpal daging itu jelek
maka jeleklah semua nya. Ingatlah, itu adalah hati.

Sebagian dari sifat-sifat Allah SWT Telah diberikan pula kepada manusia sejak ia dilahirkan. Sifat –sifat
baik dan terpuji yang menjadi pembawaan sejak lahir itu dalam bahasa agamanya disebut dengan fitrah.
Hati seseorang telah merekam sifat-sifat Allah, dan apabila rekaman itu dapat dipelihara sampai dewasa
maka pancaran sifat uluhiyah yang terangkum dalam Asmaul Husna itu akan menjadikan dirinya mulya.

Namun jika fitrah itu sudah terkontaminasi dengan sifat-sifat yang buruk maka akan berkurang pula
derajat kemulyaan yang dimiliki. Derajat kemulyaan yang dimiliki setiap orang tidak sama, ini sangat
tergantung pada seberapa jauh mereka mampu mengimplementasikan sifat ketuhanan /fitrah dalam
kehidupannya.

Fitrah yang dimiliki setiap orang dari kita menjadikan kita mengetahui dan juga sensitif

terhadap perbuatan yang salah . Ketika kita akan melakukan suatu perbuatan keji pastilah hati nurani
mengetahui bahwa perbuatan itu salah dan membisikkan kepada kita agar tidak melakukannya. Ketika
kita melakukan perbuatan keji maka pasti ada perasaan takut sehingga secara psikologis orang yang
berbuat keji ,memiliki atau menyimpan suatu kesalahan maka akan muncullah perasaan was-was,
khawatir,dan ketakutan, karena ia telah dihantui oleh perasaannya sendiri.

Berangkat dari sinilah perlunya kita menanamkan sifat-sifat Allah yang terangkum dalam asmaul husna
untuk membentuk mental kita dan anak-anak kita agar selalu disinari dengan pancaran asmaul husna .
pembentukan mental itu akan lebih baik dan lebih mudah ditanamkan pada saat usia masih muda,
artinya ditanamkan sejak anak masih di bangku sekolah dasar. Krisis berkepanjangan yang terjadi di
negara kita yang tercinta ini jika di teliti sebenarnya berasal dari krisis moral. Karena itu penanaman dan
pembentukan moral dirasa sangat penting , sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang saat ini dijadikan barometer kualitas sumberdaya manusia.

CPNS, Siapkah Mengabdi


Ada orang pernah cerita, dulu jarang orang yang mau jadi pegawai negeri sipil (PNS) sebab gajinya
memang kecil. Setiap bulan dapat beras jatah yang kalau dimasak nasinya mekar dan kalau sudah dingin
rasanya keras untuk dimakan. Hingga cukup banyak yang menyerah terutama kaum pria yang jadi
tumpuan harapan keluarga terpaksa meninggalkan tugas kepegawaian dan memilih bekerja di pabrik
demi mencapai nominal penghasilan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sekarang bersyukurlah bagi mereka yang telah telaten dan penuh kesabaran dalam mengabdi
mendapatkan kesejahterahan yang semakin baik dari pemerintah. Dari fasilitas kesehatan,kemudahan
kredit di bank, beasiswa, dan jaminan hari tua. Belum lagi gengsi yang juga meningkat. Sehubungan
kebijakan tersebut minat untuk menjadi pegawai negeri dari para tenaga kerja tampaknya semakin tak
terbendung. Terbukti jumlah pelamar tes CPNS selalu membludak tiap tahunnya.

Sayangnya kesejahteraan yang semakin meningkat tidak serta merta diikuti kesadaran untuk
meningkatkan kinerja.Tidak jarang ditemui oknum pegawai pada instansi pemerintah pada jam kerja
bukannya konsentrasi di ruangan tapi cari sarapan plus ‘ngopi’. Atau kalaupun di meja kerja asyik main
game dan customer yang butuh layanan harus rela nunggu “game over”. Kalau di lembaga pendidikan
memang berbeda. Ada juga guru yang selalu alergi dengan metode pembelajaran terbaru padahal
metode tersebut applicable untuk diuji cobakan. Memang kedengaran ironi guru yang selalu memotivasi
murid untuk rajin belajar kok (ternyata) malas belajar.

Memang hak siapapun dan sah saja orang ingin jadi pegawai negeri selama memenuhi kriteria yang
ditentukan. Dan bila akhirnya diangkat jadi pegawai memang kita berhak untuk mendapatkan
kesejahterahan yang lebih baik. Tapi alangkah bangga dan rela bangsa ini jika memberi kehidupan yang
lebih baik bagi orang yang melayani masyarakat melebihi dirinya dan orang mendapat lebih banyak
materi untuk orang tidak kenal lelah belajar untuk memberi bimbingan yang terbaik.

Sudah saatnya kita meniru para pegawai negeri layaknya di negara-negara maju.

Setiap hari mereka datang “on time” dan ditengah kesibukan mereka mengolah data di komputer sambil
menjawab telepon, mereka masih sempat tersenyum dan bertanya pada customer,”What can I do for
you?”. Bagi guru sudah saatnya membuka diri untuk lebih pro-aktif dalam pendekatan terhadap siswa
apalagi untuk siswa yang bermasalah.

Tidak asing guru-guru di negara maju menghubungi orang tua murid baik via telepon maupun visitasi
jika memang dianggap perlu,tidak harus merasa lebih dibutuhkan. Di samping itu mereka meng up grade
kompetensi dan kapabilitas mereka dengan mengambil kuliah / pendidikan lanjutan agar bisa memberi
ilmu yang lebih up to date kepada anak didik dan bukan sekedar untuk memenuhi prasyarat
kepangkatan.

Akhirnya,siapkah kita menjadi pegawai negeri yang mengabdi, melayani, mendidik bukan hanya
mengajar, dan do the best for always. Sanggupkah kita memegang amanah itu berpuluh-puluh tahun
kemudian. Akan sangat mulia jika kita mampu menjaga dedikasi sejak awal hingga purna tugas nanti.

Perlukah Pengadilan Pendidikan


Di negeri ini, sepanjang yang diketahui penulis, ada dua macam pengadilan; pertama pengadilan negeri
yang menangani hukum pidana dan perdata, kedua pengadilan agama yang mengurusi NTR (nikah, talak,
dan cerai). Lalu bagaimana dengan fenomena banyak siswi hamil yang tidak bisa ikut ujian, atau guru
yang dilaporkan ke polisi gara-gara mencubit siswanya, perlukah dibentuk pengadilan pendidikan?

Bila dicermati dari tingkat ‘permasalahannya’ apa yang terjadi di lingkungan pendidikan memang
bermacam. Pada kadar tertentu bisa masuk kategori pidana, namun tidak sedikit sebenarnya
permasalahan yang ringan dan bisa diselesaikan dengan pendekatan pendidikan. Penulisa
membayangkan adanya suatu pengadilan pendidikan yang secara khusus menangani kasus siswa dan
guru.

Tujuan dari pengadilan pendidikan ini adalah pertama unsur punishment (hukuman) yang mendidik bagi
para pelaku, baik pendidik (guru/orangtua) dan tenaga kependidikan serta peserta didik / siswa; kedua
menemukan jalan keluar terbaik yang tentunya ada peraturan tersendiri dalam hukum pendidikan! Atau
Undang-undang yang berisi kategori punishment yang berlaku.

Ketiga, adanya pemisahan permasalahan pendidikan dan masalah pendidikan yang menyangkut hukum
pidana/perdata. Keempat tidak ada pihak yang merasa di rugikan atau di untungkan dalam perkara
pendidikan yang sedang terbelit masalah. Tak dapat di pungkiri sistem pendidikan sekarang berbeda
dengan jaman kakek/nenek atau bapak/ibu kita dahulu.

Zaman dulu siswa yang tidak memperhatikan guru pada saat KBM, ngantuk di kelas atau tak dapat
menyelesaiakan soal, sudah biasa jika push up, skot jam, pukulan dengan penggaris, cubitan, mengepel
KM/WC. Dan kejadian tersebut jarang sekali diangkat dalam media cetak/ elektronik permasalan ini kala
itu. Penulis sempat mengalami sendiri jenis hukuman tersebut, namun sifat guru dahulu ngemong.

Setelah hukuman selesai di jalani siswa, guru memanggil siswa yang bersangkutan. Tugas sebagai
konselor pun berperan, alasan sebab dan akibatnya mengapa sampai hukuman terjadi padanya di
bicarakan. Pada akhirnya perdamaian terjadi dan tidak ada dendam/benci pada guru yang bersangkutan.
Orang tuapun menanggapi biasa masalah di sekolah tersebut yang terjadi pada putra-putrinya.

Apalagi Orang tua jaman dulu percaya sepenuhnya pada guru dan sekolah yang bersangkutan. Di awal
menyekolahkan putra-putrinya telah terjadi akad/kesepakatan tak tertulis ” Titip anak kulo supoyo
dados lare pinter. Nek nakal njenengan jewer mboten nopo”. Gambaran tersebut salah satu sistem
pendidikan jaman dahulu yang mana orang tua juga masih buta dengan metode pendidikan ini dan itu.

Tentu metode dulu yang berbau kekerasan di anggap tidak berlaku lagi karena tidak mendidik anak.
Betulkah demikian! Perhatikan berbagai sistem pendidikan sekarang yang telah berkembang pesat,
salah satunya ada Sekolah Ramah Anak (SERA). Komunikasi adalah jalan keluar, tak perlu penyelesaian
masalah dengan kekerasan, demikian slogan singkatnya.

Pendidik tidak di perkenankan sama sekali memperlakukan siswanya secara kasar baik Psikologis
maupun fisik. Tapi berapa banyak sekolah yang menerapkan sistem ini? Dan orang tua/wali murid
sekarang makin pinter pula karena sarana prasarana sekarang makin canggih, bahkan adakalanya
seorang wali murid berbantah-bantahan mengenai metode pendidikan dengan guru si anak. Karena visi
misi yang tak sama.

Pengadilan pendidikan ini nantinya menangani semua masalah yang berada dalam lingkungan sekolah
ataupun lembaga informal lainnya ( kursus/ pelatihan) mulai tingkat prasekolah (TK) sampai Perguruan
tinggi yang di alami oleh pendidik dan peserta didik. Dalam kategori masalah pendidikan berat yang
mengarah kriminalitas baru di ambil tindakan oleh pihak berwenang.

Contoh masalah pendidikan berat siswa pemakai NARKOBA, pelaku oknum guru koruptor,
penyelewenagan Bos dll. Di harapkan pihak sekolah tetap berwibawa dan orang tua tak terdholimi oleh
oknum. Kita berharap saja mudah-mudahan ada perubahan dan perhatian lebih serius dari pihak-pihak
terkait untuk mengarah pendidikan yang labih baik.

Tiga Langkah Menguatkan Peran Komite Sekolah

Tanggung jawab pendidikan saat ini tidak mutlak milik pemerintah, peran serta masyarakat juga
dilibatkan. Representasi dari keterwakilan masyarakat dalam pendidikan salah satunya adalah komite
sekolah. Seperti tertuang dalam Keputusan Mendiknas No 044/U/2002, komite sekolah merupakan
badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan,
dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan.

Diharapkan dengan adanya payung hukum ini, fungsi komite sekolah sebagai unsur masyarakat yang
mampu mendorong terciptanya kualitas pendidikan di setiap sekolah, akan menjadi lebih baik.
Meskipun mempunyai wewenang yang sempit namun bila segenap daya dan upaya dari komite sekolah
terus difasilitasi oleh pimpinan satuan pendidikan setempat maka dapat mensukseskan visi misi dan
program yang telah direncanakan oleh pihak sekolah.

Ada beberapa langkah dalam upaya memaksimalkan peran komite sekolah tersebut. Pertama, di setiap
sekolah hendaknya melaksanakan sistem manejemen yang dilandasi rasa kejujuran dan tanggung jawab.
Dua hal ini menjadi modal awal dalam membangun kerjasama yang bagus antara komite sekolah dan
sekolah, sebab kedua sikap itu sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diyakini mampu mewujudkan
sikap optimis dalam membangun sekolah.

Apabila dalam sebuah satuan pendidikan tidak menemukan sikap kejujuran dan tanggung jawab, baik itu
oleh kepala sekolah maupun komitenya, meskipun sekolah tersebut mempunyai dana yang besar dan
personalia yang cerdas, bisa jadi keberlangsungan dari perkembangan sekolah tersebut akan berusia
tidak lama. Bahkan dalam sekolah berkategori demikian bisa terjadi masalah korupsi dan kolusi yang
merajalela.

Oleh karenanya, setiap seseorang yang diserahi menjadi komite sekolah hendaknya selalu berupaya
mengawal dan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab kepada segenap personalia di
satuan pendidikannya. Kedua, hendaknya di setiap satuan pendidikan, kriteria penyusunan komite
sekolah dipenuhi dengan orang-orang yang paham mengenai pendidikan. Hal ini dilakukan agar dalam
melakukan fungsinya, komite sekolah mampu mengerjakannya dengan profesional.
Selama ini fungsi komite sekolah hanya kebanyakan sebagai “tukang stempel” sekolah. Misalnya saja,
pada musim tahun ajaran baru komite sekolah hanya difungsikan sebagai pihak yang bertugas
mengumpulkan sumbangan pembangunan untuk sekolah. Seakan-akan mereka menjadi pihak yang
melegitimasi kebijakan sekolah dalam melaksanakan penarikan sumbangan. Padahal sesungguhnya
fungsi komite sekolah tidak sekerdil itu.

Seharusnya komite sekolah difungsikan sebagai corong suara wali murid dan mediator antar sekolah
serta masyarakat umum. Fungsi ini yang terlihat belum begitu menonjol. Akibatnya komite sekolah
dalam sebuah satuan pendidikan hanya terlihat sebagai unsur pelengkap yang mempunyai fungsi dan
kewenangan yang terbatas. Kontribusinya terhadap sekolah pun dianggap minim.

Ketiga, dirasa perlu adanya pembinaan dan pengembangan kompetensi komite sekolah baik oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat. Hal ini dilakukan agar mutu pelaksanaan fungsi komite sekolah
lebih maksimal. Modal pembinaan dan pengembangan kompetensi komite sekolah bisa berupa
workshop, seminar, maupun pendekatan lainnya yang berorientasi pada peningkatan kompetensi
komite sekolah tersebut.

Dengan dimaksimalkan peran komite sekolah dalam membangun satuan pendidikan, diharapkan
keterlibatan masyarakat dalam dunia pendidikan semakin intensif dan mempunyai kontribusi yang
nyata.. Bila sekolah ingin maju, melibatkan komite sekolah merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa
ditinggalkan Langkah ini juga sebagai dasar pelaksanaan undang-undang no 20 tahun 2003 yang
mengamanatkan pentingnya melibatkan masyarakat dalam dunia pendidikan dan sebagai usaha nyata
penerapan menejemen berbasis sekolah di seluruh Indonesia.

Membangun Pendidikan Berbasis Sinergi Keluarga dan Sekolah

Dalam Islam, pendidikan memperoleh tempat dan posisi sangat tinggi. Melalui pendidikan, orang dapat
memperoleh ilmu yang berujung pada pencapaian makrifatullah. Atas dasar ini, proses pencarian ilmu
harus terus menerus dilakukan; dimana dan kapanpun berada. Dengan sifat pendidikan yang
berlangsung sepanjang hidup ini, prosesnya bisa dilakukan dalam keluarga, masyarakat, dan
kelembagaan yang ada.

Sayangnya masyarakat masih beranggapan bahwa yang dikatakan pendidikan itu adalah pendidikan
yang diselenggarakan di sekolah. Sementara apa yang terjadi di luar sekolah, baik di lingkungan keluarga
maupun di lingkungan sosial atau masyarakat, bukan dianggap sebagai suatu proses pendidikan.
Siapakah yang bertanggung jawab ? dan siapakah yang bersalah?

Permasalahan di atas sebenarnya dapat diselesaikan jika masing-masing mengerti dan memahami tugas
dan tanggung jawabnya, sebab itu harus ada kerja sama secara sinergis untuk pendidikan anak didiknya.
Bukankah pendidikan itu merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan
masyarakat ?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain; Sutari Imam Barnandip (1983),
Satyah Imam Sayono (1983), Sri Rahayu Haditomo (1983, 1984), Sumadi Suryabrata (1984), David
McCelland (1973), memberikan kesimpulan bahwa pola asuh yang dilakukan oleh keluarga (orang tua)
terhadap anaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan anaknya.

Pola asuh otoriter akan menyebabkan anak menjadi penakut, tidak dapat gembira, dan semangatnya
penjadi patah. Sementara pola asuh permisif, akan menyebabkan anak manja, sikap hidup yang bebas,
susah diatur dan mau menangnya sendiri. Dari berbagai pola asuh yang ada maka yang paling sesuai
untuk dilakukan adalah pola asuh demokratis.

Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui
keturunan, perkawinan, persusuan dan pemerdekaan (Muhaimin, 1993:289). Pendidikan dalam keluarga
merupakan pendidikan pertama dan utama, dimana orang tua menjadi pendidiknya yang paling
bertanggung jawab terhadap perkembangan anaknya.

Secara sederhana, kewajiban orang tua hanyalah mengembangkan apa yang secara primordial sudah
ada pada anak, yaitu nature kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya. tetapi di sisi lain orang tua
juga mempunyai peranan menentukan dan memikul beban tanggung jawab utama jika sampai terjadi si
anak menyimpang dari nature dan potensi kebaikannya itu, sehingga menjadi manusia dengan ciri-ciri
kualitas rendah.

Inilah salah satu makna sebuah hadis yang amat terkenal yang menegaskan bahwa setiap anak
dilahirkan dalam fitrah (nature,kesucian), kemudian ibu bapaknya-lah yang berkemungkinan
membuatnya menyimpang dari fitrah itu.

Melihat tugas dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anaknya di atas, maka harus dipahami
bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal, harus dilihat sebagai
kelanjutan rumah tangga, sedangkan para pelaku pendidikan seperti guru-guru dan kaum pendidik
adalah wakil-wakil orang tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan mengembangkan anak
mereka.

Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan. Karena itu,
amanat logis bahwa dari para orang tua diharapkan adanya hubungan emosional yang positif dengan
lembaga-lembaga dan para pelaku pendidikan anak mereka. Satu hal penting yang harus dipahami
adalah bahwa, sikap dan prestasi anak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan kesadaran orang
tua dalam mendidik anaknya, bukan tingkat status sosial secara umum. Wa Allah a’lamu bi al-shawab.

Menguji Kepedulian Pejabat Publik terhadap Pendidikan

Pemikir pendidikan berkebangsaan Prancis, Edgar Morin, pernah mengungkapkan bahwa pendidikan
adalah ‘kekuatan masa depan’ yang memiliki daya ‘magis’ sebagai agen perubahan. Dalam konteks ke-
Indonesia-an, pemerintah sudah memegang kendali kebijakan melalui pendidikan agar masa depan anak
negeri ini penuh kepastian. Hanya hingga saat ini kendali itu belum sepenuhnya bisa dilakukan.

Indikator gagalnya pemerintah menjalankan amanat ini di antaranya (1) kebijakan yang kontra produktif
terjadi, seperti sekolah gratis ternyata belum bisa dijalankan optimal; (2) fasilitas vital berupa sarana
prasarana pendidikan, seperti gedung sekolah yang memprihatinkan, meja dan kursi yang reyot, buku
dan peralatan yang sudah usang, serta kondisi jalan yang semakin parah.

Gedung sekolah yang nyaman merupakan kebutuhan mutlak bagi terlaksananya proses pembelajaran
yang efektif. Dengan ketersediaan sarana prasarana yang memadai akan sangat membantu
keberlangsungan pembelajaran yang baik, efisien, efektif, dan akhirnya membuat ‘betah’ peserta didik
berlama-lama di sekolah.

Namun sungguh ironis, sekolah yang seharusnya berfungsi sebagai rumah ke dua bagi peserta didik
dalam mengikuti proses mencerahan pikir dan penambahan bekal ilmu kenyataannya jauh berbeda,
kondisi bila sarana dan prasarananya masih buruk. Dampak itu diantaranyaPertama, dampak fisik yaitu
efek dari gedung sekolah yang ambruk dan mengakibatkan siswa akan cedera atau bahkan kemungkinan
bisa meninggal dunia karena tertimpa gedung yang sudah aus dan lapuk tersebut.

Kedua, dampak psikis yaitu munculnya rasa was-was dan khawatir dari berbagai pihak. Siswa, orang tua,
dan dewan guru karena kecemasannya melihat kondsi bangunan yang memprihatinkan dan sewaktu-
waktu menimpanya. Akibatnya bisa ditebak, proses pembelajaran yang diharapkan menyenangkan tidak
mungkin bisa berjalan optimal.

Ketiga, dampak sosial yaitu yang berkaitan dengan nilai kepercayaan dari masyarakat terhadap sekolah
(pemerintah), khususnya upaya serius dari pemerintah untuk melakukan pembenahan yang benar,
sesuai dengan janji-janji pejabat publik. Ternyata, kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka
belum bisa menyentuh akar masalah khususnya yang ada di lingkungan pendidikan.

Sebagai anak bangsa yang merdeka sudah sepatutnya memberikan jalan keluar kepada tindak kepura-
puraan ini dengan memberi jalan keluar. DiantaranyaPertama, kita sebagai anak bangsa untuk tidak
bosan-bosannya mengingatkan pemerintah khususnya dinas terkait dengan berbagai cara, untuk
mengingatkan mereka yang ‘lupa’ seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal (31).

Kedua, pemerintah harus berani menghapus dan memangkas jalur birokrasi yang selama ini terlalu
rumit dan melibatkan banyak orang sehingga menambah beban biaya tinggi (high cost). Dan bila tidak
segera diatasi, konsep yang benar dalam melakukan perbaikan gedung yang rusak akan bisa bertahan
lama. Dan keberanian menindak ‘oknum’ inilah yang kini di tunggu.

Ketiga, pendataan sekolah-sekolah oleh dinas terkait harus dilakukan secara rutin dan benar. Tidak
membuat laporan yang ABS (asal bapak senang). Keempat, meningkatkan dan mengoptimalkan peran
serta masyarakat sebagai komunitas belajar. Caranya lebih memberikan kesempatan pada Komite
Sekolah sebagai mitra kerja, bukan hanya sebagai tukang stempel bagi kepala sekolah.

Kelima, pemberdayaan pihak swasta, untuk ikut terlibat secara nyata agar pengembangan kemandirian
sekolah bisa berjalan baik. Keenam, memberikan subsidi terhadap sekolah-sekolah tertentu khususnya
yang kesulitan dana, dengan penyediaan dana abadi. Ketujuh, melakukan restrukturisasi
(penggabungan/koalisi) terhadap sekolah-sekolah negeri yang berdekatan (dimerger) karena faktor
peserta didik, penghematan biaya, maupun faktor lain yang diharapkan bisa mengurangi anggaran
pemerintah.

Kedelapan, pemerintah pusat melakukan penekanan terhadap pemda dengan memberikan sanksi yang
tegas, atas ketidakpedulian mereka terhadap sektor pendidikan.

Akhirnya marilah kita semua belajar mengasah kepedulian terhadap buruknya kondisi sarana belajar
anak-anak kita. Jangan sampai anak-anak mengalami guncangan jiwa karena buruknya sarana belajar
yang sekarang dihadapi. Kini yang dibutuhkan adalah keterlibatan semua pihak. Kita tidak hanya
dituntut berkata, mencela, dan berjanji. Melainkan sudah harus berbuat yang terbaik bagi anak bangsa
ke depan. Mari kita ciptakan pendidikan yang memerdekakan anak bangsa dengan sesungguhnya,
jangan hanya kepura-puraan. Bravo Pejabat Publik!

Memberdayakan Komik sebagai Media Pembelajaran

Komik, acapkali mendapat perlakuan kurang baik. Orang tua maupun guru biasanya kurang ‘respek’
terhadap siswa yang membawa apalagi membaca komik. Padahal, meskipun dilarang, siswa tetap
menyukai komik ini. Secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi mereka akan tetap melahap
komik ini sebagai sarana intermezo dan refreshing setelah jenuh mengikuti pelajaran seharian.

Seringkali orang tua melarang putra-putrinya membaca komik karena dianggap sebagai hal yang dapat
mengganggu konsentrasi belajar. Padahal komik dapat menjadi sarana refreshing bagi siswa untuk
menghilangkan kejenuhan ataupun mengisi waktu luang, dan dapat memberi inspirasi untuk mencipta
karya sastra. Bahkan, ditinjau dari segi proses pembelajaran komik ini dapat dimanfaatkan sebagai
sarana dan media pembelajaran.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, penulis melihat bahwa siswa seringkali mengalami kesulitan dalm
menerapkan ejaan yang disempurnakan (EYD). Misalnya penggunaan tanda baca koma, tanda kutip,
huruf kapital, dan sebagainya. Mestinya kemampuan tersebut telah dimiliki dan dikuasai sejak kelas 4
SD. Namun, entah mengapa, saat duduk di kelas 8 atau 9 SMP pun siswa kurang menguasainya.

Secara teoritis, menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang sangat penting dan
bermanfaat karena dapat mendorong seseorang untuk berkreasi, menyelesaikan studi, menyelesaikan
administrasi perkantoran, dan tugas tulis lainnya. Kemampuan menulis ini tidak dikuasai secara
otomatis, tetapi perlu dipelajari secara sadar dan sistematis serta diikuti dengan pelatihan yang intensif.

Selain itu menulis juga merupakan kemampuan kompleks yang melibatkan berbagai aspek kebahasaan,
antara lain penguasaan kosa kata, pemahaman tentang kalimat dan paragraf, penggunaan ejaan, dan
kaitan unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam membentuk suatu pesan secara utuh. Pembinaan
dan pelatihan menulis harus menjadi upaya serius dan selalu diperbaiki agar siswa memiliki kompetensi
secara maksimal.

Dalam kaitan pembelajaran apresiasi sastra diperlukan berbagai jenis materi sastra baik prosa, puisi,
maupun drama. Materi sastra (misalnya cerpen) sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia ini,
sebenarnya sangat mengasyikkan. Guru harus memiliki jurus jitu dalam pembelajaran agar suasana kelas
menjadi hidup dan tidak texbooks belaka. Salah satu upayanya adalah dengan menggunakan komik.

Penulis pernah melaksanakan penelitian dengan menggunakan komik sebagai upaya meningkatkan
kemampuan menulis kalimat langsung dialog cerpen. Hal ini dilatarbelakangi karena siswa kurang
mampu menuliskan kalimat langsung dialog dalam cerpen. Dengan memanfaatkan komik yang dialog
pelakunya berada pada balon kata, siswa diminta mengubah menjadi dialog yang ditulis dalam jenis
kalimat langsung.

Menulis dialog antartokoh ini bukan merupakan hal mudah bagi siswa. Karena itu, menuliskan dialog
dalam bentuk kalimat langsung dan tidak langsung inilah yang harus dijelaskan secara detail, baik
melalui ceramah informatif maupun lewat contoh konkret. Hal ini berkaitan dengan penerapan ejaan,
baik penempatan tanda baca koma, kutip, maupun penggunaan huruf kapital.

Apa yang dikatakan pelaku pada komik biasanya dikemas dalam balon kata. Mengubah balon kata pada
komik menjadi kalimat langsung sebagai dialog antartokoh inilah yang menjadi sasaran pemanfaatan
komik sebagai media dan sarana pembelajaran.

Siswa diminta mengubah cerita di dalam komik menjadi cerpen dengan memperhatikan penulisan
kalimat langsung sebagai dialog antartokoh.

Dengan menggunakan komik (yang mengandung ’balon kata’ sebagai materi dialog antartokoh) ini
kemampuan siswa dalam menulis kalimat langsung dialog antartokoh pada cerpen dapat diasah dan
ditingkatkan. Siswa tinggal menyalin isi kalimat pada balon kata, ditulis kembali dengan diawali huruf
kapital, kemudian ditambahkan tanda kutip pada awal dan akhir kalimat tersebut.

Jelasnya demikian. Pada balon kata tertulis pertanyaan: hai apa kabar. Siswa diminta menulis ulang
diawali huruf kapital dan karena kalimat tanya harus diakhiri tanda tanya. Hai, apa kabar? Selanjutnya
tambahkan tanda kutip pada awal dan akhir kalimat itu, menjadi “Hai apa kabar?”

Jika yang diutamakan adalah membuat cerita narasi, komik tersebut juga dapat dimanfaatkan. Dalam
hal ini, setelah membaca komik, siswa diminta menulis ulang plot pada cerita komik dalam bentuk
narasi. Mereka tidak perlu memperhatikan dialog pada komik yang berada di dalam balon kata. Bebas
menggunakan versi mereka secara pribadi. Dengan demikian, siswa (mungkin sebagai pemula) yang
semula blank, tidak memiliki ide cerita, dapat dengan mudah menuliskan cerita berdasarkan cerita pada
komik. Komik pun telah menepis ketidakberanian siswa dalam menuliskan sebuah cerpen.

Jika di antara siswa ada yang pandai menggambar apalagi gambar model kartun, siswa tersebut dapat
dimotivasi untuk mengembangkan bakat dan hobinya. Dengan menjadi kartunis, kelak siswa tersebut
dapat memiliki keterampilan khusus yang dapat mendatangkan rezeki.

Pemanfaatan komik dalam pembelajaran ternyata membawa dampak positif. Siswa lebih kreatif dan
berani menuangkan idenya secara variatif. Mereka mencoba-coba mengubah dan atau menambah
dialog dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, komik ini telah berjasa menggugah kreativitas
dalam berimajinasi. Karenanya, melarang siswa membawa dan atau membaca komik dapat berarti
membunuh kreativitas siswa. Biarlah kita ikuti kesenangan siswa dalam berkomik ria (‘tut wuri
handayani’), namun kita modifikasi sehingga sang komik mampu berdaya guna, mampu memacu dan
memicu aktivitas bersastra! Nah, siapa takut membawa atau membaca komik?

Menuju Pendidikan Agama yang Aplikatif

Salah satu tujuan penting dari pendidikan nasional seperti termaktub dalam UU Nomor 22 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional adalah mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa. Dalam hal ini ada capaian dari pendidikan agar peserta didik bisa menjadi insan
yang agamis (religious) sekaligus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk membentuk peserta didik menjadi insan yang agamis, maka pendidikan agama di sekolah harus
diarahkan mencapai empat pilar. UNESCO (badan PBB yang menaungi bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, serta kebudayaan –red) mencanangkan empat pilar itu sebagai learning to know
(pemahaman), learning to be (pembentukan sikap), learning to do (keterampilan), dan learning to live
together (kerukunan hidup).

Meski sudah ada rambu-rambu seperti ini namun kenyataan pendidikan agama di sekolah baru
mencapai pilar pendidikan yang pertama. Tiga pilar yang lain sebagai penjelmaan hasil pendidikan
agama dalam bentuk tindakan aplikatif (pengalaman) kebanyakan belum banyak yang berhasil.
Indikasinya peserta didik memiliki kemampun menyelesaikan soal ujian tentang agama namun tindakan
dan perilakukanya sehari-hari kerap menyimpang.

Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan agar keempat pilar tersebut bisa dicapai.
Pertama, melakukan evaluasi (penilaian) terhadap pengalaman ajaran agama peserta didik di dalam
kehidupannya sehari-hari. Kedua, adanya dukungan dari orang tua dan masyarakat terhadap pendidikan
agama di sekolah. Tanpa dua hal ini memang cukup berat untuk bisa memaksimalkan capaian dari
pendidikan agama.

Selama ini tes atau ujian mata pelajaran agama hanya ditekankan untuk mengukur kemampuan
pemahaman peserta didik. Guru tidak menyertai dengan penilaian terhadap perilaku dan pengamalan
ajaran agama di dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya anak tidak termotivasi untuk mengamalkan
ajaran agama sebab menurutnya mendapat nilai tinggi bisa diraih cukup dengan pemahaman saja.

Bila dicermati, mata pelajaran agama sesungguhnya berbeda dengan mata pelajaran umum lain. Dalam
belajar agama sangat dituntut adanya tindakan nyata dalam perilaku kesehariannya. Apalah artinya bila
seseorang yang hanya memahami bahwa mencuri itu dosa namun masih sering mengambil dan
merampas hak milik orang lain? Dengan demikian perlu dibentuk kebiasaan anak untuk mengamalkan
ajaran agama.

Langkah kedua agar hasil pendidikan agama dapat dijelmakan dalam bentuk tindakan aplikatif di dalam
kehidupan sehari-hari oleh peserta didik adalah dengan pemberian dukungan dari orang tua dan
masyarakat terhadap pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah. Tanpa adanya dukungan dari
orang tua dan masyarakat maka pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah tidak akan berhasil
dengan baik.

Salah satu bentuk dukungan yang bisa diberikan adalah memberikan contoh yang baik dalam
mengamalkan ajaran agama. Juga bisa dengan memberi nasihat serta bimbingan yang bisa berdampak
positif untuk penguatan psikologi anak. Secara teori anak memang memiliki kecenderungan untuk
belajar melalui proses modelling atau mengikuti kelakuan dan contoh dari orang lain.

Sebaliknya, kalau tindakan dan laku perbuatan orang tua, tokoh agama, pejabat dan tokoh masyarakat
bertentangan dengan norma agama maka akan berdampak negatif terhadap perkembangan agama dan
jiwa anak. Lebih parah lagi bisa jadi anak akan mengalami konflik batin dan frustasi yang bila
berlangsung terlalu lama maka bisa meledak dalam bentuk tindakan yang bertentangan dengan norma
agama itu sendiri.

Dengan pemahaman dan aplikasi ajaran agama serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi maka
diharapkan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa akan tumbuh menjadi ilmuwan yang agamis
dan beraklak mulia seperti yang ingin dicapai oleh tujuan pendidikan nasional. Semoga.

Problem Possing juga Efektif untuk Pondok Ramadan

Senin, 7 September 2009 22:53:19 - oleh : redaksi - dilihat 99

Musni Yuliastuti SPd

Guru SMPN 1 Wagir

Masuk di bulan Ramadan, hampir semua sekolah melaksanakan pondok Ramadan. Soal waktunya, ada
yang melaksanakan di awal Ramadan setelah libur puasa, ada pula yang di tengah bulan, bahkan ada
yang mengambil di pengujung Ramadan atau mendekati saat libur hari raya Idul Fitri. Demikian juga
tentang materi pondok Ramadan, sekolah rata-rata mendesain dengan kegiatan yang variatif.

Tidak jarang kegiatan pondok Ramadan ini disesuaikan dengan lamanya waktu pelaksanaan. Ada yang
melaksanakan dua hari untuk satu kelas pararel, ada pula model satu hari dan ada yang menggunakan
metode bermalam di sekolah. Meski pada kebanyakan sekolah terjadi perbedaan soal waktu
pelaksanaan dan model pondok Ramadan, seringkali ada kesamaan pada materi yang diajarkan seperti
tadarus Alquran, pengumpulan zakat fitrah, hikmah puasa, adab, dan akhlak.

Di sekolah tempat penulis mengajar, SMPN 1 Wagir kabupaten Malang, pondok Ramadan dilaksanakan
pada tengah bulan. Sebagai guru Matematika, penulis kebetulan juga ditunjuk sebagai pemateri, lebih
khusus tentang puasa. Bagi saya, ternyata mengajar tentang agama lebih sulit sebab harus mampu
menemukan sumber yang bermacam-macam. Kadang pula butuh rujukan ayat dan hadits yang
menerangkan tentang satu kajian.
Memberikan materi di pondok Ramadan memang butuh perlakuan khusus. Dengan kondisi perut lapar
tidak jarang model pembelajaran yang biasa disampaikan di kelas kurang bisa mendapat sambutan
siswa. Metode tanya jawab yang direncanakan ternyata tidak berlangsung sesuai harapan dan akhirnya
mengarah pada metode ceramah. Siswa pun lebih menikmati dengan duduk terdiam dan terpaku
mendengarkan ceramah dari guru laiknya ustad/ustadah.

Di tengah kebuntuan merancang model pembelajaran yang menarik saat pondok Ramadan, tiba-tiba
teringat model problem possing. Siswa diminta membuat pertanyaan beserta jawabannya terkait
dengan satu materi tertentu. Pada pertemuan berikutnya pada kelas yang berbeda, problem possing ini
dimodifikasi dengan permainan lain seperti cerdas cermat. Siswa dibagi menjadi empat kelompok, di
beri nama laiknya lomba cerdas cermat betulan.

Masing-masing siswa lalu menuliskan sebuah pertanyaan tentang puasa beserta jawabannya disertai
nama regunya. Setelah selesai pertanyaan dikumpulkan dan saya seleksi barangkali ada pertanyaan yang
sama, bila ada yang sama maka siswa harus mengganti dengan pertanyaan yang lain. Setelah semua
persiapan selesai maka kuis atau permainan cerdas cermat dimulai. Bila dibacakan pertanyaan dari regu
A, yang berhak menjawab adalah regu B, regu C dan regu D.

Ternyata metode problem possing yang dimodifikasi cerdas cermat ini sangat berhasil. Semua siswa
antusias dalam menjawab pertanyaan dari masing-masing regu. Bila ada perbedaan pendapat, siswa
beradu argumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Pada saat tertentu juga diulas jawaban atau
pertanyaan dari masing-masing regu. Walaupun hanyalah permainan cerdas cermat tetapi siswa
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan dan bersaing memperoleh nilai.

Suasana kelas yang sebelumnya terasa sepi menjadi ramai dan semarak. Dengan model pembelajaran
problem possing yang dimodifikasi tersebut, siswa merasa terlibat karena mereka sendiri yang
menuliskan atau membuat pertanyaan. Siswa juga sangat antusias karena mereka berlomba untuk
tampil sebagai pemenang. Pada awal permainan disepakati bahwa yang menang akan diberi hadiah
namun tidak disebutkan hadiahnya.

Ketika waktu tatap muka selesai ditandai dengan bunyi bel, beberapa siswa merasa agak kecewa
terutama jika nilai yang diperoleh regunya kecil atau sedikit, dilain pihak siswa bersorak kegirangan
ketika mengetahui bahwa regunya tampil sebagai pemenang. Akhir pelaksanaan, regu sebagai
pemenang dimohon tampil kedepan untuk menerima hadiah yaitu harap menyanyikan sebuah lagu.

Suasana semakin meriah jika siswa dari regu lain juga ikut-ikutan bernyanyi. Saat berpisah wajah para
siswa terlihat berbinar dan bahagia, sebagai guru saya juga merasa sangat puas. Semoga pengalaman ini
bermanfaat bagi teman-teman yang lain terutama mata pelajaran sosial yang biasanya merasa lelah
karena terlalu banyak bicara atau ceramah. Tentu saja untuk pelaksanan pada mata pelajaran bisa
dimodifikasi dalam bentuk lain, saya juga berharap dengan model pembelajaran ini siswa lebih giat
belajar karena siswa harus menguasai materi agar bisa membuat pertanyaan beserta jawabannya.

Etos Kerja Guru; Total Berdedikasi, Loyal Mengabdi


Sebagai garda depan dalam pelaksanaan proses pembelajaran, guru menjadi sorotan masyarakat terkait
dengan etos kerjanya, yaitu totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdian. Sorotan ini bermuara pada
ketidakmampuan guru dalam proses pembelajaran hingga berimbas pada menurunnya mutu
pendidikan. Kalaupun sorotan mengarah pada kelemahan guru, itu tidak sepenuhnya menjadi beban
sebab mungkin ada sistem yang berpengaruh.

Etos kerja guru di atas akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari sistem
pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak
akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban
psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut.

Selain itu, etos kerja guru juga sangat ditentukan oleh output dari Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK). Sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK bertanggungjawab menciptakan guru
berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk sumber daya manusia mandiri, cerdas,
bertanggungjawab dan berkepribadian. Tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan sumber
daya manusia berkualitas pula.

Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian
adalah terjalinnnya etos kerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada di sekolah. Etos Kerja
terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan
kewajiban masing-masing.

Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik. Titik lemah
pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus. Ada kalanya kritik yang diberikan
dapat menjadi penawar di dalam memperbaiki etos kerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan.

Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negatif hendaknya menjadi masukan yang
sangat berarti bagi etos kerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, justru dengan adanya
kritikan menjadikan pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang
akan datang. Kritik terhadap etos kerja guru perlu dilakukan untuk menjadi bahan renungan bagi guru
untuk perbaikan lebih lanjut.

Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indikator sumber
daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya
manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu
indikator tersebut sangat ditentukan oleh etos kerja guru.

Ukuran etos kerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang
diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan
loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar
kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan
pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat
media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan
evaluasi. Etos Kerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru
punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu
pengetahuan, akan tetap tertinggal oleh akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada
kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif.

Etos Kerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen yang ada di
sekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Etos kerja guru akan
bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan
kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut
sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Etos kerja yang dilakukan hari ini akan lebih
baik dari hari kemarin, dan tentunya etos kerja masa depan lebih baik dari etos kerja hari ini. Semoga
bermanfaat dan dijauhkan dari kesia-siaan. Amin

Empat Langkah Menuju Merdeka Berbahasa

Menurut suatu hasil penelitian, ternyata bahasa yang paling banyak digunakan oleh manusia di bumi ini
adalah bahasa Tionghoa, sedang bahasa yang paling populer adalah bahasa Inggris. Ini mungkin sebab
negara bekas jajahan negara Inggris itu jumlahnya paling banyak, diikuti oleh negara Perancis dan
Spanyol. Sebagai bahasa terpopuler, berbagai hasil penemuan dan informasi terkini umumnya ditulis
dalam bahasa Inggris.

Sudah barang tentu, untuk bisa mengikuti perkembangannya kita harus bisa berbahasa Inggris.
Sayangnya bagi kebanyakan orang, belajar bahasa Inggris masih menjadi momok. Ini mungkin karena
motivasi belajar kurang kuat atau teknik belajar yang kurang efektif. Mari kita merdekakan diri dari
keterbelangkangan informasi dengan kiat kilat belajar bahasa Inggris.

Langkah pertama; belajar membaca dari kamus. Jika seseorang belajar bahasa Inggris (maupun bahasa
lain) tanpa belajar membaca dari kamus maka dapat dipastikan bahasa Inggrisnya adalah apa yang
disebut sebagai “pidgin english” (bahasa Inggris pasaran). Barry Farber yang menguasai 25 bahasa
termasuk bahasa Indonesia mengatakan bahwa belajar membaca dari kamus adalah langkah pertama
didalam belajar bahasa asing.

Bagi yang masih menggunakan kamus Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, disarankan untuk segera
beralih ke kamus anak-anak (Children Dictionary) yang full Inggris-Inggris. Kamus Inggris-Indonesia
Indonesia-Inggris umumnya banyak yang selain salah arti katanya juga salah cara membacanya. Selain
itu, dengan menggunakan kamus Inggris-Inggris maka perbendaharaan kata bahasa Inggris-nya akan
cepat meningkat.

Kamus yang baik adalah yang di pinggir kata yang kita cari ada kode cara membaca IPA (International
Phonetic Alphabet) seperti Orang awam banyak yang membaca dengan salah kata seperti
“chic” yang mereka baca sebagai “cheek” padahal harusnya dibaca “sheek”. Salah bacaannya bisa
memberikan arti yang berbeda.
(saran penulis: software “talking dictionary” maka sangat membantu bagi yang mau belajar sendiri cara
membaca dari kamus. Portable software dapat diunduh di
http://www.ziddu.com/download/5903110/PortableTalkingDictionary.rar.html)

Langkah kedua; membaca buku yang topiknya disukai. Bagi lulusan SMA, bekal Grammar Bahasa Inggris
sudah memadai, tapi bagi yang masih risih silahkan membaca bukunya George Woolard “Grammar with
Laughter”. Dengan membaca buku bahasa Inggris yang topiknya anda sukai maka anda akan senang dan
tidak jenuh membaca buku tersebut.

Di dalam perjalanan, maka perbendaharaan kata anda akan meningkat, grammar anda lebih terasah
(grammar yang peraturannya sulit akan dengan sendirinya terserap ) dan yang penting anda akan belajar
istilah-istilah bahasa Inggris yang tidak ada didalam bahasa Indonesia begitu juga sebaliknya. Sangat
disarankan untuk membaca majalah/koran dari negara yang bersangkutan.

Langkah ketiga; menonton video/film/acara televisi yang disukai dalam bahasa Inggris. Software
multimedia dari The Learning Company berisi film tour ke kota-kota besar di Amerika. Di film-film
tersebut ada teksnya, jadi kita bisa belajar membaca teks tersebut sebelum melihat filmnya, sewaktu
melihat filmnya, fungsi teks dimatikan untuk mengetest daya tangkap bahasa Inggris kita secara lisan.

Langkah keempat; bercakap-cakap dengan Native Speaker. Dengan menggunakan Voice Chat di Internet
maka sangat mudah untuk mencari lawan bicara native speaker. Kalau di Yahoo Messenger, tinggal
masuk ke Yahoo Chat. Tolok ukur keberhasilannya adalah lawan bicara bisa mengerti apa yang
disampaikan begitu juga sebaliknya. Demikianlah kiat kilat belajar bahasa Inggris, selamat mencoba dan
semoga bermanfaat.

Meningkatkan Prestasi Belajar dengan Model ARIAS

Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, model pembelajaran yang berkualitas dalam kegiatan
belajar mengajar sangat diperlukan. Dari beberapa model pembelajaran yang dikembangkan, mayoritas
lebih mengutamakan pada penilaian hasil akhir, belum banyak yang menyentuh aspek psikologis siswa
apalagi yang mengacu pada metodologi pengajaran cara Rasulullah SAW.

Model pembelajaran ARIAS tampil beda dengan menggabungkan beberapa aspek penting. Pada
dasarnya, model ini adalah modifikasi dari model ARCS (Attention, Relevance, Confidence dan
Satisfaction) yang dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987). Modifikasi dilakukan dengan penggantian
kata confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest. Penggantian confidence (percaya
diri) menjadi assurance, karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80).

Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah
terkandung pengertian attention (perhatian). Kata ARIAS merupakan akronim dari Assurance (percaya
diri), Relevance (relevansi), Interest (minat), Assessment (Evaluasi) dan Satisfaction (kepuasan) adalah
lima komponen penting dalam kegiatan pembelajaran.

Deskripsi singkat tentang model pembelajaran ARIAS adalah; Assurance (percaya diri) berhubungan
dengan sikap percaya dan yakin akan berhasil. Sikap ini perlu ditanamkan kepada siswa untuk
mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai keberhasilan yang optimal.
Beberapa cara yang bisa dilakukan oleh guru untuk menumbuhkan sikap ini adalah dengan membantu
siswa menyadari strengths (kekuatan) dan weakness (kelemahan) diri serta menanamkan gambaran
positif terhadap diri sendiri.

Relevance (relevansi) berhubungan dengan kehidupan siswa. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu
yang memiliki relevansi dengan kehidupan pribadi mereka. Dengan mengemukakan manfaat pelajaran
bagi kehidupan mereka untuk saat ini maupaun masa yang akan datang, akan memotivasi mereka untuk
lebih giat dalam belajar.

Interest (minat) menjadi salah satu faktor penting dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang inovatif dan
tidak monoton akan membuat siswa tertarik dengan pelajaran yang akan diajarkan. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran dan memberi kesempatan siswa
untuk berpartisipasi secara aktif.

Assessment (evaluasi) dapat memberi keuntungan bagi guru maupun siswa. Bagi guru, evaluasi
merupakan alat untuk memonitor perkembangan siswa terhadap materi yang diajarkan. Sedangkan bagi
siswa, evaluasi dapat menjadi sarana mengetahui kemampuan diri dalam memahami suatu materi.
Dengan memberikan evaluasi yang objektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi akan
menjadi motivator siswa untuk meningkatkan prestasi belajar yang ingin dicapai.

Satisfaction (kepuasan) berhubungan dengan rasa bangga akan hasil yang dicapai. Dalam teori belajar
satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Pemberian reward (penghargaan) yang pantas atas
keberhasilan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat menjadi sarana untuk mempengaruhi hasil
belajar mereka. Penghargaan tidak selalu berbentuk materi. Doa, pujian, ucapan tulus maupun
senyuman simpatik dari seorang guru akan menimbulkan rasa bangga pada diri siswa dan mendorong
mereka untuk berusaha memperoleh hasil yang lebih baik dari sebelumnya serta memotivasi siswa lain
untuk memperoleh hal serupa.

Dengan menggabungkan lima komponen diatas, model pembelajaran ARIAS menjadi jawaban dari
pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan
hasil belajar siswa. Karena guru berusaha untuk menanamkan rasa percaya diri siswa dengan
melaksanakan kegiatan pembelajaran inovatif yang ada relevansinya dengan kehidupan mereka dan
memberikan penguatan (reinforcement) sebagai hasil dari evaluasi.

Menyiapkan Diri Menjadi Garda Depan Bangsa

Sistem pendidikan nasional kita, oleh banyak kalangan dinilain masih karut marut seperti benang kusut.
Dengan kondisi ini hampir susah untuk diketemukan bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk
membenahinya, siapa yang harus memulainya, kapan itu bisa dimulai, dan dari mana mengawali
perbaikannya. Bagi penulis, sosok guru lah yang menjadi aktor penting dalam mengangkat citra dan
martabat pendidikan ini.
Pada kondisi paling mendasar, kalau masing-masing elemen pendidikan menyadari, masing-masing
memiliki kepedulian, dan semuanya mau berbagi rasa serta mengedepankan tepo seliro, maka kondisi
pendidikan yang karut marut ini bisa diantisipasi. Karena itu dibutuhkan kesamaan persepsi serta satu
langkah dan tujuan yang sama untuk mengangkat ‘batang terendam’ ini menjadi pendidikan bermutu.

Satu hal yang patut menjadi titik perhatian adalah bagaimana merancang guru sebagai garda depan
bangsa. Sebagai garda depan guru harus memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam menciptakan
hasil pembelajaran secara optimal yang selanjutnya memiliki kepekaan dalam membaca tanda-tanda
zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu
yang ada padanya.

Bagi penulis, menjadikan guru sebagai garda depan dapat didefinisikan dengan kondisi sebagai berikut.
Pertama, guru sebagai planner yaitu guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, tidak hanya berupa
program rutin seperti menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran, juga mampu merencanakan
setiap pembelajaran yang dilakukan agar berjalan maksimal. Lebih penting lagi perencanaan tersebut
bisa terprogram dengan lebih baik.

Kedua, guru sebagai inovator, artinya guru memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan
berkenaan dengan pola pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, serta sistem dan alat
evaluasi. Secara individu maupun bersama-sama, guru harus mampu untuk mengubah pola lama, yang
selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan mengubah kepada pola baru pembelajaran, maka
akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal.

Ketiga, guru sebagai motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar
dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus
belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya. Keempat, guru sebagai capable personal, maksudnya
guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan, serta sikap yang lebih mantap
sehinga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif;

Kelima, guru sebagai developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau
pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru
masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEK,
misalnya mampu dan terampil mendayagunakan komputer, internet, dan berbagai model pembelajaran
multi media.

Guru sebagai garda depan bangsa juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan siswa
melalui pemahaman, keaktifan, dan pembelajaran sesuai kemajuan zaman. Secara efektif menunjukkan
motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga
dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin dan bertanggung jawab

Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak.
Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta
pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ, SQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.
Selain itu, guru garda depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi
keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya
sebagai guru garda depan bagsa, bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi
kode etik profesinya.

Oleh sebab itu, untuk menjadi guru garda depan bangsa diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali
tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan
utama dan pertama, yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai
garda depan bangsa.

Hidup Anak Lebih Berarti dengan Sehari Tanpa TV

Potret Indonesia di masa datang, sebagian bisa diprediksi dari apa yang dikonsumsi oleh anak-anak
melalui media, khususnya televisi yang berorientasi pada akumulasi dan ekspandi modal. Ungkapan ini
dikemukakan Dedy N Hidayat PhD, ketua program pascasarjana departemen komunikasi pada FISIP
Universitas Indonesia. Ungkapan ini setidaknya bisa menjadi bekal kita dalam menyikapi tontonan di
televisi sekarang ini.

Rasa-rasanya, apa yang diungkap pakar komunikasi tersebut ada benarnya. Di masa sekarang ini hampir
tidak ada anak-anak yang tidak gandrung bahkan kecanduan terhadap tayangan yang ada di televisi kita.
Tayangan itu mulai dari sinetron hingga berbagai jenis iklan yang sebenarnya kurang pas untuk dilihat
bahkan produknya dikonsumsi oleh anak.

Memeringati Hari Tanpa TV (HTT) pada tanggal 26 Juli 2009 lalu, rasanya ada yang tidak patut
dibanggakan bagi generasi muda kita saat ini, yaitu karena anak-anak kita telah menjadi pecandu TV
yang tingkatannya bisa dikategorikan high stadium.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kemajuan dan perubahan banyak terjadi sejak TV ditemukan.

Kita dapat menyaksikan berbagai jenis film, dari film kartun, drama, biografi, aksi, edukasi, musik,
liputan berita tentang berbagai peristiwa dari seluruh dunia dan lain sebagainya, dari dalam dan luar
negeri. Jadi, jika memang begitu banyak kemajuan yang diberikan dengan adanya TV, lalu apa
masalahnya ? Problemnya adalah berapa lama anak-anak kita menonton TV, dan apa pengaruhnya bagi
mereka ?

Efek baik dari televisi bagi anak antara lain dapat menambah kosakata (vocabulary) terutama kata-kata
yang tidak terlalu sering digunakan sehari-hari. Anak juga dapat belajar tentang berbagai hal melalui
program edukasi dari siaran televisi, walaupun persentasi acara televisi yang bersifat pendidikan masih
sangat sedikit. Selain itu anak akan mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perkembangan peristiwa yang terjadi di dunia, dan perkembangan permasalahan yang ada di luar
lingkungannya.

Film pun ada juga yang bagus dan mendidik, yang selain memberi hiburan juga mengajarkan anak
berbagai hal yang baik, tentang sikap-sikap yang baik, tentang nilai-nilai kemanusiaan, tentang nilai
keagamaan, tentang perilaku sehari-hari yang seharusnya kita lakukan, dan lain sebagainya.
Adapun efek negatif yang ditimbulkan dari banyaknya menonton TV antara lain, pertama, adalah
ketidakmampuan seorang anak untuk membedakan dunia yang ia lihat di TV dengan apa yang
sebenarnya, mereka dapat menganggap kekerasan yang terjadi di televisi boleh saja dilakakukan di
dunia nyata. Terkadang, sinetron membuat anak menjadi berperilaku cepat dewasa untuk ukuran
usianya. Pengaruh kedua, adalah anak menjadi pasif dan tidak kreatif.

Dengan hanya duduk di depan TV, mengakibatkan mereka kurang beraktivitas. Baik secara fisik maupun
mental, anak menjadi pasif, karena mereka tidak tidak perlu berbuat apa-apa. Hanya duduk, mendengar
dan melihat apa yang ada di TV. Kemampuan berpikir dan kreatifitas anak tidak terasah, karena ia tidak
perlu lagi membayangkan sesuatu seperti halnya bila ia membaca buku atau mendengar musik.

Efek ketiga, waktu belajar akan terpotong oleh jam-jam tertentu di mana acara TV sedang diputar.
Kelanjutan dari berkurangnya waktu belajar ini tentunya akan mempengaruhi prestasi di sekolah. Anak
yang belajarnya kurang, tentu nilai-nilainya di sekolah akan kurang baik dibanding teman-temannya
yang lebih rajin. Efek selanjutnya, stimulasi berupa interaksi sesama anak dan orang dewasa di
sekitarnya menjadi minimal, dan dapat berakibat anak jadi "kuper" (kurang pergaulan).

Bahkan ada sebagian orangtua yang menjadikan TV sebagai "Electronic babysitter" dengan dalih untuk
melindungi mereka dari “kejahatan” dunia luar. Mereka menganggap dengan duduk di depan televisi
keamanan anak akan lebih terjaga dan lebih mudah diawasi. Pada akhirnya si anak menjadi berkurang
waktunya untuk bersama orang tuanya, dan tentunya mengurangi kedekatan antara si anak dan orang
tua.

Untuk melindungi anak-anak kita dari pengaruh negatif televisi itulah, maka kita patut mendukung
gerakan tanpa televisi ini, HARI TANPA TV, artinya: sehari tidak menonton TV. Bukan anti TV , tapi
merupakan wujud nyata sikap kritis kita terhadap tayangan TV yang tidak bermutu, membodohi, dan
tayangan yang tidak aman dan tidak sehat untuk anak. Fokusnya pada perlindungan anak dan
kepentingan terbaik anak. Ini merupakan suatu gerakan awal untuk untuk tidak menonton TV selama
sehari agar mereka dapat merasakan bahwa hidup bisa lebih bernilai ketika banyak kegiatan lain dapat
dilakukan ketimbang menonton TV. Pengalaman seperti ini penting dimiliki anggota keluarga untuk
meyakinkan bahwa hidup tetap menyenangkan tanpa harus tergantung pada TV.

Kecerdasan Gerak; Potensi yang Kerap Terabaikan

Gardner, pencetus teori Multiple Intelligence, menyebut bila sebenarnya tidak ada anak bodoh atau
pintar. Yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Sebab
kecerdasan seseorang tidak terbatas, setiap orang mempunyai berbagai macam kecerdasan tetapi
dengan bobot yang berbeda-beda. Ada yang lemah di satu sisi, tetapi sangat kuat di sisi lain.

Kecerdasan multiple dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu keturunan (bawaan, genetik) dan lingkungan.
Seorang anak dapat mengembangkan berbagai kecerdasan jika mempunyai faktor keturunan dan
dirangsang oleh lingkungan terus menerus. Orangtua yang cerdas anaknya cenderung cerdas pula jika
faktor lingkungan pengembangan kecerdasan sejak dalam kandungan, masa bayi dan balita.
Walaupun kedua orangtuanya cerdas tetapi jika lingkungan tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk
pengembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal.
Sedangkan orangtua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (karena tidak ada
kesempatan/hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas bila kebutuhan untuk pengembangan
kecerdasannya bisa tercukupi.

Ada tiga kebutuhan pokok untuk mengembangkan kecerdasan, (1) Kebutuhan fisik-biologis (untuk
pertumbuhan otak, sistem sensorik dan motorik). Kebutuhan ini mensyaratkan tercukupinya gizi sejak
dalam kandungan sampai remaja terutama untuk perkembangan otak, pencegahan dan pengobatan
penyakit-penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan, dan keterampilan fisik untuk
melakukan aktivitas seharí-hari;

(2) Kebutuhan emosi-kasih sayang, terutama dengan melindungi, menimbulkan rasa aman dan nyaman,
memperhatikan dan menghargai anak, tidak mengutamakan hukuman dengan kemarahan tetapi lebih
banyak memberikan contoh-contoh dengan kasih sayang; dan (3) Kebutuhan stimulasi dini yang
meliputi rangsangan yang terus menerus dengan berbagai cara untuk merangsang semua sistem
sensorik dan motorik.

Olah raga bisa menstimulasi dan mengembangkan seluruh kecerdasan anak, namun sangat disayangkan
banyak yang mengabaikannya. Banyak orang tua yang merasa begitu khawatir jika anaknya tidak
mendapat rangking di sekolah, sehingga berbagai upaya dilakukan, seperti mengikutkan anak pada
bermacam-macam les agar bisa masuk peringkat atas di sekolahnya.

Orang tua lupa bahwa aktivitas gerak merupakan perantara yang efektif untuk mengembangkan
kemampuan persepsi motorik. Dengan menguasai kegiatan motorik, pada diri anak akan timbul rasa
senang dan percaya diri karena dapat berprestasi. Lewat olah raga pula, anak akan belajar bersaing,
meningkatkan harga diri, belajar spotif dan keterampilan sosial.

Melalui olah raga anak bisa belajar sebab olah raga dapat memengaruhi aspek kognitif dan emosi-sosial
anak. Secara naluri anak cenderung selalu aktif bergerak, mereka bergerak didasari oleh rasa ingin tahu
terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Aktivitas motorik pada anak akan tumbuh seiring proses
tumbuh kembang yang mereka lalui. Kemampuan motorik akan berkembang sejauh pengalaman dari
lingkungan.

Tubuh yang selalu aktif bergerak, ternyata tidak hanya bisa memberi pengaruh positif pada kondisi fisik,
Ada pengaruh pada psikologis, intelektual, dan sosialnya. Anak-anak pun akan mempelajari segala
macam yang ada melalui aktivitas motoriknya sesuai dengan tahapan perkembangan psikomotornya.
Anak yang mendapat lingkungan kondusif akan menjadikannya sebagai anak yang aktif, bugar, kreatif,
dan terampilan.

Anak cerdas gerak mempunyai intuisi alami dalam mengoptimalkan kemampuan fisiknya dan
mengeksplorasi dunianya melalui interaksi dengan ruang. Anak cerdas gerak (kinestetik) biasanya
menunjukkan kemampuan dan keterampilan gerak yang melebihi kemampuan anak seusianya. Anak
cerdas gerak menampilkan integrasi yang baik antara pikiran dan tubuh secara bersamaan untuk
mencapai suatu tujuan, karena berkaitan dengan keterampilan motorik, tidak saja menyangkut hanya
gerakannya tetapi juga pemikirannya.

Mengonsep Peta Kurikulum di Awal Tahun

Salah satu peran yang menggerakkan mutu pendidikan adalah jelasnya konsep kurikulum. Secara garis
besar, kurikulum menurut dasar artikulasi memiliki arti pengalaman belajar siswa. Pengalaman ini
dimaksudkan sebagai lintasan pendidikan yang dilalui siswa di sekolah. Di dalamnya terdapat
pembelajaran teoritis, sikap, moril, agama, perilaku, dan sosialisasi.

Kurikulum di Indonesia sendiri banyak mengalami perubahan, mulai dari kurikulum awal sampai dengan
KBK (kurikulum berbasis kompetensi) dan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) sekarang ini. Dari
pergantian tersebut memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan mutu afektif, kognitif, dan
psikomotor siswa tetapi konsep dan covernya yang berbeda.

Sebuah kurikulum akan terlaksana dengan baik apabila sekolah kritis dan mengerti konsep kurikulum
yang akan dilaksankan. Seperti diulas Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA bahwa penciptaan kurikulum
harus mengacu pada ketiga aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik serta memasukkan unsur
pendidikan, moral, agama, estetika, teknologi, dan hal yang sifatnya universal.

Konsep kurikulum yang bermutu dapat dicapai dengan mereview kurikulum sebelumnya. Dalam
membuat kurikulum, sekolah perlu memperhatikan beberapa hal yang meliputi universal, humanisty,
culture dan religi. Unsur universal adalah unsur yang sangat diperlukan dalam menghadapi globalisasi
pendidikan dunia, seperti matematika, sains, bahasa, dan teknologi.

Substansi tersebut diperlukan karena siswa diharapkan bisa mengikuti era globalisasi dunia dengan baik.
Matematika sebagai dasar perhitungan yang sangat diperlukan dalam keseharian, bahasa sebagai salah
satu unsur komunikasi verbal antar sesama , sains sebagai pengetahuan tentang kehidupan serta
teknologi sebagai aplikasi kemajuan jaman.

Humanisty merupakan sifat kemanusiaan yang harus selalu dipupuk dan dipertahankan.

Sekolah dapat memasukkan hal ini dalam pembelajaran sebagai dasar bersosialisasi dengan lingkungan
dan sesama manusia. Humanisty memiliki peranan penting karena siswa tidak hanya diciptakan ahli
dalam teori tetapi juga harus memahami makna kehidupan dengan baik. Substansi tersebut akan
menyeimbangkan antara kehidupan pendidikan dengan kehidupan nyata bermasyarakat pada nantinya.

Culture merupakan regenerasi untuk mempertahankan ciri khas bangsa. Manusia lahir dari peradaban
yang tinggi dengan kreasi yang beragam, dan itu tidak boleh dilupakan agar muncul generasi yang
mengerti sejarah awal kemajuan suatu bangsa. Sekolah perlu memunculkan sisi culture pada siswa agar
pada nantinya output yang dihasilkan tidak melupakan ajaran dan pengalaman masa lalu serta sisi sosial
yang tinggi.
Pembelajaran di luar kelas dapat dimasukkan dalam substansi ini, seperti menggali sejarah bangsa
bahkan membuat replika tentang segala hal yang berkaitan dengan budaya bangsa tentunya mengarah
pada materi seni budaya. Budaya pada sekolah dapat juga dihasilkan dari pembelajaran yang sifatnya
mengacu pada aspek psikomotor siswa seperti kegiatan seni.

Kegiatan ini sangat penting sekali dimana seni merupakan bahasa universal yang sangat diperlukan.
Dalam sedikit ulasan, dikatakan bahwa manusia tidak hanya harus mengenal pendidikan tetapi juga
mengenal seni akan menghasilkan sesuatu yang indah/ yang bermanfaat bagi kehidupan. Pentingya
mengonsep kurikulum ini ditujukan agar output yang akan dihasilkan benar-benar bermutu.

Religi merupakan unsur kejiwaan dan ketuhanan yang diharuskan ada dalam pembelajaran siswa. Guru
sebagai pelaku pendidikan tidak hanya mengoptimalkan sisi pengajaran tetapi guru juga harus bisa
mendidik siswanya menjadi insan yang bermoral dan beragama. Pendidikan yang bermutu tidak ada
artinya apabila individu yang berkaitan lupa akan prinsip ketuhanan.

Kepala sekolah harus mampu menyusun segala pengalam belajar siswa ini dengan baik, ini ditujukan
agar output sekolah akan sesuai dengan kebutuhan. Kebijakan sekolah sangat berperan dalam
memainkan kurikulum baru yang akan dilaksanakan. Konsep universal, humanisty, culture dan religi
dalam menyusun kurikulum yang baru harus dimasukkan dan dikreasikan untuk mengembangkan pola
pemikiran siswa.

Eduwisata Menuju Kewirausahaan Sekolah

Secara umum, eduwisata dapat dimaknai sebagai sebuah kegiatan rekreatif yang menghadirkan dunia
pendidikan (sekolah) sebagai produk unggulan. Jadi sekolah tidak hanya berorientasi mengajar dan
mendidik siswa sesuai kurikulum. Layaknya tempat wisata, sekolah juga memiliki peran memberikan
pelayanan dan menghadirkan produk unggulan yang layak dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat.

Dengan budaya daerah, fasilitas, bahkan intake siswa yang berbeda, tentun sekolah menghasilkan
output yang berbeda pula. Tidak akan pernah bisa disamakan lulusan sekolah yang berlokasi di pusat
kota dengan lulusan sekolah di daerah pinggiran. Oleh karena memiliki latar belakang yang berbeda
inilah maka hendaknya setiap sekolah dapat memberikan ’obyek wisata’ yang berbeda pula.

Konsep eduwisata sangat erat kaitannya dengan potensi lokal sekolah tersebut. Bahkan dengan
penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) secara serius, akan memberikan brand/merk
yang berbeda-beda pada masing masing sekolah. Namun yang perlu dicatat disini adalah, bahwa sekolah
perlu membuat branding yang mendukung proses belajar mengajar.

Dengan kata lain, bahwa ’obyek wisata’ yang disuguhkan oleh sekolah merupakan salah satu bagian dari
serangkaian proses belajar mengajar yang ditempuh, termasuk juga representasi muatan lokal dan atau
ekstra kurikuler yang diselenggarakan di sekolah tersebut.

Eduwisata yang sempurna sebenarnya telah dipraktekkan oleh beberapa sekolah. Misalnya di SMPN 3
Lembang – Bandung. Di sekolah yang merupakan hasil perubahan dari STP (Sekolah Teknik Pertanian =
sekolah kejuruan di tingkat SMP) ini tetap mengedepankan bidang pertanian sebagai unggulan yang
dimiliki SMP tersebut.

Didukung oleh peralatan pertanian yang memadai dan lahan pertanian milik sekolah yang luas,
memungkinkan SMPN 3 Lembang mengembangkan bidang pertanian sebagai ’obyek wisata’ unggulan
sekolah. Apalagi sekolah tersebut menerapkan sektor budidaya pertanian (agronomi) sebagai ekstra
kurikuler yang diberlakukan di sekolah, maka tepatlah bila sekolah ini memiliki brand / merk sebagai
SMP yang tidak hanya menghasilkan output yang memiliki life skill di bidang pertanian, tetapi juga
sekolah yang mampu mandiri dengan usaha sekolah di bidang pertanian.

Untuk sekolah di daerah pinggiran, pelaksanaan konsep eduwisata hendaknya diawali dengan
mengidentifikasi potensi lokal sekolah tersebut yang layak untuk dikembangkan. Misalnya untuk sekolah
di daerah pesisir pantai, bisa mengembangkan sektor perikanan sebagai ’obyek wisata’ yang bisa dijual
ke masyarakat. Budidaya perikanan, atau pengolahan hasil laut bisa dikembangkan sebagai ekstra
kurikuler sekaligus membangun brand sekolah tersebut sebagai sekolah di daerah pesisir pantai.

Mengingat besarnya tantangan kita, para pendidik di masa mendatang, penulis beranggapan bahwa
sudah saatnya para guru dan sekolah untuk ’melek bisnis’. Kita harusnya malu, bila pendidikan selalu
diidentikkan dengan sebuah sektor yang selalu perlu dibantu dan dikasihi. Seakan tanpa uang BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) seluruh sekolah di Indonesia akan gulung tikar.

Seakan kalangan guru dan masyarakat pendidikan lainnya selalu menjadi pihak lemah yang perlu terus
disubsidi. Namun demikian pengertian ’melek bisnis’ bukan berarti menjadikan pendidikan sebagai
komoditas bisnis guru pada siswanya. Istilah lainnya adalah DIKTATOR = jual diktat (untuk) kredit motor.
Ya. Melek bisnis bukan berarti para guru harus jualan buku/LKS untuk mendapatkan keuntungan pribadi,
tetapi hendaknya diartikan sebagai sebuah upaya sekolah untuk mengelola potensi yang ada supaya bisa
dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan bagi sekolah.

Sudah selayaknyalah kita menyadari bahwa peran pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah ansich, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai warga negara. Karena itu penulis memandang
bahwa sudah saatnya ’virus’ enterpreneurship dalam bingkai EDUWISATA menjangkiti sekolah di
Indonesia.

KKM; Antara Standarisasi dan Gengsi

KKM atau kriteria ketuntasan minimal atau dulu disebut SKM (standar ketuntasan minimal) merupakan
sebuah acuan dalam menetapkan tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. KKM berbentuk deretan
angka-angka yang tertulis dalam rapor akhir semester siswa. Kelihatannya mudah, guru tinggal
memasukkan angka saja namun sebenarnya dalam penentuan angka-angka itu bukanlah hal yang
mudah.

Guru perlu melakukan analisis terhadap kompleksitas materi, daya dukung belajar, serta intake siswa
terlebih dulu. Rambu-rambunya; KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran dan ditetapkan oleh forum
MGMP sekolah; nilai ketuntasan maksimal adalah 100 dan dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat; dan
sekolah dapat menetapkan KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal.

Rambu-rambu ini saya yakin telah diterapkan semua sekolah. Namun analisa yang dilakukan guru pada
setiap kompetensi dasar (KD) per mata pelajaran, masih jarang dilakukan. Memang cukup rumit, guru
harus menentukan setiap kriteria dengan nilai tinggi, sedang, atau rendah. Itu pun masih harus dijumlah,
lalu dibagi dengan 0 dan dikalikan 100. Hasil akhir itulah yang merupakan nilai dari salah satu kriteria.

Penghitungan seperti itu harus dilakukan pada masing-masing kreteria, masing-masing indikator, dan
pada masing-masing KD. Bila semua KD sudah mendapatkan nilai, maka rata-rata hasil penetapan nilai
KD dapat menjadi nilai minimal dari mata pelajaran. Tantangannya, setiap mata pelajaran memiliki ciri-
ciri tersendiri, maka hasil penetapan KKM antara pelajaran yang satu dengan yang lain tidak sama.

Demikian juga dalam lingkup sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri, memungkinkan hasil
penetapan KKM antar sekolah juga berbeda. Namun, permasalahannya bila sebagian besar sekolah
menetapkan KKM pada sebagian besar mata pelajaran adalah 75 – 80 misalnya, maka maukah seorang
guru/ sebuah sekolah menetapkan KKM-nya di bawah sekolah-sekolah lain?

Bila dengan jujur analis penetapan KKM yang dilakukan menghasilkan nilai 60 misalnya, maka masihkah
60 tetap dijadikan standar nilai minimal? Bila sekolah tersebut benar-benar jujur menuliskannya dalam
rapor hasil belajar siswanya, berarti sekolah tersebut dengan jujur menyatakan bahwa ‘kualitas’ hasil
belajar siswa di sekolahnya masih lebih rendah dibanding dengan sekolah lainnya.

Jika hal ini sampai menjadi opini mayarakat, maka daya saing sekolah juga dipandang ‘rendah’. Belum
lagi tuntutan nilai untuk masuk perguruan tinggi (jalur PMDK), sudah tidak ada yang mematok nilai 60
sebagai nilai minimal, semua diatas 70. Jika sudah demikian, banyak sekolah yang menetapkan KKM
dengan nilai ‘kira-kira’, yang penting output siswanya bisa diterima di perguruan tinggi, dan daya saing
tetap terjaga.

Di sisi lain, jika KKM yang ditentukan terlalu tinggi bagi siswa maka ketidaktuntas belajar siswa pun
menjadi tinggi. Idealnya guru harus memberikan pembelajaran remedial sampai siswa yang belum
mencapai nilai minimal dapat mencapai nilai minimal. Namun, ini tidak dilakukan secara benar.
Seringkali siswa cukup mendapatkan her/ ujian ulang satu kali, kemudian mendapatkan nilai ninimal
sesuai KKM.

Ironis memang, bila nilai 75/80 tidak dapat mencerminkan kualitas belajar siswa yang sebenarnya.
Karena itu orang tua pun sering terkecoh. Misalnya siswa yang mendapat nilai 80 oleh orang tua sudah
dianggap bagus, padahal nilai tersebut adalah nilai terendah. Mungkin boleh dikatakan bahwa nilai
tersebut sekualitas dengan nilai 60 sebelum ada aturan penetapan KKM (kurikulum KBK/KTSP).

Akhirnya KKM menjadi dilema, satu sisi sebuah sekolah harus memenuhi standarisasi mutu sebagaimana
sekolah lainnya. Semua sekolah pasti tidak ingin diberi lebel ‘berkualitas rendah’, hanya karena KKM
yang ditetapkan masih jauh lebih rendah dibanding sekolah lain Di sisi lain, sebuah sekolah yang secara
kondisional masih perlu pembenahan, harus berani jujur menetapkan KKM yang sesuai dengan hasil
analisis.

Untuk diperlukan sikap bijaksana para personil pendidikan di sekolah, agar nilai KKM benar-benar
mencerminkan tingkat keberhasilan minimal siswa dalam belajar. Tidak harus KKM saja yang harus
tinggi/ditingkatkan, tetapi yang lebih penting adalah teknik-teknik pembelajaran yang efektif, yang
menarik perhatian siswa, serta keseriusan kepala sekolah/guru dalam menyelesaikan permasalahan
belajar anak didik. (*)

Menerapkan Strategi ARCS untuk Motivasi Belajar Siswa

Motivasi diri bagi anak didik merupakan salah satu penentu keberhasilan pembelajaran. Untuk itu, guru
hendaknya selalu berusaha memerhatikan motivasi ini sebelum proses pembelajaran berlangsung.
Peran yang optimal akan membuat anak didik termotivasi mengembangkan kemampuan dan kreativitas
belajarnya. Juga akan merasa senang dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas-tugas
belajarnya.

Salah satu penerapan dan pengembangan sistem motivasi adalah model ARCS (attention, relevance,
confidence, dan satisfiation. Attention (perhatian) artinya siswa yang mau belajar harus memiliki atensi
atau perhatian pada materi yang akan dipelajari. Perhatian siswa dapat bangkit antara lain karena
dorongan ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa ingin tahu siswa perlu dirangsang.

Rasa ingin tahu pada diri siswa dapat dirangsang melalui cara-cara baru dan unik. Seperti metode
diskusi, bermain peran, simulasi, demontrasi, dan sebagainya. Bisa juga dengan media film, tape, video,
tranparansi, dan lainya. Relevance (kegunaan) artinya motivasi belajar akan tumbuh bila siswa
merasakan bahwa apa yang dipelajari itu memunyai manfaat langsung secara pribadi.

Strategi untuk menunjukkan relevansi di antaranya; memberikan contoh, latihan, atau tes yang langsung
berhubungan dengan kondisi siswa atau profesi tertentu; menyampaikan kepada siswa apa yang dapat
mereka peroleh dan lakukan setelah mempelajari materi pembelajaran; menjelaskan manfaat
pengetahuan, keterampilan; atau sikap serta nilai yang akan dipelajari dan bagaimana hal tersebut
dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Confidence (kepercayaan diri) artinya belajar secara aktif, perlu dihilangkan kekhawatiran dan rasa
ketidakmampuan dalam diri siswa. Siswa perlu percaya bahwa ia mampu dan bisa berhasil dalam
mempelajari sesuatu. Strateginya antara lain; menyusun pembelajaran kebagian-bagian yang lebih kecil
sehingga siswa tidak dituntut untuk mempelajari terlalu banyak konsep baru sekaligus.

Satisfaction (kepuasan) artinya bahwa motivasi belajar baru mampu menghasilkan rasa puas guna
mendorong tumbuhnya keinginan untuk tetap belajar. Dengan demikian, siswa akan termotivasi
mencapai tujuan yang serupa. Demi meningkatkan dan memelihara motivasi siswa, guru dapat
memberikan reinforcement (penguatan) berupa pujian, pemberian, kesempatan, atau bahkan
pemberian hadiah.
Strateginya bisa dengan menggunakan pujian secara verbal, memberikan kesempatan siswa untuk
menggunakan atau mempraktekkan pengetahuan yang baru dipelajarinya, meminta siswa yang sudah
menguasai materi untuk membantu temannya yang belum menguasai. Dengan ini berarti dalam proses
pembelajaran, guru perlu memasukkan aspek motivasional, sebab tidak adanya motivasi akan
mengakibatkan buruknya hasil belajar.

Dengan menerapkan dan mengembangkan motivasi belajar model ARCS tersebut diharapkan guru
mampu menyusun rencana pembelajaran yang dapat menumbuhkan mengembangkan serta menjaga
motivasi para siswa. Pada akhirnya dapat mencapai hasil yang optimal, efektif sesuai dengan apa yang
telah di tetapkan. (*)

Tiga Sentuhan Belajar Bahasa Inggris Jadi Menyenangkan

Banyak cara untuk mengajarkan Bahasa Inggris yang menyenangkan. Namun kenyataan, guru masih
kesulitan mengantarkan siswanya mencapai nilai yang diharapkan. Setidaknya ada tiga hal yang perlu
disentuh dalam proses belajar mengajar. Pertama, siswa harus merasa nyaman dalam pembelajaran.
Kedua, siswa dan harus memiliki bahan ajar. Ketiga, adanya kesadaran bila belajar Bahasa Inggris itu
sudah menjadi kebutuhan.

Penulis mencoba membagi pengalaman terkait praktik tiga sentuhan ini. Untuk sentuhan pertama,
sebelum memulai pelajaran, penting kiranya guru menyapa dua atau tiga anak. Sedikit bualan atau
lelucon juga bisa dipakai agar anak didik bisa tersenyum. Intinya mereka bisa unjuk gigi sebagai sinyal
welcome atas kehadiran kita. Setidaknya guru tidak diangap sebagai monster tapi kawan untuk belajar.

Tidak bisa dipungkiri beberapa ada siswa yang berlebih dari yang kita harapkan. Mereka sebetulnya
memang anak-anak yang haus perhatian. Karenannya perlu kita dekati, ajak bicara dengan sopan. Bila
itu kita lakukan, berdasarkan pengalaman, mereka menjadi sungkan sendiri. Saya yakin sebagai seorang
pengajar, kita bisa merasakan suasana kelas yang nyaman, kaku atau bertepuk sebelah tangan.

Untuk memraktikkan sentuhan kedua, kita harus benar-benar menyiapkan materi atau bahan ajar yang
hendak diberikan. Sebab anak didik kita itu sekarang pandai dan bisa menilai sekaligus menyikapi
persiapan bahan ajar dari guru. Mereka bisa bereaksi menentang kalau melihat guru tidak siap
mengajar. Selain itu, bahan ajar juga penting untuk memandu kita untuk menerapkan metode tertentu
ahar anak bisa belajar.

Kebetulan dua anak kandung saya sedang duduk di SMP dan SMA. Mereka berdualah inspirasi saya
untuk mengembangkan metode mengajar di sekolah di mana saya mengajar. Saya yakin dunia anak saya
tidak jauh beda dengan kondisi siswa/murid saya, maka saya pelajari karakter anak-anak saya, mulai dari
cara bicara, menyebutkan istilah-istilah buat temannya sampai kegemaran mereka apa.

Terinspirasi dari kegemaran anak perempuan saya, yaitu mendownload film-film Korea, Jepang, dan
Cina, saya coba mengikutinya. Awalnya sulit dan jadi bahan ketawaan anak saya; seperti ABG saja.
Ternyata, film Korea tersebut menggunakan bahasa Korea tetapi subtitle-nya menggunakan bahasa
Inggris sederhana, beberapa muncul kata-kata sulit yang memaksa anak saya membuka kamus.
Kompetensi yang didapat adalah anak mau membaca, mencoba memahami, mencoba menganalisa dan
berani menulis kesimpulan. Sebagai pendidik, jelas kita harus selektif dalam memilih isi cerita film-film
Korea tersebut. Ada beberapa film yang tanpa disadari merupakan petuah, ada yang tidak layak
ditonton dan ada yang murni humor.

Sedangkan anak laki-laki saya gemar sekali membaca Koran Bola. Di kelas, saya membagikan beberapa
Koran Bola bekas, saya biarkan mereka menikmati bacaan tersebut kurang lebih sepuluh menit. Sesaat
kemudian mereka asyik dengan artikel yang mereka sukai. Disaat seperti inilah saya meminta mereka
untuk mencari judul sederhana dan menuliskan 10 judul untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Awalnya memang sulit, tapi mereka berusaha keras untuk mendapatkan tandatangan saya sebagai
gurunya jika bisa menyelesaikan 10 judul bacaan. Kompetensi yang diharapkan adalah, siswa mampu
menterjemahkan dalam bahasa Inggris, memperbanyak kosa kata, penerapan structure dengan tepat.

Sentuhan yang ketigabagaimana pendidik mengarahkan siswanya untuk menyadari bahwa belajar
bahasa Inggris itu sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. Ini adalah tuntutan globalisasi dunia. Pengajar
dituntut untuk kreatif dan inovatif, untuk membuat anak didik ketagihan belajar. Biasanya saya
menerapkan sentuhan ini di luar jam pelajaran, misalnya ketika ada anak makan permen.

Saya dekati dia dan saya ajak dia untuk membahas tulisan yang tertera di bungkus permen tersebut
dengan rilek, ketika ada murid dengan tas bertuliskan bahasa Inggris, saya ajak dia untuk
menterjemahkan, dll. Ternyata, beberapa anak mulai berani menanyakan terjemahan sampul bukunya,
judul nyanyian bahkan ada anak yang minta diajarkan marah menggunakan bahasa Inggris melalui SMS.
(*)

Banyak Pendidik Belum Pahami Pentingnya EQ

Selama bertahun-tahun, IQ (Intellegencia Qoutient) telah diyakini sebagai standar kecerdasan. Namun
sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini
memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis
dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup
seseorang.

Daniel Goleman (2003), salah seorang yang memopulerkan jenis kecerdasan manusia, menganggap
adanya sebagai faktor lain yang penting dan memeengaruhi prestasi seseorang, yakni Kecerdasan
Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman
mengemukakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya
dengan inteligen, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui ketrampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan social.

Siswa yang mengikuti program “emotional literacy” (untuk meningkatkan kecerdasan emosional)
mengalami kemajuan/peningkatan dalam keberdayaan emosional (Goleman, 2003). Penelitian tentang
hubungan EQ dengan prestasi belajar ini dilaksanakan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna.
Di Indonesia, penelitian untuk melihat hubungan antara EQ dan IQ dengan prestasi belajar dilakukan
oleh Sri Lanawati (1999) pada siswa SMA di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi Culture Fair
Intelligence Test (CFIT) dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil
ujian caturwulan III tahun ajaran 1997-1998. Sedangkan EQ adalah skor yang diperoleh siswa pada alat
Emotional Intelligence Inventory (EII) yang telah diadaptasi oleh peneliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Hasil yang diperoleh adalah 1). Ada hubungan bermakna antara IQ dan prestasi belajar siswa, 2). Tidak
ada hubungan bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan inteligensi (IQ), dan 3). Tidak ada
hubungan yang bermakna antara kecerdasan emosional (EQ) dan prestasi belajar.

Hasil penelitian di Indonesia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitian Goleman di sekolah di
Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EQ dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Mungkin perbedaan ini disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia lebih berorientasi pada
pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional
dalam proses belajar mengajar. Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar
adalah kemampuan rasional, seperti kemampuan berbahasa dan berhitung.

Pendidik ternyata juga salah satu penyebab perbedaan ini. Banyak tenaga pendidik yang belum
mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.

Selain itu, siswa belum pernah memeroleh pendidikan pengenalan emosi sendiri, baik di sekolah
maupun dalam keluarga, sehingga mereka cenderung buta emosi (emotional illiteracy), atau tidak sadar
akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendalikan emosi serta bagaimana
mengungkapkan emosi secara benar.

Dari pengalaman dari luar maupun dalam negeri, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional
memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik serta orangtua secepatnya
diberi kesempatan untuk mengikuti program yang dapat membantu mereka bagaimana memahami
emosi diri dan emosi orang lain, terutama generasi muda yang menentukan masa depan bangsa dan
negara. (*)

You might also like