You are on page 1of 26

PANGAN MURAH ATAU KESEJAHTERAAN PETANI?

Ada suatu keunikan cara pandang kita pada kebijakan pangan dan isu kemakmuran petani.
Secara sadar atau tidak sadar baik perorangan maupun kolektif sebagai bangsa, nampaknya
kita masih memiliki logika berpikir dan cara pandang yang ambivalen terkait dengan
kebijakan pertanian dan lebih khusus lagi pangan.
Di satu sisi, sejak awal kemerdekaan kita memiliki jargon terhadap perbaikan nasib rakyat
kecil yang sebagian besar adalah petani-petani gurem di berbagai penjuru tanah air. Hal yang
cukup nyata adalah prioritas pembangunan yang pada awalnya difokuskan pada pertanian.
Revolusi hijau (green revolution) yang dikenalkan sejak awal 1970-an dengan berbagai
program pendukungnya merupakan salah satu contoh upaya untuk memberi perhatian
perbaikan nasib petani.
Dalam beberapa dekade terakhir, isu perbaikan nasib rakyat kecil juga menjadi salah satu
tema sentral yang kerap mencuat ketika menjelang masa pemilihan anggota legislatif pusat
dan daerah serta pemilihan kepala daerah dan pucuk pimpinan negara. Jargon keberpihakan
pada wong cilik dan petani gurem menjadi primadona bagi setiap kampanye untuk
mendulang perolehan suara pemilih.
Logika atas jargon pembelaan pada rakyat kecil dengan menjanjikan dan mempromosikan
berbagai program pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan produksi pertanian
sehingga pendapatan petani meningkat dan pada gilirannya kehidupan ekonominya
membaik. Di sisi yang lain, pada saat yang sama juga dihembuskan janji-janji manis untuk
menciptakan sandang dan pangan murah bagi rakyat. Isu pangan murah selalu menjadi salah
satu kata kunci kampanye baik di pusat dan daerah. Tengok saja pada berbagai?kempanye
calon anggota legislatif dan juga calon kepala daerah bahkan juga calon kepala negara.
Ada sesuatu yang menyesatkan (missleading), bagaimana mungkin petani akan memperoleh
pendapatan yang lebih baik kalau tenyata harga bahan pangan yang diproduksinya dengan
kerja sangat keras juga dikampanyekan untuk dihargai dengan sangat murah (ideologi pangan
murah). Meskipun dalam batas tertentu masih ada kemungkinan adanya kenaikan pendapatan
dengan upaya penggunaan berbagai input dan tekonologi baru yang mampu meningktkan
produktifitas. Sehingga meskipun dengan tingkat harga yang sama tetapi jika kuantitasnya
meningkat maka total pendapatannya akan meningkat.
Sejarah panjang pembangunan pertanian telah menunjukkan, lebih khusus dalam hal
produktifitas padi sawah, Indonesia dengan produktivitas padi sebesar 5-6 ton/ha sebenarnya
telah mencapai tingkat produktifitas yang tinggi secara internasional dan hanya kalah dari
Jepang, Cina, Korea dan Taiwan. Melihat fenomena ini, meskipun masih ada kemungkinan
ditingkatkan, tetapi nampaknya tidak akan ada dampak yang luar biasa. Sehingga harapan
kenaikan pendapatan petani tanpa perubahan kebijakan harga sulit diwujudkan. Peningkatan
produktivitas saja tidak akan banyak membantu perbaikan pendapatan petani.
Kepemilikan lahan petani kita juga sangat kecil, petani Indonesia termasuk dalam golongan
petani gurem yang umumnya hanya mengelola lahan sekitar 0,25 hektar/keluarga tani.
Bahkan cukup banyak petani kita yang sebenarnya buruh tani karena mereka tidak memiliki
lahan sama sekali (landless) dan mereka menggantungkan hidupnya dari jasa buruh untuk
berbagai aktivitas pertanian atau sebagian merupakan panyakap dan penyewa. Dengan
kepemilikan lahan yang sangat kecil, peningkatan produksi tidak akan berdampak nyata bagi
peningkatan pendapatan yang diterima petani. Apalagi kalau harga yang diterima juga tidak
berubah.

1
Idelogi pangan murah pada awalnya memang diterapkan di banyak negara terutama pada saat
gencarnya tahap awal pembangunan ekonomi. Sebagimana dinyatakan oleh PC. Timmer
(2002), kebijakan harga pangan murah awalnya ditempuh untuk membantu sektor indutri.
Dengan harga pangan yang rendah maka upah tenaga kerja sektor indutri juga dapat ditekan
dan sebagai akibatnya keuntungan sektor industri akan meningkat. Keuntungan ini yang
diharapkan akan dinvestasikan kembali sehingga secara keseluruhan akan mempercepat
pertumbuhan ekonomi nasional.
Dari kebijakan harga pangan murah ini tentu sektor yang sangat diuntungkan adalah sektor
industri karena dapat menekan upah buruhnya. Namun bagi sektor pertanian, kebijakan ini
sangat memprihatinkan, petani menjadi tidak bergairah untuk menerapkan inovasi baru serta
meningkatkan produktivitasnya karena tidak ada rangsangan atau insentif terhadap
peningkatan pendapatannya. Apakah mungkin kemakmuran petani akan meningkat kalau
harga pangan murah? Nampaknya tidak akan terjadi, apalagi kalau melihat situasi sumber
daya pertanian Indonesia dimana rerata kepemilikan lahan untuk memproduksi pertanian
sangat kecil.
Bagaimanapun nampaknya kebijakan perbaikan harga pertanian perlu dilakukan. Para politisi
perlu menyadari bahwa kampanye pangan murah justru akan menyusahkan petani bukannya
menguntungkan seperti jargon-jargon yang selalu dihembuskan di panggung
politik. Kenaikan harga produk pertanian akan memberikan rangsangan bagi para produsen
yaitu petani, mereka akan bergairah untuk bekerja lebih keras sehingga produktivitasnya
meningkat karena tahu kalau mereka melakukan itu pendapatnnya akan meningkat dan
kehidupan ekonomi keluarganya akan membaik. Selain itu, petani akan memiliki kemampuan
daya beli (purcashing power) yang lebih baik terhadap barang industri dan jasa sehingga
permintaan akan barang industri juga akan meningkat. Pada gilirannnya, sektor industri dan
jasa juga akan terdorong untuk lebih produktif karena adanya peningkatan permintaan.
Akhirnya siklus ini secara keseluruhan juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Tentu kebijakan pangan yang tidak murah akan berdampak dan menyulitkan bagi beberapa
pihak. Pihak yang akan sangat terimbas adalah kelompok miskin baik di kota maupun di
desa. Untuk mengatasi persoalan ini, tentunya pemerintah bisa meluncurkan program jaring
pengaman sosial (social safety nets) seperti distribusi beras murah dengan sistem pentargetan
yang baik dan akurat dan bahkan bisa memberikan beras gratis untuk golongan yang tidak
memiliki kemampuan untuk mengakses pangan.
Kisah sukses Jepang yang mengalami masa sulit bagi petaninya di awal pembangunan
ekonomi selain karena kebijakan pangan murah dan pajak pertanian yang tinggi, akhirnya
dapat terbayar dari kebijakan pembangunan pertanian yang sangat berpihak dan melindungi
petani. Kebijakan harga pertanian yang berpihak pada produsen serta kebijakan-kebijakan
yang lain dapat meningkatkan kemakmuran petani. Saat ini petani Jepang meskipun memiliki
masalah kelangkaan tenaga kerja, namun secara ekonomi mereka adalah golongan
masyakarat yang memiliki kehidupan sangat mapan.

Subejo

Dosen Universitas Gadjah Mada;The University of Tokyo, Department of Agricultural and


Resource Economics (PhD Candidate) Ketua IASA (Indonesian Agricultural Sciences
Association) Jepang

2
30 March 2009 | Dilihat 180 kali

Andalkan Petani Gurem


Jakarta, KOMPAS-Ketersediaan pangan Indonesia kian bergantung pada petani yang
lahannya semakin sempit. Hingga saat ini pemerintah belum melakukan perubahan mendasar
dalam pembangunan sektor pertanian.
Demikian disampaikan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam
diskusi ‘Kritik atas Kebijakan Pertanian Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla’ di Jakarta,
Rabu (4/2). Henry mengatakan, ketergantungan pada petani yang lahannya semakin sempit
akan menimbulkan persoalan serius di masa datang.
“Apalagi konversi lahan pertanian terus terjadi. Konflik agraria juga terus meningkat
sepanjang tahun. Di sisi lain, jumlah petani kecil yang tergusur dari lahan garapannya sebagai
dampak kebijakan pemerintah yang proliberalisasi juga semakin banyak,” ujar Henry.
Pengamat pertanian, Khudori, menjelaskan, porsi petani berlahan sempit, atau petani gurem,
pada tahun 1993 hanya 51,9 persen dari 20,8 juta rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003,
atau 10 tahun kemudian, porsi petani gurem 53,9 persen dari total rumah tangga petani.
Tahun 2008, persentase petani gurem diproyeksikan 55,1 persen.
“Dengan semakin banyaknya jumlah petani gurem, usaha tani tanaman pangan menjadi
kurang menjanjikan,” kata Khudori.
Henry menjelaskan, pada tahun 2007 jumlah rumah tangga petani kecil yang tergusur dari
lahan garapannya 24.257 kepala keluarga. Tahun 2008 meningkat menjadi 31.267 kepala
keluarga.
Namun, hingga kini, pemerintah belum juga merealisasikan redistribusi tanah kepada rakyat,
seperti yang dicanangkan pemerintahan Yudhoyono-Kalla sejak tahun 2006, dengan Program
Pembaruan Agraria Nasional. Padahal, petani semakin sulit mengakses lahan pertanian.
Menurut Henry, konflik agraria dan penurunan luas lahan petani akan terus meningkat selama
pemerintah tidak melakukan apa-apa, yaitu menghentikan dan mencegah perluasan
kepemilikan lahan oleh pemodal, dan penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan lahan yang
melampaui batas.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan perlunya
mengalihkan sebagian atau separuh dari total subsidi pupuk untuk pembangunan infrastruktur
pertanian.
Saat ini, menurut Anton, masalah utama yang dihadapi petani adalah infrastruktur, baik jalan
maupun irigasi. Mengalihkan sebagian subsidi pupuk tahun 2009, yang mencapai Rp 17,4
triliun, untuk pembangunan infrastruktur pertanian, akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Mengoptimalkan produktivitas dan indeks pertanaman, kata Anton, bisa meningkatkan
produksi beras Indonesia sampai 50 persen. Di Vietnam, misalnya, subsidi pupuk ditiadakan.
Akan tetapi, dukungan infrastruktur pertanian ditingkatkan. ***(mas-kompas)

Sumber: Kompas 5 February 2009

3
PERAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN
KESEJAHTERAAN
PETANI GUREM

Latar Belakang Masalah

Sejak manusia pertama kali menempati bumi, lahan atau tanah sudah menjadi
salah satu unsur utama yang digunakan manusia untuk menunjang
kelangsungan kehidupan. Konkritnya, lahan difungsikan sebagai tempat manusia
beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Aktivitas yang pertama kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan yang digunakan untuk bercocok tanam
(pertanian). Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat di dunia (termasuk
Indonesia) yang bekerja sebagai petani. Karena subur dan luasnya lahan di
Indonesia, menyebabkan negara ini menyandang gelar sebagai negara agraris.

Kebanyakan mata pencaharian dari masyarakat Indonesia adalah sebagai


petani. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia
menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk. Hal ini menjadikan
sektor pertanian menjadi sangat strategis bagi masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan. Setidaknya terdapat lima alasan mengapa sektor pertanian
menjadi strategis. Pertama, pertanian merupakan sektor yang menyediakan
kebutuhan pangan masyarakat. Kedua, pertanian merupakan penyedia bahan
baku bagi sektor industri (agroindustri). Ketiga, pertanian mampu memberikan
kontribusi bagi devisa negara melalui komoditas yang diekspor. Keempat,
pertanian mampu menyediakan kesempatan kerja bagi tenaga kerja pedesaan.
Dan kelima, sektor pertanian perlu dipertahankan untuk keseimbangan
ekosistem (lingkungan).1
Ironisnya, meskipun sektor pertanian dianggap strategis, tapi pada
kenyataannya kondisi petani semakin tertekan. Menurut Sensus Pertanian 2003,
jumlah rumah tangga petani gurem (penggarap kurang dari 0,5 ha) adalah 13,7
juta rumah tangga, meningkat 26,85% dibanding tahun 1993 yang jumlahnya
10,8 juta rumah tangga. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah
tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat, dari 52,7% (1993) menjadi
56,5% (2003).
Petani gurem ini mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Dari 16,6% rakyat
Indonesia yang termasuk kelompok miskin, 60%-nya adalah kalangan petani
gurem.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan petani di Indonesia
masih terabaikan. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari kebijakan nasional
dalam mengembangkan sektor pertanian (politik pertanian), peran aparat dan
organisasi pemerintah, dinas-dinas pertanian dan pihak terkait lainnya. Akhir-
akhir ini banyak kebijakan pemerintah yang tidak mampu untuk meningkatkan
kesejahteraan petani. Kebijakan Impor beras seolah-olah menunjukkan bahwa
Pemerintah sekali lagi telah gagal dalam membela nasib kalangan para petani.
Selain itu, masih sangat banyak petani yang hidup secara subsisten, dengan
mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Khususnya
para petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang
mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela.
Masalah mengenai kesejahteraan petani adalah permasalahan yang harus
benar-benar diselesaikan secepat mungkin oleh pemerintah agar jumlah rakyat
miskin di Indonesia tidak terus bertambah. Selain itu, dengan meningkatnya
kesejahteraan petani maka akan meningkat pula ketahanan pangan Indonesia.

4
Disinilah diperlukan hukum pertanian, yang mengatur dan melindungi pertanian,
khususnya kesejahteraan para petani. Hukum pertanian mengatur masalah
agraria dan keanekaragaman hayati, aspek pertanian modern, serta kedaulatan
pangan. Dengan adanya pengaturan hukum pertanian yang tepat akan mampu
memberikan perlindungan hukum bagi manusia dan alam terhadap dampak
kehidupan modern.

I.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan beberapa


permasalahan, antara lain :
1.Seberapa jauh peran pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
petani?
2.Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat khususnya petani?
3.Faktor-faktor apakah yang sebenarnya mempengaruhi naik-turunnya
kesejahteraan petani di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

II. Pertanian Indonesia


II.1. Pengertian Pertanian
Dalam ensikopedia Indonesia, pertanian adalah proses menghasilkan bahan
pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan cara memanfaatkan
sumber daya tumbuhan dan hewan. Pemanfaatan sumber daya ini terutama
berarti budi daya (bahasa Inggris: cultivation, atau untuk ternak: raising). Namun
demikian, pada sejumlah kasus — yang sering dianggap bagian dari pertanian —
dapat berarti ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan
(bukan agroforestri).
Berdasarkan pasal 1 nomor 3 Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Khutanan menyatakan “Pertanian
mencakup tanamn pangan, holtikultura, perkebunan, dan peternakan yang
kemudian disebut Pertanian adalah seluruh kegiatan yang meliputi usaha hulu,
usaha tani, agroindustri, pemasaran, dan jasa menunjang pengelolaan sumber
daya hayati dalam agroekosistem yang sesuai dan berkelanjutan, dengan
bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk mendapatkan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Usaha pertanian memiliki dua ciri penting: (1) selalu melibatkan barang dalam
volume besar dan;
(2) proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul
karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya
dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam
proses produksi.
Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah
dapat mengurangkan ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia
masih tetap demikian.

II.2. Tujuan Hukum Pertanian

5
Pertanian di Indonesia belum memiliki hukum yang pasti terutama yang
mengatur khusus mengenai kesejahteraan para petani. Tujuan pertanian di
Indonesia berpijak pada kerangka hukum agrarian yaitu terletak pada Penjelasan
Umum I UUPA, yang pada intinya terdapat tiga tujuan, yaitu untuk :

1.menjamin kesejahteraan petani


2.menjamin pangan penduduk dengan harga yang pantas
3.menjamin lingkungan hidup yang sehat dan pemeliharaan pemandangan.

Tujuan pertama dan utama di dalam UUPA yaitu meletakkan dasar-dasar hukum
agrarian nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Hal
ini berarti pemerintah mempunyai tugas pertama dan utama dalam bidang
pertanian untuk mensejahterakan petani. Yang menjadi pertanyaan mendasar
adalah apakah pemerintah telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani?
Sejauh ini telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah melalui dinas
pertanian. Namun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani kebanyakan selalu terbentur dengan kondisi politik dan
perekonomian Indonesia yang selalu diwarnai pro dan kontra dalam setiap
pengambilan kebijakan. Contohnya saja adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah mengenai dinaikkannya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atas
gabah dan beras. Lewat Inpres No 1/2008 pengganti Inpres No 3/2007 tentang
Kebijakan Perberasan, per 22 April 2008 harga per kg gabah kering panen (GKP),
gabah kering giling (GKG), dan beras masing-masing naik dari Rp 2.000 menjadi
Rp 2.000, Rp 2.600 menjadi Rp 2.840, dan Rp 4.000 jadi Rp 4.300 (naik 7,5-10
persen. Namun, ternyata kenaikan HPP ini tidak mampu untuk mendongkrak
kesejahteraan petani terutama apabila dilihat dari besar kenaikan yang hanya
sedikit di atas inflasi kumulatif (April 2007-Maret 2008).
Lazimnya, HPP dibuat sebelum musim tanam dan diberlakukan saat panen raya
agar ada insentif petani. Kenyataan yang terjadi adalah panen tinggal sebulan
namun sebagian besar petani sudah tidak memiliki gabah/beras lagi. HPP juga
kian kehilangan makna karena sudah jadi kenyataan hidup sehari-hari bahwa
kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, terutama input usaha tani, terjadi
jauh sebelumnya. Bukan hanya kali ini, sesungguhnya sejak pemerintah memilih
kebijakan HPP (2002) sebagai pengganti beleid harga dasar, fungsi kebijakan
harga sebagai instrument, kesejahteraan petani telah terdegradasi. HPP
bukanlah bentuk perlindungan harga, baik harga langit-langit (ceiling price)
maupun harga dasar (floor price). Batu pijak konsep HPP adalah kuantitas, yaitu
membeli sejumlah tertentu beras/gabah (untuk kebutuhan stok nasional dan
raskin) pada harga yang ditentukan. Karena sifatnya pada target kuantum, maka
pengaruh pembelian terhadap tingkat harga di pasar menjadi residual.
II.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesejahteraan Petani

Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani antara


lain :
a.tanah atau lahan pertanian, banyaknya lahan kosong yang disia-siakan serta
keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha besar menjadikan lahan
pertanian abadi semakin menurun. Rentang waktu antara tahun 1992-2002 laju
tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare. Kini sudah naik menjadi 145 ribu
hektar/tahun.

6
b.harga-harga pupuk, bibit, peralatan pertanian dan biaya-biaya lain yang harus
dikeluarkan oleh petani biasanya tidak sebanding dengan pendapatan petani itu
sendiri.
c.peraturan-perundangan sangat penting pengaruhnya dalam peningkatan
kesejahteraan petani mulai dari Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, Undang-undang No. 56 tahun 1960
tentang Penetapan luas tanah pertanian, peraturan pemerintah No. 36 tahun
1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan peraturan
perundangan lainnya sangatlah mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani.
d.peran aparat pemerintah dan organisasinya dalam meningkatkan
kesejahteraan petani dengan cara menjalankan berbagai kegiatan agar mampu
menunjang kesejahteraan petani.
e.dan lain-lain.

II.4. Peran Pemerintah melalui Departemen Pertanian Indonesia

Pemerintah dalam hal ini melalui Departemen Pertanian menyusun berbagai


konsep dan strategi yang berhubungan dengan pertanian, petani samai dengan
kondisi pangan di Indonesia. Visi dari Departemen Pertanian sendiri adalah
“Terwujudnya pertanian tangguh untuk kemantapan ketahanan pangan,
peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan
kesejahteraan petani”.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah melalui Departemen
Pertanian dalam ragka meningkatkan kesejahteraan petani antara lain :
1.Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), yang merupakan skim kredit
atau pembiayaan yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian dengan Bank
Pelaksana SP3 khusus untuk pembiayaan petani yang mempunyai kendala
dalam hal kekurangan anggunan.
2.Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian
(Prima Tani), yang dilaksanakan secara partisipatif oleh semua pemangku
kepentingan ( stake holder) pembangunan pertanian, dalam bentuk laboratorium
agribisnis.
3.Poor Farmers Income Improvement Trough Innovation Project (PFIITIP), yaitu
Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi, dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan/pendapatan petani miskin melalui inovasi
pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Untuk itu
diperlukan peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian, dukungan
pengembangan inovasi pertanian, serta upaya pemberdayaan petani.
Pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan, pengembangan
kelembagaan serta perbaikan sarana/prasarana yang dibutuhkan di desa,
merupakan alternatif dalam pemberdayaan petani untuk meningkatkan
kemampuan inovasi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan petani sangatlah baik walaupun masih banyak kelemahan dalam
pelaksanaannya. Semoga pemerintah terus membela hak-hak para petani agar
kesejahteraan meningkat. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan petani
maka secara otomatis meningkat pula ketahanan pangan di Indonesia.

BAB III

7
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
Dari pembahasan permasalahan tersebut di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan, antara lain :

1.Sebenarnya peran pemerintah dan segala aparatnya sangatlah penting.


Terutama dalam rangka pembuatan konsep dan strategi. Pemerintah melalui
Departemen Pertanian, mengadakan beberapa kegiatan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan petani, yaitu dengan cara mengoptimalkan lahan
tidur sebagai areal pertanian; SP3 (Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian) yang
bertujuan untuk membantu petani dalam hal pembiayaan; Prima Tani (Program
Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian); PFIITIP
(Poor Farmers Income Improvement Trough Innovation Project); serta
diadakannya berbagai penyuluhan dan workshop. Kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah melalui Departemen Pertanian memang sangat cemerlang untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Namun hal ini akan sia-sia apabila terdapat
kebijakan-kebijakan lain yang sangat kesejahteraan petani seperti kebijakan
impor beras dan konversi lahan pertanian.
2.Terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam rangka mensejahterakan
petani baik itu di pihak pemerintah maupun di pihak petani sendiri.

a.di pihak pemerintah, adanya kebingungan di pihak pemerintah dalam hal


pemasukan sebanyak-banyaknya ke kas negara, misalnya saja pilihan antara
memberikan atau membagikan lahan kosong akan lebih menguntungkan apabila
diserahkan ke pengusaha besar daripada ke petani; pembagian lahan kosong
kepada petani masih belum jelas pengaturannya, karena dikhawatirkan lahan
tersebut bukan dikelola oleh petani; kurang tegasnya pembatasan impor pangan
dari luar negeri.
b.di pihak petani, masih kurangya pengetahuan para petani mengenai
mekanisme pertanian baik itu dari segi yuridis maupun mekanismenya; terdapat
pemikiran dari para petani bahwa lebih menguntungkan bekerja sebagai buruh
di perkotaan daripada menjadi petani di sawah.

3.Faktor-faktor yang mempengaruhi naik-turunnya tingkat kesejahteraan petani


di Indonesia, yaitu tanah atau lahan pertanian; harga pupuk, bibit, serta
peralatan pertanian; harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras;
peraturan-perundangan; peran aparat,organisasi, serta koperasi-koperasi
pertanian.
III.2. Saran
Saran yang kami ajukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah
agar pemerintah mampu memfokuskan diri untuk mengusahakan kesejahteraan
petani dengan lebih menyusun lagi konsep dan strategi pertanian secara mantap
karena dengan meningkatnya kesejahteraan petani maka secara otomatis
ketahanan pangan pun akan meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

8
Gautama, Sudargo. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni. Bandung,
1981.
Hardiyanto, Andik. Agenda Reformasi di Indonesia Sekarang. Konsorsium
Pembaruan Agraria. Bandung. 1998.
Harsono, Budi. Hukun Agraria Indonesia. Jambatan. Jakarta, 2003.
Hatta, Mohammad. Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara Kesatuan.
Media Abadi. Yogyakarta, 2005.
Sukanti Hutagalung, Arie. Program Redistribusi Tanah di Indonesia. Rajawali.
Jakarta,1985.
S. Sumardjono, Maria. Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria. Andi
Offset. Yogyakarta, 1982.
Supriyadi. Hukum Agraria. Sinar Grafika. Jakarta, 2007.

Sumber-sumber lain:
__________________________Sosialisasi Program Pembaharuan Agraria Nasional
(PPAN) dan Sosialisasi Juklak dan Juknis Program Kerja BPN RI. Badan Pertanahan
Nasional RI. Jakarta, 2007.
__________________________Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Beserta Petunjuk Pelaksanaannya. Depdagri Direktorat Jenderal Agraria
Direktorat Landreform. Jakarta, 1981.
__________________________. Peraturan Perundang-undangan Pertanahan. Biro
Hukum dan Humas Badan Pertanahan Nasional. Jakarta, 2002.
Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Pertanahan.

9
Petani Makin Miskin
Produksi Naik, Pendapatan Riil Tidak Meningkat
Senin, 26 April 2010 | 05:01 WIB

Jakarta, Kompas - Pendapatan riil petani tidak juga meningkat meski produksi
pangan terus meningkat. Padahal, setiap tahun, 25 juta rumah tangga petani
memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar,
yang nilainya Rp 258,2 triliun.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai tukar petani terus merosot. Pada
tahun 1976, nilai tukar petani 113, pada 1979 dan 1989 bahkan mencapai angka
tertinggi, yakni 117. Namun, pada 1993 merosot menjadi 95 dan tahun 2009
nilai tukar petani bulanan tertinggi hanya 101.
Penguasaan lahan petani juga makin sempit. Jumlah petani yang berubah status
menjadi buruh tani pun makin banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri.
Sumitra (62), petani Desa Baiawak, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat, misalnya, kini menggarap lahan yang disewanya. Lahan pertanian
seluas 0,5 hektar yang pernah dimilikinya telah terjual.
”Sewa lahan terus naik, belum lagi biaya pupuk, obat, upah buruh, dan bayar
pompa. Boro-boro beli barang, bisa makan cukup dan tak punya utang saja
sudah sangat bersyukur,” katanya, akhir pekan lalu di Majalengka.
Jumlah petani gurem atau dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar pada
sensus pertanian tahun 1993 mencapai 10,69 juta rumah tangga petani. Namun,
setahun kemudian, jumlahnya naik 2,6 juta rumah tangga petani menjadi 13,29
juta rumah tangga petani.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Endriatmo
Soetarto, jumlah petani yang ”lapar” akan tanah makin banyak. Di Mahkamah
Agung saat ini ada sekitar 7.000 kasus agraria.

Untuk itu, harus diberikan akses terhadap lahan kepada petani melalui
implementasi reforma agraria. Untuk memberikan jaminan lahan sebagai
sumber kesejahteraan petani, kata Endriatmo, perlu dukungan keuangan,
teknologi, dan pendampingan agar petani tahu bagaimana memanfaatkan tanah
untuk kesejahteraan mereka sehingga tidak berpindah ke pemilik modal.

Endriatmo meyakini, pemberian akses lahan bagi petani disertai dukungan


pengelolaan akan signifikan meningkatkan kesejahteraan petani. Menurut Ketua
Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian
Universitas Jember Rudi Wibowo, peningkatan produksi pangan tidak mampu
memberikan peningkatan pendapatan riil yang memadai bagi aktor utama
peningkatan produksi pangan, yaitu petani.
Ini karena kebijakan pangan nasional terjebak dalam peningkatan produksi yang
membabi buta. Peluang investasi usaha budidaya pangan diberikan kepada
swasta nasional dan multinasional, yang selama ini menggarap sarana produksi
yang menjadi kunci penguasaan pangan nasional.

Rudi menegaskan, kesejahteraan petani terabaikan akibat ketidakjelasan arah


pengembangan teknologi dan tidak konsistennya kebijakan. Sementara itu,
kelembagaan yang berkenaan dengan petani dan pertanian cenderung makin
tergerus.

10
Guru Besar Emeritus Institut Pertanian Bogor, Bungaran Saragih, dalam bukunya
Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian,
menyebutkan, politik pertanian pada masa lalu yang berorientasi pada
peningkatan produksi ”menjebak” petani pada kegiatan usaha tani yang nilai
tambahnya kecil.
Sementara itu, kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah besar, seperti
perdagangan, pengadaan sarana produksi pertanian, serta kegiatan pengolahan
hasil dan perdagangan produk pertanian (off farm) diserahkan kepada yang
bukan petani.
Struktur usaha tani yang disparsial, asimetris, dan cenderung terdistorsi
menimbulkan masalah transmisi, seperti transmisi harga tidak simetris.
Penurunan harga di tingkat konsumen langsung ditransmisikan dengan cepat
dan sempurna ke petani. Namun, kenaikan harga ditransmisikan secara lambat
dan tidak sempurna ke petani.
Persoalan lain yang juga mesti dihadapi petani adalah mudah rusaknya
komoditas pertanian. Akibatnya, petani ”mudah menyerah” pada kehendak
pedagang, terutama soal harga semata agar produknya segera terjual sebelum
rusak. Ini yang membuat pendapatan petani tak juga meningkat secara riil.
Riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul
Ulama Kabupaten Jombang di 21 kecamatan menyebutkan, petani tak punya
daya tawar. Penyediaan sarana dan harga hasil panen ditentukan oleh pemilik
modal (pedagang). Dengan kata lain, semakin tinggi produktivitas petani,
semakin tinggi nilai tambah yang diterima pelaku dan kegiatan usaha di luar
usaha tani.
Kebijakan elitis
Ketimpangan keadaan itu, menurut Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian
Universitas Gadjah Mada M Maksum, karena kebijakan pertanian pada umumnya
ditentukan sangat elitis.
Petani, kata Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, masih
sulit mengakses permodalan dan belum mendapat dukungan teknologi
pascapanen yang memadai.

Hal itu pula yang dihadapi petani di Jombang. Panen musim hujan tahun ini,
menurut Wakil Kepala Bulog Subdivre Surabaya Selatan Awaludin Iqbal,
sebanyak 417 ton dari 825 ton beras petani tak memenuhi syarat. Jumlah ini dua
kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009.

Hal ini antara lain karena penanganan pascapanen yang kurang baik akibat tidak
adanya sarana dan prasaran pascapanen yang memadai. ”Saya jual saja gabah
yang masih agak basah ke tengkulak Rp 1.900 per kilogram, yang penting ada
yang beli,” kata Siman, petani Desa Miyagan, Kecamatan Mojoagung, Jombang.
Padahal, Bulog membeli gabah kering panen di tingkat petani Rp 2.640 per
kilogram, dengan kadar air maksimum 25 persen dan hampa 20 persen.
Menguntungkan industri
Rencana pemerintah mengembangkan kawasan pangan (food estate) juga tidak
menjamin peningkatan kesejahteraan petani. Menurut Guru Besar Teknologi
Industri Pertanian IPB E Gumbira Said, pengembangan usaha budidaya oleh
pengusaha, seperti food estate, hanya menguntungkan industri besar dan
perolehan devisa negara. Tidak berimbas nyata ke petani.

Rudi menegaskan, terkait pengembangan kawasan pangan, pemerintah perlu


mempertimbangkan keberadaan petani. ”Kemitraan mutualistik antara petani
dan badan usaha milik negara atau daerah lebih ideal. Jika tidak, peminggiran
peran petani akan terjadi secara perlahan,” katanya.

11
Menurut Rudi, perlu dukungan kebijakan makro, baik moneter maupun fiskal,
untuk mendorong dan melindungi pertanian. Hal itu terutama berupa kebijakan
yang mendorong keterkaitan antara urban dan rural area melalui kegiatan
produktif sektor usaha mikro kecil dan menengah.

”Ini penting tidak saja untuk mendorong pengembangan agribisnis dan


kemandirian pangan, tetapi sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan
pengangguran,” ujar Rudi.

Suara Karya, January 11, 2006


OPTIMALKAN BANTUAN BAGI PETANI

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai
36,147 juta orang, dan 21,265 juta (58,8%) di antaranya bekerja di sektor pertanian. Meski
dengan data yang secuil itu saja, dipastikan segera terlintas dalam benak siapa pun bahwa
para petani perlu mendapat perhatian dan pemerintah perlu melakukan tindakan pemihakan
kepada mereka. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bentuk perhatian dan pemihakan yang
perlu diberikan agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan?
Tidak jarang dan malah sering, tawaran pendapat untuk menolong orang miskin tidak
didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Malah yang lebih tragis lagi, orang miskin atau
mereka yang tergolong kecil dijadikan sebagai barang dagangan atau umpan untuk
mendapatkan sesuatu. Masalah impor beras dan masalah pemakaian formalin oleh para
pelaku usaha adalah contoh yang paling aktual. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
diungkapnya pemakaian formalin, terutama oleh industri makanan, akan memengaruhi
kegiatan usaha sekitar 8,5 juta pengusaha UKM (usaha kecil dan menengah) dan mikro.
Pendapat lain mengatakan bahwa keputusan pemerintah mengimpor beras menunjukkan
bahwa pemerintah tidak sensitif terhadap nasib petani atau tidak memerhatikan nasib petani.
Pendapat yang dikemukakan kelihatannya indah dan mereka yang mengucapkannya dapat
dianggap sebagai pejuang rakyat kecil atau petani. Tetapi kalau dikaji lebih jauh,
gambarannya akan lain.
Seandainya kita beranggapan bahwa rata-rata konsumen dari setiap UKM dan usaha mikro
itu adalah 50 orang, maka jumlah penduduk Indonesia akan tercatat menjadi 400 juta orang.
Dan, kalau UKM dan usaha mikro secara rata-rata hanya melayani 25 orang maka usaha yang
bersangkutan sangat sulit atau tidak mungkin hidup dan/atau untuk dikembangkan. Dengan
kajian yang sangat dangkal ini secara jelas kita dapat berkesimpulan bahwa pendapat tersebut
mengada-ada atau asal dikemukakan tanpa didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Dan,
kalau pernyataan tersebut ditanggapi secara serius bukan tidak mungkin akan lahir kebijakan
yang justru merusak bangsa Indonesia.
Keputusan pemerintah mengimpor beras belakangan ini mendapat sorotan dan menimbulkan
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan. Sekarang tampaknya sudah saatnya
perdebatan atau polemik diakhiri melalui suatu solusi yang paling minimal risikonya serta
paling maksimal manfaatnya.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bila produksi (penawaran) melebihi kebutuhan
(permintaan) maka harga kebutuhan tersebut akan mengalami penurunan, dan sebaliknya bila
kebutuhan lebih besar dari jumlah produksi maka harga kebutuhan tersebut akan meningkat.

12
Atas dasar kaidah ini, beberapa alternatif intervensi dapat dilakukan agar dapat meraih
sasaran yang dikehendaki.
Di masa lalu ketika sebagian besar budget rumah tangga diperuntukkan membeli sembilan
bahan pokok yang di dalamnya termasuk beras sebagai komponen utama, pemerintah
berusaha agar harga beras stabil. Fluktuasi harga beras dapat memicu terjadinya instabilitas
politik sehingga kejadian tersebut harus dihindarkan. Yang penting mendapat perhatian dan
perlu dipertahankan adalah "nilai tukar petani" secara terus menerus harus mengalami
perbaikan. Dengan memberi perhatian yang besar ke sektor pertanian, Indonesia berhasil
menjadikan dirinya sebagai negara yang sebelumnya pengimpor beras terbesar di dunia
menjadi negara yang surplus beras.
Perubahan status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada ternyata
dibarengi perubahan-perubahan lainnya. Kalau pada tahun 1993 jumlah rumah tangga
pertanian adalah 20,8 juta maka pada tahun 2003 jumlahnya telah mencapai 25,6 juta rumah
tangga yang berarti secara rata-rata tumbuh 2,1% setiap tahun. Hasil Sensus Pertanian 2003
menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian padi/palawija mencapai 74,4% dari seluruh
rumah tangga pertanian pengguna lahan. Dengan kata lain, rumah tangga pertanian
didominasi oleh rumah tangga padi/palawija.
Yang menarik perhatian dan sekaligus memprihatinkan adalah bahwa jumlah petani "gurem",
yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, meningkat 2,4% per
tahun, dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003.
Dengan perkembangan tersebut maka secara nasional jumlah rumah tangga petani gurem
sudah lebih banyak dari rumah tangga petani non-gurem.
Di pulau Jawa gambarannya lebih pincang. Terdapat 9,990 juta keluarga petani gurem
(71,53%) dari sebanyak 13,965 juta rumah tangga pertanian. Dengan produksi gabah kering
giling sekitar 4,538 ton per ha maka dengan mudah dapat diketahui bahwa kehidupan petani
gurem sangat sulit. Dengan beranggapan rata-rata setiap rumah tangga pertanian terdiri dari 4
(empat) orang dan konsumsi beras per kapita sekitar 120 kg per tahun, dapat dihitung bahwa
jumlah beras yang dapat dijual oleh petani gurem ke pasar setelah dikurangi kebutuhan
konsumsi sendiri relatif kecil.
Menyimak data yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan perberasan atau
pertolongan kepada petani secara tepat sasaran dengan data yang rinci, sangat dibutuhkan.
Sekarang kita perlu mengetahui secara akurat, berapa banyak jumlah petani yang mampu
memroduksi padi atau beras yang melebihi kebutuhan konsumsinya setelah
memperhitungkan biaya produksi.
Dengan kata lain, sebelum mengambil suatu kebijakan perlu diketahui secara akurat dan rinci
menurut wilayah, berapa banyak rumah tangga petani yang tergolong defisit, berimbang, dan
surplus. Bila jumlah yang disebut pertama (petani defisit) jauh lebih banyak dari petani
surplus maka kenaikan harga padi/beras akan berakibat jumlah penduduk yang bertambah
buruk tingkat hidupnya akan lebih banyak daripada mereka yang bertambah baik tingkat
hidupnya. Pesan dari data seperti ini, "hati-hati menaikkan harga". Kebijakan yang paling
tepat adalah meningkatkan produktivitas para petani dengan menjaga harga sedemikian rupa
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Dengan uraian ini kiranya menjadi jelas bahwa dari kaca-mata ekonomi, petani di Indonesia
perlu dilihat dan dikategorikan menurut kategori tertentu, seperti kemampuan produksi dan
luas lahan yang dikuasai. Dengan cara pandang yang lebih rinci, kita tidak dengan mudah
terkecoh oleh pendapat yang seolah membela petani padahal akibatnya justru sangat fatal
bagi petani. Selanjutnya, kita akan mengetahui kebijakan stabilisasi harga dengan

13
menggunakan instrumen impor, misalnya, adalah kebijakan yang paling tepat dan efektif
dilaksanakan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan yang sebelumnya dapat dikategorikan baik menjadi
buruk karena dinodai oleh para spekulan atau pelaku usaha yang hanya mau mengeruk
keuntungan. Sekarang juga kita perlu kritis terhadap usul agar pemerintah membeli beras dari
petani lokal. Usul tersebut adalah baik bila beras yang dibeli adalah produksi lokal. Tetapi
kita hendaknya tidak menutup mata terhadap kemungkinan adanya keinginan pengusaha
tertentu yang menimbun beras (hasil impor) agar berasnya dibeli pemerintah.
Sekarang sudah waktunya pemerintah dengan tegas dan tegar memberi ganjaran pahit bagi
para spekulan yang mempermainkan nasib penduduk miskin yang berada di sektor pertanian.
Selanjutnya, sekarang harus dirumuskan kebijakan pertanian terutama yang menyangkut
beras yang benar-benar memihak pada petani. Kata kunci untuk itu adalah tersedianya data
rinci yang dibutuhkan serta terciptanya koordinasi atau sinergi antara departemen terkait.
Petani Gurem, Riwayatmu
Kini...
User Rating: /0
Rate
Poor Best
Written by Redaksi Web
Monday, 02 November 2009 09:31
Negeri ini tak lagi "gemah ripah loh jinawi" (negeri berlimpah kekayaan sumber daya alam).
Hutan tropis secara perlahan menjadi gundul, tanah subur telah di ambang jenuh akibat
pemanfaatan pupuk kimiawi secara berlebihan, hasil laut nyaris tak terjaga dari pencurian
akibat keterbatasan personel dan peralatan pendukung, serta budaya bangsa satu-per satu
diklaim negeri jiran tanpa ada perlawanan berarti. Kini, pendar zamrud khatulistiwa seakan
memudar, mengingat ketergantungan terhadap produk impor semakin tinggi.

Tatapan Rukhyat tampak lurus ke arah hamparan sawah yang baru dipanen. Bersandar di
dinding papan gubuknya, petani berusia 60 tahun ini larut dalam khayalnya.

Tidak sedikit pun rona kegembiraan di wajahnya, meski baru menerima uang hasil penjualan
gabah padi yang tumbuh di areal seluas 10 rante atau setara 4.000 meter persegi. "Siapa yang
bilang petani padi makin sejahtera," sungut Rukhyat, saat Global menyinggung uang hasil
panen yang baru diterimanya, beberapa pekan lalu di areal persawahan miliknya, kawasan
Pagar Merbau, Deliserdang.

Tanpa diduga, pensiunan PTPN 2 yang tergiur bertanam padi untuk mengisi waktu kosongnya
itu, justru meneruskan ocehan seputar kekesalannya sebagai petani gurem. Mulai dari harga
olah tanah, menyemai, memanen, hingga harga jual gabah kering panen (GKP), menurut
Rukhyat, ditentukan oleh orang lain.

Belum lagi harga pupuk kimia yang melambung dari Harga Eceran Tertinggi (HET)
pemerintah, serta biaya pestisida untuk meminimalisir hama. Artinya, sebagai petani padi, ia
tidak memiliki kekuasaan mutlak terhadap lahannya untuk menentukan hasil dari usahatani
itu. Dampaknya, hasil bertanam padi jauh dari berita-berita di berbagai media massa yang
cenderung menggiurkan.

"Kalau dihitung-hitung, satu rante hanya bisa menghasilkan duaratus ribu rupiah. Jadi, kalau
saya yang punya 10 rante, bisa dapat dua juta Rupiah. Lumayan besar memang, tapi kalau

14
dibagi dengan tiga bulan lebih, mulai masa olah tanah sampai panen, hasilnya tidak sampai
tujuh ratus ribu Rupiah per bulan," papar Rukhyat.

Ia mengaku, setiap pihak yang berkepentingan dengan proses usahatani padi seakan
memanfaatkan "aji mumpung" setiap musim tanam atau pun panen.

Sebagai contoh, saat hendak mengolah lahan untuk ditanami padi, Rukhyat terpaksa harus
membayar upah senilai Rp 35 ribu per rante dari musim tanam sebelumnya berkisar Rp 25
ribu per rante.

Begitu juga tenaga untuk menyemai dan pemanen yang terkesan seenaknya mematok harga.
Kondisi itu diperparah dengan harga jual pupuk kimiawi, seperti urea yang mencapai Rp 70
ribu per zak isi 50 kg dari HET senilai Rp 60 ribu per zak. Padahal, biaya produksi tidak
sekadar itu, tapi juga disiapkan anggaran untuk membeli benih dan pestisida.

Setelah sejumlah biaya itu dikeluarkan, Rukhyat kembali dihadapkan dengan kenyataan
lumayan pahit, harga jual GKP petani setempat anjlok menjadi Rp 2.200 per kg dari musim
tanam sebelumnya berkisar Rp 2.500 per kg. Alhasil, pemilik padi dengan luas areal
persawahan tergolong minim, yakni di bawah satu hektar (gurem -red), dipaksa pasrah
menerima kenyataan pahit tersebut.

"Hasil panen kita memang lumayan bagus, bahkan pernah sampai tujuh ton per hektar. Tapi,
kalau biaya produksinya juga mahal, sama saja dengan menguntungkan pemerintah karena
mampu mencapai target. Sementara, petani seperti saya tetap tidak bisa meningkatkan
kesejahteraan keluarga," kecamnya.

Harus diakui, Rukhyat merupakan salah satu contoh dari 1.262.421 petani gurem di wilayah
Sumatera Utara yang hingga kini tak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya
melalui usahatani padi.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian, nyaris tak pernah berhasil membantu
peningkatan kesejahteraan petani gurem. Institusi agraris ini cenderung mengejar target agar
citranya tetap terjaga secara baik melalui status bernama daerah swasembada beras.
Sebaliknya, upaya untuk membela nasib petani melalui kebijakan subsidi, hingga terakhir
pupuk, kerap kandas di tingkat pelaksanaan.

Ironisnya, para punggawa di institusi pertanian kerap sibuk (pura-pura) membahas masalah
petani di sejumlah hotel mewah dan nyaris melupakan objek bahasannya itu yang mungkin
sedang merenungi nasib, seperti Rukhyat, kenapa dilahirkan sebagai petani gurem, bukan
petani berdasi dengan areal persawahan berhektar-hektar.

15
Keadaan Ketenagakerjaan Jatim Februari 2009
528 views

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2009 sebesar 5,87 persen

• Jumlah angkatan kerja di Jawa Timur pada Februari 2009 mencapai


20.316,77 ribu orang, mengalami peningkatan sebesar 199,52 ribu orang
dibanding dengan jumlah angkatan kerja Februari 2008 yang sebesar
20.117,25 ribu orang.
• Jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Timur pada Februari 2009
mencapai 19.123,22 ribu orang, bertambah sebesar 261,86 ribu orang jika
dibandingkan dengan keadaan pada Februari 2008 sebesar 18.861,36 ribu
orang.
• Jumlah penganggur pada Februari 2009 mengalami penurunan sebesar
62,34 ribu orang atau 5,2 persen dibandingkan dengan data Februari
2008, yaitu dari 1.255,89 ribu orang pada Februari 2008 menjadi 1.193,55
ribu orang pada Februari 2009.
• Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Timur pada Februari 2009
mencapai 5,87 persen, mengalami penurunan 0,37 persen poin
dibandingkan keadaan pada Februari 2008 (6,24 persen)
• Pertanian merupakan sektor yang paling dominan dalam penyerapan
tenaga kerja di Jawa Timur. Pada Februari 2009 penduduk yang bekerja
di sektor pertanian sebesar 44,80 persen disusul dengan sektor
perdagangan sebesar 20,31 persen.
• Peningkatan jumlah pekerja cukup signifikan terjadi pada sektor
perdagangan (6,62%) dan sektor pertanian (2,52%) pada Februari 2009
dibandingkan Februari 2008. Sedangkan jumlah pekerja pada sektor lain
mengalami penurunan. Persentase penurunan tenaga kerja yang terbesar
terjadi pada sektor listrik, gas dan air minum (-16,42%), serta sektor
pertambangan (-13,75%) .
• Selama kurun waktu Februari 2008

16
Nilai Tukar Petani (NTP) Jatim Mei 2009
215 views

Nilai Tukar Petani Jawa Timur bulan Mei 2009 naik sebesar ,28%.

• Nilai Tukar Petani Jawa Timur bulan Mei 2009 naik dari 97,89 menjadi
98,17. Kenaikan ini disebabkan indeks harga yang diterima petani (It)
mengalami kenaikan, sebaliknya indeks harga yang dibayar petani (Ib)
mengalami penurunan. Dari lima provinsi di Pulau Jawa yang dilakukan
penghitungan Nilai Tukar Petani (NTP) pada bulan Mei 2009, Jawa Timur
menduduki urutan kedua setelah D.I. Yogyakarta dan terendah Jawa Barat.
• Indeks harga yang diterima petani (It) mengalami kenaikan sebesar 0,27%
dari 116,65 menjadi 116,96. Kenaikan indeks ini disebabkan kenaikan
indeks yang diterima petani sub sektor tanaman pangan sebesar 1,34%
terutama komoditas ketela rambat dan jagung, sub sektor perikanan
sebesar 1,39% terutama ikan tembang dan ikan manyung, sedangkan tiga
sub sektor lainnya yaitu sub sektor hortikultura turun sebesar 1,90%
karena turunnya harga cabai rawit dan cabai merah, sub sektor tanaman
perkebunan rakyat turun 1,47% terutama cengkeh dan kopi serta sub
sektor peternakan turun 0,33% terutama sapi potong dan kerbau.
• Indeks harga yang dibayar petani (Ib) mengalami penurunan sebesar
0,01%. Penurunan indeks ini disebabkan harga barang dan jasa yang
dikonsumsi rumah tangga petani mengalami penurunan (deflasi) sebesar
0,09% sedangkan biaya produksi dan pembentukan barang modal
mengalami kenaikan sebesar 0,27%.
• Dari lima sub sektor pertanian yang dilakukan penghitungan NTP, dua sub
sektor mengalami kenaikan sedangkan tiga sub sektor lainnya mengalami
penurunan NTP pada bulan Mei 2009. Nilai Tukar Petani Sub Sektor
Tanaman Pangan naik 1,42% dari 91,85 menjadi 93,15 dan NTP Sub
Sektor Perikanan (NTP-Pi) naik 1,21% dari 98,68 menjadi 99,87,
sedangkan NTP Sub Sektor Hortikultura (NTP-H) turun sebesar 1,85% dari
106,53 menjadi 104,57, NTP Sub Sektor Tanaman Perkebunan Rakyat
(NTP-Pr) turun 1,49% dari 102,90 menjadi 101,37 dan NTP Sub Sektor
Peternakan (NTP-Pt) turun 0,49% dari 107,00 menjadi 106,48.

17
Kemiskinan Jatim Maret 2009
1,446 views

BRS Edisi 1 Juli 2009 (Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis
Kemiskinan Menurut Kab/Kota (2007))

RINGKASAN

• Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis


Kemiskinan) di Jawa Timur pada bulan Maret 2009 sebesar 6,02 juta
(16,68 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret
2008 yang berjumlah 6,651 juta (18,51 persen), berarti jumlah penduduk
miskin turun sebesar 628,69 ribu jiwa.
• Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah
perdesaan berkurang 466,57 ribu, sementara di daerah perkotaan
berkurang 162,12 ribu orang.
• Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan
tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2009, sebagian besar penduduk
miskin berada di daerah perdesaan (64,32 persen), sedang di perkotaan
sebesar 35,68 persen.
• Garis kemiskinan Jawa Timur pada bulan Maret 2009 sebesar Rp.
188.317,- per kapita per bulan. Peran komoditas makanan terhadap Garis
Kemiskinan masih lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan
makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan), yaitu Rp.
138.442,- berbanding Rp. 49.874,-.
• Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis
Kemiskinan adalah beras, di kota 37 persen dan di desa 39,8 persen.
Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan, yaitu 18,2
persen di perkotaan dan 21,5 persen di pedesaan.
• Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan
menurun. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk
miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit.

18
Leprak, Desa Miskin yang Tergeletak,..
27 March 2007

Matahari sudah mulai condong ke barat. Kali kecil yang membelah Desa Leprak, Kecamatan
Kelabang, Bondowoso mulai ramai didatangi penduduk desa. Di kali yang mengalir air
sumber dari perbukitan kaki Gunung Ijen itu, penduduk Desa Laprak membasuh tubuh,
mencuci baju atau sekedar mengambil air wudlu untuk melaksanakan Sholat Ashar. Hanya
batu berukuran sekitar 1 meter yang tersebar menjadi dinding pemisah antara laki-laki dan
merempuan. "Di desa ini, mayoritas penduduk mandi di kali," kata Fatkhur, Wakil Kepala
Desa Leprak pada The Jakarta Post, Senin (26/03) ini.

Desa Laprak, Kecamatan Kelabang adalah salah satu desa miskin di Kabupaten Bondowoso
Jawa Timur. Di kabupaten yang terkendal dengan sebutan Kota Tape itu, ada 146 desa di 11
kecamatan yang dinyatakan tertinggal. Kebanyakan dari kawasan miskin itu terletak di kaki-
kaki gunung yang tersebar di hampir seluruh wilayah kabupaten Bondowoso.

Kabupaten Bondowoso sendiri terletak di sebelah utara Kabupaten Situbondo. Berbatas di


sebelah timur Kabupaten Banyuwangi, dan diapit Kabupaten Jember di sebelah selatan dan
Kabupaten Probolinggo di sebelah barat. Pegunungan Ijen,Argopuro dan Putri mengapit
daerah yang memiliki ketinggian 78-2.300 m diatas permukaan laut ini.

Jumlah penduduk yang buta aksara terbanyak di Indonesia, ada di Kabupaten Bondowoso,
meskipun terobosan yang dilakukan pemkab daerah itu berhasil mengurangi jumlah buta
aksara secara drastis. Ada indikasi, di kabupaten ini juga terdapat seribu lebih balita yang
mengalami gizi buruk. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya daerah rawan pangan di
kabupaten yang mayoritas penduduknya hidup sebagai petani ini.

Kementerian Percepatan Pembangunan RI mencatat, pada tahun 2006 ada 3.668 desa di Jawa
Timur yang bisa digolongkan sebagai desa tertinggal. Jumlah ini hampir separuh dari seluruh
desa di Jawa Timur yang berjumlah 8.477 desa. Kabupaten Sampang dan Bangkalan Madura
menempati urutan pertama dan kedua dengan 255 desa dan 180 desa tertinggal. Disusul,
Kabupaten Malang dengan 154 desa dan Kabupaten Bondowoso dengan 146 desa.

Data agak berbeda dimiliki Biro Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur. Dalam sebuah survei,

19
BPS mencatat ada separuh lebih daerah di Jawa Timur yang masuk kategori miskin dan
sangat miskin. Dari data itu diketahui ada 2.1 juga dengan 7.2 jiwa orang yang masuk kategori
miskin. Program penanggulangan kemiskinan Provinsi Jawa Timur yang merupakan 6
prioritas pembangunan seakan tidak membawa hasil berarti.

Program terobosan memberantas kemiskinan denga Gerakan Terpadu Pengentasan


Kemiskinan (Gerdu-Taskin) yang di dalamnya menggunakan dana Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) pun belum juga menampakkan tanda-tanda berubahnya kondisi
masyarakat secara signifikan. Desa Leprak, Kelabang Bondowoso adalah buktinya. Sejak
awal, kehidupan masyarakat di desa berpenduduk sekitar 3000 jiwa ini tetap tidak berubah.

Desa Leprak terletak sekitar 24 KM dari kota Bondowoso. Tidak ada angkutan umum menuju
desa yang secara geografis lebih dekat ke Kabupaten Situbondo ini. Hanya sepeda motor
sewaan atau ojek yang akan menempuh jarak sekitar lima km, membelah bukit dan membelah
areal persawahan beralas jalan bebatuan.

Mayoritas rumah di Desa Laprak terbuat dari anyaman bambu (gedek) dan beralas tanah
basah. Kecuali listrik, tidak ada fasilitas umum yang dirasakan penduduk ini. Fasilitas telepon
yang akan dipasang di desa ini pun terkendala oleh jarak. "Sempat akan dipasang fasilitas
telepon, tapi karena jaraknya jauh, khawatir kabel teleponnya dicuri orang," ungkap Fatkhur,
Wakil Kepala Desa. Belum lagi kendala biaya.

Hanya ada satu masjid di desa ini. Lokasinya terletak di depan rumah Fauzi, Kepala Desa
Leprak. Sayangnya, satu-satunya jembatan menuju ke masjid (juga ke rumah Kepala Desa),
hancur terkena banjir bandang yang melanda desa itu pada pertengahan tahun 2006. Untuk
menuju masjid, warga desa harus menyeberangi sungai kecil berair deras.

Dalam bidang pendidikan, desa ini hanya memiliki satu Sekolah Dasar (SD), SD Negeri
Leprak. "Untuk yang mau menempuh jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) bisa
dilakukan di SMP Kelebang, tapi mayoritas memilih untuk menempuh pendidikan SMP di
SMP Terbuka," jelas Fatkhur. SMP Terbuka yang dimaksud Fatkhur silaksanakan seminggu
tiga kali di rumah Kyai Solehuddin. Di tempat yang sama, juga digelar pendidikan membaca
Al Quran untuk anak-anak.

Bagi masyarakat Desa Leprak, bercocok tanam adalah satu-satunya sandaran hidup. Hampir
setiap keluarga di desa ini memiliki ladang untuk digarap. Mayoritas memilih menanam
jagung, di samping menanam padi. Dalam satu tahun, hanya sekali panen jagung dilakukan.
Karenanya, mau tidak mau hasil panen itu harus cukup untuk jatah makan satu tahun, sampai
musim panen tahun selanjutnya tiba.

Ironisnya, kondisi Desa Leprak yang mengenaskan itu sebenarnya kaya dengan hasil tambang
Batu bintang. Data di Pemerintah Kabupaten Bondowoso menyebutkan, di Desa Leprak
diperkirakan ada 50 Ha lahan yang mengandung Batu Bintang. Batuan mulia itu hanya berada
di kedalaman 12 m. Jumlah itu cukup banyak untuk ditambang selama 50 tahun, dengan
kapasitas 50 ton/hari.

Edy Sudarsono dari Dinas Sosial Kabupaten Bondowoso mengungkapkan, keadaan di Desa
Leprak tidak bisa dilepaskan dari letak desa yang jauh dan terpencil. Belum lagi kondisi alam
desa yang hanya bisa "menerima" jenis tanaman keras, seperti pohon jati dan pohon sengon.

20
Dua hal itu juga yang membuat beberapa kemajuan yang dicapai desa-desa di sekitar Desa
Leprak tidak tertular. Di samping desa Leprak terdapat desa Pandak yang terletak lebih dekat
dengan pusat Kecamatan Kelabang. Juga ada Desa Wonoboyo yang terletak lebih dekat
dengan Kecamatan Pajekwesi, Kabupaten Situbondo. "Padahal, karakter masyarakat di desa
itu tidak menutup diri pada inovasi," katanya pada The Post.

Meski begitu, langkah perbaikan kondisi terus dilakukan. Desa Leprak adalah salah satu dari
desa yang menjadi tujuan pemanfaatan dana pemberantasan kemiskinan yang diberikan
pemerintah pusat. Sejak tahun 2003, Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Desa
Tertinggal telah mencanangkan program alokasi anggaran sebesar Rp.250 juta ke 14 ribu desa
seluruh Indonesia.

Pada tahun 2005, program tersebut sudah dilaksanakan di 12.834 desa. Sementara tahun 2006,
ada 1.800 desa yang menjadi target sasaran.Tahun ini, jumlah desa yang dibantu meningkat
menjadi 2 ribu desa. Selama dua tahun berturut-turut, Jawa Timur mendapatkannya dana itu.
Kita tunggu hasilnya,..

Data Desa Tertinggal Di Jawa Timur:

1. Kabupaten Sampang (255 desa)


2. Kabupaten Bangkalan (180 desa)
3. Kabupaten Malang (154 desa)
4. Kabupaten Bondowoso (146 desa)
5. Kabupaten Blitar (131 desa)
6. Kabupaten Ponorogo (124 desa)
7. Kabupaten Sidoarjo (103 desa)
8. Kabupaten Situbondo (85 desa)
9. Kabupaten Lumajang (97 desa)
10. Kota Kediri (9 kelurahan)
11. Kota Madiun (7 kelurahan)
12. Kota Probolinggo (3 kelurahan)
13. Kota Malang (2 kelurahan)

21
Petani Jawa Timur Sebagian Besar Petani Gurem
Selasa, 24 November 2009 | 13:45 WIB

TEMPO Interaktif, Surabaya - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah keluarga petani
di Jatim menduduki peringkat pertama di Indonesia. "Wilayah Jatim luas, wajar kalau
tertinggi," kata Inspektur Utama BPS Pusat, Sunari Sarwono, ketika menggelar keterangan
pers, di Surabaya Selasa (24/11).

Menurut data terbaru BPS, di Indonesia setidaknya terdapat rumah tangga petani sejumlah
17.830.832. Dari jumlah ini, Jatim menduduki peringkat pertama dengan jumlah 3.743.861
petani, diperingkat kedua Jateng sebanyak 3.274.687 petani dan Jabar sejumlah 2.553.496
petani.

"Yang kami data yang benar-benar petani agar sekalian mempermudah mendistribusikan
pupuk," ujarnya.

Di tingkat nasional, jumlah petani dibagi menjadi: petani padi sebesar 14.992.137, jagung
6.714.695, kedelai 1.164.477 dan tebu 195.459.

Kepala BPS Jatim Irlan Indrocahyo, mengatakan, khusus Jatim, terbesar masih diduduki
petani padi berjumlah 2.857.433, pagung 2.332.827, kedelai 461.570, dan tebu 139.760.

"50 persen petani di Jatim adalah petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari
setengah hektar," kata Irlan.

Para petani Gurem ini terbesar berada di wilayah bekas Karsidenan Madiun dan Kediri.

22
Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Timur dan Nasional
Bulan Mei Tahun 2009 (2007=100)

Bula Persentase
Subsektor
n Perubahan
Mei 09
Mei Des April Mei Mei 09 thd Mei09 thd
thd Des
08 08 09 09 Mei 08 April 09
08
1. Tanaman Pangan
a. Indeks yang 107,2 110, 109,8
110,33,74 0,82 1,34
Diterima (It) 9 4 2
b. Indeks yang 109,7 118, 119,5 119,4
8,89 0,92 -0,08
Dibayar (Ib) 3 39 7 8
c. Nilai Tukar Petani 93,2
97,78 91,85 93,15-4,74 -0,11 1,42
(NTP-P) 5
2. Hortikultura
a. Indeks yang 109,6 114, 126,7 124,3
13,35 8,75 -1,9
Diterima (It) 7 31 2 1
b. Indeks yang 109,0 117, 118,9 118,8
9 0,88 -0,06
Dibayar (Ib) 6 84 5 8
c. Nilai Tukar Petani 100,5 106,5 104,5
97 4 7,8 -1,85
(NTP-H) 5 3 7
3. Tanaman
Perkebunan Rakyat
a. Indeks yang 123,4 123, 123,0 121,2
-1,82 -2,18 -1,47
Diterima (It) 6 91 2 1
b. Indeks yang 109,6 118, 119,5 119,5
9,03 1,15 0,02
Dibayar (Ib) 7 21 5 7
c. Nilai Tukar Petani 112,5 104, 101,3
102,9 -9,96 -3,29 -1,49
(NTP-Pr) 8 82 7
4. Peternakan
a. Indeks yang 109,4 123, 127,5 127,1
16,19 3 -0,33
Diterima (It) 5 47 9 7
b. Indeks yang 108,3 118, 119,2 119,4
10,27 0,96 0,16
Dibayar (Ib) 1 3 4 3
c. Nilai Tukar Petani 101,0 104, 106,4
107 5,37 2,02 -0,49
(NTP-Pt) 5 37 8
5. Perikanan
a. Indeks yang 107,5 115, 114,2 115,8
7,72 0,07 1,39
Diterima (It) 7 79 8 7
b. Indeks yang 106,9 116, 115,8 116,0
8,48 -0,27 0,18
Dibayar (Ib) 5 33 1 2
c. Nilai Tukar Petani 100,5 99,5
98,68 99,87-0,72 0,33 1,21
(NTP-Pi) 9 4
Gabungan/Jawa
Timur
a. Indeks yang 109,3 114, 116,6 116,9
6,92 2,06 0,27
Diterima (It) 9 6 5 6
b. Indeks yang 118, 119,1 119,1
109,2 9,11 0,86 -0,01
Dibayar (Ib) 13 6 5
c. Nilai Tukar Petani 100,1 97,0
97,89 98,17-2 1,2 0,28
(NTP-JT) 7 1

23
Bula Persentase
Subsektor
n Perubahan
Gabungan/Nasional
a. Indeks yang 109,6 116, 118,0
117,8 7,72 1,73 0,23
Diterima (It) 1 06 7
b. Indeks yang 109,4 117, 118,6 118,7
8,53 1,3 0,08
Dibayar (Ib) 4 25 8 8
c. Nilai Tukar Petani 100,1 98,9
99,26 99,41-0,75 0,42 0,15
(NTPp) 6 9

24
pilihla 50 Persen Petani Jatim adalah Petani Gurem
h BERITA - jawa.infogue.com - SURABAYA, - Sekitar 50 persen petani di Jawa
Timur adalah petani gurem atau petani dengan kepemilikan lahan rata-
rata 0,34 hektar. Meski sebagian besar hanya memiliki lahan pertanian
sempit, jumlah petani Jawa Timur adalah yang terbesar di seluruh
Indonesia.

Kepala BPS Jatim Irlan Indrocahyo, Selasa (24/11) di Surabaya


mengatakan, rata-rata pengelolaan lahan petani di Jatim sangat kecil.
"Luas pengelolaan lahan pertanian di Jatim hanya 0,1 hektar sampai 1
hektar. Ini meliputi tanaman padi, jagung, kedelai, dan tebu," ujarnya.

Penguasaan rumah tangga usaha tani di Jatim dalam mengelola lahan


pertanian padi hanya berkisar 0,5 hektar sampai 1 hektar, tanaman
jagung 0,1 hektar sampai 0,5 hektar, tanaman kedelai 0,1 hektar sampai
0,5 hektar, dan tanaman tebu 0,1 hektar hingga 0,5 hektar. Artinya, jika
disamaratakan, sebagian besar petani di Jatim masih tergolong sebagai
petani gurem.

"Jumlah petani gurem terbesar di Jatim berada di sekitar Karesidenan


Madiun dan Kediri," kata Irlan. Walaupun hanya memiliki lahan sempit,
namun jumlah rumah tangga petani di Jatim adalah yang terbesar di
seluruh Indonesia. Inspektur Utama Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat
Sunari Sarwono menyatakan, jumlah total petani padi, jagung, kedelai,
dan tebu di Indonesia mencapai 17.830.832 keluarga. Dari jumlah
tersebut, sekitar 21 persen di nya adalah petani Jatim, yaitu 3.743.861
keluarga.

Dari total jumlah petani Jatim 3.743.861 keluarga, konsentrasi petani


terbesar berada di wilayah Karesidenan Madura sekitar 17 persen disusul
Karesidenan Kediri dan Malang sekitar 16 persen. "Madura memiliki
kontribusi terbesar pada hasil pertanian jagung dan Malang pada sektor
tanaman tebu," ucapnya.

Produsen padi terbesar

Secara nasional, sebagian besar petani di Indonesia terkonsentrasi di


wilayah Jatim. Jumlah total keluarga petani padi di Jatim mencapai 55
persen dari jumlah total rumah tangga petani di Indonesia sekitar 14,8
juta keluarga.

"Tak hanya pada sektor produksi padi, jumlah petani jagung, kedelai, dan
tebu di Jatim juga paling banyak di seluruh Indonesia. Khusus untuk
tanaman tebu, jumlah petani tebu di Jatim mencapai 72 persen dari
seluruh petani tebu di Indonesia," kata Irlan.

Tahun ini, BPS melakukan pendataan secara rinci jumlah rumah tangga
petani padi, jagung, kedelai, dan tebu di seluruh Indonesia. Pendataan ini
bertujuan agar penyaluran pupuk dan benih ke petani benar-benar tepat
sasaran.

"Kategori rumah tangga petani yang didata adalah rumah tangga petani
yang benar-benar murni hidup dari penghasilan bercocok tanam. Batasan

25
ini penting karena selama ini justru banyak petani bermodal yang
diuntungkan dan petani gurem dirugikan," tambah Sunari.

26

You might also like