Professional Documents
Culture Documents
PEMBEBASAN
Pendahuluan
Mencermati keadaaan Indonesia dewasa ini (: contoh kasus),
nampaknya belum pulih benar dari krisis multidimensional. Fenomena
kemiskinan, perbudakan, ketertindasan, dan ketidak-adilan semakin
nampak, sedangkan pertikaian dan potensi peperangan antar saudara
sebangsa semakin mencuat. Apakah semua hal tersebut termasuk
masalah agama??? Jika jawabannya Ya! Maka adakah ISLAM mampu
memberikan jawaban atas permasalahan tersebut. Atau ISLAM hanya
membina manusia menjadi saleh secara personal, dimana ketaqwaan
dipahami sebagai hasil sebuah proses ritualistik belaka???
KITA memandang sebagai sebuah ironi, bila Biro Perjalanan Haji
dan Umroh di Indonesia tumbuh pesat, justeru pada saat samudra
kemiskinan (pengangguran, anak jalanan, keluarga kurang makan,
pengungsi, dsb) yang kian menghebat. Sebagian besar petani Sawah,
petani tebu, peternak ayam, nelayan, kaum buruh, dan kaum urban
lainnya, telah lama mengalami proses pemiskinan dan perbudakan.
Para maling yang kelaparan di jalanan, yang mencuri demi sesuap nasi
bagi anak dan isterinya, telah dibunuh dan dibakar. Namun para
koruptor, komprador, perampok hutan HPH, penjual asset bangsa, dan
Islam Pembebasan
para pencolong dana BLBI (ratusan milyar bahkan triliun) tetap boleh
tersenyum. Ada juga ummat beragama yang mengatakan ajaran
agamanya menjunjung kedamaian, keselamatan, dan kasih sayang,
ternyata malah mengobarkan permusuhan dan peperangan!!!
Sebagai penggugah pikir, patut diajukan sejumlah pertanyaan
serius. “Apakah Islam hanya tercermin dengan kopiah dan
bangunan mesjid? Apakah Syahadat hanyalah bacaan ikrar tak
bermakna? Apakah salam hanyalah ucapan sapaan semata?
Apakah puasa hanyalah menahan lapar di siang hari, dan makan
sepuasnya di malam hari? Apakah zakat hanyalah menyerahkan
3,5 liter beras dan sedikit harta yang mencapai nisab sebagai
sikap dermawan? Apakah Idul Fitri hanyalah salam-salaman dan
pakaian baru? Apakah haji mabrur hanyalah berwujud kopiah
putih dan sorban? Apakah pakaian taqwa itu adalah baju gamis?”
“Apakah makna hakiki dari sejumlah istilah berikut: Islam, Iman,
Taqwa, Kufur, Nifaq, Syirik, Muslim, Mukmin, Muttaqin, Munafiqin,
Musyrikin, dan Kafirin. Apakah semua peristilahan tersebut masih
relevan menjawab tantangan realitas kemanusiaan kini??? Bukankah
Islam adalah kedamaian, kesetaraan, persaudaraan universal, dan
keadilan???”
1
Pasar Ukazh adalah arena perdagangan terlengkap yang dikunjungi para raja, pangeran, elit pengusaha
dari semenanjung Arab, Persia, Rum, dsb. Para pedagang melakukan transaksi semua komoditi. Para penyair
melantunkan bait-bait puisi tentang kehormatan dan keturunan dan golongannya. Para pendeta berpidato
tentang geraja dan kitabnya. Para wanita bangsawan melantunkan tembang tentang suaminya. Para tukang
tenung berbicara tentang filsafat India dan Persia dengan kata-kata puitis. Para raja dan pangeran
membicarakan segala permata dan barang langka. Para budak segala ras (Ethopia hitam, Rum putih, Persia
merah, India dan Mesir coklat) diperjualbelikan. Para penghibur dan hostes menyediakan semua kesenangan
laki-laki. Di tengah transaksi itulah rakyat jelata mengais rejeki (Asy Syarqowi, 1997)
2
Para Bangsawan kota adalah pembuat aturan hukum dan tradisi, yang tentu menguntungkan mereka.
Contoh: bila ada pedagang asing meninggal di kota tersebut, maka harta bendanya diwariskan kepada kota
(artinya kepada mereka/pemerintah kota). Bahwa yang berhutang harus memberikan jaminan yang besar,
termasuk anak dan isteri, kepada pemberi hutang, selain juda dibebani bunga yang tinggi. Para pedagang yang
pailit dan tak mampu membayar hutangnya, maka akan menjadi budak penuh dari si pemilik piutang. Jika
pemilik piutang tidak membutuhkan budak laki-laki, mereka dapat mengambil isteri atau atau anak gadis pemilik
utang tersebut (Asy Syarqowi, 1997)
Agama Pembebasan
Jika agama dianggap sebagai kebaikan dan berdiri bersama
dengan perubahan zaman, maka tanpa mengabaikan pentingnya
peranan ibadah formal, agama harus dilepaskan dari aspek teologis
yang hanya bersifat dogmatis dan ritualistik yang tidak memiliki ruh,
dan yang hanya menjadi latihan intelektual-metafisis kalangan
menengah atas, serta tidak menyentuh kepentingan kaum miskin
tertindas. Agama harus menjadi sumber motivasi untuk menegakkan
humanisasi (kemanusiaan manusia), menegakkan emansipasi (hak
asasi kehidupan manusia), dan menegakkan liberasi (pembebasan dari
kekejaman kemiskinan ketertindasan struktural, keangkuhan
teknologi, kesombongan birokrasi, dan kekejaman ekonomi kapitalis),
serta menegakkan dimensi transendental dalam produk-produk
kebudayaannya (Kuntowijoyo, 1998). Sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam Al-Qur’an surat Ali lmran ayat 1107.
7
“Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (menegakkan dimensi transendental dalam produk-produk
budayanya). Sekiranya Ahli Kitab beriman tentu itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman,
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S 3: 110)
8
“Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah
yang paling taqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui”. (Q.S, 49: 13)
9
Perbedaan warna kulit dan ras adlah masalah yang sangat serius sekarang ini, sehingga PBB
mencanangkan piagam deklarasi HAM tentang persamaan manusia yang terlepas dari perbedaan kasta,
kepercayaan, dan warna kulit. Islam telah mengantisipasinya 14 abad yang lalu. Nabi menerapkan dengan
mengankat Bilal si budak hitam sebagai pengumandang seruan kemenangan dari puncak Ka’bah (Engeneer,
1999:47)
10
Pluralisme tidak dapat dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat itu majemuk, terdiri dari beragam
suku dan dan agama. Penggambaran seperti itu justeru hanya memberikan konsep fragmentasi dan bukan
pluralisme. Penggambaran seperti itu sebenarnya hanya semata digunakan sebagai upaya untuk menyingkirkan
fanatisme (Nurcholis Madjid, 1999)
11
Maha benar Allah dengan firman-Nya: ‘Seandainya Allah tidak mengimbangi (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, maka pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang
dicurahkan) kepeda semesta alam (Q.S. 2: 251)
12
Katakan (wahai Muhammad) : Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku rnengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang
malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakaniah : apakah sama orang yang
buta dengan orang yang melihat?. Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (Q. S. 6 :50)
Pembebasan Sosial
Di atas telah disinggung bahwa Nabi Muhammad membuktikan
prinsip persamaan derajat sesama manusia kecuali atas dasar taqwa,
dengan cara meminta Bilal bekas budak hitam namun sangat
bertaqwa untuk mengumandangkan adzan shalat dari atas Ka’bah. Hal
ini adalah bahasa kiasan yang harus dicermati dengan teliti dan
seksama sehingga kita mampu menangkap intisari ajaranya. Saya
percaya kita semua mampu melakukannya dan bahkan telah
mempraktekannya. Namun demikian, mari kita simak tulisan Raif
Khoury yang sedemikian menggetarkan yang termuat dalam tulisan
Engineer (1999: 5), sebagai berikut:
Semua yang tertulis di atas itu benar, dan didukung oleh Al-
Qur’an dan Hadits. Periksa tentang Allah mencela orang yang
menumpuk-numpuk kekayaan secara berlebihan (Q.S. 104: 1-9) Allah
mengharamkan riba atau praktek ekspoloitasi (Q.S. 2: 278-279).
Keadilan adalah ukuran tertinggi suatu masyarakat (Q.S. 7: 29, 49: 9,
5: 8).
18
Karena berbagai pengalaman kesejarahan di sana, masyarakat Barat sendiri akhirnya mengakui bahwa
toleransi adalah “prinsip yang akan memberi kesempatan terbaik kepada keimanan yang benar untuk menang”.
Prinsip ni setara dengan prinsip tidak dibenarkannya adanya peksaan dalam agama, karena yang benar jelas
berbeda dan yang palsu, sehingga manusia pada akhimya dapat memilih dengan bebas dan penuh
tanggungjawab. Maka ketika Piagam Madinah meletakkan pluralisme dan toleransi sebagai asas-asas penting,
tentu dapat dipahami bahwa itulah prinsip dasar dalarn agarna yang diwahyukan Allah (Nurcholis Madjid, 1999)
19
“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya jalan hidup yang benar telah Jelas berbeda dari jalan
hidup yang sesat. Maka barangsiapa ingkar kepada thagut/tirani dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia
telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S. 2 : 256)
20
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (OS. 109 6)
21
“Janganlah kamu berbantahan dengan para penganut kitab suci (Ahlul kitab) melainkan dengan sesuatu
yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dan kalangan mereka. Dan nyatakan olehmu semua, kami beriman
kepada ajaran yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu, dan Tuhan kamu adalah Esa,
dan kita semua adalah oang-orang yang berserah din (muslim) kepada-Nya”. (Q.S.29 : 46)
“Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi !!. Maka apalah engkau
(Muhammad) akan memaksa manusia sehingga mereka beriman semua?”. (Q.S. 10: 99)
22
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara
mereka, kelak Allah akan niemberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (Q.S. 4: 152)
Langkah ke Depan
Setelah lama sekali, sejak ditinggalkan khalifah rasyidah, Islam
banyak kehilangan karakter liberatif atau pembebasannya dan menjadi
bagian dari pemerintahan monarkhi yang mapan yang dimulai sejak di
bawah Bani Umayyah. Padahal Nabi selalu bersama-sama dengan
orang miskin, tertindas, para budak, serta tidak pernah ragu-ragu
untuk menderita bersama mereka.
Namun Khalifah Umayyah hidup bersama para tiran yang kuat
dan kejam. Jumlah budak berlipat ganda, perempuan dipaksa menjadi
harem (budak seks) yang dilecehkan, orang-orang non-Arab
diperlakukan secara diskniminatif, dan ajaran agama yang liberatif
diganti dengan ajaran fatalistik (jabariah). Dogma jabariah disebar
luaskan secara aktif, sedangkan pandangan qadariah diberangus.
Bersamaan dengan tumbuh-tumbuhnya nilai-nilai feodalistik yang
semakin kuat, sehingga kesamaan sosio-politik dilenyapkan, dan
hanya “muncul” ketika beribadah di masjid. Kaum wanita betul betul
dicampakkan dan status sosialnya yang tinggi. lnilah masa Islam
mengalami kemunduran yang sangat jauh dan kehilangan daya
dobraknya (Engineer, 1999: 56). Adakah Islam akan bangkit lagi ???
Sekarang Islam sebenarnya ditantang untuk merumuskan
kembali konsep dan strategi gerakan sosialnya, dalam rangka
melakukan transformasi menurut cita-cita normatifnya. Sebagai suatu
gerakan yang mempunyai asas atau dilihami oleh Islam, maka
pergerakan tersebut harus peka terhadap fenomena ketidakadilan
sosial. Sudah saatnya untuk menentukan keberpihakan kelas guna
menegakkan keadilan dan kesejahteraan ummat secara menyeluruh.
Adalah kini saatnya Warga Negara Islam Indonesia sebagai
elemen sosial strategis Negara Islam Indonesia berkenan memikul
amanah pembebasan yang bernilai ibadah sangat tinggi ini, lantas
Kepustakaan