Professional Documents
Culture Documents
RUH. Dari sudut kebahasaan, ruh seakar dengan riih, yang berarti
angin.
Orang Arab bila ingin mencari angin atau refreshing menghirup udara
segar dan melepas kepenatan setelah jungkir balik dengan urusan
dunia
menyebutnya “ rihlah “. disebut ruh yang ada di dalam jasad manusia
dengan sebutan demikian karena halusnya laksana angin, tetapi
dapat
dirasakan. Al-Qur'an mengungkapkan kata ruh dalam lima pengertian,
yakni : malaikat Jibril, wahyu, rahmat Allah, kenabian, hidup atau
kehidupan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim diceritakan
bahwa
sekelompok orang Yahudi saling bertengkar tentang ruh, lalu mereka
bertanya kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Tidak lama
berselang
turunlah ayat :” mereka bertanya kepada engkau ( ya Muhammad)
tentang
ruh, katakanlah ruh itu termasuk urusan Tuhanku, kamu tidak diberi
pengetahuan (tentang ruh ) itu kecuali sedikit. “ ( QS. 17/ Al-Isra :
85 ).
Jika Al-Ghazali berbicara tentang ruh dalam Ihya Ulum al-Din, itu
adalah dalam rangka hubungan manusia dengan Tuhan. Untuk itu, ia
juga
membedakan ruh menjadi dua kategori. Pertama, ruh yang
berhubungan
dengan jasad. Ruh ini erat berhubungan dengan jantung, dimana ia
beredar bersama peredaran darah, sehingga kalau detak jantung
sudah
berhenti, maka berakhir pula lah ruh ini. Ruh dalam kategori inilah
yang menjadi sumber penginderaan, dia adalah laksana cahaya yang
melimpah dari sebuah pelita ke segenap penjuru rumah. Ruh dalam
kategori ini, papar Al-Ghazali bukan tujuan kita. Akan tetapi ruh yang
ingin penulis berbagi disini adalah ruh sebagai “al-lathifah al-'alimah
al-mudrikah min al-insan ( sesuatu yang halus, yang ditiupkan Allah
).Ruh adalah bagian dari Allah yang ditiupkan-Nya seperti dalam (QS.
Al-Hijr : 29).
Meski tidak terpisah dari tubuh, ruh ditiupkan bukan seasal dan tidak
sama dengan tubuh. Inilah yang tersirat dalam firman Allah : “ Dan
ingatlah , ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak turunan Adam
dari
sulbi mereka (seraya berfirman), 'bukankah Aku ini Tuhanmu ?'
mereka
menjawab , “ Benar Engkau Tuhan kami “ ( QS. 7 : 172 ). Dengan
demikian
sejak awal ditiupkan ruh telah memiliki pengetahuan tentang Tuhan.
Akan
tetapi, pengetahuan akan Tuhan (makrifat ) demikian tertutup ketika
ruh
menyatu dengan jasad, tertutup oleh tabiat-tabiat jasadi yang
menariknya ke asal usul jasad. Jasad diciptakan dari materi tanah.
Karena itu, memiliki sifat-sifat ketanahan yang senantiasa akan jatuh
kebawah, kasar, kotor dan sebagainya. Berbeda dengan ruh, karena
dia
berasal langsung dari ruh mutlak ( Allah ), maka dia senantiasa rindu
untuk kembali kepada asalnya. “ Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa
Robbahu.”
Perbedaan kedua antara ruh dan jiwa adalah pada fungsinya. Jiwa
digambarkan sebagai sosok yang bertanggung jawab atas segala
perbuatan
kemanusiaannya. Bukan ruh yang bertanggungjawab atas segala
perbuatan
manusia, melainkan jiwa. Ruh adalah zat yang selalu baik dan
berkualitas tinggi. Sebaliknya hawa nafsu adalah zat yang rendah dan
selalu mengajak kepada keburukan. Sedangkan jiwa adalah zat yang
bisa
memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka jiwa harus
bertanggungjawab terhadap pilihannya itu. Setiap jiwa akan
menerima
konsekuensi atau balasan dari perbuatan jeleknya atau perbuatan
baiknya. Ia yang terkena dosa dan pahala. Sedangkan ruh selalu
mengajak
kepada kebaikan.