You are on page 1of 74

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.

Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dalam bentuk

buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi

kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum

agraria di Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Bahkan wacana untuk

mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini disebut UUPA, terus

dilakukan guna menyesuaikan peraturan-peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak

mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus

berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah

tentang bagaimana rangkaian sejarah (hukum) hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan

yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat diperoleh bahan untuk

dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum) terhadap hukum agraria.

Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum agraria

sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memanikan peranan penting dalam

upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara. Dalam kajian terhadap hukum

agraria ini penulis melakukan kajian dari pendekatan sejarah. Hal ini penulis anggap penting

karena perkembangan hukum agararia kedepan tidak akan terlepas dari proses dan pergelutan yang

melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan

adalah disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :[1]

1.
Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam lintasan kala dan waktu. Hal ini

berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum,

maupun isi norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materil).

2.
Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihalTraite
Elementaire de Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950,

mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah

hukum, lebih dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana

lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya sekarang ini.

3.

Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya merupakan suatu

pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata umum.

4.

Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap perbuatan semena-

mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala

historis.

Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka penulis menganggap perlu

untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat

gambaran tentang hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses masa lalu.

Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini
dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah dan
Perkembangannya”
B. Identifikasi Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
makalah ini adalah :
1.
Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan
terbentuknya UUPA 1960 ?
2.
Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1.
Tujuan Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang
sejarah hukum Indonesia.
b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria
Indonesia sampai dengan saat sekarang ini.
2.
Kegunaan Penelitian.
a.

Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litretaur kasanah kajian hukum

agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;

b.
Secara Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya
dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.
D. Kerangka Teoritis.

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun

di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan

dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum

itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam

jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu

dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan


kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.

Friedrich Karl von Savigny mengatakan bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke dalam

banyak masyrakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu mempunyaiVolks geis t (jiwa bangsa)-nya sendiri yang

berbeda menurut tempat dan zaman.Volks geis t itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial
rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan denganVolksgeist

adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan

tradisi di masa lampau.[2]

Selanjutnya Savigny melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat

hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum

ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku.

W. Friedman menyimpulkan esensi dari theori Savigny sebagai berikut :

“Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat seperti bahasanya,

adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupkan kemampuan-kemapuan dan

kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut

pandangan kita mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah

kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang

asal mula yang kebetulan dan tidak pasti ….hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi

kuat dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya …..maka inti teori ini

adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat,

dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu mula-mula dikembangkan

oleh adat kebiasaan dan kepercayaan


B. Identifikasi Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
makalah ini adalah :
1.
Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan
terbentuknya UUPA 1960 ?
2.
Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1.
Tujuan Penelitian.
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang
sejarah hukum Indonesia.
b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria
Indonesia sampai dengan saat sekarang ini.
2.
Kegunaan Penelitian.
a.

Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya litretaur kasanah kajian hukum

agraria Indonesia guna kemajuan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;

b.
Secara Praktis; makalah ini dapt berguna sebagai sumber kajian berikutnya
dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.
D. Kerangka Teoritis.

Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di manapun

di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan hukum. Sejalan

dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya. Hukum

itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam

jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum itu hidup. Apapun corak hukum itu
dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu yang merupakan
kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.

Friedrich Karl von Savigny mengatakan bahwa masyarakat manusia di dunia ini terbagi ke dalam

banyak masyrakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu mempunyaiVolks geis t (jiwa bangsa)-nya sendiri yang

berbeda menurut tempat dan zaman.Volks geis t itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial

rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang dimaksudkan denganVolksgeist

adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan

tradisi di masa lampau.[2]

Selanjutnya Savigny melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan historis masyarakat tempat

hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum

ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku.

W. Friedman menyimpulkan esensi dari theori Savigny sebagai berikut :

“Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat seperti bahasanya, adat

istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupkan kemampuan-kemapuan dan

kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut

pandangan kita mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah

kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang

asal mula yang kebetulan dan tidak pasti ….hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi

kuat dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya …..maka inti teori ini

adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat,

dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu mula-mula dikembangkan

oleh adat kebiasaan dan kepercayaan


yang umum, kemudian oleh yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam-diam,

tidak oleh kehendak sewenang- wenang dari pembuat undang-undang”.[3]

Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati keberadaannya di masyarakat

merupakan hasil hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita, rasa, karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk

seperangkat aturan yang memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup

bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil.

Faham tersebut di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum dengan faham/mazhab sejarah

(historis). Faham inilah yang melandasi pijakan berfikir dalam makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang

berlaku dalam sistem hukum nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksivolkgeis t bangsa Indonesia. Hal

mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut berdasarkan hukum adat. Seperti yang

disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa :

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan

yang tercantum dalam perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

pada hukum agama.


BAB II
PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian Agraria.

Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam arti

umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.[4]

Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari bahasa Latinager yang berarti tanah atau sebidang tanah.

Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1994, Edisi Kedua Cetakan Ketiga, Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan

pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggrisagrarian selalu dairtikan dengan tanah dan

dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk

kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas

dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.

Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan


dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.

Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada

perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam

melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari

hukum administrasi negara.

Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada


departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan
Engelbrecht, bagian agraria pad kementerian dalam negeri, menteri agraria,

kementerian agraira, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria,

direktur jenderak agraria, direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan

pengertian demikian.
Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan Presiden Nomor : 26 Tahun

1988, yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola

dan mengembangkan administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan tersebut tidak

mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang sebelumnya ada pada departemen dan

direktorat jenderal agraria. Sebaliknya justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian

agraria yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun administrasi pertanahan meliputi baik

tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik air daratan maupun air laut.

Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam Kabinet

Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya untuk

menunjukkan, bahwa tugas kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada

lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam KEPRES Nomor : 26 Tahun

1988.

Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri Negara Agraria bertugas pokok

mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan danmenyelenggarakan antar lain fungsi : c.

Mengkoordinasi kegiatan seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka

pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengna adanya fungsi koordinasi Menteri Agraria dulu

yang memimpin Departemen Agraria, yang dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan

Pertanahan Nasional.

Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum dalam Konsiderans, pasal-

pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA

dipakai dalam arti yang sangat luas.


Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan
meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang

dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.

Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta

yangberada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo.Pasal 4 ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah meliputi

permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.

Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen

Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik

Indonesia yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp Tahun 1960, sampai kedalaman 200 meter

atau lebih, di mana masih meungkin diselenggarakan eksplorasi dan sksploitasi kekayaan alam. Penguasaan

penuh dan hak ekslusif atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973)(LN. 1973-1, TLN 2994).

Pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5)).

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai

dalam arti yang seluas itu. pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-

sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).

Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan galian, yaitu unsur-unsur

kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan

endapan-endapan alam. Undang- undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).


Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain kekayaan alam yang berada di dalam
perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan,
LN. 1985-46).
7)
Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri
oleh pemiliknya;
Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan
tanah.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6
Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.
4.
Rancangan Soenarjo.

Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal, Rancangan Panitia Soewahjo

diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu

mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada Universitas Gadjah Mada, selanjutnya

membentuk panitia ad hoc yang terdiri dari :

Ketua merangkap anggota


: A.M. Tambunan
Wakil Ketua merangkap anggota
: Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota

: Notosoekardjo

Dr. Sahar glr Sutan Besar

K.H. Muslich

Soepeno

Hadisiwojo

I.J. Kasimo

Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga diperoleh dari


Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5.
Rancangan Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945.
Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada tanggal
23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD

1945, perlu diminta saran dari Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri

Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta

untuk berbicara dengna pihak Universitas Gadjah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs.

Imam Sutigyo.

Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA diajukan kepada DPRGR. Pada hari Sabtu

tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI

menjadi Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim

disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.

C. UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.


1.
Sifat Nasional UUPA.

UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak memberlakukan lagi atau

mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono,

dengan berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia,

terutama hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum,

konsepsi yang mendasari maupun isinya.

UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya

memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :

1)
Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi
nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2)
Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3)
Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4)
Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-
hubungan hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal
dengan programlandr efor m;
5)

Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta

penggunaan secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan formal. Sifat nasional

material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan

UUPA.

a.
Sifat Nasional Material UUPA.
Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA
yang harus mengandung asas-asas berikut :
2)
Berdasarkan hukum tanah adat;
3)
Sederhana;
4)
Menjamin kepastian hukum;
5)
Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;
6)

Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun

masyarakat yang adil dan makmur;

7)
Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;
Memnuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman
dalam segala soal agraria;
9)
Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara
dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undang-undang;
10) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Manifesto Politik;
11) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

b.
Sifat Nasional Formal UUPA.
Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA
yang memenuhi sifat sebagai berikut :
1)
Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu
DPRGR;
2)
Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
3)
Dibentuk di Indonesia;
4)
Bersumber pada UUD 1945;
5)
Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.
2.
Peraturan Lama yang Dicabut oleh UUPA.

Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru

yang bersifat nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa

bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

You might also like