You are on page 1of 15

EFEK OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA ANAK DAN

PENATALAKSANAANNYA

II.1 Epidemiologi

Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit

yang kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di

Negara maju, salah satunya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga

penduduk dunia (2 miliar orang), telah terinfeksi oleh M. tuberkulosis, dengan

angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB

paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi

juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya

angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di negara

maju. Ada 3 hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu

perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang

cepat (Depkes, 2002).

II.2 Patofisiologi
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil (<5 μm), kuman TB dalam percik renik (droplet

nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus (Guyton, 1997). Masuknya kuman

TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman

TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati

sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 1


alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang

biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di

dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar hilus

paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi

sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 & 6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin

dari negative menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya

respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan

tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun

demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau

dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan

perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan

menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan

mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tuberkulosis

pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi

primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau

status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan

paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 2


II.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi factor risiko infeksi

dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

II.3.1. Resiko Infeksi TB


Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut: anak

yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis,

penggunaan obat-obatan intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat

(tempat penampungan atau panti perawatan) (Arsyad, 2002).

II.3.2 Resiko Penyakit TB


Orang yang telah terinfeksi kuman TB, tidak selalu akan mengalami sakit

TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB

menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia <5 tahun mempunyai

risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB, mungkin karena

imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, risiko sakit

TB ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi <1

tahun yang terinfeksi TB, 43%-nya akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak

usia 1—5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja 15%, dan pada

dewasa 5-10%. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB adalah pada dua tahun

pertama setelah infeksi. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan

timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul gejala yang akut.

Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin dalam 1-2 tahun

terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,

keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, gagal


Mega Prawithasari Lubis_OAT| 3
ginjal kronik, dan silikosis. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB

adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan

hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah. kurangnya dana untuk

pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk termasuk faktor risiko,

sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Seperti telah

disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor

risiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga

kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS

menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara.

Diperkirakan bahwa risiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin

positif adalah 7–10% setahun. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB

disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat lebih dari 14%

tahun 2000. Angka kejadian tuberkulosis yang telah menurun pada awal abad ke-

20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan

dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multi-obat (multidrug

resistance), (Depkes, 2002).

II.4 Jenis OAT dan Efek Samping dan Penanganan


Tatalaksana TB pada merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan

antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan sekitarnya.

Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat

secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap

jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dsb (Nastiti, 2003).
Mega Prawithasari Lubis_OAT| 4
Terapi medikamentosa yang dipakai dalam first line drugs of choice adalah

Isoniazid (INH), rifampicin, pirazinamid, etambutol dan streptomycin. Sementara

second line drugs of choice antara lain PAS, viomisin, sikloserin, etionamid dan

kapriomisin, yang digunakan jika terjadi multidrug resistance (MDR). INH dan

rifampicin adalah obat pilihan utama ditambah dengan etambutol dan

streptomisin. Macam-macam OAT dan efek samping :

First line drugs of choice

a. Isoniazid (INH)
INH ( Isonikotinik hidrazil ) adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif

saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan

metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik

terhadap kuman yang diam, mekanisme kerja INH telibat dalam penghambatan

enzim esensial unuk sintesis asam mikolat dan dinding sel mikobakterium

(Katzung, 2002). Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat

berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan acsites dan jaringan kaseosa. Dosis

harian yang biasa diberikan (5-15 mg/kg/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan

satu kali pemberian. INH yag tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan

300 mg, dan dalam bentuk syrup 100 mg/5 ml. Konsentrasi puncak di dalam

darah, sputum, dan cairan serebrospinal dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap

selama paling sedikit 6-8 jam.

Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada ± 0,5 %

penderita. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali

normal (40 U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5
Mega Prawithasari Lubis_OAT| 5
mg/dL, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh

anoreksia, nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).

Hepatitis dengan kerusakan hati yang progresif bergantung pada usia,

semakin meningkat seiiring bertambahnya usia dan pada alkoholik dapat

meningkatkan resiko kerusakan hepar(Katzung, 2002). Efek samping ini jarang

terjadi pada pemberian dosis INH yang tidak melebihi 10 mg/kgBB/hr.

Efek samping INH yang ringan dapat berupa:

 Tanda-tanda keracunan saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot atau gangguan

kesadaran.

 Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin

 Kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal

Pemberian piridoksin pada penderita yang mendapatkan terapi INH tidak

mempengaruhi kerja tuberkulostatik tetapi berguna untuk mencegah neuritis,

piridoksin harus diberikan sebnyak 10 mg/100mg INH, bila terjadi efek samping

pada INH maka dapat diberikan piridoksin dalam jumlah INH yang dimakan.

b. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki

semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh

oleh INH, Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada

saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Bila rifampicin

diberikan bersama dengan INH, maka akan bersifat sebagai bakterisidal terhadap

mikobakterium dan cenderung mensterilisasi jaringan yang terinfeksi, rongga atau

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 6


sputum. Rifampicin mempenetrasi sel fagositik dengan baik serta membunuh

mikobakterium intraseluler (Katzung , 2002).

Rifampisin 85 -90% di metabolisme di hati dan metabolit aktifnya

diekskresikan melalui urine dan saluran cerna, bekerja secara sinergis dengan

INH. Pada penderita dengan kelainan hepar akan ditemukan kadar rifampisin

serum yang lebih tinggi. Rifampisin akan menginduksi sistem enzim sitokrom P

450 yang akan terus berlangsung hingga 7–14 hari setelah obat dihentikan. Efek

hepatotoksik dipengaruhi oleh dosis yang digunakan, dan proses metabolisme

obat dipengaruhi oleh faktor umur, jenis kelamin, lingkungan dalam lambung dan

penyakit hepar (Prihatni, 2005).

Saat ini, Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20

mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian

perhari. Jika diberikan dosis Rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari maka

efek samping jarang terjadi. Seperti halnya INH, Rifampisin didistribusikan secara

luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS.

Rifampisin dapat diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang

menimbukan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari.

Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah hepatitis, walaupun ini

sangat jarang terjadi. Apabila terjadi ikterik ataupun hepatitis maka hentikan

pengobatan dan lanjutkan apabila gejala tersebut hilang atau sembuh,

Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali normal (40

U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dL, serta

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 7


peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia,

nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005).

1. Efek samping rifampisin yang berat tetai jaran terjadi adalah :

 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai

kolaps atau syok sehingga perlu penanganan darurat.

 Purpura, anemia hemolitik akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu

dari gejala ini terjadi maka hentikan pengobatan dengan rifampisin

meskipun gejalanya sudah hilang.

2. Efek samping rifampisin yang ringan adalah :

 Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

 Sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang

 Sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah kadang-kadang diare

Efek samping ringan sering terjadi pada pemberian berkala dan dapat

sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Rifampisin dapat

menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah

terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.

c. Etambutol
Etambutol (EMB) jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya

pada mata. Dosis EMB 15-20 mg/kg/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis

tunggal. Resistensi akan timbul bila obat diberikan secara tunggalsehingga selalu

diberikan bersama dengan obat antituberkulosis yang lain. Kadar serum puncak 5

μg dalam waktu 2-4 jam. Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna.

Interaksi obat dengan EMB tidak dikenal. EMB tersedia dalam tablet 250 mg dan

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 8


500 mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dapat mencegah timbulnya resistensi

terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten (Katzung, 2002).

EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan

meningitis. EMB ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada

pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari. Etambutol dapat

menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya penglihatan, buta

warna untuk warna merah dan hijau, keracunan tersebut tergantung pada dosis

yang dipakai. Efek samping jarang terjadi bila dosisnya 15mg/Kg BB/hr yang

diberikan tiga (3) kali seminggu.

Setiap penderita yang menerima etambutol harus diingatkan bahwa bila

terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan

mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu

setelah obat dihentikan. Karena resiko keruskan okuler pada anak-anak sulit

dideteksi maka etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak sehingga

pemeriksaan mata selama pengobatan sebaiknya dilakukan.

d. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada

intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian

PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 2

gram/hari. Kadar serum puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam(Katzung, 2002).

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. Penggunaan PZA aman pada

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 9


anak. PZA diberikan pada fase intensif karena PZA sangat baik diberikan pada

saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak.

Efek samping utama dari penggunaan pirazinamid adalah hepatitis.

Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT hingga 5 kali normal (40

U/L) tanpa gejala klinis , peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dL, serta

peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai oleh anoreksia,

nausea, muntah, dan ikterus (Prihatni, 2005). Juga dapat terjadi nyeri sendi dan

kadang-kadang dapat menimbulkan serangan arthritis gout yang kemungkinan

disebabkan berkurangnya ekskresi danpenimbunan asam urat. Kadang-kadang

terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit

yang lain.

e. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler

pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler

(Katzung, 2002). Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB,

tetapi penggunaanya penting dalam pengobatan TB yang resisten-obat.

Streptomisin dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 15—40

mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, kadar puncak 40–-50 μg/ml dalam waktu

1—2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi

tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Sterptomisin berdifusi

dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Penggunaan

utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap INH

atau jika anak menderita tuberkulosis berat.

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 10


Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan saraf kedelapan

yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek samping

tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan

umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan

pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan

keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan. Jika

pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan

menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Resiko ini terutama terutama akan

meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi

hipersensitas kadang-kadang berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan

sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.

Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas

setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang

mendenging dapat terjadi setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang

terjadi) maka dosis dapat dikurangi.

Second line drugs of choice

Obat-obat dibawah ini biasanya dipertimbangkan pada keadaan : resistensi

terhadap obat pilihan utama, pada kasus dengan respon klinik yang gagal terhadap

terapi konvensional, bila ada ahli yang tersedia untuk menangani efek toksik.

Obat-obat jenis ini belum diketahui secara pasti resistensi dan toksisitas jangka

panjangnya.

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 11


a. Kapreomisin

Merupakan suatu antibiotika peptida yang diperoleh dari Streptomices

capreolus. Kapreomisin diberikan 20 mg/kg BB/Hr, toksisitas serius yaitu pada

ginjal, menimbulkan adanya retensi nitrogen, dan pada saraf VIII,

menimbulkan gangguan pendengaran dan keseimbangan. Toksisitas obat akan

berkurang bila 1 gr obat ini diberikan 2 atau 3 kali/minggu dan jadwal tersebut

sering digunakan.

b. Sikloserin

Dosis pemberian sikloserin pada tuberculosis 0,5-1 gr/hari.Reaksi toksik yang

paling serius yaitu berbagai gangguan fungsi susunan saraf pusat dan reaksi

psikotik. Berbagai gangguan tersebut dapat diatasi dengan pemberian fenitoin

100 mg/ hr per oral.

c. Etionamid

Merupakan suatu zat kristalin kuning yang stabil dan hampir tidak larut dalam

air. Obat ini secara kimiawi mirip dengan isoniazid danjuga menghambat

sintesis asam mikolat. Dosis pemberian 1gr/hr, dosis tersebut efekif pada

pengobatan klinik dalam menangani tuberculosis tetapi toleransinya buruk

karena menimbulkan iritasi lambung dan gejala neurologik.

d. Asam Aminosalisilat (PAS)

Dahulu asam amino salisilat diberikan bersamaan dengan isoniazid atau

streptomisin atau keduanya dalam pengobatan tuberculosis jangka panjang

Sekarang jarang digunakan karena obat-obat oral lainnya ditoleransi lebih baik.

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 12


Dosis oral 8-12 gr/hr untuk dewasa dan 300 mg/kg/hr untuk anak-anak. Gejala

saluran cerna sering berkaitan dengan dosis penuh pemberian obat ini.

e. Viomisin

Antibiotik ini dihasilkan oleh organisme streptomyces tertentu, dosis

pemberian suntikan intramuscular sebanyak 2 gr, 2 x perminggu. Efek toksik

yang paling serius adalah rusaknya ginjal dan gangguan saraf VIII berupa

hilangnya keseimbangan dan pendengaran, efek toksik lebih serius dari

streptomisin.

f. Rifabutin

Obat ini mempunyai efektivitas yang bermakna terhadap M. avium-

intracellulare dan M. Fortuitum, dengan dosis obat 0,15-0,5 g/hari per oral,

namun peranannya dalam terapi dan toksisitasnya belum diketahui.

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 13


Efek samping ringan dari OAT
Efek samping Penyebab Penanganan
Anorexia, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri aspirin
Kesemutan-rasa terbakar di INH Beri vitamin B6 10 mg/100 mg
kaki setiap hari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa tapi
seni perlu penjelasan kepada
penderita

Efek Samping berat dari OAT


Efek samping Penyebab Penanganan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Anti histamine, kortikosteroid
kulit
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisn dihentikan, ganti
etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua obat OAT
lain OAT sampai ikterus hilang
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua obat OAT,
muntah (permulaan OAT segera lakukan tes fungsi hati
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan rifampisin
(syok)

Mega Prawithasari Lubis_OAT| 14


Mega Prawithasari Lubis_OAT| 15

You might also like