Professional Documents
Culture Documents
FAJRIN, SH
YM : mohd_fajrin
Ancol
Kawasan ancol terletak disebelah timur Kota Tua Jakarta, sampai batas
kompleks Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk. Dewasa ini kawasan tersebut
dijakdikan sebuah Kelurahan dengan nama yang sama, termasuk wilayah
kecamatan Pademangan, Kotamadya Jakarta Utara.
Ancol mengandung arti “tanah mendidih berpaya – paya” Dahulu, bila laut
sedang pasang air payau kali Ancol berbalik kedarat menggenangi tanah
sekitarnya sehingga terasa asin. Wajarlah bila orang – orang Belanda zaman
VOC menyebut kawasan tersebut sebagai Zoutelande. “tanah asin” sebutan yang
juga diberikan untuk kubu pertahanan yang dibangun di situ pada tahun
1656(De Haan 1935:103 – 104).
Untuk menghubungkan Kota Batavia yang pada zaman itu berbenteng dengan
kubu tersebut, sebelumnya telah dibuat terusan, yaitu Terusan Ancol, yang
sampai sekarang masih dapat dilayari perahu. Kemudian dibangun pula jalan
yang sejajar dengan terusan.
Pembuatan terusan, jalan dan kubu pertahanan di situ, karena dianggap srtategis
dalam dalam rangka pertahanan kota Batavia. Sifat strategis kawasan Ancol
rupanya sudah dirasakan pada masa agama Islam mulai tersebar didaerah
pesisir Kerajaan Sunda. Dalam Koropak 406, Carita Parahiyangan, Ancol disebut
– sebut sebagai salah satu medan perang disamping Kalapa Tanjung Wahanten
(Banten) dan tempat – tempat lainnya pada masa pemerintahan Surawisesa (1521
– 1535).
Angke
Merupakan sebutan sebuah kampung yang terkenal dengan mesjid tua yang
bernama Mesjid Al – Anwar, yang dibangun sekitar tahun 1714. Sekarang
kampung Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat.
Asal – usul kata angke berasal dari bahasa Cina dengan dua suku kata, yaitu ang
yang artinya darah dan Ke yang artinya bangkai. Kampung ini dinamakan
Angke karena adanya peristiwa sejarah yang sangat berhubungan dengan
sejarah kota Batavia. Pada tahun 1740 ketika terjadi pemberontakan orang –
orang Cina di Batavia, ribuan orang Cina dibantai oleh Belanda.
Lokasi kampung bebek sangat strategis untuk memelihara bebek karena dekat
dengan sungai.
Batu Ampar
Batu Ampar yang merupakan bagian dari kawasan Condet, bahkan biasa disebut
Condet Batuampar, dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan
Batuampar, Kecamatan Keramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Wilayah
kelurahan Batuampar di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kelurahan
Balekambang, (lengkapnya Condet Balekambang), yang dalam sejarahnya
berkaitan satu sama lain.
Ada legenda yang melekat pada nama tempat tersebut sebagaimana diceritakan
oleh orang – orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil
berjudul Condet, sebagai berikut.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai
Polong, memeliki beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, perempuan,
diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Waktu Maemunah sudah
dewasa dilamar oleh Pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makasar yang
tinggal di sebelah timur Condet, untuk salah seorang anaknya, bernama
Pangeran Astawana.
Bidaracina
Bidaracina dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan, kelurahan Bidaracina,
Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.
Perkiraan lainnya, asal nama kawasan tersebut dari bidara yang ditanam oleh
orang Cina di situ. Bidara, atau bahasa ilmiahnya Zizyphus jujube Lam, famili
Rhanneae, adalah pohon yang kayunya cukup baik untuk bahan bangunan,.
Akar dan kulitnya yang rasanya pahit, mengandung obat penyembuh beberapa
macam penyakit, termasuk sesak nafas. Di ketiak dahannya biasa timbul
gumpalan getah. Buahnya dapat dimakan (Fillet 1888:52)
Cawang
Kawasan Cawang dewasa ini menjadi sebuah kelurahan Kelurahan Cawang,
Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama kawasan tersebut berasal dari nama seorang Letnan Melayu yang
mengabdi kepada Kompeni, yang bermukim disitu bersama pasukan yang
dipimpinnya, bernama Enci Awang.(Awang, mungkin panggilan dari Anwar).
Lama – kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi Cawang. Letnan Enci
Awang adalah bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus, yang bersama
pasukannya bermukim dikawasan yang sekarang dikenal dengan nama
Kampung Melayu, sebelah selatan Jatinegara.
Kurang jelas, apakah sebagian atau seluruhnya, pada tahun 1759 Cawang sudah
menjadi milik Pieter van den Velde, di samping tanah – tanah miliknya yang lain
seperti Tanjungtimur atau Groeneveld, Cikeas, Pondokterong, Tanjungpriuk dan
Cililitan (De Haan, 1910:50).
Pada awal abad ke-20 Cawang pernah menjadi buah bibir, karena disana
bermukim seorang pesilat beraliran kebatinan, bernama Sairin, alias Bapak
Cungok. Sairin dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dalang
kerusuhan di Tangerang pada tahun 1924. Di samping itu. Ia pun dinyatakan
terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut, di Condet tahun 1916. Condet
pada waktu itu termasuk bagian tanah partikelir Tanjung Oost (Poesponegoro
1984, (IV):299 – 300).
Cijantung
Dewasa ini Cijantung menjadi nama sebuah kelurahan, Kelurahan Cijantung,
wilayah Kecamatan Pasarrebo, Kotamadya Jakarta Timur.
Namanya berasal dari nama sebuah anak sungai CiLiwung, yang berhulu di
Areman, dekat Kelapadua sekarang.
Cililitan
Kawasan Cililitan dahulu terbentang dari sungai Ci Liwung di sebelah barat,
sampai sungai Ci Pinang di sebelah timur. Sebelah selatan berbatasan dengan
kawasan Kampung Makasar dan Condet. Di sebelah utara berbatasan dengan
kawasan Cawang . Bagian sebelah barat Jalan Dewi Sartika sekarang sebatas
simpangan Jalan Kalibata, biasa disebut Cililitan Kecil, sedangkan yang terletak
disebelah timur Jalan Raya Bogor, dikenal dengan nama Cililitan Besar. Dewasa
ini nama Cililitan dijadikan nama kelurahan, Kelurahan Cililitan, Kecamatan
Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama Cililitan diambil dari nama salah satu anak sungai Ci Cipinang. Dewasa
ini anak sungai tersebut sudah tidak ada lagi bekas – bekasnya. Kata ci, adalah
bahasa Sunda, mengandung arti “air sungai” Lilitan lengkapnya lilitan – kutu,
adalah nama semacam perdu yang bahasa ilmiahnya Pipturus velutinus Wedd.,
termasuk famili Urticeae (Fillet 1888:201).
Pada pertengahan abad ke- 17 kawasan Cililitan merupakan bagian dari tanah
partikelir Tandjoeng Oost, ketika masih dimiliki oleh Pieter van der Velde (De
Haan 1910:50). Kemudian beberapa kali berpindah pindah tangan. Sampai
diganti namanya menjadi lapangan Udara Halim Perdanakusumah. Lapangan
Cilincing
Kawasan Cilincing terletak di sebelah timur Pelabuhan Samudera Tanjungpriuk,
dewasa ini menjadi sebuah kecamatan, Kecamatan Cilincing, termasuk wilayah
Kotamadya Jakarta Utara.
Nama Cilincing diambil dari nama anak sungai yang mengalir dari selatan
keutara, membelah kawasan tersebut. Cilincing mungkin lengkapnya berasal
dari Ci Calincing. Kata Ci, adalah bahasa sunda , yang artinya sungai, seperti Ci
Tarum, Ci Liwung, dan Ci Manuk.Cilincing adalah nama jenis pohon, sama
dengan belimbing wuluh, averhrhoa Carambola L. Termasuk famili Oxalideae
(Fillet 1883 :292).
Walaupun letaknya cukup jauh untuk ukuran tiga abad yang lalu, ternyata
disana terdapat dua villa, tempat peristirahatan .Yang pertama adalah landhuis
Cilincing yang dibangun oleh Justinus Vinck pada tahun 1740 dan sampai
sekarang masih dapat dilihat, walaupun keadaannya tidak begitu
menggembirakan. Dewasa ini bangunan tersebut dihuni beberapa pensiunan
anggota kepolisian, dan dikenal dengan sebutan Rumah Veteran. Yang kedua
adalah landhuis Vredestein yang dibangun oleh mantan Gubernur Pantai Utara
Jawa, Nicolaas Hartingh, pada tahun 1750. Landhuis yang kedua itu sekarang
sudah tidak ada bekas – bekasnya.
Condet
Kawasan Condet meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Batuampar,
Kampung Tengah (dahulu disebut Kampung Gedong), dan Balekambang
termasuk wilayah Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet.
Ondet, atau ondeh, atau ondeh – ondeh, adalah nama pohon yang nama
Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya (tentang tokoh
ini dapat dilihat dalam tulisan ini pada entri: Kebantenan), yang dibuat sebelum
berangkat ke pembuangan di Nagapatman, disahkan oleh Notaris Reguleth
tertanggal 25 April 1716. Dalam surat wasiat itu antara lain tertulis, bahwa
Pangeran Purbaya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di
Condet kepada anak – anak dan istrinya yang ditinggalkan (De Haan, 1920:250).
Gambir
Sekarang kampung Gambir tinggal kenangan saja, yang tersisa adalah nama
Kelurahan Gambir dan nama Stasiun Gambir yang masih tertinggal pada salah
satu stasiun yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Wilayah yang termasuk pada
kawasan Gambir batas – batasnya adalah: diutara jalan Veteran, di Selatan jalan
Kebon Sirih, di Barat jalan Mojopahit dan di Timur kali Ciliwung. Kata Gambir
sudah dikenal sejak nama, sejak kawasan ini mulai mengacu pada sebutan
masyarakat lokal yang melihat banyaknya pohon gambir yang tumbuh
dikawasan ini.
Glodok
Glogok dewasa ini dijadikan nama sebuah kelurahan di wilayah kecamatan
Tamansari, Kotamadya Jakarta Barat.
Mengenai asal – usul nama kawasan itu terdapat beberapa pendapat. Ada yang
mengatakan berasal dari kata grojok, onomatopi suara kucuran air dari
pancuran. Memang cukup masuk akal, karena di sana jaman dulu terdapat
semacam waduk penampungan air dari kali Ciliwung, yang dikucurkan dengan
pancuran terbuat dari kayu dari ketinggian kurang lebih 10 kaki. Kata grojok
diucapkan oleh orang – orang. Tionghoa totok, penduduk mayoritas kawasan itu
jaman dulu berubah menjadi Glodok sesuai dengan lidahnya.
Mandi di kali pada jaman dulu, bukan hanya kebiasaan orang bumiputra saja
melainkan menjadi kebiasaan umumnya penduduk, termasuk orang – orang
Belanda yang berkedudukan tinggi sekalipun ( De Haan, 1935: 193 dan 294).
Gondangdia
Merupakan nama kampung yang sekarang berada ditengah pemukiman elit
Menteng Jakarta Pusat. Nama Gondangdia cukup dikenal dikalangan
masyarakat awam di Jakarta karena sering disebut dalam lagu Betawi, Cikini
sigondang dia, saya disini karena dia. Batas – batas wilayah Gondangdia adalah:
- Sebelah Utara jalan K.H. Wahid Hasyim
- Sebelah Selatan Jalan Sutan Syahrir
- Sebelah Barat kali Cideng
- Sebelah Timur jalan Rel Kereta Api.
Asal usul nama kampung Gondangdia ternyata ada beberapa versi, diantaranya
adalah:
1. Nama Gondangdia berasal dari nama pohon Gondang (sejenis pohon
beringin) yang tumbuh pada tanah basah atau berair. Kemungkinan pada masa
lalu ada pohon Gondang yang tumbuh di daerah ini.
2. Nama Gondangdia berasal dari nama binatang air sejenis keong Gondang.
Yang artinya keong besar. Kemungkinan pada masa lalu didaerah ini banyak
terdapat keong besar, sehingga masyarakat menyebut tempat ini dengan
menyebut nama keong.
3. Nama Gondangdia berasal dari nama seorang kakek yang terkenal dan
disegani oleh masyarakat sekitar kampung. Kakek ini mempunyai nama
kondang dan sering juga dipanggil Kyai kondang Karena terkenal dikalangan
masyarakat kampung, nama kakek kondang sering disebut – sebut dan
masyarakat sering mengaitkan nama tempat itu dengan nama kakek, maka
disebut dengan gondangdia (kakek dia yang tersohor).
Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum
Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar.
Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen-
Endpols, 1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar (“..raam-of
traliewerk…”). Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut,
diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar,
terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar –
besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar – masuk kompleks
peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan
sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan Kompleks polisi
Resort Keramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut masih biasa
disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti
kompleks pertanian dan atau peternakan.
Jalan Cengkeh
Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping
sebelah timur Pasar Pisang.
Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum
juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu bertulis.
Kawasan sekitar batu prasasti Puernawarman, di Tugu juga biasa disebut
Kampung Batutumbuh.
Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur,
yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan
orang – orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan
oleh orang – orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng,
sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan
Japat
Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah
Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata
jaagpad berarti “Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu” . Katanya
jaag, dari jagen, artinya “berburu” Pad, artinya “jalan setapak” padahal, kata
jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah
dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu
yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik. Pada jaman Kompeni
Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk dibuat,
kapal – kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh dipelabuhan Batavia, yang
sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti sekarang,
melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas. Pengangkutan orang
dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu. Untuk mempermudah
pendaratan, di sebelah rimur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan
khusus untuk perahu – perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan
tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir
dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar,
berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa
kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan kanan
terusan.
Jatinegara
Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara,
Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu.
Nama Jatinegara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu
pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia,
sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.
Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada
pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan
itu kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari
Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah – darahnya dikuasai sepenuhnya
oleh kompeni, pada tahun 1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan
di kampung Bandan. Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga
kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal
mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis
(kreol) Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti “tuan guru”. Hutan
yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang –
orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama
itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh
para pengemudi angkot (angkutan kota).
Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun
berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente
(kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia.
Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis
digabungkan dengan Gemeente Batavia.
Jatinegara Kaum
Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara
Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara
Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil
dari bahasa Sunda, yang berarti “tempat timggal penghulu agama beserta
bawahannya” (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu,
penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).
Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama
demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan
tersebut baru disebut – sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh
Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta
para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng
Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya sendiri,
Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682. Setelah
tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara – saudaranya yang lain, seperti
Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia.
Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan
dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep, Ciluwar,
dan Cikalong.
Kebantenan
Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan
Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara.
Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685
dijadikan salah satu tempat pemukiman orang – orang Banten, dibawah
pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Tentang keberadaan orang – orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat
diterangkan sebagai berikut.
Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar ) mendapat bantuan kompeni yang
antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai
terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi – abdinya yang
masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka
menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di
Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).
Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula
Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara
Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat
kediaman Pangeran Purbaya yang berada di baratdaya Bekasi itu ditemukan
lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda,
yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan Sejarah Jawa Barat.
Kampung Ambon
Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur.
Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur
Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk
memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan
dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang
dibawa Coen dimukimkan orang Ambon itu lalu kita kenal sebagai kampung
Ambom, terletak didaerah Rawamangun, Jakarta Timur.
Kampung Bali
Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang
nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas
dijadikan pemukiman orang – orang Bali, yang masing – masing dipimpin
kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa
dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak
dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester
Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur.
Balimester tercatat sebagai perkampungan orang – orang Bali sejak tahun 1667.
Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang
dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu
berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), dimana
dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung
Arsip Nasional.
Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang – orang Bali di
bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan
dengan pemukiman orang – orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau
Jalan Pangeran Tubagus Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal
dengan sebutan Kampung Gusti (Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).
Kampung Bandan
Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda
Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan
informasi yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal – usul nama
Kampung Bandan.
1. Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah
Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini
pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini
sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan
nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea)
disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan lain –
lain.
2. Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata Banda
dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini
dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat
pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membaw pemberontak dengan
tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi
bagi pemberontak tersebut.
Kampung Bugis
Tempat – tempat atau kawasan yang bernama atau pernah disebut Kampung
Bugis awalnya dijadikan perkampungan atau pemukiman sekelompok orang –
orang Bugis. Salah satunya adalah Kampung Bugis di Kelurahan Penjaringan.
Kotamadya Jakarta Utara.
Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Tubagus Angke,
seberang Kampung Gusti, yang dahulu menjadi tempat pemukiman orang –
orang Bali dibawah pimpinan Gusti Ktut Badalu, pada tahun 1687 secara resmi
diserahkan oleh pimpinanVOC di Batavia kepada Aru Palaka dari Kerajaan
Sopeng Sulawesi Selatan. Aru Palaka rupanya memilih menjadi sekutu Kompeni
daripada bersatu dengan Kerajaan Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasannudin.
Kampung Bugis yang terletak di sebelah utara Jalan Pangeran Jayakarta, sebelah
barat tahun 1690, sama seperti Kampung Bugis yang terletak di dekat Patuakan,
di ujung sebelah utara Jembatan lima.
Kampung Gedong
Dewasa ini kawasan Kampung Gedong mejadi sebuah kelurahan. Kelurahan
Tengah, termasuk wilayah Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur.
Sebutan Kampung Gedong bagi kawasan tersebut, karena di sana berdiri sebuah
gedung peristirahatan (landhuis) tuan tana, pemilik tanah partikelir Tanjoeng
Oost (Tanjung Timur). Gedung beserta halamannya yang sangat luas. Oleh
pemiliknya dahulu diberi nama Goeneveld, yang berarti lapangan hijau, sesuai
dengan panorama sekelilingnya yang hijau royo – royo. Dari gedung itu sampai
tempat yang sekarang menjadi perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor,
terbentang jalan yang dahulu kanan kirinya ditanam pohon asem (Tamarindus
indica), menambah keasrian pemandangan sekitarnya.
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde asal
Amersfoort, yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan
berkat berbagai kedudukannya yang selalu menguntungkan. Setelah peristiwa
pemberontakan Cina pada tahun 1740, dia berhasil mengusai tanah – tanah
Kapten Ni Hu-Kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis (sekarang
Jatinegara) sebelah timur Sungai Ciliwung. Kemudian di tambah dengan tanah –
tanah lainnya yang di belinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah
Partikelir Tanjoeng Oost. Di situ ia membangun gedung tersebut selesai
dibangun. Pemilik kedua adalah Adrian Jubels. Setelah ia meninggal pada tahun
1763, Tanah tanjung Oost dibeli oleh Jacobus Johannes Craan, yang terkenal
dengan seleranya yang tinggi. Pemilik baru itu mendandani gedung
peristirahatan dengan dekorasi berlanggam Lodewijk XV, ditambah dengan
hiasan – hiasan yang bersuasana Cina. Sampai terbakar pada tahun 1985
sebagian dari ukiran – ukiran penghias gedung itu masih dapat disaksikan.
Setelah Craan meninggal, Tanjoeng Oost dibeli oleh menantunya Willem Vincent
Helvetius van Riemsdjik, putra Gubernur Jendral Jeremies van Riemsdjik (1775 –
1777).
Kelima jembatan itu sekarang sudah tidak ada, begitu juga dengan sungainya
sudah tidak ada, karena sudah ditutup (diuruk).
Kampung Makasar
Kawasan yang dahulu termasuk Kampung Makasar dewasa ini meliputi wilayah
kelurahan Makasar dan sebagian dari wilayah Kelurahan Kebon Pala,
Kecamatan Kramat Jati, Kotamadya Jakarta Timur.
Mereka adalah bekas tawanan perang yang dibawa ke Batavia setelah Kerajaan
Gowa, dibawah Sultan Hasanuddin tunduk kepada Kompeni yang sepenuhnya
dibantu oleh Kerajaan Bone dan Soppeng (Colenbrander 1925, (II):168:
Poesponegoro 1984, (IV):208). Pada awalnya mereka di Batavia diperlukan
sebagai budak, kemudian dijadikan pasukan bantuan, dan dilibatkan dalam
berbagai peperangan yang dilakukan oleh Kompeni. Pada tahun 1673 mereka
Salah seorang putrid Daeng Matara menjadi istri Pangeran Purbaya dari Banten
yang memiliki beberapa rumah dan ternak di Condet, yang terletak disebelah
barat Kampung Makasar (De Haan 1910:253).
Perlu dikemukakan, bahwa pada tahun 1810 pasukan orang – orang Makasar
oleh Daendles secara administrative digabungkan dengan pasukan orang –
orang Bugis (De Haan 1925:373).
Kampung Melayu
Kawasan Kampung Melayu merupakan wilayah Kelurahan Kampung Melayu
dan sebagian dari wilayah Kelurahan Balimester, Kecamatan Jatinegara,
Kotamadya Jakarta Timur.
Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan demikian, karena mulai paro kedua
abad ke- 17 dijadikan tempat pemukiman orang –orang Malayu yang berasal
dari Semenanjung Malaka (sekarang Malingsia) dibawah pimpinan Kapten Wan
Abdul Bagus.
Wan Abdul Bagus adalah anak Ence Bagus, kelahiran Patani, Thailand Selatan.
Ia terkenal pada jamannya sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam
melaksanakan tugas, baik administratif maupun di lapangan sebagai perwira.
Boleh dikatakan selama hidupnya ia membaktikan diri pada Kompeni. Dimulai
sebagai juru tulis, kemudian menduduki berbagai jabatan, seperti juru bahasa,
bahkan sebagai duta atau utusan. Sebagai seorang pria dia sering terlibat dalam
peperangan seperti di Jawa Tengah, pada waktu Kompeni “membantu”
Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Demikian pula pada perang Banten,
Kapten Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716, ketika usianya genap 90
tahun. Kedudukannya sebagai kapten orang – orang Melayu digantikan oleh
putranya yang tidak resmi, Wandullah, karena ahli waris tunggalnya, Wan
Mohammad, meninggal dunia mendahului ayahnya. Menurut F. De Haan, Ratu
Syarifah Fatimah, yang kemudian terkenal karena membuat Kesultanan Banten
geger, adalah janda dari Wan Mohammad, jadi mantunya Wan Abdul Bagus.
Karet Tengsin
Marupakan nama kampung yang ada disekitar kampung Tanah Abang. Nama
ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu
bernama Tan Teng Sien . Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada
masyarakat sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal.
Disekitar daerah ini pada waktu itu banyak tumbuh pohon karet karena masih
berupa hutan. Pada waktu Ten Sien meninggal, banyak masyarakat yang dating
melayat. Bahkan ada yang dating dari luar Jakarta, seperti dari Jawa Tengah dan
Jawa Timur Teng Sien dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut
daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon
karet, maka daerah ini terkenal sampai sekarang dengan nama Karet Tengsin.
Kebayoran
Kawasan Kebayoran dewasa ini terbagi menjadi dua buah kecamatan,
Kecamatan Kebayoran Baru dan Kebayoran Lama, Kotamadya Jakarta Selatan.
Kebayoran berasal dari kata kabayuran, yang artinya “tempat penimbunan kayu
bayur” (Acer Laurinum Hask., famili Acerinae), yang sangat baik untuk
dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan
rayap (fillet 1888: 40). Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun dikawasan
itu pada jaman dulu, melainkan juga jenis – jenis kayu lainnya. Kayu – kayu
gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya diangkut ke
Kebon sirih
Kawasan Kebonsirih dewasa ini menjadi nama kelurahan, Kelurahan Kebon
Sirih, termasuk wilayah Kecamatan Gambir, Kotamadya Jakarta Pusat.
Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebon
sirih. Tanaman merambat, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Chavica densa
Miq., termasuk famili Piperaceae, itu sampai masa – masa yang belum begitu
lama berselang sangat digemari banyak orang untuk dikunyah – kunyah,
istilahnya: makan sirih. Kelengkapannya antara lain, adalah kapur (sirih), pinang
dan gambir. Dewasa ini sirih lebih banyak digunakan sebagai pelengkap upacara
termasuk upacara ngelamar.
Belum diperoleh keterangan yang lebih jelas, apakah kawasan tersebut dijadikan
Kebun Sirih sebelum atau sesudah dibangunnya defensilijn (garis pertahanan)
Van de Bosch pada awal abad kesembilanbelas.
Kemayoran
Kawasan Kemayoran dewasa ini meliputi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan
Kemayoran, Kebon Kosong dan Serdang, termasuk wilayah Kecamatan
Kemayoran, Kotamadya Jakarta Pusat.
Nama Kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti yang tercantum dalam
Plakaatboek (Van der Chijs XIV:536), dan sebuah iklan pada Java Government
Gazette 24 Februari 1816.
Isaac de Saint Martin tergolong pemilik tanah yang sangat luas tersebar di
beberapa tempat, antara lain di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere
(dahulu disebut Ci Kanyere) sebelah timur Sungai Krukut di Tegalangus dan di
kawasan Ancol, yang luas seluruhnya berjumlah ribuan hektar. Nama aslinya,
adalah Isaac de I’ Ostale de Saint Martin, lahir tahun 1629 di Oleron, Bearn,
Prancis. Karena sesuatu sebab ia meninggalkan tanah airnya, dan membaktikan
dirinya kepada VOC. Pada tahun 1662 ia tercatat sudah berpangkat Letnan, ikut
serta dalam peperangan di Cochin. Dengan pangkat mayor ia terlibat dalam
peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ketika Kompeni “membantu”
Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo. Pada bulan Maret 1682 ia, bersama
Kapten Tack, ditugaskan untuk “ membantu” Sultan Haji menghadapi ayahnya
Sultan Ageng Tirtayasa. Pada waktu berlangsungnya perang itu, ia mulai merasa
benci kepada Kapten Jonker, yang dianggapnya arogan. Demikianlah, setelah
perang itu selesai, dengan berbagai cara ia berusaha agar Jonker dikucilkan. Dan
ternyata usahanya berhasil. Karena merasa dikucilkan, Jonker akhirnya bangkit
melawan Kompeni, walupun gagal.
Krukut
Merupakan nama kampung yang sekaligus juga nama kelurahan di kecamatan
Taman Sari, Jakarta Barat. Kampung Krukut terletak diantara dua kali,yaitu kali
Ciliwung, dan kali Cideng. Batas – batas kampung Krukut adalah:
Sebelah Timur Jl. Gajah Mada dan sungai Ciliwung
Sebelah Selatan Kelurahan Petojo
2. Krukut berasal dari kata kerkhof (bahasa Belanda) yang berarti kuburan. Pada
masa lalu kampung tersebut merupakan tempat kuburan masyarakat pribumi
(orang Betawi).
Karena lokasi kampung yang dekat dengan kota dan pelabuhan Sunda Kelapa,
serta adanya dua kali yang merupakan jalur perdagangan maka banyak
pedagang dari Arab yang bermukim di kampungan ini. Pada masa sekarang
banyak dijumpai masyarakat Betawi, keturunan Arab yang mendiami kampung
ini, sehingga ada istilah Arab Krukut (keturunan Arab dari Krukut).
Kwitang
Merupakan nama kampung sekaligus sekarang nama kelurahan yang ada di
Jakarta Pusat. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang Kaya – raya bernama
Kwik Tang Kiam. Kwik Tang seorang tuan tanah yang kaya dan hampir semua
tanah yang terdapat didaerah tersebut miliknya. Kwik Tang memiliki seorang
anak tunggal yang mempunyai sifat yang tidak baik, dia suka berjudi dan
mabok. Akhirnya karena sifat anaknya ini, setelah Kwik Tang meninggal semua
tanah milik bapaknya ini habis terjual dan banyak yang dibeli oleh saudagar
keturunan Arab. Sehingga sampai sekarang daerah ini disebut Kwitang dan
banyak keturunan Arab yang timggal dikampung Kwitang.
Lapangan banteng
Pada Masa pennjajahan Belanda disebut waterlooplein, tidak seluas Lapangan
(Medan) Merdeka yang dahulu disebut Koningsplein, dan sekarang menjadi
Lapangan Monumen Nasional atau Monas Jakarta Pusat.
Menurut catatan resmi, pada tahun 1632 kawasan tersebut menjadi milik
Anthony Paviljoen Sr, dikenal dengan sebutan Paviljoensveld, atau Lapangan
Paviljoen Jr. Agaknya, pemilik kawasan itu lebih suka menyewakannya kepada
orang – orang Cina yang menanaminya dengan tebu dan sayur – mayor,
sedangkan untuk dirinya sendiri ia hanya menyisakan hak untuk berternak sapi.
Pemilik berikutnya adalah seorang anggota Dewan Hindia, Cornelis Chastelein,
yang memberi nama Weltevreden, yang kurang lebih artinya ‘sungguh
memuaskan”, bagi kawasan tersebut setelah berganti – ganti pemilik, termasuk
Justinus Vinck yang mulai pertama membangun Pasar Senen, pada tahun 1767,
tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van der Parra. Pada awal
abad ke-19 Weltevreden semakin berkembang tangsi pasukan infanteri juga
berbagai kesenjataan lainnya yang tersebar sampai ke Taman Pejambon dan
Taman du Bus, di belakang kantor Departemen Keuangan sekarang.
Lebak Bulus
Kawasan Lebak Bulus dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kleurahan Lebak
Bulus, Kecamatan Cilandak, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan tersebut diambil dari kantor tanah dan fauna lebak berarti
“lembah” dan bulus adalah “kura – kura yang hidup di darat dan air
Luar Batang
Kawasan Luar batang, yang terkenal karena adanya makam yang dikeramatkan
di dalam masjid tua, Masjid Luarbatang, termasuk wilayah Kelurahan
Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Letaknya
terhimpit antara terusan. Pelabuhan Sundakelapa dan kawasan perumahan elit,
Pluit.
Manggarai
Kawasan Manggarai dewasa ini terbagi menjadi dua kelurahan, Kelurahan
Manggarai Selatan dan Kelurahan Manggarai Utara, wilayah Kecamatan Tebet,
Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan itu mungkin diberikan oleh kelompok penghuni awal, yaitu
orang – orang Flores Barat (Murray 1961:38). Mereka menamai tempat
pemukimannya yang baru, Manggarai, sebagai pengikat kenangan pada
kampung halaman mereka yang ditinggalkan.
Marunda
Kawasan Marunda sekarang menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Marunda,
Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Namanya diambil dari nama
sungai yang mengalir di situ, yaitu Kali Marunda.
Marunda adalah sebutan setempat bagi semacam pohon mangga yang aroma
buahnya wangi menyengat, biasa disebut lembem atau kebembem. Nama
ilmiahnya: Mangifera Laurina BI (Fillet 1888:210).
Nama kawasan itu mulai disebut – sebut pada pertengahan di tepi sebelah barat
Kali Marunda. Kubu tersebut pada tahun 1664 dipindahkan ke tepi sebelah barat
Kali Bekasi, dikenal dengan sebutan Wagt Barangcassi. Dengan keputusan
pimpinan VOC di Batavia tanggal 19 September 1747, ditetapkan bahwa di
Marunda dibangun lagi kubu pertahanan yang pengurusannya diserahkan
kepada Justinus Vinck, Tuan tanah yang antara lain memiliki Pasar Senen, yang
sangat berkepentingan untuk menjaga rumah peristirahatannya (Landhuis
Cilincing) berikut tanah – tanah di sekitarnya. (De Haan 1911, (II):408).
Matraman
Dewasa ini Matraman menjadi nama sebuah kecamatan, Kecamatan Matraman,
Kotamadya Jakarta Timur.
Prof. Dr. Joko Soekiman dalam disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan
judul Kebudayaan Indis, menyatakan bahwa. “Di JakartaMatraman merupakan
tempat tinggal Tuan Matterman “ (Soekiman 2000:217) tanpa keterangan lebih
lanjut mengenai sumbernya.
Menteng
Merupakan nama daerah yang ada di selatan kota Batavia. Semula daerah ini
merupakan hutan dan banyak ditumbuhi pohon buah – buahan. Karena
banyaknya pohon Menteng yang tumbuh di daerah ini, maka masyarakat
mengaitkan nama tempat ini dengan Kelurahan dan sekaligus juga nama
Kecamatan yang ada di wilayah Jakarta Pusat.
Sejak tahun 1810 wilayah ini telah mulai dibuka oleh Gubernur Jenderal
Daendels untuk daerah pengembangan kota Batavia. Kemudian pada tahun 1912
tanah yang ada disekitar kampung Menteng ini dibeli oleh pemerintah Belanda
untuk dijadikan perumahan bagi pegawai pemerintah Hindia Belanda.
Paal Meriam
Merupakan nama tempat yang terletak di antara perapatan Matraman dengan
Jatinegara. Asal usul nama tempat ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang
terjadi sekitar tahun 1813. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris
mengambil tempat di daerah ini untuk posisi meriam yang siap ditembakkan.
Pasukan meriam Inggris disiapkan didaerah ini untuk melakukan penyerangan
ke kota Batavia. Peristiwa tersebut sangat berkesan bagi masyarakat sekitar
daerah itu, sehingga menyebut daerah ini dengan sebutan tempat paal meriam
(tempat meriam disiapkan).
Pajongkoran
Wilayah Kelurahan Koja Selatan, Kecamatan Tanjungpriuk, dan Wilayah
Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara, sampai
akhir tahun enampuluhan abad ke-20 lalu dikenal dengan sebutan Pajongkoran.
Entah apa sebabnya nama itu dihilangkan dan peta – peta yang terbit kemudian.
Kawasan tersebut dikenal dengan nama Pajongkoran, karena dari tahun 1676
sampai tahun 1682 dikuasai oleh Kapten Jonker, seorang kepala pasukan orang-
orang Maluku yang mengabdi kepada VOC.
Kata Jonker bukanlah nama diri, melainkan gelaran, yaitu padanaan dari
tamaela, gelaran kehormatan di Ambon pada jaman itu. Pada sebuah akte
tertanggal 22 Nopember 1664, namanya ditulis JonckerJouwa de Manipa (De
Haan 1919:228 – 229).
Tanah seluas itu diberikan sebagai hadiah bagi jasa – jasanyadi berbagai medan
perang, seperti di Timor, Srilangka di bawah Van Goens di Sumatera Barat di
bawah Poleman, di Sulawesi Selatan di bawah Speelman, di Jawa Timur pada
Pancoran
Pancoran terletak di Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari Kotamadya
Jakarta Barat.
Pancoran berasal dari kata Pancuran. Di kawasan itu pada tahun 1670 dibangun
semacam waduk atau “aquada” tempat penampungan air dari kali Ciliwung,
yang dilengkapi dua buah pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian kurang
lebih 10 kaki.
Dari sana air diangkut dengan perahu oleh para penjaja yang menjajakannya
disepanjang saluran – saluran (grachten) di kota. Dari tempat itu pula kelasi-
kelasi biasa mengangkut air untuk kapal – kapal yang berlabuh agak jauh
dilepas pantai, karena dipelabuhan Batavia kapal tidak dapat merapat. Karena
banyaknya yang mengambil air dari sana, sering kali mereka harus antri berjam
– jam. Tidak jarang kesempatan itu mereka manfaatkan untuk menjual barang –
barang yang mereka selundupkan.
Dari penampungan di situ kemudian air disalurkan ke kawasan kastil melalui
Pintu Besar Selatan. Rancangannya sudah dibuat pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Durven (1728 – 1732), tetapi dilaksanakan pada awal masa
Van Imhoff berkuasa (1743 – 1750). Dengan demikian maka pengambilan air
untuk keperluan kapal menjadi tidak terlalu jauh sampai melewati kota.
Dengan adanya saluran air dari kayu itu, maka di halaman Balikota (Stadhuis)
dibuat pula air mancur. Sisa – sisa salurannya masih ditemukan pada tahun
1882, yang ternyata berbentuk balok kayu persegi empat yang dilubangi,
Pasar Baru
Merupakan nama sebuah pasar yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Sebutan
nama Pasar Baru, karena pasar ini merupakan pasar yang ada belakangan
setelah lingkungan sektor lapangan Gambir dibuka oleh Gubernur Jenderal
Daendels. Daerah yang dibangun oleh Daendels sebagai pusat pemerintahan
Hindi Belanda yang baru, daerah ini disebut Weltevreden ( tempat yang
menyenangkan). Disekitar weltevreden telah ada pasar seperti pasar Tanah
Abang dan Pasar Senen. Untuk membedakan satu sama lain, Daendels
menyebut pasar itu sebagai Pasar Baru. (Yang baru dibangun).
Lahan sebagai lokasi Pasar Baru telah dibeli oleh Daendels dan telah
direncanakan sebagai tempat pembangunan pasar sejak tahun 1821. Pasar ini
bertujuan untuk menjual kebutuhan masyarakat Eropa yang bermukim di
Weltevreden. Pembangunan Pasar Baru dimulai pada tahun 1821. sejak I Januari
1825, kios (bangunan) yang ada di Pasar Baru mulai disewakan kepada
pedagang yang umumnya dari kelompok Cina, India dan Arab.
Pada awal mulanya, hari pasar di Pasar Baru adalah Senin dan Jumat, kemudian
berubah menjadi setiap hari karena masyarakat Eropa mulai bertambah banyak.
Pengunjung lebih banyak dating ke Pasar Baru dan merupakan kebiasaan
masyarakat Eropa yang keluar rumah dengan dandanan ala Eropa melakukan
perjalanan dan belanja ke Pasar Baru.
Paseban
Merupakan nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di wilayah
Jakarta Pusat. Paseban berasal dari kata yang artinya tempat berkumpul, yaitu
tempat berkumpulnya pasukan Sultan Agung dari Jawa Tengah dalam
penyerangan Kota Batavia pada tahun 1628 – 1629. Letak kampung Paseban
dekat dengan kampung Matraman yang memiliki sejarah asal – usul yang sama.
Pegangsaan
Pegangsaan dewasa ini menjadi nama kelurahan, termasuk, wilayah Kecamatan
Menteng, Kotamadya Jakarta Pusat.
Pasar Rumput
Merupakan sebutan nama pasar yang sekarang lokasinya ada di Jalan Sultan
Agung Jakarta Selatan. Pasar ini sekarang telah menyatu dengan pasar
Manggarai.Asal mula penyebutannya Pasar Rumput ini berasal dari adanya para
pedagang pribumi yang menjual rumput dan sering mangkal dilokasi itu.
Para pedagang rumput terpaksa mangkal dilokasi ini karena mereka tidak
diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Masyarakat Menteng
banyak yang memelihara kuda sebagai sarana angkutan dan masa itu sado
merupakan sarana angkutan yang banyak membawa penumpang orang kaya
keluar masuk lingkungan Menteng.
Walaupun para pedagang rumput sudah tidak dapat ditemukan lagi di pasar
rumput masyarakat Jakarta sangat akrab dengan sebutan nama Pasar Rumput.
Kalau di pasar burung kita dapat membeli burung, di pasar buah kita dapat
membeli buah, namun di Pasar Rumput kita tidak dapat membeli rumput
karena pedagangnya tidak ada yang menjual rumput.
Pasar Boplo
Merupakan nama pasar yang terletak di lokasi pemukiman elit Menteng Jakarrta
Pusat. Nama pasar ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda bouwploeg yang
berarti tempat menjual alat bajak untuk mengolah pertanian. Pada masa lalu
Kata boplo mungkin juga berasal dari sebutan kantor jawatan Pekerjaan Umum
masa pemerintahan Belanda yang berada di dekat lokasi pasar. Kantor jawatan
pekerjaan umum itu bernama jawatan Bouwploeg yang sekarang kantor itu
berubah fungsi menjadi mesjid Cut Mutia
Pasar Genjing
Merupakan sebutan nama sebuah pasar kecil yang sekarang terletak di
persimpangan jalan Pramuka dan jalan Utan Kayu di Jakarta Timur. Nama
genjing berasal dari sebutan pohon besar yang ada dilokasi pasar.
Bagi masyarakat yang berasal dari Jawa, pohon ini disebut dengan pohon
sengon. Sedangkan bagi masyarakat dari suku Sunda pohon ini disebut pohon
jeungjing.
Karena sulit menyebut nama pohon ini dengan sebutan dari suku Sunda, maka
masyarakat Betawi menyebutnya dengan sebutan genjing.
Pejagalan
Merupakan nama kampung dan sekarang diabadikan menjadi nama jalan
Pejagalan di Kelurahan Pekojan, Jakarta Barat. Nama Pejagalan berasal dari kata
jagal atau pemotongan hewan. Pada masa lalu di kampung Pejagalan banyak
tinggal orang keturunan Arab dan Pakistan. Mereka senang memasak nasi
kebuli yang bahan bakunya adalah beras dan daging kambing karena banyak
dan seringnya memotong hewan kambing, maka daerah ini disebut dengan
kampung Pejagalan.
Petojo
Kawasan Petojo dewasa ini meliputi dua kelurahan, yaitu Kelurahan Petojo
Utara dan Kelurahan Petojo Selatan, termasuk wilayah Kecamatan Gambir,
Kotamadya Jakarta Pusat.
Petojo berasal dari nama seorang pemimpin orang – orang Bugis yang pada
tahun 1663 diberi hak pakai kawasan tersebut, bernama Aru Petuju.
Penjaringan
Merupakan nama kampung dan sekaligus nama Kelurahan dan nama
Kecamatan yang terletak disebelah Utara Pelabuhan Sunda Kelapa. Nama ini
berasal dari sebutan tempat yang banyak memproduksi jarring untuk keperluan
para nelayan teluk Jakarta.
Cerita lain ada juga yang menyebutkan bahwa nama penjaringan berasal dari
tempat yang banyak terdapat jaring - jaring nelayan yang sering di jemur atau
jaring yang sedang diperbaiki oleh nelayan. Melihat lokasi ini dekat dengan
pantai, maka dua cerita tersebut bias saja menjadi asal – usul kata Penjaringan.
Karena luasnya wilayah yang mencakup daerah penjaringan, maka sekarang
kita mengenal kecamatan yang bernama Kecamatan Penjaringan.
Petamburan
Merupakan salah satu nama kelurahan yang ada di wilayah Jakarta Pusat. Pada
masa lalu rumah penduduk masih jarang dan masih banyak tumbuh pohon jati
disekitar daerah ini. Pada suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadikan
Pejambon
Pejambon merupakan sebutan kampung yang bersebelahan dengan kampung
Gambir. Kampung ini baru ada sejak Daendels membuka daerah ini dengan
sebutan kawasan Weltevreden. Kata Pejambon berasal dari singkatan Penjaga
Ambon. Penjagaan tersebut berada disebuah jembatan yang melintasi kali
Ciliwung dan penjaganya adalah orang Ambon. Setelah dibangunnya gereja
Imanuel di lingkungan kampung ini banyak tinggal masyarakat dari golongan
nasrani (beragama Kristen) dari suku Ambon, Jawa dan Batak. Sekarang
kampung Pejambon termasuk dalam kawasan Kelurahan Gambir.
Pekojan
Merupakan nama Kampung, sekaligus nama Kelurahan yang terdapat di
wilayah Jakarta Barat. Pekojan berasal dari kata Koja (Khoja) yang mengacu
kepada nama tempat yang ada di India. Penduduk Koja pada umumnya adalah
orang India yang senang berdagang, Orang Koja dalam berdagang sekaligus
menyiarkan agama Islam.
Pluit
Kawasan Pluit yang kini dikenal dengan perumahan mewahnya itu merupakan
sebuah kelurahan, Kelurahan Pluit, termasuk wilayah Kecamatan Penjaringan,
Kotamadya Jakarta Utara.
Menurut peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia, 1903, lembar
H II dan III, demikian pula pada peta Plattegrond van Batavia, yang dibuat oleh
Biro Arsitek di Batavia sekitar tahun 1935, sebutan bagi kawasan itu adalah Fluit,
lengkapnya Fluit Muarabaru. Menurut kamus Belanda – Indonesia (Wojowasito,
1978:196), fluit berarti:
Rupanya nama kawasan itu tidak ada hubungannya dengan suling, atau pluit
semacam pluit wasit sepakbola, atau pluit polisi lalu – lintas. Demikian pula
dengan roti panjang – sempit. Ternyata nama kawasan tersebut berasal dari kata
fluit, yang lengkapnya: fluitschip, yang berarti “kapal (layar) panjang berlunas
ramping”, seperti yang dijelaskan dalam verklarend Handwoordenboek der
Nederlandse Taal (Koenoen – Endepols, 1948:281). Sekitar tahun 1660 di pantai
sebelah timur muara. Kali Angke diletakan sebuah fluitschip, bernama Het Witte
Paert, yang sudah tidak laik laut, dijadikan kubu pertahanan untuk membantu
Benteng Vijhoek yang terletak di pinggir Kali Grogol, sebelah timur Kali Angke,
dalam rangka menanggulangi serangan serangan sporadis yang dilakukan oleh
pasukan bersenjata Kesultanan Banten. Kubu tersebut kemudian dikenal dengan
sebutan De Fluit (De Haan 1935:104).
Sebutan Fluit yang berubah menjadi Pluit, ternyata berlanjut sampai dewasa ini,
mengingatkan kita pada suasana sekitar pertengahan abad ke-17.
Pondok Cina
Merupakan sebutan nama untuk kampung yang ada di perbatasan Jakarta
dengan daerah Depok Jawa Barat. Menurut sejarah nama Pondok Cina berasal
dari sebutan tempat tinggal sementara bagi orang – orang Cina yang mengelola
tanah pertanian yang ada disekitar Depok. Karena jarak Depok dengan Batavia
cukup jauh, maka diperlukan pemondokan sementara bagi pekerja penggarap
tanah partiklelir tersebut. Pondokan itu dibangun dilokasi kampung Pondok
Cina sekarang.
Kemudian dilokasi pemondokan ini oleh orang Cina dibangun rumah besar
yang cukup bagus dan oleh masyarakat disebut dengan Pondok Cina.
Pondok Gede
Merupakan penyebutan wilayah yang ada dipinggiran sebelah Timur Jakarta
yang berbatasan dengan daerah Bekasi. Yang tersisa sekarang adalah
penyebutan untuk Pasar Pondok Gede. Nama Pondok Gede berasal dari sebuah
bangunan besar yang disebut dengan Landhuis. Bangunan Landhuis adalah
rumah besar yang terletak dipinggiran kota sebagai tempat tinggal dan sekaligus
sebagai tempat pengurus usaha pertanian dan peternakan.
Pondok Labu
Kawasan Pondok Labu dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan dengan nama
yang sama, termasuk wilayah Kecamatan Cilandak Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama kawasan itu diambil dari kata majemuk:pondok dan labu. Pondok berarti
“gubuk”, atau “dangau – dangau tempat pemondokan atau ‘ tempat penginapan
sementara”. Labu adalah nama beberapa macam tanaman merambat, antara lain
labu yang bahasa ilmiahnya Lagenaria hispida Ser.
Famili Cucurbitaceae, yaitu labu besar yang biasa dimakan (Fillet 1888: 193).
Kata majemuk pondok- labu dapat berarti “pondok atau gubuk yang dirambati (
tanaman) labu”
Kawasan Pondok Labu baru disebut – sebut pada tahun 1803 sebagai milik Pieter
Walbeck, disamping Cinere dan Lebak Bulus yang pada jaman dulu oleh orang –
orang Belanda biasa Simplicitas (baca Simplisitas). Di kawasan Pondok Labu
tuan tanah tesebut mempunyai penggilingan padi dan sebuah rumah
peristirahatan yang diberi nama Simplicitas (De Haan 1910, (I):103). Pada peta
yang dibuat oleh Topographisch Bureau, Batavia 1900, penggilingan padi dan
rumah peristirahatan itu terletak tidak begitu jauh dari Kali Pesanggrahan
sebelah utara Rempoa.
Pondok Rangon
Merupakan nama kampung yang ada diperbatasan Jakarta dengan Bekasi di
Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur. Wilayah Pondok Rangon cukup luas
dengan batasnya:
-Sebelah Utara berbatasan dengan markas Hankam Cilangkap
-Sebelah Barat berbatasan dengan jalan Jagorawi dan
-Sebelah Timur berbatasan dengan Kali Sunter dan Pondok Gede
Ragunan
Kawasan Ragunan dewasa ini menjadi sebuah Kelurahan, Kelurahan Ragunan,
termasuk wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Kotamadya Jakarta Selatan.
Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang
tuan tanah pertama kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya
dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, yang biasa disebut Sultan Haji, putra
Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tahun 1675 dari Banten terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton
Surasowan, tempat bertahtanya Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar Dua bulan
setelah kebakaran itu datanglah Hendrik Lucaasz. Cardeel, seorang juru
bangunan, mengaku melarikan diri dari Batavia, karena ingin memeluk agama
Islam dan membaktikan dirinya kepada Sultan Banten bak pucuk dicinta, ulam
tiba, Sultan sedang membutuhkan ahli bangunan berpengalaman, tanpa dicari
dating sendiri. Kemudian Cardeel ditugasi memimpin pembangunan istana, dan
kemudian bangunan – bangunan lainnya, termasuk bendungan dan istana
peristirahatan si sebelah hulu CiBanten, yang kemudian dikenal dengan sebutan
bendungan dan istana Tirtayasa.
Dalam pada itu Sultan Haji terus – menerus mendesak agar dia segera
dinobatkan menjadi Sultan. Akhirnya terjadilah perang perebutan tahta antara
ayah dan anak. Dalam keadaan terdesak, Sultan Haji mengirim utusan ke
Adapun yang diutus ke Batavia, untuk meminta bantuan itu, tidak lain tidak
bukan, adalah Kiai Aria Wiraguna, alias Cardeel. Atas jasanya itu, Cardeel
ditingkatkan gelarannya, menjadi Pangeran Wiraguna.
Rawa Badak
Merupakan penyebutan daerah atau kampung yang terletak dekat pelabuhan
Tanjung Priuk Jakarta Utara. Asal – usul nama Rawa Badak berasal dari
penyebutan tempat yang merupakan rawa – rawa yang sangat besar. Daerah ini
pada masa lalu merupakan rawa – rawa yang luas, kemudian oleh para
pendatang rawa ini diuruk sehingga tanah di daerah ini kering dan layak dihuni.
Rawa Badak berasal dari dua kata yang digabung. Rawa berarti tempat yang
selalu basah karena banyak air dan badak berasal dari bahasa Sunda atau Jawa
yang berarti besar atau luas. Maka bagi orang Sunda atau orang jawa daerah ini
disebut dengan Rawa Badak yang artinya rawa yang luas.
Roa Malaka
Kawasan Rowamalaka, atau Ruamalaka, dewas ini menjadi sebuah Kelurahan,
Kelurahan Roamalaka, termasuk wilayah Kecamatan Tambora, Kotamadya
Jakarta Barat.
Mengenai asal nama kawasan itu ada dua pendapat. Pertama berasal dari kata
rawa dan malaka” sebuah rawa dengan pohon malaka” (Garicinia cornea L.
termasuk keluarga Clusiaceae), yang buahnya dapat dimakan. Hal itu masuk
Jonkersgracht kemudian dikenal dengan sebutan Rua Malaka atau Jalan Malaka
Rua Malaka lambat – laun berubah pengucapannya, menjadi Roa Malaka. Pada
masa pemerintahan Van Der Cappellen (1816 – 1826), Jonkersgratch diuruk (De
Haan 1935:205), mungkin karena proses pendangkalannya makin cepat sehingga
menimbulkan genangan – genangan air yang menjadi sumber penyakit (De
Haan 1935:205).
Salemba
Salemba adalah kawasan antara Jalan Kramat Raya dan Jalan Matraman Raya .
Dikawasan Salemba terdapat beberapa nama tempat yang diawali Salemba,
seperti salemba Bluntas, Salemba Tengah, Salemba Utankayu, dan Salemba
Tanah Padri.
Pada peta abad kesembilanbelas dan peta awal abad ke-20 kawasan Salemba
bernama Struyswijk, yang dapat diartikan “kawasan Struys” karena tuan tanah
pertamanya, adalah Abraham Struys, seorang mantan pejabat pada Kompeni
yang kaya raya. Tanah itu kemudian diwariskan kepada anaknya, Anna Struys
yang menikah dengan Joan van Hoorn, seorang pejabat tinggi Kompeni di
Batavia.
Sampur
Merupakan nama tempat obyek wisata atau tempat melancong masa lalu yang
terletak dipiggir pantai sehingga sering disebut dengan pantai sampur. Nama ini
berasal dari kata yang diberikan oleh orang Belanda untuk tempat peristirahatan
dipinggir pantai zandpoort. Oleh masyarakat pribumi istilah ini dibaca dengan
sampur. Untuk masa sekarang kata sampur hampir hilang dari peta kota Jakarta,
karena pantai ini telah dikembangkan untuk perluasan pelabuhan peti kemas
Tanjung Priuk. Pada masa lalu, pantai sampur ini merupakan obyek wisata
pantai yang paling terkenal di Batavia.
Pantai sampur disukai oleh noni – noni dan sinyo – sinyo (sebutan untuk muda –
mudi orang Belanda) dan begitu juga masyarakat pribumi, banyak yang
berkunjung ke pantai sampur ini. Sebelum pantai Ancol dikembangkan sebagai
obyek wisata pantai yang disebut dengan Pantai Bina Ria Ancol, pantai sampur
merupakan obyek wisata pilihan utama diteluk Jakarta.
Senayan
Kawasan senayan mulai banyak dikenal sejak di sana didirikan sebuah
gelanggang olah raga yang bertaraf internasional dengan nama Gelanggang
Olahraga (Gelora) Bung Karno, yang dibangun awal tahun enampuluhan atas
bantuan Pemerintahan Uni Sovyet pada jaman Perdana Menteri Nikita
Sergeiwitsj Kruschev. Senayan semakin banyak disebut – sebut setelah dibangun
Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Republik Indonesia.
Pada peta yang diterbitkan oleh Topographisch Bureau, Batavia, tahun 1902
kawasan Senayan masih ditulis Wangsanajan, atau Wangsanayan menurut EYD.
Kata wangsanayan dapat berarti “tanah tempat tinggal atau tanah milik
seseorang yang bernama Wangsanaya”. Wangsanayan lambat – laun berubah,
menjadi lebih singkat, Senayan.
Senen
Kawasan Senen dewasa ini menjadi sebuah Kecamatan, Kecamatan Senen,
wilayah Kotamadya Jakarta Pusat.
Nama diambil dari sebutan terhadap pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck,
di ujung sebelah selatan jalan Gunung Sa(ha)ri, yang dulu bernama Grote
Zuiderweg. Di kalangan orang – orang Belanda, pasar tersebut dikenal dengan
sebutan Vinckpasser (pasar Vinck). Tetapi karena hari pasarnya pada awalnya
ditetapkan hanya hari Senin, lalu disebut Pasar Senen. Berkat kemajuan dan
semakin ramainya pasar itu, maka sejak tahun 1766 dibuka pada hari – hari
lainnya.
Pada awalnya Pasar Senen hanya terdiri atas gubuk – gubuk. Sampai tahun 1815
di sana masih terdapat rumah – rumah dari gedek. Walaupun sudah ada rumah
petak dari kayu, tetapi belum ada satu pun rumah tembok. Menurut catatan,
pada tanggal 9 Juli 1826, sebagian besar dari bangunan – bangunan pasar itu
terbakar. Mungkin sesudah terjadinya kebakaran itu baru mulai dibangun
bangunan – bangunan dari tembok (Bahan diambil dari buku karya F. De Haan,
Oud Batavia, Bandung 1935).
Srengseng Sawah
Srengseng Sawah dewasa ini menjadi nama sebuah kelurahan di wilayah
Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Sampai tahun tigalpuluhan
abad ke-20 kawasan Srengseng menjadi bagian dari wilayah Distrik
(Kewedanaan) Kebayoran, Kabupaten Meestercornelis.
Dahulu kawasan tersebut biasa disebut Srengseng saja, tanpa kata sawah. Orang
Belanda VOC menyebutnya Sringsing. Mungkin karena di situ banyak dibuka
persawahan, maka kemudian disebut Srengsengsawah. Atau, mungkin juga
untuk membedakannya dengan Srengseng di Jakarta Barat, yang sekarang
menjadi nama kelurahan di wilayah Kecamatan Kebonjeruk.
Srengseng diambil dari nama semacam pandan berdaun lebar,
pinggirnyaberduri – duri, Pandanus caricosus Ramph, termasuk famili
Pandaneseae. Daunnya bisa dianyam dijadikan tikar atau topi kasar (Fillt 1883,
Pada tahun 1674 kawasan Srengseng tercatat sebagai milik Karim, anak seorang
bekas Kapten Jawa, bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis
Chalestein, tuan tanah kaya rayayang antara lain memiliki tanah partikelir
Depok. Di Srengseng ia mempunyai sebuah rumah peristirahatan. (De Haan
1935:340).
Sunda Kelapa
Merupakan sebutan pelabuhan tradisional yang ada di teluk Jakarta. Sebenarnya
nama ini awalnya adalah Kelapa. Hal ini dapat di buktikan dengan berita yang
terdapat dalm tulisan hasil perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang disebut
dengan Suma Oriental.
Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan adalah Kelapa. Karena
pada waktu itu wilayah ini dubawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian
pelabuhan ini disebut dengan Sunda Kelapa.
Tambora
Kawasan Tambora dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Tambora,
termasuk wilayah Kecamatan yang sama Kotamadya Jakarta Barat.
Nama Tambora dari kawasan ini mungkin diberikan oleh orang –orang yang
berasal dari Pulau Sumbawa, yang pada tahun 1755 diberitakan dipimpin oleh
seorang Kapten. Mungkin komunikasi mereka, yang jumlahnya tidak begitu
banyak, kurang mendapat perhatian, kalau saja tidak muncul seorang tokoh
yang menimbulkan kekaguman orang – orang Belanda, yaitu Kapten Abdullah
Saban. Karena menunjukkan jiwa kepemimpinan yang luar biasa, terutama
dalam pertempuran di laut, Pada tahun 1794 dia diangkat menjadi Kepala
Kepulauan Seribu (Hoofd over Duizend Eilanden). Pada tahun 1800 ia
dianugerahi pedang kehormatan. Pada tahun 1808 oleh Daendels diangkat
menjadi Liutenant van de eerste classe bij de Hollandshe Koninglijke Marin (De
Haan 1935:375).
Tokoh lain yang perlu dicatat, adalah Haji Mustoyib Ki Daeng yang berjasa
membangun Masjid Tambora. Ia adalah orang Cina muslim, asal Makasar,
pernah tinggal beberapa lama di Bima, di kaki Gunung Tambora, Sumbawa.
Karena suatu sebab, mungkin dituduh menghasut warga setempat untuk
melawan penguasa, pada tahun 1755 ia dihukum penjara di Batavia, selama 5
tahun. Setelah bebas ia berniat akan tetap tinggal di Batavia. Sebagai tanda
syukur kepada Yang Maha Kuasa, pada tahun 1761 ia membangun sebuah
masjid. Untuk mengenang tempat ia ditangkap penguasa, masjid yang
dibangunnya itu diberi nama Masjid Tambora (J.R van Diesen 1989:206).
Masjid yang dibangun Mustoyib itu merupakan inti dari keadaannya dewasa ini.
Bagiannya yang terletak dipinggir sungai masih menunjukkan bentuk asalnya.
Setelah mengalami beberapa kali perbaikan, pada tahun 1980 masjid itu
diperbaiki lagi serta diperluas.
Tanah Abang
Kawasan Tanah abang meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tanah
Abang, Kotamadya Jakarta Pusat.
Kemungkinan lain adalah bahwa nama itu diberikan oleh orang – orang (Jawa)
Banten yang bekerja pada Phoa Bingham, atau Bingam, waktu membuka hutan
di kawasan tersebut. Konsesinya diperoleh Bingam, Kapten golongan Cina, pada
tahun 1650 (De Haan, II: 413). Mungkin karena pernah bermukim di Banten
sebelum hijrah ke Batavia, seperti Benkon, pendahulunya, Bingam pun akrab
dengan orang – orang Banten. Benkon pernah membebaskan wangsa, seorang
asal Banten,dari tahanan Kompeni dengan uang jaminan sebesar 100 real, pada
tahun 1633 (Hoetink dalam Bijdragen 79, 1923:4).
Tanah Merdeka
Merupakan penyebutan wilayah yang cukup luas di Jakarta Timur Lokasinya
sekarang terbentang, antara jalan Raya Bogor, Kelurahan Dukuh, jalan tol T.B
Simatupang dan terus ke Selatan kelurahan Rambutan dan kelurahan Ceger.
Sekarang yang tersisa adalah nama jalan yang ada dikelurahan Rambutan.
Penyebutan nama Tanah Merdeka berasal dari masa penjajahan VOC berkuasa
di Batavia. Pada waktu itu bagi tokoh yang berjasa membantu VOC akan diberi
lahan tanah di pinggiran Kota Batavia dan tidak dipungut pajak. Mereka yang
diberi tanah itu harus mampu menjaga keamanan dan harus membantu VOC
dalam segala hal. Tanah yang diberikan kepada orang yang berjasa bagi VOC itu
disebut Tanah Merdeka.
Tiang Bendera
Kawasan Tiang Bendera terletak di wilayah Kelurahan Roamalaka, Kecamatan
Tambora, Kecamatan Jakarta Barat. Kantor Kelurahannya sendiri, dewasa ini
terletak di Jalan Tiang Bendera Utara No.90A.
Nama Tiang Bendera berasal dari tiang bendera yang sehari – hari terpancang di
depan rumah Kapten Cina pada pertengahan abad kedelapanbelas, setelah
selesainya pemberontakan Cina, tahun 1740.setiap tanggal 1 penanggalan
Masehi, mulai tahun 1743, pada tiang bendera itu dikibarkan bendera, untuk
mengingatkan warga Tionghoa untuk membayar pajak kepala, sewaan rumah
dan sebagainya. Menurut F. De Haan, dikalangan orang –orang Cina di Batavia,
tanggal 1 setiap bulan penanggalan Masehi biasa disebut “dag der
vlaghijsching”, hari pengibaran bendera.
Rumah tempat tinggal Kapten Cina (tidak jelas siapa namanya itu awalnya
bukanlah rumah dinas, melainkan rumah milik pribadi, yang dibelinya dari
Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1743. Pada tahun 1747, setelah
kapten itu meninggal, rumah tersebut dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan,
dan dijadikan rumah dinas Kapten Cina. Mulai tahun 1805 dirumah itu biasa
diselenggarakan rapat – rapat Dewan Cina. Dewan tersebut kemudian
menempati bangunan tua Belanda di Jalan Tongkongan.
Tugu mulai disebut – sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23
orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian.
Jumlahnya meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang
guru di sana. Setengah abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja dari
tembok, yang pada tahun 1740 dibakar oleh orang – orang Cina yang
memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi gereja baru atas biaya seorang
pejabat VOC Justinus Vinck.
==========================S E L E S A I==============================