You are on page 1of 13

BRONKIEKTASIS

Bronkiektasis merupakan penyakit yang jarang ditemui yang sering


menyebabkan kesakitan yang parah, termasuk infeksi pernapasan berulang yang
memerlukan antibiotik, batuk produktif yang menganggu, sesak napas, dan
hemoptisis. Hal yang menonjol dari sejarah bronkiektasis adalah gambaran hidup
pasien yang dingin dan supuratif yang tampak pada tulisan Rene Theophile
Hyacinthe Laennec pada awal abad ke 19, penjelasan pada tahun 1922 oleh Jean
Athanase Sicard dari bronkografi dengan kontras, yang memungkinkan pencitraan
dari perubahan destruktif pada saluran napas, penelitian yang dilakukan oleh
Lynne Reid pada tahun 1950an yang menghubungkan bronkografi dengan
spesimen patologis, dan selanjutnya terjadi pengurangan prevalensi yang mungkin
hadir dengan adanya terapi antituberkulosis dan imunisasi terhadap pertusis dan
campak. Pada artikel ini, saya mendikusikan perkembangan terakhir, termasuk
peranan infeksi, respon peradangan yang disederhanakan, dan defek pada
pertahanan inang, digantikannya bronkografi oleh CT scan resolusi tinggi sebagai
alat radiologi yang definitif, dan persamaan serta perbedaan antara bronkiektasis
dan cystic fibrosis dalam hal gambaran klinis dan strategi penatalaksanaannya.
Terima kasih untuk Reid atas usahanya, definisi penyakit ini masih tetap
bertahan selama 50 tahun, yaitu bronkiektasis merupakan dilatasi permanen
bronkus. Ia bisa dikategorikan berdasarkan gambaran patologis dan radiografik
saluran napas. Bronkiektasis silindris atau tubuler ditandai oleh saluran napas itu
sendiri yang berdilatasi dan kadang-kadang terlihat sebagai efek residual terhadap
pneumonia. Bronkiektasis varikosa (yang juga disebut demikian karena
gambarannya sama dengan vena varikosa) ditandai dengan daerah konstriksi fokal
sepanjang saluran napas yang dilatasi yang disebabkan oleh defek pada dinding
bronkus, dan bronkiektasis sakkuler atau kistik yang ditandai oleh dilatasi
progresif saluran napas, yang berakhir pada kista yang besar, sakulus dan
gerombolan yang mirip anggur (temuan ini selalu mengindikasikan bentuk
bronkiektasis yang sangat berat).
Prevalensi bronkiektasis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia tidak
diketahui. terdapat laporan tentang tingginya prevalensi pada populasi yang relatif

1
terisolir dengan akses ke pelayanan kesehatan yang rendah dan tingginya angka
infeksi saluran napas selama masa kanak-kanak, seperti suku Alaska pada Delta
Yukon Yuskokwim.

PATOFISIOLOGI
Bronkiektasis terutama merupakan penyakit bronkus atau bronkiolus
yang melibatkan lingkaran infeksi transmural yang ganas dan peradangan dengan
pelepasan mediator. Penyakit ini berhubungan dengan sekresi peradangan yang
tersimpan dan mikroba yang menyebabkan obstruksi dan kerusakan saluran napas
dan infeksi berulang. Walaupun tidak ada penelitian pada pasien dengan stadium
yang sangat awal dari bronkiektasis, temuan pada pasien dengan bronkiektasis
yang terbukti memberikan kepercayaan akan pentingnya peningkatan respon
seluler dan mediator. Biopsi mukosa menunjukkan adanya infiltrasi oleh neutrofil
dan limfosit T. Sputum yang dikeluarkan telah meningkatkan konsentrasi elastase
dan chemoatractan interleukin-8 tumor necrosis factor α (TNF α) dan prostanoid.

GAMBARAN FOKAL DAN DIFUS


Bronkiektasis bisa muncul sebagai salah satu dari dua bentuk yaitu proses
obstruktif fokal atau lokal dari lobus atau segmen paru atau proses difus yang
melibatkan banyak bagian paru yang terkena dan sering bersamaan dengan
penyakit sinopulmoner lainnya, seperti sinusitis dan asthma. Tiga jenis dari
obstruksi saluran napas fokal mungkin bisa menimbulkan bronkiektasis. Salah
satu jenisnya adalah blokade lumen oleh benda asing, bronkiolith, atau
pertumbuhan tumor yang lambat yang biasanya jinak. Jenis obstruksi yang kedua
adalah penyempitan ekstrinsik akibat membesarnya nodus limfatikus. Contoh
tebaik adalah sindrom lobus medial, yang mengenai orificium angulasi yang kecil
yang dikelilingi oleh kerah nodus limfatikus yang mungkin membesar dan
mengenai saluran napas utama setelah infeksi dengan penyakit granulomatosa
akibat mikobakteria atau fungi. Jenis obstruksi yang ketiga adalah pemuntiran
atau pergantian saluran napas setelah reseksi lobar (sebagai contoh, pergantian
sefalad okasional lobus bawah setelah operasi untuk reseksi lobus atas).

2
Pneumonia rekuren atau persisten merupakan gambaran kunci pembeda dari dua
jenis yang pertama dari bronkiektasis fokal dan penting untuk diketahui, karena
bronkoskopi intervensional atau pembedahan mungkin memberikan terapi paliatif
atau kesembuhan.
Kebanyakan kasus bronkiektasis difusa dan kondisi sistemik yang
berhubungan merupakan laporan kasus dan telah direview sebelumnya. Beberapa
defek atau kerusakan potensial yang memungkinkan terjadinya bronkiektasis
diringkaskan dalam tabel 1. pengenalan penyebab yang didiskusikan di bawah ini
mungkin memberikan strategi manajemen yang spesifik atau pemahaman yang
lebih baik dari proses penyakit dan prognosisnya.

PENYEBAB
Infeksi
Strategi imunisasi masa kanak-kanak yang efektif telah menyebabkan
berkurangnya insidensi bronkiektasis yang disebabkan oleh pertusis atau batuk
rejan. Infeksi saluran napas masa kanak-kanak lainnya mungkin memberikan
kontribusi untuk terjadinya kerusakan saluran napas yang permanen. Adanya
stafilokokus aureus berhubungan dengan fibrosis kistik atau aspergilosis
bronkopulmoner alergika.
Infeksi mikobakterium avium kompleks primer telah dikenali awalnya
pada wanita kulit putih berusia 60 tahun. Batuk kronik dan keterlibatan lobus
tengah paru merupakan kunci untuk diagnosis penyakit ini. Dengan semakin
bertambahnya pengetahuan akan sindrome ini, dasar genetik telah diteliti. Pada
empat anak dengan infeksi mikobakterium atipikal diseminata, mutasi pada gen
untuk reseptor interferon γ -1 telah diidentifikasi yang menghasilkan defek pada
up regulasi TNF α oleh makrofag. Abnormalitas ini tidak ditemukan pada
populasi perempuan lanjut usia dengan infeksi M. Avium kompleks, tetapi
kemungkinan pasien itu memiliki defek pada prosesing patogen intraseluler
seperti M avium kompleks masih tetap ada.
Aspergilus fumigatus sering merupakan organisme yang komensal.
Aspergilosis bronkopulmoner alergika merupakan suatu keadaan yang mengenai

3
pasien dengan asma dan pasien dengan kerusakan saluran napas yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Bronkiektasis pada pasien dengan Aspergilosis
bronkopulmoner alergika diakibatkan oleh reaksi imun terhadap aspergilus, kerja
mikotoksin, elastase dan interleukin 4 dan 5, pada stadium lanjut, invasi langsung
saluran napas oleh jamur. Laporan yang ada saat ini yang menunjukkan
meningkatnya fungsi paru dan berkurangnya penggunaan kortikosteroid setelah
terapi itrakenazol menyebutkan bahwa organisme aspergilus mungkin juga
memiliki peranan infeksius.
Tidak mengejutkan bahwa bronkiektasis telah dijelaskan pada pasien
dengan sindrome defisiensi imun dapatan, dimana mereka mendapatkan infeksi
saluran napas berulang dan gangguan respon inang. Kebanyakan pasien ini
memiliki jumlah sel CD 4 yang rendah, riwayat pyogenik sebelumnya,
pneumokistik, dan infeksi mikobakterium, dan (pada anak-anak) pneumonia
interstitial limfositik.

Diskinesia siliar primer


Diskinesia siliar primer merupakan contoh kondisi protipik dimana silia
yang kurang berfungsi memiliki kontribusi untuk terjadinya sekresi dan infeksi
ulangan yang menimbulkan bronkiektasis. Diskinesia siliar primer merupakan
kelainan bawaan sebagai sindrome autosom resesif dengan penetrasi yang
berbeda-beda. Perkiraan frekuensinya saat lahir adalah 1 dari 15.000 hingga 1 dari
40.000 kelahiran. Defek siliar pada pasien dengan sindrome ini adalah tidak
adanya atau pendeknya lengan dinein yang bertanggung jawab untuk pengikatan
akson yang terkoordinasi. Sekitar setengah pasien dengan Diskinesia siliar primer
memiliki kartagener’s syndrome (bronkiektasis, sinusitis, dan situs inversus atau
abnormalitas lateralisasi parsial). Motilitas siliar diatur oleh peptida yang ekspresi
gennya saat ini teridentifikasi. Dengan pendekatan gen kandidat, mutasi pada
rantai DNA yang mengkoding akson dinein telah diidentifikasi sebagai sesuatu
yang unik pada pasien dengan Diskinesia siliar primer.

4
Imunodefisiensi
Orang dengan sindrome imunodefisiensi humoral yang melibatkan
defisiensi IgG, IgM dan Ig A memiliki resiko untuk terjadinya infeksi
sinopulmoner supuratif berulang dan bronkiektasis. Penggantian globulin imun
mengurangi frekuensi episode infeksi dan mencegah berlanjutnya kerusakan
saluran napas. Pada kasus yang jarang, infeksi saluran napas dan kerusakan
saluran napas terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA atau IgM selektif. Peran
dari defisiensi subkelas IgG pada pasien dengan kadar IgG total yang mendekati
normal masih kontroversial, karena pemeriksaan tidak distandarisasi, rentang
normal bervariasi dan kadarnya lebih rendah pada anak-anak dan meningkat
seiring usia. Sebelum penggantian globulin imun dipertimbangkan untuk pasien
dengan defisiensi subkelas IgG, imunisasi dengan antigen sel B provokatif seperti
vaksin hemofilus influenza atau vaksin pneumokokus menunjukkan berkurangnya
respon antibodi, yang menunjukkan bahwa deifisiensi subkelas memiliki sebuah
peranan.

Kistik fibrosis
Onset infeksi saluran napas berulang pada orang dewasa yang tidak
memiliki insufisiensi pankreatis eksokrin dikenal sebagai gambaran kistik
fibrosis. Infiltrasi lobus atas yang tampak pada foto toraks dan pertumbuhan S
aureus atau pseudomonas aeruginosa mukoid pada kultur sputum merupakan
kunci dimana kistik fibrosis mungkin merupakan penyebab yang mendasari
timbulnya penyakit. Meningkatnya kadar natrium dan klorida pada pemeriksaan
klorida merupakan diagnostik. Mutasi regulator penghantar transmembran kistik
fibrosis, seperti yang ditemukan pada kistik fibrosis klasik, sangat sering terjadi,
tetapi banyak mutasi lain yang juga telah diidentifikasi dekat lokus ini.

Artritis reumatoid
Bronkiektasis yang berhubungan dengan artritis reumatoid telah
dijelaskan sebagai pendahulu artritis sebagaimana terjadinya keadaan ini selama
perjalanan penyakit. Pada klinik spesialisasi artritis reumatoid, gambaran klinis

5
bronkiektasis muncul pada 1 – 3 persen pasien. Penggunaan CT resolusi tinggi
mungkin menunjukkan prevalensi bronkiektasis setinggi 30 persen. Selama
periode follow up lima tahun, pasien dengan bronkiektasis dan artritis reumatoid
lima kali lebih sering meninggal dibandingkan pasien dengan artritis reumatoid
saja. Kebanyakan kematian itu akibat komplikasi respirasi.

Inflamatory bowel disease


Infeksi saluran napas berulang dan bronkiektasis telah dicatat pada pasien
dengan Inflamatory bowel disease, paling sering pada pasien dengan kolitis
ulseratif kronik. Hubungan yang dipostulatkan meliputi infiltrasi saluran napas
oleh sel efektor imun seperti limfosit, meningkatnya aktivitas autoimun sebagai
bagian dari penyakit yang mendasarinya, dan komplikasi terapi modulasi imun.
Reseksi usus besar bukanlah tindakan paliatif untuk gejala respirasi dan mungkin
mencetuskan bronkiektasis. Bronkodilator dan obat kortikosteroid inhalasi bisa
mengurangi gejala.

GEJALA DAN PEMERIKSAAN FISIK


Hampir seluruh pasien dengan bronkiektasis memiliki batuk dan produksi
sputum kronik. Sputum berbeda-beda, ada yang mukoid, mukopurulen, kental,
encer, atau banyak. Bercak darah di sputum atau hemoptisis mungkin juga
disebabkan oleh kerusakan saluran napas yang erosif yang diakibatkan oleh
infeksi akut. Dispneu dan wheezing terjadi pada 75 persen pasien. Nyeri dada
pleuritik terjadi pada 50 persen pasien dan mencerminkan adanya distensi saluran
napas perifer atau pneuminits distal di sekitar permukaan pleura viseral. Suara
napas tambahan pada pemeriksaan fisik toraks, yang meliputi crackle (pada 70
persen pasien), wheezing (pada 34 persen pasien) dan rhonki (pada 44 persen
pasien), merupakan kunci diagnosis. Di masa lalu, clubbing finger merupakan
gambaran yang sering ditemui, tetapi penelitian-penelitian yang ada hanya
menyatakan prevalensinya 3 persen saja. Penyakit penyerta utama adalah penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK). Perbandingan dari kedua gambaran ini tertera
pada tabel 2.

6
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Panduan diagnosis tertera pada tabel 3. karena pentingnya diagnosis
bronkiektasis, saya mendiskusikan foto torak secara detail. Sembilan puluh persen
foto toraks abnormal pada pasien dengan batuk kronik, dahak dan sesak napas
yang memiliki bronkiektasis. Gambarannya mungkin nonspesifik, yang mungkin
meliputi pneumonitis fokal, opasitas ireguler tersebar, atelektasis mirip lempeng,
atau dilatasi khusus dan penebalan saluran napas yang tampak sebagai bayang
menyerupai cincin atau tram lines.
CT resolusi tinggi telah menjadi alat diagnostik terbaik untuk
mendiagnosis bronkiektasis, yang mengklarifikasi gambaran dari foto toraks, dan
pemetaan abnormalitas saluran napas yang tidak terlihat pada foto polos dada.
Pemeriksaan CT scan resolusi tinggi yang tepat merupakan pemeriksaan non
kontras dengan menggunakan jendela 1,0 – 1,5 mm tiap 1 cm dengan waktu
akuisisi yaitu satu detik, yang direkontruksi dengan menggunakan algoritme
frekuensi spasial tinggi selama inspirasi penuh. CT spiral selanjutnya mungkin
menghasilkan perubahan yang tampak, karena ia mengurangi artifak gerakan,
tetapi ia memerlukan dosis radiasi yang lebih tinggi. Abnormalitas spesifik yang
ditemukan pada CT resolusi tinggi meliputi dilatasi lumen saluran napas, yang
menyumbangkan lebih dari 5 kali yang mendekati lebar pembuluh darah,
kurangnya tapering saluran napas ke arah perifer, kontriksi varikosis sepanjang
saluran napas dan kista baloning pada ujung bronkus. Bulla yang ditemukan pada
pasien dengan emfisema memiliki dinding yang lebih tipis dan jauh dari saluran
napas. Gambaran nonspesifik meliputi konsolidasi atau infiltrasi lobus dengan
dilatasi saluran napas, penebalan dinding bronkus, mucous plug, membesarnya
nodus limfatikus dan berkurangnya tanda vaskular yang sama dengan yang
terlihat pada emfisema, yang mungkin sebagai hasil dari destruksi inflamasi
saluran napas atau pembuluh darah yang kecil.
Kistik fibrosis atau aspergilosis bronkopulmoner alergika melibatkan
distribusi lobus atas dan infeksi M. Avium kompleks sering mengenai lobus
tengah atau lingula. Bronkiektasis paling sering mengenai lobus bawah. Dengan
menggunakan CT resolusi tinggi, dilatasi saluran napas mungkin terlihat pada

7
penyakit lain. Dilatasi saluran napas berhubungan dengan asma, bronkitis kronik
dan fibrosis pulmoner. Terdapat bukti bahwa jumlah saluran napas abnormal yang
ditemukan pada CT resolusi tinggi berhubungan dengan tingkat gangguan fungsi
paru.

FUNGSI PARU
Spirometri sering menunjukkan keterbatasan aliran udara, dengan
berkurangnya rasio volume ekspirasi paksa semenit (FEV1) terhadap kapasitas
vital paksa (FVC), FVC yang normal atau agak rendah, dan berkurangnya FEV1.
berkurangnya FVC mengindikasikan bahwa saluran napas terhalang oleh mukos,
yang kolaps dengan ekshalasi paksa, atau adanya pneumoitis di paru. Merokok
mungkin memperburuk fungsi paru dan mempercepat gangguan obstruksi.
Hiperresponsif saluran napas bisa ditunjukkan, karena 40 persen pasien memiliki
15 persen atau lebih perbaikan FEV1 setelah penggunaan agonis beta adrenergik,
dan 30 – 69 persen pasien yang tidak berkurangnya FEV1 nya memiliki 20 persen
penurunan FEV1 setelah uji provokasi histamin atau metakolin.

PENATALAKSANAAN
Dasar terapi kelainan ini adalah identifikasi eksaserbasi akut dan
penggunaan antibiotik, penekanan jumlah mikroba, pengobatan keadaan yang
mendasarinya, mengurangi respon peradangan yang berlebihan, peningkatan
higiene bronkus, kontrol perdarahan bronkus, dan pengangkatan pembedahan dari
segmen atau lobus yang sangat rusak yang mungkin merupakan tempat
bersarangnya infeksi atau perdarahan. Literatur tentang penatalaksanaan
memberikan strategi yang telah dievaluasi pada pasien dengan fibrosis kistik atau
PPOK. Penelitian yang memfokuskan pada bronkiektasis telah melibatkan
beberapa pasien, dan hasilnya belum begitu memuaskan.

Eksaserbasi akut atau bronkitis


Identifikasi eksaserbasi saluran napas lebih kompleks pada pasien dengan
bronkiektasis dibandingkan pada pasien dengan PPOK. Pada PPOK, perburukan

8
dispneu dan meningkatnya volume dan purulensi sputum sering digunakan
sebagai kriteria untuk identifikasi eksaserbasi. Pada pasien dengan bronkiektasis
kronik, sputum bersifat purulen. Pada penelitian prosfektif terbesar pada pasien
dengan bronkiektasis, eksaserbasi didefinisikan sebagai adanya empat dari
sembilan gejala yang terdapat pada tabel 4. terapi antibiotik awal untuk dugaan
eksaserbasi pada pasien dengan bronkiektasis mungkin akan membatasi lingkaran
ganas. Pilihan pertama yang beralasan untuk terapi tersebut meliputi
fluorokuinolon seperti levofloksasin atau siprofloksasin. Lamanya terapi yang
tepat belum dikehatui, tetapi minimal 7 - 10 hari pada praktek umumnya. Kultur
sputum dan pemeriksaan sensitivitas diindikasikan pada pasien yang tidak respon
terhadap terapi antibiotik awal atau organisme penyebab diketahui resisten.

Pencegahan dan penekanan mikroba


Empat senter dengan spesialisasi bronkiektasis telah memeriksa sputum
atau spesimen bronkoskopis untuk mengisolasi flora bakteri pada pasien dengan
bronkiektasis steady state (bukan eksaserbasi akut). Kuman patogen yang paling
sering diisolasi adalah H influenza, P aeruginosa dan S pneumonia. Dinamika
kolonisasi bisa ditunjukkan oleh penelitian genetik bakteri. Tidak ada hubungan
antara perubahan pada strain dan angka kejadian eksaserbasi atau penggunaan
terapi antibiotik. Akuisisi dan klirens strain merupakan sesuatu yang kompleks,
proses dinamika yang melibatkan faktor host dan tempat reseptor pada organisme
yang mungkin membantu menentukan kemampuan organisme untuk bertahan atau
merusak saluran napas. Tidak ada data yang cukup untuk mengindikasikan apakan
infeksi virus memainkan peranan langsung pada eksaserbasi akut, walaupun
ketika netrofil dari pasien dengan bronkiektasis terinfeksi in vitro oleh strain
influenza A, tidak ada penurunan pelepasan lisozim dan aktivitas bakterisidal.
Efek ini mungkin memiliki kontribusi terhadap peningkatan masukan bakteri dan
terhadap eksaserbasi akut.
Bukti yang ada tentang adanya dan kuantitas bakteri seperti P aeruginosa
dan H influenza menunjukkan bahwa patogen ini menstimulasi respon mediator
inflamasi dan netrofil di saluran napas. Adanya P aeruginosa dihubungkan dengan

9
meningkatnya produksi sputum, gambaran bronkiektasis yang lebih luas pada CT
scan, lebih banyaknya hospitalisasi dan berkurangnya kualitas hidup. sejak bakteri
patogen dianggap memiliki peranan destruktif aktif, berbagai strategi antibiotik
telah digunakan. eritromisisn telah menunjukkan berkurangnya volume sputum
dan meningkatkan fungsi paru. Fluorokuinolon merupakan obat oral satu-satunya
yang efektif melawan P aeruginosa. Resistensi sering terjadi setelah satu atau dua
siklus pengobatan. Penggunaan antibiotik aerosol merupakan suatu alternatif yang
memungkinkan terapi regional terkonsentrasi, yang mengurangi absorpsi sistemik
dan efek toksik, dan penggunaan alat pengirim yang familiar untuk banyak pasien
dengan penyakit respirasi. 300 mg tobramisin digunakan sebagai aerosol dua kali
sehari selama empat minggu, obat itu mengurangi densitas pseudomonas sputum
dengan 10.000 unit pembentuk koloni per gram sputum, sedangkan tidak ada
pengurangan dengan pemberian plasebo pada sebuah penelitian, tetapi fungsi paru
tidak berubah. Pada penelitian lainnya, 40 mg gentamisin aerosol yang digunakan
dua kali sehari selama tiga hari mengurangi jumlah enzim neutrofilik di sputum,
produksi sputum, dan frekuensi desaturasi nokturnal, aliran ekspirasi puncak juga
meningkat.
American Thoracic Society telah memberikan pernyataan untuk
membantu buku panduan penatalaksanaan infeksi M avium kompleks. Mereka
merekomendasikan penggunaan regimen antibiotik, termasuk azitromisin atau
claritromisin, rifampin atau rifabutin dan etambutol, hingga kultur negatif selama
satu tahun.
Terapi tradisional untuk aspegilosis bronkopulmoner alergika telah
melibatkan penambahan dosis kortikosteroid. Pada sebuah percobaan
randomisasi, penambahan itrakonazol menghasilkan perbaikan respon klinis yang
signifikan dibandingkan dengan plasebo. Hasil tersebut lebih memuaskan pada
mereka tanpa bronkiektasis (60 persen memiliki respon) dibandingkan mereka
yang dengan bronkiektasis (31 persen dari mereka memiliki respon).

10
Higiene bronkopulmoner
Peningkatan pengeluaran sekret paru pada pasien dengan bronkiektasis
memiliki keuntungan. Di samping kontrol batuk, drainase posural, fisioterapi
dada, dan penipisan hilangnya sekret, penggunaan bronkodilator dan
kortikosteroid inhalasi telah menjadi bagian dari terapi rumatan dan pengobatan
untuk eksaserbasi akut.
Kerja dari perkusi dada dan drainase postural analog dengan
pengosongan sisa terakhir dari botol kecap. Menepuk dada secara tradisional telah
digantikan oleh penggunaan inflatable vests atau vibrator mekanis yang
digunakan di dada. Posisi berbaring pada tempat tidur dengan kepala ke bawah
diperlukan, tetapi hal ini sulit dan tidak nyaman bagi pasien. Alat oral yang
menggunakan tekanan ekspirasi akhir positif menjaga patensi saluran napas
selama ekshalasi dan mencapai banyak tujuan yang sama dengan drainase postural
dengan waktu yang lebih singkat dan ketidaknyamanan yang minimal.
Menjaga hidrasi sistemik yang adekuat, yang ditingkatkan dengan
nebulisasi dengan salin, masih diperlukan untuk pasien dengan dahak kental dan
mucous plug. Asetil sistein yang dikirimkan oleh nebulizer mengencerkan dahak,
tetapi masih belum jelas apakah terapi iotu meningkatkan keadaan akhir klinis.
DNA merupakan produk degradasi utama netrofil dan bakteri yang memiliki
kontribusi terhadap dahak yang kental. Penggunaan Dnase manusia rekombinan
aerosol pada pasien dengan bronkiektasis telah diteliti pada percobaan terkontrol
yang besar. Pada akhir enam bulan percobaan. 173 pasien yang mendapat
rhDNase memiliki eksaserbasi paru yang lebih banyak dan penurunan FEV1 ang
lebih besar dibandingkan 176 pasien yang memperoleh plasebo. rhDNase
diizinkan untuk pasien dengan fibrosis kistik tetapi tidak untuk mereka dengan
bronkiektasis.

Pembedahan
Peranan pembedahan untuk bronkiektasis telah berkurang tetapi tidak
menghilang. Tujuan pembedahan meliputi pengangkatan tumor yang
mengobstruksi atau residu benda asing, eliminasi segmen atau lobus yang sangat

11
rusak dan dugaan menjadi penyebab eksaserbasi akut, dahak yang sangat kental
dan banyak, impaksi mukos dan plug, eliminasi daerah yang menjadi subjek
perdarahan yang tak terkontrol, dan pengangkatan bagian paru yang rusak dan
sarang dari organisme bermasalah dan resisten seperti M tuberkulosis atau M
avium kompleks. Tiga pusat pembedahan telah menjelaskan pengalamannya
dengan pembedahan tersebut selama dekade yang lalu, dengan follow up rata-rata
empat hingga enam tahun. Mereka mencatat perbaikan gejala pada lebih dari 90
persen pasien, dengan mortalitas perioperatif kurang dari 3 persen. Transplantasi
paru ganda kini dipertimbangkan untuk pasien dengan fibrosis kistik dan gagal
napas. Ia berhubungan dengan angka harapan hidup yaitu 75 persen pada tahun
pertama dan 48 persen angka harapan hidup lima tahun. Pasien dengan bentuk
bronkiektasis yang lain juga telah menjalani transplantasi paru, tetapi statistik
terpisah terhadap keluaran tidak ada.

Hemoptisis
Hemoptisis yang mengancam nyawa mungkin terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis dan memerlukan pendekatan manajemen agresif terkoordinasi.
Setelah saluran napas dilindungi dengan pasien dibaringkan pada sisi, dimana
diduga asal perdarahan atau intubasi endotrakea, bronkoskopi atau CT dada
dianjurkan untuk membantu menentukan lobus atau sisi mana yang mengalami
perdarahan. Jika radiologi intervensi ada, aortografi dan kanulasi arteri bronkus
bisa menampakkan tempat ekstravasasi darah atau neovaskularisasi kolateral
sehingga embolisasi bisa dilakukan. Pembedahan masih diperlukan untuk
mereseksi daerah dugaan perdarahan.

PROGNOSIS
Keistinen dkk, mereview National Hospital Discharge Register di
Finlandia dan mengidentifikasi 842 pasien dengan bronkiektasis yang berusia 35 –
74 tahun antara tahun 1982 hingga 1986 dan mencocokkan mereka dengan pasien
asma dan pasien dengan PPOK. Selama periode follow up yaitu 8,0 – 12,9 tahun
yang berakhir pada tahun 1993, jumlah hospitalisasi sangat bervariasi. Ada 239

12
kematian pada pasien dengan bronkiektasis, 165 pasien dengan asma dan 319
kematian pada pasien dengan PPOK. Penyakit yang mendasarinya adalah
penyebab utama kematian pada pasien dengan bronkiektasis dan mereka dengan
PPOK. Penyakit jantung merupakan penyebab primer kematian pada pasien
dengan asma.

KESIMPULAN DAN DEFINISI REVISI


Bronkiektasis melibatkan infeksi saluran napas kronik dan up regulasi
respon peradangan host. Pentingnya CT resolusi tinggi sebagai gold standard
untuk pemeriksaan telah membawa kebaikan dan kebingungan, karena penyakit
paru yang lain juga melibatkan dilatasi saluran napas. Definisi revisi bronkiektasis
purulenta yang didasarkan pada temuan pada dua serial pasien mungkin meliputi
kriteria untuk mendiagnosis produksi sputum mukopurulen harian kronik
ditambah temuan yang kompatibel pada CT resolusi tinggi. Walaupun tidak ada
penyebab pasti pada 50 persen kasus, identifikasi imunodefisiensi humoral,
infeksi mikobakterium dan pseudomonas, fibrosis kistik, atau aspergilosis
bronkopulmoner alergika memiliki implikasi yang penting untuk prognosis dan
penatalaksanaan. Definisi eksaserbasi akut sebaiknya melibatkan kombinasi
kriteria yang berhubungan dengan gambaran klinis, konsentrasi sel radang saluran
napas dan mediator, jenis organisme mikrobiologi, dan fungsi paru, sehingga
strategi pengobatan bisa dibandingkan dan dinilai. Eksaserbasi akut harus
ditangai dengan baik. Perhatian terhadap higiene bronkopulmoner mungkin
menguntungkan tetapi memerlukan investigasi konfirmasi dengan akhir yang
berguna, yang meliputi volume sputum, fungsi paru, dan ukurang standarisasi
kualitas hidup.

13

You might also like