Professional Documents
Culture Documents
GUNUNGKIDUL
10
2.1. Kondisi Kemiskinan
2.1.1. Pengertian / Definisi Kemiskinan
Kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang tidak
terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang
mengakui bahwa masyarakat miskin, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan
anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka
untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam
peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain
meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman
dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi
satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan
hak lainnya.
Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai
suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak.
Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep
ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan
seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai
manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban
pemerintah (pusat dan daerah/kabupaten) untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 km2 atau merupakan 46,63 % dari luas
wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi topografinya berbukit-bukit
dengan ketinggian berkisar 0 – 700 meter dpl. Berdasarkan kondisi topografi, jenis
batuan dan tanahnya, Kabupaten Gunungkidul dapat dibagi menjadi 3 satuan wilayah
pengembangan yaitu :
a. Zona Utara disebut dengan wilayah pengembangan Zona Batur Agung, memiliki
ketinggian 200 m – 700 m di atas permukaan laut. Kondisi topografinya berbukit-
bukit dan pada zona ini terdapat sungai di permukaan dan sumber-sumber air
tanah serta dapat digali sumur dengan kedalaman 6 m – 12 m dari permukaan tanah.
Jenis tanahnya vulkanik lateristik, sedangkan batuan induk adalah Dasit dan Andesit.
b. Zona Tengah disebut dengan wilayah pengembangan Ledok Wonosari, zona ini
memiliki ketinggian 150 m – 200 m di atas permukaan laut dengan kondisi
topografinya relatif datar. Pada zona ini dijumpai sungai di permukaan dan pada
musim kemarau sungai-sungai tersebut alirannya relatif kecil kecil atau bahkan
kering. Di zona ini terdapat sumber air tanah dengan kedalaman 60 – 120 m. Jenis
tanahnya margalit dengan batuan induk penyusunnya adalah batu gamping. Zona
tengah atau Zona ledok Wonosari ini meliputi Kecamatan Playen, Wonosari,
Karangmojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara.
c. Zone Selatan atau disebut dengan Zona Pegunungan Seribu. Zona selatan ini
memiliki ketinggian 0 m – 300 m di atas permukaan laut dengan batuan dasar
pembentuknya adalah batu kapur terumbu. Zona Pegunungan Seribu ini merupakan
kawasan karst dengan ciri khas bukit-bukit berbentuk kerucut (Conical limestone).
Pada zona ini sulit dijumpai dijumpai sungai di permukaan, namun banyak dijumpai
sungai di bawah tanah. Zone Selatan ini meliputi kecamatan Saptosari, Paliyan,
Girisubo, Tanjungsari, Tepus, Rongkop, Purwosari, Panggang, Ponjong bagian
selatan, dan Semanu bagian selatan.
Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak pada ketinggian yang bervariasi antara 0 – 800
meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul yaitu
1.341,71 km2 atau 90,33 % berada pada ketinggian 100 – 500 m di atas permukaan laut
(dpl). Sedangkan sisanya 7,75 % terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dpl, dan
1,92 % terletak pada ketinggian lebih dari 500 – 1.000 m dpl.
σ Asosiasi mediteran merah dan Renzina, dengan batuan induk batu gamping, bentuk
wilayah berombak sampai bergelombang, terdapat di wilayah Kecamatan Ngawen
bagian Selatan, Nglipar, Karangmojo bagian Barat dan Utara, Semanu bagian Barat,
Wonosari bagian Timur, Utara dan Selatan, Playen bagian Barat dan Utara, serta
Paliyan bagian Selatan.
σ Grumosol hitam, dengan batuan induk batu gamping, bentuk wilayah datar sampai
bergelombang, terdapat di wilayah Kecamatan Playen bagian Selatan, Wonosari
bagian Barat, Paliyan bagian Utara, dan Ponjong bagian Selatan.
σ Asosiasi Latosol merah dan Litosol, dengan bahan induk tufan dan batuan vulkanik
intermediet, bentuk wilayah bergelombang sampai berbukit, terdapat di wilayah
Kecamatan Semin bagian Utara, Patuk bagian Selatan, dan Playen bagian Barat.
Curah hujan rata-rata Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2004 sebesar 1382 mm
dengan jumlah haru hujan rata-rata 89 hari. Bulan basah 4 – 5 bulan, sedangkan bulan
kering berkisar antara 7 – 8 bulan. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober-Nopember
dan berakhir pada bulan Maret-April setiap tahunnya. Puncak curah hujan dicapai pada
bulan Desember – Pebruari. Wilayah Kabupaten Gunungkidul bagian Utara merupakan
wilayah yang memiliki curah hujan paling tinggi dibanding wilayah tengah dan selatan,
sedangkan wilayah Gunungkidul bagian selatan mempunyai awal hujan paling akhir.
Di Kabupaten Gunungkidul terdapat dua daerah aliran sungai (DAS) permukaan yaitu DAS
Oyo – Opak, DAS tersebut terdiri dari beberapa Sub DAS yang berfungsi untuk mengairi
areal pertanian, juga terdapat DAS bawah permukaan yaitu DAS Bribin.
Air permukaan (sungai dan mata air) banyak dijumpai di Gunungkidul wilayah utara dan
tengah. Di wilayah tengah beberapa tempat mempunyai air tanah yang cukup dangkal
dan dimanfaatkan untuk sumur ladang. Wilayah selatan Gunungkidul merupakan
kawasan karst yang jarang ditemukan air permukaan. Di wilayah ini dijumpai sungai
bawah tanah seperti Bribin, Ngobaran, Seropan dan Baron serta ditemukan juga telaga
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1659
K/40/MEN/2004 Tanggal 1 Desember 2004 tentang Penetapan Kawasan Karst
Gunungsewu dan Pacitan Timur, untuk Kabupaten Gunungkidul kawasan yang ditetapkan
sebagai kawasan karst adalah kawasan perbukitan batu gamping yang terletak di
Kecamatan Wonosari, Ponjong, Panggang, Semanu, Purwosari, Paliyan, Saptosari,
Rongkop, Tanjungsari, Tepus, dan Girisubo. Kawasan tersebut perlu dikelola sesuai
dengan daya dukung lingkungannya dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi
kawasan karst yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
2.1.2.2. Perekonomian
a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah dapat dicerminkan dari beberapa
indikator makro. Salah satu indikator makro yang kerap dipakai untuk melihat
keberhasilan pembangunan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Besarnya
nilai PDRB yang berhasil dicapai dan perkembangannya merupakan refleksi dari
kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Bangunan
6%
P ertanian
Listrik, Gas, dan Air 38%
Bersih P ertambangan dan
lain, sektor pertanian mengalami kecenderungan sulit naik atau lebih cenderung kearah
stagnan, yang menandakan adanya kejenuhan dalam perkembangannya. Kedua
fenomena di atas menunjukkan adanya transformasi ekonomi dari sektor primer ke
sektor sekunder dan tersier.
Perkembangan sektor yang cenderung menurun dibandingkan tahun 2002 dialami oleh
Sektor Industri Pengolahan, Sektor Pertambangan dan Penggalian, Sektor Keuangan,
Sewa dan Jasa Perusahaan dan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, tetapi kondisi
ini belum dapat menjadi gambaran akan kejenuhan masing-masing sektor, karena sangat
memungkinkan belum digali secara maksimal.
Naiknya
sumbangan sektor penyumbang terbesar kedua (Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran) adalah ditopang dari Sub Sektor Perdagangan Besar dan Perdagangan Eceran.
Sementara Sub Sektor Hotel dan Restoran peranannya masih relatif kecil, tetapi
perkembangannya relatif naik. Sumbangan ini merupakan refleksi dari hasil pengelolaan
potensi wisata Kabupaten Gunungkidul yang mempunyai banyak obyek wisata alam
yang potensial.
Gambar 2.3 perkembangan PDRB Sub Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
Kabupaten Gunungkidul Tahun 1999-2003
Perkembangan PDRB di Sub Sektor Hotel dan Restoran yang cenderung naik, sangat
ditunjang oleh usaha pengoptimalan pengelolaan obyek wisata di sepanjang pantai
selatan Gunungkidul. Potensi ini mencakup fenomena alam panorama, dan sumber daya
ikan laut. Obyek dan daya tarik wisata (ODTW) andalan Kabupaten Gunungkidul adalah
pantai-pantai yang mempunyai panorama spesifik yaitu dari arah barat ke timur
Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran yang telah dicapai penduduk
suatu daerah adalah dengan menghitung PDRB per kapitanya. Jika data tersebut
disajikan secara berkala maka akan menunjukkan adanya perubahan kemakmuran.
Dilihat dari nilai PDRB per kapita atas dasar harga berlaku, pada tahun 2003 terjadi
peningkatan menjadi sebesar 7,18 juta rupiah dibanding tahun 2002 sebesar 3,92 juta
rupiah, atau meningkat 6,63 persen. Namun kenaikan tersebut belum menunjukkan
kenaikan daya beli masyarakat karena kenaikan tersebut masih terpengaruh oleh
adanya kenaikan-kenaikan harga. Untuk dapat melihat kenaikan daya beli masyarakat,
secara umum tercermin dari kenaikan PDRB per kapita atas dasar harga konstan.
Berdasarkan harga konstan, PDRB per kapita Kabupaten Gunungkidul mengalami
kenaikan yaitu sebesar 1,62 persen menjadi 1,313 juta rupiah pada tahun 2003. Dengan
demikian meskipun secara nominal PDRB Kabupaten Gunungkidul cukup tinggi tetapi
secara riil daya beli masyarakat hanya mengalami sedikit peningkatan. Hal ini
disebabkan karena terjadinya kenaikan pada PDRB per kapita atas dasar harga berlaku
lebih didominasi oleh kenaikan harga-harga dibandingkan dengan kenaikan produksi riil.
a. Kependudukan
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Gunungkidul dari tahun 2000 – 2004 rata-rata per
tahun sebesar 0.29 % (termasuk pertumbuhan yang rendah). Tingkat kepadatan
penduduk pada tahun terakhir (2004) adalah 509 jiwa/km2, atau 5 jiwa/rumah tangga.
Komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin menunjukan piramida penduduk
struktur umur muda, yaitu ditandai dengan penggelembungan jumlah penduduk usia
muda (usia 20 tahun ke bawah). Kondisi ini menuntut konsentrasi penanganan dan
pemenuhan kebutuhan penduduk di usia muda, misalnya pendidikan, kesehatan dan
penyediaan lapangan kerja baru. Selain itu, adanya kecenderungan larinya penduduk
usia kerja awal (mulai 20 tahun) keluar daerah juga perlu mendapatkan perhatian serius
agar tidak kehilangan Sumber Daya Manusia potensial untuk membangun wilayah
sendiri.
b.
Ketenagakerjaan
Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, yaitu 69 %. Kondisi ini
Gambar 2. 6. Mata Pencaharian Penduduk menurut Lapangan Usaha Utama Tahun 2004
Meskipun wilayah Kabupaten Gunungkidul memiliki wilayah yang luas, kepadatan sedang
dan memilik potensi alam yang belum optimal tergarap, tetapi angka pengangguran
masih cukup tinggi. Pada tahun 2004, tingkat pengangguran di Kabupaten Gunungkidul
adalah sebesar 2,23 %. dari total angkatan kerja , yaitu terdiri laki-laki sebesar 10.471
orang dan untuk perempuan sebanyak 5.631 orang.
c. Kebudayaan
Sebagian besar penduduk Gunungkidul pada tahun 2004 yang beragama Islam yaitu
716.783 orang ( 95,36 % ). Kondisi ini telah difasilitasi Pemerintah Daerah dengan
penyediaan sarana beribadah berupa masjid yaitu sebanyak 1.621 buah, Mushola 388
buah dan Langgar 445 buah. Fasilitas keagamaan lainnya adalah Gereja dan Rumah
Kebaktian Kristen 76 buah dan Gereja/Kapel Katolik sebanyak 34 buah dengan pemeluk
16.659 orang ( 2,20 % ). Jumlah Wihara sebanyak 7 buah, dengan pemeluk agama Budha
443 orang ( 0,06 % ). Sedangkan jumlah Pura sebanyak 14 buah, dengan pemeluk agama
Hindu sebanyak 1.962 orang ( 0,26 % ). Tercukupinya jumlah fasilitas keagamaan ini
menjadikan suasana aman dan tenteram serta kondusif.
Disisi lain, ada kelompok kemasyarakatan yang bergerak langsung di bidang pariwisata,
yaitu kelompok masyarakat sadar wisata, perajin, dan pedagang berjumlah 278
kelompok. Hasil kerajinan dari kelompok perajin dapat dimanfaatkan sebagai cindera
mata untuk mendukung dunia pariwisata, misalnya topeng, batu alam, manik-manik dan
lain sebagainya
d. Kesejahteran Sosial
Usaha Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat meliputi berbagai bidang. Di bidang sosial Pemerintah bersama-sama
dengan swasta dan organisasi sosial kemasyarakatan telah memberikan pelayanan sosial
baik melalui panti-panti sosial maupun non panti serta kursus ketrampilan, khususnya
bagi penduduk yang cacat dan penyandang masalah sosial lainnya. Data penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kabupaten Gunungkidul
9 Tuna Susila 14
10 Pengemis 14
11 Gelandangan/Pemulung 2/339
Tabel 2.2
Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) di Kabupaten Gunungkidul
e. Kesehatan
Keberhasilan dalam penerapan hidup bersih dan sehat di masyarakat dapat diukur dari
berbagai indikator, dan tercermin dalam meningkatnya derajat kesehatan masyarakat
antara lain :
a. Angka kematian bayi pada tahun 2002 sebesar 26,06/1000 dan pada tahun 2003
tetap sebesar 26,06/1000.
b. Angka kematian kasar turun dari 3,66/1000 pada tahun 2002 menjadi 3,54/1000
pada tahun 2003.
c. Penderita anemia ibu hamil pada tahun 2002 sebesar 83,60 dan pada tahun 2003
turun menjadi 41,30.
d. Penderita anemia balita pada tahun 2002 sebesar 65,30 dan pada tahun 2003 turun
menjadi 28,16.
e. Penderita Kurang Energi Kronis (KEK) WUS pada tahun 2002 sebesar 26,54 dan 26,38
pada tahun 2003.
f. Pendidikan.
Sebagian besar penduduk Gunungkidul hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar.
Kondisi ini menunjukan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia, sehingga di
masa mendatang, diperlukan usaha peningkatan kualitas pendidikan mereka, yaitu
pembangunan pendidikan yang mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan.
Selama ini usaha yang ditempuh dalam usaha meningkatkan kualitas SDM adalah
meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap dunia pendidikan, yaitu mendorong
Selain dorongan motivasi untuk ikut kegiatan belajar, diusahakan pula pemenuhan
fasilitas pendidikan termasuk kecukupan ruang kelas sebagai penunjang kegiatan
belajar. Rasio jumlah murid terhadap ruang kelas dapat menggambarkan ketersediaan
uang bagi kegiatan belajar mengajar. Dengan asumsi 1 (satu) kelas dipakai untuk 40
orang, maka kondisi fasilitas ruang kelas di Gunungkidul dapat dikatakan tercukupi
baik tingkat SD, SMP maupun SMA.
Gambar 2.10 Rasio Murid Kabupaten Gunungkidul terhadap Ruang Kelas Tahun 2004
Masih tingginya angka putus sekolah pada semua jenjang pendidikan formal di
Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2002-2003 dapat disebabkan karena kurangnya
kemampuan masyarakat dalam mengikuti proses belajar, tetapi dapat juga karena
faktor lain (pindah ke luar kota). Pada gambar di bawah ini, angka putus sekolah yang
cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, perlu dicari akar permasalahan
penyebab siswa putus di tengah jalan.
Gambar 2.11 Jumlah dan Prosentase Angka Putus Sekolah Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2001 - 2003
Jalur jalan yang menghubungkan kota-kota di Jawa Tengah Selatan dan Timur (Klaten,
Sukoharjo, Wonosari) adalah jalur jalan yang melewati Semin – Karangmojo – Wonosari –
Paliyan – Panggang terus ke Yogyakarta.
Jalur jalan yang lain merupakan jalur transportasi koridor fungsi perdagangan, industri
dan pusat permukiman yaitu Sadeng – Rongkop – Semanu – Wonosari – Playen – Patuk
terus ke Yogyakarta .
Untuk membuka akses wilayah selatan, mulai dari Bantul – Gunungkidul - Wonogiri -
Pacitan. akan ditingkatkan jaringan jalan lintas selatan. Akses ini dimaksudkan untuk
membuka peluang ekonomi di wilayah selatan, sekaligus mengurangi kejenuhan lalu
lintas wilayah utara Pulau Jawa. Panjang lintas selatan di Kabupaten Gunungkidul ini
sepanjang 81,25 km. dengan melintasi 7 kecamatan di wilayah selatan.
Rasio panjang jalan di kabupaten Gunungkidul pada tahun 2004 adalah 0,80 Km/Km 2
dengan rincian kondisi jalan tampak seperti gambar 13. Kondisi ini menunjukkan bahwa
fasilitas transportasi sudah cukup memadai.
Gambar 2.12 Kondisi dan Status Jalan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2004
Untuk melayani angkutan transportasi, terdapat terminal regional yang terletak di kota
Wonosari, yaitu terminal antar kota yang bersatu dengan terminal angkutan perdesaan.
Terminal dan tempat pemberhentian angkutan lainnya tersebar di kecamatan lainnya.
Seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kritis, maka adanya
tuntutan keterbukaan dalam wadah partisipasi politik rakyat yang ditandai dengan
berlakunya sistim multi partai yang mengikuti Pemilu serta munculnya berbagai bentuk
asosiasi masyarakat sipil, baik dalam bentuk organisasi kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat maupun forum-forum lainnya, menjadi model yang sangat penting
dalam mewujudkan proses demokratisasi ke depan.
Kondisi penegakan hukum di Kabupaten Gunungkidul sudah berjalan dengan cukup baik,
namun masih perlu ditingkatkan. Produk hukum seperti Peraturan Daerah yang
merupakan implementasi dari otonomi daerah ditingkatkan agar dapat mencerminkan
aspirasi kebutuhan masyarakat Gunungkidul, sehingga dapat mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan demikian, produk hukum daerah yang
dihasilkan benar–benar dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat.
Langkah kebijakan yang telah diambil Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dalam rangka
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta memberikan kepastian hukum dan
ketentraman dalam kehidupan yaitu :
1. Meningkatkan pelayanan masyarakat di bidang hukum serta menyelenggarakan
penyuluhan hukum dalam rangka meningkatkan kesadaran serta budaya hukum dan
tertib hukum;
2. Menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2003 sebanyak 13
buah dan pada tahun 2004 sebanyak 4 buah.
Penegakkan supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia merupakan salah satu
kunci yang sangat mendasar dan penting dalam melaksanakan tugas pemerintahan
secara umum dan pembangunan sektor-sektor lainnya. Kabupaten Gunungkidul sebagai
bagian integral dari Pemerintah Republik Indonesia, tidak mungkin mengisolasi diri dari
kompetisi dengan daerah lainnya dalam menegakkan supremasi hukum, demokrasi dan
Hak Asasi Manusia.
Supremasi hukum memiliki makna bahwa hukum merupakan landasan berpijak bagi
seluruh penyelenggara negara, sehingga pelaksanaan pembangunan di daerah Kabupaten
Gunungkidul khususnya dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dengan
terciptanya supremasi hukum diharapkan dapat terwujud pemerintahan yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme (clean government) dapat tercipta dan pemerintahan
daerah yang baik (good governance) dapat terwujud.
Sampai saat ini Gunungkidul masih menghadapi masalah kemiskinan yang antara lain
ditandai oleh jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang rentan
untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2002 Subdin KB Kabupaten
1 Subdin KB, Data Pra KS dan KS1 dengan alasan ekonomi tahun 2002 – 2004.
Fakta yang penting untuk dihindari adalah kelompok kerja acap kali larut dalam
perdebatan panjang tentang “data” kemiskinan itu sendiri, sebab untuk memperoleh
data kemiskinan yang valid membutuhkan energi dan waktu yang panjang. Oleh karena
itu, data yang tersedia dikaji deviasinya dan selanjutnya diputuskan untuk menggunakan
data yang mana. Sebaran data awal untuk penanggulangan kemiskinan dapat dilihat
dalam Tabel 2.3.
Data tahun 2006 di atas menunjukkan kenaikan angka kemiskinan yang cukup signifikan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sempat menunjukkan kecenderungan
menurun dari tahun ke tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena: (i) menurunnya
daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sehari-hari; (ii) kondisi ekonomi makro yang
tidak stabil; (iii) menurunnya akses masyarakat terhadap berbagai pelayanan dasar
hidup.
Suara komunitas miskin dari setiap cluster kemudian dikonsultasikan pada publik di
tingkat cluster, yang bertujuan untuk mengklarifikasikan, merasionalisasikan dan
merevisi hasil temuan sebelumnya.