Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
pendidikan, disamping itu masih belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan
ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis. Ketimpangan pemerataan
pendidikan juga terjadi antar wilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan
pedesaan, serta antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia, dan
antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antar gender.
2
pendidikan yang merupakan ciri esensial suatu sistem pendidikan yang relevan
dengan konstitusional belum terwujud.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan
kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan
hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya
suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan
hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang
diinginkan.
1. Penyusunan Agenda
4
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai
apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu
publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan
(policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem).
Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para
aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn
(1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik
tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah
tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik
(Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) [2]
diantaranya:
a. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman
yang serius;
b. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
c. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa;
d. menjangkau dampak yang amat luas ;
e. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
f. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya)
5
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
2. Formulasi kebijakan
6
pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-
simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
7
Menurut hemat penulis, karena Indonesia adalah negara dimana
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial seperti
yang disebutkan pada pembukaan UUD’45, sebagai tujuan pembangunan
nasional, maka langkah awal yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah
bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan ini, terutama
pendidikan dasar, dapat ditingkatkan dengan cara memberikan kebijakan gratis
bagi seluruh warga bangsa. Kebijakan sekolah gratis ini dituangkan dalam bentuk
undang-undang dan benar-benar dapat dijalankan di lapangan dengan dukungan
semua pihak. Meskipun selama ini program sekolah gratis ini sudah dijalankan di
berbagai daerah, seperti di DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, namun demikian
belum ada laporan yang menyatakan bahwa pendidikan gratis ini sudah ditangani
secara sungguh-sungguh dan merata di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, Aoer
mengatakan bahwa “ide pendidikan dasar 9 tahun (6 tahun SD dan 3 tahun SMP)
hanya indah diatas kertas, apalagi hanya berisi “slogan janji untuk pendidikan
gratis” pada saat kita kesulitan dana pembangunan, walaupun sudah meminjam
dana dari negara asing. Dan banyak orang yang mengklaim bahwa pelaksanaan
Wajib Belajar 9 tahun telah mengalami kegagalan, karena tidak ada political will
pemerintah yang betul-betul mendukung program ini, terutama dari segi
pendanaannya.
8
Artinya, termasuk kitapun dengan mudah menghitung pengeluaran dari yang
semula untuk subsidi BBM kemudian dialihkan untuk subsidi pendidikan dan
kesehatan dengan jumlah yang sama sehingga pendidikan dan kesehatan bisa
gratis. Jadi, jelaslah bahwa pendidikan gratis berarti mengalihkan biaya
pendidikan, khususnya biaya investasi dan operasional pendidikan ditanggung
pemerintah melalui dana subsidi BBM.
9
ketersediaan anggaran pendidikan bagi kalangan tidak mampu. Ini berangkat dari
itikad bahwa semua anak usia didik harus menikmati layanan pendidikan. Guna
menjamin keberlangsungan layanan pendidikan bagi semua lapisan sosial, negara
dan pemerintah perlu mengatur secara tegas subsidi pendidikan bagi kalangan
tidak mampu. Karena terbatasnya anggaran negara, banyak yang menyarankan
agar model subsidi silang hendaklah tertuang dalam peraturan pemerintah (PP)
atau keputusan menteri. Hal ini berdasarkan fenomena makin mahalnya biaya
pendidikan yang sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Bahkan ada
yang mengusulkan agar draf PP dan UU sistem pendidikan nasional perlu
mengakomodir model subsidi silang ini.
10
tercakup prinsip pengelolaan keuangan yang mengedepankan akuntabilitas,
efiensi, evektivitas, dan produktivitas. Sementara itu, ada beberapa kalangan lain
yang mempunyai pendapat mengenai kebijakan pemerintah untuk dijadikan
perlindungan hukum mengenai implementasi subsidi BBM. Misalnya, ada LSM
bahwa UU Sisdiknas sebetulnya terlalu makro untuk mengatur urusan subsidi.
Perlu ada paying yang lebih teknis dan mengatur urusan subsidi. Yang jelas,
apapun kebijakan yang akan diambil pemerintah, sudah saatnya sekarang ini
diambil keputusan untuk merelisasikan amanat amandemen pasal 31 ayat (2) dan
ayat (4) UUD 1945 pasal (4) dan pasal 34 ayat (1 s/d 3) UU nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan Nasional.
Jika subsidi pendidikan tidak diatur maka jumlah orang-orang yang tidak
menikmati layanan pendidikan akan semakin banyak. Tidak menikmati layanan
pendidikan berarti orang-orang bersangkutan tidak mempunyai kesempatan
memperbaiki kualitas hidup dan strata sosialnya. Akibatnya, beban Negara yang
sekarang sudah berat akan semakin berat lagi. Disamping itu, jika masalah
pendidikan tidak terpenuhi maka biaya yang harus ditanggung negara dikemudian
hari bakal berlipat ganda dibanding sekarang. Deretan permasalahan sosial, seperti
kebodohan, pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas, akan semakin panjang.
Dengan melihat landasan hukum yang ada, baik itu UUD 1945 yang secara
langsung mengamanatkan kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan
pendidikan tanpa memilahnya, ataupun dalam UU sisdiknas yang mengakui
adanya 3 jalur pendidikan maka, kebijakan pendidikan gratis seharusnya sudah
dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Karena memang kajian program bantuan untuk siswa miskin sudah menjadi
agenda rutih pemerintah. Namun sampai saat ini penerapanya belum
11
bisadirasakan merata oleh seluruh warga Indonesia. Masih banyak anak yang
putus sekolah karena kendala biaya. Kejadian ini me,rupakan bukti nyata yang
terjadi di lapangan. Ada beberapa alasan yang mungkin menjadi penyebabnya.
Bisa karena terbatasnya dana anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah atau ada
pihak lain yang secara sengaja menggunakan anggaran untuk pendidikan
digunakan untuk kepentingan pribadi.
Jadi penerapan mengenai kebijakan untuk siswa miskin yang telah menjadi
agenda pemerintahan Indonesia belum berhasil dilaksanakan. Ini harus menjadi
PR bagi petinggi Negara karena pendidikan me,rupakan hal yang sangat penting
untuk keberlangsungan Negeri ini.
setelah begitu banyak program bantuan untuk siswa miskin yang menjadi agenda
pemerintah Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya belum berhasil terealisasi ini
menjadi bukti adanya kesalahan dari program ini atau bisa jadi adanya kecurangan
pihak lain yang lebih mementingkan kepentingan pribadi.
Orang tua siswa sebagai objek untuk dieksploitasi harus membayar mahal
biaya pendidikan di sekolah, sekalipun itu berstatus sekolah negeri. Bagi orang
tua siswa dengan tingkat ekonomi level menengah ke atas, biaya mahal bukan
menjadi masalah besar. Karena prinsip orang tua adalah biaya mahal itu adalah
investasi masa depan untuk anaknya.
Lalu, dimana posisi siswa yang orang tuanya miskin? Modal kecerdasan
intelektual tidak menjamin Si Miskin itu mencicipi pendidikan. Realitas tersebut
bertolak belakang dengan UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Pada pasal (4)
12
disebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Bahkan Pasal (5)
menyatakan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”.
Orang tua siswa Si Miskin juga tidak luput dari objek eksploitasi. namun
bukan uangnya yang dieksploitasi, melainkan pemikirannya. Hampir di setiap
momen kampanye pemilihan bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga
presiden, pemikiran mereka dicekoki dengan iming-iming pendidikan gratis atau
paling tidak pendidikan murah. Jargon pendidikan seolah menjadi komoditi utama
yang laku untuk dijual pada saat kampanye politik. Namun setelah
Pilkada/Pemilu, Si Miskin tetap saja tidak sekolah, dan orang tua siswa masih
harus merogoh kocek untuk pendidikan anaknya.
13
Kemiskinan identitas adalah terbatasnya perbauran antar kelompok sosial dan
terfragmentasi (terpisah) dari komunitasnya. Sedangkan menurut Karl Marx,
kondisi tersebut disebut sebagai alienasi (keterasingan). Keterasingan Si Miskin
terhadap lingkungannya sendiri. terasing dari hak-haknya untuk memperoleh
pendidikan sebagai hak dasar setiap manusia yang diatur dalam konstitusi negara.
Dan Si Miskin selamanya akan menjadi “Tamu” di negerinya sendiri.
14
BAB III
PENUTUP
Sisi lain, alokasi 20 % anggaran pendidikan pada APBN tahun 2009 dapat
mempercepat realisasi pendidikan gratis. Selain itu, mata rantai birokrasi yang
panjang sering kali berkonsekuensi kost yang besar, demikian halnya birokrasi di
15
bidang pendidikan, sehingga demi efisiensi penggunaan dana pendidikan
dipandang perlu untuk diperpendek. Pemerintah kiranya dapat menyalurkan biaya
operasional pendidikan yang dapat diakses langsung oleh sekolah ke-bank-bank
yang ditunjuk sesuai dengan alokasi masing-masing sekolah/madrasah, dengan
demikian segala macam potongan yang selama ini menjadi hama anggaran
pendidikan dapat dihindari.
16
DAFTAR PUSTAKA
http://pairofking.blogspot.com/2010/02/analisis-kebijakan-sekolah-gratis-di.html
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=250
http://www.wikifedia.com
17