Professional Documents
Culture Documents
Sastra
2. Galuh Esti
3. Naila Zahiro
4. Rahadian B
1
Definisi Sastra
Sastra (Sansekerta शा, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra,
yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti
"instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk
kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra
lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa
yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran
yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media
lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan
(arsitektur).
2
Sejarah
Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili
periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial,
pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai
dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru,
Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini,
bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya.
Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan masyarakatnya.
Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau
tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di
berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan
penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya awal
sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam daftar riwayat
kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan.
Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada
masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang
sudah tua.
Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang
tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat
kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan
cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah
penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa.
Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang
roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di sejumlah
artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006).
Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di
Medan pada masa penjajahan.
Jika kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian besar dilakukan
oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama dan karya di luar kanonisasi dan kategori yang
dibentuk dalam kajian sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas. Sejumlah hal
menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan pula. Paling tidak, kita
bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk dalam kanonisasi yang termaktub dalam tesis
Watson (1972) tentang sosiologi karya-karya terbitan Balai Pustaka yang cukup luas. Atau
bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-karya Balai Pustaka yang dibahas
oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan dalam kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam
artian bagaimana mereka memperlakukan obyek kajiannya tanpa tendensi pengaruh kanonisasi
dan kategorisasi yang dibentuk.
Inilah yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra kita. Tanpa
harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi, yang hanya akan berakibat pada
pembenaran dan penguatan kesimpulan yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah sastra kita dapat
disemarakkan oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini tampaknya
memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan para peneliti yang ada,
yang berbicara atas penemuan mereka, bukan pada upaya mempertahankan pernyataan-
pernyataan yang telah mereka buat.
Modal usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan berbagai
institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa, dan perpustakaan yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia. Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para
peneliti sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai daerah, sepengetahuan
saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik kajian maupun karya sastra, yang belum
mencerminkan kondisi sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.
Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai
pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk
pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama
kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra,
khususnya sejarah sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra
di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra menggunakan hasil
kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita tidak pernah betul-betul
bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.
Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius
ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus lahir,
yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan
asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya,
tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.
3. Kecenderungan penulisan
Penulisan sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip Rosidi
(1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007), Korrie Layun Rampan (1983,
1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin (tentu saja dalam berbagai buku yang ditulis atau
dieditorinya), dan sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi berdasarkan
konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih meninggalkan sejumlah fakta yang
cukup penting.
Sastra dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar dirinya, atau
keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek sosiologi dari sastra mau tak mau dijadikan
dasar pijakan dalam penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera menjadi dasar
kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya dalam deretan penting karya
sastra yang tercatat dalam sejarahnya. Capaian bentuk estetika karya, karenanya, menjadi
pertimbangan berikutnya.
Pertimbangan sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol, karena
peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Namun
kemudahan ini tentu saja bukan menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara tentang sastra,
termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika yang tidak melulu berbicara
tentang aspek sosialnya.
A. Sastra Lama
Sastra lama adalah sastra yang berbentu lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu
ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam
pada abad ke-13. Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang
muslim di Minye Tujuh, Aceh.
Contoh sastra lama : fabel, sage, mantra, gurindam, pantun, syair, dan lain-lain.
B. Sastra Baru
Sastra baru adalah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga
sudah tidak asli lagi.
Contoh sastra baru : novel, biografi, cerpen, drama, soneta, dan lain sebagainya.
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
Sejarah
Hikayat
• Hikayat Abdullah
• Hikayat Kalila dan Damina
• Hikayat Aceh
• Hikayat Masydulhak
• Hikayat Amir Hamzah
• Hikayat Pandawa Jaya
• Hikayat Andaken Penurat
• Hikayat Pandja Tanderan
• Hikayat Bayan Budiman
• Hikayat Putri Djohar Manikam
• Hikayat Djahidin
• Hikayat Sri Rama
• Hikayat Hang Tuah
• Hikayat Tjendera Hasan
• Hikayat Iskandar Zulkarnain
• Tsahibul Hikayat
• Hikayat Kadiru
Syair
• Syair Bidasari
• Syair Ken Tambuhan
• Syair Raja Mambang Jauhari
• Syair Raja Siak
Kitab agama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang
dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah
Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang
terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun
1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan
drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam
khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul
dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian
(cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga
bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas
dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab
banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang,
dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel
Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:
• Merari Siregar
• Marah Roesli
• Muhammad Yamin
• Djamaluddin Adinegoro
• Abdul Muis
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai
Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman
Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada
dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir
Hamzah
• Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit
(1933)
o Kertajaya (1932)
5. Angkatan 1945
Fase pertama ditandai dengan munculnya tulisan jassin yang secara jelas hendak
mengangkat chairil anwar sebagai tokoh sentral angkatan 45.
Fase kedua ditandai dengan pembelaan jassin terhadap penamaan angkatan 45 berikut
sikap yang melandasi angkatan ini.
Fase ketiga ditandai dengan pembelaan jasssin terhadap sikap dan semangat angkatan 45
dengan gagasan humanisme universalnya.
Polemic nama angkatan dimulai ketika jassin menulis artikel “Kesusasteraan di masa
Jepang” di dalamnya jassin mulai menyinggung nama chairil anwar. Sosok penyair yang belum
genap 20 tahun pada masa itu, berani menulis dan mencipta karya universal. Chairil dikatakan
sebagai sosok yang mendobrak dan pembaharu sastra Indonesia. Kemudian rosihan anwar
melansir pertama kali nama angkatan 45. yang sebnarnya adalah usul chairil anwar. Mengapa
tidak 42, 43, atau 44? Chairil mengatakan 45 lebih tepat karena hubungannya dengan sejarah
“momentopname”.
• Chairil Anwar
o Kerikil Tajam (1949)
o Deru Campur Debu (1949)
• Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan
• Achdiat K. Mihardja
o Atheis (1949)
• Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah
perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
• Trisnojuwono
• Mochtar Lubis
o Angin Laut (1958)
o Tak Ada Esok (1950)
o Dimedan Perang (1962)
o Jalan Tak Ada Ujung (1952)
o Laki-laki dan Mesiu (1951)
o Tanah Gersang (1964)
o Si Djamal (1964)
• Toha Mochtar
o Pulang (1958)
• Marius Ramis Dayoh
o Gugurnya Komandan Gerilya
o Putra Budiman (1951)
(1962)
o Pahlawan Minahasa (1957)
o Daerah Tak Bertuan (1963)
• Purnawan Tjondronagaro
o Mendarat Kembali (1962)
• Bokor Hutasuhut
o Datang Malam (1963)
• Ajip Rosidi
o Tahun-tahun Kematian (1955)
o Ditengah Keluarga (1956)
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua
(1957)
o Cari Muatan (1959)
o Pertemuan Kembali (1961)
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar
Lubis. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada
angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran
surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu
dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang
juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip
Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta,
Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad
Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
• Taufik Ismail
• Djamil Suherman
o Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
o Perjalanan ke Akhirat (1962)
o Tirani dan Benteng
o Manifestasi (1963)
o Buku Tamu Musim Perjuangan
o Sajak Ladang Jagung • Titis Basino
o Kenalkan o Dia, Hotel, Surat Keputusan
o Saya Hewan (1963)
o Puisi-puisi Langit o Lesbian (1976)
o Bukan Rumahku (1976)
• Sutardji Calzoum Bachri
o Pelabuhan Hati (1978)
o O
o Pelabuhan Hati (1978)
o Amuk
o Kapak • Leon Agusta
o Monumen Safari (1966)
• Abdul Hadi WM
o Catatan Putih (1975)
o Meditasi (1976)
o Di Bawah Bayangan Sang
o Potret Panjang Seorang Pengunjung
Kekasih (1978)
Pantai Sanur (1975)
o Hukla (1979)
o Tergantung Pada Angin (1977)
• Iwan Simatupang
• Sapardi Djoko Damono
o Dukamu Abadi (1969) o Ziarah (1968)
o Mata Pisau (1974) o Kering (1972)
o Merahnya Merah (1968)
• Goenawan Mohamad
o Keong (1975)
o Parikesit (1969)
o RT Nol/RW Nol
o Interlude (1971)
o Tegak Lurus Dengan Langit
o Potret Seorang Penyair Muda
• M.A Salmoen
Sebagai Si Malin Kundang (1972)
o Masa Bergolak (1968)
o Seks, Sastra, dan Kita (1980)
• Umar Kayam
o Seribu Kunang-kunang di
• Parakitri Tahi Simbolon
Manhattan
o Ibu (1969)
o Sri Sumarah dan Bawuk
o Lebaran di Karet
• Chairul Harun
o Pada Suatu Saat di Bandar
o Warisan (1979)
Sangging
o Kelir Tanpa Batas • Kuntowijoyo
o Para Priyayi o Khotbah di Atas Bukit (1976)
o Jalan Menikung
• M. Balfas
• Danarto
o Lingkaran-lingkaran Retak
o Godlob
(1978)
o Adam Makrifat
o Berhala
• Mahbub Djunaidi
• Nasjah Djamin
o Dari Hari ke Hari (1975)
o Hilanglah si Anak Hilang (1963)
o Gairah untuk Hidup dan untuk Mati • Wildan Yatim
(1968) o Pergolakan (1974)
o Gres
• Wisran Hadi
o Bom
o Empat Orang Melayu
o Jalan Lurus
8. Angkatan 1980 - 1990an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan
banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu
Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan
penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah:
Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada
dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La
Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada
novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiraimur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi
oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran
pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca
yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang
dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes,
dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
• Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)
• Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)
• Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)
• Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
• Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)
• Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
• Dorothea Rosa Herliany
o Nyanyian Gaduh (1987)
o Matahari yang Mengalir (1990)
o Kepompong Sunyi (1993)
o Nikah Ilalang (1995)
o Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
• Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
• Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)
• Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
o Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
o Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
o Dinamika Budaya dan Politik (1991)
o Arsitektur Hujan (1995)
o Pistol Perdamaian (1996)
o Kalung dari Teman (1998)
9. Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu
KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang
"Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-
karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar
reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik
sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan
penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi
pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang
dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen,
dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial
politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan
Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan
suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
• Widji Thukul
o Puisi Pelo
o Darman
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak
berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002
melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang
Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus
lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan
2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna,
Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an,
seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
• Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)
• Seno Gumira Ajidarma
o Atas Nama Malam
o Sepotong Senja untuk Pacarku
o Biola Tak Berdawai
• Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2.1: Akar (2002)
o Supernova 2.2: Petir (2004)
• Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Diatas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)
• Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan (2010)
o Cinta Dalam Gelas (2010)
• Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
• Tosa
o Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
o Melan Conis (2009)
Penulis-penulis Sastra
Sapardi Joko Damono, dilahirkan di Solo, 20 maret 1940, adalah penyair, esais, dosen
dan Guru Besar FSUI. Ia menulis Duka-Mu Abadi (1969); Akwarium (1974); Mata Pisau
(1974); Perahu Kertas (1983); Suddenly the Night (1988);Hujan Bulan Ini (1994). Semuanya
kumpulan puisi. Ia juga penerjemah yang mengalihbahasakan The Old Man and The Sea nya
Ernest Hermingway menjadi Lelaki Tua dan Laut (1973). Karya terjemahannya yang lain Lirik
Persi Klasik (1977); Puisi Klasik Cina (1976); Puisi Brazilia Modern. Kumpulan esainya Novel
Indonesia Sebelum Perang (1979); Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978);
Kesusastraan Indonesia Modern, Beberapa Catatan (1983); Sihir Rendra: Permainan Makna
(1999); Politik Iodeologi dan sastra Hibrida (1999). Merefleksikan saat-saat Reformasi yang
diterpa kerusuhan, penjarahan dan pembakaran gedung-gedung dan supermarket, sampai ada
ratusan jiwa yang tewas terpanggang, Sapardi mengabadikan tragedi tersebut lewat antologi puisi
Ayat-ayat Api (2000).
Titie Said Sadikun, dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Pengarang dan wartawati
yang pernah menjadi redaktur majalah Wanita, Hidup, Kartini, Famili ini menulis kumpulan
cerpen Perjuangan dan Hati Perempuan (1962), novel Jangan Ambil Nyawaku (1977), Lembah
Duka, Fatimah yang difilmkan menjadi Budak Nafsu, Reinkarnasi, Langit Hitam di Atas
Ambarawa.
Selain penyair dan dramawan yang memimpin Teater Kecil, Arifin C. Noer juga penulis skenario
dan sutradara film yang andal. Karya skenarionya antara lain: G 30 S/PKI; Serangan Fajar;
Taksi; Taksi Juga; Bibir Mer.
Film-film yang disutradarinya: Pemberang (1972); Rio Anakku (1973); Melawan badai (1974);
Petualang-petualang (1978); Suci Sang Primadona (1978); Harmonikaku (1979). Pada tahun
1972 Arifin menerima Hadiah Seni dari Pemerintah RI dan pada tahun 1990 menerima Hadiah
Sastra ASEAN.
Hartoyo Andangjaya, dilahirkan di Solo 4 Juli 1930, meninggal di kota ini juga pada 30
Agustus 1990. Penyair yang pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo dan Sumatra Barat ini
menulis sanjak-sanjak terkenal berjudul Perempuan-perempuan Perkasa, Rakyat, juga Sebuah
Lok Hitam, Buat Saudara Kandung. Sanjak-sanjak tersebut bisa dijumpai dalam bukunya Buku
Puisi (1973). Musyawarah Burung (1983) adalah karya terjemahan liris prosaya tokoh sufi
Fariduddin Attar. Seratusan puisi karya penyair sufi terbesar sepanjang sejarah, Maulana
Jalaluddin Rumi, diambil dari Diwan Syamsi Tabriz, diterjemahkan dan dihimpunnya di bawah
judul buku Kasidah Cinta.
Hartoyo juga menulis antologi puisi Simponi Puisi (bersama DS Mulyanto, 1954), Manifestasi
(bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail, 1963), kumpulan syair Dari Sunyi ke Bunyi
(1991).Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (Tagore, 1976), Kubur Terhormat bagi
Pelaut (antologi puisi J. Slauerhoff, 1977), Rahasia hati (novel Natsume Suseki,1978); Puisi
Arab Modern (1984).Hartoyo Andangjaya termasuk penanda tangan Manifes Kebudayaan.
Slamet Sukirnanto, dilahirkan di Solo 3 Maret 1941. Penyair ini menulis buku
kumpulan puisi Kidung Putih(1967); Gema Otak Terbanting; Jaket Kuning (1967), Bunga Batu
(1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1991). Bersama A. Hamid Jabbar, Slamet
mengeditori buku Parade Puisi Indonesia (1993). Dalam buku itu, termuat sanjak-sanjaknya:
Rumah, Rumah Anak-anak Jalanan, Kayuh Tasbihku, Gergaji, Aku Tak Mau; Bersama Sutarji
Calzoum Bachri dan Taufiq Ismail, Slamet menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21.
Cerpen-cerpennya dimuat di Kompas, Republik, Matra, antara lain: Surat Kepada Gubernur,
Sang Pengarang. Ia juga menulis kumpulan cerpen Gedono-Gedini (1990) dan Sesudah Bersih
Desa (1989).
Titis Basino PI, dilahirkan di Magelang 17 Januari 1939, menulis cerpen Rumah Dara,
novel Pelabuhan Hati (1978); Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983); Bukan
Rumahku (1983); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998),
Dari Lembah ke Coolibah (1997); Tersenyum pun Tidak untukku Lagi (1998); Aku Supiyah Istri
Hardian (1998); Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999); Mawar Hitam Milik Laras (2000);
Hari yang Baik (2000). Pada tahun 1999 Titis menerima Hadiah Sastra Mastera.
Umar Kayam, dilahirkan di Ngawi 30 Maret 1932, Guru Besar UGM sang budayawan
dan pameran Bung Karno yang menulis kumcerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972)
dan Sri Sumarah dan Bawuk (1975).
Novelnya yang sangat terkenal berjudul Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).
Karyanya yang lain berjudul Ke Solo ke Jati dan Bi Ijah, keduanya berbentuk cerpen, kumcerpen
Parta Krama (1997), kumpulan esai Seni, Tradisi, Masyarakat (1981); kumpulan kolom Mangan
Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Bandha, Madhep Ngalor Madhep Ngidul. Pada tahun 1987
Umar Kayam memperoleh Hadiah Sastra ASEAN
Budiman S. Hartoyo, dilahirkan di Solo 5 Desember 1938 menulis antologi puisi Lima
Belas Puisi (1972) ; Sebelum Tidur (1977). Banyak menulis puisi-puisi religius, di antaranya
puisi tentang pengalaman spiritualnya ketika ia beribadah haji ke Tanah Suci. Dalam bunga
rampai Laut Biru Langit Biru susunan Ayip Rosidi bisa dibaca sanjak-sanjak sufistiknya antara
lain: Jarak Itu pun Makin Menghampir, Bukalah Pintu Itu, Di depan-Mu Aku Sirna Mendebu.
Gerson Poyk, dilahirkan di Pulau Rote Timor 16 Juni 1931 mengarang novel Sang Guru
(1971), kumcerpen Matias Anankari (1975), novelet Surat Cinta Rajagukguk, Cinta Pertama,
Kecil Itu Indah Kecil Itu Cinta. Gerson juga menulis cerpen berjudul Bombai, Puting Beliung,
Pak Begowan Filsuf Hati Nurani;.
Ramadhan menulis kumpulan sanjak Priangan Si Jelita. Terkenal dengan romannya Royan
Revolusi, novelnya Kemelut Hidup mengangkat tema sosial dengan mengetengahkan sebuah
figur yang jujur, seperti Si Mamad nya Syuman Jaya. Novelnya yang lain berjudul Keluarga
Permana, dari perjalanan cinta Inggit Ganarsih dengan Bung Karno, ditulisnya roman biografi
Kuantar Ke Gerbang. Karya-karya Frederico Garsia Lorca, sastrawan Spanyol, diterjemahkan
menjadi Romansa Kaum Gitana.
Ramadhan menulis novel yang mengasosiasikan pembaca pada korupsi yang terjadi di Pertamina
berjudul Ladang Perminus Bersama G. Dwipayana, Ramadhan menulis otobiografi Suharto,
Pikiran, Ucapan, dan Tindak Saya.
Rahmat Joko Pradopo, dilahirkan di Klaten 3 November 1939, penyair yang juga
Guru Besar dari Fakultas Sastra UGM. Ditulisnya antologi puisi Matahari Pagi di Tanah Air
(1967), Hutan Bunga (1990); Jendela Terbuka (1993). Sebagai ahli sastra, Rahmat menulis buku
berjudul Pengkajian Puisi (1987); Bahasa Puisi Nyanyi Sunyi dan Deru Campur Debu (1982);
Beberapa Teori Sastra, Metode Kreitik dan Penerapannya (1995).
Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Sastra
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra
dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, karakter, karakterisasi,
konflik, setting, plot / alur, simbo dan sudut pandang. Berikut adalah unsur intrinsik sastra :
Tema
Karakter
Tokoh dalam cerita. Karakter dapat berupa manusia, tumbuhan maupun benda
• Karakter utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang banyak peranan dalam
cerita
• Karakter pembantu: tokoh yang mendampingi karakter utama
• Protagonis : karakter/tokoh yang mengangkat tema
• Antagonis : karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan biasanya berlawanan
dengan karakter protagonis. (Ingat, tokoh antagonis belum tentu jahat)
• Karakter statis (Flat/static character) : karakter yang tidak mengalami perubahan
kepribadian atau cara pandang dari awal sampai akhir cerita.
• Karakter dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang mengalami perubahan
kepribadian dan cara pandang. Karakter ini biasanya dibuat semirip mungkin dengan
manusia sesungguhnya, terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.
Catatan: karakter pembantu biasanya adalah karakter statis karena tidak digambarkan secara
detail oleh penulis sehingga perubahan kepribadian dan cara pandangnya tidak pernah terlihat
secara jelas.
Karakterisasi
Cara penulis menggambarkan karakter. Ada banyak cara untuk menggali penggambaran
karakter, secara garis besar karakterisasi ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif dan
dramatik. Teknik naratif berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan langsung oleh penulis atau
narator. Teknik dramatik dipakai ketika karakterisasi tokoh terlihat dari antara lain: penampilan
fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang diucapkannya, dialognya dengan karakter lain,
pendapat karakter lain, dsb.
Konflik
Konflik adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam cerita dan . Konflik ini merupakan
inti dari sebuah karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam konflik,
yang dibagi dalam dua garis besar:
Konflik internal
Individu-diri sendiri: Konflik ini tidak melibatkan orang lain, konflik ini ditandai dengan
gejolak yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa hal seperti nilai-nilai. Kekuatan
karakter akan terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut
Konflik eksternal
Individu – Individu: konflik yang dialami seseorang dengan orang lain
Individu – alam: Konflik yang dialami individu dengan alam. Konflik ini menggambarkan
perjuangan individu dalam usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam.
Individu- Lingkungan/ masyarakat : Konflik yang dialami individu dengan masyarakat atau
lingkungan hidupnya.
Seting
• Eksposisi : penjelasan awal mengenai karakter dan latar( bagian cerita yang mulai
memunculkan konflik/ permasalahan)
• Klimaks : puncak konflik/ ketegangan
• Falling action: penyelesaian
Simbol
Simbol digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak. Contoh: burung gagak (kematian)
Sudut pandang
• Orang pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita, ini ditandai dengan
penggunaan kata “aku”. Penggunaan teknik ini menyebabkan pembaca tidak mengetahui
segala hal yang tidak diungkapkan oleh sang narator. Keuntungan dari teknik ini adalah
pembaca merasa menjadi bagian dari cerita.
• Orang kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau ‘Anda.’ Teknik ini
jarang dipakai karena memaksa pembaca untuk mampu berperan serta dalam cerita.
• Orang ketiga: cerita dikisahkan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti: mereka
dan dia.
Teknik penggunaan bahasa
Dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata yang dipakainya sedemikian
rupa sehingga segala pesannya sampai kepada pembaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa
yang baik juga membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik berbahasa ini
misalnya penggunaan majas, idiom dan peribahasa.
Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih
khusus lagi ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah
karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik
cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkannya. Pemahaman unsur
ekstrinsik suatu karya sastra, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna
karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. Bentuk
penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung. Akan
tetapi, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang
bersifat agak langsung. Dalam karya sastra mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang betul-
betul tersebunyi sehingga sulit untuk dirasakan. Nilai kebudayaan sebagai hasil budidaya dan
berkembang di masyarakat sangat berpengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Nilai-
nilai inilah yang menjiwai karya sastra dan memberikan warna tersendiri bagi makna karya
sastra yang dihasilkannya. Sebagai contoh, roman Grotta Azzura karya Sutan Takdir
Alisyahbana yang menceritakan perilaku budaya orang yang mestinya dijajah. Menurutnya
dalam roman itu bahwa bangsa yang terjajah mestinya harus dapat mengambil hikmah dan
belajar dari penjajahan itu sendiri. Setidaknya dengan kemauan keras untuk belajar dari
kenyataan sejarah itu, akan mampu mewujudkan generasi yang lebih baik, lebih maju, sehingga
pada gilirannya akan mampu tampil sebagai generasi yang lebih baik di masa yang akan datang.
Sekalipun kesusastraan tidak eksplisit mencerminkan cita-cita keagamaan atau secara langsung
membimbing pembaca untuk mengabdi kepada Tuhan, hal ini tidak berarti sastra tersebut sepi
dari unsur-unsur keagamaan. Dewasa terancam pada bidang martabat manusia. Yang pertama-
tama diserang bukanlah agama itu sendiri, tetapi hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai
manusiawi dipermainkan. Padahal nilai-nilai manusiawi itu sebenarnya perilaku religius yang
harus dimilik oleh setiap umat beragama. Jadi, karya sastra yang bernilai manusiawi dan
mencerminkan perilaku religius selayaknya dapat dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari.
PUISI
Menurut zamannya puisi dibedakan menjadi :
PUISI LAMA
PUISI BARU
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik dalam segi jumlah baris, suku kata,
maupun rima. Menurut isinya, puisi baru dibedakan atas:
1. Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
2. Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan.
3. Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
4. Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
5. Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih.
6. Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
7. Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.
Drama
Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa yunani). Sedangkan dramatik adalah
jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan. Sandiwara
adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang
yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.
Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.
1. Drama Komedi
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
2. Drama Tragedi
Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
3. Drama Tragedi Komedi
Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
4. Opera
Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
5. Lelucon / Dagelan
Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak
tawa penonton.
6. Operet / Operette
Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
7. Pantomim
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa
isyarat tanpa pembicaraan.
8. Tablau
Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota
tubuh dan mimik wajah pelakunya.
9. Passie
Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.
10. Wayang
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain
sebagainya.
1. Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan
secara langsung kepada pembaca
2. Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni
atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan
3. Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung
hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
4. Nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value), yaitu
nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang
berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
5. Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang
dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.