Professional Documents
Culture Documents
Saya seorang blogger. Lebih tepatnya seorang fashion blogger. Apa sih fashion
blogger itu? Sedikit refleksi diri disini, saya juga ga tahu apa. Banyak orang yang bilang
kalau fashion adalah bidang yang paling sering dianggap remeh. Sering dianggap tidak
penting ya karena kata kata yang nyambung sama fashion ya pakaian, tren, gaya,
aksesoris.1 Saya, mengikuti Barnard dan juga Elizabeth Wilson, berspekulasi bahwa
fashion dianggap remeh dan hanya mengenai hal-hal tidak penting ya karena
hubungannya yang erat dengan perempuan. Perempuan mana yang tidak suka bersolek
dan berpenampilan menarik? Saya curiga, jangan-jangan saya jadi fashion blogger juga
sudah lama di luar negeri. Blogger terkenal seperti Bryan Boy, yang aslinya dari Filipina,
dan juga dengan bangga mempersembahkan dirinya sebagai mahluk dunia ketiga, sudah
sering mondar-mandir di fashion show desainer kelas dunia, duduk-duduk di baris depan
dengan laptopnya dan kamera digital. Tavi Gevinson, seorang gadis 15 tahun dari
Amerika, saat masih SMP sudah diundang untuk duduk dan menikmati runway di deretan
depan. Dia sudah di kagumi oleh orang orang dunia fashion karena esay-esay pendek di
blog miliknya yang tajam dan kritis. Di Perancis, ibukotanya fashion, sudah banyak
blogger yang masih mahasiswa atau bahkan karyawan magang di studio fashion desainer
kelas dunia yang membuat blog dan berbagi tentang dunianya. The Cherry Blossom Girl
1
Paling tidak Malcolm Barnard dalam bukunya Fashion as Communication berpendapat begitu.
Pendapatnya berdasarkan penelitiannya yang ekstensif mengenai fashion.
desainer kenamaan.
Di Indonesia, perkembangan fashion blog baru diakui setahun belakangan ini, dan
langsung diikuti dengan tumbuhnya jamur-jamur blog fashion kecil-kecilan yang ujung-
ujungnya hilang begitu saja tanpa jejak (untung blog saya masih bertahan sampai
sekarang). Ada beberapa blog yang terkenalnya minta ampun sampai diajak jadi
perwakilan beberapa produk yang ngandalin imej anak muda dan bahkan jadi desainer
dadakan, dan ada blog yang terkenal karena sering dicemooh tapi tetap aja jadi bahan
omongan.
Perkembangan fashion blog di mata para penulis fashion atau majalah fashion
masih dipandang setengah mata, sampai akhirnya majalah Vogue, kitab fashion dunia,
mengakui keberadaan para fashion blogger ini. Di edisi bulan Maret, Vogue menuliskan:
Every generation in fashion has its force to be reckoned with, but this
group is the first of its kind. It blogs about style and is making a global industry
sit up and take notice […] Blogging can command a profile in the fashion world,
bringing a certain kind of power and previlege […] they offer different
commentaries about fashion, beauty, and lifestyle that can’t be found in the
mainstream meadia […] There is a specificity to their discourses, one that highly
subjective and generationally specific, born of the desire to share their own
2
Mark Holgate, Logged On. VOGUE US, March 2010.
dunia fashion blog membludak dan semakin menjadi-jadi. Banyak perusahaan juga
memanfaatkan situasi ini. Sudah menjadi kebiasaan untuk para blogger terkenal buat
pemerintahnya sampai membuat peraturan untuk para blogger beruntung ini untuk
menuliskan jika barang tersebut diberikan atau dipinjamkan oleh Federal Trade
Comission3.
Di Indonesia sendiri, karena fashion show tidak seramai di luar negri, maka para
fashion blogger mempunyai ciri khas yang berbeda. Kebanyakan fashion blogger di
Indonesia bukanlah para pelaku fashion atau orang dalam dunia fashion. Rata-rata hanya
mereka sehari-hari. Tentu saja, gaya berpakaian sehari-hari yang di post tidak bisa yang
biasa saja, setidaknya itu yang saya lihat dari para fashion blogger terkenal Indonesia.
Gaya para fashion blogger ini memang sangat menarik. Karena saya juga seorang
fashion blogger, saya sering membuka berbagai blog untuk melihat dan membandingkan,
sebuah observasi kecil-kecilan. Cara menilai blog itu menarik atau tidak, pantas atau
tidak untuk saya buka setiap hari, saya dasarkan pada penampilan visualnya.
Pertama, apakah blog itu tampilannya menggoda, tapi tidak norak? Hal ini agak
sulit. Batasan antara menarik dan terlalu banyak warna, bagaikan benang jahitan. Tipis.
3
http://www.ftc.gov/opa/2009/10/endortest.shtm#
animasi loncat-loncat, yang maknanya juga tidak ada. Yang seperto itu saya lewati
langsung. Jika penampilannya dengan warna merah muda, atau biru, atau simple putih,
tapi punya header blog yang menarik dan membuat saya ingin baca, maka saya akan
lanjut baca terus. Kontras antara warna background tidak norak dan cocok, pilihan warna
yang dipakai cukup menarik dan tidak berlebihan. Tampilan blog yang menarik, simpel
Foto merupakan andalan bagi seorang fashion blogger. Kamera tidak harus yang
profesional, tapi warna dan fokusnya terlihat. Bukan kamera handphone atau blackberry
yang buram, apalagi dengan refleksi diri di cermin sambil memegang telepon genggam.
pembaca apa yang dipakai atau apa yang sedang menarik. Tidak ada foto atau gambar,
Ketiga, pakaian dan aksesoris. Seperti saya bilang tadi, karena fashion keburu
dianggap orang cuma berhubungan dengan pakaian, aksesoris, tren, dan gaya, ya
makanya kalau baca fashion blog, intinya adalah pakaian dan aksesorisnya.
Indonesia yang memakai bahasa ibu pertiwi, bahasa Indonesia. Hampir semua fashion
blog terkenal menggunakan bahasa Inggris, dan tentu saja bahasa Inggris yang baik dan
bahasa Indonesia yang baik dan benar wajib di pertanyakan. Jujur, dengan bahasa
Inggris, para blog ini lebih mudah mengembangkan sayapnya dan menyediakan media
bagi para pembaca non-Indonesia. Teks blog selalu menggunakan bahasa Inggris ala
sekarang. Para blogger terkenal rata-rata fasih sekali dengan kekinian bahasa Inggris.
Dari semua prasayarat diatas yang semuanya tampil dalam kemasan visual
menjadi bungkusan penting bagi para blogger. Dengan semua itu, blog menjadi layak
tampil, dan para pembaca, yang menjadi fokus dan target bisa menjadi pengunjung
langganan dan memilih untuk mengunjungi blog itu secara setia. Saya mau bercerita soal
dua fashion blog yang berkontradiksi, yang satu dipuja dan satu dicerca. Saya
merefleksikan semua ini sebagai pembaca blog akut dan bertanya kepada diri sendiri,
kenapa?
***
Sudah pernah coba mengunjungi blog Diana Rikasari4? Blognya menjadi ratu
diantara semua macam blog yang ada di Indonesia. Kunjungi saja Indonesian Matters,
website yang membuat rangking blog Indonesia berdasarkan jumlah kunjungan, Diana
Rikasari duduk di posisi nomer satu, dan sudah lama sekali tidak lengser dari posisi itu.
4
http://dianarikasari.blogspot.com
website- website besar jumlah pengunjungnya bisa kalah saing dengan blog yang bahkan
Diana merupakan juara satu dan idola majalah fashion anak muda masa kini. Dia
sudah sering di wawancara dan diprofilkan oleh berbagai majalah remaja. Koran-koran
besar Indonesia juga pernah membahas fenomena fashion blog dengan Diana sebagai
representasinya. Dia juga beberapa kali tampil di televisi di acara make over. Dia selebriti
dadakan yang besar dari usahanya sendiri dan nasib yang baik, sehingga sudah berjuta-
Setahu saya, Diana bukanlah orang dalam fashion atau anak dari desainer, atau
punya darah keturunan kerajaan fashion Indonesia. Di liputan Media Indonesia5, Diana
mengakui bahwa semua ini berawal dari keinginannya untuk menuliskan kesehariannya
saja. Kemudian dia belajar untuk terus konsisten dan menjaga tampilan blognya agar
terus fokus, mengikuti fashion stylenya yang kadang eksentrik. The Jakarta Post6 bahkan
mengakui bahwa blog Diana yang merepresentasikan ribuan fashion blog lain di
Indonesia yang sudah menjadi bagian dari budaya populer dan gaya hidup.
Saya, sebagai pembaca, cukup setia untuk mengunjungi blognya Diana bukan
karena ada peer pressure atau kewajiban. Saya suka gaya Diana, ya, yang memang betul,
konsisten. Tampilan blognya rapih, warna pink melatarbelakangi teks dan gambar, tetapi
5
http://3.bp.blogspot.com/_nUPYyDwuQmg/SevNxk57PFI/AAAAAAAAFZA/rJtv8t9ZE3c/s1600-
h/media+indonesia2.JPG
6
http://www.thejakartapost.com/news/2010/02/28/local-fashion-scene-moves-online.html
segi kreatif.
Tapi yang menurut saya paling menarik, dan cenderung bikin sirik, bukan hanya
umurnya baru 25 tahun tapi barang-barang yang dimilikinya mungkin baru bisa saya
miliki kalau saya sudah keriput nanti dan kerja habis-habisan sampai saya kena stroke.
Diana jika tidak dihujani hadiah oleh produsen fashion lokal (yang dia akui, di
Media Indonesia, terkadang dia pakai, terkadang tidak, karena tidak ingin komersial),
akan memakai barang yang ia beli atau milik mamanya. Produk-produk yang dia beli,
saya tahu sekali, dan kebanyakan orang yang menyukai fashion pasti tahu, harganya bikin
dahi berkerut karena harganya. Sepanjang pengelihatan saya, Diana punya Marc Jacobs,
Chanel, Balenciaga, Anya Hindmarch, dan juga berbagai barang retail luar negeri dari
Forever 21, Topshop, Dorothy Perkins, Zara, Mango, Tory Burch, Ugg, dan masih
banyak lagi merk-merk untuk kalangan menengah atas yang saya tidak berani ngelihat
Memang sudah peraturannya fashion blog untuk menyebutkan barang apa yang dipakai,
Ditambah lagi, gaya hidup Diana yang membuat saya sirik. Diana sangatlah urban
. Coba dilihat, dia sering berkumpul bersama teman-temannya di kafe, berbelanja dan
mengunjungi acara yang hip, dan juga berjalan-jalan ke tempat yang mungkin, orang
seperti saya, baru bisa kunjungi kalau sudah menabung setahun dua tahun.
Nah karena blog memang bergantung pada pembaca, maka ada semacam dialog
antara pembaca dan Diana. Diana, dalam The Jakarta Post8, mengakui bahwa fashion
blogger bisa membentuk tren, namun karena dia sudah dikenal oleh masyarakat, maka di
blognya ia harus lebih bertanggung jawab dalam apa yang ditulis di blog, dipakai, dan
bahkan apa yang dia lakukan. Dari bertanggung jawab ini, saya anggap sebagai
pengakuan dirinya untuk bisa terus mengikuti dengan permintaan para pembacanya.
Komunikasi antara penggemarnya dan Diana terus terjadi selama Diana terus mengurus
blog. Dan karena Diana mampu menampilkan dan memberikan sesuatu diminati, maka
***
8
"But in a broader context, fashion blogs allow bloggers to be involved in shaping upcoming trends both
directly and indirectly. And we get recognized for it and become a brand of our own. Once we've reached
this stage I personally don't see anything negative about it, except that we then have to carry a bigger
responsibility in what we do, wear and blog about."
karena dicerca: Hotta Lotta9. Apa dosanya Tara, sang pemilik blog, sampai orang
mengunjungi blognya hanya untuk memberi komentar sadis, yang makin menjadi jadi
Sudah hampir dua tahun lebih Tara mempunyai blog. Tetapi bahkan sampai tahun
2010, bulan Juli ini, masih ada saja komentator anonim yang memberikan komentar
sadis10. Jujur, saya sendiri tahu blog Tara dari teman saya yang juga ketawa dan geli
sendiri melihat blog ini. Pertama kali saya melihat juga, saya tertawa. Saya tertawa
karena blog dan gaya Tara tidak sesuai dengan dua dari empat syarat saya diatas.
Prasayarat dari kacamata saya, perempuan berpendidikan dari kelas menengah yang
membanding-bandingkan usaha Tara untuk tampil menarik sama dengan usaha berani
mati.
handphone dengan kualitas gambar yang rendah sekali. Seperti saya sudah bilang tadi,
karena fashion blog berhubungan dengan erat dengan pakaian dan aksesorisnya, satu-
satunya cara untuk membagikan gaya dengan para pembaca adalah dengan foto. Tara
sepertinya memilih untuk tidak mencoba menggunakan kamera yang sedikit lebih baik
atau mungkin cara lain yang bisa memperbaiki kualitas gambar. Selain kualitas foto,
beberapa pose Tara sangat datar. Padahal dalam fashion blog seorang blogger harus
tersebut cenderung dicemooh orang. Ia tidak seberani atau sekreatif Diana dalam
bergaya.
Kedua, pakaiannya. Tadi saya bilang, Diana punya koleksi pakaian dari berbagai
merk, dalam dan luar negeri. Semuanya membuat pembaca seperti saya berkhayal: kalau
saya punya kemampuan untuk beli barang-barang itu, apa saya akan bisa segaya Diana?
Tara, di pihak lain, tidak memiliki koleksi barang desainer, atau istilahnya yang
branded. Rata-rata pakaian yang dipakainya merupakan barang yang bisa didapatkan
semua orang dengan harga yang saya tahu, biasa saja. Pakaian Tara tidak membuat saya
mengerutkan dahi, padu padan pakaiannya juga bisa saya lihat sehari-hari.
Mengenai dua persyaratan lainnya, tampilan blog Hotta Lotta milik Tara
sebenarnya sudah baik. Minimalis dan simple. Mudah dibaca. Bahasa Inggris Tara masih
rata rata, tapi paling tidak masih bisa dimengerti dan tidak kacau. Tetapi karena dunia
fashion bukanlah dunia yang adil, lemahnya Tara dikedua syarat lain, terkadang
cenderung membuat pembaca lupa, bahwa dia berhak mempunyai blog dan
***
Tapi kacamata saya harus saya bisa ganti, memandang sedikit objektif bahwa
abad 21 ini berhak mempunyai blog, menulis dan memfoto apapun tanpa ditibankan
syarat apapun.
untuk memilih blog mana yang harus dibaca dan disukai. Internet merupakan media yang
luas, dan tidak ada yang memerintahkan seorang pembaca untuk wajib menyukai satu
blogger dan menghina yang lain. Tapi kenapa saya dan pembaca lain masih sempat-
komentar sadis, yang berarti saya harus membuka blognya dan kemudian berniat
mengetik komen? Kenapa saya dan pembaca lain tidak membuka hal-hal yang kita suka
saja, dan dengan demokrasi yang disediakan oleh internet, memilih dan mendalami kita
Jika Idi Subandy Ibrahim menulis artikel atau buku lagi mengenai budaya populer
dan fashion, mungkin beliau akan dengan dalam membahas masalah voyeurism yang
berbahaya ditengah masyarakat urban Indonesia yang membaca fashion blog. Dalam
[…] budaya media telah muncul dalam bentuk citra, bunyi, dan tontonan
luang, membentuk pandangan politik dan perilaku sosial, dan menyediakan bahan
kelompok sosial yang utama dan ideologi-ideologi yang sailing bersaing berjuang
Diana Rikasari dan Hotta Lotta menjadi arena konstetasi ideologi masyarakat
urban di Indonesia masa kini. Diana Rikasari merupakan representasi kuat dari kalangan
menengah atas yang menjalani hidup ala urban dream. Ia lulusan S2 luar negeri, berasal
dari keluarga berkecukupan, memiliki gaya hidup ideal, membeli barang fashion adalah
kegiatan di waktu luangnya, dan aktivitas lain yang ia lakukan termasuk dalam kategori
‘urban’. Lihat kamar Diana yang sering menjadi background fotonya, unik dan menarik,
berisi barang-barang yang kombinasinya seperti kamar-kamar yang sering saya lihat di
majalah atau buku interior design. Dan tentu saja koleksi barang fashionnya yang beyond
expectation.
Tara dari Hotta Lotta? Semuanya terlalu biasa saja. Gaya hidupnya tidak berbeda
dari orang kebanyakan. Ia datang ke acara-acara yang sejuta remaja Jakarta bisa datangi
dengan mudah, tidak perlu undangan khusus atau hubungan dengan orang-orang khusus.
Pakaian dan produk-produk fashion yang ia koleksi bisa didapatkan orang Jakarta dengan
mudah di mal. Rumah dan background foto Tara menunjukkan tempat tinggal generik
kota.
Jika Diana tampil sangat natural dengan citra diri (self-image) yang global, maka
Tara dengan mudah dapat dimasukkan ke kategori perjuangan citra diri. Tara mencoba
memiliki citra global dengan bahasa Inggrisnya dan fashion blognya. Menariknya, jika
(ingat, urban tidak sama dengan kaya, lihatlah Jakarta secara menyeluruh) dan sebenar-
benarnya Tara lah perwakilan tepat dari masyarakat urban dengan merk pakaian yang
dipakainya, representasi tempat tinggalnya, dan gaya hidupnya, lalu kenapa harus ada
Globalisasi masuk ke rumah kita tanpa mengetuk pintu dan tanpa ada jendela atau
pintu yang rusak11. Pikiran dan ideologi yang kita pegang sudah diresapi olehnya.
berpakaian dengan merk-merk mahal lebih mulia dan lebih bernilai tinggi dalam dunia
fashion Indonesia jika dibandingkan dengan merk-merk pakaian generik? Bukankah itu
alasan utama industri tas palsu atau factory outlet berkembang pesat?
visualnya dan apa yang bisa ia deskripsikan dan kemudian diinterpretasikan sebagai
sesuatu yang superior bagi pembaca. Bahasa Inggrisnya yang kental dengan aksen
11
Idi Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer, Jalasutra: Yogyakarta. 2007. Hal.xvii
hidupnya dan acara-acara yang dihadirinya dirasakan pembaca sebagai sesuatu yang
sudah seharusnya. Lalu, tidakkah Tara dari Hotta Lotta menjadi liyan? Blognya
terhantam idealisme para pembaca anonim yang memberikan komentar sadis atau ejekan,
juga oleh pembacanya diluar sana yang mungkin juga membuka blognya, tanpa perlu
meninggalkan komentar. Tara menjadi yang lain karena ia tidak setara, tidak ideal. Ia
terlalu biasa. Untuk membawanya menembus tembok idealisme visual tersebut, maka
Tara mungkin harus menjadi orang kaya dan meyakinkan sekelompok pembaca dengan
koleksi barang fashion yang hebat, gaya hidup ala orang-orang menengah keatas, untuk
mendapatkan sedikit tempat dan apresiasi. Jika tidak, Diana akan terus menjadi penguasa
Membaca fashion blog merupakan kegiatan mengintip ke lubang pintu gaya hidup
seseorang dengan lemari pakaiannya. Dengan syarat, kesemuanya harus sesuai imaji dan
ekspektasi pembaca. Identitas sang blogger yang terbungkus dalam foto, gaya, dan
pakaiannya dan kemudian menjadi self-brand tidak akan jadi apa-apa tanpa penyesuaian
diri dan indentifikasi dari para pembacanya. Jika benar spekulasi terkini bahwa saya,
anda, kita adalah generasi visual, maka gejolak untuk menilai segala sesuatu dari sudut