You are on page 1of 3

DAERAH PERBATASAN BENTENG TERDEPAN NEGARA

Sedikit Prolog.
Ribut-ribut soal dana aspirasi, menggelitik hati untuk mengulas
konsep tentang pembangunan daerah perbatasan dan daerah tertinggal.
Disepanjang tahun 2000 – 2006 saya masih aktif di dunia konsultan. Ada
beberapa pekerjaan perencanaan dan studi yang dilakukan kementrian
UMKM dan Kelautan, khusus menyangkut program pembangunan dan
identifikasi sumberdaya (alam dan manusia) di daerah-daerah perbatasan
dan tertinggal.
Konsepnya bagus, mereka yang mengerjakannya, menurut
penilaian saya adalah anak-anak muda dengan idealisme yang juga
jempol, tinggal aplikasinya?. Mulai dari identifikasi sumber daya laut,
hingga konsep pembangunan daerah perbatasan, mereka analisis dan
kemudian formulasikan dalam bentuk konsep kerja yang baik.
Apa yang telah dilakukan dengan modal tidak sedikit, dan dengan
cucuran keringat serta resiko bahaya yang ditempuh (Identifikasi sumber
daya laut dilakukan hingga Pulau Miangas), dengan fasilitas ekspedisi
gaya Indonesia, seadanya dan merakyat. Nampaknya, hanya jiwa
patriotik untuk menyelesaikan pekerjaan saja yang menjadi tonggak, plus
niat ikhlas mencari nafkah untuk anak istri, ditambah sedikit nekad
berbekal jiwa petualang, sehingga pengamatan lapangan bisa dilakukan.
Dalam empat tahun ini, apa yang waktu itu saya lihat dianalisis dan
disajikan dalam bentuk laporan, nampaknya hanya sekedar jadi wacana.
Untuk mengingatkan, sekedar nostalgia, daerah perbatasan adalah
benteng terdepan Negara ini, jika anda melihat rumah seseorang, yang
pertama kali anda lihat tentu beranda, bukan isi dapur apalagi ruang
tidurnya.
Di situs Scribd.com saya menulis ”Konsep Pembangunan Berbasis
Kerakyatan”, selayaknya setiap langkah pembangunan daerah,
dimanapun itu, harus selalu mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan
kritis dan terfokus, yang mampu mengidentifikasi setiap sumber daya dan
potensi pengembangannya.
Ambil contoh “Nunukan”, di pelupuk mata terdapat kota yang haus
bahan baku, kebutuhan pokok, hingga bahan setengah jadi dan jadi.
Adalah kekeliruan besar, ketika rakyat kita, kita biarkan tergantung pada
kota itu. Strategi yang jitu, seharusnya adalah menjadikan kota itu
menjadi demikian tergantung terhadap kita. Untuk menghidupi kota itu,
dengan potensi lahan tak terkira yang kita punya, dengan potensi
sumberdaya manusia yang siap bekerja, seharusnya tidak butuh waktu
lama untuk membuat rakyat kita bisa sejajar, plus keuntungan strategis,
bola kita yang pegang dan mainkan.
Tak perlu terjadi duyunan TKI yang dideportasi, tak perlu terdengar
kisah pilu pengalaman pahit mereka, tak perlu terdengar 1000 – 2000
WNI berpindah kewarganegaraan setiap tahunnya, tak perlu pusing Ilegall
loging menggurita, dan cerita kejar-kejaran kapal pencuri ikan dengan KRI
yang juga sudah ”sepuh” terdengar. Apa yang salah?
Selama yang menjaga hutan mengandalkan Polhut, Polri dan TNI
AD, selama yang menjaga lautan mengandalkan TNI AL, kisah di atas
akan selalu menjadi cerita seorang ayah untuk program nina bobo anak-
anaknya. Tersentuhkah anda wahai para pemimpinku?
Ketika bangsa tetangga yang bengal gila-gilaan mencuri kayu dari
hutan kita, kenapa tidak ada pertanyaan dalam diri kita, untuk apa
mereka berlaku tidak tahu diri seperti demikian? Apa yang mereka
perbuat dengan kayu-kayu itu? Ketika mereka gila-gilaan mencuri ikan
dari laut kita, bahkan sampai membuat pabrik diatas kapal yang mereka
parkir di areal umum tepat diluar halaman kita, mengapa tidak ada tanya
didalam hati, ikan apa saja yang mereka curi, dan mereka apakan ikan
itu?
Pada saat yang bersamaan rakyat kita jadi kuli angkut kayu-kayu
illegal itu, jadi suplayer kapal pencuri itu? Mulai dari yang bermodal
seadanya, hingga yang sedikit bermodal, mulai dengan pundak hingga
kendaran roda empat, mulai dari kole-kole hingga kapal motor, Apa yang
salah wahai para pemimpinku?
Jika saja, yang harus memperbaiki adalah saya yang rakyat jelata,
atau bahkan ”Bapak Yusup Kalla” yang kini hanya seorang pengusaha,
jawabannya jelas, ”Saya” tidak mungkin bukan hanya sekedar tidak bisa,
bahkan beliau ”Akan Kesulitan” kalau tidak boleh dikatakan ”Tidak Bisa”.
Solusi
Belajar dari kasus Timor Timur, dulu pada jamannya, daerah ini
begitu dimanja, kenapa kita tidak bisa memanjakan NTT sekarang?, atau
kenapa kita tidak bisa memanjakan setiap kota perbatasan kita? Mungkin
saya cenderung harus mengatakan, ”Daerah”, ”Desa”, karena yang
”Kota”, ternyata sebagian besar adalah milik tetangga. Satu langkah kita
telah tertinggal, tidak apa, mari kita berfikir positif, kenyataan ini adalah
sebuah potensi, bukan sebuah penghalang.
Ketika Bogor, Bekasi dan Tangerang, tidak menjadi cemburu
terhadap Jakarta, seperti halnya Lembang, Pangalengan dan Majalaya
tidak cemburu terhadap Bandung, lihat Bogor, Bekasi dan Tangerang
sekarang, bandingkan dengan kota setingkat di provinsi Jawa Barat dan
Provinsi Banten. Bandingkan Lembang, Pangalengan dan Majalaya
dengan kecamatan lain di Kabupaten Bandung dan Bandung Barat.
Kewajiban pemerintah adalah perkuatan dan peningkatan
infrastruktur, khusus untuk kesempatan berusaha ditambah perkuatan
infrastruktur keuangan. Pengembangan dan perkuatan jaringan
perbankan di daerah – daerah perbatasan, harus benar-benar menjadi
prioritas. Tidakkah trenyuh wahai para pemimpinku, ketika orang
Nunukan lebih familiar terhadap Ringgit daripada Rupiah, atau ketika
orang Mianggas lebih familiar terhadap Feso?
Untuk eksplorasi sumberdaya alam, contoh bidang kelautan,
pernahkah dihitung, untuk membangun pabrik pengalengan ikan tuna
butuh berapa banyak armada kapal ikan, setingkat kapal-kapal pencuri
yang berkeliaran? Kalau saja mereka sampai-sampai harus bersusah
payah membangun pabrik pengolahan diatas kapal, kenapa telinga kita
tidak panas? padahal mereka mengandalkan bahan baku dari hasil
mencuri! Untuk hasil hutan, kemana larinya rotan kita?, kemana larinya
kayu kita?, punyakah kita industrinya, kalau belum, kenapa kita tidak
membangunnya?, kalau sudah ada, kenapa rakyat kita menjadi pencuri?
Semua bermula dari ketiadaan modal atau uang ditangan
masyarakat lokal, yang kemudian diperparah dengan ketiadaan skill dan
infrastruktur, kenapa kita tidak kirim semua itu kesana? Hanya jika hutan
dan lautan dikawal oleh rakyat yang menjadi pemiliknya saja, entah itu
POLHUT, POLRI, TNI AD atau TNI AL, baru, tidak akan harus pusing dan
main petak umpet dengan segala jenis maling ini.
Kecuali, kita memang senang memelihara rasa pusing ini, dan
senang menghamburkan uang untuk segala hal yang tidak perlu. Semoga
saja tidak demikian, ”SEMOGA” –JAYALAH NEGERIKU-

Bandung, 23 Juni, 2010

ttd
Penulis.

Penulis tergabung dan aktif menulis dalam berbagai


Forum antara lain : Kaskus Formil, Alutsista Blog Spot,
Scribd, Defence Talk, dsb.

Name : Edi S. Saepudin., SP.


Religion : Islam
Graduate : Padjadjaran University, First Graduate
of Agriculture Dept..
Address : Jalan Raya Padalarang – Purwakarta
No. 12, RT/RW 01/09, Kp. Wadon,
Village of Tenjolaut, Sub-district of
Cikalong Wetan,
District.of West Bandung, Province of
West Java. Post Code : 40556
Phone 081265490158 ; (022)

You might also like