Professional Documents
Culture Documents
Budi Fathony
budifathony21@yahoo.co.id
Program Studi Arsitektur FTSP ITN Malang
Abstraksi
Pada setiap kota masalah penampilan wajah kota tidak boleh dianggap sepele. Karena
wajah kotalah yang pertama kali hadir dan melekat dalam benak pengamatnya. Wajah
kota memiliki penampilan elemen pelengkap kota, seperti bangunan dan taman maupun
rekaman suasana yang tercipta dari paduan elemen-elemen tersebut. Paduan tersebut
akan membentuk karakter yang khas bagi sebuah kota.
Alun-alun Malang sebagai poros (axis) bagi bangunan–bangunan yang ada di sekitarnya
merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan yang erat, sehingga membentuk
struktur tata ruang pusat kota yang indah dengan perletakan gedung-gedung pada
tempat yang bagus sekaligus indah.
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan hasil dari tuntutan kebutuhan kota akan
fasilitas-fasilitas penunjang kota yang tidak mungkin untuk dihalangi. Selama penentuan
fungsi baru yang akan menggantikan fungsi lama masih sesuai dengan tata guna lahan
kawasan pusat kota, menurut RDTRK maupun RTRK, tentunya masih bisa diteima.
Dengan kata lain fungsi baru tersebut tidak mengalahkan fungsi dominan kawasan, yaitu
kawasan pusat kota, antara lain fungsi pendidikan, peribadatan, perdagangan, dan jasa.
PENDAHULUAN
Pola arsitektur alun-alun Malang merupakan poros (axis) bagi bangunan-bangunan yang
ada di sekitarnya dan merupakan satu kesatuan yang memiliki hubungan erat, sehingga
membentuk struktur tata ruang pusat kota dengan perletakan gedung-gedungnya. Tata letak
kota didominasi oleh sebuah alun-alun yang terletak di pusat kota; dimana secara garis
besar mirip dengan tipologi kota-kota kabupaten di Jawa. Bedanya perletakan bangunan
penting – seperti Kantor Kabupaten – tidak berhadapan dengan Kantor Asisten Residen
(sekarang Kantor KPN). Letak Kantor Asisten Residen tersebut berada di sebelah Selatan
alun-alun, sedangkan Kantor Kabupaten terletak di sebelah Timur alun-alun dan tidak
menghadap ke alun-alun.
Dalam kenyataan fisiknya, yang disebut kuta atau negara itu selalu ada halun-halun-
nya, yang kemudian disebut alun-alun yang berupa ruangan terbuka. Ruang terbuka ini
berbentuk segi empat atau hampir bujur sangkar, menurut Zoetmulder (1935) merupakan
filosofi adanya macapat yang sering dianut orang Jawa sebagai pusat orientasi spasial. Arah
empat ini hubungannya dengan empat unsur pembentuk keberadaan bhuwana, yaitu air,
bumi, udara, dan api. Dasar pembentuk ini kemudian diturunkan sebagai dasar kategori
untuk hal-hal lain, misalnya tata ruang pada kawasan alun-alun.
Alun-alun tidak bisa dilepaskan dari bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Di
sebelah Selatan terletak Keraton Raja atau Penguasa setempat. Di sebelah Barat ada Masjid
Agung, sedangkan sejumlah bangunan resmi lainnya didirikan di sisi Barat atau Timur. Alun-
alun merupakan titik pertemuan dari jalan-jalan utama yang menghubungkan Keraton
dengan bagian Barat, Utara, dan Timur dari kota. Daerah Selatan Keraton merupakan daerah
tempat tinggal keluarga Raja dan para pengikutnya.
Utara alun-alun merupakan daerah yang bersifat profan dan struktur kawasan pusat kota
secara garis besar memiliki tipologi yang sama dengan ibukota kabupaten lainnya di Jawa.
Bergantinya fungsi-fungsi yang ada menjadi fungsi tertentu baru (perdagangan dan jasa),
dimana di satu pihak sangat menguntungkan pihak swasta dan Pemerintah Kota dalam
1
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
meningkatkan perekonomian kota. Akan tetapi, di lain pihak merugikan karena berusaha
melestarikan bangunan-bangunan bersejarah.
Jika dilakukan perubahan pada unsur-unsur pembentuk struktur tersebut, maka akan
terjadi pergeseran konsep tata ruang bahkan muncul penyimpangan dari konsep semula.
Meskipun perkembangan jaman menuntut adanya perubahan, namun tidak sampai
menghilangkan konsep dasarnya. Akan lebih baik jika dipadukan antara dua kepentingan
yang berbeda tersebut.
Hal ini nampak pada kondisi eksisting kawasan pusat alun-alun Kota Malang, dimana
beberapa bangunan baru telah menggantikan bangunan-bangunan lama, seperti Penjara
Wanita berubah menjadi Alun-alun Mall, Gedung Bioskop Ria berubah menjadi Bank Lippo,
Rumah Wakil Residen Kabupaten berubah menjadi Kantor Pos dan Giro, Societet Concordia
berubah menjadi Sarinah, dan Nederlands Indishe Escompto Mij berubah menjadi Kantor
Inspeksi Pajak.
Perubahan-perubahan terjadi merupakan hasil dari tuntutan kebutuhan kota. Selama
penentuan fungsi baru menggantikan fungsi lama masih sesuai tata guna lahan pusat kota,
menurut RDTRK maupun RTRK, tentunya masih bisa diteima.
Disinilah kota sebagai sistem tempat tinggal manusia secara sosial telah memiliki
struktur baku. Kota bukanlah suatu gambaran dunia yang bisa diubah dan berkembang
bebas. Pemantapan tradisi ini semakin diperlukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda sejak
tahun 1745 hingga 1945. Perubahan sosial masya-rakat Jawa sejak Revolusi Kemer-dekaan
1945 bukan sekadar merubah tatanan sosial yang ada, juga terjadi perubahan di dalam
orientasi kosmik.
Pengertian pusat kota Jawa dalam terminologi Barat sebagai ruang atau bangunan
terdifinisi akan sulit dipahami. Sebab, yang sentral dalam pemikiran urban Jawa tidak
merujuk pada pembendaan konsep kotanya, tetapi justru merujuk pada gagasan urban
dalam pengertian manunggaling kawula Gusti dalam suatu peristiwa kutha-negara.
Uraian Anderson (1972) menyebut bahwa orang Jawa tidak melihat negaranya dalam
pengertian batas-batas yang mengelilinginya, tetapi dari pusat memiliki kapasitas meluas
kemana saja. Batas-batas geografis, seperti lautan atau pegunungan, tidak dilihat sebagai
periferi suatu negara, tetapi sebagai tempat tinggal kekuatan-kekuatan yang tak nampak.
Dengan demikian, kekuasaan negara dilihat oleh orang Jawa sebagai sesuatu yang fleksibel,
dapat mulur dan mengkeret. Jadi disebut sebuah kota dalam persepsi Jawa sebagai negara,
maka sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh pengertian fisik teritorialitas.
Kota Malang mempunyai letak geografis sangat strtegis dan sekaligus indah. Hal ini
menjadikan salah satu model mengapa kota kecil di pedalaman bisa tumbuh menjadi kota
kedua terbesar di Jawa Timur setelah Surabaya. Karsten (1935) melukiskan geografis Kota
Malang dengan tepat sebagai berikut:
‘Malang terletak di daerah perbukitan di Jawa Timur kira-kira 85 km sebelah Selatan
kota Surabaya. Kota ini semenjak dahulu beruntung karena letaknya yang baik, sebab kota
tersebut terletak di jalan raya Utara-Selatan dari jaman Kerajaan Jawa Kuno, dimana
bertemu 3 buah lembah yang masing-masing mempunyai jalan dan sungainya sendiri-
sendiri. Dari sudut Barat Laut datanglah Kali Brantas, dari Utara datang Kali Bango dan dari
Timur datang Kali Amprong. Sedangkan lembah yang keempat dimana ketiga sungai ini
menjadi satu, yaitu Sungai Brantas, meneruskan perjalanannya menjulur ke Selatan. Dasar
lembahnya cukup terjal dan berliku-liku. Ketinggian kotanya sendiri rata-rata 450 meter di
atas permukaan air laut dan dikelilingi oleh beberapa puncak gunung berapi: Arjuno,
Semeru, Tengger dan Kawi yang memberikan pemandangan indah’.
Kota Malang ada sejak tahun 1400-an, sebagaimana disebutkan dalam Buku Kotapraja
Malang Lima Puluh Tahun (1964), tetapi baru berkembang dengan pesat sebagai kota
modern sesudah tahun 1914, yaitu sesudah kota Malang ditetapkan sebagai Kotamadya
(gemeente). Setelah tahun 1870, di Malang – sebagai governement settlement terdekat
bagi daerah perkebunan di sekitarnya – mulai dibangun infrastruktur dan komunikasi, baik di
2
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
dalam maupun daerah sekitarnya. Tentu dilihat dari kepentingan pemerintah kolonial,
dimana merupa-kan daerah produksi yang dihubungkan dengan Surabaya sebagai kota
pesisir berfungsi daerah distribusi atas hasil bumi dari daerah pedalaman (hinterland). Jika
dilihat dari sudut perkembangan morfologi kota, maka sejak tahun 1870 tersebut Kota
Malang mengalami perkembangan yang pesat.
3
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Perpaduan kedua hal tersebut dilakukan dengan melihat potensi kawasan – baik fisik,
lokasi, aktifitas, dan pola tata guna lahannya – terhadap pengembangan kawasan tersebut.
Dari hasil analisa ini akan diperoleh suatu acuan bagi pembatasan aktifitas dan tata guna
lahan kawasan pusat kota alun-alun Malang.
4
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
dengan ruang luarnya. Sebagai urban mass, alun-alun semakin terjepit oleh luapan
parkir dari bangunan-bangunan yang ada di sekiling alun-alun.
Alun-alun sebagai ruang terbuka hijau kota Sebagai urban mass, alun-alun semakin
semula hanya berupa pelataran terjepit oleh luapan parkir dari bangunan-
(dok.foto studio malang) bangunan yang ada di sekiling alun-alun.
5
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
Kejelasan bentuk massa bangunan akan memperkuat kejelasan terhadap kehadiran suatu
tempat. Keterpaduan visual dan fasad akan memberikan citra pemakai terhadap karakter
visual. Kejelasan tata guna dan pengaturan tata bangunan terhadap ruang-ruang luar serta
jaringan (lingkage) akan memudahkan masyarakat pemakai, mengenali kawasan dan
kejelasan arah yang akan dituju. Hal ini berkaitan langsung terhadap kehadiran massa
bangunan yang ada di kawasan alun-alun Malang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan terhadap kawasan pusat kota alun-alun
Malang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a) Kawasan pusat kota alun-alun Malang merupakan kawasan yang penting dalam sejarah
Kota Malang.
(b) Diperlukan adanya konsepsi penataan pusat kota alun-alun Malang berdasarkan kondisi
awal untuk menghindari adanya kecenderungan perubahan yang menghilangkan
eksistensi alun-alun.
(c) Diperlukan adanya kebijakan pembatasan aktifitas dan tata guna lahan kawasan pusat
kota alun-alun Malang yang tercermin dalam fasad bangunan-bangunan di sekitar alun-
alun.
(d) Kawasan pusat kota alun-alun Malang merupakan kawasan yang penting dalam sejarah
Kota Malang, terutama peran dan fungsinya sebagai pusat aktifitas Kota Malang pada
masa lalu.
6
SEMINAR NASIONAL FTSP-ITN MALANG, 15 JULI 2010
Teknologi Ramah Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan
(e) Kegiatan pusat kota yang mixe-use pada saat ini telah berkembang cukup pesat,
sehingga semua kegiatan terpusat di kawasan tersebut.
(f) Pada saat ini Malang memiliki dua pusat pemerintahan, yaitu pusat Pemerintah Kota
Malang yang terletak di Jalan Tugu (alun-alun bunder) dan pusat Pemerintah Kabupaten
Malang terletak di alun-alun Malang.
(g) Tumbuhnya pusat perdagangan dan jasa yang terkonsentrasi di kawasan pusat kota
alun-alun menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral dari semua aktifitas kota,
sehingga intensitas arus pergerakan manusia dan barang tersebut cukup tinggi setiap
harinya.
(h) Fisik bangunan di sekitar alun-alun secara umum sudah berdiri lebih dari 50 tahun,
terjadinya perubahan perwajahan pada beberapa gedung diakibatkan oleh tuntutan
kebutuhan masa kini.
(i) Tumbuhnya gaya bangunan moderen pada beberapa gedung dan kecenderungan
mengaburkan citra koridor pusat kota telah memberikan dampak bagi keberadaan CKP
(Citra Kawasan Perkotaan).
DAFTAR PUSTAKA
Alvares Z., Eko. 1995. Karakter Arsitektur Kota Padang: Perkembangan Kota dan Perubahan Spasial.
Makalah Ilmiah Pendidikan Doktor. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.
Budihardjo, Eko, & Hardjohubojo, Sudanti. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Penerbit
Alumni.
Branch, Melville C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar & Penjelasan. Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Dana, Djefri W. 1990). Ciri Perancangan Kota Bandung. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Handinoto, & Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Malang. Yogyakarta: LPPM UK. Petra dan ANDI.
Hadi, Yusron. 1994. Pengembangan Bentuk Perdagangan dan Konservasi Bangunan: Suatu
Pendekatan Revitalisasi pada Kawasan Perdagangan Pecinan. Skripsi Teknik Arsitektur.
Yogyakarta: Universitas Gadjahmada.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Seri Etnogarafi Indonesia No. 2. Jakarta: PN. Balai
Pustaka.
Anonim. Kotapradja Malang 50 Tahun, 1964. Malang: Pemerintah Kotamadya Malang.
Marbun, B.N. 1990. Kota Indonesia Masa Depan: Masalah dan Prospek. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wiryomartono, A Bagoes P. 1994. Bangunan Lama dan Bersejarah: Direvitalisasi Dalam Konteks
Kekinian. Artikel. Majalah Konstruksi.
___________. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota Di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep,
Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradaban Hindhu-Budha, Islam, Hingga Sekarang.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.