You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia pasca herpes (NPH) adalah nyeri yang dirasakan di


tempat penyembuhan ruam Herpes Zoster, terjadi 9 % hingga 15 % pasien
herpes zoster yang tidak diobati, dengan risiko yang lebih tinggi pada usia
tua. Gangguan sensorik berupa hiperestesia, hiperalgesia dan alodinia ikut
memperberat penderitaan yang dialami.1

Nyeri neuralgia pasca herpes adalah, nyeri yang dapat menganggu


tidur, mood, dan pekerjaan sehingga mempengaruhi kualitas hidup, baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Pemberian terapi analgetik klasik
tidak efektif terhadap neuralgia pasca herpes. Hal ini dapat dimengerti
karena bukti-bukti ilmiah telah menunjukkan adanya keterlibatan susunan
saraf pusat pada NPH. Neuralgia pasca herpes merupakan penyebab nyeri
deaferensiasi dan terbukti sering menimbulkan masalah penatalaksanaan
yang cukup sulit. Prioritas saat ini adalah bagaimana memprediksi
timbulnya neuralgia pasca herpes dan tentu saja pencegahannya 1

1
BAB II

HERPES ZOSTER

a. Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama
terjadi pada orang tua yang khas ditandai adanya nyeri radikuler unilateral
serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang
dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik
dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster
dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi
primer oleh virus.2,3

b. Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak
dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada
perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka
kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti
Amerika, penyakit ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34%
setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1% setahun.4
Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela
sebelumnya karena varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang
sama yaitu virus varisela zoster. Setelah sembuh dari varisela, virus yang
ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan aktif
kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50
tahun dan kurang dari 10% usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah
melaporkan kasus hepes zoster pada bayi usia 11 bulan.4,5

2
c. Pathogenesis
Infeksi primer dari virus varisella zoster ini pertama kali terjadi di
daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah
sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan
asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo
Endothelial System (RES) yang kemudian mengadakan replikasi kedua
yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran
virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat serat
sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten
didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada
saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka
terjadilah reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.6

d. Gambaran klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan
parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari
menjelang timbulnya erupsi. Gejala konstitusi, seperti sakit kepala,
malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita (terutama pada anak-anak)
dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.2
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang
lokalisata dan unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah
tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
salah satu ganglion saraf sensorik.2
Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. Dua belas hingga dua
puluh empat jam kemudian terbentuk vesikula yang dapat berubah
menjadi pustula pada hari ketiga. Seminggu sampai sepuluh hari
kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap
menjadi 2-3 minggu.2

3
Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada
anak-anak hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh.
Rasa sakit segmental pada penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun
krustanya sudah menghilang.2
Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada
dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).7
1. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster
yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf
dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi
herpetik unilateral pada kulit.8
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah
disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal
berlangsung 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia,
banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.8

2. Herpes zoster fasialis


Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis
(N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.8

4
3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.8

4. Herpes zoster torakalis


Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.8

5. Herpes zoster lumbalis

5
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral
pada kulit.2

6. Herpes zoster sakralis


Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang
mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada
kulit.2

e. Komplikasi
Neuralgia pasca herpetic
Neuralgia pasca herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada
daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama
berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul
pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan gradasi nyeri
yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi
persentasenya.2
Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi
HIV., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.2

6
Kelainan pada mata
Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa:
ptosis paralitik, akeratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis
optik.3

Sindrom Ramsay Hunt


Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus
fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka
(paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan,
tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan
pengecapan.3
Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem
saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah,
diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya
akan sembuh spontan.2

7
BAB III

NEURALGIA PASCA HERPETIKA

a. Definisi
Neuralgia adalah nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik
yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan.
Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai nyeri
yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan
sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster.
Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau
berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes
zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia pasca herpetika sebagai
nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah
penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan
sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes
zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari
berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut
Dworkin. 9,10

b. Etiologi
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus
herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili
herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid
yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai
ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,15

8
c. Insidens dan prevalensi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia pasca
herpertika didapatkan dari data Eropa dan Amerika Serikat. Insidensi dari
herpes zoster pada negara-negara tersebut bervariasi dari 1.3 sampai
4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali lebih
banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain
menyatakan pada penderita imunokompeten yang berusia dibawah 20
tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan untuk usia di atas 80
tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunodefisiensi
(HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih
banyak dibandingkan kelompok sehat usia sama.11
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia
pasca herpetika setelah onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100
pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5 kasus/100 pasien. Sehingga
berdasarkan penelitian Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia pasca
herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari
per 1 juta kasus herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.11
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan
Amerika Selatan, tetapi presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di
Asia, Australia dan Amerika Selatan mempunyai pola yang sama dengan
data dari Eropa dan Amerika Serikat. 11
Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan
pada 10-70%nya mengalamia neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1
tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai
48%.11

d. Patologi dan pathogenesis


Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau
cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus
ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus
varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga

9
terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh
tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah
infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglion kornu dorsal, hidup
secara dorman selama bertahun-tahun.11
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi
dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas
seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus
varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas
seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status
imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi
reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit
terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di
sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan,
vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel
yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’. Pada ganglion
kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan
demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan
virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. 11
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi
virus varisella zoster: 12
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion
sensorik di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis
dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer
beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior
poliomielitis, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental,
unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar dan ganglion.

10
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada
segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan


neuralgia pasca herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada
pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia
pasca herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis. 11

Mekanisme nyeri 13
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 4 fase :
1. Fase I : proses stimulasi singkat (nyeri nosiseptif)
2. Fase II : proses stimulasi yang berkepanjangan, yang menyebutkan lesi
atau inflamasi jaringan (nyeri inflamasi)
3. Fase III : proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf (nyeri
neuropatik)
4. Fase IV : proses yang terjadi akibat respon abnormal susunan saraf
(nyeri fungsional)

Fase I disebut juga nyeri nosiseptif. Pukulan, cubitan, aliran listrik


dan sebagainya, yang mengenai bagian tubuh tertentu akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi tersebut tidak begitu kuat dan
tidak menimbulkan lesi, maka persepsi nyeri yang timbul akan terjadi
dalam waktu singkat.13
Fase II, nyeri yang terjadi pada fase II berbeda dengan fase I. Pada
fase II, stimuli yang merangsang jaringan cukup kuat, sehingga jaringan
akan menyebabkan fungsi berbagai komponen sistem nosiseptif berubah.13
Ciri khas dari inflamasi ialah rubor, kalor, tumor, dolor dan
fungsiolesa. Rubor dan kalor merupakan akibat bertambahnya aliran
darah, tumor akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, dolor
terjadi akibat aktivasi atau sensitisasi nosiseptor dan berakhir dengan

11
adanya penurunan fungsi jaringan yang mengalami inflamasi
(fungsiolesa).13
Perubahan sistem nosiseptif pada inflamasi disebabkan oleh
jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator
inflamasi, speri bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin,
dan sebagainya, yang dapat mengaktivasi atau men-sensitisasi nosiseptor
secara langsung maupun tidak langsung.13
Fase III dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau
sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari
sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron
sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang
terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui
perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi
abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan
nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya
aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu: 11,13
1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitifitas terhadap katekolamin
Fase IV disebut nyeri fungsional yang merupakan konsep yang
masih baru. Bentuk sensitifitas nyeri ini ditandai dengan tidak
ditemukannya abnormalitas perifer dan defisit neurologis. Nyeri
disebabkan oleh respon atau fungsi abnormal sistem saraf, dimana
sensitifitas apparatus sensorik memperkuat gejala. Beberapa kondisi
umum memiliki gambaran tipe nyeri ini yaitu fibromyalgia, irritable
bowel syndrome, beberapa bentuk nyeri dada non-kardiak, dan nyeri
kepala tipe tegang. 13
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal
(secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang

12
dijalarkan serabut Aß yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba
normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri.
Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya : 11,13
1. Sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah
potensial aksi sebagai respon terhadap stimuli noksius dan
penurunan nilai ambang rangsang sehingga stimuli non noksius
mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. Perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan
substansia P. Pada nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus
dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa ectopic
discharge.
3. Hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti
GABA atau glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial
membran mendekati potensial istirahat. Tetapi pada nyeri
neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini
diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga
terjadi eksitasi berlebihan.
Nyeri pada neuralgia pasca herpetika merupakan nyeri neuropatik
yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan
proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah
rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan
respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan
kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan
perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya
menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini ada berbagai macam proses
sehingga pendekatan terapeutik neuralgia pasca herpetika ada beberapa
macam pendekatan pula.15

13
e. Manifestasi klinis

Komplikasi yang paling sering terjadi pada herpes zoster adalah


timbulnya neuralgia pasca herpetika sehingga neuralgia pasca herpetika
bukan merupakan kelanjutan dari herpes zoster akut, tetapi merupakan
penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi herpes zoster.
Neuralgia pasca herpetika yaitu suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di
tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi
neuralgia pasca herpetika ke dalam tiga fase: 1,10
• Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi
kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu
• Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset
lesi kulit tetapi < 4 bulan
• Neuralgia pasca herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan
setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi
herpes zoster.

Onset ruam ruam sembuh nyeri sembuh

Nyeri fase akut Neuralgia pasca herpes

NYERI ZOSTER
Ket: Nyeri zoster, nyeri fase akut dan nyeri pasca herpes 1

Manifestasi klinis neuralgia pasca herpetika adalah nyeri yang


sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan

14
diperberat oleh rangsangan pada kulit berupa hiperestesia, allodinia dan
hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengganggu pekerjaan pasien,
tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi
kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi
kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa
terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi),
hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus,
atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat
diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa
gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam
menanggapi rangsang yang berulang.11
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia pasca herpetika adalah
meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan
beratnya ruam Herpes Zoster. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi
dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia pasca herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan
pula dalam menimbulkan neuralgia pasca herpetika adalah gangguan
sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia,
limfoma), lama terjadinya ruam.11

f. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada
penderita neuralgia pasca herpetika terdiri dari terapi farmakologik dan
non farmakologik. Dan penatalaksaan untuk nyeri zoster (nyeri fase akut)
dapat diberikan analgetik non-opioid, antidepresan dan tranquilizer (yang
banyak digunakan adalah kombinasi amitriptilin dan flufenasin), dapat
pula diberikan larutan triamsinolon 0,2% dalam NaCl 0.9% untuk infiltrasi
sekitar ruam.14
Saat ini terapi NPH difokuskan ada penggunaan psikotropik dan
antikonvulsan. Terapi farmakologis efektif untuk menurunkan kualitas

15
nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien, termasuk pemakaian
antidepresan trisiklik, antikonvulsan, agen topical, analgesic opioid dan
tramadol.1
Anti konvulsan, terutama non-sodium channel blocking agent
seperti gabapentin dan pregabalin tampak cukup efektif. Mekanisme kerja
obat golongan ini diperkirakan melalui penurunan sensitisasi sentral.
Misalnya inhibisi pelepasan asam amino eksitatorik (glutamate) dan
mungkin juga meningkatkan reaksi inhibisi susunan saraf sentral melalui
transmisi GABA-ergik. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset
kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan
merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-
gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan
pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-
related peptide) pada primary afferent nerve terminals.1,11
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus
neuralgia pasca herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme
memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin.
Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang
terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan
trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan
nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan
reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti
efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective
serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline,
dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat
reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya
menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi,
konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi,
takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat
badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik.
Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pasca

16
herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan
lainnya.11
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan
menghambat voltage-gated sodium channels . Inaktivasi menyebabkan
hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja
lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi
nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih.11

Pilihan terapi beberapa obat untuk Neuralgia Pasca Herpetika.

(American Academy of Family Physician, 2004) 1


Obat Dosis
Agen topical
Kapsaisin krim (Zostrik) Oleskan pada lokasi yang terkena 2-5x/hari
Lidokain (Xylocaine) patch Tempelkan pada lokasi yang terkena setiap 4-12 jam
bila dibutuhkan
Antidepresan trisiklik
Amitriptilin (Elavil) 0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap
Desipramin (Norpramin) 2 sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 150 mg/hari.
Imipramine (Tofranil) 25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap 2
sampai 4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 150 mg/hari
Nortriptilin (Pamelor) 0-25 mg oral sebelum tidur naikkan dosis 25 mg setiap
2-4 minggu sampai respon adekuat, atau dosis
maksimum 125 mg/hari
Antikonvulsan
Fenitoin (Dilantin) 100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis sampai
respon adekuat atau kadar dalam darah 10 -20 µg rel
mL ( 40 to 80 µmol per L)
Karbamazepin (Tegretol) 100 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100 mg
setiap 3 hari sampai 200 mg tiga kali sehari, respon
adekuat atau kadar dalam darah 6-12 µg rel mL ( 25,4

17
to 50,8 µmol per L)
Gabapentin (Neurontin) 100-300 mg oral sebelum tidur; naikkan dosis 100
-300 mg setiap 3 hari sampai dosis 300 – 900 mg tiga
kali sehari atau respon adekuat (kadar dalam darah
belum ditentukan)
Pregabalin (Lyrica) 75 mg oral sebelum tidur, dapat dinaikkan menjadi
150 – 300 mg dua kali sehari jika diperlukan atau
dapat ditoleransi.

g. Pencegahan
Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup
baik pada penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan
timbulnya neuralgia paska herpetika. Kortikosteroid berperan dalam
mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf, sedangkan
antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan
eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih
cepat. Asiklovir yang dimulai selambat-lambatnya 72 jam (3 hari) dari
onset ruam zoster dan dengan dosis 5 x 800 mg perhari selama 7 hari. 11,14

18
BAB IV

KESIMPULAN

Neuralgia pasca herpetika adalah suatu komplikasi dari infeksi


Herpes Zoster, bukan merupakan kelanjutan dari Herpes Zoster akut.
Herpes Zoster sendiri adalah suatu radang kulit akut dan setempat, khas
ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler
yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun
ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Erupsi mulai dengan
eritema makulopapular lalu terbentuk vesikula yang dapat berubah
menjadi pustula pada hari ketiga. Tujuh sampai sepuluh hari kemudian,
lesi mengering menjadi krusta. Keluhan yang berat biasanya timbul pada
penderita usia tua. Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang
terbanyak pada dermatom torakal (55%), kranial (20%), lumbal (15%),
dan sakral (5%). Komplikasi dari Herpes Zoster, selain Neuralgia Pasca
Herpetika, yaitu infeksi sekunder (pada penderita yang disertai defisiensi
imunitas, kelainan pada mata (seperti ptosis paralitik, akeratitis, skleritis,
uveitis, korioranitis dan neuritis optic), sindrom Ramsay Hunt, dan
paralisis motorik.

Neuralgia pasca herpetika dapat didefinisikan sebagai nyeri


neuropatik yang menetap setelah inset ruam setelah fase penyembuhan
Herpes Zoster. Nyeri yang timbul seperti rasa terbakar, parastesi yang
dapat disertai rasa sakit (disestesi), hipertesia, atau sperti tersetrum listrik.
Keluhan tersebut dapat bertahan selama berbulan-bulan hingga
tahunan.Nyeri sendiri dapat diprovokasi dengan stimulus ringan/normal,
rasa gatal yang tak tertahankan dan nyeri terus bertambah dalam
menanggapi rangsang yang berulang. Factor resiko dari NPH ini selain
meningkatnya usia, adalah nyeri hebat pada fase akut, dan beratnya ruam
herpes zoster. Penatalaksanaan untuk NPH difokuskan pada penggunaan

19
psikotropik dan antikonvulsan yang efektif untuk menurunkan kualitas
nyeri. Anestetik lokal dapat pula digunakan.

Neuralgia pasca herpetika dapat dicegah dengan penggunaan


kortikosteroid dan antiviral seperti asiklovir yang dimulai selambat-
lambatnya 72 jam setelah inset ruam zoster dengan dosis 5x800mg perhari
selama 7 hari

20
Daftar pustaka
1. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik. Kelompok Studi
Nyeri PERDOSSI 2008 ; 63-76
2. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates, 2000; 92-94.
3. Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-
4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005; 110-2.
4. Naros WE. Tinjauan Retrospektif Penyakit Herpes Zoster Pada Penderita
Yang Dirawat Di Bagian Kulit Dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil
Padang Periode 1993-1997. Skripsi. Padang: 1999; 5-9.
5. Achdannasich. Herpes Zoster Bilateral Asimetris-Pada Anak.
Perkembangan Penyakit Kulit dan Kelamin Indonesia Menjelang Abad 21.
Perdoski. Surabaya: Airlangga University Press, 1999 ; 212-214,
6. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu
Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001
7. Andrews. Viral Diseases. Diseases of the Skin. Clinical Dermatology. 9th
Edition. Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 486-491
8. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi
Ke- 2. Jakarta: ECG, 2005 ; 84-87
9. Bowsher D. The lifetime occurence of herpes zoster and prevalence of
post-herpetic neuralgia: a retrospective survey in an elderly population.
Eur J Pain 1999;3:335-42
10. Dworkin RH, Portenoy RK. Proposed classification of herpes zoster pain.
Lancet 1994;343:1648.
11. http://perdossijaya.org
12. Hopper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 7th
ed. New York, NY: McGraw Hill;2005:797
13. Meliala L. Patofisiologi Nyeri. Nyeri Neuropatik. Kelompok studi nyeri
PERDOSSI 2008 ; 1-28
14. Meliala L. Neuralgia Pasca Herpetika. Penuntun Penatalaksaan Nyeri
Neuropatik. Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2007 ; 59-60

21

You might also like