You are on page 1of 5

SOSIOLOGI 

AGAMA

A. PENDAHULUAN

Pada dasarnya agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan


keselarasan hidup. Baik itu agama Islam sendiri dan agama lainnya.

Namun, dalam kenyataannya tidak jarang agama bukannya menjadi pemersatu


sosial tapi malah sebaliknya sebagai unsur konflik. Hal ini disebabkan dengan
adanya truth klaim pada tiap-tiap pemeluknya.

Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah
sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala tidak di pahami.

Sehingga kerukunan antaragama yang pernah dijalankan oleh pemerintah ORBA


pada masa itu berjalan lancar sesuai dengan cirinya yang menekankan pada
pendekatan keamanan. Lalu timbul berbagai macam kerusuhan pada saat ini baik itu
di Ambon, Kupang dan Aceh sehingga program itu perlu ditanyakan kembali, bisa
saja kan kita mengira karena pendekatannya itu pada masa Orde Baru berjalan
lancar.

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-
kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang
tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu
dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari
agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk
supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan
menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita
lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari
bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut
Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki
sifat yang historis.

B. PLURALIS AGAMA

Agama, sebagaimana seni, sangat sulit untuk diberi batasan yang tegas. Agama,
menurut Hans Kung, bukanlkah untuk didefinisikan, apalagi untuk diperdebatkan.
Agama adalah sesuatu untuk dihayati dan diamalkan. Ia bukan sesuatu yang ada
diluar diri manusia.

Menurut Hans Kung, agama bukan hanya menyangkut hal-hal yang teoritik,
melainkan hidup sebagaimana yang kita hayati. Agama menyangkut sikap hidup,
pendekatan terhadap hidup, cara hidup, dan yang terpenting adalah menyangkut
perjumpaan atau relasi dengan apa yang dinamakan Rudulf Otto sebagai The Holy.
Agama selalu menyangkut basic trust seseorang terhadap hidup dan menyangkut
“ya” atau “tidak” terhadap hidup. Menurut Kung, secara eksistensial, sadar atau tidak,
manusia membutuhkan komitmen pada makna, dan komitmen pada norma.

Dalam hal ini agama selalu berkaitan dengan manusia. Sejarah agama selalu
menyertai sejarah kemanusiaan. Agama tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini
semenjak dimulainya sejarah kemanusiaan hingga ia punah. Sebab, menurut Max
Scheler (1874-1928) merupakan kemampuan tersendiri yang palin g dasar dalam diri
manusia. Bahkan, agama merupakan fitrah yang diturunkan yang telah menyatu
dalam diri manusia semenjak kelahirannya.

Setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup,
bukan saja antarmanusia, tetapi juga antarsesama makhluk Tuhan penghuni
semesta ini. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif. Saelain
sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi unsur konflik. Bahkan, menurut
Schimmel, dua unsur itu menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak
berlebihan. Tetapi, jika melihat perjalanan sejarah dan realitas dimuka bumi ini,
pernyataan itu menemukan landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya,
bagaimana realitas itu bisa memicu para pemelik agama untuk merefleksikan
kembali ekspresi keberagamaannya yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup
dan kehidupannya.

Berkaitan dengan itu, salah satu yang menjadi problem paling besar dalam
kehidupan beragama dewasa ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah
bagaimana teologi suatu agama mendefinisikan diri ditengah-tengah agama lain,
dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme agama,
berkembanglah suatu paham teologia religionum. Paham ini menekankan semakin
pentingnya dewasa ini untuk berteologi dalam konteks agama.

C. KLAIM KEBENARAN
Setiap agama memiliki kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan
pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosialogis,
klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif,
personal, oleh setiap pemeluk agama. Ia tidak lagi utuh dan absolut. Pluralitas
manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan
dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
berbagai referensi dan latar belakang yang diambil orang yang meyakininya dari
konsepsi ideal turun kebentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Ini yang
biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Mereka
mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan
konskuen nilai-nilai suci itu.

Kita memang sulit melepaskan kerangka (frame) subjektivitas ketika keyakinan lain
yang berbeda. Meskipun ada yang berpendapat bahwa kerangka subjektif adalah
cermin eksistensi yang alamiah. Lagi pula, setiap manusia mustahil menempatkan
dua hal yang saling berkontradiksi satu sama lain dalam hatinya. Dengan begitu, kita
tidak harus memaksakan inklusivisme “gaya kita” pada orang lain, yang menurut kita
ekslusif. Sebab, bila hal ini terjadi, pemahaman kita pun sebenarnya masih
terkunjung pada jerat-jerat ekskusivisme, tetapi dengan menggunakan nama
inklusivisme.

Dengan demikian,pluralisme bisa muncul pada masyrakat di mana pun ia berada.ia


selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas, tidak ingin
dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme.

D. ISLAM DAN PLURALISME

Al Qur’an sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah
sumber kebenaran dan mutlak itu tidak akan tampak manakala Al qur’an tidak
berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab di bumikan.
Menurut Nurcholis Majid berpendapat bahwa sistem nilai plural adalah sebuah
aturan Tuhan yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang
siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya, maka akan timbul
fenomena pergunakan yang tidak berkesudahan. Boleh dikatakan bahwa memahami
pluralitas agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama, sebab
memahami agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara
menyeluruh.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah. Yatu
sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif, oleh karena
itu, agenda yang perlu diluruskan oleh islam Indonesia adalah mengubah pluralisme
sebagai ideologi sebagai konkret. Tentu saja dituntut peran negara yang positif
dalam memperlakukan agama. Agama bukan hanya sebagai intrumen mobilisasi
politik, tetapi yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika
dalam interaksi, baik diantarasesama penguasa maupun sesama penguasa antar
rakyat.

E. KERUKUNAN ANTARAGAMA

Konsep kerukunan antar umat beragama pernah dirumuskan dan ditetapkan oleh
pemerintah Ordebaru dengan melibatkan semua tokoh agama yang ada di
Indonesia, selama masa Orba. Relatif tidak konflik antar umat beragama yang
berbeda. Namun ketika di Ambon, Aceh, Kupang, dan diberbagai daerah lannya
terjadi berbagai kerusuhan dan tindakan kekerasan yang berbau agama.

Oleh karena itu, pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antar umat beragama
yang selama ini diterapkan pemerintah. Maka konflik antaragama tidak bisa
terhindarkan akan selalu meledak. Bila terjadi hal-hal sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara, baik aspek politis, ekonomi, maupun sosial budaya.

Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang antara
keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan bahkan saling
berlawanan. Dalam istilah Al Qur’an, konflik disebut dengan kata ‘aduw
(permusuhan, pertentangan, konflik).

Khusus kata ‘aduw yang dikaitkan dengan interaksi antarmanusia dapat ditarik
induksi tentang macam-macam konflik berikut :

1. Konflik sosial (Q.S 2:36;7 : 24 : 20 : 123 ; 43 : 67)

2. Konflik politik (Q.S 10 : 90; 22: 19 ; 28 :8 ; 28 : 15)

3. Konflik agama ( Q.S 4:62 ; 63 : 4; 4 : 101 ; 25 : 31)

4. Konflik budsaya (Q.S 5 : 48 ; 30 : 32)


Selain satu bagian dari kerukunan antarumat baragama adalah perlunya diadakan
dialog antaragama. Agar komonikatif dan terhindar dari perdebatan teologis
antarpemeluk (tokoh) agama.

F. KESIMPULAN

Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu


dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi, atau sosial budayanya. Apabila benar
bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya
dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan HAM, yang -
menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin mendalam rasa keagamaan, makin
mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seandainya tidak demikian, agama
tidak mengangkat keluhuran martabat manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Zainal Abidin, Ahmad Syafi’i., Sosiosophologi, Cv Pustaka Setia.,


Bandung, 2002.

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosdakarya., Bandung.,


TTh.

You might also like