You are on page 1of 5

SATU BABAK TENTANG KEHIDUPAN DI LADANG

GERSANG
http://warsa.wordpress.com

Jika ditanya tentang perjalanan kehidupan, semua orang; saya, kita, kamu,
kalian akan sependapat; sepahit atau semanis apapun hidup dan kehidupannya
akan terus bergulir. Saya sangat sependapat dengan orang yang mengatakan,
jika hidup harus terus mengalir ibarat air di sungai, menubruk bebatuan namun
pada akhirnya akan menemukan kemana si air harus pulang. Namun saya paling
benci terhadap mereka, orang-orang yang mencoba memenuhi selokan dengan
duri-duri bahkan cenderung membuat air agar mandeg pada satu muara,
sehingga keleluasaan manusia dalam berpikir dikerangkeng dan dihentikan pada
batas-batas bendungan hingga membusuk. Hanya saja, bahwa kebebasan itu
pun adalah kebebasan yang dibatasi oleh kerangka dan acuan yang jelas.

Penjegalan kreatifitas dalam kehidupan adalan sebuah penistaan terhadap


derajat kemanusiaan, namun kebebasan tanpa aturan merupakan sikap
egosentris berlebihan, dan sebagai manusia tidak pantaslah mengambil satu dari
dua sikap di atas. Cermin Negara kita saat ini ada di dua kutub tersebut, bukan
malah mengambil posisi di antara keduanya. Mari saya perjelas lebih luas.
Begini, satu sisi kita memang hidup dalam aturan-aturan, namun banyak sekali
aturan yang bersifat memenjarakan kreatifitas dan sikap immprovisasi, misalkan
kebebasan untuk menyampaikan aspirasi lewat tulisan masih belum bisa
mewakili manusia Indonesia sebagai manusia kreatif. Belum lagi kehadiran
orang-orang policik atau dalam bahasa saya politisi licik dan picik, semakin
meramaikan situasi, daripada memecahkan permasalahan dan membuka lebar-
lebar pengungkapan kasus-kasus besar, mereka cenderung mencari jalan aman,
mengamankan posisinya masing-masing, dan akan menyudutkan siapapun,
orang-orang yang memiliki niat baik untuk mengbongkar kasus-kasus besar di
negeri ini. Tidak heran, ketika saya menuliskan tentang perbaikan dan berusaha
untuk memberitahukan secara luas kepada khalayak tentang rusaknya tatanan
bernegara kita saat ini, sebuah email dengan nada ancaman saya diterima.

Sementara pada saat yang sama, di pihak lain terlihat oleh saya, beberapa
manusia mengekspresikan kebebasannya secara sembarangan, misal; para
selebritis dengan tidak mengindahkan etika dan sopan-santun ketimuran
bervulgar ria, memamerkan serta membusungkan dada. Maka dengan cara
sederhana sekalipun, siapa pun bisa melihat dan menonton paha-paha mulus
serta tonjolan-tonjolan dada para selebritis secara Cuma-Cuma. Sebuah alas an
dilontarkan, itu adalah kebebasan kami! Ya, saya pun setuju jika kalian
menjadikan kebebasan sebagai alas an pembenaran bahwa payudara kalian
tercecer dengan mudah di lapak-lapak Koran dan lepau judi?. Namun perlu
diperhatikan, berapa wanita yang menjadi korban pelampiasan hasrat lelaki
bejat setelah mereka melihat tubuh-tubuh kalian karena ada erotisme di sana.
Sebagai kaum perempuan, kalian akan mengelak, bukan salah kami jika si
Misnem diperkosa oleh si Duloh! Yayaya… bukankah kalian penganut
kebebasan? Sementara pada saat yang bersamaan kebebasan selalu dilandasi
oleh logika, logika tidak pernah surut dari hukum kausalitas, sebab akibat,
bukan begitu?

Kebebasan dengan kerangka rapuh, seperti ungkapan teman saya karena


kurangnya gizi di negeri ini terejawantah setahun lalu. Kau akan terkejut, jika
saat ini para preman telah berhasil menjadi para dewan terhormat. Lantas
orang-orang hukum akan mengajak saya untuk berdiskusi dengan
pengungkapan fakta, mana bukti dan faktanya jika preman-preman jalanan itu
telah menjadi anggota dewan? Begitu mungkin Tanya orang hukum, dan saya
akan kelabakan karena sulit sekali bagi saya untuk menunjukkan mana batang
hidung si preman yang telah menjadi anggota dewan ini? Padahal nyatanya
memang ada. Sebab di zaman ini orang akan lebih berpihak pada manusia-
manusia munafik daripada harus bersanding di dalam kebenaran. Sampai
seorang kawan bernah berkata kepada saya: kita ini harus berkumpul bersama
orang-orang yang menang!!! Sedangkan sepengetahuan saya, di dalam ajaran
agama mana pun, manusia alangkah lebih baiknya bergabung bersama orang-
orang yang benar.

Fakta preman-preman telah menjadi anggota dewan terhormat bukan sebatas


pada wacana konotatif , ini memang bermakna lugas, dari sekian anggota
dewan di kota saya misalkan, ada terselip beberapa anggota dewan yang
memiliki latar belakang preman. Ya, betul tak ada yang salah memang ketika
preman menjadi anggota dewan terhormat karena mereka bisa sampai ke
gedung DPR, DPRD pun melalui sebuah proses demokrasi. Mereka adalah orang-
orang terpilih yang telah dipilih oleh para pemilihnya. Yang penting saya
pertanyakan adalah, kenapa kita memilih mereka? Nurani tidak bisa menjawab
masa lalu, karena nurani adalah kekinian dan sebuah spontanitas… mengenai
ketulusan.

Mari kita berjalan ke arah yang lebih jelas. Berapa kerugian negeri ini ketika
uang negara dengan mudah dialirkan ke dalam kantung-kantung dan pundi-
pundi pemerintahan? Kerugian Negara tentu karena kekurang efektifan kinerja
pemerintah itu sendiri. Negeri ini sudah begitu tandus dan telah menjadi lahan
gersang bagi pribadi-pribadi kreatif, petani dengan guyuran keringat dan
siraman terik matahari hanya bisa mendapatkan uang yang belum tentu cukup
untuk menghentikan rengekan anaknya karena belum membayar uang
penebusan ijazah SMA. Sedangkan, sebagian orang dengan mudah sekali, hanya
duduk-duduk mengandalkan tarian sebuah ballpoint bisa mendapatkan gaji
bulanan dan bisa dengan mudah pula mengajukan pinjaman ke lembaga-
lembaga keuangan saat kinerja mereka pun masih pantas dipertanyakan. Lihat
oleh kalian, bahkan sesekali datanglah ke kantor-kantor pemerintahan, kau akan
melihat para pegawai duduk-duduk santai, membaca koran, bermain catur, di
saat jam kerja! Berapa triliun kerugian Negara ini hanya untuk mengurus
mereka, berapa kerugian negeri ini hanya untuk menggoalkan sebuah proyek,
berapa besar kerugian negeri ini ketika anggaran untuk mengganti papan nama
dari kata DEPARTEMEN menjadi KEMENTERIAN bisa menghabiskan milyaran
rupiah?

Ya, memang seperti itulah kawan, maka…. Tidak sedikit orang yang memiliki
cita-cita menjadi dokter, pilot, pegawai bank, pegawai negeri sipil, karena
mereka memiliki anggapan… titik aman dalam kehidupan adalah ketika mereka
telah menjelma menjadi manusia-manusia seperti di atas… namun saya pun
yakin, masih banyak insan-insan kreatif yang memiliki pikiran bersayap. Dan
orang orang seperti itu lah sebetulnya yang lebih pantas diberi fasilitas oleh
NEGARA!!!!

Dan saya ingin sekali menuliskan sebuah drama satu babak tentang kehidupan
di sebuah ladang gersang negeri ini. Jelas, ini adalah pentas kehidupan
sebenarnya orang-orang bawah, orang-orang yang menggantungkan hidupnya
pada air dan matahari, pada desiran angin dan arakan awan-awan…
Begini ceritanya:
Sebuah padang, ditumbuhi ilalang, angin mendesir, namun mampu
menggeriapkan ujung-ujung ilalang. Aroma senjakala menyeruak ketika
matahari mulai mendekati puncak gunung. Udara hangat tidak perlu
dipertanyakan lagi, sebelah selatan padang adalah kebun-kebun dan sawah
kerontang, tanah belah, karena kemarau merambat begitu lambat di musim ini.
Padi tidak tumbuh dengan baik kecuali karena serangan wereng tengik juga
belalang-belalang itu memetik daun-daun padi, belum lagi di malam hari tikus-
tikus sialan berjingkrak di atas pematang-pematang lantas melompat ke dalam
rimbunnya pohon-pohon padi.

Darmanto: “ Besok aku akan meninggalkan kampung halaman, mau bekerja ke


Jakarta, kata teman yang sudah ada di sana, mudah sekali pekerjaan di dapat,
jadi penjaga toilet umum pun bisa dapat uang, akan aku kumpulkan di celengan
di sana, sebulan sekali aku akan pulang, jangan menanyakan tentang oleh-oleh.
Sebagai orang kampong, lumrah lah jika saat pulang nanti aku akan membawa
oleh-oleh. Kamu bisa ikut serta menikmatinya..

Tarno: “ Ke Jakarta?”

Darmanto:” iya, ada yang salah?”

Tarno: “ tentu , tidak…!”

Darmanto: “ sawah kering… kebun gersang… lihat… bisakan kita makan rumput
ilalang ini? Kambing kerempeng pung belum tentu mau ..”

Tarno: “ iya.. “

Darmanto: “ kamu?”

Tarno: “ mau diam saja, menunggu hujan turun… katanya besok akan ada
sholat istisqo dan kenduri, memohon hujan..”

Darmanto: “ ya, baguslah itu… mudah-mudahan hujan segera turun setelah ada
usaha dari kita. O, iya… besok aku akan ke Jakarta pagi sekali… aku perlu
ongkos… bukankah di rumahmu masih ada jagung kering?”

Tarno: “ ya , ada..”

Darmanto: “ bisa aku meminjam uang kepadamu… kamu jual jagung kering itu
ke Koperasi..!”

Tarno: “ dengan senang hati…”

Kedua sahabat itu berpelukan erat, seolah akan berpisah cukup lama. Sinar
matahari membentuk silhuet negative ketika menubruk tubuh mereka…

Lantas, darimana kita membaca adanya kesusahan di dalam dua manusia itu…
cerita sebetulnya tidak terhenti disini. Karena di babak selanjutnya… datanglah
ke kampung itu orang-orang perlente, membawa proposal, bahwa kelak di sana
akan dibangun bendungan besar. BAHAGIALAH MEREKA… karena pada suatu
saat nanti akan ada bendungan besar, jika kemarau panjang areal pesawahan
tidak akan kekeringan lagi seperti saat ini! Ya… masa depan memang selalu
diciptakan dengan bahasa kenyamanan, namun saat ini… untuk ongkos ke
Jakarta pun Darmanto harus meminjam kepada Tarno dengan cara menjual
jagung kering miliknya…

Demikian cerita satu babak ini kawan…

You might also like