You are on page 1of 272

UNIVERSITAS INDONESIA

PSIKOANALISIS PARADOKS KEDAULATAN


KONTEMPORER—KASUS KEBIJAKAN GLOBAL WAR ON
TERROR AMERIKA SERIKAT SEMASA PEMERINTAHAN
GEORGE W. BUSH, Jr.

TESIS

HIZKIA YOSIAS SIMON POLIMPUNG


0806438572

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
JAKARTA
JUNI 2010
UNIVERSITAS INDONESIA

PSIKOANALISIS PARADOKS KEDAULATAN


KONTEMPORER—KASUS KEBIJAKAN GLOBAL WAR ON
TERROR AMERIKA SERIKAT SEMASA PEMERINTAHAN
GEORGE W. BUSH, Jr.

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar M.Si.

HIZKIA YOSIAS SIMON POLIMPUNG


0806438572

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
JAKARTA
JUNI 2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Hizkia Yosias Simon Polimpung


NPM : 0806438572
Tanda Tangan :

Tanggal : 14 Juni 2010

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Hizkia Yosias Simon Polimpung
NPM : 0806438572
Program Studi : Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Judul Tesis : Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer—Kasus
Kebijakan Global War On Terror Amerika Serikat
Semasa Pemerintahan George W. Bush, Jr.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr. Makmur Keliat (……………….…)

Sekretaris Sidang : Utaryo Santiko, S. Sos, M. Si (….………………)

Pembimbing : Suzie Sudarman, MA (……………….…)

Penguji Ahli : Dr. Robertus Robet (.…………………)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Juni 2010

iv
Untuk Joan

v
KATA PENGANTAR

Dewasa ini banyak dari kita yang mungkin kecewa dengan pemerintahan
negara. Tentang bagaimana ia mengatur ini dan itu, memfasilitasi kita ini dan itu,
melindungi kita dari ini dan itu, dst. Banyak pula dari kita, entah dengan dorongan
nasionalisme atau apa, berusaha mengkritik, mengusulkan, bahkan tidak sedikit yang
memaki pemerintah oleh karena itu. Jutaan opini koran ditulis, ribuan seminar
diselenggarakan, ratusan buku ditulis dan dibedah, namun negara nampaknya
“tenang-tenang saja” dan tetap tidak berubah. Berikutnya tentu pertanyaan yang
bahkan bisa dilontarkan oleh orang idiot akan keluar: “mengapa begitu?”; bukankah
seharusnya negara memperjuangkan kepentingan kita, masyarakat, sebagaimana tak
jemu-jemu dikhotbahkan semenjak Hobbes cs. sampai Prof. Miriam Budiardjo?

Pertanyaan inilah yang menjadi isu besar diskusi dalam studi ini. Dalam
pembahasan, penulis memberanikan diri untuk mengajukan suatu hipotesis yang
bersifat antitetis (anti-thetical) terhadap anggapan umum tentang negara seperti yang
tak jemu-jemu dikhotbahkan semenjak Hobbes cs. sampai Prof. Miriam Budiardjo,
yaitu negara berdaulat (sovereign state), yang bertujuan dan bertugas memberikan
keamanan dan kesejahteraan rakyatnya. Hipotesis yang penulis tawarkan adalah 1800
kebalikannya: bagaimana jika ternyata negara berdaulat memang tidak pernah
berniat menyediakan keamanan dan kesejahteraan rakyatnya? Jika benar demikian,
maka sudah pasti jargon-jargon dan janji-janji pemerintah untuk menyediakan
keamanan dan kesejahteraan adalah retorika semata alias “pepesan kosong”.
Tujuannya?—Apalagi jika bukan mempertahankan “kesetiaan” rakyatnya untuk
tinggal di teritorinya, mengingat salah satu unsur konstitutif negara adalah rakyat? 1

Juga melalui studi ini, penulis ingin menyudahi dan melampaui perdebatan
melelahkan tentang mundurnya vs. kembalinya negara. Permasalahan utama saat ini,
menurut penulis, bukanlah persoalan apakah negara sudah usang atau semakin

1 Lihat Konvensi Montevideo, 27 Desember 1933.

vi
intrusif, bukan pula permasalahan pro-negara atau anti-negara; sama sekali bukan ini
permasalahan yang perlu dikuatirkan! Hal paling mendesak justru terjadi pada tarik-
menarik paradoksal di antaranya—di satu sisi negara semakin usang di hadapan
globalisasi seluruh aspek kehidupan, di sisi lain ia semakin menguat dan intrusif
mengatur seluruh lini kehidupan manusia—yaitu saat negara semakin terlepas dan
teralienasi dari rakyat yang menjadi konstituen eksistensinya. Negara hanya peduli
kedaulatannya, dan siapapun yang duduk di tampuk pemerintahan—seidealis apapun
ia dulunya—akan tunduk pada logika kedaulatan negara: afirmasi dan reafirmasi
abadi akan kedaulatannya dengan cara apapun. Sehingga saat negara bermasalah,
bukanlah dikarenakan orang-orang yang duduk di pemerintahannya adalah jahat.
Justru sebaliknya, negara itu jahat karena ia memang bermasalah. Rakyat akhirnya
hanya menjadi jargon pelengkap retorika untuk melegitimasi seluruh perjuangan
negara demi mempertahankan kedaulatannya. Situasi di-ambang inilah yang menjadi
konteks utama studi penulis: penulis menerima kenyataan paradoksal tentang negara
ini, dan mengupayakan suatu pemahaman holistik akannya—suatu pemahaman yang
memungkinkan suatu transformasi … dan bukan sekedar repetisi teori-teori usang
demi yang disebut-sebut “sumbangsih dunia akademik.”

Studi ini sebenarnya merupakan penelitian yang sedianya menjadi topik


penelitian semasa studi sarjana. Hanya saja karena material dan literatur yang
terbatas, studi ini ditangguhkan. Sebagai gantinya, penulis mencoba meneliti kajian
yang lebih sempit dari studi ini, yaitu Kolonialisme. Namun demikian, landasan
analitis bagi studi ini, yaitu Psikoanalisis Lacanian, telah dimainkan pada studi
tersebut. Melalui studi tersebut, penulis mengaplikasikan Psikoanalisis Lacanian
pada pembentukan identitas negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara
melalui studi ini, penulis tidak hanya memainkannya pada tataran yang lebih luas,
melainkan juga mengkoreksi pandangan penulis pada studi tersebut. Jadi, sampai
taraf ini, bisa dibilang studi pada tesis ini merupakan kelanjutan dari studi pada
skripsi. Jika pada skripsi yang dikaji adalah negara berkembang, maka pada tesis ini
justru gagasan negara itu sendiri yang dikaji, dengan menempatkan Eropa
Pertengahan sebagi obyek kajian utama.

vii
Pengembangan penulis dari studi di skripsi hingga selesainya tesis ini tentu
bukanlah upaya penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari campur tangan orang lain.
Melalui pengantar ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada mereka
semua. Tesis ini pertama-tama tidak akan mungkin terrealisasi tanpa bantuan dari
dua oknum: pertama, situs “komunis-kapitalis” bernama Gigapedia.com, yang benar-
benar memberi jalan bagi penulis untuk mengakses hampir seluruh literatur yang
diperlukan studi ini secara cuma-cuma. Kedua pada Ibu Suzie Sudarman, yang
bukan hanya mau memberi kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan studi
yang bisa dibilang tidak lazim ini—mana ada studi HI yang menggunakan
psikoanalisis?—dengan menjadi pembimbing, melainkan juga menjadi rekan diskusi
penulis dalam menajamkan beberapa argumentasi pada tesis ini. Secara moril, beliau
juga yang turut meyakinkan penulis, bahwa perubahan di bumi ini adalah suatu hal
yang, bukan hanya mungkin, tetapi juga mendesak. Penulis juga berterima kasih bagi
segenap orang yang mau menjadi penguji tesis ini: Makmur Keliat, Utaryo Santiko,
Suzie Sudarman (lagi), dan Robertus Robet.

Terima kasih juga penulis haturkan pada mereka-mereka, yang bersamanya


penulis mulai mengembangkan gagasan-gagasan dalam studi ini: Papa dan Mama;
Dosen-dosen di S2 HI UI—Hariyadi Wirawan, Edi Prasetyono, Dwi Ardhanariswari,
Andi Widjajanto, dan terutama Suzie Sudarman; Rekan-rekan Lembaga Studi Urban
Surabaya—Gede Indra Pramana, Willa Utami, Nu’man “Zeus” Anggara, Ken
Kumbara, Budi Nurcahyo, Aditya “Fu” Fernando, Khoirul Anwar, Redo Nomadore,
Priyo Pahenggar, Yogi Ishabib, Yesaya Hardiyanto, Pratiwi Gunawan, Sesandi Tesa,
Untari Retno, Andi Aulia, Teddy “Ateng,” dan Heri Prasetyo; Para mantan dosen
dan rekan-rekan dari Unair—Baiq Warhdhani, Vinsensio Dugis, I. Basis Susilo,
Wahyu Wicaksana, Caroline Tanjaya—sister in crime, Airlangga Pribadi, Natasha
Karina, Dina Iga Ayonda; Trio diplomat—Annisa “Nis-nis” Paramitha, Erry “Oreo”
Wahyu Prasetyo, dan Cerya Paramita; Rekan-rekan Pustakalewi—Santo Auxerre
Vormen, Sonny Saragih, dan Toga Sidauruk; Rekan-rekan diskusi di S2—
Khoirunada, Frank Wawolangi, Dennis Toruan, Guspiabri Sumowigemo, Ibu Media
Amora, Arthanami, dan Desi Arya Pinatih; Rekan-rekan Komunitas Marx STF
Driyarkara—Martin Suryajaya, Anom Astika dan Berto Tukan; rekan-rekan

viii
komunitas Psikoanalisis—Awaludin Marwan, Edi Subkhan, Nur Amri Elin, dan
calon filsuf tenar, Melda Juwita; Rekan-rekan kerja di CIReS FISIP UI dan PKWA
UI—Andrew Mantong, Jessica Evangelina, Prasojo, Lukman Arifianto, Wira
Pradnya, Nimas, Vera, dan Kinanti Taufik. Juga rekan-rekan diskusi lainnya—Geger
Riyanto dari Bale Sastra Kecapi, Muhammad Al-Fayyadl, Alia Azmi, Fahmi “Foo
Taftazani”, Paruedee Nguitragool, Cak Tarno, Daniel Hutagalung, Tommy Awuy,
Iwa Inzagi dari P2D.

Secara emosional dan moril, penulis juga berterima-kasih atas dukungan dan
semangat yang diberikan bagi penulis: Papa, Mama dan adik-adik sekalian—Inon,
Hulda dan Abam: my unfettered and uncorrupted cause, Joan Aurelia—yang tidak
pernah kehabisan semangat-semangkuk-semangka bagi penulis, Fitriani Bintang
Timur—yang dengannya penulis berbagi absurditas selama dua bulan belakangan,
Zahra Ardiani—yang rajin menemani menenggak Heineken sembari berbagi kelam-
pahit dan berang-nendangnya hidup, Nadia Zahara—dan sushi-times dengannya,
Romanus Pandu—dan segala perversinya, Yessie Natasia Mareti, Janes Christina
Simangunsong, Anggita Hotna Panjaitan, Jemima Tumewu, Yovita Suryani, dan
segenap teman-teman S2 yang telah berbagi keceriaan.

Kepada semuanya: terima kasih untuk semua dukungan, diskusi, kritik dan
konfrontasi yang telah diberikannya.

My Final Prayer:
O my body, make of me always a man who questions!
(Frantz Fanon)

Ibukota, di mana kedaulatan begitu berisik,


14 Juni 2010,

HYSP

ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Hizkia Yosias Simon Polimpung
NPM : 0806438572
Program Studi : Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Departemen : Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Psikoanalisis Paradoks Kontemporer—Kasus Kebijakan Global War On Terror


Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George W. Bush, Jr.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 5 Juli 2010
Yang menyatakan,

(Hizkia Yosias Simon Polimpung)

x
ABSTRAKSI

Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi
benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat.
Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri
sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan
wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara
bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik
pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab
pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada
Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa
kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi
Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi
pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui
psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan
dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil
menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan
adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar
terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis
makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan
manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan
melinguistisasi “manusia” dan “negara”, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari,
subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep
yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya:
kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah
merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12.
Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom.
Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang
berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan
mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah
selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan
bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara
didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja
akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah
menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya
berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang
berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan
melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era
Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari
konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi
Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan
kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan
kontemporer.

Kata Kunci:
Kedaulatan, psikoanalisis, psikogenealogi, fasisme, abyeksi, paradoks kedaulatan, makro-
subyektivitas, komoditas kedaulatan.

xi
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign,


but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for
the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon
itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The
present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist
on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other
states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of
modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the
answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan’s Psychoanalysis and Michel Foucault’s Genealogy,
the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis,
which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a
regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and
also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The
next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic
assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go
beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a
macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called
“lingusticizing” the “human” and “state”, which is by construing that the two is just an effect
of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari,
subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts
that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the
sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of
sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the
paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa
12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings’ anxiety at that moment toward a
sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy
construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the
result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is
always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as
history testifies, the fantasy is always the kings’ fantasy, and not the people’s. That one can
say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings’ fantastic
desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made
them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as
its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of
sovereignty. This is the very logic of sovereignty—that is that the sovereign will always
commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take
account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global
War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of
sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian
version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary
sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty.

Kata Kunci:
Sovereignty, psychoanalysis, psychogenealogy, fascism, abjection, sovereignty
paradox, macro-subjectivity, commodity of sovereignty.

xii
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ................................... x
ABSTRAKSI .............................................................................................. xi
ABSTRACT ............................................................................................... xii
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xviii

I. PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang: Paradoks Kedaulatan Kontemporer ............................... 1
I.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 3
I.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 4
I.3.1. Aparatus Konseptual ...................................................................... 4
I.3.1.1. Kedaulatan Negara dan Subyektivitas Manusia ..................... 4
I.3.1.2. Gegar Subyektivitas/Kedaulatan ........................................... 9
I.3.2. Interpretasi Teoritik ....................................................................... 10
I.3.2.1. Strategi Analisis Teoritik ...................................................... 10
I.3.2.2. Tujuan Penelitian ................................................................. 16
I.3.2.3. Argumentasi Tesis ................................................................ 16
I.3.3. Metode Penelitian ......................................................................... 17
I.3.3.1. Pendekatan ................................................................................. 17
I.3.3.2. Data dan Teknik Pengumpulan Data ........................................... 18
I.3.3.3. Teknik Analisis Data .................................................................. 18
I.3.3.4. Sistematika Penulisan ................................................................. 19
I.4. Arti Penting Penelitian ............................................................................ 19

II. SINTESIS TEORI REZIM DAN PSIKOANALISIS: SEBUAH


PENDEKATAN PSIKO-GENEALOGI
II.1. Teori Rezim ......................................................................................... 23
Evolusi Teori Rezim ......................................................................... 23
Meremehkan anarki? Refleksi Perdebatan keuntungan absolut-relatif ....... 30
Paradoks keuntungan absolut .................................................................... 37
Momentum rezim multilateral Ruggian ...................................................... 38
Batasan teori rezim Ruggian ...................................................................... 42
II.2. Psikoanalisis .......................................................................................... 46
Tragik psike dalam rasionalisasi hubungan internasional ................. 46
Psikoanalisis: Dari Freud ke Lacan .................................................. 54
Psikoanalisis Lacanian: Dari gumpalan hasrat sampai ilusi “Aku” .. 58

xiii
Universitas Indonesia
Subyek Lacanian: Gegar dan narsis ................................................. 63
Kegelisahan (via Loss, Lack, Lacuna, Lamella) ................................ 68
Simptom ........................................................................................... 73
Konsekuensi Subyek Lacanian .......................................................... 78
Deleuze dan Guattari: Dari ilusi kepenuhan eksistensial sampai fasis-
paranoid .......................................................................................... 80
Butler dan Kristeva: Dari subyeksi sampai abyeksi .......................... 84
II.3. Psikogenealogi ...................................................................................... 88

III. PSIKOGENEALOGI NEGARA BERDAULAT MODERN—OBYEK


SUBLIM KEDAULATAN
III.1.Prospek ............................................................................................... 103
III.2. Negara-sentrisme: Dari statolatri sampai teologi politik....................... 103
Statolatri ......................................................................................... 104
Teologi politik ................................................................................. 108
III.2.1. Makro-subyektivitas dan Antropomorfisme ................................ 110
III.2.2. Performativitas Negara Modern ................................................. 116
III.2.3. Keputusan dan Pengecualian ...................................................... 121
III.3. Konfigurasi Eropa sebelum Negara-Modern........................................ 127
Entitas dominan abad ke-13 ............................................................. 130
Tumpang-tindih kekuasaan .............................................................. 133
Seri perang menuju negara modern ................................................. 135
Perang Tiga Puluh Tahun ............................................................... 138
III.4. Eropa Baru (?) dan Perjanjian Westphalia 1648................................... 139
Baru? ............................................................................................... 139
Perjanjian ....................................................................................... 144
Westphalia, anomali zaman (penjelasan dominan) ........................... 149
Faktor X?—Hipotesis Lacanian ...................................................... 154
III.5. Kedaulatan Westphalia Sebagai Simptom .......................................... 156
Leviathan Hobbesian ....................................................................... 156
III.5.1. Kegelisahan Raja <> Fantasi ..................................................... 161
Anxiety ($) ....................................................................................... 162
Fantasi ke-diri-an ideal (a) ............................................................. 165
III.5.2. Aktivasi mikrofasisme: dari antisipasi sampai agresi .................. 177
Antisipasi agresif, atau perubahan fantasi ke-diri-an ideal .............. 177
Skandal Westphalia 1648 ................................................................ 180
III.5.3. Negara Berdulat Modern: Obyek sublim kedaulatan .................. 197
Lahirnya Obyek Sublim Kedaulatan bernama Negara ..................... 198
Paradoks kedaulatan ....................................................................... 202
Aktivitas kedaulatan: komodifikasi dan abyeksi ............................... 204

IV. KEDAULATAN WESTPHALIA DI ERA GLOBAL WAR ON TERROR


GEORGE W. BUSH, JR.
IV.1. “9/11,” Kontradiksi Sistem Negara Modern Westphalia ...................... 210
Kembalinya abyek ............................................................................ 212
IV.2. Paradoks Kedaulatan............................................................................ 214
Kegelisahan (neo-)medieval ............................................................. 214

xiv
Universitas Indonesia
Bush Doctrine: Penguatan kedaulatan ............................................. 216
Kamp tahanan .................................................................................. 220
IV.3. Implikasi Teoritik ............................................................................... 225
Kedaulatan global ............................................................................ 225
Kedaulatan kontemporer? ................................................................ 227

V. SIMPULAN DAN ARAHAN


Negara-manusia, melampaui analogi............................................................ 235
Paradoks kedaulatan ................................................................................... 236
Logika kedaulatan ....................................................................................... 236
Kedaulatan Global: Kedaulatan Kontemporer? ............................................ 239
Arahan penelitian lebih lanjut ...................................................................... 242

DAFTAR PUSTAKA
Buku ............................................................................................................ 247
Jurnal ........................................................................................................... 255
Lain-lain (Naskah Tidak Diterbitkan, Koran, Video) .................................... 258

xv
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Ringkasan pandangan neoliberal institusionalis dan realis ........... 32


Tabel III.1. Jenis-jenis tentara berdasarkan otoritas memerintah,
alokasi penggunaan, dan kepemilikannya ...................................... 132
Tabel III.2. Komparasi Hasrat Fasistis Kekaisaran Romawi Agung dan
Gereja Katolik Roma pada Abad Pertengahan Akhir
(Abad ke-12 s/d 16) ........................................................................ 143
Tabel III.3. Elemen-Elemen Simptom Skandal Westphalia 1648 .................. 197
Tabel III.4. Struktur Simptom Skandal Westphalia 1648 .............................. 198

xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar I. 1 Sampul depan Leviathan .......................................................... 5


Gambar II.1. Gunung Es (Ice Berg) Psikis ................................................... 56
Gambar II.2. Untaian Borromean (Borromean Knot) .................................... 59
Gambar II.3 Topologi Psike Manusia dan Letak Simptom ........................... 77
Gambar III.1. Teritori “Kaisar Roma” Charlemagne pada Abad Ke-8 .......... 128
Gambar III.2. Teritori Kekaisaran Romawi pada
Puncak Kejayaannya (Abad 12) ..................................................... 140
Gambar III.3. Teritori Kekaisaran Romawi Agung semasa Charles V (1530) ... 141
Gambar III.4. Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci (kiri) dan Lukisan
Michaelangelo karya Giorgio Vasari (kanan) ............................................... 171
Gambar III.5. Descartes memberi kuliah di Swedia atas permintaan
Ratu Christina ............................................................................... 173
Gambar III.6. Komposisi negara berdaulat sebagai sebentuk obyek hasrat ... 201
Gambar IV.1. Beberapa contoh bagaimana tahanan diperlakukan di AS ....... 234

xvii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Model Teori Permainan Prisoner’s Dilemma


Lampiran 2. Plot Kedaulatan a la Tentara Bayaran: Tiga Tujuan Akatsuki dalam
Animasi Jepang Naruto

xviii
Universitas Indonesia
Well you built up a world of magic
Because your real life is tragic
Yeah you built up a world of magic

Well, if it’s not real


You can’t hold it in your hands
You can’t feel it with your heart
And I won’t believe it

But if it’s true


You can see it with your eyes
Even in the dark
And that’s where i want to be, yeah

Go get your shovel


We’ll dig a deep hole
To bury the castle, bury the castle ...

(Paramore, “Brick by Boring Brick,” Brand New Eyes, 2009)


BAB I
PENDAHULUAN

“The nation-state is dead. Long live the nation-state.”


The Economist, 1986.

I.1. LATAR BELAKANG: Paradoks Kedaulatan Kontemporer


Era kontemporer mencatat banyak fenomena di mana kedaulatan negara
menampakkan wajah muramnya: semakin layu, merenggang dan bahkan hilang
sama sekali. Hal ini terjadi di seluruh aspek kehidupan bernegara. Di bidang
politik, tidak sedikit negara yang terpaksa tunduk pada kehendak negara lain yang
lebih besar, kuat dan kaya. Pengakuan kedaulatan hanya menjadi ritual diplomasi
yang diwariskan turun-temurun. Di bidang ekonomi, banyak negara yang tidak
berdaya mengekang kehendak perusahaan-perusahaan dalam negerinya saat
mereka didesak untuk mereorientasi kebijakannya ke arah yang lebih berpihak
pada pasar, ketimbang ke arah kesejahteraan sosial. Di bidang sosial-budaya,
perpindahan barang dan manusia dari satu negara ke negara lainnya semakin
intens dan tak terlacak oleh aparat pemerintah. Eksesnya, penyelundupan barang-
barang dan migrasi ilegal marak terjadi. Belum lagi dampak perpindahan ini bagi
identitas nasional suatu bangsa; tak jarang perpindahan manusia berikut
budayanya dianggap sebagai malapetaka bagi koherensi tatanan sosio-kultural
yang telah lebih dulu ada di suatu negara. Di hadapan revolusi teknologi
komunikasi, informasi dan transportasi pun kedaulatan negara tampak tak
berdaya. Internet, misalnya, telah menjadi sarana baru bagi aktifisme
transnasional lintas-batas negara; negara tak diperlukan lagi untuk
menghubungkan masyarakat antar negara.

Namun demikian, di sisi lainnya, kedaulatan negara menunjukkan wajah


beringasnya: berusaha memulihkan, menegaskan dan meneguhkan kembali meski
dengan koersi dan kekerasan. Beberapa negara (mis. Iran, Korea Utara,
Venezuela, dan Iraq dan Libya dulu) “keras kepala” melawan dikte negara-negara
besar meski mengakibatkan penderitaan bagi masyarakatnya. Tidak sedikit pula
negara (mis. Negara-negara Dunia Ketiga) yang demi melanggengkan status-quo-

1 Universitas Indonesia
2

nya, rela menjadi komprador perusahaan-perusahaan besar negaranya maupun


yang multinasional, membentuk suatu korporatokrasi1 dan bersekongkol
“menjual” bangsanya. Sejarah pun mencatat usaha-usaha keji negara (Jerman,
Kamboja, Indonesia, dan negara-negara Eropa Barat kontemporer) dalam menjaga
kemurnian identitas nasionalnya dengan “mengantisipasi” kontaminasi identitas
para imigran dari luar negeri via kebijakan-kebijakan anti-imigran yang
diskriminatif dan rasis, bahkan genosida. Beberapa negara (Cina, Korea Utara)
pun tampak ketakutan apabila internet memberi “dampak negatif” bagi ideologi
negara sampai-sampai ditugaskan hacker-hacker untuk menghalangi akses
masyarakat ke situs-situs tertentu—hal ini sudah tentu melanggar hak-hak
masyarakatnya sendiri. Begitu pula dengan negara-negara (Amerika Serikat dan
sekutunya) yang sedang dirundung ketakutan akan serangan teroris, menciptakan
alat-alat perang, seperti pesawat siluman yang dapat melayang-layang sambil
membawa-bawa hulu ledak nuklir kemanapun tanpa terdeteksi radar, yang oleh
karenanya kedaulatan negara lain akan menjadi (semakin) tak berarti. Contoh-
contoh ini hanya sekelumit dari sederetan kisah horor yang dimainkan negara
berdaulat: Bosnia, Kosovo, Ceko, Kurdi, Myanmar, Nepal, Tibet, Rwanda, Sri
Lanka, Pakistan, Afghanistan, Timor Leste, Uighur, dan tentu saja Israel-
Palestina.

Dua wajah kedaulatan di era kontemporer yang bertentangan inilah yang


disebut ‘paradoks kedaulatan kontemporer.’2 Diskusi seputar paradoks ini menjadi
sangat relevan saat kedaulatan dikembalikan ke cita-cita dan gagasan asalnya;
paradoks kedaulatan kontemporer berbenturan dengan cita-cita dan gagasan

1
Suatu terma yang diutarakan oleh John Perkins untuk menggambarkan persekongkolan
korporat-aristokrat (penguasa)-birokrasi. Lihat John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man
(San Francisco: Berrett-Koehler, 2004).
2
Pembaca Michael Hardt dan Antonio Negri akan segera familiar dengan paradoks kedaulatan
yang tersirat dalam karya mereka yang sangat sugestif, Empire. Perbedaan dengan yang penulis
maksud di studi ini adalah bahwa Hardt dan Negri mengkontraskan antara “twilight of modern
sovereignty” dengan kemunculan, entah dari mana, suatu “Empire...a new imperial form of
sovereignty...that effectively encompasses the spatial totality, or really that rules over the entire
‘civilized’ world.” Sementara gagasan paradoks yang penulis maksudkan pada studi ini adalah
prilaku kontradiktif yang dilakukan oleh negara berdaulat. Sekalipun banyak menginspirasikan
penulis, posisi penulis akan cukup kontras dengan pemikiran Hardt dan Negri sebagaimana akan
tampak pada pembahasan-pembahasan berikutnya. Untuk catatan ini lihat Michael Hardt &
Antonio Negri, Empire (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2000), hal. xii-xiv. .

Universitas Indonesia
3

kedaulatan itu sendiri. Cita-cita kedaulatan adalah suci lagi mulia: suatu
penentuan nasib sendiri, tanpa campur tangan kekuatan eksternal, untuk
mewujudkan kesejahteraan, kedamaian dan keamanan masyarakat di dalam batas-
batas suatu negara. Hal ini termanifestasi dalam gagasan kedaulatan negara
modern yang meliputi tiga dimensi yang saling bertautan: kedaulatan ke dalam,
yaitu pembentukan suatu pemerintah yang memiliki kendali eksklusif atas suatu
teritori tertentu; kedaulatan ke luar, yaitu suatu otonomi dari kekuatan eksternal
apapun dalam menentukan kebijakan sehingga tidak ada, dengan demikian,
otoritas lain yang lebih tinggi dari negara yang dapat memaksakan hukum atau
kehendaknya pada negara; dimensi terakhir adalah perbatasan, yaitu suatu garis
demarkasi yang memisahkan antara teritori milik suatu negara dengan teritori
milik negara lainnya, dan juga antara wilayah domestik dan internasional. Baik
cita-cita maupun gagasan kedaulatan ini telah termaktub dalam Perjanjian Damai
Westphalia 1648 yang merupakan tonggak awal berdirinya negara berdaulat
modern.

I.2. Rumusan Masalah


Benturan paradoks dengan cita-cita dan gagasan asali kedaulatan ini pada
gilirannya memunculkan pertanyaan yang mengganggu: mengapa negara tetap
bersikeras untuk memulihkan kedaulatannya, bahkan dengan kekerasan, sekalipun
hal tersebut membawa malapetaka tidak hanya bagi negara itu sendiri, tapi juga
bagi negara lain?3 Bukankah hal ini bertentangan dengan cita-cita dan gagasan
luhur kedaulatan sebagaimana Perjanjian Damai Westphalia 1648? Kegagalan,
atau setidaknya “kurang akurat” dalam menjawab pertanyaan ini akan
mengakibatkan suatu kesimpulan mengerikan bahwa kedaulatan memang
“ditakdirkan” untuk selamanya kontradiktif, bahwa kedaulatan memang secara

3
Pertanyaan senada sebenarnya telah diutarakan oleh Anthony Burke, namun entah kenapa
sayangnya pertanyaan tersebut tak terjawab, bahkan tidak disinggung lagi, sampai akhir artikelnya.
Burke hanya mendeskripsikan suatu “perverse perseverance” dari kedaulatan tersebut dan
bagaimana teori-teori kontemporer (salah) menganalisisnya. Artikel ini akhirnya berusaha mengisi
kekosongan tersebut, sekalipun dengan cara dan gaya yang sama sekali berbeda dari Burke. Lihat
Anthony Burke, “The perverse perseverance of sovereignty,” Borderlands E-Journal, 1(2), 2002,
diakses dari http://www.borderlandsejournal.adelaide.edu.au/vol1no2_2002/burke_perverse.html.
Dicetak ulang dalam sebuah bab dalam Anthony Burke, Beyond Security, Ethics, and Violence:
War Against Other (London & NY: Routledge, 2007).

Universitas Indonesia
4

by-design mensyaratkan kekerasan terhadap negara itu sendiri dan negara lain,
bahwa kedaulatan mengutuk negara untuk menjadi “fasis paranoid.”4

I.3. Kerangka Pemikiran


I.3.1. Aparatus Konseptual
I.3.1.1. Kedaulatan Negara dan Subyektivitas Manusia
“Mengapa bersikeras berdaulat?” Pertanyaan ini menolak jawaban
sederhana sebagaimana, semisal, yang diberikan oleh para ‘klasikis’ seperti
Thomas Hobbes dalam Leviathan-nya terkait cita-cita luhur kedaulatan seperti
yang telah sedikit disinggung di atas, atau tesis animus dominandi Hans
Morgenthau yang menaturalkan sifat haus dominasi manusia. Klasikis cenderung
menggunakan metafora, bahkan personifikasi dalam menganalogikan negara
dengan manusia (pria) sehingga mereka memandang kedaulatan negara sebagai
suatu ‘makro-subyektivitas’. Teori-teori negara mereka akhirnya bersifat
antropomorfistik.5 Bisa jadi hal ini dikarenakan romantisisme yang diidap para
klasikis tentang kekuasaan negara sebagai suatu seni luhur, sebagaimana Nicollo
Machiavelli, yang notabene sangat subyektif.

4
Gilles Deleuze & Felix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. Robert
Hurley, Mark Seem dan Helen R. Lane (London: The Athlone Press, 1983), hal. 277.
5
Antropomorfisme merupakan penggunaan karakteristik manusia kepada entitas-entitas lain
non-manusia. Gambar sampul depan Leviathan Thomas Hobbes dengan jelas menyiratkan
antropomorfisme ini. Gambar seorang raja yang memegang tongkat dan pedang dalam buku itu
melambangkan seorang raja (dianalogikan sebagai ular besar Leviathan) yang tubuhnya
merupakan kumpulan rakyat-rakyatnya yang membentuk “tubuh politik” bagi raja tersebut.
Thomas Hobbes, Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Common-wealth Ecclesiastical
and Civil, (McMaster University Archive of the History of Economic Thought, 1651)

Universitas Indonesia
5

Pandangan makro-subyektivitas kedaulatan Hobbesian ini wajar apabila


melihat pembabakan sejarah. Eropa pada zaman Thomas Hobbes adalah Eropa
yang tengah mengalami Renaissance atau Pencerahan (Enlightenment). Salah satu
“program” Pencerahan ini adalah emansipasi terhadap aspek rasional manusia
yang selama masa sebelumnya (abad pertengahan) direpresi habis-habisan oleh
gereja. Rasio pada abad pertengahan ditundukkan
oleh gereja, kiprahnya diizinkan sepanjang itu berada
dalam koridor penafsiran ajaran Kristen yang
diberikan oleh gereja. Eropa modern yang telah
tercerahkan dicirikan dengan populernya gerakan
humanisme, atau gerakan yang memberikan apresiasi
tertinggi pada aspek kemanusiaan—dalam hal ini
rasio. Humanisme juga mempengaruhi gagasan
subyektivitas manusia sehingga subyektivitas Gambar I. 1 Sampul depan
Leviathan.

modern ditandai oleh rasionalitas, perasaan kedirian yang utuh, dan otonomi
individu. Subyektivitas inilah yang nampaknya menjadi landasan analogi bagi
kedaulatan negara ala Thomas Hobbes, yaitu yang memiliki: rasionalitas yang
tersentral pada raja atau sang Leviathan, atau apa yang oleh Friedrich Meinecke
disebut sebagai raison d’etat (state’s reason); tubuh atau diri (corpus) politik
yang integral, sebagaimana terilustrasikan dengan baik di sampul buku Leviathan-
nya; dan otonomi dalam penentuan arah kebijakan negara.

Hal yang mudarat dari pendekatan para klasikis adalah penyalah-gunaan


kekuasaan atas nama subyektivitas yang rawan menghantui kehidupan bernegara. 6
Sehingga dibutuhkan suatu kerangka analisis yang mampu menembus benteng
dalih subyektivitas tersebut. Selama alasan subyektivitas menjadi tempat
berlindung kedaulatan dari pisau bedah keilmuan, maka ia akan selamanya tak
tersentuh. Kegalauan inilah yang setidaknya memotori revolusi saintifik/struktural

6
Kegalauan ini tersirat dengan cukup jelas pada seorang punggawa mazhab (neo)realisme
struktural Kenneth Waltz: "[T]raditional and modern schools ... reveal themselves as
behavioralists under the skin ... [who] offer explanations in terms of behaving units while leaving
aside the effect that their situations may have. ... [In fact] causes not found in their individual
characters and motives do operate among the actors collectively.” Kenneth Waltz, Theory of
International Politics (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley, 1979), hal. 64-5, penekanan
pada naskah original.

Universitas Indonesia
6

pada 1960an di studi Hubungan Internasional (HI) saat para ‘strukturalis’


mencoba mengabstraksikan prilaku kedaulatan ini ke suatu kanon universal. Hasil
abstraksi inilah yang disebut ‘struktur’, atau yang diartikan Waltz sebagai “a set
of constraining conditions,”7 yang dinamai ‘anarki internasional’. Strukturisasi
prilaku ini penting bagi Waltz, karena menurutnya penjelasan tentang HI
seharusnya “not born of idle curiosity alone,” melainkan oleh “desire to control,
or at least to know if control is possible, rather than merely to predict.”8 Sehingga
saat menjelaskan tentang perang antar negara berdaulat, dengan struktur ini
penstudi HI mampu tidak hanya memprediksikan perang tersebut, tetapi juga
mampu mengontrol keluaran(outcome)-nya dengan memberikan rekomendasi
untuk mencegah, atau setidaknya menghindarinya.9

Argumentasi Waltz adalah bahwa dari struktur anarki ini penstudi HI


mampu memprediksikan prilaku dan pola-pola kemunculannya, dan akhirnya
mampu merekomendasikan cara “mengakalinya”. Hal ini demikian karena anarki
internasional menstruktur identitas dan prilaku negara-negara berdaulat,10
membuat hubungan di antara satu dan lainnya menjadi dilematis dan penuh
kecurigaan,11 sehingga pada akhirnya berdampak pada prilaku survivalis dan swa-
bantu (self-help),12 bahkan paranoid dan haus kekuasaan untuk menjadi hegemon
tunggal di dunia internasional.13 Alhasil, hubungan apalagi kerja sama, di antara
negara-negara tersebut akan sangat diwarnai dengan pilihan-pilihan pragmatis
rasional yang sudah tentu membuat kerja sama tadi akan sukar dicapai, kecuali

7
Waltz, Theory, hal. 73.
8
Ibid., hal. 6. Karl Marx juga mengutuk prilaku para teoritisi yang terlalu asyik dengan
keingin-tahuannya sebagai “masturbasi intelektual.” Karl Marx, The Poverty of Philosophy
(Progress Publishers, 1955 [1847])
9
Waltz mencontohkan fungsi kontrol dari teori dengan perumpamaan demikian: “The forces
that propel two bodies headed for a collision may be inaccessible, but if we can predict the
collision, we can at least get out of the way.” Ibid.
10
Waltz, Theory, dan Alexander Wendt, Social theory of International Politics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999)
11
Waltz, Theory dan Robert Jervis, “Cooperation under the security dilemma,” World Politics,
30(2) (Jan, 1978).
12
Joseph Grieco, “Anarchy and the limits of cooperatin: a realist critique of the newest liberal
institutionalism,” International Organization, 42(3) (Musim Panas, 1988), dan Waltz, Theory.
13
John Mearsheimer, Tragedy of Great Power Politics (New York: W. W. Norton, 2001).

Universitas Indonesia
7

kepentingan seluruh negara dapat terakomodasi oleh kerja sama tersebut—suatu


hal yang bisa dibilang mustahil.14

Sayangnya para strukturalis terlalu mendewakan struktur anarki tadi dan


terlalu prematur dalam mengaksiomatisasinya dalam teori-teori hubungan
internasional. Seperti kelakar Waltz,
“To construct a theory we have to abstract from reality, that is, to leave aside most of
what we see and experience ... [T]he theory we want to construct has to be a systemic
one. A theory also has elegance. Elegance in social-science theories means that
explanations and predictions will be general ... A theory of international politics can
succeed only if political structures are defined in ways that identify their causal effects
and show how those effects vary as structures change. From anarchy one infers broad
expectations about the quality of international political life. Distinguishing between
anarchic structures of different type permits somewhat narrower and more precise
definitions of expected outcomes.”15

Hal ini fatal karena membutakan strukturalis terhadap fenomena-fenomena di


mana tidak semua prilaku dalam mengejar kedaulatan sudi untuk tunduk pada
struktur anarki. Ditambah lagi dogma statisme16 yang dianut strukturalis,
mengaburkan mata mereka dalam melihat manuver-manuver kedaulatan yang
dilakukan bukan oleh entitas bernama ‘negara’ (mis. separatis, teroris, gerakan
anti-globalisasi, dst.). Karena bukan negara, maka entitas-entitas ini memiliki
rasionalitasnya sendiri, yang bisa jadi tidak dapat dimengerti oleh tata bahasa
yang biasa digunakan oleh strukturalis. Defisit pemikiran di kalangan strukturalis
ini tampak dalam usahanya dalam me-negara-isasi entitas-entitas tersebut dengan
membubuhkan atribut-atribut sebagaimana yang dimiliki oleh negara17 dan

14
Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in The World Political
Economy (Princeton: Princeton Univ. Press, 1984).
15
Waltz, Theory, hal. 68-70, penekanan dari penulis.
16
Suatu keyakinan yang memberikan privilese kepada negara sebagai aktor pertama dan
terutama dalam hubungan internasional, sebagaimana tampak dalam pembelaan dogmatis
Alexander Wendt,
“The point is merely that states are still the primary medium through which the effects of other
actors on the regulation of violence are channeled into the world system. It may be that non-state
actors are becoming more important than states as initiators of change, but system change
ultimately happens through states. In that sense states still are at the center of the international
system, and as such it makes no more sense to criticize a theory of international politics as ‘state-
centric’ ..” (Lihat Wendt, Social Theory, hal. 9, penekanan dari penulis.)
17
Pemberian nama seperti ‘non-negara’, ‘trans-nasional’, ‘multi-nasional’ merupakan contoh
usaha strukturalis dalam melihat entitas-entitas tadi dengan menggunakan kacamata yang sama
sebagaimana yang digunakannya untuk melihat negara. Misalnya berkaitan dengan teritori, karena
entitas ini tidak berteritori seperti negara, maka ia disebut non-teritori. Negara berikut atributnya
masih menjadi jangkar dalam usaha-usaha konseptualisasi demikian. Bdk. David Campbell,
“Political Prosaics, Transversal Politics, and the Anarchical World,” dalam Michael J. Shapiro and

Universitas Indonesia
8

merasionalisasi manuver-manuver mereka dengan memaksakan suatu abstraksi


motivasi empiris-rasional (mis. kemiskinan, keterbelakangan, dst.). Usaha ini bisa
disebut sebagai semacam ‘stato-morphisme’, karena ukuran-ukuran yang
dikenakan pada negaralah yang digunakan untuk mengukur entitas-entitas tak
dikenal ini. Akibatnya, luput dari pandangan strukturalis tentang suatu entitas
yang memiliki alat ukur berbeda dengan yang digunakan untuk mengukur negara.
Kelompok teroris misalnya, secara entitas ia tidak hanya non-teritori, ia bahkan
anti-teritori; secara motivasional ia berdasarkan bukan pada pilihan rasional,
tetapi bisa jadi keyakinan metafisik; secara organisasional ia tidak hirarkis seperti
negara, tetapi bisa jadi ia pseudo-hirarkis yang memiliki segelintir pemimpin
sementara pengikutnya bermultiplikasi secara tak terkendali. Strukturalis
menemui keterbatasannya di sini.18

Sekalipun kedua tipe jawaban, klasikis dan strukturalis, memiliki


kekurangannya masing-masing, namun demikian penulis berpendapat bahwa
keduanya tidak lantas dibuang begitu saja. Malahan penulis melihat potensi
teoritik yang dapat dipetik apabila beberapa unsur dari keduanya diteruskan,
sementara beberapa lainnya disiangi. Semangat strukturalis untuk menantang
penyalah-gunaan kedaulatan yang berlindung di balik dalih subyektivitas perlu
diteruskan, sementara keyakinan dogmatis terhadap suatu struktur universal lebih
baik dikesampingkan dahulu. Sementara dari klasikis, penulis melihat potensi
yang sangat besar untuk memahami prilaku berdaulat suatu negara dengan
melihatnya sebagai seorang subyek/individu manusia. Hanya saja potensi
tersebut, karena dibangun di atas landasan analogi yang spekulatif—
antropomorfisme, menyumbang sedikit bagi analisis obyektif tentang prilaku
berdaulat tadi. Dengan menyiangi analogi imajinatif para klasikis, dengan
demikian memberikan bukti-bukti relevan bahwa kedaulatan benar-benar
merupakan versi makro dari subyektivitas manusia, dan bukan semata-mata
analog, maka potensi tadi menjadi terbuka (unlocked).

Hayward R. Alker (peny.), Challenging Boundaries: Global Flows, Territorial Identities


(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996.)
18
Penulis menguraikan lebih jauh tentang keterbatasan pendekatan strukturalis dalam Hizkia
Y. S. Polimpung, “Memenggal Kepala Presiden: Studi Politik Internasional versus Masa Depan,”
Jurnal Studi Amerika, Januari-Juni 2009.

Universitas Indonesia
9

I.3.1.2. Gegar Subyektivitas/Kedaulatan


Kontribusi beberapa ‘klasikis kontemporer’ dalam diskusi seputar
kedaulatan semakin menambah pentingnya penyediaan landasan obyektif bagi
analogi spekulatif makro-subyektivitas kedaulatan para klasikis sebagaimana
dibahas di atas.19 Klasikis kontemporer telah bergerak lebih maju dalam
memahami hakikat kedaulatan. Bagi mereka, kedaulatan merupakan sesuatu yang
ilusif. Negara tidak akan pernah mengalami kedaulatan yang utuh; kedaulatan
negara selalu akan berada pada posisi gegar (divided). Mereka berangkat
menggunakan analogi spekulatif para klasikis yang memandang kedaulatan
negara sebagai makro-subyektivitas manusia (Eropa) modern, dan melengkapinya
dengan gagasan-gagasan tentang subyektivitas dari disiplin-disiplin lain seperti
Filsafat, Psikologi dan Psikoanalisis. Penyimpulan mereka: sama seperti nasib
subyektivitas—sebagaimana dikritik oleh misalnya Psikoanalisis—yang tidak
akan pernah utuh, maka kedaulatan pun tidak akan pernah komplit; sama seperti
nasib kesadaran subyek yang selalu terbelah, maka rasionalitas negara pun akan
selalu gegar. Namun demikian, bagaimanapun juga penyimpulan seperti ini patut
dipertanyakan karena ia dibangun di atas landasan analogal yang spekulatif. Sama
seperti penyimpulan klasikis, potensi teoritik dari penyimpulan klasikis
kontemporer masih terkunci rapat sampai ditemukan suatu pemahaman yang
memadai yang mampu “menyulap” analogi spekulatif menjadi suatu
korespondensi obyektif.

Tidak hanya kontribusi klasikis kontemporer yang memberi urgensi untuk


memberikan landasan obyektif bagi analogi spekulatif tentang hakikat kedaulatan

19
Richard Ashley, “Untying sovereign state: a double reading of the anarchy problematique,”
Millennium: Journal of International Studies, 17(2), 1988; Beberapa tulisan dalam James Der
Derian & Michael J. Shapiro, peny, Intertnational/Interextual: Postmodern Readings of World
Politics (Mass. & Toronto: Lexington Books, 1989); R. B. J. Walker, Inside/Outside:
International Relations as Political Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1993);
Richard Devetak, “Incomplete States: Theories and the Practices of Statecraft,” dalam John
Macmillan & Andrew Linklater, peny., Boundaries in Questions: New Directions in International
Relations (London: Pinter Publishers, 1995), hal. 19-39; Jenny Edkins, Nalini Persram &
Veronique Pin-Fat, peny., Sovereignty and Subjectivity (Boulder: Lynne Riener, 1999); Mathias
Albert, David Jacobson, & Yosef Lapid, peny., Identities, Borders, Orders: Rethinking
International Relations Theory (Minneapolis & London: University of Minnesota Press, 2001);
Anthony Burke, Beyond Security, Ethics, and Violence: War Against Other (London & NY:
Routledge, 2007).

Universitas Indonesia
10

sebagai makro-subyektivitas. Kontribusi dari sepasang pemikir Perancis, Gilles


Deleuze dan Felix Guattari,20 tentang prilaku “fasis” manusia yang senantiasa
menghasrati dirinya untuk didominasi dan dieksploitasi demi suatu perasaan ke-
diri-an yang utuh (sense of integrated self) semakin memberikan penulis suatu
dorongan untuk mengisi kekosongan landasan obyektif yang dilewatkan baik
klasikis maupun klasikis kontemporer. Karena dengan memberikan rationale bagi
antropomorfisme makro-subyektif kedaulatan negara, maka kritik kedua klasikis
akan dapat diaktifkan dan dapat dihubungkan implikasinya lebih lanjut dengan
pemikiran Deleuze dan Guattari tadi. Dengan kata lain, apabila benar bahwa
kedaulatan negara merupakan versi makro dari subyektivitas manusia, maka bisa
dipastikan bahwa sama seperti subyektivitas, kedaulatan tidak akan pernah utuh
dan komplit, ia akan selalu gegar dan terbelah. Suatu kedaulatan yang utuh dan
manunggal adalah suatu ilusi—delirium, dalam bahasa Deleuze dan Guattari,
sehingga apabila kedaulatan yang selalu gegar tersebut dipaksakan keutuhannya,
maka hal ini akan meniscayakan prilaku fasis subyek/negara, tidak hanya terhadap
dirinya, tapi juga terhadap lainnya: inilah implikasi paling ekstrim dari tesis
makro-subyektivitas negara. Hal ini relevan untuk memahami paradoks
kedaulatan kontemporer sebagaimana penulis paparkan di atas. Namun demikan,
pertanyaan masih belum terjawab.

I.3.2. Interpretasi Teoritik


I.3.2.1. Strategi Analisis-Teoritik21
Untuk menjawab permasalahan yang telah diutarakan di atas, strategi yang
akan ditempuh pertama-tama adalah dengan melacak unsur-unsur subyektivitas
manusia modern yang terkandung dalam naskah Perjanjian Westphalia yang telah
menjadi tonggak utama didirikannya negara berdaulat modern. Untuk upaya
pelacakan ini, logika arkeologi-genealogi yang ditawarkan Michel Foucault dapat
membantu untuk melihat pertalian kekuasaan, kepentingan, dan institusi dengan
kelahiran suatu wacana pengetahuan –dalam hal ini kedaulatan ala Perjanjian

20
Deleuze & Guattari, Anti-Oedipus.
21
Skema analisis terlampir.

Universitas Indonesia
11

Westphalia.22 Namun demikian, pendekatan Foucauldian seperti ini hanya melihat


faktor-faktor eksternal dari wacana tersebut dalam mengkonstitusi wacana
tersebut, sehingga aspek internal kurang mendapat sorotan memadai. Untuk
menutupi celah teoritik ini, gagasan John Ruggie tentang rezim internasional amat
berguna untuk melihat faktor-faktor internal yang mempengaruhi perumusan
Perjanjian tersebut. Menurutnya, suatu rezim internasional merupakan pertemuan
dari kepentingan, ekspektasi, dan identitas pihak yang turut serta dalam
perumusan rezim tersebut. Dengan mengembangkan teori Ruggie dalam koridor
Psikoanalisis, penulis melihat Perjanjian Westphalia sebagai rezim kedaulatan,
dan berusaha melacak tidak hanya kepentingan, ekspektasi, dan identitas,
melainkan juga hasrat, kecemasan, bahkan fantasi subyektif masing-masing
partisipan dalam setiap butir perumusan rezim tersebut. Strategi ini kiranya dapat
menunjukkan bahwa kedaulatan negara à la Perjanjian Westphalia benar-benar
merupakan manifestasi dari subyektivitas modern Eropa saat itu, dan bukan
semata-mata analogi antropomorfistik. Kesimpulan ini berikutnya dapat me-
reinforce tesis makro-subyektivitas kedaulatan à la klasikis dan klasikis
kontemporer dengan landasan obyektif, dan bukan analogis.

Namun demikian, tesis klasikis kontemporer yang lain, yaitu kedaulatan


yang selalu gegar, belum terbukti, setidaknya dengan landasan-landasan obyektif.
Sehingga berikutnya, kesimpulan makro-subyektivitas kedaulatan ini akan
diintegrasikan dengan pemikiran-pemikiran klasikis kontemporer dengan
menunjukkan: pertama, bahwa subyektivitas manusia pada hakikatnya adalah
gegar; dan kedua, bahwa kedaulatan negara yang merupakan makro-subyektivitas
manusia juga pada hakikatnya adalah gegar. Menurut hemat penulis, Psikoanalisis
merupakan kacamata yang tepat untuk menunjukkan dan memahami kegegaran-
kegegaran demikian semenjak core-business Psikoanalisis adalah dimensi
kegegaran subyek itu sendiri. Setelah menunjukkan kegegaran kedaulatan negara,
penulis akan menghubungkan kesimpulan gegar kedaulatan ini dengan gagasan

22
Michel Foucault, ‘Truth and Power’, dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and
Other Writings 1972–1977, peny. Colin Gordon, (New York: Harvester Wheatsheaf, 1980);
‘Nietzsche, Genealogy, History’, dalam Paul Rabinow (ed.) The Foucault Reader (London:
Penguin Books, 1984).

Universitas Indonesia
12

Deleuze dan Guattari tentang Fasisme-Paranoid sebagai konsekuensi


penyangkalan kegegaran. Menurut mereka, penyangkalan ini dilakukan demi
pengejaran suatu delirium keutuhan diri. Penyangkalan ini bersifat fasis karena ia
meniscayakan suatu prilaku kekerasan terhadap diri sendiri maupun terhadap yang
lain. Sehingga apabila pemikiran Deleuze dan Guattari ini dipakai untuk
memahami prilaku negara berdaulat kontemporer, sekiranya fenomena paradoks
kedaulatan kontemporer yang hendak penulis telaah pada tesis ini dapat
memperoleh jawabannya. Dengan kata lain, paradoks kedaulatan kontemporer
terjadi karena negara berdaulat modern sedang mengejar suatu delirium keutuhan
kedaulatan yang notabene mustahil.

Strategi kedua dalam memahami paradoks kedaulatan kontemporer adalah


dengan membenturkan temuan-temuan pada strategi sebelumnya dengan salah
satu praktik kedaulatan kontemporer. Untuk hal ini, penulis memilih kedaulatan
Amerika Serikat semasa pemerintahan George W. Bush, Jr. Kasus AS semasa
Bush ini sangat menarik dibanding kasus-kasus negara lainnya untuk didiskusikan
karena beberapa hal: pertama, AS merupakan negara adidaya sekaligus tunggal di
dunia ini yang tersisa semenjak kolapsnya adidaya lainnya—Uni Sovyet. Kedua,
sekaligus hal yang ironis dibandingkan poin pertama, AS merupakan negara
adidaya yang kedaulatannya runtuh pasca-serangan yang disebut-sebutnya sebagai
serangan “teroris” pada 11 September 2001 atau yang populer dengan sebutan
“9/11”. Akibatnya, politik luar negeri AS pasca-9/11 diwarnai dengan upaya-
upaya untuk memulihkan kembali kedaulatannya (reinstatement of sovereignty),
bahkan kedigdayaannya. Upaya ini terartikulasikan secara gamblang dalam
perumusan politik luar negerinya—Global War on Terror, dan juga doktrin yang
dikeluarkan oleh sang presiden yang disebut-sebut sebagai Bush Doctrine.

Kedaulatan AS di era kontemporer juga tidak terlepas dari dimensi


paradoks. Keberhasilan mereka yang disebut-sebut (oleh AS, dan kini hampir
seluruh dunia) “teroris” dalam mensabotase untuk kemudian menabrakkan
pesawat terbang komersial berpenumpang penuh ke menara kembar pencakar
langit World Trade Center (WTC) dan ke markas Departemen Pertahanan AS,

Universitas Indonesia
13

Pentagon, dalam serangan 9/11 menunjukkan dengan gamblang bahwa bahkan


sang adidaya pun tidak mampu menutup diri terhadap intervensi dari kekuatan-
kekuatan di luar wilayah berdaulatnya. Kegagalan untuk mempertahankan
kedaulatan ini memberikan dampak traumatik yang besar kepada AS, baik
pemerintah maupun rakyat. Trauma tersebut adalah trauma akan kehilangan jati
diri sebagai sang adidaya, sebagai sang berdaulat, sebagai sang hegemon. Tidak
berhenti di sini, trauma tersebut memicu paranoia, yaitu ketakutan berlebihan
karena dicekam oleh kengerian bahwa teror susulan bisa saja sewaktu-waktu
terjadi. Tak jelas siapa musuh, tak jelas pula dari mana asal teror yang nantinya
akan datang. Semuanya begitu tak jelas. Yang jelas adalah bahwa ketakutan akan
ancaman teror di masa depan telah menjadi simulasi bawah sadar: inilah paranoia.
Paranoia yang diidap AS adalah paranoia yang agresif; demi mencegah kesialan
teror terjadi atasnya, AS melakukan berbagai macam tindakan preventif. Dalam
kondisi seperti inilah Doktrin Bush mendapat fertile ground untuk tumbuh.23
Doktrin Bush merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh AS untuk
mengimbangi “rapor merah” kedaulatannya. Apabila 9/11 merupakan wajah
muram kedaulatan AS, maka Doktrin Bush merupakan wajah beringasnya.
Berdasarkan doktrin ini, kebijakan-kebijakan pre-emptif unilateralistik ditempuh
oleh pemerintah AS untuk memulihkan kembali sendi-sendi kedaulatannya.
Pemulihan kedaulatan ke dalam dilakukan dengan mengeluarkan undang-undang
Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to
Intercept and Obstruct Terrorism (USA PATRIOT) yang memberi otorisasi dan
landasan legal formal bagi penguatan dan perluasan kekuasaan eksekutif atas
kehidupan dalam negeri. Penguatan dan perluasan kekuasaan ini bukan tanpa
biaya, kebebasan warga Amerika menjadi taruhannya. Dengan undang-undang
USA PATRIOT, pemerintah dapat menggeledah rumah warga yang diduga
berhubungan dengan terorisme secara sewenang-wenang, menyadap pembicaraan
di telepon, email, dan pesan suara yang saling dipertukarkan masyarakat secara
sepihak, bahkan penahanan sepihak sebelum mendapat surat perintah/izin dari

23
Penulis telah membahas ini di kesempatan lain. Lihat Hizkia Y. S. Polimpung, “Insekuritas
Global: Ekses Trauma dan Paranoia AS dalam Kebijakan War on Terror,” Jurnal Sosial-Budaya
dan Politik, VIII(1) (Mei, 2009); lihat juga Jenny Edkins, “Forget Trauma? Responses to
September 11,” International Relations, 16(2), 2002.

Universitas Indonesia
14

pengadilan. Singkatnya, kebebasan warga Amerika “ditukarkan” dengan


keamanan nasional—setidaknya yang sebagaimana dipersepsikan pemerintah AS.

Penguatan dan peneguhan serupa juga terjadi pada kedaulatan ke luar AS.
Dalam menghadapi terorisme, strategi pre-emptif diterapkan pemerintah AS untuk
“stop it, eliminate it, and destroy it where it grows”24 sekalipun siapa, kapan dan
dari mana teroris itu akan muncul dan menyerang tidak diketahuinya dengan
pasti.25 Kedaulatan ke luar ditandai dengan nihilnya intervensi eksternal terhadap
kehidupan dalam negeri suatu negara. Bagi AS, teroris merupakan oknum yang
dengan “lancang” melanggar kedaulatan ke luar AS. Masuknya empat pesawat
yang telah dibajak “teroris”—sebagaimana pemerintah AS menyebutnya—ke
wilayah kedaulatan AS dan nantinya menabrakkan diri ke kedua gedung WTC
dan Pentagon, menunjukkan bahwa AS tidaklah kebal terhadap intervensi
kekuatan-kekuatan di luarnya.

Penguatan kedua aspek kedaulatan ini berpengaruh signifikan bagi


penguatan aspek kedaulatan AS lainnya—yaitu batas teritori atau penanda batas
kedaulatan AS. Penguatan dan penegasan batas teritori kedaulatan AS, menurut
hemat penulis, sangatlah unik, sebegitu rupa sehingga ia menjadi faktor ketiga
yang membuat kasus paradoks kedaulatan kontemporer AS menjadi hal paling
menarik, setidaknya bagi penulis, untuk dikaji. Hal ini demikian karena usaha
pemulihan kembali kedaulatan AS ini menandakan lahirnya suatu gagasan
kedaulatan yang sama sekali baru dan lebih mutakhir ketimbang versi Westphalia-
nya, yaitu suatu ‘kedaulatan global’ yang menjadikan atmosfer bumi sebagai
penanda batas kedaulatan, sehingga seluruh dunia menjadi teritori “domestik”-
nya, dan seluruh ruang angkasa menjadi wilayah “luar”-nya.26 Dengan kata lain,

24
George W. Bush, Address to a Joint Session of Congress and the American People,
Washington, D.C., 20 September 2001.
25
Seperti kata Bush, “[A]gainst shadowy terrorist networks with no nation or citizens to
defend .. when unbalanced dictators with weapons of mass destruction can deliver those weapons
on missiles or secretly provide them to terrorist allies. ... If we wait for threats to fully materialize,
we will have waited too long.” Dalam “Iraq and the ‘Bush Doctrine’ of Pre-Emptive Self-
Defence,” Agustus 2002. Diakses dari www.crimesofwar.org/expert/bushdoctrine-
preemptive.htm, pada 30 Juli 2005.
26
Penggunaan konsep “kedaulatan golobal”, walaupun secara berbeda-beda, dapat dilihat pada
Michael Hardt, “Sovereignty,” Theory and Event, 5(4), 2002, dan Suhail Malik, “Global

Universitas Indonesia
15

dalam kedaulatan global, batas teritori yang sesungguhnya tidak berada di bumi,
melainkan di ambang batas antara bumi dengan ruang angkasa beserta benda-
benda angkasa lainnya.

Kembali ke strategi kedua. Strategi ini dilakukan dengan menggunakan


perangkat analisis yang disediakan oleh Psikoanalisis. Psikoanalisis mampu
memberikan pemahaman yang memadai terhadap aspek-aspek subyektivitas
ketimbang pendekatan-pendekatan lain. Beberapa pendekatan, terutama dari
kalangan strukturalis, cenderung mereduksi dan terlalu menyederhanakan
subyektivitas ke dalam abstraksi-abstraksi umum dan universal sehingga
mengaburkan mereka dari kompleksitas realitas yang terjadi sesungguhnya di
lapangan. Di sini, para strukturalis menjadi sangat tidak realistis—sekalipun
beberapa dari mereka mengaku (neo)realis. Sehingga Psikoanalisis merupakan
usaha teoritik penulis untuk “get real!”: turun dari menara gading akademik dan
memahami realitas yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Semenjak tesis makro-
subyektivitas telah di-reinforce dengan landasan obyektif pada strategi kedua,
maka Psikoanalisis yang tadinya hanya merupakan perangkat analisis individu
subyek dapat dipakai pula untuk menganalisis negara berdaulat qua subyek
berikut subyektivitasnya / kedaulatannya.

Dengan demikian, dalam strategi ini penulis akan melakukan suatu psiko-
analisis terhadap kebijakan Global War on Terror AS semasa pemerintahan
George W. Bush, Jr. Upaya ini akan melacak jejak subyektivitas manusia modern
berikut kegegarannya dalam wacana kebijakan Global War on Terror AS di
bawah George W. Bush, Jr. Berikutnya, masih dalam wacana serupa, juga akan
ditunjukkan upaya-upaya penyangkalan gegar kedaulatan demi pengejaran suatu
delirium keutuhan kedaulatan. Dalam kasus ini, wacana demikian akan dianggap
sebagai simptom (symptom) yang ditunjukkan AS sebagai upayanya dalam apa
yang disebut Sigmund Freud sebagai kegiatan ‘ekonomi hasrat’—kegiatan

Sovereignty,” Theory, Culture & Society, 23(2-3), 2006. Dalam tesis ini, penulis menggunakan
konsep kedaulatan global secara berbeda, bahkan bertentangan dari yang dimaksud kedua penulis
sebelumnya. Uraian lebih lanjut tentang kedaulatan global dan kritikan bagi Hardt dan Malik
disajikan dalam Bab III tesis ini.

Universitas Indonesia
16

memuaskan hasrat. Secara lebih spesifik, simptom ini mewujud dalam tindakan,
ucapan, dan wacana. Sehingga cara efektif untuk mengurai hasrat negara akan
kedaulatan adalah dengan melakukan psikoanalisis terhadap setiap bentuk
‘simptom kedaulatan’: tindakan (manuver diplomasi—keras maupun lunak),
ucapan (pernyataan resmi pemerintah), dan wacana (komunike, undang-undang,
rumusan politik luar negeri, retorika ideologi).

I.3.2.2. Tujuan Penelitian


Secara ringkas, berdasarkan strategi penelitian yang digariskan di atas, penelitian
ini bertujuan sbb.:
1. Memberikan landasan dan pembuktian obyektif bagi tesis makro-
subyektifitas kedaulatan negara.
2. Menunjukkan implikasi ekstrim dari tesis makro-subyektivitas
kedaulatan negara, yaitu kekerasan abadi kepada “diri” sendiri dan
yang lainnya.
3. Menyajikan kasus kontemporer yang menunjukkan paradoks
kedaulatan kontemporer sekaligus implikasi ekstrim makro-
subyektivitas kedaulatan negara bagi paradoks tersebut.

I.3.2.3. Argumentasi Tesis


Untuk menjawab pertanyaan “mengapa bersikeras berdaulat?”—meskipun
mensyaratkan kekerasan bagi diri dan orang lain, penulis melihat bahwa kekuatan
analisis subyektivitas yang disediakan oleh Psikoanalisis akan dapat digunakan
begitu didapat landasan obyektif bagi tesis makro-subyektivitas kedaulatan
negara, yaitu bahwa kedaulatan negara merupakan versi makro dari subyektivitas
manusia. Peristiwa pendewasaan yang dialami setiap manusia, atau yang secara
teknis psikoanalitis disebut Kompleks Odipus (Oedipus Complex), menyebabkan
munculnya berbagai macam dorongan (drive) atau hasrat. Dari sekian banyak
hasrat yang ada, salah satu yang paling fundamental bagi kehidupan subyek
adalah hasrat narsistik, yaitu hasrat yang berpusat pada keutuhan dan integritas
diri, atau apabila diterjemahkan ke dalam leksikon HI, hasrat akan kedaulatan.
Sayangnya keutuhan dan integritas diri adalah suatu delirium, yang ironisnya

Universitas Indonesia
17

apabila dipaksakan untuk disangkal akan mensyaratkan subyek untuk melakukan


kekerasan baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap yang lain: Deleuze dan
Guattari menyebutnya tindakan fasistik. Sehingga jawaban bagi pertanyaan
“mengapa berdaulat?” adalah “karena narsis!”, sementara bagi pertanyaan
“mengapa bersikeras berdaulat?” jawabannya adalah “karena fasis!”.

I.3.3. Metode Penelitian


I.3.3.1. Pendekatan
Penelitian ini dapat digolongkan ke dalam kategori pendekatan ‘re-
interpretatif’. Disebut re-interpretatif karena penelitian ini melakukan suatu
interpretasi ulang terhadap suatu gagasan—yaitu kedaulatan—yang sudah terlebih
dahulu ada dan telah mapan di kalangan penggunanya (akademisi, praktisi
kenegaraan). Dengan kata lain, penelitian ini melakukan semacam “verifikasi”
ulang atas makna suatu gagasan—yaitu kedaulatan—dengan mempertimbangkan
lebih banyak faktor-faktor prakondisi historis yang bertalian dan membentuk
konteks bagi lahirnya gagasan tersebut. Kerangka metodologi yang dipakai disini
adalah apa yang disebut oleh John D. Caputo sebagai ‘hermeneutika radikal’,
suatu varian hermeneutika yang melangkah lebih jauh dalam melihat sebuah
makna dan proses pemaknaannya dari yang biasa dilakukan oleh pendekatan
hermeneutika pada umumnya.27 Hermeneutika pada umumnya melihat konteks di
mana suatu gagasan muncul. Konteks tersebut bisa berupa konteks sosial, budaya,
politik, dan bahasa. Sebaliknya, hermeneutika radikal lebih tertarik pada kondisi-
kondisi historis yang memungkinkan suatu makna tertentu diterima dan dipahami
sebagai yang benar dan makna lainnya ditolak sebagai yang salah. Jika
hermeneutika pada umumnya bergulat dengan “yang mana yang benar?”, maka
hermeneutika radikal memusingkan dirinya dengan pertanyaan “bagaimana yang
benar bisa menjadi benar?”. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis ingin
melihat kondisi-kondisi historis seperti apa yang memungkinkan gagasan
27
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the Hermeneutic
Project (Bloomington & Indiana Polis: Indiana University Press, 1987). Sebagai catatan, terdapat
semacam miopia dikalangan akademisi yang menganggap hermeneutika merupakan metode yang
hanya bisa (dan sebaiknya hanya) dipakai untuk menafsirkan kitab suci—Alkitab agama Kristen.
Namun apabila diperhatikan lagi “ontologi” dari hermeneutika itu sendiri sebenarnya bukanlah
kitab suci, melainkan makna dan proses pemaknaan. Sehingga segala bentuk makna—termasuk
‘kedaulatan’—berikut proses pemaknaannya sah untuk dikenakan metode hermenutika demikian.

Universitas Indonesia
18

kedaulatan negara bisa menjadi gagasan yang diterima oleh segenap aktor pada
masanya, dan bukan gagasan-gagasan tentang teritorialitas lainnya. 28 Tidak hanya
itu, penulis juga ingin melihat bagaimana gagasan tersebut dinormalisasi dan
direproduksi sebagai suatu “kewajaran” ... sampai hari ini.

I.3.3.2. Data & Teknik Pengumpulan Data


Sebagaimana dipaparkan pada bagian sebelumnya, penelitian ini
menggunakan dua strategi untuk memecahkan permasalahan penelitiannya. Hal
ini menyebabkan macam data yang digunakan tiap strategi akan berbeda satu
dengan yang lainnya. Pada strategi pertama, yaitu dalam memberikan landasan
obyektif bagi tesis makro-subyektivitas kedaulatan dengan melacak unsur-unsur
subyektivitas manusia modern yang terkandung dalam naskah Perjanjian
Westphalia, data yang digunakan berupa narasi-narasi sejarah dan dokumen-
dokumen sejarah (naskah perjanjian). Sementara pada strategi kedua, yaitu dalam
memahami paradoks kedaulatan kontemporer dengan membenturkan temuan-
temuan pada strategi sebelumnya dengan praktik kedaulatan kontemporer AS di
bawah George W. Bush Jr., data yang digunakan adalah apa yang penulis sebut
sebagai ‘simptom kedaulatan’. Simptom kedaulatan merupakan segala upaya
yang dilakukan oleh negara berdaulat demi mengupayakan kedaulatannya.
Simptom kedaulatan mewujud dalam tindakan (manuver diplomasi – keras
maupun lunak), ucapan (pernyataan resmi pemerintah), dan wacana (komunike,
undang-undang, rumusan politik luar negeri, retorika ideologi).

I.3.3.3. Teknik Analisis Data


Baik pada strategi pertama dan kedua penelitian ini, teknik analisis yang
digunakan adalah ‘analisis wacana Psikoanalisis’. Analisis wacana Psikoanalisis
berusaha menguraikan unsur-unsur subyektivitas yang membentuk koherensi

28
Hal serupa sebenarnya telah diupayakan dengan sangat baik oleh Hendrik Spruyt. Namun
demikian, sebagaimana yang akan penulis tunjukkan pada bagian selanjutnya, sayangnya Spruyt
hanya memperhatikan faktor rasional dan efektivitas dalam gagasan kedaulatan teritorial—
disamping yang disebutnya sistem city-states dan city-league, yang akhirnya mengaburkannya dari
prakondisi material dan diskursif. Untuk komentar ini lihat Hendrik Spruyt, “Institutional
Selection in International Relations: State Anarchy as Order,” International Organization, 48(4)
(Autumn, 1994), pp. 527-557 dan bukunya The Sovereign State and Its Competitors (Princeton,
New Jersey: Princeton University Press, 1994).

Universitas Indonesia
19

suatu wacana. Unsur subyektivitas yang dimaksud di sini adalah rupa-rupa hasrat
tak sadar dari mereka-mereka yang memproduksi dan mereproduksi wacana
tersebut. Pada strategi pertama, wacana yang dimaksud adalah wacana kedaulatan
dan manifestasinya dalam Perjanjian Westphalia. Sementara pada strategi kedua,
wacana yang dimaksud adalah kebijakan luar negeri AS di bawah George W.
Bush, Jr., atau yang lebih populer dengan sebutan Global War on Terror.

I.3.3.4. Sistematika Penulisan


Tesis ini terbagi ke dalam 5 bagian utama: bagian pertama, merupakan
pengantar kepada permasalahan yang akan didiskusikan pada tesis ini. Selain itu,
perangkat-perangkat teori dan konsep, arti penting penelitian dan isu-isu
metodologis merupakan hal lain yang tercakup dalam bagian ini. Bagian kedua
merupakan elaborasi kerangka teoritik yang akan digunakan di segenap
pembahasan analitis. Bagian ketiga berisi diskusi seputar genesis kedaulatan pada
era Perjanjian Westphalia 1648 dan bagaimana gagasan subyektivitas modern
memanifestasikan dirinya dalam perjanjian tersebut. Bagian keempat merupakan
upaya penulis untuk menunjukkan bagaimana unsur subyektivitas modern berikut
ekses-eksesnya yang telah ada sejak zaman Westphalia, masih tetap relevan pada
praktik kedaulatan kontemporer. Untuk ini, penulis mengangkat kasus kedaulatan
AS dalam wacana kebijakan Global War on Terror di bawah pemerintahan
George W. Bush, Jr. Bagian terakhir merupakan simpulan, temuan dan beberapa
saran dan arahan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang.

I.4. Arti Penting Penelitian


Tujuan utama penulis di sini adalah untuk menunjukkan kepada hadirin
pembaca bahwa dalam perjuangannya untuk menjadi berdaulat, bahkan satu-
satunya yang berdaulat, negara mau tidak mau akan menyakiti dirinya sendiri dan
negara lainnya. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi tak terelakkan dari
penyangkalan terhadap kenyataan bahwa diri/negara tidak akan pernah berdaulat
secara utuh dan manunggal. Menjadi tujuan penulis pulalah untuk
memperingatkan kepada hadirin pembaca bahwa saat ini adalah saat yang tepat
untuk memikirkan suatu etik kenegaraan “pasca-kedaulatan,” suatu etik yang

Universitas Indonesia
20

tidak menyangkal kenyataan bahwa negara tidak akan pernah berdaulat secara
utuh dan manunggal, suatu etik yang mengafirmasi bahwa kedaulatan selalu
berada pada proses menjadi— (on becoming—). Kegagalan dalam memikirkan hal
ini akan berakhir pada keterkejutan dan ketidak-siapan dalam menghadapi
manuver-manuver kontra-kedaulatan yang akan datang dari mana saja, siapa saja,
dan kapan saja.

Universitas Indonesia
BAB II
SINTESIS TEORI REZIM DAN PSIKOANALISIS:
SEBUAH PENDEKATAN PSIKO-GENEALOGI

II.1. Teori Rezim


Evolusi Teori Rezim
Dengan mengamati substansinya yang mengatur tentang prinsip, norma,
aturan, dan prosedur relasi, perjanjian Westphalia dapat digolongkan sebagai suatu
rezim. Secara populer, rezim kerap didefinisikan sebagai “sets of implicit or explicit
principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors’
expectations converge in a given area.”1 Perjanjian Westphalia cocok dengan definisi
rezim ini. Berangkat dari kecocokan ini, dengan demikian, diskusi seputar perjanjian
Westphalia menjadi lebih komprehensif dan berfaedah dengan menempatkannya pada
perdebatan teoritik tentang rezim yang saat ini cukup marak diperdebatkan. 2

Pada tahun 1980-an terjadi perdebatan tajam di kalangan teoritisi HI


mengenai pengaturan (arrangements) kerjasama di level antar-negara, atau yang
sering disebut-sebut sebagai rezim internasional. Salah satu topik perdebatan yang
cukup mendominasi saat itu berkaitan dengan peran rezim dalam memfasilitasi

1
Stephen D. Krasner, peny., International Regimes (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983),
hal 2.
2
Perdebatan seputar rezim dan institusi internasional pada awalnya terjadi di sekitaran tahun 1970
akhir dan 1980. Di awal 1990 muncul istilah baru dalam perdebatan ini, yaitu ‘multilateralisme’.
Seiring semakin berkembangnya perdebatan, lahir pula istilah-istilah baru seperti ‘governance’,
‘governmentality’, dan ‘Empire’ semenjak 1990 akhir sampai sekarang. Tanpa mengabaikan
perbedaan konseptual di antaranya, kata ‘rezim’ untuk sementara penulis pakai secara sengaja untuk
juga mewakili istilah-istilah baru tersebut. Hal ini semata-mata untuk alasan penyederhanaan
pembahasan saja. Penjelasan-penjelasan pembeda antar istilah akan diberikan seiring pembahasan,
sepanjang relevan dengan diskusi teoritik penelitian ini. Untuk selayang-pandang seputar perdebatan
tentang rezim, lihat: Krasner, Ibid.; Joseph M. Grieco, “Anarchy and the Limits of Cooperation: A
Realist Critique of the Newest Liberal Institutionalism,” International Organization, 42(3) (Summer,
1988), hal. 485-507; John G. Ruggie, peny., Multilateralism Matters: The Theory and Praxis of an
Institutional Form (NY, Oxford: Columbia University Press, 1993); David Baldwin, peny., Neorealism
and Neoliberalism: The Contemporary Debate (NY: Columbia University Press, 1994); Robert O.
Keohane, Power and Governance in a Partially Globalized World (London, NY: Routledge, 2002);
Wendy Larner & William Walters, peny., Global governmentality: Governing international spaces
(London, NY: Routledge, 2004); dan Gopal Balakrishnan, peny., Debating Empire (London: Verso,
2003).

23 Universitas Indonesia
24

kerjasama dalam konteks anarki.3 Di salah satu kubu yang disebut-sebut sebagai
‘neoliberal institusionalis’ 4, kerjasama dimungkinkan terjadi di kala partisipan
kerjasama tersebut (utamanya negara) memiliki kepentingan yang sama atas manfaat
dari kerjasama tersebut. Manfaat ini dengan demikian menjadi keuntungan absolut
(absolute gain) yang akan didapat seluruh partisipan kerjasama (mis. pencegahan
penipisan Ozon, perdamaian dunia, stabilitas makroekonomi global, dst.). Bagi kubu
ini, keuntungan absolut merupakan faktor utama terjadinya kerjasama, sekalipun
dalam konteks anarki.

Tidak demikian bagi lawan kubu ini, yaitu realis, yang menganggap konsepsi
keuntungan absolut justru mengaburkan para neoliberal institusionalis dari
kemungkinan-kemungkinan penyelewengan kerjasama secara sengaja. Bagi para
realis seperti Joseph Grieco, salah satu yang paling vokal dalam debat ini, kerjasama
demikian dapat tidak efektif (bahkan bubar) saat setidaknya salah satu partisipannya
melakukan kecurangan. Menurutnya, neoliberal institusionalis terlalu meremehkan
anarki; kecurangan, yang notabene “sah-sah saja” dalam konteks anarki, adalah
rintangan terbesar yang sangat mungkin terjadi dalam kerjasama diantara aktor-aktor
yang rasional dan egoistik di kala tidak ada otoritas sentral dalam dunia
internasional. 5 Rezim internasional pada umumnya bersifat transparan, informasi
terdistribusi secara merata di antara segenap partisipan. Akibatnya, setiap pihak dapat
mengira-ngira keuntungan yang didapat pihak lainnya. Tepat di sinilah dimensi
rasional-egoistik dari aktor kerjasama diaktifkan. Setiap pihak akan khawatir dengan
keuntungan relatif, atau keuntungan lain (bonus) di luar keuntungan absolut, yang
didapat pihak lain: “kita akan melakukan yang terbaik bagi kepentingan bersama,

3
Perdebatan ini didokumentaskan dengan apik oleh Baldwin, Neorealism and Neoliberalism.
4
Lihat Grieco, “Anarchy ...”, hal. 486. Beberapa yang oleh Grieco disebut sebagai neoliberal
institusionalis antara lain Robert Axelrod & Robert O. Keohane, “Achieving Cooperation Under
Anarchy: Strategies and Institutions,” World Politics 38 (October, 1985), hal. 226-54, dan Robert O.
Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (Princeton, N.J.:
Princeton University Press, 1984)
5
Grieco, “Anarchy ...”, hal. 487. Pandangan ini menggema sampai ke Indonesia, sekalipun agak
sedikit lebih “moderat,” lih. Makmur Keliat & Mohtar Mas’oed, “Penjelajahan Intelektual Seorang
Diplomat, Keluar dari Kungkungan Realisme Sempit,” dalam Makarim Wibisono, Tantangan
Diplomasi Multilateral (Jakarta; LP3ES, 2006), hal. xviii-xxiv, untuk bagian moderasi hal. xxiii .

Universitas Indonesia
25

tetapi yang lebih penting tidak ada yang boleh melebihi saya.” Skenario kecurangan
terburuk yang mungkin terjadi adalah pihak tersebut mundur dan menarik diri di
tengah-tengah implementasi kerjasama tersebut, dan dengan demikian menggembosi
rezim kerjasama tesebut—suatu hal yang tentunya tidak mustahil dalam situasi
anarki. Akhirnya, egoisme (subyektivitas) aktor lagi-lagi menjadi halangan bagi
terwujudnya kolaborasi bersama.

Adalah John Ruggie yang dengan cermat mengajukan tawaran untuk


meninggalkan pesimisme realis akan kerjasama tanpa harus mengulangi kenaifan—
sebagaimana anggapan kaum realis terhadap—kubu neoliberal institusionalis. Bagi
Ruggie, rezim tidak dapat disamakan dengan institusi, sekalipun keduanya tidak
terpisahkan: rezim merupakan perangkat lunak dari institusi. Ia melihat bahwa di
antara variabel rezim dan insitusi terdapat variabel lain, yaitu institusionalisasi.
Institusi, dengan demikian merupakan efek dari institusionalisasi suatu rezim yang
telah ada mendahuluinya ke dalam suatu organisasi legal formal. Hal ini membuat
Ruggie menyarankan agar institusi dipandang sebagai perwujudan dari suatu rezim
melalui suatu proses institusionalisasi. Akhirnya, segala pembahasan seputar rezim
sebaiknya tidak dimulai dari institusi atau organisasi internasional kemana rezim itu
terinstitusionalisasi, melainkan justru pada proses institusionalisasi tersebut.6

Berdasarkan aktualitasnya (tangibility), Ruggie melihat tiga level berbeda


dalam proses institusionalisasi di dunia internasional: dari yang paling abstrak, yaitu
‘komunitas epistemik’, lalu ‘rezim internasional’, dan akhirnya yang paling kongkrit,
‘organisasi internasional’.7 Komunitas epistemik merupakan jaringan antara pihak-
pihak yang memiliki kesamaan dalam keyakinan dan cara pandang tertentu akan

6
Tepat seperti kelakar Ruggie, “International organization: I wouldn’t start from here if I were
you.” John G. Ruggie, Constructing The World Polity: Essays On International Institutionalization
(London, NY: Routledge, 1998), hal. 41.
7
John G. Ruggie, “International Responses to Technology: Concepts and Trends,” International
Organization, 29(3) (Summer, 1975), hal. 569-70.

Universitas Indonesia
26

dunia/realitas (episteme).8 Keyakinan dan cara pandang demikian akan tampak pada
respon masing-masing pihak atas suatu fenomena global. Pertemuan keyakinan dan
cara pandang ini berikutnya akan membentuk suatu kolektivitas respon yang apabila
disepakati lebih lanjut, diterjemahkan ke dalam “seperangkat tujuan dan harapan
bersama, aturan dan regulasi, rencana kerja, dan komitmen finansial”—rezim.9
Apabila pihak-pihak yang menyepakatinya adalah negara, maka rezim itu sah disebut
sebagai rezim internasional. Institusionalisasi terakhir sekaligus yang paling kongkrit
adalah institusi atau organisasi internasional yang merupakan “rumah” bagi rezim
internasional tadi. Organisasi internasional merupakan tempat dimana perencanaan,
eksekusi, dan evaluasi rezim dilaksanakan. Sehingga jelas perbedaan di antara
keduanya: di satu sisi, rezim internasional merupakan cikal-bakal organisasi
internasional, tetapi di sisi lainnya organisasi internasional merupakan tempat di
mana rezim internasional diawasi implementasinya, dikembangkan, bahkan
diciptakan varian-varian barunya.10

Sekedar merangkum, sampai di sini pemaparan Ruggie mampu menjelaskan


proses terbentuknya suatu rezim internasional dan bagaimana kelangsungannya yang
dilembagakan dalam suatu institusi internasional. Pada mulanya adalah kesamaan
keyakinan dan pandangan hidup. Komunikasi di antara penganut keyakinan tersebut
pada akhirnya berbuah komitmen. Komitmen ini pada gilirannya akan membidani
lahirnya suatu rezim internasional, atau manifestasi praktis atas keyakinan dan
pandangan hidup tadi. Akhirmya, didirikanlah suatu institusi internasional untuk
melestarikan dan mengembangkan rezim tersebut. Namun penjelasan ini nampaknya
belum cukup untuk memahami kemunculan suatu rezim tersebut. Dari mana asalnya
kesamaan keyakinan dan pandangan hidup tersebut? Apa kriterianya agar ia dapat
diproses lebih lanjut menjadi suatu rezim? Dan apa yang akhirnya menjadi kunci
sukses suatu institusi dalam merawat rezim internasional?

8
Ibid.; Peter Haas, “Introduction: Epistemic Communities and International Policy Coordination,”
International Organization, 46(1) (Winter, 1992), hal. 2-3.
9
Ruggie, “International Responses,” hal.570.
10
Bdk. Ibid., hal. 574.

Universitas Indonesia
27

Sebelum menjawab pertanyaan ini, adalah penting untuk sejenak melihat


kondisi seperti apa yang memungkinkan pertanyaan demikian muncul. Ruggie
melihat kondisi ini sebagai ketidak-sesuaian antara epistemologi dan ontologi dalam
teori-teori rezim. Sebagaimana dibahas di atas, secara ontologis rezim merupakan
pertemuan keyakinan dan pandangan hidup; dengan kata lain rezim merupakan suatu
bentuk intersubyektivitas. Namun anehnya, epistemologi dominan dalam analisis
rezim hampir seluruhnya positivistik. Positivisme memisahkan secara tegas antara
subyek dan obyek, lalu dengan alasan bebas-nilai ia memfokuskan diri pada ranah
(yang dikiranya) ‘obyektif’. Akibatnya seluruh fenomena yang terjadi di luar subyek,
jatuh pada kategori ‘obyek’ dan dianalisis dengan kacamata ‘obyektif’ pula. Hal
serupa diderita kebanyakan analisis rezim. Rezim merupakan fenomena obyektif
yang terjadi di luar subyek, namun demikian karakteristik utamanya adalah ‘inter-
subyektif’. Saat teori rezim yang positivistik menganalisis suatu rezim, maka seluruh
intersubyektivitas rezim tersebut akan tereduksi pada kategori ‘prilaku rasional’ yang
dapat (dipaksakan secara brutal untuk) terkuantifikasi. Positivisme nampaknya
kekurangan perbendaharaan kata untuk mengartikulasikan daya intersubyektif yang
kualitatif ini, sehingga analisisnya akan senantiasa jatuh pada nominalisme dan
formalisme.11

Ruggie berusaha mengisi kekosongan ini dengan memperhatikan dimensi


kualitatif dari rezim internasional. Ia memulainya dengan mereformulasi konsep
‘multilateralisme’. Multilateralisme merupakan salah satu varian/ajektif dari segala
bentuk institusionalisasi (komunitas, rezim, organisasi). Sebagai varian,
multilateralisme sejajar dengan bilateralisme, unilateralisme dan imperialisme.

11
Beberapa analisis positivistik yang dimaksud Ruggie tampak pada, beberapa di antaranya: Oran
R. Young, “International regimes: problems of concept formation,” World Politics 32(3), 1980;
Stephen D. Krasner, ed., International Regimes (Ithaca NY: Cornell University Press, 1983); dan
Robert O. Keohane, “Multilateralism: An Agenda for Research,” International Journal, 45 (Autumn,
1990). Catatan untuk Krasner, sesekali ia mengapresiasi efektivitas norma, prinsip, dan pergerakan
pemikiran, bahkan secara samar-samar juga melibatkan hermeneutika dalam analisisnya. Hanya, pada
akhirnya, Krasner tetap kembali pada komitmennya terhadap positivisme logis.

Universitas Indonesia
28

Namun demikian, dibandingkan ketiga yang lainnya, multilateralisme merupakan ciri


utama dari dimensi institusional hubungan internasional modern. Dalam kalimat
Ruggie, “Multilateralism is a generic institutional form of modern international
life,”12 sehingga membicarakan rezim internasional, berarti hampir pasti juga
membicarakan suatu bentuk multilateralisme.13 Multilateralisme Ruggian dimulai
dari kritik terhadap salah seorang punggawa teoritisi rezim, Robert Keohane, atas
konsepsi multilateralismenya.14 Definisi Keohane bahwa multilateralisme merupakan
“the practice of co-ordinating national policies in groups of three or more states,”15
dianggap Ruggie terlalu nominalis dan mengabaikan dimensi kualitatif
multilateralisme itu sendiri. Baginya, kekhasan multilateralisme “is not merely that it
coordinates national policies in groups of three or more states, which is something
that other organizational forms also do, but that it does so on the basis of certain
principles of ordering relations among those states.”16 Prinsip-prinsip yang
mengatur hubungan antar negara tersebut dijabarkan lagi sebagai, “of ‘generalized’
principles of conduct—that is, principles which specify appropriate conduct for a
class of actions, without regard to the particularistic interests of the parties or the
strategic exigencies that may exist in any specific occurrence.”17

Dari definisi ini, Ruggie menunjukkan dua modalitas yang menjadi


konsekuensi logis dari definisi multilateralismenya: 1) indivisibilitas (indivisibility)
dan 2) ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang (diffuse
reciprocity).18 Modalitas pertama, invidivisibilitas, yaitu keuntungan yang mutlak

12
John G. Ruggie, “Multilateralism: The Anatomy of An Institution,” International Organization,
46(3) (Summer, 1992), hal. 567.
13
Perlu ditambahkan, tidak semua rezim bersifat multilateral sekalipun ia memenuhi kriteria-
kriteria nominalis sebagaimana diartikulasikan baik oleh Keohane dan Krasner. Salah satu contoh
rezim non-multilateral adalah rezim keamanan à la superpower semasa perang dingin seperti yang
didiskusikan oleh Robert Jervis, “Security Regime,” International Organization, 36(2), hal 357-78.
14
Ibid. hal. 565, 570-1; Robert O. Keohane, “Multilateralism”
15
Keohane, “Multilateralism,” hal. 731.
16
Ruggie, “Multilateralism,” hal. 567. Penekanan ditambahkan.
17
Ibid., hal. 571.
18
Ibid. Konsepsi tentang ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang, dipinjam
Ruggie dari Robert O. Keohane, “Reciprocity in international relations,” International Organization,
40(1) (Winter, 1986).

Universitas Indonesia
29

didapat oleh setiap pihak yang berpartisipasi dalam suatu rezim.19 Hal ini wajar
semenjak dasar pembentukan rezim tersebut, yang darinya indivisibilitas berasal,
merupakan prinsip-prinsip umum yang menyatukan para partisipan rezim. Lalu
dikatakan ‘mutlak’ karena indivisibilitas merupakan alasan paling utama (sekalipun
bukan satu-satunya), pertama, sekaligus terakhir bagi setiap pihak untuk ikut
menyelenggarakan rezim dan melaksanakan kesepakatan yang dihasilkannya. Dengan
bahasa yang sedikit retorik, indivisibilitas berbicara tentang perkara “ambil atau
mati.” Sementara modalitas kedua akan mengikuti (contingent) setelah tercapainya/
terkonstruksinya modalitas pertama. Dengan kata lain, semenjak indivisibilitas
merupakan perkara “ambil atau mati,” maka efek dari rezim yang disepakati tersebut
tentunya diharapkan bertahan untuk kurun waktu yang panjang, bahkan selama-
lamanya.

Hal yang perlu ditekankan terkait kedua modalitas multilateralisme diatas


adalah bahwa keduanya merupakan suatu konstruksi sosial! Prinsip-prinsip umum
yang menyatukan tadi bukanlah suatu universalitas yang turun dari kayangan dan
sekonyong-konyong merangkul seluruh partisipan; sebaliknya, ia merupakan hasil
dari kerja universal-isasi, general-isasi, umum-isasi. Tidak berhenti di sini, prinsip
yang dijadikan umum (general-ized) tadi nantinya akan (dan harus) diyakini oleh
segenap partisipan. Jadi, semisal dalam skema collective security, “states behave as if
peace were indivisible and thereby make it so,”20 dan “each state had to believe that
its current sacrifices would in fact yield a long-run return, that others would not
renege on their implicit commitments when they found themselves in tempting

19
Sifat mutlak ini, sebagaimana pembahasan berikutnya, akan amat berbeda dari kesan ‘mutlak’
yang terkandung pada konsepsi keuntungan absolut (absolute gain) sebagaimana diperdebatkan realis
dan neoliberal institusionalis.
20
Ibid. Dalam artikel ini kata “as if” (seolah-olah) tidak dicetak-miring (italic), namun pada edisi
cetak ulang ke dalam satu bab dengan judul yang agak berbeda pada buku Constructing The World
Polity pada 1998, kata ini dicetak-miring. Nampaknya Ruggie ingin memperkuat penekanannya bahwa
indivisibilitas pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi sosial. Lihat John G. Ruggie,
“Multilateralism at century’s end,” dalam Constructing The World Polity: Essays On International
Institutionalization (London, NY: Routledge, 1998), hal 110.

Universitas Indonesia
30

position.”21 Ruggie (dan mungkin juga Jervis) nampaknya memetik pelajaran


berharga dari filsuf bahasa John Austin tentang bagaimana mengkonstruksi suatu
realitas dengan bahasa, dan tentang bagaimana suatu realitas dapat dikonstruksikan
dengan bahasa, singkatnya (sebagaimana judul bukunya) How to Do Things With
Words.22 Hal ini tersirat dalam pernyataannya tentang keterkaitan bahasa dan rezim,
“International regimes are akin to language—we may think of them as part of ‘the
language of state action’. ... international regimes not simply by some descriptive
inventory of their concrete elements, but by their generative grammar, the underlying
principles of order and meaning that shape the manner of their formation and
transformation. Likewise, we know deviations from regimes not simply by acts that
are undertaken,but by the intentionality and acceptability attributed to those acts in
the context of an intersubjective framework of meaning.”23

Sampai di sini sangat jelas bahwa “pekerjaan rumah” terberat bagi suatu rezim agar
dapat sukses adalah mengkonstruksi suatu indivisibilitas yang dapat merangkul
kepentingan, ekspektasi, bahkan identitas segenap partisipan di satu sisi, dan di sisi
lain meyakinkan segenap partisipan tadi bahwa partisipasi dalam rezim adalah pilihan
terbaik—sekaligus yang dapat “menyelamatkan” mereka.

---o0o---
Meremehkan anarki? Refleksi perdebatan keuntungan absolut-relatif
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konsepsi rezim multilateral
Ruggian ini merupakan tawaran cermat untuk meninggalkan pesimisme realis akan
kerjasama tanpa harus mengulangi kenaifan—sebagaimana anggapan kaum realis
terhadap—kubu neoliberal institusionalis. Konsepsi indivisibilitas berikut ekspektasi
jangka panjang dari rezim multilateral Ruggian ini dapat dikatakan “lincah,” karena
di satu sisi ia tidak bisa diartikan sebagai suatu keuntungan absolut (absolute gain)
sebagaimana yang diyakini pemikir neoliberal institusionalis, namun di sisi lainnya ia

21
Robert Jervis, “Security regime,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal. 364,
penekanan dari penulis. Kalimat ini nampaknya dapat “mendiskualifikasi” Jervis sebagai seorang
realis, dan menjadikannya seorang konstruktivis...setidaknya menurut penulis.
22
John L. Austin, How to Do Things With Words (Cambridge, Mass.: Harvard University Press,
1955).
23
John G. Ruggie, "International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the
Postwar Economic Order,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal. 380. (catatan kaki
dihilangkan)

Universitas Indonesia
31

mengelak sekaligus mengantisipasi kritik Grieco (dan neorealis lainnya, seperti


Mearsheimer24) yang menekankan keuntungan relatif (relative gain) dalam kerjasama
yang terinstitusionalisasi. Sebelum menjabarkan “kelincahan” teori Ruggie, penulis
akan terlebih dahulu menunjukkan celah dari debat keuntungan absolut-relatif, yang
menurut penulis, olehnya teori Ruggie memetik momentum yang pas—terlepas
apakah Ruggie menyadari celah ini atau tidak.

Terkait kritik Grieco terhadap keuntungan absolut ala neoliberal


institusionalis, penulis memiliki sedikit catatan kritis—sekalipun tidak bisa disebut
sebagai pembelaan bagi neoliberal institusionalisme. Penulis setuju saat Grieco
menuduh para neoliberal institusionalis salah mengartikan kondisi anarki dan
akhirnya meremehkannya, namun demikian penulis berpendapat bahwa Grieco juga
salah mengartikan konsepsi ‘keuntungan absolut’ yang justru merupakan ciptaannya
sendiri—untuk tujuan mengolok-olok neoliberal institusionalisme, mungkin. (Para
neoliberal institusonalis tidak menciptakan konsepsi ‘keuntungan absolut’, melainkan
Grieco.) Grieco secara fait accompli, sebagai pengarang (author), melabeli apa yang
disebutnya sebagai asumsi neoliberal tentang tujuan utama negara, yaitu hasrat negara
akan “the greatest possible individual gain” dan untuk “maximize individual payoffs
over the long run,” sebagai ‘keuntungan absolut’.25 Lagi, menurutnya, neoliberal
institusionalis memandang bahwa para partisipan suatu kerjasama hanya peduli
dengan keuntungan mereka sendiri, tanpa peduli “whether partners achieve or do not
achieve gains, or whether those gains are large or small, or whether such gains are
greater or less than the gains they themselves achieve”; setiap partisipan tidak peduli
dengan apa yang disebutnya sebagai ‘keuntungan relatif’ yang didapat partisipan lain.

Menurut Grieco, pandangan neoliberal sebagaimana yang disajikannya adalah


wajar mengingat para neoliberal, lagi-lagi menurutnya, terlalu memandang anarki
secara nominalis yaitu semata-mata hanya sebagai “lack a central agency to enforce
24
John Mearsheimer, “The false promise of international instituitions,” International Security,
19(3), (Winter, 1994/5).
25
Grieco, “Anarchy,” hal. 495-496.

Universitas Indonesia
32

promises.”26 Menurutnya, pandangan ini menunjukkan bahwa para neoliberal


institusionalis terlalu meremehkan kondisi anarki: “lack a central agency to enforce
promises” tidak lantas berarti “no agency can reliably enforce promises.”27 Dengan
penekanan yang berbeda, Grieco mencontohkan bagaimana cara yang benar dalam
memahami anarki, yaitu sebagai “no overarching authority to prevent others from
using violence, or the threat of violence, to destroy or enslave them.”28 Sehingga
dengan pemahaman ini, negara akan sadar bahwa tidak akan ada yang akan
melindunginya apabila negara lain mengingkari kerjasama dan berbalik menyerang
mereka. Hal ini menurut Grieco berdampak pada tujuan utama setiap negara
partisipan rezim, yaitu “to prevent others from achieving advances in their relative
capabilities” karena menurutnya “individual wellbeing is not the key interest of
states; instead, it finds that survival is their core interest.”29 Grieco menambahkan
variabel ‘survival’ yang tentu berkaitan dengan temporalitas, yaitu masa depan
(future): “States are uncertain about one another's future intentions; thus, they pay
close attention to how cooperation might affect relative capabilities in the future”
karena kapabilitas relatif ini “may advantage partners and thus may foster the
emergence of a more powerful potential adversary.”30 Hal ini pada akhirnya dapat
membuat negara sewaktu-waktu memutuskan untuk keluar dari rezim kerjasama:
“state positionality may constrain the willingness of states to cooperate.”31

Tabel II.1. Ringkasan pandangan neoliberal institusionalis dan realis.32

Basic Comparison Neoliberal instutionalism Political realism


No central agency is available to
No central agency is available to
Meaning of anarchy enforce promises or to provide
enforce promises
protection
State properties
To advance in utility defined
Core interest To enchance prospects for survival
individuastically

26
Ibid., hal. 497.
27
Ibid., hal. 497.
28
Ibid., hal. 497-8.
29
Ibid., hal. 498.
30
Ibid., hal. 500.
31
Ibid., hal. 499.
32
Ibid., hal. 503.

Universitas Indonesia
33

To achieve greatest gains and


To achieve greatest possible
Main goal smallest gap in gains favoring
absolute gains
partners
Basic character Atomistic (“rational egoist”) Defensively positional
Partially independent:
Utility function Independent: U-V
U=V-k (W-V)
State inhibitions concerning cooperation
Compliance and relative
Range of uncertainties associated achievement of gains and uses to
Partner’s compliance
with cooperation which gaps favoring partners may
be employed
To be cheated or to experience
Range of risks associated with To be (cheated) and to receive a
decline in relative power if others
cooperation low payoff
achieve greater gains
State concerns about partners
State concerns about partners
Barriers to cooperation compliance and partners relative
compliance
gain

Cat.: Dalam baris “Utility Function”, variabel ‘U’ mewakili fungsi rezim, ‘V’ keuntungan absolut, ‘W’
keuntungan partner, dan ‘k’ koefisien sensitifitas negara terhadap keuntungan relatif ‘(W-V)’.

Sebelum meneruskan pembahasan, satu hal yang selalu penulis garis-bawahi:


yaitu bahwa neoliberal institusionalisme yang penulis sajikan disini adalah neoliberal
institusionalisme sebagaimana yang dipahami oleh Grieco; Grieco telah bertindak
sebagai juru bicara neoliberal institusionalisme dalam teksnya, sekalipun pada
akhirnya menjadikannya sebagai “kambing hitam” analisis. 33 Demikianlah strategi
diskursif Grieco: menghadirkan lawan, menamainya, memperoloknya, dan akhirnya
mengklaim diri sebagai pahlawan. Sehingga suatu kata ‘neoliberal institusionalis’ tak
lebih dari semacam “suplemen” bagi superioritas eksistensi kata ‘realis’, seperti
halnya kata ‘keuntungan absolut’ bagi kata ‘keuntungan relatif’.

Kembali ke keuntungan absolut bikinan Grieco. Kata ‘absolut’ dalam


‘keuntungan absolut’ bukanlah tanpa arti; kata ‘absolut’ mengandung dimensi ke-
mutlak-an—tidak bisa tidak. Grieco nampaknya, jika bukan seolah-olah, mengetahui
dimensi mutlak yang diyakini neoliberal sebagai konsekuensi pemilihan kata

33
Penulis juga sadar bahwa dalam pembahasan ini penulis telah menjadi “juru bicara” bagi Grieco
yang juga “juru bicara”. Namun demikian berbeda dari Grieco, tujuan penulis disini bukan untuk
mengadvokasi neoliberal dari serangan Grieco. Tujuan penulis disini adalah menunjukkan sentralitas
teks dan bahasa dalam konstruksi realitas. Karena hal ini akan sangat berguna bagi pembahasan-
pembahasan penulis berikutnya.

Universitas Indonesia
34

‘absolut’-nya. Hal ini tampak dalam parafrasenya tentang apa yang (dia kira) diyakini
neoliberal sebagai keuntungan absolut:
“neoliberals find that ... successful unilateral cheating is highly unlikely, and the more
probable neoliberal ‘worst case’ is for all states to defect and to find themselves less
well off than if they had all cooperated ... [and] games like Prisoner’s Dilemma, ...
illustrate how many international relationships offer both the danger that ‘the myopic
pursuit of self-interest can be disastrous’ and the prospect that ‘both sides can
potentially benefit from cooperation—if they can only achieve it’.”34

Singkatnya, dalam benak Grieco, keuntungan absolut adalah suatu keuntungan yang
karenanya “states which have many common interests should have the fewest worries
that they might become embroiled in extreme conflicts in the future and, as a result,
they should have the fewest concerns about relative achievements of gains arising
from their common endeavors.”35 Sederhana saja, Grieco melihat keuntungan absolut
sebagai sesuatu yang dapat terus mencegah negara lain partisipan rezim bahkan untuk
berpikiran curang, apalagi meninggalkan rezim dan menginvasi negara lainnya.
Durabilitas tak terbatas (infinite durability) menandai dimensi mutlak bagi bayangan
Grieco tentang keuntungan absolut.

Jika penulis tidak salah mengartikan dimensi mutlak ini, maka kontradiksi
internal segera muncul dalam teks Grieco: bagaimana mungkin dalam suatu rezim
kerjasama sampai terpikirkan oleh Grieco dan bidak-bidak partisipan rezim dari teori
barunya untuk “concerns about cheating and ... about relative achievements of
gains”36 disamping keuntungan absolut yang diterimanya sebagai kompensasi
partisipasi, sementara ia sendiri mengakui bahwa keuntungan absolut itu sendiri
berpotensi mencegah setiap partisipan rezim untuk bertindak curang? Formulasi
matematis Grieco tentang fungsi rezim pun akan runtuh karena kontradiksi ini:
bagaimana mungkin U=V-k(W-V), sementara V itu sendiri berpotensi membuat ‘k’
menjadi ‘0’ dan akhirnya membuat ‘(W-V)= 0’ juga?37 Hanya ada dua jawaban:
Grieco tidak serius dengan dimensi absolut dari keuntungan absolut bikinannya, atau

34
Grieco, “Anarchy,” hal. 502. Catatan-catatan kaki dihilangkan.
35
Ibid., hal. 504.
36
Ibid., hal. 487.
37
Lihat catatan Tabel 1 untuk penjelasan seputar simbol ini.

Universitas Indonesia
35

bisa jadi Grieco kebingungan memberi nama untuk menghadirkan lawan bagi
keuntungn relatif yang menjadi gaco-nya* sehingga kata ‘absolut’ hanya merupakan
akibat dari semacam selip lidah yang secara tidak sengaja dideritanya. Yang mana
pun jawabannya, satu hal yang pasti: adalah bohong apabila Grieco berkata bahwa ia
dan “Realists understand that states seek absolute gains and worry about
compliance”38—tidak! Grieco tidak memahami!

Kontradiksi ini, menurut penulis, berakar dari pandangan sebelah mata Grieco
terhadap model teori permainan Prisoner’s Dilemma (PD) yang dipakai para
neoliberal.39 Atau lebih tepatnya, Grieco terlalu meremehkan kemungkinan terburuk
dalam model permainan PD, yaitu kematian, kehancuran total, lose-lose solution.
Permainan “clingak-clinguk” sini-sana melihat keuntungan relatif lawan sebagaimana
yang ditakutkan Grieco bahkan tidak akan mungkin sempat terpikirkan apabila sang
pemain tidak lagi bernyawa. Sehingga keuntungan absolut, jika bisa dikatakan
demikian, dalam permainan PD adalah menghindari potensi kehancuran total ini.
Kurang beruntungnya, kehancuran total ini semata-mata hanya bergantung pada
kesediaan semua pihak untuk berpartisipasi. Kekompakkan dan keseiramaan dalam
kerjasama merupakan jalan keluar utama, pertama, dan terakhir bagi setiap pihak
untuk menghindari kemungkinan terburuk. Satu tidak ikut, maka semua hancur. Jadi,
adalah tidak mungkin terpikirkan bagi setiap pihak untuk berbuat curang bahkan
meninggalkan kerjasama—kecuali ia ingin “bunuh diri berjamaah”. Inilah dilema
terdalam dalam anarki yang sayangnya tidak mampu dirasakan oleh rasionalitas
Grieco yang seorang realis. Harus diakui dan tidak bisa dipungkiri, dalam hal ini,
neoliberal institusional lebih mampu memahami anarki berikut potensi ekstrim
kehancuran totalnya, yang notabene diremehkan oleh Grieco dan kawan-kawan realis
yang dibanggakannya karena telah mendominasi teori HI semenjak pasca-Perang
Dunia kedua.40

* Gaco adalah bahasa Jawa bagi jago dalam sebuah permainan aduan.
38
Grieco, “Anarchy,” hal. 487. Cetak miring penekanan penulis.
39
Pembahasan tentang PD, lihat Lampiran 1.
40
Lihat kalimat pertama dan catatan kaki no. 1 pada artikel Grieco, “Anarchy,” hal. 485.

Universitas Indonesia
36

Penulis justru melihat penyebab utama impotensi rasionalitas Grieco untuk


menalar dilema kehancuran total adalah pada kecemburuannya (yang notabene
irasional) terhadap para neoliberal institusionalis karena mereka bisa memahami
anarki dengan sangat baik. Hal ini wajar saja karena sebagaimana tradisi (arus utama)
sejarah teori hubungan internasional membuktikan, adalah para realis yang
seharusnya bisa memahami anarki dengan baik, dan bukannya para (neo)liberal. Dua
kalimat pertama dalam artikel Grieco sangat jelas menyiratkan arogansi demikian:
“Realism has dominated international relations theory at least since World War II.
For realists [—who has dominated international relations theory at least since World
War II], international anarchy fosters competition and conflict among states and
inhibits their willingness to cooperate even when they share common interests,”41
sehingga semestinya adalah bukan neoliberal yang mampu memahami anarki dengan
baik—bisa jadi demikian yang ada di benak Grieco. Kecemburuan ini bisa dilihat dari
berulang-ulang kali—dan tidak cukup sekali saja—Grieco berusaha meyakinkan
pembacanya bahwa teori(realis)nya menawarkan pemahaman tentang anarki yang
lebih baik, sehingga artikel Grieco sebenarnya bukan untuk memberi jawaban tentang
perdebatan seputar kerjasama dalam anarki, melainkan untuk menunjukkan teori
siapa yang paling berkuasa di studi HI: “In sum, I suggest that realism, its emphasis
on conflict and competition notwithstanding, offers a more complete understanding of
the problem of international cooperation than does its latest liberal challenger.”42
Keseluruhan total ada lima kali penekanan, dan menurut penulis hal ini terlalu parah
melampaui batas kewajaran.

41
Ibid.
42
Grieco, “Anarchy,” hal. 487. Untuk contoh lainnya: “The new liberals assert that they can accept
key realist views ... in fact, realist and neoliberal perspectives on states and anarchy differ profoundly,
and the former provides a more complete understanding of the problem of cooperation than the
latter,” hal. 495; “Compared to realist theory, neoliberal institutionalism understates the range of
uncertainties and risks states believe they must overcome to cooperate with others. Hence, realism
provides a more comprehensive theory of the problem of cooperation than does neoliberal
institutionalism,” hal. 502-3; “One could conclude that realist theory explains variation in the success
or failure of international cooperation more effectively than neoliberal institutional theory,” hal. 505;
“These tests are likely to demonstrate that realism offers the most effective understanding of the
problem of international cooperation,” hal. 506.

Universitas Indonesia
37

Paradoks keuntungan absolut


Sampai di sini akan timbul pertanyaan: apakah kecurangan menjadi tidak
mungkin terjadi dalam suatu rezim?; juga, apakah lantas keuntungan relatif tidak
relevan untuk menjelaskan inefektifitas bahkan kegagalan suatu rezim? Lalu
bagaimana menjelaskan kasus pengingkaran terhadap rezim internasional, seperti
yang terjadi saat Jerman, Italia, dan Jepang mengingkari Liga Bangsa-Bangsa dan
memulai proyek fasisme internasionalnya pada 1940an, atau saat Amerika Serikat
melangkahi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menginisiasi invasi ke Irak pada 2003
silam?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan demikian, penulis memetik pelajaran


berharga dari kesalah-kaprahan Grieco tentang keuntungan absolut di atas: tidak ada
yang namanya keuntungan absolut; keuntungan absolut adalah nama lain dari
keuntungan relatif. Membenturkan keuntungan absolut dengan keuntungan relatif
justru memproduksi dua konsep lainnya yang sepenuhnya ambigu: 1) relatively
absolute gain, dan 2) absolutely relative gain. Kata relatif dalam ambiguitas ini
memang menunjukkan sifat posisionalitas dari keuntungan absolut, namun tidak
hanya seperti yang dimaksudkan Grieco, melainkan juga melampaui maksud Grieco.
Pelajaran dari Grieco ini menunjukkan penulis suatu ‘paradoks keuntungan
absolut’, yaitu bahwa absolusitas (absolute-ness) atau ke-mutlak-an dari suatu
keuntungan hanya dapat dipahami dari posisi yang sepenuhnya relatif dan posisional.
Sehingga apa yang disebut ‘keuntungan absolut’ sebenarnya tidak lebih dari suatu
bentuk ‘absolusitas relatif’, dan sebaliknya apa yang disebut ‘keuntungan relatif’
sebenarnya tidak lebih dari suatu bentuk ‘relativitas absolut’. Yang-absolut tidak akan
pernah benar-benar absolut, tergantung bagaimana suatu posisi relatif mampu
membungkusnya dan meyakinkan kepada pihak-pihak dari posisi relatif lainnya
bahwa “absolut”-nya adalah benar-benar absolut. Grieco tidak sepenuhnya keliru saat
menuduh neoliberal institusionalis terlalu naif dalam memandang keuntungan
absolut, sehingga mengabaikan keuntungan relatif. Namun kritik Grieco akan lebih
menghunjam jantung pemikiran neoliberal—sebagaimana pemikiran liberal pada

Universitas Indonesia
38

umumnya—yang mendewa-dewakan suatu absolutisme transendental dan universal,


apabila ia menyadari paradoks keuntungan absolut diatas. Sayangnya tidak. Paradoks
ini sama sekali kabur baik dari pandangan seorang Joseph Grieco maupun mereka-
mereka yang disebutnya sebagai neoliberal institusionalis.

Sehingga jawaban bagi pertanyaan apakah kecurangan menjadi tidak mungkin


terjadi dalam suatu rezim, adalah: sangat mungkin. Lalu bagi pertanyaan apakah
lantas keuntungan relatif tidak relevan untuk menjelaskan inefektifitas bahkan
kegagalan suatu rezim: sangat relevan. Sekali lagi ditekankan, kekeliruan utama
Grieco bukan mendasarkan konsep keuntungan relatifnya pada keuntungan absolut
neoliberal, melainkan yang lebih mendasar: Grieco mendasarkan konsep keuntungan
relatifnya pada keuntungan absolut neoliberal yang sebenarnya sama sekali ia tidak
pahami! Tidak ada yang salah dengan kelima contoh isu kerjasama di bagian
penghabisan artikel yang oleh Grieco dijadikan medan adu hipotesis—neoliberal
versus realis, dengan realis sebagai tokoh protagonis—untuk menunjukkan bahwa
realislah yang “offers the most effective understanding of the problem of international
cooperation.”43 Kekeliruan terbesar Grieco adalah saat ia mengira bahwa dalam
keuntungan absolut yang ditawarkan kelima contohnya benar-benar terdapat suatu
keuntungan yang absolut. Dengan memahami paradoks keuntungan absolut, maka
dapat dipahami bahwa keuntungan absolut yang ditawarkan kelima contoh Grieco
adalah keuntungan relatif dengan bungkus “absolut.”

Momentum rezim multilateral Ruggian


Kembali ke gagasan rezim multilateral Ruggie. Sekalipun dengan lintasan
kritik yang jauh berbeda dari yang ditempuh penulis, paradoks keuntungan absolut di
atas mampu dicarikan “obat penawar” oleh John Ruggie. Obat penawar tersebut
adalah kedua modalitas gagasan rezim multilateral Ruggie, yaitu indivisibilitas dan
ekspektasi akan keuntungan timbal-balik jangka panjang. Kemujaraban obat penawar
43
Ibid., hal. 506. Kelima contoh tersebut terkait: kerjasama di area-isu ekonomi, durabilitas rezim,
jumlah partisipan, pertautan issue (issue linkages), posisionalitas bertahan suatu negara (defensive state
positionality). Lihat Ibid., hal. 504-7.

Universitas Indonesia
39

ini bukan berasal dari namanya, melainkan dari naturnya yang merupakan konstruksi
sosial. Dengan natur ini, indivisibilitas dalam teori rezim Ruggian kebal terhadap
paradoks keuntungan absolut. Tepat di sinilah teori Ruggie bisa dikatakan lincah
dalam memanfaatkan momentum: ia mengeksploitasi potensi absolut dalam
keuntungan absolut, namun ia juga mengantisipasi posisionalitas keuntungan relatif.

Pertama, dalam mengeksploitasi keuntungan absolut, Ruggie mengambil


posisi sebagai apa yang disebutnya konstruktivisme neo-klasik. 44 Konstruktivisme ini
memiliki kedekatan dengan tradisi filsafat pragmatisme, mempercayai pemaknaan
intersubyektif, dan memiliki komitmen terhadap ilmu sosial. Pragmatisme membuat
Ruggie memandang rezim sebagai “conceptual creations not concrete entities”45
yang berperan sebagai otorita internasional yang “represents a fusion of power with
legitimate social purpose”.46 Tujuan-tujuan sosial (social purpose) yang dimaksud di
sini meliputi prinsip, ekspektasi, kepentingan, dan harapan bersama dari setiap
partisipan rezim, yang kesemuanya terbentuk dalam peristiwa pemaknaan
intersubyektif. Unsur kebersamaan ini diperluas oleh Ruggie di kesempatan lain
menjadi apa yang disebut Friedrich Kratochwil sebagai ‘kondisi mental’: “doesn’t
just refer to intentions, but also to beliefs, desires, hopes, fears, love, hate, lust,
disgust, shame, pride, irritation, amusement.”47 Jadi, kekuatan dari suatu rezim
berasal dari seberapa pekat konvergensi kondisi mental tersebut, dan bukan semata-
mata dari produk-produk regulatifnya. Tepat dalam kondisi inilah indivisibilitas lahir
sebagai konsekuensi dari bertemunya kondisi mental dari seluruh partisipan rezim.
Semenjak seluruh partisipan rezim berpartisipasi dalam memaknai indivisibilitas
dengan masing-masing kondisi mentalnya, maka predikat “absolut” sah untuk
dikenakan pada indivisibilitas ini. Namun bagaimanapun juga aroma utopis segera

44
John G. Ruggie, “What makes the world hang together? Neo-utilitarianism and the social
constructivist challenge,” International Organization, 52(4) (Autumn, 1998), hal. 881.
45
John G. Ruggie, Constructing World Polity (London & NY: Routledge,1998), hal. 87.
46
John G. Ruggie, “International Regimes, Transactions, and Change: Embedded Liberalism in the
Postwar Economic Order,” International Organization, 36(2) (Spring, 1982), hal 382.
47
Lihat Ruggie, Constructing, hal. 90.

Universitas Indonesia
40

tercium: adalah tidak mungkin bagi suatu rezim dapat benar-benar menjadi
konvergensi kondisi mental para partisipannya.

Ruggie menyadari hal demikian, sehingga ia menambahkan dimensi


relativitas di konsepsi rezimnya. Yang absolut dalam suatu indivisibilitas memang
tidak bisa benar-benar absolut, namun bukan berarti ia tidak bisa seolah-olah absolut.
Pandangan anti-esensialis ini tampak pada pandangannya bahwa rezim internasional
terdiri atas dua lapis: lapis pertama adalah unsur konstitutif, dan kedua adalah unsur
regulatif. Unsur regulatif adalah yang paling sederhana, ia meliputi seperangkat
prinsip, aturan, tujuan, dan prosedur pengambilan kebijakan. 48 Unsur konstitutif
memiliki sifat yang sangat berbeda; ia merupakan konteks pemahaman intersubyektif
dimana unsur-unsur regulatif tadi menjadi mungkin untuk diciptakan, dimengerti, dan
akhirnya dijalankan. Unsur konstitutif ini bukan merupakan suatu konstanta
universal, banyak faktor yang mempengaruhinya: ia bisa jadi merupakan respon
kolektif atas suatu permasalahan global,49 namun ia bisa juga merupakan efek dari
negara hegemon.50 Satu hal yang pasti unsur konstitutif ini dapat secara fleksibel
berubah seiring berjalannya waktu atau berubahnya konstelasi politik internasional.

Sampai di sini jelas bahwa sebagai unsur konstitutif rezim internasional,


indivisibilitas melampaui keuntungan absolut. Ia berfungsi layaknya suatu
keuntungan absolut, mengakomodasi kepentingan seluruh partisipan rezim—dan
membuatnya menjadi solusi satu-satunya bagi permasalahan bersama. Namun
demikian, esensi dari keuntungan absolut tersebut berganti-ganti seiring dengan
faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Akhirnya, suatu gagasan, untuk bisa
memperoleh predikat indivisibilitas, harus mampu menjadi unsur pemersatu bagi
segenap partisipan lainnya, sekalipun perbedaan bahkan pertentangan mewarnai
hubungan di antara partisipan tersebut. Dengan kata lain, suatu gagasan yang
partikular, yang datang dari suatu posisionalitas tertentu, harus mengalami suatu
48
Rezim sebagaimana dipahami oleh misalnya Stephen D. Krasner, International Regimes.
49
Ruggie, “International responses.”
50
Ruggie, “Multilateralism.”

Universitas Indonesia
41

proses generalisasi, bahkan transendentalisasi, agar ia dapat menjadi suatu landasan


absolut bagi suatu rezim kerjasama, sedemikan rupa sehingga masing-masing
partisipan rela, bahkan mau tidak mau, akan mengesampingkan perbedaan dan
perselisihan di antara mereka. Proses generalisasi dan transendentalisasi
indivisibilitas ini pada gilirannya tidak akan mungkin tanpa bantuan bahasa dan
wacana. Bahasa akan mengkonstruksi suatu wacana sedemikian rupa sehingga ia
dapat memancing persepsi dari segenap partisipan. Permainan bahasa 51 yang cantik
berpotensi membuat suatu konstruksi wacana meyakinkan, dan persepsi atas
konstruksi yang meyakinkan ini akan melahirkan kepercayaan (trust). Konvergensi
kepercayaan dari segenap partisipan inilah yang akan memberi dimensi mutlak bagi
gagasan tadi dan memberikannya predikat indivisibilitas.

Contoh terbaik bagi proses generalisasi dan transendentalisasi indivisibilitas


ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan isu hidup dan mati, yaitu kemanan.
Keamanan (security), dalam arti terdalamnya, berkaitan dengan kelangsungan-hidup
(survival) di hadapan rupa-rupa ancaman eksistensial. Namun demikian, ancaman
eksistensial seperti apakah itu adalah persoalan lain; terjadi persengketaan panjang
mengenai ancaman seperti apakah yang menjadikannya isu keamanan—keamanan itu
sendiri akhirnya menjadi suatu konsep yang “essentially-contested” di kalangan para
akademisi.52 Persis di sinilah lokus kontestasi pemaknaan ‘kemanan eksistensial’
terjadi dengan cara saling beradu wacana untuk menjadi wacana yang general,
universal, yang transenden—singkatnya, menjadi suatu indivisibilitas. Adalah Ole
Waever dan Mazhab Kopenhagen-nya yang memperkenalkan pendekatan ini ke studi
keamanan internasional. Bagi Waever, sekuriti (keamanan) adalah selalu sekuritisasi.

51
Permainan bahasa yang penulis maksud di sini adalah permainan bahasa (language game)
sebagaimana yang diteorikan dengan sangat memukau oleh Filsuf dari Wina, Ludwig Wittgenstein.
Permainan bahasa merupakan kegiatan manusia dalam berbahasa, tidak hanya dalam artian
komunikasi dan pemaknaan suatu kalimat saja, melainkan juga dalam artian praktik keseharian.
Kebaruan Wittgenstein terletak dalam upayanya meletakkan makna pada situasi konteks di mana
kegiatan permainan bahasa tersebut dilakukan. Konteks tersebut meliputi: aturan permainan, siapa
yang berbicara, dalam rangka apa, untuk tujuan apa, dan demi efek apa. Lih. Ludwig Wittgenstein,
Philosophical Investigation, terj. G. E. M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1958).
52
Buzan, Barry. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in The
Post-Cold War Era, edisi kedua. (Hemel Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 2001), hal. 7, 16.

Universitas Indonesia
42

Sekuriti tidak memiliki makna pastinya sampai seseorang atau sekelompok orang,
melalui suatu manuver diskursif yang disebutnya “gerak sekuritisasi” (securitizing
move), mewacanakan (baca: mengarang cerita) suatu ancaman eksistensial bagi suatu
“obyek referensi” (referent object)—kedaulatan negara, identitas nasional, sumber
daya, dst.53 Singkatnya, sekuritisasi adalah persoalan bahasa, retorika, formasi
diskursif, teknik permainan bahasa, dan kelihaian komunikasi.54 Mendekati isu
keamanan secara diskursif adalah ciri khas Mazhab Kopenhagen Ole Waever
dibandingkan mazhab-mazhab lainnya.55

Batasan Teori Rezim Ruggian


Meskipun sumbangsih Ruggie bagi teori Rezim, dan tentunya bagi tesis ini,
sangat besar dan pivotal, ada beberapa titik dimana teori Ruggie menemui
keterbatasannya saat analisis hendak dibawa ke ranah yang lebih jauh dan lebih
dalam. Misalnya, Ruggie tidak memberikan penjelasan memadai tentang bagaimana
mengkonstruksi suatu indivisibilitas yang dapat benar-benar menghimpun segenap
kondisi mental yang diusulkannya sebagai unsur pemersatu suatu rezim. Dengan kata
lain, Ruggie tidak memberikan kerangka analisis yang mumpuni untuk “mengukur”

53
Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis (London:
Lynne Rienner Publishers, 1998). Buku ini memang ditulis bertiga, namun demikian, teori sekuritisasi
merupakan teori yang dicetuskan oleh Ole Waever. Sumbangsih Barry Buzan adalah dengan
mengintegrasikan teori sekuritisai Waever dengan teori Kompleks Keamanan (security complex)-nya.
Lihat Preface buku ini, hal. viii. Untuk sejarah Mazhab Kopenhagen berkaitan dengan kolaborasi
dengan Barry Buzan, lih. Stefano Guzzini dan Dietrich Jung, “Copenhagen Peace Research,” dalam S.
Guzzini dan D. Jung, peny., Contemporary Security Analysis and Copenhagen Peace Research
(London & NY: Routledge, 2004), hal. 1-12.
54
“The process of securitization is what in language theory is called a speech-act. It is not
interesting as a sign referring to something more real; it is the utterance itself is the act. By saying the
words, something is done (like betting, giving a promise, naming a ship).” Buzan, Waever, de Wilde,
Security, hal. 26.
55
...dan bukan semata-mata proses negara-isasi, atau menjadikan suatu isu menjadi kontrol dan
wewenang negara. Sekuritisasi akhirnya tereduksi menjadi sekedar proses perluasan cakupan kemanan
nasional ke bidang-bidang lainnya. Dengan pendefinisian seperti ini, dimensi diskursif sekuritisasi,
yang notabene merupakan jiwa teori tersebut, menjadi hilang. “Kesalah-kaprahan” dalam memahami
teori sekuritisasi ini sering penulis jumpai di kelas, forum, seminar, diskusi, bahkan artikel ilmiah,
mulai dari oleh mahasiswa semester awal, sampai pakar-pakar keamanan nasional tanah air (baca:
Jakarta, bahkan Universitas Indonesia). Untuk klarifikasi tak terbantahkan tentang dimensi diskursif
dari sekuritisasi Waeverian ini, lihat Rita Taureck, Securitisation theory—The story so far: Theoretical
inheritance and what it means to be a post-structural realist. Makalah pada Konvensi CEEISA
tahunan ke-4, University of Tartu, 25 -27 Juni 2006.

Universitas Indonesia
43

kepercayaan, hasrat, harapan, ketakutan, cinta, nafsu, jijik, malu, kebanggaan,


jengkel, dan takjub, yang lagi-lagi ia usulkan sebagai “variabel” bagi sukses tidaknya
suatu rezim. Keterbatasan ini penulis isi dengan teori-teori Psikoanalisis yang
memang core-business-nya adalah kondisi mental seperti ini. Bahkan, berbeda dari
Konstruktivisme neo-klasik Ruggie yang masih mengagungkan pemaknaan
intersubyektif, Psikoanalisis melihat proses-proses pemaknaan tersebut sebenarnya
merupakan “bungkus” bagi dorongan-dorongan yang notabene non-maknawi.
Singkatnya, berbeda dengan Ruggie yang masih menyandarkan teorinya pada aspek
kesadaran, Psikoanalisis beranjak lebih jauh, bukan hanya merambah aspek ketak-
sadaran, melainkan mengklaim bahwa kesadaran itu sendiri merupakan “boneka”
(puppet) dari ketak-sadaran. Subbab berikutnya akan menjabarkan lebih jauh tentang
hal ini.

Keterbatasan lainnya adalah kegagalan Ruggie untuk keluar dari gagasan


sentralisasi kekuasaan. Meskipun teori rezim Ruggie mampu dengan cermat,
setidaknya menurut penulis, memberikan gambaran tentang dinamika di dalam rezim,
namun sayangnya gambaran cermat tersebut kurang atau bahkan tidak dapat
ditemukan dalam tulisan Ruggie saat penulis ingin memahami dinamika di luar
rezim. Dengan kata lain, perkembangan suatu rezim, berikut komunitas epistemik dan
indivisibilitas yang mendahului dan mendasarinya, diasumsikan terisolir dari
lingkungan dan kekuatan-kekuatan yang eksternal darinya. Hal ini menurut hemat
penulis berakar dari “kandungan” negara-sentris dalam teori Ruggie. Maksudnya,
rezim yang ada pada benak Ruggie adalah selalu rezim yang beranggotakan negara
atau non-negara.56 Di sini imajinasi Ruggie masih terperangkap pada hal-hal ke-
negara-an. Menjadi wajar saat Ruggie seolah-olah mengasumsikan bahwa partisipan
rezim adalah negara dan entitas lain yang sudah difilter sedemikian rupa melalui
kriteria-kriteria buatan, lagi-lagi, negara (mis. hukum internasional).

56
Sebagaimana pemaparan pada bab 1/Pendahuluan, pelabelan “non-negara” sebenarnya
merupakan sisi lain dari koin negara-sentrisme. Negara masih menjadi bayangan yang memerangkap
imajinasi kita untuk memikirkan entitas lain yang sama sekali berbeda dari negara. Lihat catatatn kaki
no. 17, Bab 1.

Universitas Indonesia
44

Hal mudarat di sini adalah konsekuensi pandangan ini, yaitu pemahaman


bahwa kekuasaan hanya dimiliki dan tersentral di negara. Aksioma negara-sentris ini,
tak jemu-jemunya penulis tekankan, menjadi halangan pertama dan utama bagi
Ruggie (dan negara-sentrisis lainnya) untuk melihat fenomena politik global secara
lebih komplit, proporsional dan “adil”. Pandangan negara-sentrisme akan mengalami
kebutaan akut dalam memahami, apalagi mengantisipasi, politik-politik yang
diperjuangkan diluar koridor grammar dan vocabulary ke-negara-an. Problem lain
yang juga muncul berkaitan dengan aksioma negara-sentris ini adalah problem
kedaulatan: bagaimana memahami pembentukan rezim “kedaulatan” itu sendiri
semenjak seluruh analisis rezim berangkat dari aksiomatisasi kedaulatan negara?
Padahal, dengan mengamati substansinya yang mengatur tentang prinsip, norma,
aturan, dan prosedur relasi, perjanjian Westphalia 1648—tonggak legal pertama bagi
kedaulatan negara berdaulat modern—dapat digolongkan sebagai suatu rezim.
Definisi minimum rezim adalah “sets of implicit or explicit principles, norms, rules,
and decision making procedures around which actors’ expectations converge in a
given area,”57 dan perjanjian Westphalia cocok dengan definisi rezim ini.

“Aplikasi” pemikiran Ruggie yang paling relevan dengan studi penulis adalah
pada tulisannya tentang gagasan teritorialitas. 58 Ide pokok Ruggie di artikel tersebut
adalah berkaitan dengan transformasi gagasan (atau rezim?) teritorialitas dari abad
pertengahan ke abad modern. Argumentasi utamanya adalah bahwa perubahan
tersebut bersumber dari perubahan domain kehidupan sosial seperti lingkungan
material, struktur/matriks situasi dan kondisi di mana aktor saling berinteraksi, dan
episteme sosial (doktrin politik, metafisika, konstruksi spasial), yang pola

57
Stephen D. Krasner, peny., International Regimes (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983),
hal 2.
58
John G. Ruggie, “Territoriality and Beyond: Problematizing Modernity in International
Relations,” International Organization, 47(1), (Winter, 1993). Dicetak ulang pada John Ruggie,
“Territoriality at millennium’s end,” dalam John G. Ruggie, Constructing World Polity (London &
NY: Routledge,1998), hal. 172-98.

Universitas Indonesia
45

perubahannya mengikuti suatu “logika endogen” (endogenous logic) tertentu.59


Sayangnya tidak jelas apa logika endogen yang dimaksud Ruggie; malahan Ruggie
lebih menjelaskan transisi abad pertengahan ke modern secara epokal (epoch) yang
justru terkesan metafisik.60 Sehingga pertanyaan-pertanyaan seperti ini pasti gagal
dijawabnya: apa yang menjadi penyebab logika endogen ini? Bagaimana menjelaskan
perubahan domain-domain kehidupan sosial secara historis—alih-alih secra epokal
ahistoris?

Ruggie tidak memberikan perhatian bagaimana, misalnya, episteme sosial


yang satu bisa menjadi episteme sosial yang berlaku (prevailing), dan yang lain tidak.
Ruggie pun mempostulatkan logika endogen sebagai nyawa bagi pola-pola perubahan
sosial. Efeknya terlihat pada pandangannya tentang sistem pengaturan (system of
rule) yang melihat kekuasaan secara tersentral, sekalipun itu dalam bentuk
ruang/waktu yang relatif.61 Ruggie tidak melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang
tersebar. Akibatnya, ruang sosial/episteme sosial gagal dilihat sebagai ruang
kontestasi bagi setiap kekuasaan untuk menyatakan dan memberlakukan epistemenya
sembari mengerahkan kemampuannya untuk mengeksklusi, mengubur, dan
menstigmatisasi buruk episteme lainnya. Dengan melihat kekuasaan sebagai sesuatu
yang tersentral, maka Ruggie berpartisipasi dalam eksklusi sistematik yang dilakukan
kelas penguasa dominan. Akhirnya, perubahan yang diteorikan Ruggie adalah
perubahan dalam koridor wacana yang diproduksi kekuasaan dominan. Pendekatan
genealogi Michel Foucault penulis pakai untuk menambal celah teoritik ini.
Penjelasan lebih lanjut pada subbab berikutnya.

59
Ruggie, “Territoriality at millennium’s end,” hal. 193.
60
Ibid., hal 192.
61
Ibid., hal 178-80. Menjadi suatu pertanyaan tersendiri bagi penulis semenjak Ruggie
menggunakan pemikiran Foucault untuk mengkonstruksi teorinya yang termashyur tentang episteme
(episteme sosial dan komunitas epistemik), padahal Foucault melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang
tersebar, produktif, multiplikatif, dan tidak tersentral.

Universitas Indonesia
46

II.2. Psikoanalisis
Tragik Psike dalam rasionalisasi Hubungan Internasional
“[L]ogic, in this field, was not what it was elsewhere.”
John Lewis Gaddis62

Selain John Ruggie, sebenarnya telah banyak penstudi-penstudi HI yang telah


mencoba memahami peran psike—atau kondisi mental, dalam bahasa Ruggie dan
Kratochwil—dalam intrik-intrik internasional. Upaya ini dilakukan tidak hanya oleh
kaum konstruktivis seperti Ruggie dan gengnya, melainkan juga penstudi-penstudi
dari “kamp” paradigma lainnya seperti realis dan liberalis. Pada umumnya, peralihan
kepada penjelasan-penjelasan psikologis ini dikarenakan semakin ragunya penstudi
HI terhadap variabel ‘rasio’ dan ‘logika’ dalam analisis HI di satu sisi, dan mulai
maraknya jargon seperti ‘irrational behavior’ dan ‘rogue state’ dalam praktik dan
teori HI, persis seperti yang digambarkan Gaddis pada petikan epigraf di atas. Contoh
yang sekiranya cukup relevan untuk ini adalah perdebatan panas disekitar tahun 80-an
sampai 90-an seputar deterens (deterrence).63 Perdebatan ini mempertentangkan
(kadang malah menciptakan kolaborasi) dua kubu, yaitu teori pilihan rasional dengan
psikologi kognitif. Oleh kubu psikologi kognitif, teori rasional dianggap mereduksi
inti permasalahan deterens—yaitu problem kompleksitas, ketidakpastian dan
ambiguitas dalam dilema keamanan yang disebabkan oleh struktur anaki
internasional—kedalam matriks-matriks yang dipostulatkan sedemikian rupa, yang
akhirnya menjadi aksioma yang secara buta dijadikan pegangan bagi pengambilan
keputusan. Teori rasional akhirnya justru malah menjadi kontra-produktif bagi
penyelesaian masalah, jika bukan mempercepat ekskalasi konflik menjadi terbuka.

62
John Lewis Gaddis. We Now Know: Rethinking Cold War History. (New York: Oxford
University Press, 1997).
63
Ulasan ini merupakan selayang pandang dari: Paul Huth dan Bruce Russett, “What makes
deterrence works? Cases from 1900 to 1980,” World Politics, 36, (1984), hal. 496-526; Robert Jervis,
Richard Ned Lebow dan Janice G. Stein, Psychology and Deterrence (Baltimore: Johns Hopkins Uni
Press, 1985); untuk dokumentasinya lihat George W. Downs, “The rational deterrence debate,” World
Politics, 41 (1989), hal 225-38; Kenneth Oye, peny., Deterrence Debates: Problems of Definition,
Specification, and Estimation (Ann Arbor: Uni of Michigan Press, 1993). Kolaborasi yang cukup
mutakhir antara teori psikologi dan teori deterens adalah teori deterens sempurna dari Frank C. Zagare
dan D. Marc Kligour, Pefect Deterrence (Cambridge: Cambridge Uni Press, 2000).

Universitas Indonesia
47

Sebaliknya, kubu psikologi kognitif mencoba memahami problem kompleksitas dan


ketidakpastian ini dengan melihat faktor-faktor idiosinkretik pemimpin dan para
pengambil keputusan, termasuk sejarah pribadi dan pembelajaran mereka terhadap
sejarah.64

Dalam pemaparan di atas, tampak bahwa faktor psike masuk menjadi variabel
analisis sebagai konsekuensi mutlak dari kenyataan bahwa negara dipimpin oleh
seorang manusia yang memiliki aspek non-rasional yang kadang-kadang tidak dapat
dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan rasional konvensional. Namun ada juga
penstudi HI yang berusaha melihat psike kolektif sebagai variabel analisis, dan
dengan demikian membawa literatur psikologi sosial ke dalam diskusi-diskusi
teoritiknya. John Ruggie dan rekan-rekan konstruktivisnya merupakan beberapa di
antaranya. Konstruktivis berusaha melampaui analisis konvensional yang lebih
memfokuskan analisis pada psike pemimpin, dengan menunjukkan bahwa psike
kolektif seperti kepercayaan bersama, pandangan bersama, rasa kepemilikian (sense
of belonging) bersama dan identitas kolektif merupakan faktor yang juga memainkan
peran penting dalam HI. Proses interaksi, proses identifikasi kelompok, dan proses
pembentukan norma dan nilai, bahkan kepatuhan terhadap norma dan nilai tersebut
akhirnya mewarnai analisis-analisis kubu ini. 65 Analisis-analisis kubu ini nampaknya
begitu populer, sampai-sampai mampu menyulut suatu peralihan emosional dalam
studi HI. 66 Tidak berhenti di situ, pemikir-pemikir yang menggunakan pendekatan
filosofi yang lebih kontemporer pun bergerak lebih jauh dengan mendeklarasikan

64
Bdk. Jack S. Levy, “Learning and Foreign Policy: Sweeping a Conceptual Minefield,”
International Organization, 48(2) (Spring, 1994), hal. 279-3 12.
65
Beberapa di antaranya yang relevan: Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “International
norms dynamics and political change,” International Organization, 52(4) (1998), hal. 887-918;
Richard Price, The Chemical Weapons Taboo. (Ithaca: Cornell Uni Press, 1997); Nina Tannenwald,
The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of Nuclear Weapons Since 1945 (Cambridge:
Cambridge Uni Press, 2007).
66
Tulisan Neta Crawford lah yang digadang-gadang sebagi penyulut peralihan emosional. Neta C.
Crawford, "The Passion of World Politics: Propositions on Emotion and Emotional Relationships,"
International Security, 24( 4) (Spring, 2000), hal. 116-156; untuk selayang pandang, lihat Juha Käpylä,
Emotions as Socio-Political: An Essay on the Conceptualization of Emotions (from the Point of View
of Politics), makalah untuk Konvensi tahunan ke-51 International Studies Association, New Orleans,
USA (February 2010). [Makalah tidak terbit]

Universitas Indonesia
48

peralihan estetis yang melibatkan faktor-faktor “tak terjelaskan” dalam penjelasan-


penjelasan HI. 67

Sekalipun analisis-analisis tersebut amat beragam dalam memahami psike—


dan pastinya merupakan suatu kontribusi besar bagi perkembangan studi HI,
setidaknya ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu kesemuanya masih
menyimpan suatu asumsi makro-subyektivitas, yaitu menganalogikan negara sebagai
manusia. Analogi ini, sebagaimana penulis tekankan pada bab sebelumnya, yang
merupakan fitur utama yang mewarnai teorisasi hubungan internasional, adalah suatu
analogi yang sifatnya aksiomatik. Atau dengan kata lain, dari klaim-klaim “ilmiah”
teori-teori HI, adalah analogi ini yang paling “tidak ilmiah”—tidak ada landasan pasti
yang mengafirmasi analogi ini. Namun “aneh bin ajaib”-nya, teoritisi-teoritisi HI
pada umumnya, mulai mahasiswa sampai profesor, seolah-olah berpura-pura tidak
tahu dan malah menerimanya secara taken for granted.68 Kutipan dari dua punggawa
HI berikut setidaknya dapat menunjukkan “persekongkolan” untuk tidak
mempertanyakan asumsi makro-subyektivitas ini:
“A nation as such is obviously not an empirical thing. A nation as such cannot be
seen. What can be empirically observed are only the individuals who belong to a
nation ... Therefore, when we speak in empirical terms of the power or of the foreign
policy of a certain nation, we can only mean the power or the foreign policy of
certain individuals who belong to the same nation.”69

“Of course we ‘realists’ know that the state does not really exist ... Only individuals
really exist, although I understand that certain schools of psychology challenge even

67
Adalah Roland Bleiker yang mendeklarasikan peralihan ini, Roland Bleiker, “The Aesthetic Turn
in International Political Theory,” Millennium: Journal of International Studies, 30(3) (2001), hal.
509-33. Untuk selayang pandang, lihat Hizkia Y. S. Polimpung, Peralihan Estetis. Handout pada
Pelatihan Teori Hubungan Internasional Kontemporer, Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas
Indonesia, Jakarta (18-20 Mei 2009).
68
Bahkan orang-orang biasa (lay person) pada umumnya juga menganggap demikian. Seperti kata
Wendt, “In our daily lives citizens and policy-makers alike routinely treat states as if they were people,
talking about them as if they had the same kinds of intentional properties that we attribute to each
other.” Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge Uni Press,
1999), hal. 195. Penulis akan membahas ini lebih jauh pada bab berikutnya sebagai problem teologi
politik.
69
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, edisi ringkas,
(Boston: McGraw-Hill, 1993), hal 115. Penekanan dari penulis.

Universitas Indonesia
49

this. Only individuals act, even though they may act on behalf of one of these
collective social entities, the most important being the group.”70

Inilah solipsisme radikal—untuk memperhalus kedunguan tak sadar—dalam


studi HI yang akan selalu mereduksi kompleksitas realitas dalam semata-mata demi
label “ilmiah,” sementara korban-korban perang terus berjatuhan, kelaparan dan
kemiskinan terus menjadi komoditas ekonomi politik dalam transaksi-transaksi korup
di kongsi-kongsi dagang transnasional, pemimpin-pemimpin fasis-fasis haus darah
dan kekuasaan terus membantai etnis-etnis minoritas di wilayahnya, ... sementara
para penstudi HI yang karena nama besarnya menikmati gaji diatas rata-rata,
berpindah-pindah dari pendana satu ke pendana lainnya sambil membawa proposal
penelitian yang telah dibumbui dengan teori-teori HI yang “ilmiah,” dari seminar satu
ke seminar lainnya, atau yang lainnya, mengkritik negara habis-habisan, memaki-
maki pemimpinnya, sembari terus mengumpankan utopia-utopia yang bahkan belum
ia ketahui bagaimana mewujudkannya. Seperti kata Marysia Zalewski, “all these
theories yet the bodies keep piling up.”71 Inilah tragik teori-teori HI, yang dari
pengamatan penulis, membangun teori-teori “ilmiah” di atas landasan yang sama
sekali “tidak ilmiah,” dan sama sekali tidak (mau) sadar akan konsekuensinya.

Tragik serupa terjadi pada variabel psike dalam teori-teori HI. Lagi-lagi
terjadi solipsisme radikal dalam mereduksi psike manusia sebagai semata-mata
faktor-faktor idiosinkretik pribadi. Psike dipahami secara sempit sebagai proses
subyektif sebagai hasil interaksi intersubyektif manusia dengan lingkungannya.
Proses interaksi inilah yang diasumsikan terberi (given) oleh penstudi-penstudi HI
yang penulis bahas di awal. Seolah-olah proses interaksi ini terberi begitu saja, dan
juga seolah-olah proses interaksi itulah yang mendeterminasi prilaku subyek di masa
kini. Melalui psikoanalisis Lacanian, penulis menekankan bahwa psike adalah sesuatu

70
Robert G. Gilpin, “The richness of the tradition of political realism,” International Organization,
38 (2) (1984), hal. 301. Penekanan dari penulis.
71
Marysia Zalewski, “‘All these theories yet the bodies keep piling up’: theory, theorists,
theorising,” dalam Steve Smith, Ken Booth, dan Marysia Zalewski, peny., International Theory:
Positivism and Beyond (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1998).

Universitas Indonesia
50

yang sama sekali di luar jangkauan analisis subyektivitas dan intersubyektivitas yang
dipakai oleh penstudi HI di atas. Leonardo Rodriguez juga menekankan demikian.
“Although the subject regards his fantasy as his private property and his most
intimate and idiosyncratic possession, the fantasy is the precipitate in the subject of
formations which are beyond the limits of subjectivity and intersubjectivity—
formations which are present in myths, legends, fairy tales, stories and works of art of
different times and civilisations.”72

Reduksi psike sebagai semata-mata hasil proses (inter)subyektif juga


mengabaikan proses dimana subyek adalah juga merupakan hasil dari proses lainnya.
Mengabaikan hal ini berarti mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses
subyeksi—proses menjadi subyek, menjadi manusia. Hal ini disebabkan karena
banyak penstudi HI memahami manusia sebagai referent object-nya daripada sebuah
konsepsi; penstudi HI menerima saja klasifikasi-klasifikasi “ilmiah” a la biologi yang
mengatributkan kata “manusia” bagi seonggok tubuh yang mereka klasifikasikan
sebagai homo sapiens, seolah-olah wacana biologi tersebut bersih dari analisis
permainan kekuasaaan. Akibatnya psike diisolir sebagai fenomena yang manusiawi—
manusia dalam pengertian biologis; biologisme akan selalu mengiringi analisis-
analisis psikologis. Yang ingin penulis tekankan di sini adalah bahwa kategori
‘manusia’ adalah efek dari kekuasaan berkedok keilmuan, dan biologi (dan juga,
dengan demikian, HI yang kebiologi-biologian) merupakan antek-anteknya;73
“knowledge was thus a form of power, a way of presenting one’s own values in the
guise of scientific disinterestedness.”74

Asumsi makro-subyektivitas, saat digabungkan dengan psikologi HI yang


kebiologi-biologian, akan menimbulkan problem lainnya, yaitu problem aplikasi.
Penstudi HI kebanyakan hanya semata-mata meng-aplikasi-kan teori-teori psikologi
dengan cara mendeduksikannya, jika bukan sekedar menganalogikannya, dalam relasi

72
Leonardo Rodriguez, “Fantasy, Neurosis and Perversion,” Analysis, 2 (1990), hal. 101. Bahkan,
sebagaimana akan penulis tunjukkan pada bagian berikutnya, proses interaksi tersebut merupakan
suatu proses“intersubyektivitas tanpa subyek.”
73
Untuk HI yang kebiologi-biologian lihat Iver B. Neumann, “Beware of organicism: the narrative
self of the state,” Review of International Studies 30 (2004) hal. 259–267
74
Mark Poster, “Foucault and History,” Social Research, 49 (1982), hal 118-9.

Universitas Indonesia
51

politik dan/atau hubungan internasional. Semisal dalam menjelaskan konflik: karena


konflik dilakukan oleh manusia, dan manusia merupakan ‘obyek’ studi psikologi,
maka konflik antar manusia sah dijadikan obyek studi—psikologi politik/konflik.
Teori-teori inilah yang akhirnya semakin meneguhkan kesalah-kaprahan yang
mewujud dalam asumsi makro-subyektivitas manusia, sembari mengabaikan proses
subyeksi manusia yang menjadi obyek studi psikologi. Akhirnya, hal ini semakin
mengaburkan para teoritisi tersebut dari kemungkinan lain, seperti sebagaimana yang
ingin penulis eksplorasi disini, yaitu bahwa penjelasan psikologis/psikoanalitis dalam
politik/HI merupakan suatu implikasi, dan bukan semata-mata aplikasi. Sehingga
studi ini secara khusus ingin menunjukkan bahwa makro-subyektivitas bukanlah
sekedar asumsi. Hubungan antara manusia dan negara bukanlah sekedar hubungan
analogal, melainkan korespondensi; relasi antara manusia dan negara adalah
melampaui analogi (beyond analogy). Jauh dari membela penstudi-penstudi HI di
atas, malahan penulis akan menunjukkan bahwa analogi tak berdasar inilah yang
justru membuat analisis-analisis mereka justru malah mengaburkan permasalahan,
ketimbang menyelesaikan permasalahan.

Untuk mengeksplorasi kemungkinan ini, penulis menunda untuk sementara


pandangan umum bahwa “manusia” adalah manusia, dengan mengajukan pertanyaan
interogatif: sejak kapan seonggok tubuh dengan kepala, tangan, kaki, dan organ-organ
lainnya yang berdiri tegak, mampu berbicara dengan Bahasa dan menghasilkan
bermacam-macam pemikiran berikut produknya, disebut sebagai “manusia”?75
Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, setidaknya tidak oleh penulis
pada kesempatan kali ini, melainkan untuk diambil hikmahnya: manusia pada
dasarnya adalah sebuah konsep, sebuah konstruksi, sebuah kata. Fungsinya: untuk
“membalut” keseluruhan tubuh yang dalam disiplin biologi dilabeli ‘homo sapiens’.76

75
Logika ini penulis adopsi dari pemikiran Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive
Limits of “Sex” (NY & London: Routledge, 1993). Dalam buku tersebut Butler mendenaturalisasi
kelamin (pria/wanita) dengan mengajukan pertanyaan yang kurang lebih serupa dengan yang penulis
tanyakan: sejak kapan tubuh berpenis disebut “pria” dan tubuh bervagina disebut “wanita”?
76
Bahkan Homo Sapiens pun merupakan konsep! Hal ini akhirnya menunjukkan ketertundaan
makna oleh kata; makna tidak akan pernah mampu hadir tanpa kata lainnya. Suatu kata akan selalu

Universitas Indonesia
52

Manusia adalah efek bahasa; manusia hanya akan ada jika ada bahasa. Mengapa
demikian? Karena eksistensi pada umumnya disamakan dengan inteligibilitas, dan
ironisnya inteligibilitas itu sendiri diindikasikan oleh bahasa.77 Jadi, sebelum dinamai,
tubuh di-bahasa-kan/dilinguistisasi terlebih dahulu: misalnya, sebelum dinamai
‘Hizkia Yosias Simon Polimpung’, tubuh penulis disebut “manusia” terlebih
dahulu.78

Sebagai manusia, subyek adalah selalu efek kekuasaan. Subyek tercipta melalui
proses produksi suatu wacana yang menjadi, sebagaimana Butler, “regulasi ideal”
(regulatory ideal).79 Dengan kata lain, subyek selalu menempati suatu posisi tertentu
sebagaimana telah diatur, ditentukan, digariskan, bahkan beberapa menganggapnya
“ditakdirkan” oleh struktur regulasi ideal yang notabene merupakan bikinan
kekuasaan dominan. Di sini Butler mengikuti Foucault,
“Power functions. ... In actual fact, one of the first effects of power is that it allows
bodies, gestures, discourses, and desires to be identified and constituted as something
individual. The individual is not, in other words, power's opposite number; the
individual is one of power's first effects. The individual is in fact a power-effect, and at
the same time, and to the extent that he is a power-effect, the individual is a relay:
power passes through the individuals it has constituted.”80

Subyek a la Butler, dengan demikian, adalah selalu posisi-subyek (subject-position).

membutuhkan kata yang lain yang berbeda untuk menjelaskan dirinya sendiri. Akhirnya, makna
hanyalah efek dari gabungan antara dua permainan bahasa: perbedaan (difference) dan penundaan
(deference). Dengan kata lain, secara linguistik, kata-kata tidak akan pernah berdaulat—tidak
terkecuali kata ‘negara’, dan ‘kedaulatan’. Untuk ketertundaan ini lihat Jacques Derrida, Of
Grammatology, terj. Gayatri C. Spivak (Batimore & London: The Johns Hopkins Uniersity Press,
1976[1967]), hal 24-5, 61-72. Untuk pembahasan tema serupa dalam kajian HI lihat Maja Zehfuss,
Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), bab 5.
77
Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasa—entah itu dalam bentuk rangkaian kata-kata atau
gambar. Akhirnya, berpikir pun merupakan permainan bahasa. Untuk pembahasan komentar ini,
referensi terbaik bagi penulis adalah Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigation, terj. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1958)
78
Penyimpulan serupa seperti tersirat dalam Butler, yaitu bahwa sebelum digenderkan, tubuh di-
seks/kelamin-kan terlebih dahulu. Ibid. Hal 1-23.
79
Untuk aspek produktif kekuasaan dan regulasi ideal, lihat Butler, Bodies, Bab Pendahuluan.
80
Michel Foucault, “Society Must Be Defended”: Lectures at the Collège de France 1975-76, terj.
D. Macey (NY: Picador, 2003), hal. 29-30.

Universitas Indonesia
53

Pandangan ini bukanlah tanpa kritik. Slavoj Žižek, misalnya, mengkritik


Butler dan teoritisi subyeksi lainnya dengan menekankan bahwa Bahasa, sebagai
suatu bentuk penguasaan simbolik, “itself is split from within and relies on its own
obscene spectral underside.81 Jadi, sebagaimana penyimpulan Robertus Robet, “bila
yang-Simbolik itu sendiri adalah sesuatu yang ringkih dan tidak lengkap, maka
pembentukan subyek secara total ke dalam panggilan struktur [Bahasa] juga menjadi
tidak mungkin. Karena struktur itu tidak lengkap, maka subyek berposisi menjadi
mustahil.”82 Žižek benar dalam hal ini, namun yang Žižek lupa adalah bahwa Bahasa
akan terus menerus dan tak jemu-jemunya berusaha mensubyeksi manusia, sekalipun
subyeksi total adalah mustahil. Bahasa sains misalnya, akan terus menerus
mengeksplorasi subyektivitas dan tubuh manusia, dan menundukkannya ke dalam
teori-teorinya secara tak henti-henti: jutaan dolar diinvestasikan, ribuan trial-and-
error dilakukan, ratusan seminar diselenggarakan,... kesemuanya demi menjadikan
manusia lebih manusia. Kegigihan simbolik ini yang nampaknya luput dari analisis
Žižek.

Pentingnya melinguistisasi manusia seperti ini adalah untuk menantang apa


yang disebut Judith Butler sebagai “symbolic hegemony that might force a radical
rearticulation of what qualifies as bodies that matter, ways of living that count as
“life,” lives worth protecting, lives worth saving, lives worth grieving.”83 Kerja
lingustisasi ini mendapat momen yang lebih krusial dalam studi penulis kali ini, yaitu
dimana manusia—qua konsep—dimanifestasikan dan diabstraksikan lebih lanjut
pada Perjanjian Westphalia 1648 ke dalam konsep yang lebih makroskopis: negara
berdaulat. Sehingga pertanyaan yang diajukan Butler tentang “what counts as

81
Slavoj Žižek, “Holding The Place,” dalam J. Butler, E. Laclau dan S. Žižek, Contingency,
Hegemony and Universality: Contemporary Dialogues on the Left (London: Verso, 2000), hal. 313.
Lihat juga elaborasinya di Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Emansipasi di Era
Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri, 2010), hal 97-110.
82
Robet, Manusia Politik, h. 110.
83
Butler, Bodies, hal. 16.

Universitas Indonesia
54

human? Whose lives counts as lives?”84 menggema dalam studi ini dengan sedikit
modifikasi: “What counts as sovereign state? Whose community counts as
legitimate (Westphalian) political entity?” ... tujuannya tidak lain adalah untuk
menantang “symbolic hegemony that might force a radical rearticulation of what
qualifies as sovereign state, community that counts as legitimate (Westphalian)
political entity.”

Psikoanalisis: Dari Freud ke Lacan


Sama seperti Revolusi Copernican yang mengklaim bahwa Bumi bukanlah
pusat dari tata surya—melainkan matahari, begitu pula dengan Psikoanalisis yang
dipelopori oleh Sigmund Freud, mengklaim bahwa ada unsur lain dalam diri manusia
yang mempengaruhi tindakan-tindakannya, yaitu ketidaksadarannya. Dikatakan suatu
revolusi karena Psikoanalisis berhasil merubah paradigma manusia tentang kesadaran
yang saat itu sedang populer, yaitu paradigma warisan Zaman Pencerahan (Age of
Enlightenment) yang memberi apresiasi tinggi terhadap kesadaran subyek.85

Saat sinar pencerahan menyeruak masuk di zaman kegelapan (dark age)


Eropa yang saat itu sedang diselubungi oleh hegemoni Gereja dan Paus, manusia
mulai menyadari bahwa dirinyalah yang seharusnya menjadi pusat kehidupan,
bukannya Gereja dan Paus. Sejak saat itu, dimulailah serial-serial revolusi:
Renaissance (lahir baru) di Italia pada sekitar abad 14-an, dengan ditandai oleh
terobosan-terobosan di bidang seni dan literatur yang memberi penghargaan tinggi
kepada aspek-aspek kemanusiaan: Puisi La Divina Commedia karya Dante Alighieri,
Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, dan sebagainya; Revolusi Gereja di
Saxony (Jerman sekarang) yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad 16 yang

84
Judith Butler, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (London & NY: Verso,
2004), hal. 20. Butler mempertanyakan ini dalam konteks “recent global violence,” di saat banyak
nyawa dikorbankan demi jargon-jargon universal: “perang suci melawan imperialisme AS” dan “jihad
internasional” di satu sisi, dan “perang melawan teror” dan “responsibility to protect” di sisi lain.
85
Tren filsafat yang sedang populer saat itu, yaitu Eksistensialisme dan Fenomenologi,
memberikan penghargaan tinggi terhadap manusia dan sifat-sifatnya: manusia adalah makhluk bebas,
rasional, rasional, dll.

Universitas Indonesia
55

melahirkan Protestanisme; dan terakhir Revolusi pengetahuan dengan dicetuskannya


semboyan “cogito ergo sum”—“aku berpikir maka aku ada”—oleh René Descartes
yang menahbiskan manusia sebagai subyek yang sepenuhnya sadar, otonom, dan
nyata—bukan ilusi.

Zaman Pencerahan melahirkan humanisme, yaitu pandangan bahwa manusia


merupakan subyek rasional, otonom, utuh, dan sempurna. Secara ekstrim, humanisme
menahbiskan manusia (menggantikan alam) sebagai pusat dari segala kehidupan. Hal
ini tampak dalam pasase seorang filsuf Pencerahan, Denis Diderot, “Manusia adalah
tempat tunggal dimana kita harus mulai dan dimana kita merujuk atas segala sesuatu
... inilah kehadiran manusia yang membuat keberadaan makhluk lain lebih
bermakna”. 86

Psikoanalisis Sigmund Freud merupakan gugatan terhadap gagasan


Humanisme: selama ada ketidaksadaran, manusia bukanlah subyek yang sepenuhnya
rasional, otonom, utuh, dan sadar . Bulan September 1909 (awalnya bulan Juli
sebelum ditunda) merupakan saat dimana revolusi kesadaran ala Psikoanalisis
Sigmund Freud dimulai. Saat itu ia membawakan ceramah di Clark University di
Amerika Serikat atas undangan sang rektor. Sejak itu Psikoanalisis menjadi
termashyur mulai di Amerika, Eropa, dan akhirnya seluruh dunia. 87

Sigmund Freud membagi dimensi psikis manusia kedalam tiga kategori: Id,
Ego, dan Superego, yang ketiganya terbagi ke dalam tiga alam: kesadaran, pra-sadar,
dan ketidaksadaran. Ego dan Superego berada baik di alam sadar maupun pra-sadar,
hanya saja Ego yang lebih “tampak”. Dan yang terakhir, Id, berada sepenuhnya di
alam ketidaksadaran. Susunan psikis tersebut dianalogikan dengan “gunung es” (ice
berg) sebagai berikut,

86
Dikutip dari Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, terj. Y.
Wahyutri & N.Hamidah (Yogyakarta: Qalam, 1998), hal. 38.
87
Sigmund Freud, Five Lectures on Psychoanalysis (1909), terj. K. Bertens, dalam Psikoanalisis
Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia, 2006).

Universitas Indonesia
56

Gambar II.1. Gunung Es (Ice Berg)

Ketiga dimensi psikis ini terbentuk seiring dengan proses pendewasaan yang
disebutnya sebagai Kompleks Odipus (Oedipus Complex), melalui fase oral, anal,
dan phallic.

Pada fase oral, dalam diri bayi hanya terdapat Id. Id adalah pusat segala
kenikmatan. Kenikmatan timbul pada kegiatan memasukkan sesuatu ke mulut (oral).
Id merupakan lapisan psikis yang paling dalam dimana terdapat dua naluri dasar
manusia yang dibawanya sejak lahir: eros (naluri kehidupan) dan thanatos (naluri
kematian). Id tidak mengenal aturan, bahasa, hukum, prinsip, apalagi budaya; yang
dipikirkannya hanyalah pemenuhan naluri-nalurinya—kenikmatan.

Ego baru terbentuk saat terjadi kontak manusia bayi dengan otoritas dunia luar
(kebudayaan), yaitu saat bayi diminta untuk mampu mengontrol pemuasan
kenikmatannya: misalnya mampu melepas dan menahan feses sesuai dengan waktu
dan tempatnya. Oleh karena itu, saat inilah yang disebut sebagai fase anal (anus).
Sang bayi akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan “baru”-nya. Saat
itulah sang bayi memperoleh Ego-nya, yaitu seperangkat persepsi kesadaran, memori,
dan pikiran yang memungkinkannya diterima dalam lingkungan barunya. Ego
sepenuhnya dikuasai oleh prinsip realitas: tampak dalam tindakan-tindakan
rasionalnya. Akhirnya, Ego menjamin keutuhan diri—suatu identitas.

Universitas Indonesia
57

Terakhir, Superego merupakan hasil proses internalisasi nilai-nilai, budaya,


prinsip, dan hukum-hukum yang berlaku di lingkungan sang bayi. Nilai-nilai tersebut
ditetapkan oleh otoritas dunia luar yang disebut phallic. Proses tersebut berakhir pada
dianggapnya nilai-nilai tadi sebagai sesuatu yang berasal dari diri sendiri. Bentuknya
beragam, bisa berupa perintah-perintah, larangan, dan bahkan ancaman dari luar
(orang tua, guru, pengasuh, dll.). Kutipan berikut sekiranya dapat memberikan ulasan
singkat tentang “struktur psike” manusia,
“The ego represents what may be called reason and common sense, in contrast to the
id, which contains the passion ... [T]he differentiation of the super‐ego from the ego
is no matter of chance; it represents the most important characteristics of the
development both of the individual and of the species.”88

Psikoanalisis Freud merupakan gagasan yang mempertanyakan atau


mendestabilisasi pandangan ideal tentang diri warisan Pencerahan dengan
mengedepankan aspek-aspek ketidaksadaran manusia. Ketidaksadaran merupakan
lokus dimana hasrat-hasrat terlarang direpresi, yang sampai taraf represi tertentu akan
tampak dalam perbuatan-perbuatan subyek di dunia nyata—mengambil alih
“kemudi” kesadaran tanpa disadari oleh sang subyek. Freud berharap bahwa dengan
menyingkapkan gagasan ketidaksadaran (yang menandingi kesadaran) ini, ia dapat
meminimalisir represi ketidaksadaran—ia mendeklarasikan semboyan terkenal
tentang hubungan kesadaran dan ketidaksadaran: “Wo Es War, Soll Ich Werden”,
artinya dimana ada Id, di situ ada sang Ego (Aku yang sadar).

Di sinilah letak persimpangan pemikiran Freud dengan seorang penerusnya


dari Perancis, Jacques Lacan. Lacan berpendapat bahwa Ego tidak akan dapat
mengendalikan, mengantikan, bahkan mengenyahkan ketidaksadaran karena
sesunggunya Ego sendiri merupakan produk dari ketidaksadaran; otonomi Ego adalah
ilusi. 89 Analogi gunung es Freud pun problematik semenjak ia memisahkan dengan
cukup jelas antara wilayah kesadaran dan ketidaksadaran, karena menurut Lacan,
kesadaran dan ketidaksadaran merupakan dua sisi pada satu koin, keduanya tak

88
Sigmund Freud, The Ego and The Id (1923), dalam The Standard Edition of the Complete
Psychological Works of Sigmund Freud, Vol. XIX (London: Hogarth Press, 1957), hal. 3960-70.
89
Jacques Lacan, Écrits: A Selection, terj. Alan Sheridan (London: Tavistock, 1977), hal. 6.

Universitas Indonesia
58

terpisahkan dan saling mengkonstitusi satu sama lain: apa yang tampil di kesadaran
merupakan orkestrasi dari ketidaksadaran yang direpresi.90 Apabila lewat kompleks
Odipus, Freud tertarik mengamati bagaimana sang bayi membentuk karakter Ego-nya
lewat proses internalisasi dari nilai dan budaya sekitarnya. Lacan, lewat kompleks
Odipus, justru tertarik memahami bagaimana sang bayi mendapatkan ilusi akan Ego,
yang nantinya diidentifikasikan sebagai “Aku”.

Psikoanalisis Lacanian: dari gumpalan hasrat sampai ilusi “Aku”


Lacan tidak merombak total Psikoanalisis Freudian, ia hanya memodifikasi
beberapa hal yang menurutnya krusial: diantaranya yang terpenting adalah masalah
formasi ego dalam kaitannya dengan ketidaksadaran. Hal ini sejajar dengan
semboyannya, “return to the meaning of Freud”.91 Lacan memodifikasi trajektori
bayi menuju kedewasaan yang telah digariskan Freud sebelumnya.

Lacan menggariskan lintasan Kompleks Odipus yang harus ditempuh bayi


untuk mendapatkan konsepsi ke-diri-annya kedalam tiga fase yang berhubungan erat
dengan tiga ranah (register) atau tatanan (order) psikis manusia: fase pra-odipal pada
ranah Riil (the Real), fase cermin pada ranah Imajiner (the Imaginary), dan fase
odipal pada ranah Simbolik (the Symbolic).92 Fase terakhir merupakan fase di mana
subyek telah “terinstalasi” dengan baik dalam ranah Simbolik—kebudayaan, di mana
subyek telah memperoleh predikat ‘Odipus’, sang subyek dewasa. Ketiga ranah ini,

90
Penjelasan lebih mendetil dan teknis tentang ini lihat sub-subbab “Simptom” pada subbab ini.
91
Konteks kemunculan semboyan ini adalah perkembangan mazhab Psikoanalsis yang menurut
Lacan telah jauh meninggalkan gagasan-gagasan dasar Freud., yaitu mazhab Psikologi Ego. Mazhab
ini berkembang pesart terutama di Amerika Serikat, dengan tokoh-tokoh kunci seperti Anna Freud—
anak Freud sendiri. Mazhab ini memfokuskan pada pembentukan Ego sebagai jalan menciptakan
karakter (personality) yang baik—suatu hal yang absurd bagi Lacan yang selalu mengkampanyekan
“never yield with regard to your desire”. Untuk perkembangan (baca: perseteruan) kedua mazhab, lihat
Elisabeth Roudinesco, Jacques Lacan: An Outline of a Life and a History of a System of Thought
(Cambridge: Polity Press).
92
Tidak ada rujukan pasti dan sistematis mengenai lintasi perkembangan subyek Lacanian. Lacan
sendiri membahasnya secara sporadis dan tak sistematis. Uraian berikut merupakan simpulan penulis
sendiri setelah membaca seminar-seminar Lacan berikut komentar-komentar dari para komentatornya.

Universitas Indonesia
59

dimana fase-fase pembentukan subyek terjadi, merupakan susunan psikis subyek


yang membentuk formasi Untaian Borromean (Borromean Knot).93

Gambar II.2. Untaian Borromean (Borromean Knot)

Pada fase pra-odipal, seperti juga Freud, Lacan berpendapat bahwa bayi
merupakan “gumpalan” (mass) yang tak dapat dipisahkan dari ibunya; tak ada
perbedaan antara diri dan ibu; bahkan tak ada perbedaan antara bayi dengan siapapun.
Yang ada hanyalah kebutuhan, dan “benda-benda” yang memuaskan kebutuhan
tersebut. Ketika butuh makanan ia mendapat ASI (Air Susu Ibu), ketika ia butuh
keamanan, ia mendapat pelukan hangat ibunya. Inilah ranah Riil, dimana ide state of
nature mengemuka. Dalam ranah ini, yang ada hanyalah kepenuhan dan kelengkapan
dimana tak ada kebutuhan yang tak terpuaskan, tak ada pula ketiadaan, kehilangan,
atau kekurangan, dan oleh karenanya bahasa tidak dibutuhkan. 94 Oleh karenanya
definisi minimum tentang yang Riil Lacanian adalah “that which resist symbolization
absolutely”; “what is strictly unthinkable.”95 Ranah Riil ini, sebagaimana

93
Simpul Borromean (Borromean Knot) merupakan spekulasi Lacan tentang formasi tiga ranah
subyek, terdiri dari tiga cincin yang saling terhubung sedemikian rupa sehingga apabila salah satu
putus atau lepas, maka yang lain pun akan terlepas secara otomatis. Uraian menarik tentang sejarah
simpul Borromean ini lihat Awaludin Marwan, Struktur Subjek, Makalah pada forum diskusi
Komunitas Psikoanalisis, 14 Juni 2010, Depok.
94
Bahasa dibutuhkan untuk mewakili/menandakan sesuatu yang absen, yang kurang, yang
hilang—entah itu barang, orang, hewan, tumbuhan, perasaan, bahkan tuhan. Ilustrasi terbaik adalah
orang-orang Laputa dalam novel klasik Jonathan Swift, Gulliver’s Travel, yang selalu membawa
sekarung barang yang sekiranya dibutuhkan untuk percakapan, dengan menunjukkan barang-barang
tersebut saat berbicara dengan oang lainnya. Lihat Jonathan Swift, Gulliver’s Travel (Irvine, CA:
Saddleback, 2001).
95
Jacques Lacan, Seminar XXII of Jacques Lacan, R.S.I., 1974-75, peny. Jacques-Alain Miller, terj.
Jack W. Stone dari transkrip utama milik Editions Du Seuil, hal. vii.

Universitas Indonesia
60

pembahasan berikutnya, akan senantiasa mengiringi—jika bukan menghantui—


perjalanan hidup subyek.

Pada perkembangan ranah imajiner terjadi tiga hal penting. Pertama, adalah saat
bayi menyadari keterpisahannya dengan sang ibu. Pada saat kebutuhan sang bayi
tidak langsung atau otomatis terpenuhi seperti pada fase pra-odipal, bayi akan
menyadari bahwa ternyata dirinya tidaklah menyatu dengan objek pemuas
kebutuhannya—ibu. Hal ini membuat sang bayi merasa kehilangan, kekurangan, dan
ingin menyatu kembali dengan ibu. Saat ini, bayi mulai menyadari bahwa ternyata
ada “yang lain” (ibu dan orang lain) yang utuh. Namun demikian, bayi masih belum
mempunyai konsep tentang “diri”-nya. Hal ini membawa bayi pada hal penting
berikutnya, yaitu bergesernya kebutuhan menjadi permintaan. Karena kebutuhannya
tak lagi otomatis terpenuhi, sang bayi harus memintanya, sayang bayi belum bisa
mengartikulasikan permintaanya dengan tepat. Alhasil, sang ibu atau siapapun tidak
akan dengan tepat memenuhi permintaan si bayi; bayi hanya bisa menangis untuk
mengungkapkan segala permintaannya, ia belum bisa berbahasa.

Yang ketiga, sekaligus terpenting, merupakan fase cermin, yaitu fase di mana
terjadi proses identifikasi diri pada bayi. Identifikasi, menurut Lacan, adalah suatu
transformasi yang terjadi pada benak subyek saat ia membayangkan suatu citra, “the
transformation that takes place in the subject when he assumes an image”.96
Identifikasi yang pertama-tama dilakukan bayi adalah saat ia mengidentifikasi ‘yang-
lain’ (others), yaitu saat ia menyadari citraan-citraan yang lain di sekitarnya.
Berikutnya adalah saat ia mengidentifikasikan dirinya di depan cermin. Saat itu ia
akan mempersepsi bayangannya sebagai dirinya. Biasanya proses ini dibantu oleh
orang lain, terutama ibu, dengan berkata, “ya itu kamu, nak!”. Padahal “itu” yang
ditunjuk oleh sang ibu adalah bayangan di cermin, dan bukan sang bayi. Dengan
demikian, bayi mengalami salah-mengerti (misrecognition) terhadap dirinya sendiri,
dan mencampur-adukkannya dengan bayangannya sendiri. Sampai pada fase cermin

96
Lacan, Écrits, hal. 2.

Universitas Indonesia
61

ini, bayi hanya mempunyai konsep tentang dirinya. Bayangan di cermin merupakan,
kata Lacan, ‘ego ideal’ yang sempurna, utuh, ... sama seperti “yang lain”. Lacan
mengatakan bahwa salah-menegerti (méconnaissance) terhadap ego ideal, yang
dianggap diri oleh si bayi, merupakan kompensasi bagi perasaan kehilangan keutuhan
dan kesempurnaan saat ia belum berpisah dengan objek pemuasnya—ibu; dengan
memperoleh gagasan tentang ke-diri-an, sang bayi merasa bahagia.

Namun demikian bayi baru mendapatkan kata ilusif “aku” untuk menandai ego
idealnya (identitas barunya) saat ia memasuki fase odipal. Inti dari konsepsi ilusi
“aku” ini adalah, mengikuti asumsi strukturalisme Ferdinand de Saussure, bahwa “the
unconscious is structured in the most radical way like a language.”97 Lacan
menafsirkannya sebagaimana yang dilakukan Jacques Derrida: “A signifier represents
a subject for another signifier”; tidak ada penanda (kata) yang memiliki petanda
(makna) yang tetap, hal ini dikarenakan petanda akan selalu tergelincir (glissement,
kata Lacan) di bawah penanda dalam suatu rantai penandaan98.99 Tidak ada yang
dapat menghentikan “ketergelinciran” ini, setidaknya sampai sang otoritas Simbolik
(Ayah) menghentikan ketergelinciran tersebut dengan menjangkarkannya pada suatu
penanda lain yang disebut lacan sebagai “anchoring point” (point de capiton). Hal ini
berlaku pula dengan diri subyek; dari ambiguitas dan ketidakmenentuan
(undecidability) diri Riil di fase pra-odipal, kata (penanda) “aku” (lainnya, nama)
dipaksakan dikenakan kepada si diri untuk menyudahi ambiguitas dan
ketidakmenentuan tersebut.

97
Lacan, Écrits, hal. 234. Bahasa terstruktur kedalam penanda (signifier) dan petanda (signified),
hubungan keduanya adalah relasi negatif: sebuah penanda menjadi penanda itu sendiri karena ia bukan
penanda yang lainnya. Contoh, kata “kucing” yang dieja “k-u-c-i-n-g” adalah penanda, sementar
petandanya adalah citraan apapun yang muncul dalam benak saat kata “kucing” dipikirkan; secara
sederhana petanda merupakan arti dari penanda. Relasi negatifnya adalah: “kucing” menjadi kucing
karena ia bukan “kuda” atau “anjing” atau yang lainnya.
98
“We are forced, then, to accept the notion of an incessant sliding of the signified under the
signifier,” Lacan, Écrits, hal. 154. Rantai penandaan (chain of signification) merupakan ketiadaan /
kekurangan (lack) suatu makna (petanda) stabil bagi suatu kata (penanda). Penanda satu merupakan
petanda bagi penanda yang lainnya, dan begitu seterusnya. Contoh termudah adalah kamus. Saat
mencari suatu kata, kata itu akan dijelaskan dengan kata-kata yang lainnya. Dan kata-kata yang lainnya
akan dijelaskan pula oleh kata-kata yan lainnya lagi, dan seterusnya.
99
Lacan, Écrits, Ibid., dan hal. 303.

Universitas Indonesia
62

Perlu ditekankan di sini bahwa citraan cermin Imajiner Lacanian tidaklah


melulu berkaitan dengan seperti yang biasa digunakan seseorang saat merapikan
rambut atau busananya, atau memandangi wajah sambil mengusap-usap jerawat di
wajahnya. Lebih dari itu, cermin di sini bisa diartikan dalam artian yang lebih luas,
bahkan filosofis. Secara hakiki, cermin Lacanian adalah segala medium yang
melaluinya citraan-citraan yang berhubungan dengan gagasan tentang ke-diri-an
ideal, keutuhan dan integralitas dihantarkan. Adalah cermin ini, yang melalui
citraannya, memperkenalkan pada subyek suatu logika pembendungan sebagai proses
subyektivikasi, yaitu pembendungan tubuh dan identitas-diri oleh kulit. 100 Citraan ini
tidak selamanya visual, namun dapat juga verbal—sebuah deskripsi, bahkan teori
tentang ke-diri-an ideal. Citra ini pun tidak selalu aktual/riil, namun bisa juga berupa
fantasi. Citraan-citraan yang hari-hari ini membombardir keseharian, misalnya, citra-
citra: keibuan, kebapakan, kepemimpinan, kenegarawanan, atau kejantanan. Jadi
dampak penting fase cermin dalam perkembangan subyek adalah lahirnya ranah
Imajiner dalam struktur psike subyek, yang akan dibawanya sampai mati.

Fase odipal atau fase Simbolik merupakan fase dimana identitas sang diri
diteguhkan, diinagurasikan, dan ditahbiskan oleh bahasa—misalnya, kata “A-K-U”.
Fase simbolik merupakan fase dimana sang bayi kehilangan otoritasnya untuk
menentukan dirinya, karena ia harus “kalah” oleh otoritas “sang Ayah” yang
“mengancam akan mengebirinya”. “Sang ayah” merupakan metafora bagi “yang-
Lain” (the Other) yang merupakan pusat dari sistem yang mengatur struktur
bahasa. 101 Sementara “ancaman pengebirian” merupakan metafora bagi seluruh ide

100
Lih. Shannon Winnubst, “Is the mirror racist? Interrogating the space of whiteness,” Philosophy
& Social Criticism, 30(1), (2004), hal 34.
101
Perlu diperhatikan di sini adalah pembedaan teknis antara ‘yang-lain’ dan ‘yang-Lain’ dengan
‘L’ besar. ‘yang-Lain’ dengan ‘L’ besar merupakan pusat dari otoritas kultural Simbolik, atau Phallus
dalam bahasa Freud. ‘yang-lain’ dengan ‘l’ kecil berikutnya merujuk pada obyek-penyebab-hasrat,
atau yang disebut Lacan sebagai obyek a. Pembedaan ini dibahas pada Jacques Lacan, The Seminar of
Jacques Lacan, Book II. The Ego in Freud's Theory and in the Technique of Psychoanalysis, 1954-
1955, peny. J-A. Miller, terj. S. Tomaselli (NY, London: W.W. Norton & Company, 1988), hal. 236-
47.

Universitas Indonesia
63

tentang kekurangan (lack) sebagai suatu konsep struktural.102 Bahasa, yang


mengkonstitusi seluruh ranah Simbolik, merupakan satu-satunya cara agar sang diri
dapat masuk ke dalam realitas kebudayaan; bahasa merupakan filter bagi diri—atau
apa yang disebut Frederic Jameson sebagai “biological namelessness”—agar ia dapat
dipahami oleh yang lain, agar ia menjadi “ada”.103 Karena determinasi bahasa yang
sangat menonjol, ranah ini disebut juga “penjara bahasa” 104 (prison-house of
language) di mana terjadi suatu proses “penerjemahan kultural”105 (cultural
translation) yang melaluinya sang diri dibubuhi identitas gramatikal “aku” oleh
“struktur penandaan” (structure of signification)106. Ranah Simbolik ini menempati
posisi penting dalam struktur psike, karena hanya dengan menjaga dan menyesuaikan
diri berdasar arahan yang-Simbolik inilah subyek bisa menjadi “ada”.107

Subyek Lacanian: Gegar dan Narsis


Odipus, atau subyek yang telah melalui proses Kompleks Odipus, dalam teori
Lacan, dengan demikian berbeda dengan versi Sigmund Freud. Dalam teori Freudian,
Oedipus adalah subyek yang telah mengintegrasikan seluruh norma-norma sosial
budaya (Simbolik) ke dalam sistem kesadarannya; subyek yang telah berhasil
mengendalikan hasrat-hasrat binatangnya (Id) dan menyelaraskan prilaku diri (ego)
sesuai dengan citra diri (ego ideal, Imajiner) yang diinginkan oleh kebudayaan
(Simbolik, yang-Lain). Bertolak belakang dengan Freud, Odipus Lacanian adalah
subyek yang secara esensial gegar, terbelah, splitted antara hasrat tak sadarnya

102
Bagi Lacan, bukanlah ayah yang sebenarnya yang mengancam kastrasi. Malahan, karena ide
tentang “kekurangan”, atau kekurangan itu sendiri, esensial dengan bagi konsep bahasa, maka sang
ayah menjadi suatu fungsi dari struktur linguistik.
103
Frederic Jameson, The Prison-House of Language: A Critical Account of Structuralism and
Russian Formalism (Princeton: Princeton University Press, 1972), hal. 130. Bdk juga Steven
Helmling, “Jameson’s Lacan,” Postmodern Culture, 7(1), (1996).
104
Jameson, Ibid.
105
Judith Butler, Undoing Gender (London, NY: Routledge, 2004), hal. 38.
106
Judith Butler, Gender Trouble: Feminisim and the Subversion of Identity, edisi kedua (NY,
London: Routledge Classics, 2006), hal. 196.
107
Saking pentingnya, bahkan Lacan sendiri menekankan bahwa “Psychoanalysis should be the
science of language inhabited by the subject. From the Freudian point of view man is the subject
captured and tortured by language.” Jacques Lacan, The Psychosis. The Seminar of Jacques Lacan,
Book III 1955-1956, peny. J-A. Miller, terj. R. Grigg (London: Routledge, 1993), hal. 224.

Universitas Indonesia
64

dengan imperatif Simbolik yang, dalam struktur psike subyek, diwakili oleh
superego. Subyek bagi Lacan adalah selalu ‘$’, selalu berkekurangan, selalu tidak
utuh. Kegegaran subyek, bukannya disesali, melainkan justru dirayakan sebagai unsur
konstitutif—conditio sine qua non—bagi keberadaan subyek.

Subyek gegar Lacanian ini secara terang-terangan menantang konsepsi subyek


modern Eropa Pencerahan ala René Descartes, yaitu subyek yang integral/utuh, yang
sadar dan rasional, yang memiliki otonomi dan kendali penuh atas dirinya: cogito
ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Melalui Psikoanalisisnya, Lacan mengajak
pembacanya “to oppose any philosophy directly issuing from the Cogito,”108 karena
baginya cogito Cartesian ini “is at the centre of the mirage that renders modern man
so sure of being himself even in his uncertainties about himself, and even in the
mistrust he has learned to practise against the traps of self-love.”109

Kegegaran subyek ini sebenarnya bersumber dari, semenjak Freud,


“penemuan” ketidaksadaran dalam struktur psike subyek yang sama sekali tidak
kompatibel dengan struktur kebudayaan di mana subyek terebut berada. Pasalnya,
struktur kebudayaan mensyaratkan suatu keselarasan dan harmoni, sementara
ketidaksadaran bersifat tak terduga dan tak menentu. Inkompatibilitas ini akhirnya
dikesampingkan mengingat sang subyek, mau tidak mau, harus segera terintegrasi
dan berasimilasi dalam kebudayaan tersebut. Pengesampingan ini berujung pada
pemaksaan atribut kultural simbolik (nama, norma, agama, dst.) kepada keseluruhan
struktur kesadaran subyek, terlepas apakah hal ini akan mengakibatkan konflik dalam
diri subyek atau tidak, mengingat bahwa ketidaksadaran bersifat inkompatibel dengan
atribut tersebut. Konflik inilah yang menyebabkan subyek akan selalu gegar, selama
ia terus memberikan dirinya pada penguasaan kultural simbolik.

108
Lacan, Écrits, hal. 1. Penekanan pada teks asli.
109
Ibid., hal. 165.

Universitas Indonesia
65

Secara teknis psikoanalitis, kegegaran ini berasal dari alienasi ganda dalam
prosesi Kompleks Odipus: alienasi di fase cermin dan alienasi di fase odipal
simbolik. Pertama, apabila dicermati lebih jauh, subyek yang terbentuk pada fase
cermin merupakan simetri dari citraan diri yang terpantulkan di cermin: “ego = ego
ideal.” Maka seharusnya tidak ada masalah di sini. Masalahnya justru timbul saat
ternyata citraan cermin (ego ideal), jauh dari merefleksikan citraan yang
“sebenarnya”, merupakan “perangkap” untuk menguasai ambiguitas sang subyek. Ia
menjadi suatu kontainer untuk membendung ketidak-menentuan yang dialami sang
subyek: citraan imajiner adalah gestalt yang memberi batas-batas jelas bagi subyek
antara yang mana wilayah innenwelt (di dalam-diri) dan umwelt (di luar-diri); yang
mana ‘saya’ dan yang mana ‘bukan-saya’. 110 Jadi, bak roh yang melayang-layang
tidak jelas, diri pra-fase cermin diberi ‘tubuh’ oleh citra cermin imajiner (ego ideal)
untuk dihinggapi, didiami, dan dihidupi. Inilah asal-usul ilusi perasaan ke-diri-an
subyek: subyek mengenali dirinya di realitas melalui mediasi citraan cermin; subyek
menyerahkan ke-diri-annya pada citraan cermin dan kemudian menginternalisasikan
sebagai identitas-diri—“siapa saya”.

Tak pelak, bagi Lacan, subyek adalah selalu ‘ex-centric’, tergeser keluar dari
pusatnya.111 Sayangnya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa identitas diri hasil fase
cermin adalah hasil kesalah-mengertian, citraan cermin tersebut tidak akan pernah
benar-benar “muat” bagi sang diri: ia akan selalu kurang (lack) atau berlebih
(excess/surplus). Efeknya, ambiguitas identitas diri akan senantiasa mengiringi
sejarah hidup sang subyek. Bahasa sehari-hari untuk ambiguitas ini tak lain adalah:
krisis jati diri. Namun demikian paradoksnya, justru karena ketidak-mungkinan untuk
benar-benar “muat”-lah yang menjadi prakondisi utama bagi subyek untuk
melakukan proses identifikasi-diri terus-menerus—tak kenal lelah mencari jati
dirinya ... yang belum tentu ada.

110
Lacan, Écrits, hal. 3-4, 69.
111
Ibid., hal. 171.

Universitas Indonesia
66

Kedua, seakan-akan melengkapi penderitaan karena alienasi di fase cermin,


pada fase odipal, yaitu saat citraan Imajiner “distempel” oleh nama-nama dari bahasa
yang-Simbolik, subyek mengalami alienasi untuk kedua kalinya. Sebenarnya, proses
penamaan oleh yang-Simbolik ini merupakan cara (atau ritual) untuk meredam,
bahkan solusi bagi ambiguitas diri pasca-fase cermin. 112 Hal ini demikian, karena
yang-Simboliklah yang mengikat dan mengarahkan diri, dan yang menawarkan
konsistensi bagi ambiguitas citra diri Imajiner. Namun demikian, bagaimanapun juga,
alienasi tetap tak terelakkan semenjak apa yang hendak disimbolisasikan oleh
penanda Simbolik adalah diri (sebagai petanda) yang berasal dari ranah-Riil yang
notabene justru menolak simbolisasi. Ribuan kemungkinan “mau jadi apa” diri
subyek tidak akan mungkin direduksi ke dalam sepatah kata penanda: “Jawa,”
“Batak,” “Kristen,” “Yahudi,” “Sosialis,” “feminis,” “realis,” “liberalis,”
“pancasilais,” dst. Selalu akan ada yang luput dari cakupan penanda yang mencoba
menamai sang subyek: “It’s quite simply the subject’s singular existence,” yaitu
“something radically unassimilable to the signifier,” menurut Lacan.113 Namun
demikian, sebagaimana prasyarat kultural Simbolik, reduksi ini tetap harus dilakukan.

Menjadi tidak aneh apabila proses simbolisasi ini dianalogikan Lacan dengan
pembunuhan: pembunuhan yang-Riil (the murder of the real), “Thus the symbol
manifests itself first of all as the murder of the Real.”114 Dengan simbolisasi, “The
signifier already considers him dead, by nature it immortalizes him.”115 Bisa
dipastikan, dalam sudut pandang Lacanian, subyek Odipal adalah mayat hidup,
subyek yang lupa bahwa ia sudah mati (di tangan Simbolik, yang-Lain). Lagi-lagi
terdapat paradoks: dalam pembunuhan ini, justru subyek “menemukan” dirinya yang

112
Bdk. Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London, NY: Routledge, 1999), hal. 31.
113
Lacan, Psychosis, hal. 167.
114
Lacan, Écrits, 104. Sebenarnya Lacan tidak menyebut ‘the Real’, melainkan ‘the thing’. Namun
demikian, apabila melihat pembahasan Lacan lebih jauh, maka ‘the thing’ (das ding) yang di maksud
adalah ‘the thing’ yang selalu menolak simbolisasi, atau dengan kata lain, ‘the thing’ adalah inti dari
yang-Riil. Dengan demikian alterasi ‘the thing’ dengan ‘yang Riil’ (the Real) pada kutipan di atas
adalah demi kepentingan menyelaraskan penjelasan. Lihat Jacques Lacan, “The Freudian thing, or the
meaning of the return to Freud in psychoanalysis,” dalam Écrits.
115
Ibid.

Universitas Indonesia
67

(seolah-olah) stabil, bahkan ia rela mati-matian membela nama-dirinya tersebut.116


Jadi, harga yang dibayar saat suatu subyek mengidentifikasikan dirinya dengan suatu
penanda Simbolik adalah justru identitas dirinya yang singular, yang senantiasa
menolak simbolisasi. 117 Konsekuensinya, penanda tersebut tidak akan pernah benar-
benar “muat” bagi subyek, yang pada gilirannya membuat subyek terus-menerus
menghasrati penanda lainnya yang ia (salah-)kira lebih muat baginya. Seperti kata
Lacan, “this death [of the Real] constitutes in the subject the eternalization of his
desire.”118

Lalu apakah yang mendorong subyek untuk mau mengakuisisi citraan cermin
dan berpaling pada otoritas kultural Simbolik untuk “meratifikasi” citraannya dengan
sebuah nama, gelar, atau simbol, meskipun mensyaratkan alienasi radikal dari dirinya
sendiri? Motif untuk mengakuisisi citraan cermin ini tak lain adalah ‘narsisisme’,
yaitu hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan kedirian yang utuh,
yang pada gilirannya akan membuat subyek dapat dikenali, diterima, dan bahkan
dicintai oleh yang lain. Persis seperti Narcissus dalam mitologi Yunani yang begitu
mencintai citra dirinya sendiri, bahkan mencintainya sampai mati. Sehingga penting
untuk ditekankan bahwa alienasi ini dilakukan secara aktif oleh subyek. Persis di
sinilah yang membedakan teori subyeksi Lacanian dengan teori-teori subyek lainnya,
yaitu bahwa adalah sang subyek sendiri yang menginginkan, mendambakan, dan
akhirnya menyerahkan dirinya pada “perbudakan” otoritas Simbolik. Subyek hanya
akan “ada” secara Simbolik apabila ia menerima dan mengakui hukum Simbolik
tersebut. Sampai titik tertentu, prilaku ini merupakan prakondisi bagi fasisme. 119 Hal
ini demikian karena subyek sadar bahwa hanya dengan mengakuisisi penanda
simbolik saja dirinya dapat berpartisipasi dalam realitas kultural Simbolik; bahwa

116
FPI atau Front Pembela Islam yang senantiasa membela dan mempertahankan (secara agresif
dan vandalis) sebuah tanda bernama “Islam” dari segala macam kontaminasi eksternal yang dianggap
“mengganggu” merupakan contoh kontemporer yang relevan.
117
Bdk. Slavoj Žižek, “The Abyss of Freedom,” dalam S. Žižek dan F.W.J. Schelling, The Abyss of
Freedom/Ages of the World (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1997), hal 43.
118
Lacan, Écrits, 104.
119
Subbab berikutnya tentang Deleuze dan Guattari akan berbicara banyak tentang ini.

Universitas Indonesia
68

hanya dengan menjadi mayat hidup sang subyek dapat menikmati kehidupan
Simbolik.

Judith Butler memberikan elaborasi yang sangat baik tentang narsisisme ini.
Baginya, ketidaksadaran akan selalu menyertai kemunculan subyek Simbolik: “the
subject emerges in tandem with the unconscious.”120 Semenjak subyek selalu
merupakan hasil dari fase Simbolik, maka ketidaksadaran tersebut berkaitan dengan
penanda, atau bahasa secara umum. Telah dibahas sebelumnya bahwa penanda
Simbolik merupakan prasyarat utama eksistensi subyek dalam realitas kebudayaan.
Berangkat dari pandangan ini, Butler menekankan bahwa akuisisi aktif akan penanda
merupakan wujud dari kecintaan (love) subyek akan eksistensi, akan keberadaan
dirinya. Subyek yang mencintai eksistensinya tentunya memiliki hasrat untuk
bertahan hidup. Hasrat inilah yang ditengarai Butler dieksploitasi oleh otoritas
Simbolik. 121 Semenjak penanda tidak memiliki acuan tetap, penguasa Simbolik terus
menerus memainkan ketergelinciran tanda tersebut dan secara konstan menggonta-
ganti standar ideal suatu penanda identitas yang notabene akan selalu menjadi obyek
hasrat subyek. Penanda-penanda inilah yang pada gilirannya menjadi obyek adiksi
subyek, yang padanya subyek memiliki ‘kelekatan birahi’ (passionate attachment).122

Kegelisahan (via Loss, Lack, Lacuna, Lamella)


Gagasan kegelisahan (anxiety) adalah selalu merupakan reaksi akan suatu
kehilangan. Kehilangan (loss) merupakan gagasan yang fundamental dalam konsepsi
subyek dalam psikoanalisis Lacanian. Namun catatannya, kehilangan di sini tidak
semata-mata merupakan suatu ke-hilang-an; kehilangan di sini selalu merupakan
sebuah persepsi atau suatu salah-mengira (misrecognition)—dikira hilang (perceived

120
Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press,
1997), hal. 7.
121
Ibid., hal. 7-8.
122
Bandingkan juga bagaimana cara serupa digunakan idiologi untuk merekrut subyek: “the ruling
ideology, in order to be operative, has to incorporate a series of features in which the
exploited/dominated majority will be able to reognize its authentic longings.” Slavoj Žižek, The
Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology (London: Verso, 1999), hal. 184.

Universitas Indonesia
69

loss). Apa yang dikira hilang? Tidak lain adalah obyek-penyebab-hasrat (object-
cause-of-desire), atau yang disebut Lacan sebagai Obyek a (objet petit a).123 Akuisisi
akan obyek ini akan memberikan suatu jouissance124 atau ‘sengsara-nikmat’
(pleasure in pain). Lacan memberi contoh ketertarikan Alcibiades pada Socrates.125
Alcibiades percaya bahwa ada suatu “inestimable treasure” yang terdapat dalam
“rustic box” bernama Socrates, dan tentu saja Alcibiades amat menginginkan
memiliki harta-karun ini sekalipun Socrates selalu menekankan kalimat innocent
terkenalnya, “saya ini tidak tahu apa-apa”. Tetapi tetap saja Alcibiades berkeras
mendapatkannya, sehingga ia menjadi salah satu pengikut (baca: umat) setia Socrates.
Ia percaya, dengan mengakuisisi harta-karun ini ia bisa mengisi bagian dirinya yang
hilang untuk menjadi sebagaimana bayangan ideal tentang dirinya—suatu jouissance.

Sayangnya Alcibiades tidak pernah mendapatkan harta karun tersebut, dan


sebenarnya memang ia tidak akan pernah bisa karena memang sedari mula harta
karun tersebut tidak pernah ada. Kepercayaan buta Alcibiades, yang berakar dari
kesalah-mengiraannya, terus membuatnya menggali harta tersebut. Ketidak-
mungkinan untuk dicapainya obyek a, atau harta-karun tak ternilai dalam kasus
Alcibiades-Socrates, inilah yang pada akhirnya memproduksi perasaan
berkekurangan (lack) secara terus-menerus. Akhirnya, kesalah-mengiraan akan
kehilangan ini menjadi bedrock bagi kekurangan fundamental yang tak akan pernah
dipenuhi secara permanen. Subyek selalu akan menemui lacuna (kehampaan) saat
(salah-)mengira telah meraih obyek a. Inilah kutukan menghasrati obyek a.

123
Huruf “a” merupakan singkatan bahasa Perancis “autre” (other, yang lain). Hasrat Lacanian
adalah selalu berkaitan dengan yang lain, atau dalam bahasa Lacan sendiri, “unconscious desire is the
desire of the Other.” Kata “of” di sini dapat diartikan ke dalam tiga pemaknaan: “akan,” yaitu langsung
merujuk pada sang lain tersebut; “dari,” merujuk pada arahan sang lain terhadap subyek; dan “tentang”
yang merujuk pada gagasan seputar yang lain tersebut.
124
Penulis ragu untuk menerjemahkan bahasa Perancis ‘Jouissance’ ke dalam bahasa Indonesia
‘kenikmatan’, karena dalam konteks Lacanian yang penulis pahami, jouissance selalu merupakan
kenikmatan yang masokistik dan paradoksal: di satu sisi membawa nikmat, tetapi di sisi lain membawa
derita. Oleh karenanya, penulis memilih menerjemahkannya sebagai ‘sengsara-nikmat’—sengsara
yang membawa nikmat. Mungkin Wagner memiliki ungkapan, yang walaupun agak berlebihan, tepat:
“the wound can be healed only by the spear which made it”—dikutip dari Slavoj Žižek, The Sublime
Object of Ideology, edisi kedua (London: Verso, 2008), hal. xxvi.
125
Lacan, Écrits, hal. 322-3.

Universitas Indonesia
70

Kembali ke kegelisahan. Semenjak gagasan kegelisahan adalah selalu


merupakan reaksi akan suatu kehilangan, maka penting untuk menghampiri dan
berikutnya membedakan kegelisahan dari bentuk reaksi akan kehilangan lainnya
seperti ‘perkabungan’ (mourning) dan ‘melankolia’ (melancholy).126 Perkabungan
merupakan proses berpisahnya subyek dengan obyek hasratnya yang sudah tiada
(meninggal, habis, dst.). Proses ini mensyaratkan subyek untuk memutus
hubungannya dengan sang obyek, dan melanjutkan hidupnya (mencari obyek lain,
dst). Perkabungan yang “sukses” membuat subyek mampu menerima kepergian sang
obyek. Namun tidak demikian dengan melankolia: melankolia terus mempertahankan
dan menolak menerima kenyataan bahwa sang obyek telah tiada; melankolia terus
menjaga identifikasi narsistik dengan sang obyek.

Agak berbeda dengan melankolia dan perkabungan, kegelisahan bukan


bereaksi terhadap kehilangan, melainkan terhadap potensi/bahaya/kemungkinan
hilangnya obyek hasrat. Dengan kata lain, kegelisahan Lacanian adalah kegelisahan
akan kastrasi (pengebirian) dari obyek hasrat: inilah kegelisahan fundamental subyek
bagi Lacan. Jadi, dimensi terpenting dari kegelisahan Lacanian bukan pada obyeknya,
melainkan pada resiko yang ditimbulkan apabila sang subyek tidak
mendapat/kehilangan obyek tersebut. Hal ini, misalnya, menjelaskan mengapa
sepasang kekasih—a la telenovela Meksiko—yang sedang kasmaran dengan begitu
mudahnya berkata, “Alejandro, engkau adalah pelabuhan cintaku. Tak akan pernah
kulepaskan dirimu! | Begitu juga dirimu Esmeralda, tak kan kubiarkan ayahmu
menjauhkanmu dariku!”—sebenarnya bukan kedua tokoh konyol ini yang saling
mengkuatirkan satu sama lain, melainkan kekonyolan yang tak terbayangkan kalau-
kalau kedua tokoh konyol ini berpisah.

126
Sigmund Freud, Mourning and Melancholia (1917), Standard Edition, XIV (London: Hogarth
Press, 1957), hal 243- 58. Untuk tarikan politiknya, lihat juga Judith Butler, Precarious Life: The
Powers of Mourning and Violence (London, Verso: 2004), hal 20-2.

Universitas Indonesia
71

Kierkegaard, sebelum Lacan, telah menekankan bahwa kegelisahan adalah


kemungkinan (possibility)/kebisaan (capability).127 Kemungkinan yang dimaksudnya
adalah kemungkinan akan terjadinya segala sesuatu, temasuk kematiannya. Kematian
yang dimaksud bisa berarti metafora maupun literer: Aku bisa mati, maka aku takut
hidup; aku bisa jatuh, maka aku takut memanjat; aku bisa sakit hati, maka aku takut
bercinta; aku bisa menyakiti orang, maka aku takut berhubungan dengan orang; dst.
Coba renungkan keputus-asaan Kierkegaard,
“Jika kamu kawin, kamu akan menyesal; jika tidak kawin kamu juga akan menyesal;
kawin atau tidak, kamu akan menyesal. Tertawakanlah kegilaan dunia atau ratapilah,
kamu akan menyesal; entah kamu menertawakan kegilaan dunia atau meratapinya,
kamu akan menyesal; gantunglah dirimu, kamu akan menyesal; jangan gantung
dirimu, kamu akan menyesal; entah kamu menggantung dirimu atau tidak, kamu akan
menyesal. Tuan-tuan, inilah ringkasan dan saripati segala filsafat.”128

Bila diamati dengan seksama, maka kemungkinan akan segala sesuatu ini
dimungkinkan oleh ‘kebebasan’—semakin besar kebebasannya, maka semakin besar
kegelisahan akan kemungkinan terburuk. Dalam bahasa Lacanian, kegelisahan akan
berarti suatu kegelisahan kalau-kalau sang subyek termakan habis saat ia menikmati
obyek a-nya. Tak pelak Jean-Paul Sartre, mengikui Kierkegaard, mengatakan bahwa
“we are condemned to be free.”

Lantas apakah kegelisahan adalah tanpa obyek? Tidak juga: Lacan menjawab,
“elle n’est pas sans objet” (ia bukanlah tanpa obyek, Ind.).129 Seperti petikan imajiner
kisah konyol di atas, kegelisahan bukan ditimbulkan dari ketidak-hadiran obyek,
melainkan justru kehadirannya, atau bahasa Lacan, “it’s enveloping presence”! Hanya
saja terhadap kehadirannya yang enveloping tersebut, subyek mengira ia telah
mendapat obyek a: padahal tidak—bagaimana mungkin subyek yang salah-mengira
akan kehilangan dapat benar-mengira telah mendapatkan? Kehilangan dan

127
Vigilius Haufniensis (alias Søren Kierkegaard), The Concept of Anxiety: A Simple
Psychological Orienting Deliberation on the Dogmatic Issue of Hereditary Sin, terj. R. Thomte dan A.
B. Anderson (Princeton: Princeton University Press, 1980).
128
Søren Kierkegaard, “Either/Or, he Fragment of Life”, dalam The Essential Kierkegaard,
Selections , peny. Howard V. Hong dan Edna H. Hong (Princeton, NJ: Princeton Uni Press, 2000)
129
Jacques Lacan, “Introduction to the Names-of-the-Father Seminar,” tej. Jeffrey Mehlman,
October, 40 (Spring, 1987), hal. 82.

Universitas Indonesia
72

kemendapatan: kedua-duanya adalah mirage, efek salah-mengira. Obyek a adalah


obyek kegelisahan Lacanian, namun sayangnya, obyek ini tidak dapat diakses; ia
adalah sesuatu yang selalu hilang. Kierkegaard membahasakannya lebih baik, “The
object of anxiety is a nothing”, walaupun Lacan menamainya dengan lebih baik:
lamella, sang inti obyek hasrat yang akan selalu luput, yang telah-selalu (always-
already) hilang dari presentasi simbolik rupa-rupa obyek hasrat mulai es krim Cold
Stone sampai tubuh molek Jessica Alba, mulai uang yang “digondol” Gayus sampai
status quo jabatan yang dipegang SBY saat ini, dan sebagaimana yang akan dibahas
di studi ini, dari citraan ideal Imajiner sampai kemanunggalan kedaulatan negara:
“It is the libido, qua pure life instinct, that is to say, immortal life, or irrepressible
life, life that has need of no organ, simplified, indestructible life. It is precisely what
is subtracted from the living being by virtue of the fact that it is subject to the cycle
of sexed reproduction. And it is of this that all the forms of the objet a that can be
enumerated are the representatives, the equivalents. The objets a are merely its
representatives, its figures.”130

Lamella inilah yang alih-alih menyurutkan hasrat terhadap obyek-penyebab-


hasrat tersebut, malah semakin menyulut hasrat untuk tak henti-hentinya
mengejarnya. Hal ini demikian karena keberadaan—atau lebih tepatnya keselalu-
telah-hilangan—lamella memberi tubuh kedua bagi obyek hasrat, yaitu tubuh sublim
(sublime body), atau tubuh di dalam tubuh.131 Obyek a yang menjadi “perwakilan”
lamella—yang selalu-telah hilang—akhirnya terangkat statusnya menjadi obyek
sublim (sublime object). Berbeda dengan obyek material, bentuk kongkrit obyek
hasrat, obyek sublim ini tidak lekang dimakan waktu, ia tidak dapat dikorupsi dan
dihancurkan. Obyek sublim akan tetap (disalah-mengerti sebagai) ada sekalipun
obyek material yang membawanya telah tiada. Žižek menyebut obyek sublim ini
sebagai “something in it more than itself,”132 karena obyek sublim inilah yang dicari-
cari subyek dari rupa-rupa obyek hasrat yang dikejar-kejar subyek ... dan sekali lagi
pencarian tersebut adalah sia-sia, karena obyek sublim tersebut telah-selalu hilang;

130
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XI: The Four Fundamental Concept of
Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (London, NY: W.W.Norton & Company, 1981), hal. 198.
131
Žižek, The Sublime, hal. 12-3.
132
Ibid., hal. 104.

Universitas Indonesia
73

keberadaannya adalah fatamorgana yang diciptakan subyek yang senantiasa gegar


dan berkekurangan. Jadi, semisal, saat subyek mendambakan orang lain sebagai suatu
obyek hasrat, yang diinginkannya bukanlah orang tersebut, melainkan tubuh sublim
dari orang itu yang “in you more than yourself.” Inilah yang penulis maksud di awal
sebagai “intersubyektivitas tanpa subyek,” yaitu saat tubuh subyek yang lain
dianggap semata-mata sebagai kontainer suatu obyek kepuasan yang sebenarnya
telah-selalu hilang.

Kegelisahan juga berhubungan dengan fase cermin. Saat subyek merasa citra
dirinya tidak seperti yang ditampakkan pada cermin ideal, maka ia akan gelisah. Di
sini Lacan menghubungkan citra diri yang mencemaskan ini dengan konsep uncanny
(keanehan yang melampaui pengetahuan) dari Freud.133 Tidak berhenti disini,
kegelisahan ini berikutnya memproduksi suatu skenario yang mengada-ada
(berlebihan, surplus) akan kehancuran eksistensial134 (bahasa teknisnya, ‘kastrasi’)
dirinya karena kegagalannya dalam mengubah citra-dirinya yang aneh. Gagasan ini
dipengaruhi oleh Kierkegaard tentang fantasi kemungkinan: kemungkinan mati,
kemungkinan dikastrasi, kemungkinan tertimpa musibah, dst. Intinya, karena merasa
ada yang kurang dalam dirinya, fantasi kehancuran eksistensial akan selalu
menghantui. Oleh karena inilah Lacan mengatakan bahwa kecemasan muncul saat
“the lack is itself lacking; anxiety is the lack of a lack.”

Simptom
Kegagalan yang senantiasa mengiringi subyek untuk dapat mengakuisisi
obyek a pada dasarnya memang akan selalu memicu kegelisahan, dan kegelisahan
inilah yang mengindikasikan kegegaran subyek—kenyataan bahwa subyek tidak
dapat benar-benar dipuaskan dengan penyerahan diri ke perangkap citraan Imajiner

133
Sigmund Freud, “The Uncanny (1919),” dalam Standard Edition, Vol. XVII
134
Lacan juga kerap menggunakan kata ‘kastrasi’ untuk ini. “The basic concept of castration
asserts that the greatest anxiety derives not from the possibility of dying but from the possibility of
never-having-lived.” Lihat Stuart Schneiderman, “Afloat with Jacques Lacan,” diacritics, 1(2) (Winter,
1971), hal 30.

Universitas Indonesia
74

dan ke perbudakan Simbolik. Namun demikian, hal ini tidak lantas berarti kegagalan
ini membuat subyek tidak dapat hidup tanpanya; subyek bisa tetap menjalani
kehidupannya sehari-hari dengan tenang dengan bertindak seolah-olah telah
mengetahui, atau malah mendapatkan obyek a tersebut. Ke-seolah-olahan inilah yang
menjamin konsistensi eksistensi subyek ditengah kegegaran dan ambiguitas ke-diri-
annya, dan yang membuat kehidupan tampak “normal” dan “wajar-wajar saja”
setidaknya sampai yang-Riil, yaitu yang selalu dicoba dibendung dan direpresi oleh
citraan Imajiner dan Simbolik, kembali menampakkan dirinya di realitas. Dalam
konteks ini, yang-Riil dapat diasosiasikan dengan gagasan kontra-tatanan, sisi lain
(nether side), keretakkan, kontradiksi, antagonis, paradoks kesuraman, kegelapan,
ketiadaan dan chaos yang akan selalu membatalkan seluruh proses simbolisasi.

Adalah ‘simptom’ yang menjadi biang keseolah-lahan di atas. Simptom


adalah formasi normalitas keseharian subyek. Simptom menata keseharian
sedemikian rupa agar kegegaran dan kontradiksi internal yang senantiasa melekat
pada formasi ke-diri-an subyek tidak mencuat ke dalam wilayah “kesadarannya.”
Simptom selalu berada pada tataran kesadaran, namun proses pembentukan dan
kelangsungannya sepenuhnya bersifat tak sadar. Sehingga sampai titik ini, simptom
selalu merupakan formasi, kristalisasi, materialisasi, sublimasi (Žižek), atau reifikasi
(Lukács) dari ketidaksadaran. Normalitas yang diimplikasikan simptom tidak serta-
merta meniadakan kegegaran, kontradiksi, atau paradoks yang senantiasa melekat
pada subyek, melainkan ditunda secara terus menerus atau dikanalisasi sedemikian
rupa agar “kedatangannya” tidak mengganggu konsistensi normalitas tersebut.
Penundaan “return of the repressed” ini mensyaratkan penundaan lainnya pada
subyek, yaitu penundaan pengetahuan. Segala pengetahuan harus ditangguhkan
secara radikal agar simptom bisa berfungsi dengan mulus; artinya, subyek harus rela
meredam pertanyaan-pertanyaannya terhadap simptomnya dan menjalaninya secara
taken-for-granted, demi konsistensi eksistensinya sehari-hari. Jadi, sebagaimana
Žižek tekankan, agar subyek dapat “enjoy your symptom!”, maka subyek tersebut

Universitas Indonesia
75

harus rela menjadi dungu dan berpura-pura buta terhadap (i)logika yang mendasari
simptom tersebut.135

Poin penting yang dapat ditarik untuk sementara, berkaitan dengan supremasi
Simbolik dalam kehidupan subyek, adalah bahwa ia ditopang oleh kerelaan sang
subyek untuk menjadi dungu (ignorant) dihadapannya. Pertanyaannya adalah,
mengapa demikian? Bukankah yang-Simbolik sifatnya absolut? “Rahasia besarnya
[psikoanalisis],”136 seperti kata Lacan, adalah karena yang-Simbolik, juga pada
dasarnya berkekurangan! Dengan kata lain, yang-Simbolik, sang Lain besar,
sebenarnya juga mengalami kegegaran, persis seperti subyek: “there is a fault, hole,
or loss therein.”137 Sehingga realitas, sebagai simptom hasil fabrikasi yang-Simbolik,
akan selalu ditandai dengan keretakan, kegegaran, kekurangan, atau kontradiksi yang
melekat padanya, dan keretakan ini diasumsikan seolah-olah absen oleh subyek yang
mendiaminya. 138 Kedunguan terhadap simptom adalah hal penting karena meskipun
retak, ketiadaan sama sekali akan simptom justru membawa bencana yang lebih
besar. Tidak jarang ungkapan seperti ini terdengar: “kita tahu bahwa negara kita ini
korup, pemimpinnya tidak bermoral, namun bagaimanapun juga kita tetap butuh
negara.” Lantas keseolah-olahan apa yang ditimbulkan oleh simptom ini?—tidak lain
adalah apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai “statolatry,” kepercayaan fetis
terhadap negara; seolah-olah hanya negara yang dapat menjadi solusi permasalahan
yang dihadapi, meskipun negara itu sendiri bermasalah (bahkan merupakan sumber
masalah)—simptom inilah yang dalam studi ini akan penulis bongkar.

135
Bdk. Slavoj Žižek, Enjoy Your Symptom! Jacques Lacan in Holywood and Out (London, NY:
Routledge, 1992)
136
Lihat Lacan, sebagaimana dikutip Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London:
Routledge, 1999), hal. 39.
137
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XX. On Feminine Sexuality The Limits of
Love and Knowledge, peny. J-A. Miller, terj. B. Fink (NY, London: W.W. Norton & Company, hal.
28.
138
Albert Einstein pernah mengucapkan pernyataan yang senada, “The world is a dangerous place
to live, not because of the people who are evil, but because of the people who don’t do anything about
it.”

Universitas Indonesia
76

Secara teknis psikoanalitis, dalam hubungannya dengan ketiga tatanan Riil-


Simbolik-Imajiner (RSI), simptom merupakan tatanan keempat yang sekaligus
menata ketiga tatanan sebelumnya.139 Simptom adalah jalinan kompleks RSI: “The
ex-sistence of the symptom is implied by the very position, which supposes this
enigmatic link between the imaginary, the symbolic and the real,” kata Lacan.140
Harmoni ketiga tatanan RSI, yang berdampak pada totalitas, stabilitas dan konsistensi
realitas, merupakan hasil kerja simptom. Tidak hanya itu, simptom adalah oknum
yang mengunci RSI dari ketercerai-beraian. Karena apabila hal ini terjadi, maka
stabilitas realitas sosial akan kolaps. Mengapa demikian? Karena realitas adalah
simptom itu sendiri, malahan menurut Lacan, “symptom is everywhere.” Lacan,
seperti biasa, tidak menjelaskannya secara gamblang sehingga membuat orang harus
meraba-raba sendiri—mungkin memang itu yang dimaui Lacan. Namun demikian,
pembahasan paling sistematis dapat dilihat pada Seminar XXIII: The Sinthome.141
Secara analitis, symptom bertujuan mengunci Riil, antagonisme fundamental
pembawa petaka bagi tatanan; hal ini dilakukannya dengan mendomestifikasi yang-
Riil ke dalam suatu kontainer imajiner, dan akhirnya menyegelnya dengan penanda
simbolik: jadilah apa yang disebut-sebut realitas.142 Jadi, bisa disimpulkan, definisi
analitis bagi simptom: manifestasi simbolik atas keutuhan imajiner yang tak-
mungkin.

139
Lacan, Seminar XXIII: The Sinthome, 1975-76, terj. L. Thurston, diterbitkan di Ornicar, 6-11,
(1976-1977), hal 16.
140
Ibid., hal 6.
141
Ibid.
142
Bdk. Jacques Lacan, “Seminar 19: Wednesday, May 10, 1967,” dalam Seminar 14: The Logic of
Fantasy. (Naskah tidak diterbitkan).

Universitas Indonesia
77

Gambar II.3 Topologi Psike Manusia dan Letak Simptom

Efek normal dari realitas yang mampu dihasilkan simptom, berikutnya,


merupakan hasil dari upaya yang-Simbolik untuk membuat yang-Riil dapat
“ditolerir” dan tidak dipertanyakan oleh subyek-subyek yang mendiami realitas
tersebut. Upaya ini, meminjam David Harvey, merupakan upaya “irrational
rationalizing of the irrational.”143 Namun demikian adalah terlalu gegabah untuk
mengasosiasikan simptom sebagai kebohongan, yang berusaha membuat
pembenaran-pembenaran rasional. Pandangan ini seolah-olah mengasumsikan bahwa
kebenaran bisa tampil secara vulgar dan vivid; sebaliknya, kebenaran adalah suatu
ketidak-mungkinan bagi realitas Simbolik; kebenaran selalu merupakan kategori
yang-Riil—yang selalu menolak simbolisasi. 144 Namun demikian justru ketidak-
mungkinan inilah yang membuat kebenaran muncul dalam realitas: “I always tell the
truth. Not the whole truth, because one can’t. To say everything is impossible,
there’re not enough words. It’s this impossibility which brings truth close to ‘the
real’”145 Jadi, akan lebih “aman” untuk memahami simptom sebagai kebenaran yang

143
David Harvey, “The Crisis Now,” disampaikan dalam simposium Marxism 2009, Bloomsbury,
5 Juli 2009. [Video]
144
Eminem, penyanyi rap dari Amerika Serikat, secara tak sengaja memaparkan inspirasi lagu
terkenalnya Real Slim Shady yang agaknya sejalan dengan nada Lacanian, “[T]he true one is the only
one that cannot stand up, the only one who will deny that he is the true one. So the true one can never
be found because he will deny his own truth.” Eminem, ‘The Real Slim Shady’, on Marshall Mathers
(European Union: Records for The Universal Music Company, 2000).
145
Jacques Lacan, dalam Astra Taylor, Žižek!, (CA: Zeitgeist Films, 2005). [Film Dokumenter]

Universitas Indonesia
78

terkodekan dalam suatu kebohongan, karena sulit dipungkiri, secara psikoanalitis,


bahwa “the truth has no other form than the symptom”146—simptom adalah satu-
satunya jalan bagi kebenaran untuk dapat “dipahami”.

Konsekuensi Subyek Lacanian


“It is nonetheless true that the philosophical cogito is at the centre of the mirage that
renders modern man so sure of being himself even in his uncertainties about himself,
and even in the mistrust he has learned to practise against the traps of self-love.”
Jacques Lacan147

“The problem for us is not ‘are our desire satisfied or not’. The problem is ‘how do we
know what we desire?’ There is nothing spontaneous, nothing natural about human
desires. Our desires are artificial. We have to be taught to desire.”
Slavoj Žižek148

Subyek Lacanian adalah subyek yang terkutuk untuk terus-menerus


menghasrati. Dalam artian ini, subyek Lacanian adalah homo desiderare.149
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, berpartisipasinya diri ke dalam Kompleks
Odipus, selain memberinya ‘ego’ (dari Imajiner) dan ‘subyek’ (dari Simbolik), sang
diri juga mendapat luka abadi (blessure) yang traumatik sebagai akibat
dipaksakannya atribut Imajiner dan Simbolik kepada diri pra-odipal yang-Riil. Luka
inilah yang membuat diri menjadi senantiasa gegar dan berkekurangan, senantiasa
berlubang (void), dan pada gilirannya membuat sang diri terus-menerus memproduksi
hasrat terhadap apapun yang dapat “menambal” (suture) lubang (void) kekurangan
tersebut dan memberinya perasaan ke-diri-an yang utuh. Sayangnya sang diri tidak
tahu harus menghasrati apa, sehingga ia selalu berpaling kepada ‘yang lain’ untuk

146
Lacan, “Seminar 19...”.
147
Lacan, Écrits, hal. 165.
148
Kalimat ini diteruskan dengan, “Cinema is the ultimate pervert art. It doesnt give you what you
desire. It tells you how to desire.” Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Cinema: Lacanian
Psychoanalysis and Film, (London: Mount Pleasant Studios, 2006). [Film Dokumenter]
149
Istilah ini dikembangkan dengan sangat baik oleh Alfathri Adlin, “Homo Desiderare: Libdinal
dan Karnal dalam Ruang-Hidup,” dalam A. Adlin, peny., Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan
Multi-Perspektif (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hal. 59-114.

Universitas Indonesia
79

bertanya: “che vuoi?”, “kamu mau aku menjadi/melakukan apa?”150 Sang diri
membutuhkan mediasi ‘yang lain’ untuk berhasrat, untuk meniru hasratnya, bahkan
untuk menjadi yang dihasrati oleh ‘yang lain’.151

Freud setidaknya melihat dua bentuk hasrat: yaitu narsistik dan anaklitik.152
Hasrat narsistik, sebagaimana telah dipaparkan di atas, adalah hasrat untuk menjadi
sesuatu yang eksternal dari dirinya, yaitu ‘yang lain’ yang terefleksikan di citraan
cermin, demi sebuah perasaan ke-diri-an yang utuh, manunggal dan integral. Perasaan
ini berikutnya akan memberikan kepuasan kepada diri karena dengannya diri
memperoleh pengakuan eksistensi, bahkan cinta kasih dari orang-orang sekitarnya—
‘yang-Lain’. Sedikit berbeda, hasrat anaklitik merupakan suatu libido berobyek.
Apabila hasrat narsistik selalu berkaitan dengan kemenjadian, maka hasrat anaklitik
merupakan hasrat akan kepemilikan; jika hasrat narsistik berkaitan dengan
transformasi diri, maka hasrat anaklitik dengan atributasi diri dengan rupa-rupa
pernak-pernik yang dapat memuaskan diri. Namun demikian keduanya tidak benar-
benar terpisah, sumber dari segala hasrat adalah hasrat narsistik, yang pada
hakikatnya adalah hasrat untuk bertahan hidup; kepuasan hakiki adalah kepuasan
hidup. Kepemilikan benda-benda akibat pemuasan hasrat anaklitik, pada akhirnya
juga diarahkan demi memperkuat citra-diri narsistik. Hal ini demikian karena diri
menghasrati suatu barang tertentu karena barang tersebut telah terlebih dahulu
dihasrati oleh orang lain—dan (nampaknya) berhasil memuaskannya. Jadi diri ingin
memperoleh kepuasan serupa sebagaimana dialami orang lain tersebut, yaitu dengan
cara meniru hasratnya.

Studi kali ini akan memusatkan perhatian pada hasrat nasrsistik subyek
Lacanian ini, dan mencoba menilik lebih jauh konsekuensinya. Dua, dari sekian

150
Lacan, Écrits, hal. 312. Lihat juga Slavoj Žižek, Sublime, bab 3. Uraian kritis tentang ini lihat
Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: Komunitas Aksi Sepihak, 2009), hal. 211-28.
151
René Girard, Deceit, Desire and the Novel: Self and Other in Literary Structure, terj. Mensonge
romantique. (Baltimore, London: Johns Hopkins University Press, 1966).
152
Sigmund Freud, “On Narcissism: An Introduction (1914),” dalam The Standard Edition, vol.
XIV.

Universitas Indonesia
80

banyak, konsekuensi akan penulis soroti kali ini yaitu: 1) subyek fasis-paranoid, yang
selalu merasa insecure akan identitas ke-diri-an, dan selalu berusaha memperkuat,
memagari, membentengi bahkan melakukan antisipasi agresif akan identitas lain yang
dikira akan mengkontaminasi identitas ke-diri-annya; 2) abyeksi, atau ekslusi obyek
atau entitas lain yang mengganggu—dari perspektif subyek, yang akan selalu
mengiringi proses subyeksi abadi diri oleh otoritas Simbolik.

Deleuze & Guattari: dari ilusi kepenuhan eksistensial sampai fasis-paranoid


“We must abandon, once and for all, the quick and easy formula: ‘Fascism will not
make it again.’ Fascism has already ‘made it’, and it continues to ‘make it.’ ... [It] finds
its energy right at the heart of everyone’s desire.”
Félix Guattari153

Berangkat dari posisi berbeda dari Lacan, 154 Gilles Deleuze dan Félix Guattari
memandang hasrat tidak sebagai suatu dorongan (drive) yang berpusar pada gagasan
tentang kekurangan (lack), sebaliknya hasrat dianalogikan sebagai mesin: hasrat
adalah selalu mesin-hasrat (desiring machine).155 Analogi mesin ini sejalan dengan
pandangan keduanya bahwa hasrat pada dasarnya adalah sesuatu yang produktif dan
aktif bermultiplikasi tanpa henti. Hasrat adalah suatu aliran (hyle) skizofrenik liar
yang berkesinambungan yang terus menerus memproduksi aliran-aliran hasrat
lainnya; produksi a la mesin-hasrat adalah produksi demi produksi.156 Adalah
Kompleks Odipus yang berusaha menjinakkan aliran hasrat ini, mengkanalisasinya
sedemikian rupa mengikuti kanal-kanal kultural Simbolik—“Oedipus presupposes a
fantastic repression of desiring-machines.”157 Malahan, adalah Odipus yang
mengajari diri untuk menghasrati represi terhadap diri sendiri. Odipus

153
Félix Guattari, “Everybody Wants To Be A Fascist,” terj. S. Fletcher, Semiotext(e) II(3), hal.
87–98
154
Untuk diskusi seputar hubungan Lacan dan Deleuze-Guattari, terutama dalam hal kritik
Deleuze-Guattari ke psikoanalisis Lacanian, penulis memperoleh banyak pandangan berharga dari
Martin Suryajaya, Geger Riyanto, Ken Kumbara dan Gede Indra Pramana. Namun demikian,
interpretasi Lacanian atas Deleuze-Guattari di sini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
155
Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, terj. R. Hurley,
M. Seem dan H. Lane (London: Athlone Press, 1984), hal. 1-2.
156
Ibid., hal. 36.
157
Ibid., hal. 3.

Universitas Indonesia
81

memperkenalkan gagasan pantang, kontrol, pengekangan diri, dan mekanisme-


mekanisme represi lainnya yang tak lain ditujukan pada pembentukan subyek dewasa.
Odipus jugalah yang mengajarkan diri untuk menyerahkan dirinya kepada
perbudakan Simbolik, memberi dirinya untuk ditato oleh atribut-atribut kultural, dan
merelakan dirinya untuk menderita karena pengekangan diri demi memperoleh citra
diri ideal. Hal ini demikian karena realitas kultural Simbolik mensyaratkan
penjinakan hasrat liar subyek-subyeknya, agar selanjutnya dapat dikontrol, diarahkan,
dikanalisasi dan diteritorialisasi bagi, misalnya, “perkembangan peradaban,” atau
“demi nusa dan bangsa,” atau “menegakkan demokrasi.” Sejarah dengan demikian,
dari sudut pandang Kompleks Odipus, adalah sejarah penjinakan hasrat.

Benih-benih fasis, atau yang mereka sebut ‘mikrofasisme’, telah disemai


semenjak diri memperoleh predikat Odipus.158 Sehingga dari perspektif ini, Fasisme
tidak sebaiknya dilihat dari manifestasi historisnya (Hitler, Nazi, Musolini, dst.),
melainkan justru yang lebih berbahaya, yaitu “Fascism in us all, in our heads and in
our everyday behavior, the fascism that causes us to love power, to desire anything
that dominates and exploits us.”159 Fasisme telah selalu ada pada semua orang,
semenjak semua orang selalu-telah berpartisipasi pada Kompleks Odipus, hanya saja
fasisme tersebut belum mengkristal pada sosok simbol/pemimpin sebagaimana yang
terjadi pada Italia dan Jerman tahun 1940an. “Everybody wants to be a fascist,”160
klaim Guattari. Jadi, kristalisasi fasisme tidak selalu berpusar pada pembentukan
Führer atau negara kuat,
“Fascism, like desire, is scattered everywhere, in separate bits and pieces, within the
whole social realm; it crystallizes in one place or another, depending on the
relationships of force. ... to connect the social libido, on every level, with the whole
range of revolutionary machines of desire”161

158
Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Thousand Plateus: Capitalism and Schizophrenia, Vol II,
terj. B. Massumi (London: University of Minnesota Press, 1987), hal 9-10.
159
Michel Foucault, “Preface,” dalam Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. xi-xiv.
160
Guattari, “Everybody...”.
161
Guattari, “Everybody...”, hal. 98.

Universitas Indonesia
82

Deleuze dan Guattari, melalui bukunya, berusaha memberikan perlawanan keras


terhadap Odipus fasis ini: Anti-Oedipus.

Secara umum, Deleuze dan Guattari menggolongkan hubungan subyek


dengan aliran hasratnya kedalam dua kutub besar: paranoid-fasis dan
skizorevolusioner.162 Paranoid-fasis menghimpun dan menginvestasikan aliran
hasratnya kepada pembentukan suatu kedaulatan sentral (Odipus), lantas
menetapkannya sebagai muara terakhir bagi aliran-aliran hasratnya. Tidak hanya ini,
paranoid-fasis berusaha memagari kedaulatannya secara defensif, bahkan secara
agresif menyerang setiap ancaman yang dikira dapat mengganggu status quo
kedaulatannya. Paranoid-fasis adalah diri yang terkontaminasi dengan kekerasan
abadi, karena seperti kata Jacques Derrida, “the determination of the self as One, is
violence” karena “the One makes it self violence. It violates and does violence to itself
but it also institute itself as violence. It becomes what it is, the very violence—that it
does to itself.”163 Pada kutub skizorevolusioner, yang terjadi adalah sebaliknya:
seluruh penghalang aliran hasrat dilanggarnya; hasrat dibiarkan mengalir tak
terbendung dan secara aktif bermultiplikasi. Skizorevolusioner merupakan kebalikan
(bahkan lawan) dari Odipus yang paranoid-fasis: “The revolutionary is the first to
have the right to say: ‘Odipus? Never heard of it’.”164

162
Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. 277.
163
Jacques Derrida, Archive Fever: A Freudian Impression, terj. Eric Prenowitz (Chicago &
London, The University of Chicago Press, 1995), hal 78. Adalah gegabah untuk menghubungkan
prilaku pemuasan hasrat melalui kekerasan terhadap diri sendiri ini dengan prilaku seksual
“menyimpang” (perversi) yang biasa disebut ‘masokisme’. Masokisme, sebagaimana Sacher-Masoch,
bukanlah suatu perversi, melainkan perlawanan!—perlawanan terhadap hukum-hukum natural
(patriarkal) yang sedang berlaku atasnya. Masokisme merupakan tindakan memperolok sang hukum
berikut otoritas Simbolik dengan cara memberi dirinya disakiti dan didera oleh hukum, dan alih-alih
mengeluh, subyek malah mengekstrak kenikmatan darinya. Terakhir, masokis tidak memberi dirinya
didera oleh sembarang orang, melainkan oleh orang-orang yang telah terjalin ‘kontrak’ dengannya;
masokisme adalah hubungan kontraktual antara sang masokis dan sang penderanya. Lihat Gilles
Deleuze, “From Sacher-Masoch to Masochism,” terj. C. Kerslake, Angelaki: Journal of the Theoretical
Humanities, 9(1) (April, 2004), dan Žižek, Ticklish, hal. 279-82.
164
Deleuze dan Guattari, Anti-Oedipus, hal. 96.

Universitas Indonesia
83

Sampai di sini sekiranya cukup jelas bahwa fasisme merupakan suatu


tindakan antisipatif agresif untuk “menyembuhkan” suatu kegelisahan paranoid akan
kehilangan identitas ke-diri-an dengan cara mengkonstruksi fantasi tentang identitas
yang utuh, murni, dan superior. Kerinduan narsistik akan identitas utuh seperti ini
merupakan konsekuensi logis dari diri-sosial sebagai “lulusan” Kompleks Odipus.
Dengan kata lain, narsisme merupakan bibit awal fasisme. Kontinuitas ini akan kabur
dari pandangan apabila analisis mengisolasi fasisme sebagai semata-mata suatu
gerakan massa idiologis yang terpusat kepada seorang pemimpin totaliter, dst.
Fasisme adalah perkara hasrat;165 kegagalan melihat fasis sebagai intensifikasi hasrat
narsistik akan berbuntut pada kegagalan melihat totalitarianisme fasistik sebagai
konsekuensi tak terelakkan dari kebudayaan Simbolik yang sedang berlangsung saat
ini, yang melaluinya, setiap menit subyek Odipus dilahirkan. Guattari
memperingatkan, “a struggle against the modern forms of totalitarianism can be
organized only if we are prepared to recognize the continuity of this machine,”166 dan
senada dengan penjelasan penulis, hal ini demikian karena “what fascism set in
motion yesterday continues to proliferate in other forms, within the complex of
contemporary social space.”167

Pada studi kali ini, penulis berusaha melihat kontinuitas narsisisme dan
fasisme yang melekat pada subyek Odipus, yang kemudian berkembang menjadi
semangat-semangat republikanisme. Dua contoh semangat republikanisme yang
mendapat lampu sorot dalam studi ini adalah republikanisme yang memanifestasi
pada pembentukan negara berdaulat modern, dan republikanisme kontemporer—atau

165
Bahkan menurut Žižek, hanya psikoanalisis yang mampu memahami mekanisme fasis ini
dengan jelas, bahkan mengantisipasinya. Hal ini demikian karena psikoanalisis mampu menawarkan
“a model of disidentification, of freedom from an enchantment with fascist enjoyment, which is not the
model of the naїve leftist enlightenment critique.” Lihat Slavoj Žižek, “Everything Provokes Fascism:
an interview with Slavoj Žižek,” Assemblage, 33 (Agustus, 1997), hal 63.
166
Guattari, “Everybody...”, hal. 92.
167
Ibid., hal. 93.

Universitas Indonesia
84

‘republikanisme posmodern’168—sebagaimana penulis lihat pada semangat Global


War on Terror Amerika Serikat semasa pemerintahan George W. Bush, Jr.

Butler dan Kristeva: Dari subyeksi sampai abyeksi


“The abject has only one quality of the object—that of being opposed to I. ... ‘I’ want
none of that element, sign of their desire; ‘I’ do not want to listen, ‘I’ do not assimilate
it, ‘I’ expel it.”
Julia Kristeva169
Konsekuensi subyek Lacanian berikutnya adalah abyeksi (abjection). Adalah
Julia Kristeva, dan berikutnya diteruskan Judith Butler, yang membawa khazanah
abyeksi dalam diskusi seputar proses-proses formasi subyek melalui imposisi-
imposisi dari otoritas kultural Simbolik—subyeksi. Bagi Kristeva (dan Butler),
subyeksi dan abyeksi merupak hal yang tak terpisahkan, ibarat dua sisi pada satu
koin. Subyeksi selalu mensyaratkan abyeksi; dan sebaliknya abyeksi merupakan
konsekuensi tak terelakkan dari subyeksi. Subyeksi merupakan proses penggambaran
(delineation) batas-batas demarkasi diri sang subyek oleh otoritas Simbolik; proses
dari diri menjadi (becoming) suatu ‘subyek’.170 Otoritas Simbolik, dengan demikian
menentukan yang mana subyek dan yang mana nir-subyek; yang mana aku dan nir-
aku. Jadi, adalah otoritas Simbolik yang memberikan “criteria of intelligibility which
produce and vanquish bodies that matter.”171

Proses penggambaran kriteria demarkasi subyek ini, semenjak ia yang


mengkualifikasi dan mendiskualifikasi tubuh, mensyaratkan suatu mekanisme
inklusi/eksklusi: meng-inklusi elemen-elemen yang “sah” sebagai subyek, dan meng-
eksklusi elemen-elemen yang “tidak sah” sebagai non-subyek. Ekslusi inilah yang
disebut Kristeva sebagai abyeksi—proses penyingkiran, penolakan, pembuangan atau
deteritorialisasi secara permanen akan “‘something’ which I do not recognize as a

168
Paul A.Passavant, “Introduction: Postmodern Republicanism,” P.A. Passavant dan J. Dean,
Empire’s New Clothes: Reading Hardt and Negri (NY, London:Routledge, 2004), hal 1-20.
169
Julia Kristeva, The Powers of Horror: An Essay on Abjection, terj. L. S. Roudiez (NY:
Columbia Uni Press, 1982), hal. 1 dan 3.
170
Butler, The Psychic, hal. 2.
171
Butler, Bodies, hal. 14.

Universitas Indonesia
85

thing.”172 Seperti petikan epigraf di atas, abyek adalah yang mewakili segala gagasan
yang bukan “aku”, sehingga “aku” pun jijik akannya, tidak sudi bersentuhan
dengannya, menolak membayangkan tentangnya. Abyek adalah segala sesuatu yang
mengganggu pertama-tama identitas subyek, dan berikutnya seluruh tatanan sistem
subyeksi Simbolik. Dalam pengertian ini, abyek bisa diasosiasikan dengan monster,
sebagaimana Richard Devetak, “Monsters have thus been a visible and disturbing
presence. They symbolise deviance, madness, depravity, brutality, violence, and are
thought to threaten civilisation and social order.”173

Menyambung pembahasan sebelumnya tentang hasrat narsistik akan dominasi


suatu penanda identitas ke-diri-an, maka subyeksi, yang darinya subyek memperoleh
penanda identitas ke-diri-annya, merupakan proses yang dihasrati subyek. Semenjak
subyeksi dan abyeksi merupakan dua hal tak terpisahkan, maka sang subyek juga
tentunya menghasrati abyeksi. Kristeva menyadari ini, “[a]bjection, ... is a
preconditon of narcissism.”174 Jadi, “The more or less beautiful image in which I
behold or recognize myself rests upon an abjection that sunders it...”175; semakin
subyek mengagumi dan mencintai identitas ke-diri-annya, maka semakin bencilah ia
terhadap abyeknya. Alasannya sederhana, dalam abyek, subyek melihat horor:
ketiadaan dirinya, keruntuhan makna yang diyakininya, instabilitas tatanan yang
menyanggahnya, irasionalitas yang menghantui nalarnya, bahkan kematiannya.

Dalam kategori Lacanian, abyek berasal dari ranah-Riil. Dalam proses


formulasi simptom (subyek atau realitas) Lacanian, adalah abyek yang disingkirkan
(foreclose) dan disangkal (disavow) dari tatanan Simbolik yang sedang berlangsung
karena keberadaannya yang mengancam stabilitas, normalitas dan keberlangsungan
simptom. Alhasil, abyek terdesak masuk ke dalam ranah ketaksadaran. Akhirnya,

172
Kristeva, The Powers, hal. 2.
173
Richard Devetak, “The Gothic scene of international relations: ghosts, monsters, terror and the
sublime after September 11,” Review of International Studies, 31, (2005), 633.
174
Kristeva, The Powers, hal. 13.
175
Ibid.

Universitas Indonesia
86

sebagaimana telah dibahas, simptom menggunakan penanda simbolik untuk


menguncinya, menormalisasinya, dan berusaha mengkanalisasi ekses-eksesnya ke
muara-muara yang dapat “ditolerir” secara kultural. Proses normalisasi ini pada titik
“kematangan” tertentu akan mengubah simptom tersebut menjadi suatu
metafisika/logosentrisme tersendiri. Sebagaimana metafisika, simptom menjadi tidak
dipertanyakan, subyek akan membuat pembenaran-pembenaran apologetik akan
kontradiksi simptom, ritual-ritual simptom akan dijalankan secara rutin, dan abyek
akan terus dikutuk-kesumat.176 Terjadi skandal antara subyek dengan simptomnya
untuk terus-menerus merepudiasi abyek demi kebaikan bersama—subyek dengan
realitasnya. 177

Penting bagi penulis untuk menghadirkan pula pemikiran Luce Irigaray


tentang yang-feminin sebagai yang tereksklusi dari metafisika phallogosentrisme.178
Adalah metafisika phallogosentrisme yang memproduksi, meminjam Butler, “kriteria
ideal” yang meregulasi dan mengkualifikasi tubuh sebagai yang sah atau tidak.179
Irigaray memperingatkan (utamanya kaum feminis) untuk tidak terjebak pada kriteria
yang-feminin (lemah lembut, emosional, anggun, dst.) sebagaimana diproduksi oleh
metafisika phallogosentrisme, atau yang disebutnya feminin spekular (specular
feminine).180 Feminine spekular diproduksi atau “dispekularisasi” secara simetris
dengan takaran yang-maskulin (kuat, rasional, gagah, jantan, dst), untuk kemudian
disubordinasi sebagai “kelas dua”: Irigaray memformulasikan, “A man minus the

176
Kristeva juga menguhubungkan abyeksi dengan gagasan relijiusitas. Abyeksi selalu emngiringi
perkembangan agama-agama dunia dalam bentuk yang secara relijius disebut-sebut ‘tabu’, dan dalam
ritus pemurnian diri (pantang, puasa, pengakuan dosa, penengkingan setan, permohonan ampunan, dan
tentu saja, pertobatan). Lih. Ibid., hal. 17 dan terutama Bab 4.
177
Bdk. Ibid., hal. 20.
178
Phallogosentrisme merupakan gabungan dari phallus dan logosentrisme. Phallus menandakan
otoritas maskulin, sementara logosentrisme merupakan metafisika yang mendasari otoritas
phallus/maskulin tersebut.
179
Inilah politik tubuh bagi Butler, yaitu penguasaan wacana tentang bagaimana bentuk tubuh yang
seharusnya, bagaimana postur/fungsi tubuh yang seharusnya, apa saja anggota tubuh yang seharusnya,
dst. Perbincangan menarik tentang ini lihat sesi percakapan Judith Butler dan seniman “cacat” asal
Kanada Sunaura Taylor dalam Astra Taylor, Examined Life: Philosophy Is in the Streets! (Zeitgeist
Films, 2008).
180
Luce Irigaray, The Speculum of the Other Women, terj. G.C. Gill (Ithaca, NY: Cornell Uni
Press, 1985)

Universitas Indonesia
87

possibility of (re)presenting oneself as a man = a normal woman.”181 Sehingga


siapapun yang ingin menjadi “kelas satu”, apapun jenis kelaminnya, ia harus
mengidentifikasi diri dengan yang-maskulin. Jadi apabila feminin spekular ini yang
menjadi basis pergerakan emansipasi (perempuan), maka sudah pasti ia hanya
memperkuat metafisika phallogosentrisme dominan.
“Woman does not exist,” seruan terkenal Lacan.182 Irigaray pun bernada
serupa, “‘She’ neither has nor is a being”.183 Seruan ini penulis kira bukan semata-
mata seruan patriarkal maskulin-sentris, semenjak yang-maskulin dan yang-feminin
adalah selalu bentukan wacana patriarkal maskulin/phallogosentrisme. Sebaliknya,
seruan tersebut adalah peringatan bahwa kategori ‘yang-feminin’ sejatinya tidak
dikenal oleh wacana patriarkal phallogosentrisme. Yang-feminin adalah abjek bagi
masukulin-feminin spekular. Yang-feminin bagi Irigaray adalah sesuatu yang eksesif,
sesuatu yang luput dari spekularisasi kekuasaan patriarkal dominan. Yang-feminin
tidak terkungkung tubuh biologis saintifik yang berpayudara, bervagina, dst.—
“women, science’s unknown”.184 Yang-feminin adalah yang ditakutkan oleh
phallogosentrisme, karena keberadaannya mengganggu stabilitas, normalitas dan
kontinuitas tidak hanya akan kekuasaannya, melainkan juga ontologi keberadaanya;
yang-feminin adalah “those females who can wreck the infinite”185. Yang-feminin,
dalam hal ini, adalah berasal dari yang-Riil. Sehingga wajar bahwa yang-feminin
akan selalu “dikejar-kejar” dan diburu oleh aparat Simbolik untuk didomestifikasi,
direhabilitasi—untuk menjadi perempuan yang sakinah (mungkin), atau bahkan
dilenyapkan sama sekali.

181
Irigaray, Ibid., hal. 27.
182
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan, Book XX. Encore 1972-1973. On Feminine
Sexuality The Limits of Love and Knowledge, peny. J-A. Miller, terj. B. Fink (NY, London: W.W.
Norton & Company, 1998), hal. 7. Žižek berseloroh menambahkan, “so if woman does not exist, man
is perhaps simply a woman who thinks that she does exist.” Žižek, The Sublime, hal. 82.
183
Luce Irigaray, Marine Lover of Friedrich Nietzsche, terj. G.C. Gill. (New York: Columbia
University Press, 1991), hal. 86.
184
Irigaray, Ibid., hal 13.
185
Kristeva, The Powers, hal 157.

Universitas Indonesia
88

Dari Irigaray, melengkapi Kristeva dan Butler, dipahami bahwa gagasan


abyek selalu merupakan gagasan yang diproduksi oleh otoritas Simbolik dominan. Ia
tidak ada begitu saja, melainkan diciptakan sedemikian rupa untuk diinjak, dieksklusi
dan disingkirkan. Namun paradoksnya, justru tindakan eksklusi ini yang menjadi
unsur konstitutif bagi keberadaan subyek.186 Penciptaan dan eksklusi abyek
merupakan conditio sine qua non bagi eksistensi subyek. Selama ada subyek, maka
akan ada abyek. Terdapat hubungan yang sangat “intim” antara subyek-abyek ini,
atau lebih tepatnya meminjam Lacan, “ekstim”—intimitas eksterior.187 Ekstimitas
inilah yang menjadi fokus studi penulis kali ini: tentang ekstimitas antara negara
berdaulat modern dengan entitas-entitas abyek yang dieksklusinya dalam perjanjian
Westphalia 1648; dan juga tentang ekstimitas antara Amerika Serikat yang ingin
mengembalikan kedigdayaanya dengan tidak hanya teroris, tetapi juga sebagaimana
yang akan penulis tunjukkan, demokrasi dan kemanusiaan secara umum.

II. 3. Psikogenealogi
“Every truth has the structure of fiction. ... Once the separation between the fictitious
and the real has been effected, things are no longer situated where one might expect”
Jacques Lacan188

“Truth is a thing of this world. ... Each society has its regime of truth, its ‘general
politics’ of truth: that is, the types of discourse which it accepts and makes function
as true.”
Michel Foucault189

Bagian ini merupakan muara dari kedua teori yang penulis bahas
sebelumnya—yaitu teori rezim dan teori psikoanalisis, sekaligus upaya intelektual
penulis untuk menyusun suatu kerangka analisis baru yang sesuai untuk menganalisis

186
Hal serupa juga terjadi dalam kajian HI. Lihat Jane L. Parpart dan Marysia Zalewski, peny.,
Rethinking the Man Question: Sex, Gender and Violence in International Relations (London, NY: Zed
Books, 2008).
187
Jacques Lacan, The Seminar. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis, 1959-60, peny. J .-A.
Miller, terj. D . Porter, NY, London: W.W. Norton & Company, 1992), hal. 139.
188
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan. Book VII: The Ethics of Psychoanalysis (1959-
1960), peny. J-A. Miller, terj. D. Porter (NY: W.W. Norton & Company, Inc., 1992), hal. 12.
189
Michel Foucault, “Truth and Power”, dalam Power/Knowledge: Selected Interviews & Other
Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 131.

Universitas Indonesia
89

suatu rezim secara umum, dan rezim kedaulatan secara khusus (dan rezim kedaulatan
dalam studi ini lebih spesifiknya). Kerangka analisis baru ini penulis sebut sebagai
psikogenealogi. Sebagaimana tersirat dari namanya, psikogenealogi merupakan
gabungan antara psikoanalisis dan genealogi, lebih spesifiknya, psikoanalisis
Lacanian dan genealogi Foucauldian.190 Dengan genealogi, Foucault tidak bermaksud
analisis tentang asal-usul. Lebih dari itu, genealogi merupakan analisis tentang
peristiwa apa saja yang terjadi pada asal-usul tersebut, atau dalam kalimat Foucault,
“genealogi akan mengembangkan rincian dan peristiwa yang menyertai setiap
permulaan.”191 Genealogi merupakan sejarah masa kini (history of the present), ia
mencari tahu bagaimana situasi yang dianggap normal, baik, wajar dan lazim di masa
kini bisa dimungkinkan. Bagi Foucault, sejarah adalah proses normalisasi; yang
normal telah dan akan selalu menjalani suatu proses untuk dijadikan normal; tidak
ada sesuatu yang normal dengan sendirinya. Dengan demikian, genealogi
Foucauldian berusaha melacak suksesi suatu diskursus yang saat ini dianggap normal
dalam kaitannya dengan konstelasi kekuasaan di masanya. Sejarah merupakan
pertarungan wacana merebut tahta “kebenaran” yang hegemonik; sejarah penguburan
wacana-wacana yang kalah; sejarah stigmatisasi rendah wacana-wacana minor.

Psikogenealogi, dengan demikian, melihat pertarungan wacana untuk menjadi


rezimik dan hegemonik sebagai pertarungan subyek-subyek hasrat untuk menjadikan
mode hasratnya sebagai suatu hasrat yang normal, yang wajar, yang sah, yang valid,

190
Foucault memang sangat benci pada psikoanalisis. Namun demikian bukan berarti sintesis di
antara foucauldianisme dan psikoanalisis adalah tidak mungkin dilakukan. Jika Foucault menolak
melakukannya, bukan berarti orang lain, penulis misalnya, dilarang melakukannya. Penulis justru
melihat potensi besar dalam penggabungan keduanya. Judith Butler juga melakukan sintesis keduanya,
walaupun dengan cara yang berbeda dari yang penulis lakukan. Butler lebih menekankan bagaimana
kekuasaan a la Foucault memproduksi psikis yang patuh, sementara penulis lebih menekankan
kontestasi kekuasaan Foucault yang menurut penulis merupakan kontestasi subyek gegar Lacanian
untuk memperoleh perasaan ke-diri-annya yang utuh. Lihat Judith Butler, The Psychic Life of Power:
Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press, 1997), hal. 197-8. Untuk posisi Foucault
terhadap psikoanalisis, lihat Michel Foucault, “The Confession of the Flesh,” dalam M. Foucault,
Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon
Books, 1980), hal. 192-228.
191
Michel Foucault, “Nietzsche, Genealogy dan Sejarah,” dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir
Politik, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 325.

Universitas Indonesia
90

dan yang universal. Sejarah, dengan demikian, merupakan pertikaian subyek-


subyek tersebut dalam upayanya untuk saling mengabyeksikan, menyingkirkan,
mendeteritorialisasi satu sama lainnya. Sejarah adalah clash among fascists:
siapa yang kalah, ia tersingkir dan dilenyapkan zaman; siapa yang menang, ia
menjaga keutuhan dan kesinambungan eksistensi dirinya.

Perjuangan fasistik adalah perjuangan paranoid untuk selalu mengantisipasi


kehancuran identitas ke-diri-an dengan tak kenal lelah membangun diri yang (lebih)
kokoh dan (lebih) sempurna. Semenjak ia bersifat paranoid, bayang-bayang ketiadaan
eksistensial akan selalu membayangi subyek fasis tersebut, dan pada gilirannya akan
senantiasa mendorongnya untuk melakukan mekanisme antisipasi defensif.
Mekanisme pertahanan fasis sebaiknya dipahami sebagai sesuatu yang agresif dan
membabi-buta ketimbang sesuatu yang pasif dan bersifat menunggu. Sisi paranoid
dari fasis membuatnya tidak tahu dengan pasti sumber kegelisahan eksistensialnya:
apa, siapa, kapan dan dari mana ancaman teror akan identitas ke-diri-annya berasal
adalah hal yang tidak jelas baginya; yang jelas: “diri saya sedang dalam bahaya!”
Teror akhirnya masuk dan mengkontaminsai sistem kesadaran. Kekerasan teror itu
sendiri pada akhirnya direproduksi terus-menerus secara membabi-buta, korban
berjatuhan, diri semakin terluka: inilah kerinduan fasistik.192 Subyek fasis tak lain
adalah “gila perang” dan “gila kekuasaan.”

Dengan mendekati perjuangan fasisme secara psikogenealogis, maka dengan


jelas dapat dilihat bahwa inti perjuangan fasis adalah ide, yaitu ide tentang ke-diri-an
yang utuh. Fasisme adalah perjuangan ideal. Berbicara tentang yang-ideal, maka tidak
akan bisa dilepaskan dari fase cermin Lacanian. Yang-ideal adalah selalu imaji yang
disediakan oleh cermin bagi diri; yang-ideal adalah selalu berupa citraan. Yang-ideal
ini akan memberi tahu diri seperti apa (dan yang bukan seperti) yang seharusnya
diupayakan oleh diri, atau dengan kata lain, yang-ideal memberi tahu yang mana

192
Slogan Fasis, sebagaimana Žižek: “enough of enjoyment, enough of debauchery: a victim is
necessary.” Žižek, “Everything...”, hal 63.

Universitas Indonesia
91

subyek dan yang mana abyek, yang mana “ada” dan yang mana “tiada.” Citraan
cermin yang-ideal akan menunjukkan tindakan apa yang seharusnya dilakukan diri,
seperti apa diri harus tampak, pakaian apa yang harus diri pakai, kata-kata apa yang
harus diucapkan diri, pose apa yang harus sering diperagakan diri, bahasa apa yang
harus dipergunakan diri, dst. Citra ke-diri-an ideal—penanda utama (master signifier)
bagi Lacan—inilah yang mati-matian dikejar oleh sang diri fasis. Semakin cermin ini
menunjukkan citraan yang jauh berbeda dari kondisi diri saat ini, semakin getir
kegelisahan diri akan ke-diri-annya, dan semakin gigih ia mengupayakan
terwujudnya citra tersebut bagi dirinya.

Diri, dengan demikian, menjadi alat yang menghamba dan melayani


kepentingan perjuangan sang fasis demi ide ke-diri-an yang utuh ini. Inilah
pentingnya melingustisasi “diri” sebagaimana penulis tekankan di awal bab ini;
melepaskan “diri” dari rujukan biologisnya yang berupa tubuh manusia; diri adalah
efek bahasa, efek kekuasaan, efek Simbolik dominan. Kegagalan atribut-atribut
simbolik memberi “diri” bagi sang fasis inilah yang senantiasa menjadi tanah subur
bagi berkembangnya kegelisahan eksistensial paranoid. Tidak hanya itu, sang fasis
pun akan kembali dan kembali meminta “pertanggungan-jawab” dari yang-Simbolik
untuk memberi “diri” yang lain dalam bentuk apapun—mulai payudara silikon, alat
kelamin baru, busana bermerk, tubuh kekar six pack, sampai komunitas, agama,
negara, dan organisasi internasional—yang dapat menenangkan kegelisahan
eksistensialnya. Fasis akan terus berupaya mengamankan, bahkan memperluas gestalt
diri-nya sampai tak terhingga, sepanjang hal itu memberikan perasaan ke-diri-an yang
utuh bagi sang fasis. Diri, akhirnya, tak lain adalah mesin perang fasis untuk
memperjuangkan gagasan ke-diri-an yang utuh, dan nama lain bagi gagasan ke-
diri-an yang utuh ini tak lain adalah kedaulatan.193 Dalam studi ini penulis akan

193
Untuk ini, penulis amat berhutang pada ide Richard Dawkins yang melihat manusia semata-
mata sebagai kendaraan (vehicle) bagi gen-gen kultural—yang disebutnya meme—untuk bereplikasi,
dan bereplikasi, dan bereplikasi secara terus-menerus. Dua buku seminalnya, Richard Dawkins, The
Extended Phenotype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi (Oxford: Oxford Uni
Press, 1989)

Universitas Indonesia
92

menunjukkan bagaimana tubuh manusia dan negara hanya semata-mata merupakan


kontainer sementara bagi ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat. Studi ini juga akan
menunjukkan kontinuitas di antara keduanya, dan bahkan memprediksikan
kontinuitas ide ke-diri-an pasca negara gagal mengemban tugasnya dalam
memelihara ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat tersebut.

Jadi, secara analitis, gambar besarnya adalah sebagai berikut: Semenjak


subyek dicirikan secara ontologis dengan kegegarannya, maka ia akan senantiasa
mengkonstruksi fantasi untuk mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela
menundukkan diri di bawah fantasi tersebut. Fantasi tidak akan pernah habis, sama
seperti kekurangan fundamental manusia yang abadi. Ada saatnya fantasi keutuhan
itu dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan tribal, nasional, bahkan seksual. Ikatan
inipun dimanifestasikan dengan simbol-simbol tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak
akan pernah cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikatannya
dengan fantasi yang lebih luas lagi, dan menciptakan simbol lain lagi.
Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi, tentu ada subyek fasis lainnya yang harus
tersingkir—diabyeksikan. Tentunya pergesekan akan terjadi, bahkan tidak menutup
kemungkinan peperangan: perang diskursus, permainan bahasa, bahkan perang fisik.
Dari gambar besar ini sekiranya jelas dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu
individu, telah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya
didefinisikan sebagai, lebih dari antagonisme kelas Marxian, melainkan antagonisme
fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha menetralisir ekspansi fasisme
tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas. Poinnya adalah ini:
bukan kolektivitas yang menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis
mampu memanipulasi hasrat fasis lain, menguncinya pada domain simbolik, dan
melakukan ekspansi diskursifnya.

Paradoks bagi perang di antara fasis adalah bahwa perang tersebut selalu
didedikasikan demi gagasan-gagasan universal seperti perdamaian, kemajuan, dan
kebenaran, seperti kata filsuf Greko-Roman Tacitus, “they make slaughter and they

Universitas Indonesia
93

call it peace.” 194 Hal ini demikian karena gagasan-gagasan inilah yang memberikan
semangat, motif, atau cause bagi perjuangan fasistik. Gagasan ini tak lekang di
makan zaman, ia pun tak bisa dikorupsi. Fasis adalah fanatik, idealis, dan radikal
dalam memperjuangkan gagasan-gagasan universal ini, karena hanya dalam gagasan-
gagasan inilah identitas ke-diri-an yang utuh dan berdaulat bagi fasis ditemukan.
Seruan-seruan fasistik, misalnya “Indonesia butuh pemuda-pemudi yang patriotik,”
“Demokrasi membutuhkan subyek-subyek rasional,” atau juga seruan Abdul Aziz
alias Imam Samudra,
“adalah seorang mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad). Mereka (mujahidin)
dalam sebuah operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada tandingannya,
dengan menggunakan pesawat terbang musuh berhasil menghajar berhala
kebanggaan AS.”195

Tapi apakah definisi diri-diri ini—“pemuda-pemudi patriotik,” “subyek-subyek


rasional,” dan “mujahidin”? Tidak akan terdapat definisi manunggal yang fix bagi ini
semua. Kegagalan, bahkan ketidak-mungkinan gagasan universal tersebut memberi
“diri” utuh yang fix bagi fasis, bukannya membuat sang fasis meninggalkan gagasan
tersebut, malah membuatnya semakin gigih dan garang mempertahankannya. Sekali
lagi, karena sifatnya yang metafisik, gagasan tersebut tidak akan bisa korup dan
lekang. 196

Adalah menarik, dan penting, untuk tidak melihat gagasan-gagasan universal


tersebut secara substansial, melainkan secara fungsional. Apapun makna gagasan
(yang notabene juga medan kontestasi pemaknaan), secantik apapun surga yang
dijanjikannya, dan seberat apapun syarat-syarat untuk menjadi pembelanya, gagasan-
gagasan tersebut memiliki fungsi untuk menjadi pembenar bagi tindakan-tindakan
para subyek fasis. Dengan menggeser cara pandang srukturalis—yaitu struktur

194
Dikutip dari Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), hal.
3.
195
Abdul Aziz, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera, 2004), hal. 185-6.
196
Penulis amat sangat menyesalkan bagi analisis-analisis ekonomistik yang mengaku ilmiah dan
empiris yang mereduksi prilaku fasis sebagai semata-mata akibat keterpurukan dan keterbelakangan
ekonomi dan pendidikan. Sekali lagi penulis tekankan: fasisme adalah utamanya persoalan hasrat, dan
ekonomi hanyalah bersifat sekunder.

Universitas Indonesia
94

menentukan prilaku subyek—ke arah yang lebih “humanistik,” maka dapat dilihat
bahwa tidak selamanya struktur menguasai subyek, melainkan terjadi gerak
sebaliknya, yaitu saat subyek memaknainya (sering kali secara buta) dan mempolitisir
pemaknaan struktur demi membenarkan tindakan-tindakannya. Terjadi over-
determinasi antar struktur-subyek. Sehingga dari pandangan ini, gagasan-gagasan
universal tadi tak ubahnya sebuah komoditas bagi eksistensi sang subyek;
universalitas merupakan suatu ‘komoditas kedaulatan’. Bila pada ekonomi,
komoditas berarti apa saja yang bisa dijual demi mendatangkan profit, maka dengan
sedikit modifikasi, komoditas kedaulatan merupakan apa saja yang bisa “dijual,”
dijadikan retorika, dan dijadikan landasan bagi lestarinya (status quo) kedaulatan.
Semenjak kedaulatan adalah suatu hal yang mustahil bagi subyek fasis, maka subyek
fasis aka berupaya mengkompensasinya dengan terus-menerus mengkomodifikasi
gagasan-gagasan universal tersebut. Sebagai contoh, saat pemerintah berkata
“pemerintah akan berusaha keras memperjuangkan kesejahteraan rakyat,” maka
bukan kesejahteraan rakyat yang menjadi hasrat pemerintah, melainkan eksistensi
pemerintah sebagai pejuang dan penyedia kesejahteraan rakyat yang dihasratinya.
Contoh lain, “sebagai mahasiswa, saya tidak bisa tinggal diam melihat penindasan
dimana-mana”—bukan perlawanan terhadap penindasan yang menjadi hasrat saya,
melainkan kerinduan narsistik akan sosok mahasiswa yang heroiklah yang menjadi
obyek hasrat saya. Akhirnya, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh subyek fasis, pada
dasarnya dimotivasi untuk memperkuat dan memperkokoh eksistensinya sendiri
sebagai sang berdaulat.

Wacana kebenaran universal, sebagaimana dipahami secara psikogenealogis,


bukan hanya berkaitan dengan argumentasi, justifikasi, pendasaran filosofis-idiologis,
dan rationale bagi suatu norma atau nilai. Ia juga bukan semata-mata berkaitan
dengan suatu kepentingan yang terselubung. Lebih jauh dari itu, Ia merupakan
bungkus dari serat-serat ketaksadaran subyek pengujarnya. Ia adalah kotak pandora
yang menyegel rupa-rupa hasrat terlarang. Ia merupakan pengkodean (coding) sejarah
kelam represi hasrat. Ia adalah simptom yang mengunci rapat-rapat kegegaran dan

Universitas Indonesia
95

antagonisme yang mengiringi sejarah realitas dan subyek, dan para subyek
bersekongkol untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan wajar, dan
bekerja-sama untuk menyingkirkan wacana-wacana dan subyek fasis lainnya yang
dianggap mengganggu stabilitas wacananya. Persekongkolan ini direproduksi terus-
menerus sampai ia menjadi suatu ketaksadaran kolektif. Sampai di sini, sebagai
sebuah wacana kebenaran universal, rezim adalah skandal diskursif.

Semenjak analisis a la psikoanalisis adalah selalu simptomatik, maka untuk


menganalisis wacana ini adalah penting untuk mengangkatnya ke status simptom
Lacanian. Sekedar mengulas pembahasan sebelumnya, simptom selalu menyimpan
ketaksadaran yang telah terkodekan secara rapi oleh yang-Simbolik. Kerja analisis
dalam psikoanalisis dengan demikian adalah membongkar sublimasi atau kristalisasi
hasrat tak sadar dalam rupa-rupa simptom ini. Psikoanalisis mengangkat dimensi-
dimensi yang-tak-terperikan (unbearable) yang secara tak sadar direpresi dan
ditambal dengan narasi fiktif fantasmik ideal normatif. Secara umum kerja psiko-
analisis terdiri dari tiga tahap: 1) Mengembangkan transferensi, atau memancing
sejumlah wacana dari subyek yang menjelaskan keadaannya—hubungannya dengan
dirinya, hasratnya dan realitas. Wacana ini adalah simptom sang subyek sekaligus
menjadi petunjuk untuk memasuki kekelaman hasrat yang direpresi subyek. Pada
tahap ini, analis harus “attentive to the ‘un-said’ that lies in the holes of the
discourse.”197 Adalah penting untuk ditekankan bahwa status wacana ini adalah
bukan menginformasikan kebenaran, melainkan memantik kebenaran—
ketaksadarannya. 198

2) Interpretasi wacana/simptom. Interpretasi yang dimaksud bukanlah


menunjukkan makna otentik dari wacana subyek. Lacan menggunakan kata “ralat”
(rectification) untuk menjelaskan interpretasi ini.199 Ralat yang dimaksud adalah
bagaimana analis mampu menunjukkan bahwa melalui wacana-wacananya, subyek
197
Lacan, Écrits, hal. 93.
198
Ibid., hal. 86.
199
Ibid., 237.

Universitas Indonesia
96

keliru memahami hubungan dirinya dengan hasratnya yang sesungguhnya, dan bahwa
wacana-wacana tersebut sebenarnya adalah kreasinya sendiri untuk mengkompensasi
ketaksadarannya akan hasratnya. Hubungan “subyek-realita” yang diwacanakan
subyek harus mampu diralat menjadi “subyek-fantasi-realita.” Jadi sekiranya jelas,
interpretasi ini tidak ada kaitannya dengan makna-memaknai, malahan ia adalah suatu
pembongkaran makna yang susah payah disusun oleh sang subyek untuk
menyelamatkan ego/ke-diri-annya dari inkonsistensi. Destabilisasi subyek adalah
tujuan utama tahap ini. Sekedar klarifikasi, jadi sebenarnya simptom tersebut, sedari
mula, adalah suatu “kebohongan” yang bahkan tak disadari oleh sang subyek. Analis
membiarkannya meracau wacana-wacana tersebut, membiarkannya menyelesaikan
narasi hidupnya yang dramatis, dan akhirnya mengobrak-abrik cerita tersebut dengan
menunjukkan yang-Riil dari wacana tersebut.

3) Akhir analisis (the end of analysis), sebagaimana Lacan menyebutnya,


merupakan tahap dimana transferensi diakhiri dengan subyek menyadari kebenaran
(yang-Riil) dalam wacananya, yaitu bahwa ada “wacana lain” dalam wacananya—
yaitu wacana ketaksadarannya. Peran analis adalah mendorong subyek untuk
“melampaui fantasinya” (traversing the fantasy), yaitu dengan mengakui bahwa
wacana/simptom yang telah diracaukannya adalah justru merupakan pendukung
keberadaan sang subyek. Subyek didorong untuk menerima kenyataan bahwa hal-hal
“patologis” yang dikeluhkannya, justru yang menyelamatkannya dari ketiadaan
eksistensial sama sekali—psikosis/mati. Subyek pun didorong untuk
mengidentifikasikan diri dengan simptomnya, dan menemukan tempatnya dalam
kegegarannya tersebut, ketimbang dalam citraan-citraan ideal yang menghantuinya.
Dengan berdamai dengan simptom dan mengakui bahwa citraan-citraan ideal tersebut
adalah alien yang akan senantiasa menyiksanya, maka sang subyek akan selamat dari
kehancuran eksistensial yang lebih parah.

Terkait simptom ada dua hal yang perlu diklarifikasi: struktur simptom secara
umum dan struktur simptom yang mengambil bentuk berupa wacana. Secara umum

Universitas Indonesia
97

ada tiga elemen dalam struktur simptom: bentuk simptom itu sendiri, isi latennya,
dan ketaksadaran yang direpresinya. Kesalahan yang sering terjadi adalah
mencampur-adukkan antara isi laten dari simptom dengan ketaksadaran. Hasrat tak
sadar tidak berhubungan dengan isi laten dari simptom; tidak ada rahasia di balik
bentuk dari simptom. Lokus hasrat tak sadar justru terletak pada proses sublimasi isi
laten tersebut menjadi bentuk simptom itu sendiri. Pertanyaan yang relevan untuk
diajukan, dengan demikian bukanlah “apa maksud dari simptom tersebut?” melainkan
“mengapa maksud dari simptom tersebut mensyaratkan bentuk simptom yang seperti
itu, dan bukan yang lainnya?”

Sebagai contoh, penulis akan membahas contoh kasus seorang teman penulis
dengan nama samaran “Anna X”.200 Anna X memiliki problem dalam curhat (curahan
hati, sharing). Ia mengalami kesulitan dalam menceritakan seluruh isi hatinya saat
curhat. Ia tidak ingin terlihat lemah dan cengeng saat curhat, sehingga saat curhat ia
selalu “menyensor” ceritanya seraya menunjukkan gestur seolah-olah ia tegar dalam
menjalani permasalahannya. Dari interpretasi penulis akan wacana Anna X, penulis
meralat wacananya dengan menunjukkan kontradiksi internal dalam wacananya: ralat
pertama, Anna X telah salah-mengira tentang konsep curhat: curhat bukanlah perkara
jujur atau tidak, melainkan perkara katarsis (pelepasan); apakah benar seseorang bisa
benar-benar “jujur” dalam curhatnya?—tidak akan mungkin, bahasa tidak memiliki
cukup kemampuan untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Namun,
permasalahannya bukan di sini. Melainkan justru pada ralat kedua: kenyataan bahwa
bagaimana Anna X menyensor ceritanya, bukanlah sebagai gestur untuk
menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang tegar—sebagaimana yang ia kira
diinginkan oleh lingkungannya, justru sebaliknya, hal tersebut sebenarnya adalah
suatu simptom untuk menambal kegegarannya yang notabene tidak tertahankan
baginya, yaitu bahwa ia sebenarnya ingin bisa benar-benar mencurahkan seluruh isi
hatinya, menangisi keras-keras beban penderitaannya, dan berapi-api mengutarakan

200
Bahasan ini merupakan inti sari dari tulisan penulis di lain kesempatan: Hizkia Y. S. Polimpung,
Curhat dan Baudrillard: Kasus “Anna X”, makalah diskusi Lembaga Studi Urban, April 2009.

Universitas Indonesia
98

sukacitanya yang notabene berpotensi megurangi wibawa ego-ideal subyek tegarnya.


Inilah hasrat yang alih-alih dibiarkan mengalir oleh Anna X, malah direpresi
sedemikian rupa dan dikunci dalam figur subyek tegar imajiner khayalannya.

Hal kedua yang perlu diklarifikasi adalah struktur simptom yang mengambil
rupa dalam wacana—simptom ini akan sangat menentukan bagi studi ini. Lacan
menekankan empat komponen dalam wacana (berikut simbolisasinya): otoritas
Simbolik/sistem universal (S2), citraan Imajiner/ego-ideal (S1), hasrat tak
sadar/obyek a (a), dan subyek gegar ($)—terbelah di antara tarik-menarik Imajiner-
Simbolik dengan pemuasan obyek a.201 Semenjak ego-ideal selalu mensyaratkan
abyeksi, maka susunan komponen tersebut penulis tambahkan citraan abyek (S0)—
“0” untuk melambangkan ketiadaan. Interaksi antara kelimanya adalah sebagai
berikut: suatu wacana yang komplit akan menyiratkan suatu gagasan universal.
Gagasan universal ini akan memproduksi suatu ego yang ideal dengan cara
memberikan kriteria subyek dan abyek. Ego-ideal ini dimaksudkan untuk menambal
kegegaran sang subyek itu sendiri, dan orang lain jika itu diarahkan ke luar dirinya.
Penambalan ini akan memberikan kepuasan tersendiri bagi sang subyek. Apabila
menggunakan contoh Anna X di atas, maka bisa diuraikan sebagai berikut: gagasan
universalnya (S2), “curhatan yang disensor”; ego-idealnya (S1), subyek tegar;
abyeknya (S0), subyek ekspresif dalam curhat; hasrat tak sadar (a), kerinduan untuk
menumpahkan seluruh keluh kesah via curhat; subyek gegar ($), Anna X sendiri yang
terjebak di antara ego-ideal (S1) dan hasrat tak sadarnya (a).

Terakhir, studi ini hanya akan menempuh dua tahap pertama dalam analisis
saja: yaitu mengumpulkan simptom, dan meralatnya. Tahap ketiga tidak penulis
lakukan karena: pertama, secara etis, ia adalah hal yang sama sekali tidak mungkin

201
Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan. Book XVII. The Other Side of Psychoanalysis,
peny. J.-A. Miller, terj. R. Grigg (NY, London: W.W. Norton & Company, 2007)

Universitas Indonesia
99

dilakukan dengan bantuan penulis—sang subyek harus melakukannya sendiri; dan


alasan kedua, alasan metodologis, karena ia bukan merupakan kompetensi studi ini. 202

202
... dan alasan ketiga, alasan pribadi, penulis agak pesimis bahwa “pasien” penulis pada studi ini
akan mau meninggalkan identifikasi narsis-fasisnya akan kedaulatan, dan berbalik mengidentifikasi
diri dengan ketaksadarannya. Sehingga akan menjadi hal yang sia-sia bagi penulis untuk
mengupayakan tahap ini. Berbicara kepada negara (dan antek-anteknya), bagi penulis, adalah berbicara
dengan tembok. Mengupayakan perlawanan adalah lebih berfaedah ketimbang bersikeras bernegosiasi
(mengkritik, menyarankan, menasehati) dengan negara yang mabuk kedaulatan.

Universitas Indonesia
BAB III
PSIKOGENEALOGI NEGARA BERDAULAT MODERN
—OBYEK SUBLIM KEDAULATAN

“The constitution of modernity was not about theory in isolation but about theoretical
acts indissolubly tied to mutations of practice and reality. Bodies and brains were
fundamentally transformed.”
Michael Hardt dan Antonio Negri1

III.1. Prospek
Bab ini merupakan analisis penulis terhadap asal-usul kedaulatan
sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Westphalia. Pada bab ini pendekatan
psikogenealogi yang telah dijabarkan sebelumnya akan dipakai sebagai alat analisis.
Secara umum, bab ini terbagi ke dalam empat bagian besar. Bagian pertama
merupakan eksplorasi pandangan kekinian tentang kedaulatan. Hal ini demikian,
karena genealogi, yang merupakan bagian dari psikogenealogi, adalah sejarah masa
kini, dalam artian ia berusaha melihat bagaimana hal yang normal saat ini, tidak lain
merupakan hasil panjang proses normalisasi di masa lalu. Bagian kedua merupakan
deskripsi konfigurasi sosial politik Eropa pada masa-masa sebelum munculnya
negara modern. Bagian ketiga, berikutnya akan menunjukkan bagaimana dampak
Perjanjian Westphalia bagi konfigurasi sosial politik Eropa tersebut. Akhirnya inti
dari bab ini, bagian keempat, akan menelisik asal-usul libidinal hasrati dari
kemunculan gagasan kedaulatan negara berikut manifestasinya dalam negara
berdaulat modern Westphalia.

III.2. Negara-sentrisme: Dari Statolatri sampai Teologi Politik


CNN : [...] A lot of entertainers have come out against the war in Iraq.
Have you?

1
Michael Hardt & Antonio Negri, Empire (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2000),
hal. 74

103 Universitas Indonesia


104

Britney Spears : Honestly, I think we should just trust our president in every
decision he makes and should just support that, you know, and be
faithful in what happens.
CNN : Do you trust this president?
Britney Spears : Yes, I do.
CNN : Excellent. Do you think he’s going to win again?
Britney Spears : I don’t know. I don’t know that.2

Statolatri
Tidak ada kata lain untuk menggambarkan sikap Britney Spears di atas selain
sebentuk negara-sentrisme yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘statolatri’
(statolatry).3 Secara etimologis, statolatri merupakan kombinasi antara “state” dan
“idolatry,” antara negara dan pemujaan. Secara historis, istilah ini muncul pertama
kali dalam Doctrine of Fascism karya Giovanni Gentile pada tahun 1931 sebagai
karakteristik dasar fasisme, khususnya fasisme Italia. Tak lama berselang, Paus Pius
XI mengkritiknya sebagai “a pagan worship of the state.”4 Gramsci memahaminya
lebih jauh, lebih dari sekedar pemujaan fetistik kepada negara. Statolatri merupakan
suatu efek kekuasaan yang hegemonik. Hegemoni merupakan suatu perluasan
jangkauan kekuasaan, dalam hal ini negara, ke bidang-bidang yang sebelumnya tidak
dijangkaunya. Jadi apabila jangkauan konvensional negara adalah kepatuhan politik
rakyatnya, maka hegemoni memperluas jangkauan tersebut ke arah yang lebih “non-
politis,” seperti budaya. Yang dituju oleh hegemoni, dengan demikian, tidak lagi
suatu gelar kekuatan senjata dan aparatus represif—sekalipun keduanya tetap
dibutuhkan,5 melainkan suatu kepemimpinan kultural, intelektual, bahkan moral:
presiden yang menyanyi, bermain gitar dan bahkan mengeluarkan album (Susilo
Bambang Yudhoyono, Indonesia), menteri luar negeri yang memainkan piano klasik
(Condoleeza Rice, AS), perdana menteri yang gandrung animasi (Taro Aso, Jepang),

2
Britney Spears, “Britney Spears: ‘Trust our president in every decision’,” wawancara dengan
CNN.com, 3 September 2003, diakses dari
http://www.cnn.com/2003/SHOWBIZ/Music/09/03/cnna.spears/ pada 5 Juni 2010.
3
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks,peny. dan penterj., Q. Hoare dan G.N.
Smith (NY: International Publishers), hal 268-9. Lihat juga diskusi kritisnya pada Perry
Anderson,“The Antinomies of Antonio Gramsci.” New Lefr Review, 26 (Nov-Dec 1976).
4
Lihat Emilio Gentile, “New idols: Catholocism in the face of fascist totalitarianism,” Journal of
Modern Italian Studies, 11(2) (June 2006), hal. 143-170.
5
Anderson, “The Antinomies...”, hal. 55.

Universitas Indonesia
105

atau raja yang memainkan saxofon Jazz (Bhumibol Adulyadej, Thailand), untuk
menyebutkan beberapa.

Melalui hegemoni, ikatan di antara negara dan rakyatnya akan menjadi lebih
intim; pemimpin negara akan “[be] able to present itself as an integral ‘State’, with
all the intellectual and moral forces necessary and sufficient for organising a
complete and perfect society.”6 Tidak berlebihan sekiranya Gramsci mengatakan
bahwa dengan hegemoni, negara “attempt to institute a cult of the ‘Supreme Being’
that appears to be an attempt to create an identity between State and civil society, to
unify in a dictatorial way the constitutive elements of the State in the organic, wider
sense (State proper + civil society).”7 Tidak diragukan lagi bahwa keluaran yang
menjadi target hegemoni adalah persetujuan (consent): persetujuan untuk dipimpin
oleh pemimpin negara secara sukarela; suatu “perhambaan sukarela” (voluntary
servitude).8 Persetujuan secara sukarela inilah yang akhirnya menjadi basis legitimasi
kultural, moral, yang bahkan secara tak sadar diberikan oleh rakyatnya. Etienne de la
Boétie telah memperingatkannya lima abad sebelum Gramsci,
“Dia yang begitu mengontrol kalian hanya memiliki dua mata, hanya memiliki dua
tangan, hanya memiliki satu tubuh dan berjumlah tidak lebih banyak dari jumlah pria
yang dimiliki desa kalian. Semua yang dimilikinya adalah alat-alat yang kalian beri
padanya untuk menghancurkan kalian. Dari mana ia mendapatkan mata-mata untuk
memata-matai kalian, jika bukan kalian yang memberikannya? Bagaimana ia bisa
memiliki begitu banyak tangan untuk menghajar kalian jika ia tidak mengambilnya
dari kalian? Kaki-kaki yang menginjak kota-kota kalian, dari mana ia
mendapatkannya jika bukan dari antara kalian? Bagaimana ia bisa memiliki
kekuasaan atas kalian kecuali melalui kalian?”9

Dalam statolatri, negara seolah-olah menjadi sesuatu yang normal, sedemikian


rupa sampai-sampai sering kali membuat imajinasi di luarnya menjadi suatu mustahil:
adalah suatu ketidak-mungkinan bagi suatu kehidupan tanpa ada negara di dalamnya.

6
Gramsci, Selections, hal. 271.
7
Ibid., hal. 170 cat. 71. Penekanan dari penulis.
8
Étienne de la Boétie, Discours de la Servitude Volontaire, dalam P. Bonnefon, peny., Oeuvres
Complètes (Genève: Slatkine Reprints, 1967/1552). Terjemahan bebas penulis.
9
Ibid., hal. 12-3.

Universitas Indonesia
106

Seakan-akan, dalam statolatri, memori kehidupan tanpa negara telah lenyap. 10 La


Boétie juga menekankan, dalam perhambaan sukarela terhadap negara, rakyat akan
merasa puas dengan kehidupan yang mereka jalani sehari-hari, tanpa ada keinginan
untuk mencoba mencari tahu keadaan lain selain yang mereka ketahui; “mereka
menerima sebagai sesuatu yang alamiah kondisi di mana mereka dilahirkan.”11
Akhirnya, statolatri mengangkat negara ke status ahistoris—jika bukan supra-historis,
sesuatu yang seolah-olah terberi (given) begitu saja.

Beberapa alat yang digunakan negara untuk menciptakan suatu statolatri,


beberapa di antaranya adalah wacana nasionalisme dan kewarganegaraan. Melalui
nasionalisme, negara berbicara kepada seluruh bangsa untuk mengidentifikasi dirinya
dengan bangsanya, dan menunda kepentingan pribadinya demi mendahulukan
negara. 12 Wacana kewarganegaraan, selanjutnya, berisi prinsip-prinsip normatif bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi secara individual dalam urusan-urusan
kenegaraan tersebut.13 Apa yang disamarkan dari kedua wacana ini adalah
keberadaan negara. Negara menjadi tidak dipertanyakan dan diasumsikan wajar.
Status quo eksistensi negara sebagai pusat kehidupan sosial politik dengan demikian
akan tetap lestari. Nasionalisme dan kewarganegaraan, akhirnya menjadi suatu
“teknologi politik” (political technology) negara untuk mengamankan populasi
warga-negaranya agar selalu menyetujui keberadaannya.14 Selain dua alat ini,
terdapat pula statolatri lainnya yang bertumbu pada wacana-wacana saintifik
keilmuan: negara-sentrisme dalam studi Politik dan Hubungan Internasional.

10
Bdk. Roland Bleiker, Popular Dissent, Human Agency and Global Politics (Cambridge:
Cambridge Uni Press, 2000), hal. 63.
11
La Boétie, Discours, hal. 22. Terjemahan bebas penulis.
12
Charles Tilly, “States and Nationalism in Europe 1492-1992,” Theory and Society, 23(1)
(February 1994), hal. 133.
13
Etienne Balibar, “Propositions on Citizenship,” terj. S. Critchley, Ethics, 98 (Juli 1988), hal. 723.
14
Lihat diskusi Foucault tentang hal ini dalam kaitannya dengan raison d’etat dan perjanjian
Westphalia. Michel Foucault, Security, Territory and Population: Lectures at the College de France,
1977-78, terj. G. Burchell (Basingstoke: Palgrave Macmilan, 2007), hal. 378-9.

Universitas Indonesia
107

Harus diakui, bahwa setiap orang yang berusaha memahami negara, lantas
menciptakan suatu teori tentangnya akan dihadapkan pada kesulitan fundamental
untuk memahami natur negara berikut kedaulatannya. Respon umum terhadap
kesulitan ini, sebagaimana telah penulis bahas di bab sebelumnya, adalah sikap
solipsisme radikal berkedok ilmiah. Kegagalannya dalam memahami natur negara
dan kedaulatan secara holistik malah ditutup-tutupi dengan dalih-dalih dan justifikasi-
justifikasi pseudo-saintifik, seraya memposisikan diri telah berada di penghujung
akhir atau puncak tertinggi dari penggalian keilmuan dan memberi-tahu pada orang
lain di belakangnya: “tidak ada apa-apa disini, percuma kamu kesini.”

“Akal-akalan” ini bisa dilihat, sembari melengkapi kutipan dari Morgenthau


dan Gilpin pada bab sebelumnya, 15 dari Profesor Alexander Wendt,
“[I]t is necessary to treat states as, at some level, given for purposes of systemic IR
theory ... My claim is that systemic theorists cannot do so because systems of states
presuppose states, and so if we want to analyze the structure of those systems we
cannot “de-center” their elements all the way down ... We cannot study everything at
once, and as such it is important to distinguish criticisms of how a given subject is
being handled from calls to change the subject.”16

Profesor HI yang maha-cerdas lainnya seperti Kenneth Waltz pun juga melakukan
solipsisme seperti ini. Kegagalannya dalam menggambarkan negara secara “realistis,”
berbuntut pada pengasumsian begitu saja tentang sifat “paranoid” negara.
“In a microtheory, whether of international politics or of economics, the motivation of
the actors is assumed rather than realistically described, I assume that states seek to
ensure their survival. The assumption is a radical simplification made for the sake of
constructing a theory.”17

Demi “constructing a theory,” kata Waltz yang langsung menyambungnya dengan


justifikasi, “[permasalahannya] is not whether it is true but whether it is the most
sensible and useful one that can be made.” Demi sebuah teori yang bisa dibilang
“ilmiah,” parsimoni dan “berguna,” keberadaan dan natur negara dengan brutal

15
Lihat hal II-26.
16
Alexander Wendt, Social Theory and International Politics (Cambridge: Cambridge Uni Press,
1999), hal. 244. Penekanan pada teks asli.
17
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Reading, Massachusetts: Addison-Wesley,
1979), hal. 91.

Universitas Indonesia
108

disederhanakan, diasumsikan, di-seolah-olah-kan. Efeknya sudah jelas: status negara


menjadi tidak dipermasalahkan lebih jauh. Sampai titik tertentu, keengganan untuk
memproblematisasi status negara ini akan menjadikan negara sebagai suatu
keyakinan metafisik tersendiri. Supremasi negara menjadi tak tersentuh, bahkan
sampai satu titik menjadi suatu transendensi tersendiri atau, meminjam Carl Schmitt,
suatu teologi politik.18

Teologi politik
“All significant concepts of the modern theory of the state are secularized
theological concepts,” klaim Schmitt.19 Melalui kalimat ini, Schmitt ingin
menunjukkan bahwa seluruh konsep dasar teori negara modern—seperti kedaulatan,
kekuasaan, otoritas, integritas—mendapati akarnya pada teologi. 20 Hanya saja,
konsep-konsep tersebut, seiring dengan semakin menurunnya peran gereja pada abad
modern Eropa, disekularisasi sedemikian rupa dan ditransferkan ke entitas kekuasaan
lainnya, yaitu monarki. Thomas Hobbes, misalnya, menyebut Leviathannya sebagai
suatu “mortal god to which we owe, under the immortal God, our peace and
defence.”21 Bapak filsafat René Descartes pun menyerukan, “it is God who
established these laws in nature just as a king establishes laws in his kingdom.”
18
Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, terj. G. Schwab
(Cambridge: The MIT Press, 1985). Sejauh pengamatan penulis, diskusi seputar gagasan teologi
politik Carl Schmitt di kajian HI belakangan ini cukup marak, lihat terutama Vendulka Kubálková,
“Towards an International Political Theology,” Millennium: Journal of International Studies, 29(3)
(2000) hal 675-704, Mika Luoma-aho, “Political Theology, Anthropomorphism, and Person-hood of
the State: The Religion of IR,” International Political Sociology 3 (2009), hal. 293–309, dan Louiza
Odysseos dan Fabio Petito, The International Political Thought of Carl Schmitt: Terror, Liberal War
and the Crisis of Global Order (London, NY: Routledge, 2007); Jef Huysmans, “The Jargon of
Exception—On Schmitt, Agamben and the Absence of Political Society,” International Political
Sociology 2 (2008), hal. 165–183; Mitchell Dean, “A Political Mythology of World Order: Carl
Schmitt’s Nomos,” Theory, Culture & Society, 23(5) (2006), hal. 1–22; Martti Koskenniemi,
“International Law as Political Theology: How to Read Nomos der Erde?” Constellations 11(4)
(2004), hal. 492–511; David Chandler, “The Revival of Carl Schmitt in International Relations: The
Last Refuge of Critical Theorists?” Millennium: Journal of International Studies, 37(1) (2008), hal.
27–48; Anne-Marie Slaughter, “International Law in a World of Liberal States,” European Journal of
International Law, 6(4) (1995), hal. 503–38.
19
Schmitt, Political Theology, hal. 36.
20
Lihat juga Ernst Kantorowicz, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political Theology
(Princeton, New Jersey: Princeton Uni Press, 1957).
21
Thomas Hobbes, Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Common-wealth Ecclesiastical
and Civil, (McMaster University Archive of the History of Economic Thought, 1651), hal. 106.

Universitas Indonesia
109

Modernitas, dengan demikian, bukanlah suatu pembunuhan sistematis (via seni, ilmu,
filsafat dan negara) terhadap Tuhan, justru sebaliknya, ia adalah suatu masa dimana
Tuhan “diselamatkan dari kematiannya,” dan diberikan manifestasi baru dalam raja
dan negara. Sang theos (Tuhan) mendapatkan tahta barunya dalam teori-teori negara
modern. Penulis akan kembali lagi ke tema ini pada bagian-bagian berikutnya.

Dengan teologi politik, Schmitt sama sekali tidak bermaksud menyediakan


landasan-landasan teologis relijius Katolik—sebagaimana yang dianutnya. Akan amat
menyesatkan pula apabila teologi politik Schmittian ini secara tergesa-gesa
dimengerti sebagai suatu pan-agamaisme dalam teori negara. Schmitt sama sekali
tidak bermaksud memanggil Tuhannya agama-agama untuk masuk ke dalam negara.
Malah sebaliknya, Schmitt ingin menunjukkan bahwa negara yang selama ini
dianggap sekuler, sebenarnya mendasarkan dirinya pada suatu metafisika,
transendensi atau teologi. 22 Pandangan Schmitt ini dapat diverifikasi dengan
memeriksa ulang gagasan fortuna Nicollo Machiavelli, 23 mortal god Thomas Hobbes
dan legibus solutus Jean Bodin. 24

Studi ini juga bisa dibilang sejalan dengan Schmitt, yaitu ingin menunjukkan
suatu teologi politik dalam salah satu gagasan sentral teori negara modern, yaitu
kedaulatan. Namun demikian, inti studi ini berbeda dari Schmitt dalam dua hal,
selain—tentu saja—pendekatan psikogenealogi yang penulis pakai, yaitu pertama
penulis lebih ingin mengeksplorasi prakondisi imanen bagi kemunculan teologi
politik bernama kedaulatan ini; sama seperti Yesus yang perlu rahim Maria dan
22
Schmitt sebenarnya ingin menghajar politik a la liberalisme dan gagasan negara Protestanis-
Liberalis-Birokratis-Instrumentalistik Weberian, yang baginya justru menghilangkan yang-politis (the
political) dari politik itu sendiri. Yang-politis, bagi Schmitt, adalah jauh dari jangkauan logika
konsensus demokrasi liberal dan hukum rasio yang melandasi rutinitas birokrasi rasional Weberian.
Lihat juga karya Schmitt lainnya The Concept of the Political, terj. G. Schwab (Chicago: University of
Chicago Press, 1996).
23
Uraian lugas mengenai fortuna Machiavellian, lihat Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek
Radikal dan Emansipasi di Era Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri,
2010), hal. 218-224.
24
Mortal god Hobbes menunjukkan sang raja/pangeran berdaulat sebagai “tuhan di bumi.”
Sedangkan Legibus solutus yang dimaksud Bodin adalah bahwa negara berada di luar hukum yang
dibuatnya. Penulis akan kembali pada kedua tokoh kedaulatan ini pada bagian berikutnya.

Universitas Indonesia
110

kandang domba untuk kelahirannya, maka penulis ingin melihat “rahim” siapa dan
“kandang” seperti apakah tempat kedatangan mortal god Hobbesian ini.

Yang kedua, jauh dari mengadvokasi teologi politik—seperti Schmitt, penulis


justru ingin menyibakkan “wajah iblis” dari cadar suci sang theos ini. Penulis ingin
menunjukkan betapa sang theos inilah yang bertanggung-jawab hampir atas seluruh
konflik berdarah di muka bumi ini. Penulis pun ingin memaparkan riwayat entitas-
entitas yang dikorbankan dan dikubur oleh sang theos ini, sambil memperingatkan
kedatangan-kembalinya dalam rangka balas dendam, yang tentunya membawa
bencana yang tak kalah hebatnya bagi kemanusiaan seperti yang telah selalu
dilakukan sang theos. Penulis juga akan menunjukkan siapa-siapa yang menjadi
antek-antek (accomplices) sang theos ini, yang selalu memberi pembenaran bagi
tindakan-tindakannya, dan bagaimana itu dilakukan. Semua ini penulis lakukan
pertama-tama untuk mengajak hadirin pembaca menyudahi riwayat kelam sang theos
ini, dan kedua, tentu saja, mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan untuk
melawan dan menyudahi kekejian sang theos ini.

Sebelum penulis memulai pembahasan inti pertama, yaitu tentang eksplorasi


prakondisi imanen bagi kemunculan teologi politik kedaulatan, perlu sekiranya diuraikan
secara umum tiga situs utama bagi lestarinya teologi politik kedaulatan ini. Ketiga situs
ini, sebagaimana akan di bahas pada bab ini, merupakan ketiga dimensi kedaulatan yang
tak terpisahkan satu sama lainnya: batas, kedaulatan ke luar, kedaulatan ke dalam. Batas
akan menentukan “bentuk” (gestalt) dari negara tersebut, sekaligus akan memisahkan
secara tegas mana teritorinya mana bukan. Kedaulatan ke luar akan berimplikasi pada
otonomi di dihadapan negara-negara lainnya. Terakhir kedaulatan ke dalam akan
berdampak pada sentralisasi kekuasaan pada pemerintah, yang memiliki wewenang dan
otoritas untuk mengatur masyarakat yang ada dalam teritorinya.

III.2.1. Makro-subyektivitas dan Antropomorfisme


“The man is the head of the wife, and the wife the body of the man ... After the same
fashion, the Prince is the head of the realm, and the realm the body of the Prince ...
You are the soul of the respublica, and the respublica is your body.”

Universitas Indonesia
111

Seneca 25
‘‘[t]he state is invisible; it must be personified before it can be seen, symbolized
before it can be loved, imagined before it can be conceived.’’
Michael Walzer 26

Pada 2004 silam, Jurnal Review of International Studies dari Universitas


Cambridge menerbitkan dokumentasi forum diskusi tentang makrosubyektivitas
manusia-negara, atau states’ personhood—sifat ke-manusia-an dari negara, dengan
menempatkan gagasan Alexander Wendt tentang “negara sebagai manusia” (person)
sebagai poin keberangkatan diskusi. 27 Hal ini demikian, sebagaimana pengantar
forum, karena gagasan Wendt ini merupakan gagasan sistematis pertama tentang ke-
aktor-an dalam studi HI.28 Bagi Wendt, di antara perbedaan paradigma yang terdapat
dalam disiplin HI, terdapat satu hal yang nampaknya disepakati bersama, yaitu
menganalogikan negara sebagai kolektivitas manusia, suatu “big people,”29 yang
saling berhubungan satu sama lainnya. 30 Negara dilihat sebagai suatu
antropomorfisme, yaitu memiliki kualitas-kualitas sebagaimana yang di miliki
manusia. Dengan kata lain, negara dipersonifikasikan sebagaimana tampak pada frase
berikut: “Kepala” negara, “tulang punggung” pertahanan negara, Indonesia “meminta
bantuan” dunia internasional, Brazil “memenangkan” Piala Dunia, Amerika
“mendesak” Iran, dst. Praktik personifikasi ini, atau menggunakan istilah Hobbes
personasi (personation), yaitu praktik dimana seseorang mewakili suatu entitas—
yang akhirnya membuat entitas tersebut sebagai suatu “aktor”, merupakan suatu

25
Diucapkan Seneca untuk menasehati Kaisar Nero pada zamannya. Dikutip dari Ernst
Kantorowicz, The King’s, hal. 215-6.
26
Michael Walzer, “On the Role of Symbolism in Political Thought,” Political Science Quarterly
82(2), (1967) hal. 194.
27
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, dan “The state as person in
international theory,” Review of International Studies 30 (2004), hal. 289–316. Refleksi tentang tema
personhood ini lihat juga Mika Luoma-aho, “Political Theology, Anthropomorphism, and Person-hood
of the State: The Religion of IR,” International Political Sociology, 3 (2009), hal. 293–309.
28
Patrick Thaddeus Jackson, "Forum Introduction: Is the state a person? Why should we care?"
Review of International Studies, 30 (2004), hal. 255–258.
29
Luoma-aho, “Political...,” hal. 294.
30
Wendt, “The State...,” hal. 289.

Universitas Indonesia
112

proses sosial. Sehingga adalah penting bagi analisis untuk memfokusikan dirinya
pada proses negosiasi dan kontestasi sosial di dalamnya. 31

Pandangan kritis datang dari partisipan lainnya juga seperti Iver Neuman,
yang memandang makro-subyektivitas manusia-negara tidaklah begitu berguna
karena “seem to constrain rather than to enable our inquiry into what is happening to
states and their place in global politics here and now.”32 Sehingga analogi ini, yang
disebutnya organisisme (organicism) harus dilihat secara pragmatis, yaitu untuk
memudahkan berpikir, dan tidak lebih dari itu.33 Colin Wight, mencoba melihat dari
perspektif realisme saintifiknya, malah mencela analogi Wendt ini (dan dengan
demikian Neuman) sebagai semacam jalan pintas untuk segera keluar dari kesukaran
pendefinisan ontologi, dalam hal ini ontologi negara. 34 Karena jika HI, sebagai
“practice of science,” memperlakukan negara sebagai “seolah-olah” (as if)35 manusia,
maka HI menjadi tak lebih dari sekedar agama yang “have always had perfectly
adequate ‘as if’ entities that have added advantage of explaining everything.”36

HI adalah agama! ... sepanjang ia melestarikan analogi makro-subyektivitas


manusia-negara.37 Keluar dari konteks forum, penulis ingin menunjukkan pandangan
bahwa makro-subyektivitas manusia-negara ini benar-benar berkaitan dengan agama,
dalam hal ini adalah agama Kristen (Katolik). Adalah Ernst Kantorowicz dalam The
King’s Two Bodies yang mengeksplorasi tema ini. Menurutnya, gagasan makro-
subyektivitas negara ini, jauh sebelum Hobbes, berasal dari gagasan tentang corpus

31
Patrick Thaddeus Jackson , “Hegel’s House, or ‘People are states too’,” Review of International
Studies, 30 (2004), hal. 286-7. Lihat juga Hobbes, Leviathan, hal. 98-9.
32
Iver Neumann, “Beware of Organicism: the Narrative Self of the State,” Review of International
Studies, 30:2 (2004), pp. 265-267.
33
Ibid.
34
Colin Wight, “State agency: social action without human activity,” Review of International
Studies, 30 (2004), hal. 272.
35
Seperti kata Wendt, “States are not really persons, only ‘as if ’ ones.” Wendt, “The state...,” hal.
289, penekanan teks asli. Tentang ke-seolah-olahan ini, lihat refleksi tentang perdebatan ini dalam
Jacob Schiff, “‘Real’? As if! Critical reflections on state personhood,” Review of International Studies,
34 (2008), hal. 363–377.
36
Wight, “State agency...,” hal. 273.
37
Bdk. Luoma-aho, “Political...,” hal. 302 dan 308.

Universitas Indonesia
113

Christi (tubuh Kristus). Awalnya istilah corpus Christi digunakan Gereja Barat38
pada 1264 untuk menyebut roti yang digunakan untuk sakramen perjamuan kudus.39
Penyebutan ini diadopsi dari terminologi yang dituliskan rasul Paulus di kitab
Efesus. 40 Corpus Christi mendapat pemaknaan sosiologis saat Paus Boniface VII
menyebut Gereja sebagai “one mystical body the head of which is Christ.”41 Barulah
paska “sekulerisasi” Gereja dari negara (dan sebaliknya, pada kontroversi investitur
masa Reformasi Gregorian), corpus Christi mendapatkan makna politiknya, menjadi
corpus mysticum dan secara bersamaan juga Corpus Christi Juridicum. 42 Dengan
nama baru ini, Gereja dipahami sebagai suatu tubuh politik, atau sebagai suatu
“organisme” politik dan legal, yang sekaligus menegaskan dirinya sebagai entitas
yang otonom (self-sufficient). Evolusi terpenting dalam mutasi ide corpus mysticum
ini justru terjadi pada saat peran Gereja menurun pada sekitar abad ke-13 dan 14,43
yaitu saat ide ini “melompat” dari Gereja ke Kerajaan—yang nantinya akan menjadi
Negara.

Sekitar pertengahan abad ke-13, Vincent de Beauvais menggunakan istilah


corpus reipublica mysticum (tubuh mistik republik) untuk menunjukkan tubuh politik
dari negara.44 Istilah ini menunjukkan dengan jelas intensi de Beauvais dalam
meminjam istilah yang terlebih dahulu dipakai Gereja, yaitu untuk
mentransendensikan negara, melampaui eksistensi fisiknya. Dalam benaknya, de
Beauvais mendambakan negara yang sempurna, dan kesempurnaan itu di dapat saat
negara tersebut “directed by the king as the vicar of Christ and guided by the

38
Kekristenan saat itu terpecah dua: Gereja di Barat dengan Kerajaan Romawi Agungnya dan
gereja Ortodoks Timur yang berpusat di Konstantinopel.
39
Kantorowicz, The King’s Two Bodies, hal. 196.
40
Lihat Alkitab, Efesus 4: 12-6 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001).
41
Kantorowicz, The King’s, hal. 196.
42
Ibid., hal. 197.
43
Hal ini terjadi utamanya karena perpecahan dalam tubuh kepausan itu sendiri yang terkenal
dengan sebutan Skisma Besar (the Great Schism). Saat itu, terdapat dua Paus yang saling bertentangan.
Pelajaran yang dipetik raja dari skisma ini adalah bahwa Gereja tidaklah utuh (self-sufficient), dan
dengan demikian merupakan “kontainer” yang buruk bagi ide corpus Christi yang manunggal, utuh
dan berdaulat. Penulis akan kembali ke pembahasan ini nanti.
44
Kantorowicz, The King’s, hal. 208.

Universitas Indonesia
114

ministers of the Church.”45 Puncak dari transendetalisasi ini nampaknya terjadi di


Inggris, yaitu saat Sir John Fortescue mengartikan corpus mysticum sebagai
penyempurnaan masyarakat suatu negara, yang di dalamnya warga-negaranya
memperoleh status “rakyat” (people) dan menjadi tubuh mistik kerajaan (realm) yang
mana sang raja menjadi kepalanya. 46 Adalah Raja Henri VIII dari Inggris yang
berusaha “mempraktikkan” Fortescue dalam upayanya menyatukan tanah anglikan
(Anglicana Ecclesia) yang geografis kedalam suatu corpus politicum kerajaan
(empire) yang atasnya ia, sebagai raja, menjadi kepalanya. 47

Evolusi gagasan tubuh politik tidak berhenti sampai di situ. Asosiasi


berikutnya adalah tentang perkawinan. Jadi, saat pemahkotaan/penobatan
(coronation) seseorang menjadi raja, maka saat itu pula ia menikahi corpus politicum,
yaitu kerajaan beserta segenap rakyatnya. Adalah Cynus dari Pistoia dalam bukunya
Justinian's Code yang terbit sekitar tahun 1300 menulis, “And the comparison
between the corporeal matrimony and the intellectual one is good: for just as the
husband is called the defender of his wife . . . so is the emperor the defender of that
respublica.”48 Tidak hanya sekedar tulisan, ia termaterialisasi dalam praktek
pengaturan pemahkotaan, misalnya saat pemahkotaan Henry II dari Perancis pada
1547, kata-kata “protokoler” yang diucapkan saat cincin kerajaan dipakaikan adalah,
“the king solemnly married his realm.”49 Malahan 50 tahun berikutnya, pada Order of
1594, aturan protokoler tersebut menjadi lebih eksplisit: “the king, on the day of his
consecration, married his kingdom in order to be inseparably bound to his subjects
that they may love each other mutually like husband and wife.”50 Hubungan antara
keduanya dengan demikian adalah hubungan pengabdian politik semi-relijius—pro
patria mori.

45
Ibid.
46
Ibid., hal. 223-4.
47
Ibid., hal. 229.
48
Ibid., hal 213.
49
Ibid., hal. 222.
50
Ibid.

Universitas Indonesia
115

Perkawinan ini, menandakan gestur yang disebut Kantorowicz sebagai


‘transsubstansiasi’ (transsubstantiation), yaitu proses penggandaan tubuh monarki.51
Tubuh biologisnya, yaitu corpus naturale (atau corpus personale, Paus Innocent III;
atau corpus naturale, William dari Auxerre) akan menjadi penopang tubuh supra-
individu, yaitu corpus mysticum, yang lahir dalam proses transubstansiasi tersebut.
Itulah sebabnya menurut Kantorowicz, dalam teologi politik abad Pertengahan, raja
memiliki dua tubuh: tubuh biologis dan tubuh mistik; corpus naturale dan corpus
respublica mysticum. Simbol-simbol seperti mahkota, cincin, tongkat dan tahta
kerajaan berikutnya menjadi “mahar” (dowry) perkawinan kedua tubuh dan tanda
bagi transsubstansiasi tersebut. Di sini Kantorowicz menekankan argumentasinya
yaitu bahwa proses transubstansiasi ini sebenarnya semata-mata berfungsi untuk
mengamankan kontinuitas (bahkan keabadian) status quo monarki atas kerajaan dan
rakyatnya. Raja boleh saja bisa mati, tetapi posisi Raja sebagai penguasa kerajaan
tidak akan pernah mati. Akhirnya, penggandaan tubuh monarki ditujukan demi
menjamin kontinuitas kekuasaan atas tubuh politik mistik (kerajaan) melalui suksesi
tubuh-tubuh natural di tahta kerajaan. Demikianlah asal-usul teologis dari ungkapan
“tubuh politik” negara—teologi politik.

Studi penulis kali ini berusaha memberikan landasan imanen (yang melampaui
analogi dan metafora semata) atas makro-subyektivitas antropomorfistik ini. Namun
berbeda dari seluruh partisipan forum yang penulis bahas di atas, studi ini justru
berusaha memahami manusia bukan sebagai manusia homo sapiens sebagaimana
klasifikasi biologis, melainkan sebagai sebuah konsep. Sebagai konsep, manusia
mampu memberikan perasaan ke-dirian yang utuh dan berdaulat kepada sang homo
sapiens tesebut. Sehingga apapun manifestasinya, sang homo sapiens tersebut akan
bersusah-payah mengupayakannya. Peter Lomas, menanggapi Wendt, menyadari ini,
“once you posit the idea of individual self-transcendence (the key structural element

51
Ibid., hal. 125.

Universitas Indonesia
116

in Wendt’s conception) you have an idea with no natural limits.”52 Berbeda dari nada
sinis Lomas (dan Iver Neuman) 53, justru dengan melihat individu manusia sebagai
suatu ide—dengan rentetan sejarah panjang pembentukannya, yaitu ide kedaulatan,
yang tanpa “natural limits” maka akan dapat dipahami bagaimana perjuangan untuk
mengakuisisi ide tersebut adalah sesuatu yang tak-terbatas (unlimited). Ide tersebut
tidak akan pernah fix dalam kontainer-kontainernya—terutama, tubuh manusia dan
“tubuh” negara, malahan ia akan terus meminta siapapun yang mendambakan
kenikmatan yang ditawarkan ide tesebut—yaitu perasaan ke-diri-an yang utuh—
untuk menyediakan tubuh-tubuh baru yang lebih mutakhir. Pandangan inilah yang
menurut penulis mampu melihat secara lebih holistik tentang realitas di lapangan,
lebih dari yang para realis (dalam arti negara-sentris) seperti Wendt mampu
tawarkan.

III.2.2. Performativitas Negara Modern


Situs teologi politik kedaulatan yang kedua adalah dalam sifat performatifnya.
Sekitar pertengahan tahun 1990, di kalangan teoritisi kritis HI terjadi semacam
“demam performativitas” karena pada masa-masa itu muncul cukup banyak buku
yang membahas tema kedaulatan dalam dimensi performatifnya.54 Sifat inilah yang

52
Peter Lomas, "Anthropomorphism, personification and ethics: a reply to Alexander Wendt,"
Review of International Studies, 31 (2005), hal. 355. Sebenarnya Wendt agaknya sudah mengafirmasi
hal ini dalam Alexander Wendt, “Why a World State is Inevitable,” European Journal of International
Relations, 9(4) (2003), hal. 491–542. Namun demikian, Wendt terlalu menekankan proses inisiatif
kolektif dalam mewujudkan “negara dunia”-nya sehingga meremehkan kemungkinan bahwa suatu
“negara dunia” bisa direalisasikan tanpa inisiatif kolektif, sekalipun kolektivitas adalah sesuatu yang
tak terelakkan. Lainnya, tidak seperti Wendt yang menganggap “negara dunia” adalah akhir dari yang
disebutnya dengan meminjam Barry Buzan “logika anarki” sebagaimana yang selalu penulis tekankan,
tidak ada batas akhir bagi perwujudan, materialisasi atau reifikasi gagasan ke-diri-an yang berdaulat.
Bab berikutnya tentang kedaulatan Amerika Serikat akan mengafirmasi argumentasi ini. Tentang
inisiatif kolektif Wendt, lihat juga tanggapan baliknya ke Lomas. Alexander Wendt, “How not to argue
against state personhood: a reply to Lomas," Review of International Studies, 31 (2005), hal. 357–360.
53
Menurut Neuman, manusia-negara sebaiknya tidak lebih dari sekedar analogi. Lihat Iver
Neumann, ‘Beware of Organicism: the Narrative Self of the State’, Review of International Studies,
30:2 (2004), pp. 265, 267.
54
R.B.J. Walker, Inside/Outside: International Relations as Politcal Theory (Cambridge:
Cambridge Uni Press, 1993); Cynthia Weber, Simulating Sovereignty: Intervention, the State and
Symbolic Exchange (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1995); Jens Bartelson, A Genealogy of
Sovereignty (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1995) dan Cynthia Weber, “Performative States,”
Millennium: Journal of International Studies, 27(1) (1998), hal 77-95. Untuk “pasien-pasien” demam

Universitas Indonesia
117

menjadi “sasaran tembak” teori-teori kritis tentang kedaulatan yang muncul pada
pertengahan 1990. Dengan berbekal “bahan bakar” filosofi performativitas dari John
Austin sampai Judith Butler (dan Jean Baudrillard, untuk Cynthia Weber), teori-teori
ini mencoba memproblematisasi seluruh konsep vital dalam HI—negara, kedaulatan,
otoritas, diplomasi, dst. Secara umum, praktik performatif merupakan praktik
pengujaran, pelaksanaan atau eksekusi suatu gagasan yang sebenarnya memiliki
makna ambigu dengan cara mempertahankan performa gagasan tersebut sembari
mengesampingkan refleksi lebih jauh tentang makna gagasan tersebut. Melalui
tindakan performatif, praktik pengujaran gagasan tersebut direpetisi terus-menerus,
sedemikian rupa sehingga makna gagasan tersebut yang tadinya ambigu dan tak jelas,
menjadi stabil dan seolah-olah jelas sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Dalam
performativitas, adalah peforma yang menentukan makna, dan praktik yang
mendeterminasi esensi. Praktik yang dimaksud ini bisa berupa praktik teorisasi
(Walker, Bartelson dan George), bisa juga berupa praktik kongkrit di lapangan
(Weber, Campbell dan Waever).

Dalam praktik teorisasi, kedaulatan distabilkan melalui teorisasi. Teori-teori HI


tentang kedaulatan, dengan demikian dapat dibaca sebagai “a characteristic
discourse of the modern state and as a constitutive practice whose effects can be
traced in the remotest interstices of eceryday life.”55 Sementara dalam praktik-praktik
konkrit seperti intervensi kemanusiaan, misalnya, akan mengasumsikan seolah-olah
telah terdapat suatu komunitas negara berdaulat internasional yang masing-
masingnya memiliki “boundaries that might be violated and then regards
transgressions of these boundaries as a problem.”56 Praktik performatif akan
kedaulatan, dengan demikian akan membuat makna kedaulatan itu sendiri menjadi

performativitas yang tidak bergulat dengan tema kedaulatan, lihat Jim George, Discourses of Global
Politics: A Critical (Re)Introduction to International Relations (Boulder, Colorado: Lynne Rienner,
1994); Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis
(London: Lynne Rienner Publishers, 1998) dan David Campbell, Writing Security: United States
Foreign Policy and the Politics of Identity (Manchester: Manchester Uni Press, 1992).
55
Walker, Inside/Outside, hal. 6.
56
Weber, Simulating, ha. 4.

Universitas Indonesia
118

“tak tersentuh” (at bay),57 menjadi suatu “mitos”58 bahwa terdapat koherensi wilayah
di dalam dan di luar teritorinya, dan pada akhirnya justru praktik tersebut menjadi
suatu “ritual mediasi”59 yang menstabilkan makna dan membuatnya menjadi tidak
dipertanyakan. Lebih dari itu, makna itu bahkan sangat mungkin untuk dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga dianggap sebagai sumber kebenaran. Seperti kata Weber,
“Sovereign foundations are produced as signifieds in order to make representational
projects possible, in order to allow sovereignty and the state to refer to some original
source of truth.”60

Disebut sebagai suatu bentuk teologi politik, karena performativitas


mensyaratkan suatu, meminjam istilah Karl Marx, fetisisme dalam kadar tertentu.
Fetisisme berasal dari kata Portugis, ‘feitiço’ yang berarti ‘artifisial’. 61 Dalam
penggunaannya, fetisisme menunjuk kepada sebentuk pemujaan berlebihan, kadang
dengan intensi seksual, terhadap suatu obyek atau praktik artifisial, yang sampai taraf
tertentu obyek dan praktik itu diterima secara taken for granted dan sengaja tidak
dipertanyakan. Kegiatan mempertanyakan itu sendiri justru malah akan membongkar
kualitas “magis” dari obyek atau praktik tersebut. Salah satu ungkapan fetistik
misalnya: “saya tahu bahwa ini cuma patung, tapi bagaimanapun juga saya mau
menyembahnya.”

Performativitas, sebagaimana antropomorfisme, juga memiliki akar teologis.62


Kali ini berasal dari gagasan tentang sakramen dan liturgi. Adalah Giorgio Agamben
yang mengeksplorasi ini, dan mengklaim bahwa dalam seluruh “ritual” politik tata-

57
Meminjam frase Raymond Vernon, “Sovereignty at Bay: Twenty Years After,” Millennium:
Journal of International Studies, 20(2) (1991) hal. 191-5
58
Cynthia Weber, International Relations Theory: A Critical Introduction, edisi ketiga (London,
NY: Routledge, 2001), hal. 6.
59
François Debrix, "Introduction: Rituals of Mediation," dalam F. Debrix dan C. Weber, peny.,
Rituals of Mediation: International Politics and Social Meaning (Minneapolis, London: Uni of
Minnesota Press, 2003), hal. xxiii.
60
Ibid., hal 123.
61
Jean-Luc Nancy, "The two secrets of the fethis," diacritics, 31(2) (summer 2001), hal. 4.
62
Claudia Breger, “The Leader's Two Bodies: Slavoj Žižek’s Postmodern Political Theology,”
diacritics, 31(1) (Spring, 2001), pp. 76.

Universitas Indonesia
119

negara, terdapat elemen liturgis teologis di dalamnya, disadari atau tidak. 63 Dengan
pendekatan yang disebutnya “a theological genealogy of economy,”64 Agamben ingin
menunjukkan bahwa paradigma pemerintahan negara modern ternyata memiliki
“kesinambungan genetis” (genetic continuity) dari paradigma sakramen Gereja. 65 Ada
dua paradigma sakramen Gereja: opus operatum dan opus operantis. Opus operatum
berarti bahwa sakramen tersebut dapat memproduksikan efek tertentu—khidmat,
haru, sukacita, dst. Sementara opus operantis berarti bahwa sakramen tersebut harus
dilakukan oleh seseorang yang memiliki moral yang berkualitas (dari sudut pandang
tafsir teologi dominan tentunya). Jika diperhatikan dengan seksama maka nampak
suatu keterputusan epistemik dalamnya: untuk memproduksi suatu efek tertentu,
maka sakramen tidak harus selalu dilakukan orang bermoral, setidaknya ia bisa
dilakukan oleh orang yang tampak bermoral ... dan sakramen tetap saja sah.66 Jadi
permasalahan utama sebenarnya bukan pada aspek moral sang subyek, melainkan
fungsi praktis yang mampu diciptakannya.

Dalam hal ini, sakramen merupakan suatu tindakan performatif yang


merealisasikan makna dalam efek-nya (efficacy). Bahkan, lebih dari itu, adalah
sakramen yang performatif ini yang menjadi ciri utama Gereja. “The church is not a
community of believers who share a certain faith, dogma or creed. [It is] not defined
by doctrine, but define by praxis .. participation to the cultic activity, to the liturgical
activity.”67 Yang liturgis dengan demikian bukanlah persoalan representasi (kehadiran
Tuhan dalam nyanyian, misalnya), melainkan suatu presentasi melalui efek kehadiran
dari yang disimbolisasikan dalam liturgi tersebut (Tuhan, misalnya). Sehingga tidak

63
Giorgio Agamben, What is An Apparatus? And other essays, terj. D. Kishik dan S. Pedatella
(Stanford, California: Stanford Uni Press, 2006); Liturgia and Modern State, Kuliah di European
Graduate School, 2009; Antonio Negri, “Sovereignty: That divine ministry of the affairs of earthly
life,”Journal for Cultural and Religious Theory, 9(1) (Winter, 2008), hal 96-100, artikel ini merupakan
ulasan kritis terhadap buku Agamben lainnya yang sampai saat ini belum diterjemahkan ke bahasa
Inggris, Il Regna e la Gloria: Per una genealogia teologica dell’economia e del governo. (Nerri Pozza,
2007) [The Reign and the Glory: A Theological Genealogy of Economy and Government].
64
Agamben, What is, hal. 8.
65
Agamben, Liturgia.
66
Ibid.
67
Ibid.

Universitas Indonesia
120

heran apabila kata office (kantor) memiliki akar kata dari officum yang juga akar kata
dari efficacy.68 Office berkaitan dengan efficacy-nya; begitu juga halnya kantor
pemerintahan, sepanjang ia bisa memproduksi efek tertentu, maka seribu bajingan
korup pun sah-sah saja ditempatkan di dalamnya.

Akar teologis lainnya, masih tentang tentang pemerintahan, ada pada gagasan
‘aparatus’. Apabila pemerintahan (raison d’etat)69 merupakan logika kedaulatan,
maka aparatus merupakan manifestasi konkrit dari pemerintahan. Kata ‘aparatus’
merupakan sinonim dari kata ‘dispositif’ yang memiliki akar kata ‘dispositio’ dari
bahasa Latin. Kata dispositio ini memiliki hubungan teologis dengan konsep ekonomi
(oikonomia, Yunani)—administrasi atau manajemen oikos (rumah). Keduanya
bertemu dalam konsep “ekonomi ilahi” (divine economy) yang disebut-sebut Gereja
pada abad pertengahan akhir. Alkisah pada perdebatan mengenai Trinitas, untuk
membujuk para raja yang mempercayai tuhan yang Satu (One), teolog-teolog trinitas
seperti Irenaeus, Tertullian dan Hippolytus terpaksa menggunakan terminologi
oikonomia untuk ini:
“God, insofar as his being and substance is concerned, is certainly one; but as to his
oikonomia—that is to say the way in which he administers his home, his life, and the
world that he created—he is, rather, triple. Just as a good father can entrust to his son
the execution of cenain functions and duties without in so doing losing his power and
his unity, so God entrusts to Christ the ‘economy,’ the administration and
government of human history.”70

Ekonomi, oikonomia, dengan demikian menjadi aparatus bagi suatu dogma, untuk
memperhalus ‘spekulasi’, Trinitas para teolog—yang bisa saja hanya akal-akalan
mereka—untuk memperkenalkan, jika bukan memaksakan, keimanan Kristen ke
seluruh dunia. Berangkat dari sini, Agamben mengklaim bahwa tata negara modern
tak lain adalah “a pure activity of government that aims nothing than its own
replication.”71 Akhirnya, pemerintahan dan aparatus-aparatusnya adalah sebentuk
praktik performatif akan kedaulatan yang dogmatis dan ilusif: “the arcanum of policy

68
Ibid.
69
Lihat Foucault, Security, Territory and Population, hal. 378-9.
70
Dikutip Agamben, What Is, hal. 9-10.
71
Ibid., hal. 23.

Universitas Indonesia
121

is not sovereignty but government, not the king but the minister, not the law but the
police force.”72

III.2.3. Keputusan dan Pengecualian


“The tradition of the oppressed teaches us that the ‘state of exception’ in which we
live is the rule.”
Walter Benjamin73

Carl Schmitt dengan lugas memulai pembahasannya tentang kedaulatan


dengan menyatakan bahwa yang berdaulat adalah dia yang menentukan pengecualian;
“[The] sovereign is he who decides on the exception.”74 Dalam kalimat tersebut
terdapat dua elemen yang menopang suatu kondisi berdaulat seseorang: keputusan
dan pengecualian. Kedua elemen inilah yang menurut Schmitt merupakan situs
dimana metafisika politik berasal. Pertama, keputusan. Keputusan yang dimaksud
Schmitt di sini bukan semata-mata suatu keputusan berdasar kanon hukum tertentu.
Lebih jauh lagi, keputusan yang berada di luar hukum, yang dengan demikian
menangguhkan hukum tersebut. Keputusan berhubungan dengan kondisi darurat, dan
dalam kondisi darurat, hukum tidaklah berlaku. Dengan kata lain, keputusan timbul
dari ketiadaan dan ketidakmenentuan (undecidability). Kata Schmitt,
“inherent in the idea of the decision is that there can never be absolutely declaratory
decisions. That constitutive, specific element of a decision is, from the perspective of
the content of the underlying norm, new and alien. Looked at normatively, the decision
emanates from nothingness.”75

Artinya, tidak ada landasan atau pijakan bagi suatu keputusan tersebut untuk
dibenarkan, selain landasan mistis. 76 Keputusan tersebut tidak dibenarkan, melainkan
membenarkan dirinya sendiri. Keputusan seperti ini hanya memiliki satu preseden,
yaitu keputusan ex nihilo, yaitu keputusan yang dilakukan Tuhan dalam menciptakan

72
Agamben, Il Regna, dikutip dari Negri, “Sovereignty...,” hal. 96.
73
Walter Benjamin, ‘On the Concept of History’, dalam H.Eiland dan M. Jennings, peny., Walter
Benjamin: Selected Writings, Volume 4, 1938–1940 (Cambridge, MA danLondon: The Bellknap Press
of Harvard University Press, 2003), hal. 392.
74
Schmitt, Political Theology, hal. 5.
75
Schmitt, Political Theology, hal. 31-2.
76
Jacques Derrida, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’,” terj. M. Quaintance,
dalam J. Derrida, Acts of Religion, peny. G. Anidjar (NY, London: Routledge, 2002)

Universitas Indonesia
122

segala sesuatu di dunia ini. Melalui keputusan berdaulat, “manusia telah bermain
sebagai Allah atas manusia lain lewat keputusannya yang sakral dan relijius itu. Dan
suatu teologi politik membenarkan bangkitnya kediktatoran.”77

Namun demikian, adalah kekeliruan besar apabila melihat keputusan


berdaulat ini sebagai suatu hal yang terputus dari hukum. Sang berdaulat “stands
outside the normally valid legal system, he nevertheless belongs to it, for it is he who
must decide whether the constitution needs to be suspended in its entirety.”78 Kondisi
di luar hukum dimana sang berdaulat berdiri ini adalah apa yang disebut Giorgio
Agamben sebagai kondisi pengecualian (state of exception).79 Agamben memahami
letak kondisi pengecualian ini secara oxymoron, yaitu sebagai “being-outside, and yet
belonging: this is the topological structure of the state of exception, and only because
the sovereign, who decides on the exception, is, in truth, logically defined in his being
80
by the exception, can he too be defined by the oxymoron ecstasy-belonging.”
Dengan kata lain, kondisi pengecualian berada diluar hukum, tapi tetap berhubungan
dengan hukum tersebut. Jadi, kondisi pengecualian adalah wilayah yang
dieksklusikan dari wilayah hukum, namun demikian sekalipun wilayah tersebut
dieksklusikan dari lingkup yuridis sang hukum, ia masih tetap termasuk sebagai
bagian hukum tersebut, hanya kali ini (ironisnya) sebagai dasar pengeksklusiannya.

Jika hukum dipandang dari kacamata desisionisme Schmittian ini, maka


menjadi jelas bahwa tidak ada korelasi antara hukum dan keadilan. 81 Yang ada adalah
hukum dan keputusan (judgement, res judicata). Dalam desisionisme Schmittian,
hukum semata-mata ditujukan bagi suatu tindakan memutus perkara berdasarkan
pengaturan-pengaturan yang notabene mengacu pada dirinya sendiri, “Law is solely

77
F. Budi Hardiman, F. Budi Hardiman, “Kedaulatan dan Krisis Menurut Carl Schmitt,” dalam
V.F. Kama, Teologi Politik (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa, 2003), hal. 45.
78
Schmitt, Political Theology, hal. 7.
79
Giorgio Agamben, State of Exception (Chicago: University of Chicago Press: 2005)
80
Agamben, State of Exception, hal. 35.
81
Pembahasan tentang pengaburan keadilan dan keputusan yuridis dalam kasus kejahatan perang
lihat, Elizabeth Dauphinee, “War Crimes and the Ruin of Law,” Millennium: Journal of International
Studies, 37(1) (2008), hal. 65.

Universitas Indonesia
123

directed toward judgement … The ultimate aim of law is the production of a res
judicata, in which the sentence becomes the substitute for the true and the just …”,82
dan saat krisis melanda dan membuat hukum tersebut tidak dapat menjawab tantang
krisis, maka hukum akan berubah menjadi dekrit. Dekrit inilah yang memungkinkan
sang berdaulat menempuh langkah apapun, sekalipun itu di luar hukum, untuk
menyelesaikan permasalah tersebut dan meletakkan kembali tatanan hukum(nya).
Jadi melalui hukum, sang berdaulat pertama-tama mengatur mana benar mana salah,
lalu memutus perkara berdasar pengaturannya tersebut. Namun yang menjadi ironis
adalah saat pengaturan-pengaturannya tersebut menjadi tidak relevan dalam
menciptakan keteraturan, maka ia serta-merta menangguhkan hukum tersebut dan
bertindak di luar hukum tersebut. Jelas sudah bahwa landasan legal hukum hanya
dimungkinkan dari suatu tindakan ilegal.

Berkaitan dengan keputusan, René Girard mencoba menerjemahkan mentah-


mentah akar kata dari “decision” (keputusan), yaitu “decidere” yang berarti
“memotong leher korban”: keputusan, dengan demikian selalu meminta korban;
memutuskan adalah selalu memutuskan leher korban. 83 Korban-korban yang menjadi
tumbal bagi aktivitas desisionistik dari kedaulatan ini adalah apa yang disebut
Agamben sebagai homines sacri atau homo sacer.84 Homo sacer adalah figur dari
hukum Romawi yang kehidupannya ditentukan (decided) oleh sang berdaulat melalui
mekanisme pengecualian. Kehidupan homo sacer adalah kehidupan yang telah
dilucuti dari seluruh atribut politiknya, membuatnya tak dapat dibedakan dari bentuk-
bentuk kehidupan lainnya. Kondisi seperti ini membuat homo sacer dapat dibunuh
kapan saja, namun bukan sebagai suatu isu yuridis (pembunuhan) maupun isu relijius

82
Giorgio Agamben, Remnants of Auschwitz: The Witness and the Archive, terjemahan D. Heller-
Roazen (New York: Zone Books, 1999), hal. 18.
83
Dikutip dari Hardiman, “Kedaulatan dan krisis...,” hal. 40.
84
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, terjemahan D. Heller-
Roazen (Stanford, California: Stanford University Press), Part 2.

Universitas Indonesia
124

(pengorbanan).85 Lalu, kehidupan seperti apakah yang membuat seseorang menjadi


homo sacer?

Agamben mengacu pada definisi kehidupan dari bahasa Yunani, yang


diadopsinya dari Aristoteles.86 Singkatnya ada dua bentuk kehidupan, zōē dan bios.
Zōē merupakan fakta sederhana tentang kehidupan; ia dimiiliki oleh semua makhluk
hidup. Sebaliknya, bios merupakan cara hidup yang partikular, unik, khusus, yang
dimiliki seorang individu atau kelompok.87 Bios bisa disebut juga sebagai suatu
kehidupan yang politis, sementara zōē merupakan kehidupan pra-politis, dimana
kehidupan tersebut tidak dapat dibedakan dari bentuk-bentuk kehidupan lainnya
seperti yang dimiliki rumput, lalat, kutu, dst. Kehidupan bios adalah kehidupan yang
telah memiliki hak-hak politik sebagaimana di atur hukum. 88 Dengan demikian, baik
zōē maupun bios, merupakan efek keputusan sang berdaulat. Dari distingsi ini, maka
homo sacer adalah mereka-mereka yang telah ditelanjangi seluruh atribut yang
membuat kehidupannya sebagai bios, dan direduksi sedemikian rupa sehingga
semata-mata menjadi zōē. Tindakan penelanjangan ini disebut Agamben, mengikuti
Foucault, sebagai biopolitik, politik atas kehidupan itu sendiri. Hidup homo sacer,

85
Bayangkan saat kita membunuh nyamuk atau semut, atau mencabuti alang-alang di pekarangan.
Tindakan tersebut adalah tindakan membunuh, namun tidak di atur oleh hukum dan ritus-ritus relijius.
Pembunuhan homo sacer adalah pembunuhan yang demikian.
86
Namun diduga bahwa genealogi konsep tersebut didapatnya dari Hannah Arendt, yang terlebih
dahulu mempopulerkan definisi kehiduoan Aristotelian tersebut. Hannah Arendt, The Human
Condition, edisi kedua (Chicago: Chicago Uni Press, 1998), hal. 13-16; Laurent Dubreuil, “Leaving
Politics: Bios, Zōē, Life.” diacritics, 36(2) (2006), hal 84-87.
87
Girogio Agambe, “Form-of-life,” dalam Paolo Virno dan Michael Hardt (peny.), Radical
Thought in Italy: A Potential Politics. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), hal. 152,
dan Agamben, Homo Sacer, hal. 9.
88
Di sini seolah-olah terdapat paradoks dalam karya Agamben ini. Bagaimana mungkin seseorang
bisa benar-benar memiliki bios apabila ke-bios-annya telah selalu ditentukan secara sewenang-wenang
oleh keputusan hukum sang berdaulat, yang notabene justru di luar hukum. Di sinilah fokus Agamben,
yaitu mengembalikan yang-politis dari kooptasi sang berdaulat. Yang-politis dengan demikian adalah
berbeda dari politik sebagaimana diatur dalam hukum. Yang politis, dengan demikian adalah suatu
potensi tindakan di luar hukum, yang juga dilakukan dari luar hukum. Siapakah yang berada di luar
hukum? Ada dua—sang berdaulat dan tentunya homo sacer itu sendiri. Jadi jelas bahwa Agamben,
dengan konsepsi suram homo sacer-nya tidak ingin menghembuskan angin pesimisme, melainkan
jusru membuka cakrawala potensi perjuangan perlawanan politis. Agamben mengeksplorasi ini dalam
Giorgio Agamben, Profanation, terj. J. Fort (NY: Zone Books, 2007). Lihat juga optimismenya dalam
Giorgio Agamben, “I am sure you are more pessimistic than I am … ’ An Interview with Giorgio
Agamben’, Rethinking Marxism, 16 (2) (2004), hal 115–24.

Universitas Indonesia
125

dengan demikian adalah hidup yang telanjang—Agamben menyebutnya nuda vita,


naked life atau bare life.89

Mengacu penjelasan topologis (keruangan) Agamben tentang kondisi


pengecualian, maka adalah homo sacer yang mendiami zona pengecualian ini.
Agamben mengembangkan konsepsi ‘kamp’ (camp) yang disebutnya sebagai
“paradigma biopolitik modern” (biopolitical paradigm of the modern)90 untuk
memahami zona pengecualian ini. Zona ini bisa juga disebut sebagai zona ketidak-
jelasan (zone of indistinction), karena mereka yang mendiami zona ini tidak jelas
statusnya—bios atau zōē, tidak jelas pula nasib hidupnya; hanya satu yang jelas
dalam zona ketidak-jelasan ini, yaitu zona ini ciptaan sang berdaulat.91 Jadi apabila
demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka kamp adalah dari
sang berdaulat, oleh sang berdaulat, dan untuk sang berdaulat. Agamben melihat
kamp tidak sebagai suatu fenomena historis—Agamben bukan sejarawan; ia melihat
kamp sebagai suatu paradigma atau episteme—agamben adalah seorang genealog.92
Jadi adalah salah kaprah untuk melihat kamp semata-mata sebagai kamp konsentrasi
seperti Auschwitz, Gulag dan yang lebih kontemporer, Abu Ghraib dan Guantanamo.

Kamp, klaim Agamben, adalah paradigma kedaulatan negara modern. Di


dalamnya, orang tidak mampu membedakan kehidupan privatnya dengan kehidupan
politisnya, bios dan zōē-nya. Muncul permasalahan saat ini yaitu saat orang dengan
sadar mengatakan bahwa kamp konsentrasi adalah masa lalu, dan demokrasi adalah
masa kini. Bagi Agamben pernyataan ini adalah salah kaprah, kita tidak lagi mampu

89
Sedikit informasi perkara terjemahan. Ada dua versi penerjemahan ‘hidup yang telanjang’ dari
bahasa Italianya, ‘nuda vita’, ke bahasa Inggris, yaitu ‘bare life’ dan ‘naked life’. Untuk penjelasan
perbedaan ini dapat dilihat pada catatan penerjemah dalam Giorgio Agamben, Means Without End:
Notes on Politics, terj. V. Binetti dan C. Casarino (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2000),
hal. 143.
90
Agamben, Homo Sacer, part 3.
91
Jenny Edkins dan R.B.J. Walker, “Zones of Indistinction: Territories, Bodies, Politics,”
Alternatives: Global, Local, Political, 25(1) (2000).
92
Beda sejarah dan genealogi secara epsitemologis dan metodologis, lihat Bab 2 studi ini.

Universitas Indonesia
126

membedakan mana kamp dan mana yang bukan, bisa jadi hal itu karena kita semua—
umat manusia yang memiliki negara berdaulat masing-masing—adalah homo sacer:
“Every attempt to rethink the political space of the West must begin with the clear
awareness that we no longer know anything of the classical distinction between zoē
and bios, between private life and political existence, between man as a simple living
being at home in the house and man’s political existence in the city.”93

“If today there is no longer any one clear figure of the [homo sacer], it is perhaps
because we are all virtually homines sacri.”94

Melalui pemaparan kamp dan kedaulatan Agambenian ini menjadi jelas bahwa tidak
mungkin bagi seseorang untuk menghindar dari potensi homo sacer karena
“production of bare life is the originary activity of sovereignty.”95 Homo sacer,
dengan demikian adalah komoditas bagi eksistensi dan kesinambungan sang
berdaulat. Dengan demikian, sang berdaulat adalah ia yang karenanya semua orang
berpotensi menjadi homo sacer; dan sebaliknya, homo sacer adalah ia yang
karenanya semua orang dapat bertindak sebagai yang berdaulat.

—o0o—

Ketiga bentuk teologi dalam politik ini nampaknya absen dari wacana
perdebatan teori politik dan HI kontemporer. Mungkin benar kata Aronowitz dan
Bratsis bahwa teori-teori tersebut “have been buried by conservative inside and
outside of academy.”96 Ketiga bentuk teologi politik ini sekiranya dapat menunjukkan
dengan jelas bahwa apa yang saat ini disebut-sebut sebagai sekulerisasi negara dari
agama, tidak lain adalah taktik penguasa belaka untuk mengamankan suatu metafisika
dalam bentuk lainnya. Metafisika inilah yang menjadi landasan bagi mereka untuk
menguasai. Ketiga bentuk teologi politik ini pula yang pada akhirnya akan

93
Agamben, Homo Sacer, hal. 105
94
Ibid., 57.
95
Ibid., hal. 53.
96
Stanley Aronowitz dan Peter Bratsis, “State Power, Global Power,” dalam S. Aronowitz dan P.
Bratsis, peny., Paradigm Lost: State Theory Reconsidered (Minneapolis, London: Uni of Minnesota
Press, 2002), hal. xi.

Universitas Indonesia
127

mempertanyakan ulang proposal mereka-mereka yang hendak memisahkan agama


dari negara—pemisahan seperti apakah yang dimaksud? Mungkinkah itu dilakukan?

Melalui studi ini, penulis memberi jawaban yang afirmatif yang tentunya akan
sangat jauh berbeda dari usulan-usulan sekulerisasi dangkal yang semata-mata
memisahkan elemen-elemen, simbol-simbol atau pemuka-pemuka agama untuk
terlibat dalam negara. Sangat jauh dari itu, penulis justru ingin mengeksplorasi
kemungkinan untuk melawan tuhan yang disembunyi-sembunyikan oleh negara
dalam konstitusinya, dalam retorikanya, dalam rupa-rupa wacana nasionalisme atau
kewarganegaraannya. Nama lain tuhan itu tak lain adalah kedaulatan itu sendiri.
Dalam bab ini, eksplorasi tersebut mewujud dalam upaya penulis untuk menunjukkan
prakondisi-prakondisi imanen bagi “kelahiran” tuhan yang bernama kedaulatan.

III.3. Konfigurasi Eropa Sebelum Negara-Modern


Eropa sekitar abad pertengahan, 97 pasca apa yang terkenal dengan Barbarian
invasion terhadap Imperium Romawi (Abad 5-7),98 ditandai dengan ketidak-jelasan
organisasi sosial berikut sistem pengorganisasian masyarakat dan teritorinya.99
Bentangan kontinen Eropa peninggalan Imperium Romawi “diwariskan” kepada
Kekaisaran Byzantine di Timur, Kerajaan Merovingian di Barat, dan Khilafah Islam
di Selatan. Untuk kepentingan studi ini, penulis memfokuskan pada kisah Kerajaan

97
Untuk sekedar mempermudah, penulis mengikuti pembabakan sejarah Eropa pertengahan pada
umumnya: Abad Pertengahan Awal (early) sekitar 300-1000, Abad Pertengahan Sentral (central)
1000-1300, dan Abad Pertengahan Akhir (late) sekitar 1300-1450.
98
Di antaranya: Visigoth dan Ostrogoth, Hun (dan Atilla-nya), Sueves, Vandals, Lombards,
Franks, Saxons, dst. J. B. Bury, The Invasion of Europe by the Barbarians. (New York: Norton, 1967).
99
Pemaparan tentang even-even historis pada bagian ini penulis sarikan dari beberapa literatur
seperti Bury, The Invasion; Joseph Strayer, Joseph Strayer, On the Medieval Origins of the Modern
State (Princeton, New Jersey: Princeton Uni Press, 1970); John P. McKay, Bennett D. Hill dan John
Buckler, A History of World Society, Vol I: To 1715 (Boston, Mass.: Houghton Mifflin Company,
1984); Charles Tilly, Coercion, Capital, and European States, AD 990-1992 (Cambridge, Oxford:
Blackwell, 1992), Hendrik Spruyt, The Sovereign State and Its Competitor: An Analysis of Systems
Change (NJ, Princeton: Princeton Uni Press, 1994), Janice Thomson, Mercenaries, Pirates, and
Sovereigns (NJ, Princeton: Princeton Uni Press, 1994), Sarah Percy, Mercenaries: The History of a
Norm in International Relations (Oxford: Oxford Uni Press, 2007), dan Robert Jackson, Sovereignty:
Evolution of an Ideas (Cambridge: Polity Press, 2007). Namun demikian, jika ada argumentasi spesifik
masing-masing penulis, maka akan diberi catatan kaki.

Universitas Indonesia
128

Merovingian, yang disebut-sebut sebagai peletak dasar Eropa modern. Para


Merovingian berasal dari suku Frank (moyangnya Jerman sekarang), yang merupakan
salah satu suku barbar yang ikut andil meruntuhkan Imperium Romawi. Pada abad
ke-9, Merovingian berhasil “ditobatkan” oleh para uskup (bishop) menjadi Kristen,
dan pada gilirannya, ia digantikan oleh kerajaan Carolingian dengan Raja
Charlemagne-nya yang termashyur dengan sebutan Karl the Great, yang sekaligus
merupakan penyandang gelar “kaisar Roma” pertama semenjak runtuhnya Imperium
Romawi. Paus Leo III sendiri yang menganugerahi gelar tersebut pada hari natal
tahun 800. Gelar kehormatan inilah yang terus menerus diturunkan (bahkan
diperebutkan, seringkali diwarnai semburat darah) oleh raja-raja berikutnya. Tidak
hanya gelar, tetapi juga teritori yang amat luas yang dikuasai oleh penyandang gelar
kehormatan itu, yaitu yang belakangan disebut Kekaisaran Agung Romawi.

Gambar III.1. Teritori “Kaisar Roma” Charlemagne pada Abad Ke-8


(Sumber: Encyclopedia Encarta 2009)

Kerajaan Carolingian ini terbagi-bagi kedalam beberapa kerajaan yang lebih


kecil (semacam provinsi, dengan duke/duchess sebagai penguasanya); semacam
desentralisasi kekuasaan pada zaman itu untuk mengatur wilayah yang relatif luas.
Wilayah yang sangat luas ini sebenarnya terfragmentasi lagi ke ratusan tuan
tanah/keluarga bangsawan (yang disebut count/countess) yang saling mengklaim

Universitas Indonesia
129

kekuasaan atas teritori yang disebut regna—Regna-regna inilah yang nantinya


menjadi cikal-bakal regnum Anglicana (Inggris), regnum Gallicum (Perancis),
regnum Hispania (Spanyol), dst. Para tuan tanah ini menjalankan suatu sistem
kontraktual militer-politis dengan para ksatria pada zaman itu demi keamanan
teritorinya agar para pekerja/petani mereka dapat bekerja dengan aman dari gangguan
bandit. Hasil dari tanah inilah yang nantinya akan dipersembahkan kepada raja
sebagai upeti. Sistem kontraktual ini sering disebut secara interchangeable sebagai
Feodalisme atau vassalage. 100 Pengaruh Gereja pada masa-masa itu mulai menguat
kembali semenjak kejatuhan Imperium Romawi. Dari teritori “pemberian” Pepin si
Cebol (ayah Charlemagne), yaitu Negara Papal (Papal State), sekarang Vatikan,
Gereja mulai bergerak menguasai ruang-ruang spiritual para raja dan tuan tanah
dengan klaim-klaimnya yang suci, universal dan melangit. Puncaknya, saat Gereja
memenangkan keyakinan Charlemagne, dan menjadikannya “pengawal” kekristenan
sekaligus “Emperor by God’s grace” atas Persemakmuran Kristen Eropa (Christian
Commonwealth of Europe) atau yang populer disebut Kristendom. Sampai di sini,
terdapat setidaknya dua macam sistem organisasi sosial: feodalisme dan
Persemakmuran Kristen Eropa yang diatur oleh Kekaisaran Agung Romawi.

Pada perkembangannya, Feodalisme pun akhirnya menampakkan eksesnya


mengingat kecacatannya secara sistemik: para ksatria bisa saja melayani lebih dari
satu tuan (liege). Eksesnya jelas: tidak terdapat kejelasan loyalitas ksatria terhadap
tuannya. Feodalisme pun akhirnya menjadi tidak relevan dan akhirnya berangsur
ditinggalkan. Lagipula, sekitar abad 11-an, tentara “profesional” (bayaran—

100
Sistem feodalisme ini tidak muncul begitu saja. Pasca meninggalnya Charlemagne, Carolingian
telah terpecah menjadi tiga wilayah besar. Perpecahan ini diperparah oleh invasi besar-besaran Viking
dari arah utara. Tidak hanya Viking, orang-orang Muslim dari selatan dan Magyar dari Timur
memanfaatkan kelengahan Carolingian. Akibatnya Carolingian menderita perpecahan hebat, wilayah
tidak terurus, raja-raja banyak yang melarikan diri. Dalam situasi inilah feodalisme mendapat tanah
yang subur untuk perkembangannya. Muncul tuan-tuan tanah kaya yang mampu menyediakan
keamanan bagi mereka yang mampu membayarnya. “Bisnis” keamanan ini pun melahirkan ksatria-
ksatria lokal yang menyediakan jasa untuk keamanan siapapun yang bisa membayarnya. Orang-orang
miskin dan lemah kebanyakan akan bekerja pada tuan-tuan tanah yang kaya. Ksatria-ksatria ini pun
kebanyakan disewa oleh para tuan tanah ini. Ratusan tuan tanah bermunculan, dan akibatnya
kekuasaan Eropa pasca serangan Viking menjadi terdesentralisir.

Universitas Indonesia
130

mercenaries) sudah mulai berkembang sehingga ksatria perseorangan mulai


ditinggalkan. Perkembangan sistem perekonomian pun ikut mengakselerasi lemahnya
feodalisme, di sisi lain. Begitu pula dengan Kekisaran Agung Romawi, semenjak
sengketa dengan Gereja pada Reformasi Gregorian (1075),101 perang sipil kerap
terjadi di wilayah Kekaisaran. Kekaisaran pun dilanda krisis pada peristiwa yang
disebut Great Interregnum (1254-1273), di mana mahkota kekaisaran diperebutkan
oleh dua kandidat non-Jerman, Richard dari Cornwall dan Alfonso X dari Castile.
Bayang-bayang kejayaan masa lalu, yaitu saat Kekaisaran Romawi masih berjaya,
membuat Kekaisaran Agung Romawi rindu untuk mengembalikan kejayaan tersebut,
yaitu menguasai Italia dan berada di atas Gereja. Kerinduan ini membuat Kekaisaran
lebih fokus kepada politik, jika bukan invasi, di selatan. Bagian utara Kekaisaran
cenderung di abaikan, sehingga memberi kesempatan untuk raja atau pangeran
Jerman untuk menjadi penguasa-penguasa tandingan.

Entitas dominan abad ke-13


Konsekuensi dari melemahnya feodalisme dan Kekaisaran Romawi Agung ini
adalah muncul beberapa organisasi sosial baru pada kisaran abad ke-12 yang menjadi
kompetitor bangsawan-bangsawan feodal di satu sisi, dan Kekaisaran di sisi lain.
Berikut ini adalah beberapa di antaranya:

101
Saat itu Paus Gregori VII melakukan reformasi terhadap praktik bergereja. Orang-orang yang
ditempatkan di masing-masing gereja (investiture), biasanya ditunjuk oleh Raja. Menurut Gregori,
adalah Tuhan yang menunjuk orang-orang ini, dan semenjak dirinya menjadi perwakilan Tuhan di
dunia, maka melalui dia sajalah orang-orang tersebut seharusnya dipilih. Kaisar Romawi Agung Henry
IV, Raja William si Penakluk dari Inggris, dan Raja Philip I dari Perancis memprotesnya. Akibatnya,
ketiganya dikucilkan (excommunication) oleh Paus. Efek bagi Kekaisaran sangat buruk: raja dan
pangeran dalam Kekaisaran diizinkan untuk mengabaikan perintah dan hukum Kaisar. Tak lama,
perpecahan melanda Kekaisaran. Akhirnya Henry memutuskan untuk meminta pengampunan dari
Paus dan mengakui aturannya.* Bahkan ia rela berdiri selama tiga hari di tengah guyuran salju
menunggu maaf dari Paus di kediamannya di Canossa. Gregori pun luluh lalu memaafkan dan
membatalkan pengucilannya, dengan demikian mengembalikan kekuasaan Kekaisarannya. Namun
demikian, konflik ini tidak berhenti sampai di sini. Bahkan memuncak saat Henry menginvasi Italia
dan menguasai kota Paus ini. Penerus Gregori pun tidak tinggal diam, ia menyulut peperangan di
antara raja-raja Jerman, bahkan ia menyulut putra Henri untuk memberontak terhadap ayahnya.
Konflik ini diakhiri dengan bersatunya kaum Aristiokrat Jerman untuk menekan Kaisar untuk
menghentikan perlawanannya terhadap Gereja. *McKay, dkk, A History of World Society, hal 415.

Universitas Indonesia
131

Di Barat, Dinasti Capetian, secara mengejutkan berhasil memperluas wilayah


kekuasaannya dari hanya sekitar 2600 mil2 (sekitar lima kali pulau Bali) di sekitar
Paris, sampai sebesar sekitar sepertiga wilayah kekuasaan Charlemagne (lihat gambar
1). Dengan dipelopori oleh Raja Hugh Capet, dinasti ini meletakkan dasar yang
nantinya dikenal sebagai negara berdaulat. Dasar-dasar tersebut sepert: sistem
pemerintahan “domestik” (estate) yang terpusat di Paris, penggunaan hukum
universal (dalam hal ini hukum Romawi) sebagai landasan otoritas, melucuti dan
membatasi ruang gerak feodalisme, dan yang paling berani, menentang beberapa
kehendak Paus dan menolak mengakui Roma sebagai pusat kekuasaan—sekalipun
masih tunduk pada kekuasaan Jerman sebagai Kaisar Agung Romawi. 102 Terlebih
lagi, istilah ‘penguasa berdaulat’ (sovereign authority) muncul dari masa dinasti ini.

Di Utara, Kaisar Agung Romawi menyaksikan perpecahan diantara kerajaan-


kerajaan-nya. Para penduduk kota (town) berontak terhadap raja-raja-nya yang egois
dan gila kekuasaan seraya kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Mereka
akhirnya memprakarsai suatu liga kota dagang yang memiliki sistem otoritas terlepas
(sekalipun tidak sepenuhnya independen) dari kerajaan, yang disebut Liga Hanseatic.
Liga mencakup bagian utara Jerman, sedikit Inggris, dan beberapa kota di sekitar
Laut Baltik. Liga juga memiliki angkatan bersenjata yang berfungsi untuk menjaga
keamanan pelayaran perdagangannya. Hanya saja, tidak seperti Dinasti Capetian,
Liga tidak berniat, dan memang demikian, terhadap suatu pengorganisasian teritorial
khusus.

Di Selatan, Italia berkembang dalam rupa negara-kota. Sistem negara-kota


berbeda dari sistem liga-kota à la Liga Hanseatic. Telah terdapat derajat otonomi dan
pemisahan teritori yang cukup jelas antara kota, sementara pada liga-kota, sistem
feodal yang tumpang tindih masih cukup populer. Belum lagi pada libidio aneksasi
para penguasa kota terhadap kota-kota lainnya, sangat berbeda dengan motivasi
dagang liga-kota yang lebih peaceful. Namun demikian, negara-kota tidak dapat

102
Pada krisis saat Reformasi Gregorian.

Universitas Indonesia
132

disamakan dengan negara berdaulat (sovereign), karena hirarki yang terdapat dalam
suatu kota tidak serapi negara berdaulat. Misalnya, kota Genoa yang ditaklukan
Milan, masih diberi otoritas terbatas untuk mengatur administrasi kotanya. Para
penguasa sebenarnya hanya tertarik untuk menguasai, dan bukan memerintah. Kota
taklukan tadi secara rutin membayar upeti. Dengan demikian sistem ini lebih tepat
disebut suzerainty, ketimbang sovereignty.

Selain ketiga sistem organisasi sosial diatas, terdapat juga beberapa entitas
lain yang memiliki cukup peran dalam perpolitikan (baca: peperangan) di Eropa Abad
Pertengahan Akhir. Misalnya, ksatria-ksatria yang tergabung dalam Ordo Militer
Relijius (seperti Teutonic Knights, dan The Hospitallers) 103. Entitas lainnya yang
belakangan mendapat sorotan juga, rupa-rupa tentara bayaran yang loyalitas dan
tuannya berpindah-pindah seiring bergantinya penguasa yang membayar mereka.
Janice Thomson mengklasifikasikan jenis-jenis tentara bayaran ini pada Tabel 1.

Decision-Making Allocation Ownership


Authority Authoritative Market State Non-state
(1) Loan (2) Lease (5) Modern
State (6) Privateers
troops to ally troops to ally staning army
(3) Int’l (4) Soldier of
Non-State (7) Filibusters (8) Pirates
brigades fortune

Tabel III.1. Jenis-jenis tentara berdasarkan otoritas memerintah, alokasi penggunaan,


dan kepemilikannya.
(Sumber: Thomson, Mercenaries, hal. 8)104

103
Ditambah dengan The Poor Knights of Christ, atau yang terkenal dengan sebutan The Templars,
keseluruhan ada tiga ordo. Hanya, pada 1307, Raja Philip IV dan Paus Clement V membubarkan (dan
membinasakan) seluruh ordo dengan alasan ordo tersebut menjalankan praktek-praktek bid’ah
(heresy). Alasan ini belakangan menjadi kontroversi mengingat ada isyarat bahwa hal tersebut adalah
akal-akalan Philip untuk merebut kekayaan The Templars.
104
Tabel ini mencoba menarik suatu matriks tentang jenis-jenis entitas pengguna kekerasan. Dari
tabel ini, Thomson menunjukkan bahwa suatu entitas pengguna kekerasan akan berbeda “status” saat
ia berganti kepemilikan, komando atau cara alokasinya. Pada matriks 1, pasukan dimiliki oleh negara
dan dikomandoi oleh negara. Contoh pasukan seperti ini biasanya adalah pasukan-pasukan yang
dikirim dalam rangka membantu negara sekutu untuk kepentingan politik tertentu. Berbeda dengan
pasukan pada matriks 2, biasanya kepentingannya adalah kepentingan ekonomi. Negara-negara miskin

Universitas Indonesia
133

Semenjak kerajaan-kerajaan pada Eropa Abad Pertengahan belum memiliki angkatan


bersenjata permanen, maka kebanyakan raja-raja tersebut menggunakan bantuan
tentara bayaran untuk berperang. Misalnya, pada 1243, Henri III menyewa privatir
untuk menyerang Cinque Ports di Perancis. Pada 1544, Henri VIII kembali
menggunakan privatir untuk menyerang Perancis, kali ini dengan izin untuk
mengambil barang-barang rampasan mereka. Begitu pula dengan Ratu Elizabeth
dengan privatirnya yang terkenal dengan sebutan Anjing-Anjing Laut Elizabeth
(Elizabethan Sea Dogs) saat berperang melawan Spanyol. Elizabeth bahkan rela
membayar setara dengan sekitar 5-10% total impor Inggris. 105 Sekalipun lebih banyak
menggunakan bandit, ada juga kasus di mana raja menyewa pasukan dari kerajaan
tetangga. Swiss misalnya yang telah menyewakan pasukannya kepada Perancis
semenjak abad ke-14, untuk kerajaan Louis XII sendiri, maupun untuk Kerajaan
Perancis pada saat berperang melawan Italia. Bahkan, Swiss menyewakan
pasukannya sampai 1793.106

Tumpang tindih kekuasaan


Konfigurasi kekuasaan di antara entitas-entitas yang barusan di bahas pada
Abad Pertengahan menunjukkan pola yang tidak teratur, jauh dari kejelasan, dan
tumpang tindih. Antara entitas yang satu dan entitas yang lainnya bisa memiliki
kekuasaan atas satu wilayah yang sama. Gereja, misalnya, memainkan peran amat
penting pada abad ke-12 sampai 15. Bahkan kekuasaanya bisa dibilang di atas Kaisar
Romawi Agung. Dengan mengucilkan Kaisar pada kasus Reformasi Gregori VII,

biasanya menyewakan tentaranya kepada negara-negara kaya. Pada matriks 3, pasukan tidak dimiliki
oleh negara namun diarahkan untuk kepentingan politik tertentu, contohnya Brigade Internasional pada
perang saudara di Spanyol yang mendukung kaum republikan. Entitas ke-4 biasanya adalah pasukan
yang rela melakukan apa saja demi uang: soldier of fortune atau bounty hunter. Terkait kepemilikan,
entitas ke-5 adalah pasukan negara pada umumnya. Ke-6, misalnya privatir/kapal penyerang
(privateer) yang disewa negara untuk menyerang musuh. Saat tidak sedang disewa negara, maka
privatir cenderung menjadi bajak laut (pirate), matriks ke-8. Matrik ke-7, filibuster, atau pasukan yang
dimiliki negara, namun dikomandoi bukan oleh negara tersebut. Pasukan dari Pakistan yang
diintegrasikan di angkatan bersenjata Arab Saudi merupakan contoh filibuster.
105
Kenneth R. Andrews, Elizabethan Privateering: English Privateering during the Spanish War,
1585-1603 (Cambridge :Cambridge Uni Press, 1964), hal. 128.
106
Percy, Mercenaries, hal. 73.

Universitas Indonesia
134

Gereja mampu membuat Kaisar tidak dipatuhi oleh raja-rajanya. Permasalahan


kepemilikan estate/vassal juga menunjukkan tumpang tindihnya konfigurasi Eropa
Pertengahan ini. Misalnya, pada sekitar abad ke-14, raja Perancis mengirimkan surat
kepada count dari Flanders yang merupakan vassal-nya, juga kepada count dari
Luxemburg yang merupakan pengikut Kekaisaran Romawi Agung akan tetapi juga
memiliki estate di Perancis, juga kepada raja Sisilia di Italia yang sebenarnya
merupakan pemimpin sebuah kerajaan tetapi juga merupakan seorang pangeran dari
salah satu dinasti di Perancis. 107 Perang Habsburg-Valois juga menunjukkan
ketidakjelasan otoritas kekuasaan ini. Saat itu pangeran Maximilian I dari Habsburg,
yang merupakan salah satu dinasti di Kekaisaran Agung Romawi, menikahi Mary
dari Burgundi, dinasti yang amat kaya dan kuat di Kerajaan Perancis. Akibatnya, Raja
Perancis Louis XI dari dinasti Valois, geram dan terus menyerang teritori Burgundi
sampai Maximilian mau mengakui bahwa Burgundi adalah termasuk wilayah
Perancis. Pengakuan ini termaktub dalam Perjanjian Arras (1482).108

Banyak juga pemerintah-pemerintah lokal (misalnya, sheriff di Inggris; bailis


dan senechals di Perancis; ministeriales di Jerman) yang justru meraup seluruh pajak
yang sedianya dibayarkan oleh rakyat kepada raja/kaisar. Di Italia pun tidak kalah
kaburnya, seorang raja bisa memiliki jajahan (tributary) dari kerajaan lainnya, namun
tidak menguasainya sebagai otorita. Semisal saat raja Milan berhasil menaklukkan
Genoa, Genoa masih mempertahankan sebagian besar independensi mereka sebelum
ditaklukan Milan, hanya saja kali ini Genoa harus membayar sejumlah upeti. Malahan
Hendrik Spruyt mencatat, terdapat perang yang tak kunjung berhenti di antara negara-
kota di Italia. 109 Peperangan ini justru menguntungkan bagi tentara bayaran
(condotierre, di Italia), karena mereka mendapat pekerjaan. Apabila peperangan ini
berhenti, atau masa-masa gencatan senjata, seringkali para tentara bayaran ini malah

107
Strayer, On the Medieval Origins, hal 83.
108
Walau demikian sejarah membuktikan, perjanjian ini bukan akhir dari pertikaian akibat ketidak-
jelasan otoritas kekuasaan. Malahan, pernikahan Maximilian-Mary ini merupakan awal dari perang
hebat di Eropa yang berlangsung selama kurang lebih dua abad kemudian.
109
Spruyt, The Sovereign State, hal. 147.

Universitas Indonesia
135

memeras raja-raja dengan ancaman teror. Sistem hirarki yang mewarnai sistem-
sistem pengorganisasian di Eropa nampaknya belum begitu siginifikan berpengaruh
pada rapinya pemusatan kekuasaan.

Seri perang menuju negara-modern


Eropa Pertengahan adalah benua dimana peperangan silih berganti pecah, baik
itu di dalam maupun di luar negeri/kerajaan. Peperangan di abad ke-16 dan 17 ini
diwarnai beragam isu dan motif perang. Masing-masing kerajaan memiliki motifnya
sendiri: ada yang bermotifkan relijius, yaitu untuk memperjuangkan agamanya
sembari menghancurkan agama lainnya;110 beberapa berjuang demi otonomi politik
kerajaannya; yang lain demi ekspansi teritori politik. Satu hal yang pasti, peperangan
di abad ini merupakan peperangan bersejarah yang hasilnya akan mengubah politik
Eropa ke depan, yaitu munculnya sistem internasional berbasis negara berdaulat.
Setidaknya ada dua perjanjian yang menjadi poin penting untuk diperhatikan, yaitu
Perjanjian Relijius Augsburg 1555 dan Perjanjian Westphalia 1648. Kedua perjanjian
inilah yang mengakselerasi pelemahan Gereja dan Kekaisaran Agung Romawi, dan
memberi jalan bagi gagasan negara-berdaulat modern.

Perjanjian Augsburg mengakhiri peperangan ratusan tahun antara Penguasa


dari dinasti Habsburg Austria dan dari dinasti Valois, Kerajaan Perancis. Perang
tersebut biasa disebut sebagai perang Habsburg-Valois. Perang ini berawal dari
pernikahan Pangeran Maximilian I dari Habsburg, yang merupakan salah satu
dinasti di Kekaisaran Agung Romawi, dengan Mary dari Burgundi, dinasti yang amat
kaya dan kuat di Kerajaan Perancis. Merasa dilangkahi teritorinya, Raja Perancis
Louis XI dari dinasti Valois, geram dan mendesak Maximilian untuk mengakui
Burgundi sebagai teritorinya. Louis terus menyerang teritori Burgundi sampai
Maximilian akhirnya terpaksa mengakui bahwa Burgundi adalah termasuk wilayah

110
Pertempuran yang disebut Mandelson sebagai “kompetisi intra-relijius” ini mempertemukan
Katolik, Lutheran dan Calvinis. Lihat Barak Mandelson, God vs. Westphalia: The Longer World War,
Makalah pada Annual Convention of the International Studies Association (Maret 2007), hal. 14.
[Makalah tidak terbit].

Universitas Indonesia
136

Perancis. Pengakuan ini termaktub dalam Perjanjian Arras (1482).111 Namun


demikian, perjanjian ini bukanlah akhir dari pertikaian akibat ketidak-jelasan otoritas
kekuasaan atas Burgundi. Malahan, pernikahan Maximilian-Mary ini merupakan
awal dari perang hebat di Eropa yang berlangsung selama kurang lebih dua abad
kemudian.

Philip, putra Maximilian dan Mary, dinikahkan dengan Joanna dari Castile,
putri dari Ferdinand dan Isabela dari Spanyol. Keduanya dianugerahi anak yang
dinamai Charles V. Charles menerima warisan teritori yang amat luas—Burgundi,
Austria, dan daerah kekuasaan Spanyol di Amerika Tengah dan beberapa kerajaan di
Italia. Dengan modal sebesar ini, Charles merasa mendapat panggilan untuk
menyatukan kembali kejayaan Kristendom di bawah Kekaisaran Agung Romawi.
Namun demikian hal ini tidak lantas berarti bahwa Charles akan dengan mudah
menyatukan Kekaisaran. Perpecahan di dalam Kekaisaran diperparah dengan
munculnya isu agama sebagai tema konlik, yaitu isu Protestanisme. Sebagaimana
diketahui, Eropa Abad Pertengahan akhir ditandai oleh Reformasi Gereja dan
munculnya Protestanisme. Kemunculan ini tidak mendapat sambutan di kalangan
Katolik. Pandangan sama juga ditujukan pada Calvinis; kehadirannya dianggap
merusak tatanan awal yang Katolik. Pandangan ini adalah pandangan Charles V sang
Kaisar saat ia meredam perlawanan raja-raja Jermannya yang beragama Protestan.
Serial perang saudara ini berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Augsburg
1555 yang mendeklarasikan hukum cuius regio euius religio (whose the region, his
the religion) yang mengizinkan setiap raja menentukan agama apa yang akan dianut
oleh kerajaannya, tanpa campur tangan dari Kekaisaran. Akibatnya, banyak raja-raja
di bagian Utara dan Tengah Jerman menjadi Lutheran, sementara mayoritas raja-raja
di Selatan tetap memeluk Katolik.

111
Walau demikian sejarah membuktikan, perjanjian ini bukan akhir dari pertikaian akibat ketidak-
jelasan otoritas kekuasaan. Malahan, pernikahan Maximilian-Mary ini merupakan awal dari perang
hebat di Eropa yang berlangsung selama kurang lebih dua abad kemudian.

Universitas Indonesia
137

Namun demikian, perjanjian tersebut tidak menjamin Kekaisaran bebas dari


konflik relijius berikutnya. Perjanjian Augsburg hanya mengakui dua agama—
Katolik dan Protestan Lutheran—sementara perkembangan Calvinis Reformed di
Kekaisaran semakin meningkat. Mulai marak Calvinis yang dengan semangat
militannya mengkonversi raja-raja di Jerman, dan dengan demikian tidak
mengindahkan perjanjian Augsburg. Menanggapi hal ini, Kaisar Romawi Agung
yang baru, Rudolf II memberlakukan kembali pembatasan kehidupan beragama.
Perjanjian Augsburg diabaikan. Sampai sekitar awal abad ke-17, telah terbentuk dua
blok relijius dalam Kekaisaran: Uni Evangelis (Evangelical Union) yang merupakan
aliansi kaum Protestan pada 1608, dan Liga Katolik (Catholic League) yang
merupakan aliansi kaum Katolik pada 1609; masing-masing memperlengkapi dirinya
dengan persenjataan untuk berjaga-jaga akan perang yang mungkin timbul.

Persiapan kedua blok ternyata tidak sia-sia. Kali ini peperangan dipicu
kembali oleh dinasti Habsburg. Saat Charles V melepaskan jabatan Kekaisarannya, ia
membagi wilayah kekuasaanya di Spanyol dan di Eropa Tengah kepada kedua
anaknya: Philip I mendapat Spanyol, dan Ferdinand I mendapat wilayah di Eropa
Tengah (mencakup Austria, Bohemia dan Hungaria). Adalah cucu dari Ferdinand I,
yang juga bernama Ferdinand (dari Styria), yang saat terpilih sebagai raja Bohemia
menjalankan kebijakan diskriminasi agama. Ferdinand bahkan menutup beberapa
gereja Protestan.112 Hal ini tentu membuat para bangsawan Protestan di Bohemia
mengamuk. Pada 23 Mei 1618, peristiwa bersejarah terjadi. Dua orang Protestan
mendatangi istana Ferdinand, dan melempar dua orang pegawai kerajaan ke luar
jendela istana. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai “pelemparan di Praha” (the
defenestration of Prague), sekaligus menandai dimulainya Perang Tiga Puluh
Tahun.113

112
Perlu ditekankan bahwa seluruh keturunan Charles V amat mendukung gagasan kakek mereka,
yaitu pengembalian kejayaan Kristendom di bawah Kekaisaran Romawi Agung.
113
Hal yang seringkali diabaikan, memang kedua pegawi tersebut dilempar dari ketinggian sekitar
70 kaki, namun demikian mereka terjatuh ditumpukan pupuk sehingga hanya menderita luka-luka
kecil. Lihat Stéphane Beaulac, The Power of Language in the Making of International Law (Leiden,
Bostin Martinus Nijhoff Publishers, 2004), hal. 81cat351.

Universitas Indonesia
138

Perang Tiga Puluh Tahun


Secara umum, perang ini terdiri dari empat fase. Fase pertama adalah fase
Bohemia (1618-1625) yang ditandai dengan perang saudara di wilayah Bohemia.
Perang ini membenturkan Liga Katolik yang dipimpin Raja Ferdinand melawa Uni
Evangelis yang dipimpin Pangeran Frederick dari Palatine. Ferdinand diberhentikan
dari jabatan rajanya oleh pangeran-pangeran Bohemia, dan sebagai gantinya,
Frederick diangkat menjadi Raja Bohemia pada 1618. Naiknya Ferdinand sebagai
Kaisar Romawi Agung pada 1620, menambah kekuatan Ferdinand untuk benar-benar
menghapuskan protestanisme dari Bohemia. Fase kedua adalah fase Denmark (1625-
1629), yaitu saat Raja Christian IV dari Denmark berpartisipasi membela kaum
protestan. Sayang, jenderal perang Katolik Albert dari Wallenstein terlalu kuat bagi
Christian sehingga Bohemia harus menyaksikan kekalahan protestan kembali. Selama
dua fase ini, sekitar 10 tahun, Bohemia berhasil sepenuhnya dikatolikkan oleh
Ferdinand.

Fase-fase berikutnya, angin bertiup ke arah Protestan. Kedatangan Raja


Swedia Gustavus Adolphus di tanah Jerman menandai fase ketiga, fase Swedia.
Dengan membawa Denmark (lagi), Polandia, Finlandia dan beberapa negara kecil di
Baltik, Raja Gustavus datang untuk membantu Protestan, atau lebih khususnya
saudaranya, yaitu Duke Mecklenburg yang sedang diasingkan. Fase ini juga
menyaksikan keterlibatan Perancis, melalui perdana menteri Cardinal Richelieu,
dalam membantu Swedia secara finansial. 114 Gustavus berhasil memukul Katolik di
Breitenfield dan Lützen masing-masing pada 1631 dan 1632. Namun Gustavus
ternyata harus tewas pada pertempuran di Nördlingen pada 1634, yang akhirnya
membuat Perancis tidak tahan untuk segera campur tangan untuk membela
Protestan—atau lebih tepatnya melawan Habsburg. Masuknya Perancis ini menandai
fase keempat Perang ini (1635-1648). Masuknya Perancis ini sekaligus juga
menandai “internasionalisasi” Perang Tiga Puluh Tahun, yaitu dengan bergabungnya

114
Semenjak Perang Habsburg-Valois, Perancis telah menanam kebencian pada Habsburg,
sekalipun keduanya beragama Katolik.

Universitas Indonesia
139

Belanda (sebagai balas budi saat berperang melawan Spanyol, 1622), Skotlandia, dan
sejumlah tentara bayaran Jerman yang disewa raja-raja Potestan Jerman. Perang pada
fase ini berlangsung lama, bahkan bisa dibilang stalemate dimana tidak ada pihak
yang memenangkan peperangan. Keterbatasan logistik dari kedua belah pihak adalah
penyebabnya.115 Situasi stalemate (imbang) membuat para raja/ratu tidak memiliki
pilihan lain selain duduk bersama dan memikirkan perjanjian damai untuk
menghentikan perang. Perang telah menghancurkan perekonomian masing-masing
pihak, sehingga perdamaian menjadi kepentingan bersama yang mendesak untuk
dipenuhi (setidaknya untuk sementara waktu). Perang ini berakhir dengan
disepakatinya Perjanjian Damai Westphalia, dengan dua traktat utamanya: Traktat
Münster yang mendamaikan antara Perancis (dan sekutunya) dengan Kekaisaran
Romawi Agung, dan Traktat Osnabrück yang mendamaikan Swedia (dan sekutunya)
dengan Kekaisaran Romawi Agung.

III.4. Eropa Baru (?) dan Perjanjian Westphalia 1648


Baru?
Lebih dari sekedar mendamaikan pihak-pihak yang berperang pada Perang
Tiga Puluh Tahun, perjanjian Westphalia memiliki arti penting dalam sejarah
Eropa—dan pada akhrinya dunia. Arti penting pertama adalah bahwa perjanjian ini
menandai berakhirnya proyek-proyek ideal khas Abad Pertengahan. Proyek tersebut
adalah proyek untuk menyatukan Eropa di bawah seorang penguasa tunggal, yaitu
Kaisar Romawi Agung di satu sisi, dan Gereja Katolik di sisi lainnya. Sejarah
menyaksikan bagaimana jatuh bangun kaisar-kaisar Romawi Agung semenjak
Charlemagne, Frederick Barbarossa sampai Ferdinand berusaha menyatukan Eropa di
bawah kekuasaan tunggalnya. Bahkan Gereja pun ingin dikuasainya.

115
Perancis: Apa yang bisa diharapkan dari negara yang sedang berperang dengan negara sebesar
dan sekuat Spanyol, dan belum 30 tahun mengalami terkoyaknya persatuan “nasionalnya” pasca
pembantaian St. Bartholomew. Begitu pula dengan Kekaisaran yang terbelah antara Protestan di Utara
dan Tengah, dan Katolik di Selatan.

Universitas Indonesia
140

Apabila dipahami secara psikogenealogis, fragmentasi dalam tubuh


Kekaisaran ini memicu kegelisahan eksistensial dalam diri Kaisar. Kegelisahan ini
berikutnya akan memproduksi fantasi-fantasi ideal yang mampu mengkompensasi
kegelisahan ini. Fantasi tersebut tidak lain adalah apa yang disebut kedaulatan.
Kedaulatan ini mungkin belum diartikan sebagaimana yang tersirat dalam Perjanjian
Westphalia, melainkan suatu dominasi total atas Eropa. Asal-usul fantasi ini tidak
lain adalah kejayaan Romawi sebelum invasi kaum barbar abad 5 dan 6. Saat itu,
kekuasaan Kekaisaran sampai meliputi Perancis, Spanyol, dan Afrika Utara di
sebelah timur, dan di sebelah Barat mencakup Italia, sebagian Eropa Tengah, Turki,
Yunani, sampai Israel/Palestina dan Mesir (bandingkan gambar 2 dan 3).116 Fantasi
inilah yang terus memicu hasrat ekspansionistik Kaisar-Kaisar Romawi. Seri-seri
perjuangan demi mengembalikan kejayaan pun dijalankan, kegagalan
memperolehnya (misalnya Kekaisaran selalu mengalami kesulitan melawan raja-raja
Italia dan Perancis. Armada Inggris pun bukan tandingan Kekaisaran) bukannya
menghentikan petualangan kedaulatan Kaisar, malah terus mereproduksi hasrat
tersebut. Tidak ada nama lain bagi perjuangan mati-matian demi ke-diri-an yang utuh
dan berdaulat ini selain perjuangan fasis.

Gambar III.2. Teritori Kekaisaran Romawi pada Puncak Kejayaannya (Abad 12)

116
Mengacu pada ukuran masa kini.

Universitas Indonesia
141

Gambar III.3. Teritori Kekaisaran Romawi Agung semasa Charles V (1530)

Ideal khas Abad Pertengahan lainnya adalah persoalan relijius, yaitu


permasalahan menyatukan Eropa di bawah satu bendera agama, yaitu Kristen
(Katolik). Namun demikian, semenjak Krisis Investitur pada Reformasi Paus Gregori
VII, mulai nampak perlawanan dari beberapa kekuatan Eropa (Kekaisaran, Perancis
dan Inggris), dengan demikian membuat ideal tersebut nampak memudar. Di
sambung dengan Skisma Besar yang mengoyak tubuh Gereja dengan menandingkan
dua versi kepausan (Paus Urban VII di Roma dengan anti-Paus Clement VII di
Avignon), ideal itu semakin memudar. Bahkan diperparah dengan serial Reformasi di
Eropa: Lutheranisme di Jerman Utara dan sekitar Baltik, Calvinisme di Swiss,
Presbiterianisme di Skotlandia, Anglikanisme di Inggris, dan yang paling ironis,
Perancis yang notabene juga Katolik nampak tak sudi untuk tunduk di bawah
kekuasaan Kepausan.

Dari sudut pandang psikogenealogis, Gereja juga mengalami kegelisahan


eksistensial di sini. Namun agak berbeda dari Kekaisaran, Gereja justru mendapat
fantasi-fantasi idealnya saat bercermin dengan fantasi tubuh Kristus (Tuhan mereka).
Gereja berupaya mati-matian menjadi manifestasi Kristus di bumi, jika tidak menjadi
serupa dengan-Nya, dengan cara menegakkan Respublica Christiana dengan Gereja
sebagai otoritas sentralnya. Alhasil perjuangan mati-matian untuk menjadi “Kristus”

Universitas Indonesia
142

itu dilakukan. Paus menghasut raja-raja dan pangeran Jerman saat Kaisar Romawi
Agung Henri IV membangkang reformasi Gregorian, bahkan Paus menghasut anak
Kaisar untuk bangkit melawan ayahnya. Paus juga mengejar-ngejar para bid’ah
Protestan dan membakar mereka hidup-hidup di pasar.117 Hanya saja, taraf
keberhasilan Paus tidak sebanding dengan Kekaisaran. Alasannya adalah
permasalahan teknis, yaitu sumber daya. Seperti telah disinggung pada bagian
sebelumnya, yang membedakan perjuangan fasisme dari perjuangan hasrat lainnya
adalah determinasi (bersikeras) dan agresi. Dalam hal determinasi, kesungguhan
Gereja untuk mengidentifikasi diri dengan Tuhan tidaklah diragukan lagi. Hanya saja,
perjuangan agresif membutuhkan sumber daya yang banyak, untuk berperang
misalnya. Sementara di pihak Gereja, Gereja hanya bisa menggantungkan perjuangan
mereka pada raja-raja yang (setelah dihasut) turut memperjuangkan cause Gereja.
Untuk komparasi hasrat fasistis Kekaisaran dan Gereja, lihat tabel 1.

Kekaisaran Romawi Agung Gereja Katolik Roma


Fragmentasi internal
Sumber Fragmentasi Internal (perang (Skisma Besar; Reformasi);
kegelisahan saudara); Wilayah yang sempit pembangkangan beberapa
Kaisar dan raja
Fantasi Ideal
Dominasi politik total atas Dominasi relijius total atas
Imajiner
Eropa Eropa
(obyek a)
Obyek hasrat Kekaisaran Romawi Respublica Christiana
Kejayaan Kekaisaran Romawi
Cermin Imaji Kristus dalam Alkitab
abad ke-2 & 3
Mode Mengkonversi Kaisar;
perjuangan Ekspansi imperial Menghasut raja-raja atau
fasis pangeran-pangeran

Tabel III.2. Komparasi Hasrat Fasistis Kekaisaran Romawi Agung dan Gereja Katolik
Roma pada Abad Pertengahan Akhir (Abad ke-12 s/d 16)

117
Tidak hanya Paus sebenarnya, gestur fasis serupa juga dilakukan John Calvin. Saat humanis
Spanyol Michael Servetus melarikan diri dari kejaran inkuisisi Spanyol, dan meminta perlindungan
dari Swiss yang telah di-teokrasi-kan oleh Calvin, Calvin menolak bahkan membakarnya hidup-hidup
di pasar. Alasannya, cervetus menolak ajaran trinitas—alasan mengapa ia dikejar-kejar pasukan
inkuisisi Gereja di Spanyol. Jadi sebenarnya kerinduan fasistik berkedok reliius tidak hanya dikejar
oleh Paus, melainkan juga agama-agama Kristen lainnya.

Universitas Indonesia
143

Perjanjian Damai Westphalia 1648 adalah perjanjian yang mengakhiri Perang


Tiga Puluh Tahun. Pandangan umum sejarawan mengatakan bahwa Perjanjian ini
menandai akhir dari perjuangan-perjuangan ideal Abad Pertengahan.118 Apa benar
demikian? Jika perjuangan yang dimaksud adalah perjuangan oleh Kekaisaran Agung
Romawi dan Gereja Katolik Roma, maka pandangan ini benar adanya. Pasca
Perjanjian, keberadaan Gereja tak lebih dari sekedar performatif. Demikian pula
Kekaisaran, Perjanjian telah mendegradasi statusnya sehingga tidak lebih dari sebuah
kerajaan/negara, dan bukan Kekaisaran. Namun demikian, jika ideal yang dimaksud
adalah fantasi dominasi total atas Eropa, maka penulis adalah orang pertama yang
akan membantahnya.

Pada pembahasan di bagian ini, penulis ingin menekankan bahwa ideal-ideal


Abad Pertengahan berupa ke-diri-an yang utuh yang termanifestasikan dalam bentuk
dominasi total Eropa, belumlah mati. Hanya saja, kali ini subyek fasis bukan lagi
Kaisar dan Paus, melainkan raja-raja. Fantasi juga tidak lagi merujuk pada kejayaan
masa lalu dan kejayaan ideal alkitabiah, melainkan merujuk pada apa yang menjadi
tema sentral pada studi ini: kedaulatan. Pola fantasi ini pun tidak lagi berupa
absolutisme total atas Eropa, melainkan berupa distribusi kedaulatan (Ruggie
menyebutnya ‘heteronomi’). 119 Manifestasi atau bahkan sublimasi dari fantasi ideal
ini adalah negara-berdaulat modern, dengan otonomi sebagai aspek kedaulatan yang
paling ditekankan pada Perjanjian. Disebut sublimasi, karena fantasi yang transenden
tadi mematerialisasi dalam obyek yang imanen, yaitu negara-berdaulat modern,
sehingga natur obyek ini ada dua: imanen sekaligus transenden. Lalu terakhir, mode
perjuangan fasisnya jelas: peperangan demi otonomi—perang Habsburg-Valois,
Perang Tiga Puluh Tahun, dst.120

118
McKay, dkk., A History of Medieval Society, hal. 680.
119
Ruggie, “Territoriality...,”
120
Sekedar catatan, Otonomi berbeda dari kemerdekaan: yang pertama merupakan dorongan aktif
bahkan agresif untuk merebut suatu bentuk ideal, sementara kemerdekaan hanya merupakan aksi
defensif yang reaksioner.

Universitas Indonesia
144

Variabel lainnya seperti kegelisahan eksistensial seperti apa dan dari mana
fantasi ideal itu tercermin, adalah tujuan penulis pada bagian ini. Untuk penelusuran
ini, penulis akan memulai dari simptom perjuangan fasis tersebut. Dalam hal ini,
simptom merupakan “saksi” perjuangan fasis tersebut. Untuk itu, penulis akan
menggunakan metode pembacaan simptom sebagaimana telah dibahas pada bab
sebelumnya. Sekedar mengulas, pembacaan simptom berusaha menarik mengurai tiga
elemennya—bentuk, isi laten, dan ketaksadarannya, juga mengurai struktur dari
simptom tersebut—gagasan universal simbolik yang membenarkan dan menormalkan
perjuangan fasis (S2), citra-diri ideal yang dituju (S1), fantasi yang menjadi basis
citra-diri ideal (a), dan tentunya kegelisahan yang membuat para raja gegar ($).
Melalui pembahasan ini, penulis ingin menekankan bahwa Perjanjian Westphalia
tidak sepenuhnya menandai lahirnya Eropa baru, melainkan tetap Eropa lama yang
fasis dalam wajah baru. Subyek-subyek fasis Eropa lama, yang sebelumnya hanya
para kaisar dan paus, kini semakin tersebar ke puluhan bahkan ratusan raja-raja di
Eropa.

Perjanjian
Perjanjian Westphalia ini terdiri dari dua sub-traktat, yaitu Traktat Osnabrück,
yang mengakhiri pertikaian antara Ratu Protestan Swedia melawan Kaisar Habsburg
dari Kekaisaran Roma (Holy Roman Empire), dan Traktat Münster, yang mengakhiri
pertikaian antara Raja Katolik Perancis yang juga melawan Kekaisaran Roma.
Dengan demikian, kedua perjanjian ini bersifat bilateral. Tujuan utama perjanjian ini,
setidaknya secara redaksional, ada empat hal: pertama, mewujudkan perdamaian di
Eropa,
“That this Peace and Amity be observ'd and cultivated with such a Sincerity and
Zeal, that each Party shall endeavour to procure the Benefit, Honour and Advantage
of the other; that thus on all sides they may see this Peace and Friendship in the
Roman Empire, and the Kingdom of France flourish, by entertaining a good and
faithful Neighbourhood.”
[Münster, I] 121
121
Sumber kutipan diambil dari Treaty of Westphalia; October 24 1648, The Avalon Project (Yale
Law School, 1996). Diakses dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon. Untuk seterusnya, kutipan di
ambil dari sumber ini, dan untuk efisiensi, hanya akan ditulis pasalnya saja dalam kurung siku.

Universitas Indonesia
145

“That there shall be on the one side and the other a perpetual Oblivion, Amnesty, or
Pardon of all that has been committed since the beginning of these Troubles...”
[Münster, II]

“[T]hat a reciprocal Amity between the Emperor, and the Most Christian King, the
Electors, Princes and States of the Empire, may be maintain'd so much the more firm
and sincere ...”
[Münster, III]

Kedua, penyelesaian sengketa teritori dan ganti kerugian perang. Sengketa ini
termasuk pengembalian wilayah-wilayah yang sebelumnya dirampas, baik dari pihak
Perancis, Swedia, dan Kekaisaran. Wilayah-wilayah yang diatur dalam Perjanjian ini
juga mencakup wilayah-wilayah dari raja-raja Jerman di Kekaisaran. Pasal yang
mengatur ini mendominasi isi perjanjian. Ketiga, penyelesaian sengketa keagamaan,
dalam hal ini melanjutkan poin Perjanjian Augsburg 1555, yaitu cuius regio eius
religio—agama satu kerajaan akan ditentukan/disesuaikan dengan agama yang dianut
rajanya.
“That those of the Confession of Augsburg, and particularly the Inhabitants of
Oppenheim, shall be put in possession again of their Churches, and Ecclesiastical
Estates, as they were in the Year 1624. as also that all others of the said Confession of
Augsburg, who shall demand it, shall have the free Exercise of their Religion, as well
in publick Churches at the appointed Hours, as in private in their own Houses, or in
others chosen for this purpose by their Ministers, or by those of their Neighbours,
preaching the Word of God.”
[Münster, XXVIII]122

Ketiga, mengembalikan dan juga mengamankan denyut perekonomian Eropa yang


mati selama peperangan berlangsung.
“The Rights and Privileges of Territorys, water'd by Rivers or otherways, as Customs
granted by the Emperor, with the Consent of the Electors, and among others, to the
Count of Oldenburg on the Viserg, and introduc'd by a long Usage, shall remain in
their Vigour and Execution. There shall be a full Liberty of Commerce, a secure
Passage by Sea and Land: and after this manner all and every one of the Vassals,
Subjects, Inhabitants and Servants of the Allys, on the one side and the other,
shall have full power to go and come, to trade and return back, by Virtue of this
present Article, after the same manner as was allowed before the Troubles of Germany;
the Magistrates, on the one side and on the other, shall be oblig'd to protect and

122
Seluruh penebalan pada kalimat-kalimat yang dikutip adalah dari penulis, tujuannya untuk
menunjukkan sari dari seluruh pasal tersebut. Berlaku untuk seluruh kutipan Perjanjian pada studi ini.

Universitas Indonesia
146

defend them against all sorts of Oppressions, equally with their own Subjects,
without prejudice to the other Articles of this Convention, and the particular laws and
Rights of each place. And that the said Peace and Amity between the Emperor and the
Most Christian King, may be the more corroborated, and the publick Safety provided
for, it has been agreed with the Consent, Advice and Will of the Electors, Princes and
States of the Empire, for the Benefit of Peace”
[Münster, LXX]

Perjanjian ini juga memiliki arti penting bagi perkembangan gagasan negara
berdaulat yang telah dimulai oleh Dinasti Capetian di Perancis. Hal ini demikian
karena perjanjian ini memanifestasikan lebih jauh gagasan tentang kedaulatan dan
negara modern yang berdaulat yang sebelumnya telah dipraktikkan oleh Kerajaan
Perancis. Prinsip kedaulatan modern sebagaimana termaktub dalam Westphalia, ada
dua: pertama, yurisdiksi penuh, yaitu hak raja untuk bebas mengatur secara legal
kehidupan di dalam teritori wilayahnya,
“That as well as general as particular Diets, the free Towns, and other States of
the Empire, shall have decisive Votes; they shall, without molestation, keep their
Regales, Customs, annual Revenues, Libertys, Privileges to confiscate, to raise
Taxes, and other Rights, lawfully obtain'd from the Emperor and Empire, or enjoy'd
long before these Commotions, with a full Jurisdiction within the inclosure of
their Walls, and their Territorys: making void at the same time, annulling and for
the future prohibiting all Things, which by Reprisals, Arrests, stopping of Passages,
and other prejudicial Acts, either during the War, under what pretext soever they
have been done and attempted hitherto by private Authority, or may hereafter without
any preceding formality of Right be enterpris'd. As for the rest, all laudable Customs
of the sacred Roman Empire, the fundamental Constitutions and Laws, shall for the
future be strictly observ'd, all the Confusions which time of War have, or could
introduce, being remov'd and laid aside.”
[Münster, LXVII]

Hak yuridis internal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk Kaisar,
“... all the Rights, Regales and Appurtenances, without any reserve, shall belong to
the most Christian King, and shall be for ever incorporated with the Kingdom France,
with all manner of Jurisdiction and Sovereignty, without any contradiction from
the Emperor, the Empire, House of Austria, or any other: so that no Emperor, or
any Prince of the House of Austria, shall, or ever ought to usurp, nor so much as
pretend any Right and Power over the said Countrys, as well on this, as the other side
the Rhine.”
[Münster, LXXVI]

Perjanjian juga merinci apa-apa saja yang menjadi cakupan yuridis pengaturan raja,

Universitas Indonesia
147

“Item, All the Vassals, Subjects, People, Towns, Boroughs, Castles, Houses,
Fortresses, Woods, Coppices, Gold or Silver Mines, Minerals, Rivers, Brooks,
Pastures; and in a word, all the Rights, Regales and Appurtenances, without any
reserve,...”
[Idem.]
Hal yang lain yang tak kalah penting, penggunaan kekerasan secara legitim.
“Finally, that the Troops and Armys of all those who are making War in the Empire,
shall be disbanded and discharg'd; only each Party shall send to and keep up as
many Men in his own Dominion, as he shall judge necessary for his Security.”
[Münster , CXVIII]

Kedua, pengakuan bersama, yaitu pengakuan kedaulatan dari negara


berdaulat lain. Dari Traktat Westphalia ini juga terbentuk norma sentral sistem
“internasional” modern: non-intervensi masalah internal dan kekuasaan untuk saling
membuat perjanjian.
“They shall enjoy without contradiction, the Right of Suffrage in all
Deliberations touching the Affairs of the Empire; but above all, when the Business in
hand shall be the making or interpreting of Laws, the declaring of Wars, imposing of
Taxes, levying or quartering of Soldiers, erecting new Fortifications in the Territorys
of the States, or reinforcing the old Garisons; as also when a Peace of Alliance is to
be concluded, and treated about, or the like, none of these, or the like things shall be
acted for the future, without the Suffrage and Consent of the Free Assembly of all
the States of the Empire: Above all, it shall be free perpetually to each of the
States of the Empire, to make Alliances with Strangers for their Preservation
and Safety; provided, nevertheless, such Alliances be not against the Emperor, and
the Empire, nor against the Publick Peace, and this Treaty, and without prejudice to
the Oath by which every one is bound to the Emperor and the Empire.”
[Münster, LXV]

Namun demikian, sekalipun prinsip non-intervensi diatur melalui perjanjian ini.


Namun demikian, kedaulatan bagi setiap state dalam Kekaisaran Agung Romawi
untuk turut campur tangan membantu (to succour) salah satu di antara kedua negara
yang sedang berperang saat itu, Perancis dan Spanyol, masih dihargai dalam hal
mereka dibebaskan untuk memilih. Hanya saja hal ini tidak berlaku bagi Kaisar.
Prinsip non-intervensi perjanjian “shall always continue firm” di antara Perancis dan
Kekaisaran.
“... after the Disputes between France and Spain (comprehended in this Treaty) shall
be terminated. That nevertheless, neither the Emperor, nor any of the States of the
Empire, shall meddle with the Wars which are now on foot between them. That
if for the future any Dispute arises between these two Kingdoms, the abovesaid

Universitas Indonesia
148

reciprocal Obligation of not aiding each others Enemys, shall always continue
firm between the Empire and the Kingdom of France, but yet so as that it shall
be free for the States to succour; without the bounds of the Empire, such or such
Kingdoms...”
[Münster, V]

Implikasi logis dari pengakuan bersama ini tentu adanya suatu kesepakatan bersama,
atau ‘hukum internasional, yang mengasumsikan adanya komunitas negara berdaulat
yang ditengah-tengahnya hukum ini dijunjung dan dihargai.
“For the greater Firmness of all and every one of these Articles, this present
Transaction shall serve for a perpetual Law and establish'd Sanction of the
Empire, to be inserted like other fundamental Laws and Constitutions of the
Empire in the Acts of the next Diet of the Empire, and the Imperial
Capitulation; binding no less the absent than the present, the Ecclesiasticks than
Seculars, whether they be States of the Empire or not: insomuch as that it shall be a
prescrib'd Rule, perpetually to be follow'd, as well by the Imperial Counsellors and
Officers, as those of other Lords, and all Judges and Officers of Courts of Justice.”
[Münster, CXX]

Posisi Perjanjian, sebagai hukum internasional, juga di atur dalam hubungannya


dengan hukum-hukum lain.
“That it never shall be alledg'd, allow'd, or admitted, that any Canonical or Civil
Law, any general or particular Decrees of Councils, any Privileges, any Indulgences,
any Edicts, any Commissions, Inhibitions, Mandates, Decrees, Rescripts,
Suspensions of Law, Judgments pronounc'd at any time, Adjudications, Capitulations
of the Emperor, and other Rules and Exceptions of Religious Orders, past or future
Protestations, Contradictions, Appeals, Investitures, Transactions, Oaths,
Renunciations, Contracts, and much less the Edict of 1629 or the Transaction of
Prague, with its Appendixes, or the Concordates with the Popes, or the Interims of
the Year 1548. or any other politick Statutes, or Ecclesiastical Decrees,
Dispensations, Absolutions, or any other Exceptions, under what pretence or colour
they can be invented; shall take place against this Convention, or any of its
Clauses and Articles neither shall any inhibitory or other Processes or
Commissions be ever allow'd to the Plaintiff or Defendant.”
[Münster, CXXI]

Akhirnya, kedua bentuk kedaulatan dicapai dengan cara meminta semua pihak
meninggalkan wilayah tersebut, kecuali sang raja yang empunya kerajaan.
“That the most Christian King shall be bound to leave not only the Bishops of
Strasbourg and Bafle, with the City of Strasbourg, but also the other States or Orders,
Abbots of Murbach and Luederen ... so that he cannot pretend any Royal
Superiority over them, but shall rest contended with the Rights which appertained
to the House of Austria, and which by this present Treaty of Pacification, are yielded
to the Crown of France. In such a manner, nevertheless, that by the present

Universitas Indonesia
149

Declaration, nothing is intended that shall derogate from the Sovereign Dominion
already hereabove agreed to.”
[Osnabrück, XCII]

Westphalia, anomali zaman (penjelasan dominan)


Terlepas dari substansi sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas,
apabila Perjanjian dikembalikan ke konteks sosial-politik dimana ia berada, maka
akan nampak anomali-anomali berikut: melalui Perjanjian, sistem negara berdaulat
modern—yang berbasiskan yurisdiksi internal dan pengakuan bersama—seolah-olah
berlaku global, dalam artian secara umum bagi Eropa, padahal di kontinen Eropa saat
itu juga terdapat sistem-sitem pengaturan lainnya. Pertanyaannya adalah mengapa
sistem pengaturan a la negara-berdaulat modern adalah yang dijadikan pengaturan
umum di Eropa, dan bukan sistem-sistem pengaturan lainnya (Liga Hanseatic,
negara-kota, atau mengembalikan Kekaisaran dan Gereja, misalnya)? Lalu juga
mengapa entitas yang menjadi pihak dalam perjanjian hanyalah raja-raja dan Kaisar,
padahal entitas-entitas lainnya (Liga Hanseatic, negara-kota, dan tentara bayaran
misalnya) tentu juga terkena imbas perang? Mengapa entitas-entitas ini tidak diikut-
sertakan dalam perjanjian?

Sejauh pembacaan penulis, penjelasan dominan akan anomali ini berkisar


pada efektivitas negara berdaulat dibanding sistem pengorganisasian atau entitas
lainnya (Kekaisaran, Gereja, Liga, negara-kota, bandit, dst.). Terdapat dua
percabangan dalam penjelasan ini: pertama, penjelasan yang lebih menekankan ke
unsur politik dan perang seperti yang diusung oleh Charles Tilly dan Paul Hirst; dan
kedua, penjelasan yang lebih menekankan ke faktor ekonomi dan institusional
sebagaimana yang dicoba dikedepankan oleh Hendrik Spruyt.

Pandangan pertama adalah dari kubu militeristik Tilly dan Hirst. Menurut
mereka berkembangnya dan unggulannya negara-berdaulat dari entitas-entitas lainnya
adalah perkara bagaimana ia mampu menjawab kebutuhan zaman untuk berperang,
baik demi pertahanan maupun demi ekspansi. Tilly mempostulatkan,

Universitas Indonesia
150

“Men who controlled concentrated means of coercion (armies, navies, police forces,
wapons and their equivalent) ordinarily tried to use them to extend the range of
population and resources over which they wielded power. When they encountered no
one with comparable control of coercion, they conquered; when they met rivals, they
made war.”123

Dari pandangan ini Tilly melihat situasi dan kondisi tak menentu di Eropa Abad
Pertengahan yang mana perang bisa meletus kapan saja, sebagai lahan subur bagi
tumbuhnya entitas-entitas yang mampu mengorganisasikan kekuatan.
Pengorganisasian kekuatan ini, bagi Tilly terdapat tiga tipe pemusatan (intensifikasi):
intensif koersif, yang memusatkan pada intensif kapital, dan gabungan keduanya,
intensif kapital-koersif. 124 Hanya entitas yang mampu menggabungkan kedua unsur
inilah yang mampu bertahan dalam situasi tak menentu Eropa. Artinya, hanya entitas
yang mampu dengan baik memobilisasi sumber daya (capital) dan mengkonversinya
pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perang (coercive)-lah yang mampu bertahan.
Paul Hirst juga berpandangan kurang lebih serupa; keberhasilan dalam
mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi dan memonopoli penggunaan kekerasan,
entitas tersebut akan mampu menjawab tantangan militer saat itu.
“... perubahan-perubahan militer abad ke-16 melambungkan biaya perang dan karena
itu mereka lebih menyukai sentralisasi kekuatan dan kehadiran negara modern.
Negara sentral mampu mengeliminasi negara-negara yang lebih lemah dan
menciptakan suatu monopoli terhadap cara-cara pengendalian kekerasan.”125

Dalam menjelaskan melemah dan bahkan hilangnya Liga Hanseatic dari


konfigurasi kekuasaan di Rropa, Paul Hirst menunjukkan empat kelemahan liga:
pertama, prosedur pengambilan keputusan yang kaku karena tidak memiliki sitim
otoritas tersentral. Kedua, karena fokus liga adalah pada ekonomi, perkembangan isu-
isu keagamaan membuat liga menjadi agak gagap dalam menyesuaikannya. Ketiga,
munculnya Belanda sebagai kekuatan ekonomi yang berbasis teritorial sebagai
pesaing liga yang non-teritorial. Belanda lebih dipilih oleh Inggris karena hal ini.
Keempat, perkembangan politik juga membuat gerak liga menjadi terbatas. Maraknya

123
Tilly, Coercion, hal. 14.
124
Ibid., hal. 30.
125
Hirst, War and Power, hal. 13.

Universitas Indonesia
151

konsolidasi dan aliansi, membuat liga harus tunduk pada kebijakan internal masing-
masing kerajaan. Puncaknya adalah saat kerajaan-kerajaan tersebut disahkan
kedaulatannya oleh Perjanjian Westphalia; “semakin banyak prinsip kedaulatan
teritorial diberlakukan semakin berkurang keunggulan teritorial LH.” 126

Jadi bagi Tilly dan Hirst, performa keamanan dan kemampuan suatu entitas
dalam berperang adalah sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu entitas.
Akhirnya, entitas seperti ini hanya dapati ditemui pada negara-berdaulat yang mampu
memobilisasi sumber daya dan menarik pajak dari masyarakatnya, merekrut (dan
menyewa) pasukan, dan mendeklarasikan perang secara efektif.

Pandangan ini, berikutnya mengundang respon kritis dari kubu ekonomis


utilitarian Hendrik Spruyt. Jika state-making semata-mata merupakan hasil tawar-
menawar untuk perlindungan, maka bagaimana menjelaskan pesatnya perkembangan
Perancis pada abad 12 dari sebidang tanah di Paris sampai menjadi sebesar sepertiga
Kekaisaran di bawah Dinasti Capet? Menjadi tidak jelas mengapa raja Capet yang
awalnya lemah mampu menghimpun sumber daya sedemikian rupa dan menjadikan
Perancis salah satu kekuatan utama di Eropa Pertengahan, jika variabel dalam
survivalitas negara adalah performa keamanannya.

Spruyt memulai pendekatannya dengan mengklaim bahwa keberlangsungan


suatu entitas pada Eropa Abad Pertengahan Akhir sangatlah ditentukan dari
keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan transformasi ekonomi yang terjadi
saat itu. Spruyt melihat perkembangan perdagangan pada zaman Renaisans sebagai
variabel independen dalam hal ini. Untuk dapat bertahan, tidaklah cukup bagi suatu
entitas untuk menekankan pada aspek militer koersif semata, ia harus mampu secara
efektif memobilisasi sumber dayanya, dan menciptakan iklim ekonomi yang baik
demi kesinambungan kapitalnya tersebut. Di sini Spruyt menambahkan variabel
‘aliansi sosial’ dalam “resep” keberhasilan negara-berdaulat, yaitu bagaimana negara-

126
Hirst, War and Power, hal. 69

Universitas Indonesia
152

berdaulat secara institusional mampu secara efektif menjalin aliansi kerjasama


dengan tuan-tuan tanahnya demi menciptakan iklim perekonomian yang baik.
“States won because their institutional logic gave them an advantage in mobilizing
their societies’ resources. Sovereign authority proved to be more effective in
reducing economic particularism, which raised transaction and information costs, and
it created a more unified economic climate.”127

Tampak bahwa kedua analisis saling melengkapi satu sama lain. 128 Melalui
Spruyt, argumentasi Tilly yang semata-mata menekankan variabel politik (koersi,
perang) sebagai elemen utama suksesnya negara, dikuatkan dengan teorinya bahwa
variabel politik tersebut juga harus didukung dengan kemampuannya untuk secara
efektif memobilisasi sumber daya di dalam teritorinya. Jadi, negara yang dibenak
Tilly hanya merupakan negara yang core business-nya adalah menarik pajak untuk
perang dari rakyatnya, dikembangkan Spruyt menjadi negara yang juga mampu
secara efektif memobilisasi sumber daya masyarakatnya untuk kemudian
menciptakan iklim ekonomi yang baik. Kemampuan tersebut didapatnya dengan
mengadakan aliansi sosial di antara tuan-tuan tanah. Alhasil, negara tersebut mampu
bertahan baik dalam seri-seri peperangan di satu sisi dan tantangan transformasi
ekonomi Eropa Pertengahan Akhir di sisi lainnya.

Bagi penulis, kedua analisis ini bukan tanpa kejanggalan. Bagi kubu Tilly dan
Hirst, penulis heran: jika faktor yang ditekankan Tilly dan Hirst adalah kemampuan
dalam sentralisasi seluruh sumber daya untuk melakukan gelar militer defensif
(pertahanan dalam peperangan) dan ofensif (penaklukan dan peperangan) adalah
faktor utama berkembangnya dan bertahannya negara-berdaulat, maka mengapa hal
inisiatif serupa tidak datang dari para bandit/tentara bayaran, misalnya? Contoh
terbaiknya adalah bandi-bandit seperti Grup Akatsuki dalam film animasi jepang
Naruto yang berambisi menyatukan segala kekuatan tentara (ninja) bayaran untuk

127
Spruyt, The Sovereign State, hal. 185.
128
Spruyt pun mengakui bahwa analisisnya ditujukan untuk mengisi kekurangan yang diderita
Tilly. Ibid., hal. 31.

Universitas Indonesia
153

akhirnya menguasai seluruh negara di sana.129 Hal serupa bukanlah tidak mungkin
terjadi di Eropa semenjak hampir seluruh peperangan di Eropa dijalankan oleh
bandit! Bandit, apapun jenisnya, memainkan peran yang sangat signifikan dalam
peperangan di Eropa sebelum angkatan militer permanen mulai muncul pada abad ke-
17. Sejarah mencatat bagaimana privatir Inggris yang terkenal dengan sebutan
Anjing-Anjing Laut Elizabethan merangsek kapal-kapal Spanyol dan pos-pos
kolonialnya di Amerika Tengah. Mereka menggasak Peru sampai sekitar £2,5 juta,
menguasai Puerto Rico (pada 1598), membakar kota-kota koloni Spanyol, dan
melakukan hal-hal yang pada zaman sekarang di sebut state-sponsored terrorism.130
Italia pun menyaksikan bagaimana seorang bos bandit, Sir John Hawkwood memeras
Sienna secara rutin sampai-sampai membuat Siena “decline in power from a position
rivalling Florence in the fourteenth century to provincial backwater by 1400.”131
Bandit juga mampu memobilisasi kapital dan cara-cara kekerasan. Lantas, mengapa
hal ini tidak diteruskan menjadi sebentuk “negara-berdaulat bandit”? Ada faktor X
yang nampaknya dimiliki oleh raja-raja negara-berdaulat yang tidak dimiliki oleh
bandit.

Penulis juga menemui kejanggalan dalam penjelasan versi Spruyt. Apabila


benar bahwa rahasia bertahannya negara-berdaulat adalah karena raja-rajanya mampu
mengadakan suatu aliansi sosial dengan tuan-tuan tanahnya untuk menciptakan
suasana ekonomi yang kondusif bagi reproduksi kapital, lantas mengapa inisiatif
serupa bukan datang dari Paus? Bukankah pasca serangan barbar (abad 5 dan 6) dan
viking (abad 9), Paus adalah entitas yang mengambil alih hampir seluruh peran
imperial dari Kekaisaran Romawi? Paus dengan demikian telah terlebih dahulu
“mencuri start” dibandingkan penguasa-penguasa feodal, apalagi raja-raja. Bisa
dibilang, Paus terlebih dahulu memiliki “aliansi” relijius dengan hampir seluruh raja-
raja, tuan tanah, sampai para petani! Paus mampu mengikat mereka di bawah prinsip

129
Grup Akatsuki dalam kisah Naruto mampu menuturkan alur logika yang sesuai dengan yang
disampaikan Tilly dan Hirst, bahkan mereka mempolitisirnya lebih jauh. Lihat Lampiran 2.
130
Andrews, Elizabethan Privateering, hal. 128.
131
Percy, Mercenaries, hal. 75.

Universitas Indonesia
154

universal relijius. 132 Terlebih lagi, pada sekitar abad 12, Paus berada pada puncak
kejayaannya! Saking jayanya, Paus Gregori misalnya mampu dengan efektif
mengucilkan tiga penguasa besar saat itu (Kaisar Romawi Agung Henry IV, Raja
William si Penakluk dari Inggris, dan Raja Philip I dari Perancis). Lantas
pertanyaanya, mengapa hal ini tidak diteruskan Paus untuk membuat sebuah negara
berdaulat? Ada faktor X yang dimiliki raja-raja yang sayangnya tidak dimiliki Paus.

Faktor X?—Hipotesis Lacanian


Jawaban bagi pertanyaan penulis di atas tentang “faktor X” di atas hanya
dapat dijawab jika dan hanya jika variabel analisis diperluas. Perluasan ini pun tetap
tidak akan dapat menjawab permasalahan apabila tetap berpegang pada penjelasan-
penjelasan yang menekankan rasionalitas. Dalam situasi analisis seperti ini, dimana
seluruh prakondisi rasional telah terpenuhi namun anomali masih tetap muncul,
keberanian untuk melanggar batas-batas rasionalitas menjadi diperlukan—tentunya
apabila komitmen untuk memahami permasalahan tetap dijunjung tinggi ketimbang
arogansi paradigmatik atau epistemik.

Dari perspektif psikoanalisis Lacanian, setiap fantasi ideal sebagai obyek-


penyebab-hasrat (obyek a) adalah selalu membutuhkan mediasi cermin. Hasrat
manusia tidaklah spontan, ia memiliki sejarahnya sendiri. Bahkan, manusia harus
diberi tahu terlebih dahulu tentang apa yang harus dihasrati dan bagaimana
menghasratinya. Cermin memberi tahu yang mana, yang seperti apa, dan yang
bagaimana seharusnya dihasrati. Jadi apabila kedaulatan a la Westphalia adalah
cerminan fantasi ideal para raja-raja, maka bisa diduga bahwa cermin ini tidak
dipakai oleh baik Gereja maupun oleh para Bandit. Pertanyaan berikutnya ada dua:
dari mana cerminan kedaulatan a la Westphalia—yang menekankan yurisdiksi penuh
otonomi raja akan teritorinya—muncul?; mengapa Paus dan Bandit tidak bercermin
pada cermin tersebut?

132
Lihat Mandelson, God vs. Westphalia, hal 14.

Universitas Indonesia
155

Untuk pertanyaan pertama, jika melihat konteks zaman di mana Perjanjian


Westphalia disepakati, yaitu masa-masa gerakan Renaisans, Humanisme, Reformasi,
Pencerahan dan Rasionalisme, bukankah (setidaknya) gagasan besar yang ditelorkan
gerakan-gerakan bersejarah ini merupakan cermin fantasi ideal imajiner bagi raja-
raja? Bisa dibayangkan citra-diri yang muncul adalah subyek yang otonom, rasional,
berwibawa, dan berkehendak bebas; singkatnya subyektivitas modern Eropa yang
tercerahkan (enlightened). Mutatis mutandis, dengan sedikit modifikasi, bukankah
citra-diri ini paralel dengan gagasan kedaulatan Westphalia?—teritori “tubuh politik”
yang koheren dan jelas, otonom dari segala intervensi eksternal termasuk “Tuhan,”
memiliki raison d’etat yang rasional untuk mengatur sendiri kehidupan domestik, dan
tentunya punya daya berkehendak bebas untuk berdiplomasi dengan negara lainnya.
Lalu, bukankah ketidak-jelasan teritori dan sistem pengorganisasian semenjak invasi
kaum barbar, silang-sengkarut feodalisme, ekspansionisme Kaisar Agung Romawi,
universalisme Gereja, dan perang saudara (civil war) yang terus berulang dapat
merusak fantasi citra-diri ideal yang koheren dan integral (utuh) para raja-raja? Dan
terakhir, bukankah perang-perang di Eropa pada abad pertengahan seperti Perang
Ratusan Tahun dan Perang Tiga Puluh Tahun, karena dipicu tumpang-tindih otoritas,
merupakan usaha subyek modern untuk mengatasi (overcome) citra-dirinya yang
rusak tersebut?

Jika semua jawabannya “ya” maka pertanyaan terakhir adalah mengapa


cermin ini hanya menginterpelasi raja-raja? Hipotesis yang penulis ajukan adalah ini:
hanya raja-raja yang berminat dengan cermin ‘subyektivitas modern tercerahkan’ ini.
Gereja terbukti represif dan menutup diri terhadap ide-ide perubahan gerakan-gerakan
ini: Galileo dan banyak humanis dibakar hidup-hidup, Luther diintimidasi mati-
matian, banyak publikasi-publikasi Renaisans dan Rasionalisme dilarang, dst. Hal
lain yang menjadi sorotan penulis adalah mereka-mereka yang menyediakan cermin
‘subyektivitas modern tercerahkan’ ini bagi sang raja. Mereka-mereka inilah yang
tidak dimiliki oleh misalnya bandit. Mereka-mereka ini tidak lain adalah, diantaranya,
misalnya yang mempengaruhi Swedia dan Bohemia adalah René Descartes; Thomas

Universitas Indonesia
156

Hobbes, John Salisbury dan Francis Bacon di Inggris; Martin Luther di Saxony; dan
Jean Bodin dan Cardinal Richelieu terhadap Louis XIII dan XIV di Perancis. Tema-
tema ini akan didiskusikan di bagian berikutnya. Mulai dari sini penulis akan
menekankan aspek psikoanalisis dalam psikogenealogi. Gagasan kedaulatan yang
termaktub dalam Perjanjian Westphalia 1648 ini berikutnya akan dilihat sebagai suatu
simptom dari ketaksadaran raja-raja pada zaman itu.

III.5. Kedaulatan Westphalia sebagai Simptom


Leviathan Hobbesian
“In [sovereign state] we are not every one to make our own private reason or
conscience, but the public reason, that is the reason of God’s supreme lieutenant,
judge; and indeed we have made him judge already, if we have given him a sovereign
power to do all that is necessary for our peace and defence.”
Thomas Hobbes133

Membicarakan kedaulatan pada abad pertengahan tidak akan dapat dilepaskan


dari figur Thomas Hobbes. Adalah Hobbes yang menelurkan pertama kali teorinya
tentang kedaulatan. Setelah Hobbes, tidak ada teori kedaulatan yang benar-benar
berbeda secara radikal dari Hobbes. Jean Bodin misalnya, ia hanya mengelaborasi
lebih rinci tentang bagaimana seorang yang berdaulat itu di satu sisi selalu berada di
luar hukum, melainkan di sisi lainnya aktif menciptakan hukum dan memberlakukan
kepada masyarakatnya tanpa persetujuan mereka. Bayangan negara berdaulat Bodin
tidak lepas dari bayang-bayang Leviathan Hobbesian. Bisa dibilang, seluruh teori
kedaulatan pada abad pertengahan setelah Hobbes, adalah Hobbesian.134 Bagian ini,
selain merupakan pengantar bagi analisis penulis terhadap perjanjian Westphalia,
akan menjadi ulasan singkat mengenai logika psikogenealogi yang penulis tawarkan.
Hanya saja, kali ini yang menjadi “obyek” analisis adalah teori kedaulatan Thomas
Hobbes. Penulis akan memaparkan interpretas-interpretasi kedaulatan Hobbesian
pada umumnya, menunjukkan kekurangannya, dan akhirnya menawarkan logika

133
Thomas Hobbes, Leviathan, hal. 275.
134
Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire, hal. 83-7.

Universitas Indonesia
157

psikogenealogi dalam menginterpretasi Hobbes. Dengan kata lain, bagian ini


merupakan Hobbesianisme versi penulis.

Logika pertama adalah logika deduksi sederhana dan linier. Karena sifat dasar
manusia (dianalogikan Hobbes sebagai serigala, lupus) adalah selalu mencari
keamanan dirinya sendiri, maka pada kondisi homo homini lupus, yaitu di mana
manusia adalah serigala bagi serigala lainnya, manusia akan selalu dihantui rasa takut
dan ancaman dari manusia lainnya. Kondisi ini disebut Hobbes sebagai kondisi
alamiah (state of nature); diktum yang berlaku adalah bellum omnium contra omnes,
perang semua melawan semua. 135 Tepat pada kondisi seperti inilah para lupus
mendesak lahirnya suatu Leviathan untuk meredam dan memberi mereka rasa aman.
Dalam suatu latar kontraktual, para lupus ini menyerahkan sebagian uang
memberikan kepada sang Leviathan dengan harapan sang Leviathan itu
menggunakannya demi pembangunan aparatus keamanan mereka. Tidak hanya uang,
para lupus ini memberikan pula hak dan kepatuhan mereka, dan berikutnya akumulasi
penyerahan hak ini menjadikan posisi Leviathan sebagai sesuatu yang absolut.
Kehendak masing-masing lupus akhirnya terpusat pada representasi kehendak
tunggal sang Leviatahan berdaulat. Hak-hak dan kepatuhan para lupus, dengan
demikian, ditukarkan dengan rasa aman dari sang Leviathan.... Dan akhirnya
keamanan tercipta. Sayangnya logika ini menjadi gugur saat dihadapkan pada
kenyataan banyak Leviathan yang justru memakan lupus-lupus yang telah
membayarnya. Ada juga Leviathan seperti Raja Inggris Edward III dan Raja Perancis
Philip VI yang malah mengirim lupus-lupusnya untuk berperang selama ratusan
tahun.

Jawaban yang kerap muncul adalah bahwa hal tersebut merupakan suatu
penyimpangan, dan seorang pemimpin yang ideal seharusnya tidak melakukan

135
Hobbes, dikutip dari Michel Foucault, Society Must Be Defended, hal. 112cat1. Kalimat paralel
juga ditemukan di Hobbes, Leviathan, hal. 77, “... during the time men live without a common power
to keep them all in awe, they are in that condition which is called war; and such a war as is of every
man against every man.” [penekanan penulis]

Universitas Indonesia
158

penyimpangan tersebut. Sanggahan ini juga bukan tanpa permasalahan. Jika memang
secara ideal sang Leviathan adalah dari lupus, oleh lupus dan untuk lupus, lalu
mengapa raja-raja abad yang hidup sezaman dengan Hobbes selalu menganggap
kekuasaannya adalah datang dari Tuhan? Dalih-dalih raja akan hal ini pun menjadi
paradigma pemerintahan raja-raja Abad Pertengahan: doktrin dua tubuh dan doktrin
dua pedang.136 Contoh raja-raja yang menganut ini pun tidak sedikit yang berasal dari
Inggris, asal Hobbes. Raja Henri VIII yang menganggap dirinya sebagai vikar dari
Yesus Kristus yang diutus menjadi kepala atas tubuh politik kerajaannya. Raja
Charles I pun, sampai di mimbar pancungan, masih menganggap dirinya martir yang
mati dalam tugas mulia yang diembankan Tuhan untuk memerintah kerajaannya.

Logika berikutnya adalah logika kritis. Biasanya logika ini mengacu pada
diktum klasik Robert Cox, “theory is always for someone and for some purpose.”137
“Sabda” ini dapat dengan mudah dideduksikan. Pandangan kritis yang umum tentang
teori Leviathan adalah bahwa teori ini akan dipakai oleh orang-orang yang
berkepentingan akan kursi dimana sang Leviathan duduk berikut kekuasaan dan
keuntungan ekonominya. Teori Leviathan dengan demikian dipakai untuk
membenarkan perjuangannya tersebut. Orang-orang ini akan menggunakan jargon
Leviathan sebagai janji bahwa mereka akan mampu mengupayakan kesejahteraan dan
keamanan bersama apabila nantinya para lupus mau menyerahkan sebagian hak dan
kepatuhannya. Sayangnya logika ini mengasumsikan kekuasaan Leviathan telah ada
begitu saja. Lagipula, dengan menunjukkan siapa yang berada dibalik teori Leviathan
dan apa tujuannya, tidak serta merta dapat mengungkapkan rahasia kekuatan dari
Leviathan.

136
Pada doktrin dua tubuh, Raja memiliki dua tubuh: tubuh naturalnya dan tubuh politik
kerajaannya yang adalah tugas yang diberikan Tuhan pada raja untuk mengurusnya. Pada doktrin dua
pedang, Tuhan mendelegasikan kekuasaannya secara berimbang kepada Raja dan Paus, dengan raja
memegang pedang sekuler.
137
Robert Cox, “Social forces, states and world orders: beyond international relations theory,”
Millennium: Journal of International Studies, 10(2) (1981), hal. 128. Penekanan pada teks asli.

Universitas Indonesia
159

Logika berikutnya yang cukup mutakhir, adalah logika mikro-kekuasaan


Foucauldian yang menekankan bagaimana kekuasaan memproduksi subyek melalui
wacana, dan kemudian menguasainya. 138 Pada kondisi homo homini lupus, seekor
lupus melihat bahwa rasa aman adalah komoditas bersama. Lupus itu melihat peluang
“bisnis keamanan” dari maka ia mengerahkan segala sumber dayanya, retorikanya,
dan janji-janjinya, yang akhirnya mengubah dirinya menjadi Leviathan. Ia
menciptakan teori-teori pemerintahan Leviathan-sentris, lalu teori-teori
kewarganegaraan, menggugah semangat nasionalisme di satu sisi, sementara di sisi
lain terus mereproduksi wacana ketidak-amanan, baik fisik maupun identitas.
Akhirnya, menyerahkan sedikit hak dan kepatuhan kepada sang Leviathan menjadi
suatu hal yang wajar dan tak terelakkan bagi para lupus. Tepat pada momen inilah
sang Leviathan menyerap kekuatan dari lupus-lupus yang sedemikian banyak ini, dan
memberi ia kekuasaan absolut. Jadi sebenarnya sang Leviathan tidak peduli pada
keamanan para lupus, melainkan ia tertarik pada kekuasaan dan keuntungan ekonomi-
politik dari penguasaan akan rasa aman para lupus.

Separuh penjelasan ini dapat penulis terima, kecuali asumsi yang melandasi
logika ini, yaitu bahwa ada lupus yang dikecualikan dari kondisi homo homini lupus,
sehingga ia bisa secara “obyektif” menarik diri dari kondisi tersebut dan menganalisis
“peluang politik bisnis” yang mungkin diraup atasnya. Lalu, dari mana pula
datangnya keinginan akan penguasaan ini? Bagi penulis, keinginan tidaklah spontan;
obyek hasrat memiliki sejarahnya sendiri. Menjadi penguasa bukan kepentingan
ekonomi, melainkan suatu pemuasan hasrat, yaitu hasrat akan keberlangsungan
eksistensi.

Dengan menggunakan logika psikogenalogi sebagaimana penulis telah


paparkan pada bagian sebelumnya, penulis menawarkan interpretasi sbb.: pada
kondisi homo homini lupus, semua lupus memiliki kegelisahan yang sama, yaitu
keberlangsungan eksistensialnya. Hubungan di antara lupus diwarnai dengan dilema

138
Lihat Michel Foucaul, Society Must Be Defended.

Universitas Indonesia
160

keamanan—keamanan seorang lupus dianggap ancaman bagi lupus lainnya.


Kegelisahan akan keberlangsungan eksistensial ini berikutnya akan terproyeksikan
pada suatu fantasi ideal tentang keamanan eksistensialnya, dimana sang lupus
memegang kendali penuh akan nasib dan keamanan dirinya, singkatnya Leviathan
yang berdaulat. Fantasi ideal ini akan menjadi “cermin” bagi sang lupus untuk
merefleksikan dirinya dan realitas sekelilingnya yang sama sekali sungsang. Artinya,
hasil refleksi dirinya di cermin adalah jauh berbeda 1800 dari bayangan ideal di
cermin. Alhasil, kegelisahan kedua muncul, hanya saja kali ini lebih terarah, yaitu
kegelisahan karena ia tidak seperti bayangan ideal dalam cerminan idealnya. Hasrat
yang dipicunya pun juga lebih terarah, yaitu menjadikan cerminan ideal itu nyata.
Sang lupus akhinya mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk memanifestasikan
sang Leviathan tersebut, “tuhan di bumi.” Negara/Kerajaan berdaulat dalam hal ini
dianggap sebagai obyek yang memadai untuk menjadi wadah bagi gagasan
Leviathan. Akhirnya, negara berdaulat inilah yang diupayakan oleh para lupus untuk
dimanifestasikan.

Logika inilah yang luput dari logika Foucauldian di atas, yaitu bahwa obyek
fantasi ideal—dalam hal ini negara berdaulat—bukanlah sesuatu yang terberi begitu
saja. Ia adalah hasil sublimasi dari kegelisahan eksistensial para lupus; negara
berdaulat adalah proyeksi dari fantasi ideal kedaulatan yang didambakan para lupus.
Jadi obyek ini terbentuk atas dorongan para lupus untuk bertahan hidup, dan bukan
turun dari langit begitu saja. Kepentingan yang mendesak manifestasinya adalah
hasrat untuk bertahan hidup—kepentingan eksistensial. Kenyataan bahwa
kepentingan eksistensial itu di dapat dari penguasaan politik dan ekonomi adalah hal
lain. Hal terpenting yang penulis tekankan adalah untuk melihat peguasaan politik
dan ekonomi dari kacamata hasrat, yaitu hasrat untuk bertahan hidup.

Secara teoritis, logika yang penulis tawarkan berusaha untuk memahami natur
dari suatu transendensi kedaulatan. Transendensi justru lahir dari imanensi—hasrat
lupus akan keberlangsungan eksistensial. Kegagalan memahami natur kedaulatan

Universitas Indonesia
161

transenden ini akan berakibat fatal. Negara akan dikira sebagai bentuk yang terberi
(given), padahal ia semata-mata hanyalah obyek yang kebetulan dihinggapi fantasi
ideal para lupus. Suatu waktu, pada saat obyek itu tidak mampu menampung
transendensi tersebut, dengan demikian menunjukkan kontradiksinya, maka kondisi
homo homini lupus akan muncul kembali dan memicu kegelisahan eksistensial. Bisa
ditebak, para lupus akan mencari bentuk lain yang lebih sempurna bagi wadah fantasi
ideal mereka berupa kedaulatan transenden, dan begitu seterusnya. Interpretasi ini
akan penulis hubungkan dengan temuan-temuan penulis terkait kedaulatan
sebagaimana tersirat dalam perjanjian damai Westphalia 1648.

III.5.1. Kegelisahan Raja <> Fantasi


Berangkat dari teori Lacanian, maka fantasi (a) merupakan respon subyek
akan hasratnya akan yang Lain (yang Simbolik). Bagi Lacan, tidak ada hasrat yang
autentik, “man’s desire is the desire of the Other.”139 Sebagaimana telah diklarifikasi
di bab sebelumnya, kata “of” menunjukkan bahwa yang Lain (big Other) selalu
merupakan mediasi bagi subyek untuk berhasrat. Dalam mediasi ini terjadi apa yang
disebut Lacan “gerhana” subyek,140 yaitu dimana subyek menghilang tenggelam
dalam hasratnya terhadap yang Lain tersebut. Maksudnya, subyek akan terbelah ($)
antara kenyataan bahwa ia tersubordinasi oleh yang Lain, namun di satu sisi ia
menginginkan yang Lain tersebut sebagai pemuasan hasratnya. Kesenjangan inilah
yang memicu kegelisahan subyek. Subyek takut apabila fantasi ideal itu tidak
terpenuhi, maka ia akan punah secara eksistensial. Jadi dialektika hasrat akan fantasi
ideal dan kegegaran subyek bersifat bolak-balik: di satu sisi fantasi ideal itu yang
menyebabkan subyek menjadi gegar karena merasa inferior, di sisi lain, perasaan
inferior ini jusru semakin memicu subyek untuk mengakuisisi fantasi ideal tersebut,
dengan cara apapun. Tepat kiranya apabila Lacan mensimbolisasikannya dengan,

Fantasi Neurotik = $<>a

139
Lacan, Écrits, hal. 312.
140
Ibid., hal. 313.

Universitas Indonesia
162

Semenjak hasrat selalu dimediasi oleh yang Lain, maka hasrat akan selalu
mengambil rupa dalam wacana. Wacana bukan hanya sekedar gagasan atau
argumentasi ideal, lebih dari itu ia adalah suatu jaringan sistem universal (yang
Simbolik, sang Lain besar, S2) yang membawa-bawa suatu proto-tipe ideal tentang
subyek (S1) dan abyek non-ideal (S0), tentang yang diakui sistem dan yang dieksklusi
sistem. Subyek akan berusaha mengejar subyektivitas (S1) yang ditawarkan wacana
ini, sembari terus menolak kondisi non-subyek/abyek (S0). Alasannya, ia melakukan
ini untuk mengobati kegegaran yang membuatnya senantiasa gelisah ($). Dengan
mengakuisisi subyektivitas tersebut, subyek akan (mengira) terpuaskan. Saat (merasa)
telah mengakuisisi subyektivitas tersebut, subyek menjadi agen utama dalam
mempropagandakan sistem universal tersebut.

Kembali ke kedaulatan Westphalia. Memandang gagasan Kedaulatan


Westphalia sebagai wacana Lacanian, maka ia harus dipahami sebagai suatu kesatuan
jaringan sistem unversal, yang membawa proto-tipe subyektivitas ideal (S1) dan yang
non-ideal (S0). Pada pemaparan sebelumnya, penulis telah menyarikan gagasan
kedaulatan sebagaimana yang tersirat dalam Perjanjian Westphalia. Kedaulatan
tersebut bercirikan dua, yaitu yurisdiksi internal dan pengakuan bersama. Kedua ciri
inilah yang mencirikan subyektivitas a la Westphalia. Siapapun yang menjadi pihak
dalam Perjanjian Westphalia, maka ia akan mengidentifikasi dirinya dengan
subyektivitas itu.

Namun demikian, wacana Lacanian tidak hanya membawa standar


subyektivitas, ada komponen-komponen wacana lainnya yang juga terkandung di
dalamnya. Komponen wacana lainnya didiskusikan pada berikut ini.

Anxiety ($)
Untuk melacak kegelisahan apa yang tersirat dalam Perjanjian Westphalia,
sekiranya akan berguna untuk memulai dari bagaimana Perjanjian
merepresentasikannya, terlepas disadari atau tidaknya. Perjanjian menggunakan kata-

Universitas Indonesia
163

kata seperti “these troubles,”141 “hostilitys,”142 “enmity”143 dan “dispute”144 untuk


menggambarkan kegelisahan tersebut. Bisa diduga, kegelisahan tersebut berkaitan
dengan Perang Tiga Puluh Tahun di Bohemia dan sekitarnya, dan juga perang sipil
diantara raja-raja yang pecah di internal Kekaisaran. Bahkan apabila konteks sejarah
dilihat lagi secara lebih luas, maka perang-perang tersebut merupakan “ampas” dari
peperangan sebelumnya. Perjanjian damai pun nampaknya hanya merupakan
kesepakatan untuk berhenti sejenak, beristirahat, mengumpulkan tenaga, dan
melanjutkan peperangan.

Mencoba menempatkan diri dari posisi pandang raja, maka bisa dipahami
bahwa sumber kegelisahan eksistensial yang diderita oleh raja berpusat pada
permasalahan ketidak-jelasan teritori. Ketidak-jelasan teritori ini berdampak pada
tumpang tindihnya otoritas kekuasaan, yaitu perkara siapa yang berkuasa di suatu
wilayah. Manifestasi dari ketidak-jelasan ini setidaknya dapat diklasifikasikan ke
dalam dua bentuk, yaitu perang sipil dan perang antar kerajaan. Memang keduanya
seringkali berkaitan satu sama lain, walaupun demikian penulis kira apabila ditelisik
lagi lebih seksama, akar permasalahan akan mengerucut pada dua manifestasi ini.
Pertama, terkait perang sipil, dapat dibedakan dua lagi berdasarkan penyebabnya:
pertama, karena ketidak-puasan rakyat terhadap raja atau pangerannya, atau yang
dewasa ini lebih familiar disebut sebagai pembangkangan sipil. Contohnya cukup
banyak, beberapa yang cukup besar adalah pemberontakan petani di Perancis (1358)
dan Inggris (1381) saat keduanya berperang dalam Perang Seratus Tahun,
pemberontakan petani di Jerman (1524); kedua, perang sipil relijius, pertentangan
teologis yang merambat ke bentrok fisik di lapangan. Perang sipil seperti ini
mendominasi sejarah perang sipil di Eropa di masa-masa Reformasi. Contoh paling
monumental adalah pembantaian 12.000 kaum Huguenot Protestan-Calvinis pada

141
Traktat Münster, pasal II, CXVII, LXXV; “Troubles of Bohemia,” pasal XV dan XXXIV;
“Troubles in Empire,” pasal XLVIII; atau “Troubles in Germany,” pasal LXX.
142
Traktat Münster, pasal II, CIV dan CXXIII
143
Traktat Münster, pasal II
144
Traktat Münster, pasal IV (merujuk pada pertikaian Perancis-Spanyol), XI dan XXX.

Universitas Indonesia
164

Hari St. Bartholomeus di Perancis 24 Agustus 1572, contoh lain adalah perang sipil
reliius di Belanda yang berujung pada perjuangan kemerdekaan dari Spanyol, perang-
perang sipil di wilayah Kekaisaran, Skotlandia dan Irlandia.

Perang-perang sipil akan membuat kerajaan mengalami krisis otoritas, dan


semenjak raja (mengira dirinya) adalah yang paling berkuasa di kerajaannya, maka
ialah pihak yang menderita krisis otoritas. Aneka ragam pembangkangan sipil seperti
yang dilakukan terhadap Raja Inggris Edward III dan Raja Perancis Philip VI tentu
dianggap raja sebagai tindakan yang melecehkan otoritas kekuasaannya.
Pembangkangan biasanya juga datang dari kalangan bangsawan, seperti yang dialami
Perancis pada masa Richelieu. Raja yang merasa paling berkuasa, ketika dihadapkan
pada ketidak-patuhan warganya akan merasa gelisah. Kegelisahan tersebut bukan
hanya kegelisahan karena takut akan digantung rakyatnya sendiri seperti yang
dilakukan terhadap Raja Inggris Charles I, melainkan kegelisahan kalau-kalau ia akan
kehilangan kekuasaannya sebagai raja untuk selamanya. Sebagaimana disinggung di
awal bab ini, teologi politik yang dianut raja-raja pada Abad Pertengahan Akhir, raja
memiliki dua tubuh, natural dan politik. Tubuh politik raja adalah kerajaannya. Jadi
apabila tubuh politik ini hancur, maka hancur pula sang raja tersebut, dalam artian ia
kehilangan kerajaannya. Kegelisahan ini berikutnya diperparah lagi oleh bayang-
bayang intervensi asing ke urusan kerajaan tersebut. Perpecahan di internal kerajaan,
tentu akan membuat kerajaan lain lebih mudah menguasai kerajaan tersebut.
Manifestasi ketidak-jelasan teritori berikutnya adalah perang antar kerajaan.
Kegelisahan raja-raja akan perang sipil yang berpotensi melemahkan kesiapannya
dalam menghadapi ancaman asing juga memainkan pengaruh di sini. Namun, raja
akan lebih gelisah lagi apabila datang kerajaan asing lalu menginvasinya. Hal ini
tidak mustahil kepemilikan atas suatu teritori bisa berpindah secara longgar, seperti
yang terjadi saat Raja Maximilan dari dinasti Habsburg mengakuisisi tanah Burgundi
yang notabene masuk ke Kerajaan Perancis hanya dengan menikahi putri
penguasanya. Contoh lain saat Perancis menginvasi Florensia yang dikuasai oleh
dinasti Medici. Invasi Inggris ke jajahan Belandanya Spanyol, dst. Dari rangkaian

Universitas Indonesia
165

pertikaian antar kerajaan karena ketidak-jelasaan teritori ini membuat raja


mendambakan suatu sistem dimana penguasaannya atas wilayah tertentu tidak
diserobot oleh raja lainnya. Semenjak sistem seperti itu belum ada sampai Perjanjian
Westphalia, maka raja akan terus berperang dengan kerajaan satu ke kerajaan lainnya.

Disamping ketidak-jelasan teritori, sebenarnya eksistensi entitas-entitas lain


selain raja juga turut menambah kegelisahan. Eskpansionisme Kaisar Romawi Agung
yang dimotori “neo-pax romana”, Paus yang senantiasa merecoki urusan raja, mulai
moral (seperti pelarangan pernikahan Raja Henry dari Inggris, dan menyuruh raja
Philip dari Perancis untuk rujuk dengan istrinya dari Denmark) sampai urusan
internal kerajaan (seperti penunjukan pelayan Gereja). Bandit-bandit pun merupakan
ancaman bagi raja. Sekalipun umumnya tidak bermotif politik, atau perebutan teritori
kekuasaan, ia cukup meresahkan keamanan kerajaan. Kesemua ini apabila
diakumulasikan akan semakin menyumbang pada kegelisahan eksistensial raja.
Kegelisahan eksistensial inilah yang akan membuat raja mengkonstruksi fantasi ideal
tentang ke-diri-annya. Melalui fantasi inilah eksistensi raja bisa aman secara
ontologis.

Fantasi ke-diri-an ideal (a)


Setidaknya ada dua macam fantasi tentang ke-diri-an ideal yang selama Abad
Pertengahan terus memicu para raja untuk senantiasa memperjuangkannya demi
memperoleh ketenangan ontologis eksistensial. Fantasi pertama adalah sebagaimana
yang tercermin dalam “ide” tentang Tuhan. Melalui Gereja, Tuhan adalah suatu
cermin yang mau tidak mau akan selalu dihadapkan pada subyek-subyek Eropa saat
itu. Hasil pencerminan tersebut, sudah tentu akan menempatkan subyek-subyek
tersebut pada posisi sebaliknya, impoten. Di hadapan Tuhan yang omnipoten,
manusia adalah makhluk-makhluk impoten yang menyedihkan. Jadi, secara Lacanian,
citraan Tuhan mampu menginterpelasi (memanggil) hasrat terdalam manusia karena
ia menawarkan suatu kesempurnaan. Gagasan Tuhan, sebagaiman dikhotbahkan
secara berbusa-busa oleh pastur/pendeta zaman itu (bahkan sampai sekarang),

Universitas Indonesia
166

merupakan obyek hasrat yang dipercaya dapat menjadi obat penawar segala
keterbatasan manusia. Adalah omnipotensi yang disiratkan oleh gagasan Tuhan yang
menjadi obyek a, obyek-penyebab-hasrat.

Gagasan tentang Tuhan inilah yang menjadi fantasi tentang ke-diri-an yang
ideal yang menjadi obat bagi kegelisahan raja-raja, seandainya hal tersebut bisa
dimanifestasikan. Raja-raja mulai mengidentifikasikan diri dengan cermin tersebut.
Sebagai contoh, saat Raja Inggris James I berpidato dia menyamakan dirinya dengan
Tuhan, “The state of monarchy is the supremest thing upon earth; for kings are not
only God’s lieutenants upon earth, and sit upon God’s throne, but even by God
himself they are called Gods… Kings are justly called Gods.”145 Fantasi serupa juga
diujarkan oleh Raja Ludwig VI saat ia dipilih menjadi Kaisar Romawi pada 1338.
Baginya Raja tidak menerimah perintah dari siapapun di dunia ini, termasuk Paus.
Hal ini demikian karena kekuasaan dan martabat Raja adalah dari Tuhan langsung,
“Therefore, ... with the counsel and assent of the Electors and other princes of the
Empire, We declare that the imperial dignity and power are derived immediately
from God alone; and that, by the law and ancient approved custom of the Empire,
when anyone is elected Emperor or king by the imperial electors, unanimously or by
majority, at once by the mere fact of election he is to be considered and entitled very
King and Emperor of the Romans; ... nor does he need the approbation, confirmation,
authority or consent of the Pope or the Apostolic See or of any other person.”146

Raja Henri VIII malah lebih spesifik. Ia mencoba mempersonifikasikan


Tuhan, dan memonopoli personifikasi itu kepada dirinya—sebagai Raja. Tuhan
dalam benak Henri adalah Tuhan yang memiliki ‘tubuh’. Henri, mencoba
mengakuisisi tubuh mistik (corpus mysticum) Tuhan, berusaha menyatukan tanah
anglikan (Anglicana Ecclesia) yang geografis kedalam suatu corpus politicum
mysticum kerajaan (empire) yang atasnya ia, sebagai raja, menjadi kepalanya.147
Sebagaimana penulis telah paparkan pada bagian tentang teologi politik di awal bab
145
Pidato James I di depan Parlemen Inggris, 21 Maret 1609. Dikutip dari Brian Mcarthur, The
Penguin Book of Historic Speeches, (Penguin Books, 1996).
146
R.G.D. Laffan, peny., Select Documents of European History, vol. 1, 800-1492 (London:
Methuen, 1930), hal. 149.
147
Lihat penjelasan penulis tentang Makro-subyektivitas dan antropomorfisme di sub-bab
sebelumnya.

Universitas Indonesia
167

ini, akuisisi tubuh mistik ini digunakan oleh raja-raja untuk mengamankan
manifestasi ke-diri-an yang ideal, seperti diri Tuhan (itu pun juga memang Tuhan
mempunyai diri), melalui suksesi tahta kerajaan. Jadi yang ingin diamankan adalah
tubuh-tubuh mistis Simbolik, yang dengan menempatinya, raja akan mendapat
keamanan dan kenyamanan eksistensial. Logika pikir serupa juga dipakai oleh Raja
Henry IV dari Jerman saat ia mengemukakan tentang doktrin pedang sekuler, yaitu
keyakinan bahwa Tuhan memberikan otoritas bagi Raja untuk mengatur hal-hal
duniawi dan menegakkan hukum-hukumnya. Penulis sudah menjabarkan identifikasi
narsis terhadap Tuhan ini pada bagian “Makrosubyektivitas dan Antropomorfisme” di
atas, sehingga tidak akan penulis bahas lagi lebih jauh di sini.

Fantasi kedua gagasan subyektivitas modern Eropa. Secara umum gagasan


subyektivitas modern Eropa merujuk pada manusia yang utuh, otonom, ekspresif dan
rasional. Perkembangan gagasan ini bisa dilacak semenjak gerakan Renaisans
melanda Eropa sejak pada abad 14 juga Rasionalisme sejak abad 16 dan 17. Secara
literer, Renaisans diartikan sebagai ‘kelahiran kembali’ (rebirth), yaitu kelahiran
kekayaan kebudayaan-kebudayaan Yunani yang lama terpendam oleh tudingan pagan
dari Gereja. Sejarawan sepakat bahwa Renaisans merupakan sebutan bagi satu
periode untuk membedakan dari periode sebelumnya, yaitu periode zaman kegelapan
(dark age).148 Pada zaman kegelapan, Gereja mendominasi seluruh lini kehidupan
manusia. Sementara manusia, tidak mendapat tempat dalam sejarah selain sebagai
“konsituen” dogma-dogma gereja. Adalah Francesco Petrarca (Petrarch) yang
disebut-sebut sebagai pemantik Renaisans. Petrarch, yang seorang sastrawan dan
penyair, mengangkat kembali kekayaan buday Yunani terutama melalui
kegemarannya mengkoleksi buku.

Kecintaannya akan buku bukanlah suatu hal yang kebetulan. Ada hal menarik
yang Petrarch temukan melalui buku, salah satunya yang paling utama adalah

148
Alison Brown, Sejarah Renaisans Eropa (Bantul: Kreasi Wacana, 2009).

Universitas Indonesia
168

“manusia yang utuh” dalam karya-karya Cicero.149 Bagi Petrarch, penemuan kembali
karya Cicero Letters to Atticus pada tahun 1354 merupakan suatu hal yang istimewa.
Letters memiliki arti penting bagi Petrarch sendiri, dan akhirnya bagi seluruh Eropa.
Arti penting tersebut adalah gagasan tentang ‘manusia yang utuh’. Gagasan tersebut
dilukiskan Petrarch secara puitis, “Dari dunia yang hidup ... pada 1354 sejak lahirnya
Tuhan yang tidak anda ketahui.”

Nafsu Petrarch untuk memburu buku-buku klasik dan mengkoleksinya


menimbulkan suatu sikap baru terhada buku. Pengaruh Petrarch sangat luas, tak
sedikit orang-orang yang terpengaruh oleh “nafsu berahi” (cupiditas)—sebagaimana
diujarkan Petrarch sendiri—Petrarch akan buku. Petrarch mampu mempengaruhi
tidak hanya orang-orang disekitarnya, melainkan juga raja dan pangeran. Puisinya
tentang kecintaan terhadap buku, justru membuat orang-orang semakin tergila-gila
pada buku. Semakin banyak orang yang haus pada buku dan ikut-ikutan memburu
buku. Perburuan buku seakan-akan menjadi suatu gerakan masif saat itu. Inilah alasan
mengapa Renaisans selalu disebut sebagai gerakan.

Implikasi gerakan ini tidak hanya hanya sekedar banyaknya orang yang
menjadi tergila-gila akan buku. Lebih dari itu, gerakan ini juga memiliki implikasi
sosial kultural: rasa benci dan curiga terhadap buku-buku pagan—yang banyak
dibakar selama kejayaan Kristen—berubah menjadi rasa cinta dan antusias yang pada
gilirannya menambah peredaran buku-buku kuno di masyarakat. Tidak hanya di
kalangan masyarakat, kecintaan buku ini juga terlihat pada kelas-kelas aristokrat,
plutokrat, bahkan lingkungan kerajaan. Nafsu terhadap buku yang ditularkan oleh
Petrarch ini mendorong terciptanya perpustakaan-perpustakaan kerajaan. Raja dan
para pangeran pun akhirnya ikut tertular demam buku.

Tentu demam buku ini bukan terhadap buku itu per se. Dalam bahasa
psikoanalisis Lacanian, buku-buku tersebut, sebagai obyek hasrat, tentu memiliki

149
Ibid., hal. 76.

Universitas Indonesia
169

‘inti’ (obyek-penyebab-hasrat, obyek a) yang membuatnya menjadi obyek hasrat


tersebut. Inti, atau obyek a, kecintaan terhadap buku-buku ini tak lain adalah gagasan
tentang ‘manusia yang utuh’. Raja Florence merupakan salah satu contoh “akut” dari
ini. Ketika ia terkejut saat menemukan ‘manusia yang utuh’ dalam Familliar Letters-
nya Cicero, ia merasakan keterkejutan yang sama seperti yang dirasakan Petrarch saat
menemui hal serupa dalam Letters to Atticus-nya Cicero. Ia pun melukiskan Petrarch
sebagai “sejenis pintu dan guru ketika nafsuku terhadap jenis studi ini pertama kali
membara seakan-akan oleh ilham ilahi di akhir masa remajaku.”150

Gerakan Renaisans ini berimplikasi pada gerakan lainnya yang sangat deras
juga saat itu, yaitu Humanisme. Pandangan Humanis mengapresiasi tinggi segala
aspek dari keberadaan manusia. Humanis menganggap nilai-nilai manusia adalah
lebih tinggi ketimbang nilai-nilai muluk yang ditekankan oleh Gereja. “Manusia
adalah ukuran segala sesuatu”, adalah kutipan Protagoras yang selalu terngiang-
ngiang di benak para Humanis. Dalam pandangan humanis, manusia dipandang
sebagai subyek yang utuh dengan segala keberadaannya, ia adalah makhluk yang
penuh kreasi dan prokreasi yang tinggi. Manusia bukan hitam-putih seperti yang
selalu dikhotbahkan Paus, manusia adalah penuh warna. Apresiasi humanistis seperti
ini melanda hampir seluruh lini kehidupan manusia. Pada Politik pun demikian,
contoh paling monumental adalah karya Nicollo Machiavelli, The Prince. Di karya
tersebut, Machiavelli mengesampingkan moralitas (virtue) dalam tindakan raja.
Machiavelli lebih menekankan kreativitas raja dalam bertindak; memerintah adalah
seni kreatif bagi Machiavelli.

Di bidang seni, Humanisme juga melahirkan tokoh-tokoh dan karya-karya


monumental. Mulai lukisan, pahatan sampai arsitektur, gagasan sentral humanisme
tentang subyektivitas yang berkesadaran-diri, otonom dan ekspresif nampak kental
menggejala. Mulai dari lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci, fresco
Michaelangelo sampai teori perspektif Filippo Brunelleschi, semuanya memberikan

150
Brown, Sejarah Renaisans, hal. 76.

Universitas Indonesia
170

apresiasi bagi manusia. Filippo Brunelleschi misalnya, dengan teori lukisan


perspektifnya ia ingin menunjukkan bahwa lukisan yang indah dapat diperoleh
berdasarkan suatu posisi singular yang tetap (fixed) dalam melihat. Dan posisi
singular tersebut tak lain adalah posisi yang ditempati oleh manusia. Manusia
menjadi titik di mana segala obyek (lukisan) diposisikan, dikreasikan, dan
dilukiskan. 151

Lukisan-lukisan karya da Vinci dan Michaelangelo juga mengandung


gagasan-gagasan humanis tentang apresiasi manusia ini. Dalam Monalisa da Vinci,
adalah keunikan manusia yang diangkat. Lukisan Monalisa menampilkan kedetilan
luar biasa terhadap penggambaran diri manusia: kerutan di kulit, tekstur rahang dan
dagu, rambut yang tertata rapi, belahan buah dada, sampai lipatan-lipatan baju
ditampilkan secara culas oleh da Vinci. Melalui lukisannya itu, da Vinci ingin
mengekspos manusia secara vulgar. Lebih dari itu semua, Monalisa sendirian di
tengah lukisan tersebut. Berbeda dari lukisan-lukisan sebelumnya yang
menggambarkan manusia sebagai kerumunan, gerombolan dan kawanan yang hampir
tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Kesendirian Monalisa ini menandakan
keunikan dan otonomi, dan posisi tengah-tengah menandakan pusat. Jelas sudah
bahwa da Vinci ingin meletakkan otonomi manusia berikut segala keunikannya pada
pusat. Tentang menempatkan manusia sebagai pusat juga dapat ditemukan pada
lukisan-lukisan Giorgio Vasari yang merupakan murid Michaelangelo. Salah satu
lukisan yang penulis contohkan adalah karyanya dalam melukiskan guru
kesayangannya, Michaelangelo. Di gambar itu tampak jelas bahwa Michaelangelo,
sang model, berada di tengah lukisan. Tidak hanya itu, ia menoleh ke arah yang

151
Pandangan ini juga berpengaruh pada politik, bahkan pada konsepsi kedaulatan. “But what was
true in the visual arts was equally true in politics: political space came to be seen and defined as it
appeared from a single fixed viewpoint. The concept of sovereignty, then, represented merely the
doctrinal counterpart of the application of singlepoint perspectival forms to the spatial organization of
politics.”John Ruggie, Constructing World Polity, hal. 186. John Ruggie telah membahas tentang
Brunelleschi, sehingga penulis akan membahas tokoh dan seni yang lainnya. Teori Brunelleschi ini
juga membawa dampak pada perkembangan kartografi, yang nantinya akan menyumbang secara
signifikan pada gagasan garis batas (border) kedaulatan negara. Lihat Jordan Branch, “Mapping the
Sovereign State: Technology, Authority, and Systemic Change.” (Akan terbit pada International
Organization, 2011)

Universitas Indonesia
171

berlainan dengan kerumunan di mana ia berada. Hal ini ingin menunjukkan


kesadaran-diri, sebagai fitur manusia Renaisans. Kesadaran-diri inilah yang
membedakan manusia dari kerumunannya, yang membuat ia unik dan eksis sebagai
individu.

Gambar III.4. Lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci (kiri) dan Lukisan
Michaelangelo karya Giorgio Vasari (kanan). [Sumber: Encarta Encyclopedia 2009]

Satu lagi figur penting dalam perkembangan gagasan subyektivitas modern


Eropa adalah René Descartes. Descartes yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat
modern menambahkan dimensi rasio dalam subyektivitas Eropa yang tercerahkan.
Bahkan saking besarnya dampak filsafat Descartes, bermunculan filsuf-filsuf lain
yang melandaskan filsafatnya pada rasio. Descartes memulai filsafatnya dengan
menyangsikan segala sesuatu: bahwa segala sesuatu di dunia ini relatif, realitas
tidaklah pasti, indra manusia adalah tidak dapat dipercaya, bahkan seluruh dunia ini,
menurut Descartes, bisa saja digerakkan oleh setan yang keberadaanya entah dimana,
dan dari situ ia mengontrol segala sesuatunya di dunia ini. Descartes berusaha
mencari satu kepastian ditengah-tengah ketidak-pastian tersebut; ia mereduksi
kesangsian ke suatu titik yang tak terbantahkan: yaitu kesadaran manusia. Dari
seluruh skenario kemungkinan yang tak terbatas akan realitas dan dunia yang mampu
dipikirkan manusia, hanya ada satu hal yang pasti, yaitu ke-berpikir-annya sendiri.

Universitas Indonesia
172

Diktum tersohor Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Aktivitas
berpikir adalah titik tolak eksistensi manusia. Rasio menjadi fitur utama keberadaan
manusia. Rasio, dengan demikian merupakan suatu kepastian yang tak tergoyahkan,
sekaligus dari mana kebenaran bersumber.

Rasio ini berikutnya menjadikan manusia sebagai subyek, yaitu ia yang


memikirkan segala sesuatu, yaitu obyek. Melalui rasio, Descartes menarik garis tegas
antara subyek dan obyek, dengan subyek sebagai yang berrasio dan obyek tidak.
Dengan rasio, subyek memperoleh otonomi dari realitas obyektif karena melalui
dialah seluruh realitas dapat menjadi ada, yaitu dengan disadari oleh subyek. Lebih
lagi, Descartes juga menekankan bahwa otonomi juga didapat dari kendali subyek
terhadap hal-hal irasional yang ada pada dirinya: hasrat, sentimen, afeksi dan emosi.
Dengan mengendalikan dan menundukkan hal-hal ini pada otoritas rasio, maka
subyek tersebut akan menjadi otonom. 152

Demikianlah evolusi gagasan subyektivitas modern Eropa yang tercerahkan di


tangan tokoh-tokoh besar Renaisans, Humanisme dan Rasionalisme. Melalui
gerakan-gerakan ini, manusia diinagurasikan sebagai subyek yang utuh, unik,
otonom, ekspresif, dan juga rasional. Marak dan menyebarnya buku-buku, karya-
karya sastra, lukisan, literatur filsafat dan sains melalui maraknya perpustakaan-
perpustakaan baik publik maupun kerajaan, melalui toko-toko buku dan literatur,
melalui galeri-galeri seni, bahkan melalui arsitektur kerajaan, telah menyumbang
secara siginifikan terhadap menyebar-luas dan menjadi semakin “demokratis”-nya
gagasan humanis yang dibawa melalui artefak-artefak kultural ini.

152
Namun demikian, Descartes masih berkompromi dengan Agama. Baginya, otonomi manusia
tidak bisa mutlak, karena ia tetap akan tunduk pada hukum-hukum Ilahi. Pada pengantar bukunya, ia
menulis “To those most learned and distinguished men, the Dean and Doctors, of the sacred Faculty
of Theology at Paris, from René Descartes.” “It is of course quite true that we must believe in the
existence of God because it is a doctrine of Holy Scripture, and conversely, that we must believe Holy
Scripture because it comes from God […] But this argument cannot be put to unbelievers because they
would judge it circular.” René Descartes, Meditations on First Philosophy, dalam The Philosophical
Works of Descartes, terj. E.S. Haldane (Cambridge: Cambridge University Press, 1911)

Universitas Indonesia
173

Subyektivitas a la Humanisme inilah yang menjadi cermin ke-diri-an yang


ideal bagi setiap manusia Eropa, tidak terkecuali raja-raja. Malahan dengan modal
sosial dan ekonomi yang lebih tinggi, raja bisa mengakses cermin-cermin ini dengan
lebih mudah. Raja Perancis Francis I misalnya, ia membayar mahal murid
Michaleangelo yang paling cemerlang, Il Rosso, untuk mendekorasikan kastil
Fountainebleau. Ia juga membeli lukisan Monalisa da Vinci, bahkan memboyong
sang pelukis ke Perancis. 153 Descartes pun demikian, ia memiliki reputasi yang baik
di kalangan raja-raja Eropa. Bahkan ia memiliki “murid” seorang permaisuri, yaitu
Elizabeth dari Putri dari Bohemia.154 Ratu Christina dari Swedia pun pernah
mengundang Desacartes untuk memberikan kuliah di kerajaannya di Stockholm.

Gambar III.5. Descartes memberi kuliah di Swedia atas permintaan Ratu Christina.
(Sumber: Encarta Encyclopedia 2009)

Secara umum, memang tokoh-tokoh yang penulis sebutkan di atas tidak


secara langsung berbicara tentang kaitan gagasan ke-diri-an a la subyektivitas
modern Eropa yang tercerahkan dengan ketata-negaraan, lebih tepatnya kedaulatan
negara. Sekalipun Hobbes dan Machiavelli, keduanya hanya berbicara tentang

153
McKay, dkk., A History of Medieval Society, hal. 681.
154
Bahkan belakangan ditemukan fakta bahwa keduanya menjalin hubungan yang cukup intim.
Lihat Lisa Shapiro, peny., The Correspondence Between Princess Elisabeth of Bohemia and René
Descartes (Chicago & London: The Uni Chicago Press, 2007)

Universitas Indonesia
174

siapakah yang memiliki kuasa dan seperti apakah wajah kekuasaan tersebut. Namun
demikian, bukan berarti tokoh-tokoh ini berikut pemikirannya tidak memiliki andil
dalam tumbuh-kembang gagasan negara berdaulat, khususnya yang tersirat dalam
Perjanjian Westphalia. Sumbangsih tokoh-tokoh dan pemikiran humanis tersebut
adalah bahwa mereka turut menciptakan lahan subur di benak raja-raja bagi
penerimaan aplikasi gagasan humanisme ke dalam ketata-negaraan yang nantinya
“dicerminkan” misalnya oleh Jean Bodin dan Emmer Vattel kepada para raja. Karena
Vattel berada pada masa setelah Westphalia, maka penulis hanya akan membahas
Jean Bodin.

Karya Bodin tentang kedaulatan, yaitu Six Books on Commonwealth,


dianggap monumental karena ia mampu menanyakan hal yang tidak seorangpun pada
Abad Pertengahan pertanyakan. Hampir seluruh politisi, yuris, bangsawan, filsuf
bahkan raja hanya mempertanyakan “siapakan penguasa dan apa saja
kekuasaannya?”, sementara Bodin bertanya “Apakah negara itu dan bagaimana ia
dikonstruksikan?” Perpindahan fokus Bodin ini menyelamatkannya dari kubangan
lumur perdebatan tiada akhir akan kekuasaan abadi ilahi melawan kekuasaan
temporal manusia. Tidak hanya itu, pandangan Bodin memberikan solusi bagi
permasalahan politik yang sedang melanda Eropa saat itu, terutama Perancis, asal
Bodin. 155

“SOVEREIGNTY is that absolute and perpetual power vested in a commonwealth ...


It is the distinguishing mark of the sovereign that he cannot in any way be subject to
the commands of another, for it is he who makes law for the subject.”
Jean Bodin156

155
Bodin terutama prihatin dengan peperangan sipil relijius dalam Perancis. Bahkan ia ikut
menyaksikan, dan berhasil lolos, dari even Pembantaian St. Bartholomew (1572). Ia mendambakan
suatu negara yang dapat menjamin keamanan dalam negerinya. Yaitu negara yang mampu
menciptakan tatanan, dan menurut Bodin, dengan hukum.
156
Jean Bodin, Six Books on Commonwealth, terj, M.J. Tooley (Oxford: Basil Blackwell). Huruf
kapital dari teks asli.

Universitas Indonesia
175

Kedaulatan, bagi Bodin memiliki dua aspek, yaitu absolut dan abadi.
Dikatakan absolut karena pemegang kedaulatan memiliki kekuasaan atas segala
sesuatu yang berada dalam teritorinya. Sehingga fitur pertama dalam absolutisme
Bodin ini adalah teritori. Fitur kedua dari absolutisme Bodin adalah terkait hukum.
Raja berdaulat mendapat absolusitasnya dari posisinya yang tidak menjadi subyek
hukum manapun, karena dialah sang pembuat hukum tersebut. Prinsip ini nampaknya
didapat dari filsuf Inggris John Salisbury abad ke-12 yang terkenal dengan prinsipnya
legibus solutus—raja bebas dari ikatan hukum karena ia berbuat berdasarkan rasa
keadilan dalam hatinya. Melihat kedua fitur absolut Bodin ini, maka akan tampak
bahwa negara berdaulat dalam benak Bodin adalah selalu berkaitan dengan piramida
otoritas kekuasaan, dengan tempat tertinggi diduduki oleh raja berdaulat sebagai sang
“otoritas publik”—yang menguasai seluruh individu dalam negaranya, “no matter
how high that person might stand in the office or dignity.”157 Pandangan ini tentunya
kontras dengan kenyataan Eropa, dan terutama Perancis, saat itu yang serba
terdesentralisir pada banyak aktor (tuan-tanah, pangeran, aristokrat, Gereja). Lalu
dikatakan absolut, karena kekuasaan itu bersumber dari kekuasaan Tuhan yang
transenden dan mutlak. Tuhan adalah pengecualian bagi absolutisme Bodin,
“sovereign princes are to give account unto none, but immortal God alone.”158
Semenjak Tuhan adalah sesuatu yang abadi, maka kekuasaan sang berdaulat pun
abadi adanya. Kekuasaan inilah yang diharapkan Bodin dapat menciptakan tatanan
dalam masyarakat.

Melalui gagasan ini Bodin menekankan bahwa agama haruslah dipisah dari
urusan negara. Bodin berbicara lantang tentang hal ini dalam salah satu konferensi
Liga Katolik di masa-masa perang sipil Perancis. Bodin menentang perang melawan
kaum Huguenot—protestan-calvinis, karena peperangan dalam negeri sebenarnya
justru melemakan kekuasaan raja sebagai otoritas publik tertinggi. Aspirasinya untuk
mengeksklusi agama dari ranah politik ini tentu didasarkan pada keyakinannya bahwa

157
Beaulac, The Power, hal. 122.
158
Bodin, Six Books.

Universitas Indonesia
176

raja memperoleh kekuasaan bukan dari agama, melainkan langsung dari Tuhan.159
Demikian pula posisinya terhadap Kekaisaran Romawi Agung. Bagi Bodin, raja yang
berdaulat tidak seharusnya berada pada kekuasaan lain di atasnya, termasuk
Kekaisaran. Pandangan inilah yang terus dipegang oleh Perancis terhadap
Kekaisaran, sekalipun keduanya beragama Katolik.

Dalam perjalanan karirnya, bisa dibilang Bodin merupakan katalis “resmi”


bagi ide-ide humanisme masuk ke dalam ide-ide politik kenegaraan. Bodin sendiri
adalah seorang humanis yang terinspirasi dari Bartolus Baldus dari Italia yang
merupakan pendukung absolutisme raja.160 Adalah Bodin yang menyalurkan konversi
ide-ide humanis ke politik kepada para politisi di Perancis. Dengan kata lain, adalah
Bodin yang merupakan salah seorang pembawa cermin tentang ‘subyek berdaulat’ a
la Renaisans ke ranah politik. Bodin pernah masuk dalam lingkaran satu perpolitikan
di Perancis saat ia diminta secara langsung oleh Duke François dari Alençon, adik
dari Raja Henry III, untuk menjadi penasihatnya. François sangat terpengaruh
pemikiran Bodin, bahkan saat ia menjadi pimpinan faksi politiknya, ide-ide Bodin
terefleksi dalam kebijakan-kebijakan dan retorikanya. Melalui faksi inilah pemikiran
Bodin tersebar, dan gagasan subyek berdaulat pun semakin tersebar di mana-mana,
menunggu untuk segera dimanifestasikan. Dan memang, tidak perlu menunggu
terlalu lama saat ide Bodin mengkristal dalam Perjanjian Westphalia 1648, di mana
Perancis memiliki andil besar dalam pembuatannya.161

Melalui karya Bodin ini sekiranya dapat dilihat bagaimana subyektivitas


modern yang diusung Humanisme, sebagaimana juga oleh Bodin, terrefleksikan
dengan begitu jelas pada gagasan kedaulatan Bodin. Ada dua konsep terkait
subyektivitas modern yang nampaknya muncul secara berulang-ulang dalam karya

159
Argumentasi ini sebenarnya khas Protestan, padahal Bodin adalah seorang Katolik—setidaknya
dekat dengan Liga Katolik. Agama Bodin sendiri sebenarnya memantik perdebatan tersendiri. Lih.
Beaulac, The Powers, hal. 105. Lihat juga pengantar penerjemah dalam Bodin, Six Books.
160
Beaulac, The Power, hal. 77.
161
Bdk. C.V.Wedgewood, The Thirty Years War, 1938, Bab X, bag IV.

Universitas Indonesia
177

Bodin. Konsep pertama adalah konsep manusia rasional. Bukankah kepercayaan


Bodin bahwa negara harus terpisah dari urusan agama, paralel dengan gagasan bahwa
rasio harus menang terhadap unsur-unsur non-rasional termasuk agama dan
kepercayaan? Lalu bukankah kepercayaan Bodin bahwa sang berdaulat mampu
memerintah dan mengatur masyarakat dengan hukum, atau apa yang sering disebut
sebagai raison d’etat, adalah simetris dengan gagasan manusia rasional? Lalu
terakhir, bukankah gagasan legibus solutus Bodin, yaitu bahwa raja tidak tunduk pada
kekuasaan/hukum lain diatasnya, sejalan dengan gagasan otonomi subyek modern?
Intinya, karya Bodin ini berjalan seiringan dengan humanisme, yaitu mengangkat
manusia ke posisi sentral, atau yang dalam karya Bodin disebut otoritas publik.
Akhirnya, inilah cermin instan bagi raja-raja untuk memuaskan kegelisahannya akan
ke-diri-an ideal.

III.5.2. Aktivasi mikrofasisme: dari antisipasi sampai agresi

“Creative nurosis, I call it: the art of directing one’s compulsion and fears to
productive outcomes.”
Charles Tilly162

“Organization of power ... haunts the economic and nourishes political forms of
repression.”
Gilles Deleuze dan Félix Guattari163

Antisipasi agresif, atau perubahan fantasi ke-diri-an ideal


“If international relations theory is to produce a theory of change, there is no beter
place to begin than with sovereignty”
Janice Thomson164

Sampai di sini sebenarnya pemaparan penulis tentang dua bentuk fantasi dapat
menimbulkan pertanyaan: mengapa terdapat dua bentuk fantasi? Apakah hubungan di
antaranya? Bisakah ia diidentifikasi sekaligus? Atau apabila yang kedua
menggantikan yang pertama, bagaimana memahami perubahan tersebut? Jawaban

162
Tilly, Coercion, hal. ix.
163
Capitalism: a very special delirium, dalam "Chaosophy", ed. Sylvere Lothringer, Autonomedia/
Semiotexte 1995
164
Thomson, Mercenaries, hal. 153.

Universitas Indonesia
178

penulis adalah: kedua fantasi tersebut adalah saling melengkapi, yang pertama
(omnipotensi ilahi) dilengkapi dengan bentuk kedua (subyektivitas modern). Alasan
penambahan (upgrade) ini adalah karena kristalisasi fantasi yang pertama terbukti
tidak cukup untuk memberikan keamanan ontologis eksistensi berupa perasaan ke-
diri-an yang utuh bagi raja. Kontradiksi segera meretakkan manifestasi kongkrit
fantasi tersebut. Namun demikian, sebagaimana penulis selalu tekankan, kegagalan
bagi yang Simbolik untuk selalu merepresentasikan fantasi ideal (yang Riil
Lacanian), tidak lantas berarti subyek berhenti mengupayakannya. Subyek terus
bersikeras untuk mengakusisi fantasi ideal tersebut. Tepat di tengah-tengah upaya
akuisisi inilah subyek melihat citraan fantasi ideal lain yang dapat memberikan efek
serupa—perasaan ke-diri-an ideal. Inilah yang menyebabkan subyek berganti cermin
fantasi ideal.

Demikian pula halnya dengan omnipotensi ilahi yang menjadi fantasi ideal
ke-diri-an raja pada kisaran abad ke-12. Saat raja memanifestasikannya dalam
gagasan corpus mysticum politicum atau tubuh mistik politik, yaitu kerajaannya
(realm), hal itu dilakukannya untuk menenangkan kegelisahannya. Kegelisahan raja-
raja pada saat itu adalah saat feodalisme yang begitu mengakar kuat dalam
masyarakat Eropa Abad Pertengahan pasca serangan Viking, Magyar dan Muslim.
Tuan-tuan tanah yang ratusan jumlahnya tersebar di seluruh Eropa. Dengan kata lain,
distribusi kekuasaan terdesentralisasi secara radikal. Tidak ada kekuatan sentral yang
mampu menguasainya, singkatnya anarki. Situasi anarki inilah yang memaksa setiap
tuan tanah mengkonsolidasikan kekuatannya demi pertahanan eksistensinya.
Semenjak kegelisahan karena ketidak-menentuan dalam anarki juga mengakibatkan
paranoia, maka yang bisa dilakuka para tuan tanah adalah terus meningkatakan
kekuatannya. Alhasil, tidak hanya mengkonsolidasi, melainkan ekspansi juga
dilakukan oleh tuan-tuan tanah ini. Ekspansi ini bisa dilakukan melalui penundukkan
maupun aliansi. Namun demikian, tuan-tuan tanah ini, yang juga merupakan raja
pada tanah (estate)-nya, masih mengkhawatirkan kesinambungan eksistensi
kerajaannya, sehingga mereka butuh jaminan pasti akan kelangsungan ini. Tidak bisa

Universitas Indonesia
179

ia menjangkarkan kesinambungan eksistensinya pada kekuatan imanen atau duniawi


(kekuatan dan ekonomi) semata. Perlu landasan transenden untuk mengamankan
posisi tersebut.165

Sayangnya, dengan mengaku-ngaku membawa titah dari Tuhan untuk


memerintah kerajaan, atau dengan menjadikan kerajaan sebagai tubuh politik mistik,
ternyata kontradiksi tidak mampu dicegah oleh raja. Bukannya tunduk kepada satu
raja, raja-raja justru saling memerangi satu sama lain bahkan dengan alasan-alasan
ilahi juga. Sejarah mencatat bagaimana Perancis, melalui Joan of Arc memerangi
Inggris atas nama dan perintah Tuhan. Di dalam teritori pun demikian, tidak jarang
bangsawan sampai petani berani berontak kepada raja, bahkan dalam kasus Inggris,
sampai mendesak Raja John untuk menanda-tangani Magna Carta (15 Juni 1215).
Ironis, kekuasaan yang diyakini raja didapatnya dari Tuhan ternyata dapat ditantang
oleh bahkan sekelompok petani. Juga menjadi kontradiktif bahwa dalam tubuh politik
kerajaan, ternyata bisa terjadi insiden pemukulan sang kepala (raja) oleh tubuhnya
sendiri (masyarakat).

Ironi dan kontradiksi ini pada gilirannya memicu kegelisahan dalam diri raja.
Kegelisahan inilah yang memantik mikrofasisme dalam raja yang merindukan
penguasaan atas dirinya. Saat tubuh politik kerajaan direcoki oleh sekelompok petani,
maka sang raja, demi mengamankan eksistensinya sebagai sang kepala, malah
melibas habis petani-petani tersebut yang notabene merupakan bagian tubuh politik
sang raja. Upaya raja untuk mempertahankan manifestasi ke-diri-an idealnya sebagai
penguasa (the One), tidak jarang dilakukan secara represif dan opresif. Siapapun yang

165
Bahkan sebenarnya Charlemagne, saat ia dinobatkan sebagai Kaisar Agung Romawi oleh Paus
Leo X pada tahun 800 SM, tidak melihat Kekaisarannya sebagai titah suci lagi mulia yang diembankan
di pundaknya. Charlemagne justru melihat potensi yang mampu diberikan oleh predikat tersebut, yaitu
perasaan ke-diri-an yang utuh dimana kekuasaannya dijamin oleh suatu kekuasaan yang transendental.
Hal ini dibuktikan dengan pembangkangan Kaisar-kaisar Agung Romawi terhadap Gereja dan Paus
semenjak masa-masa akhir Charlemagne sampai insiden Sack of Rome (1527) saat Roma diserang
pasukan Kekaisaran dan Paus Clement dijadikan tahanan oleh Kaisar Agung Romawi Charles V.

Universitas Indonesia
180

melawan kehendak raja: pancung, tidak terkecuali Gereja. 166 Namun demikian,
kegelisahan eksistensial tidak akan cukup untuk diselesaikan dengan kekuatan senjata
atau uang. Ia tetap butuh jangkar transenden, yaitu fantasi. Tepat pada momen inilah
fantasi ideal berupa subyektivitas modern menjadi alternatif bagi raja.

Namun demikian, berguna juga untuk melihat memudarnya kekuasaan Paus


sebagai katalis bahkan akselerator perubahan fantasi diri ideal ini. Insiden seperti
Penyekapan Babilonia (1309-1372), yaitu saat Paus Clement V “disekap” oleh Philip
sang Adil (Philip the Fair) dari Perancis di Avignon; yang berbuntut pada Skisma
Besar saat dua Paus—Urban VI yang semena-mena ditantang oleh Paus Clement
VII—muncul dalam satu Kepausan; dan memuncak pada gerakan Reformasi saat
Luther dengan 95 Tesisnya pada 31 Oktober 1517 blak-blakan menantang otoritas
Paus, nampaknya semakin menyemangati raja untuk bersikeras mengidentifikasi-diri
dengan omnipotensi Tuhan. Alasannya, Gereja, pesaing utama raja dalam mewakili
omnipotensi Tuhan, telah terlebih dahulu layu. Hal ini bukan lantas berarti raja-raja
bisa dengan tenang mengidentifikasi diri dengan omnipotensi Tuhan. Sebaliknya,
raja-raja akan melihat, bahwa bahkan Gereja, yang secara tradisional merupakan
“perwakilan” Tuhan di dunia juga bisa pecah. Pecahnya Gereja ini menandakan
bahwa Gereja tidaklah omnipoten seperti yang ia sering banggakan. Hal ini cukup
mengindikasikan kepada raja untuk segera mengevaluasi fantasinya, apakah benar
fantasi ini mampu memberikan perasaan ke-diri-an yang utuh atau tidak.

Skandal Westphalia 1648


“an irregular state-body, much like a monster”
Samuel von Pufendorf167

Perjanjian Westphalia merupakan upaya raja-raja untuk memanifestasikan


lebih lanjut gagasan ke-diri-an yang ideal, hanya saja kali ini tidak melalui

166
Misalnya Thomas Becket, Archbishop dari Catenbury, karena pembangkangannya terhadap
Raja Inggris Henri II, ia dibunuh oleh empat Ksatria suruhan Raja pada Desember 1170.
167
Lihat J.G. Gagliardo, Reich and Nation – The Holy Roman Empire as Idea and Reality, 1763-
1806 (Bloomington: University of Indiana Press, 1980), hal. 41.

Universitas Indonesia
181

omnipotensi Tuhan, melainkan melalui ‘kedaulatan’. Fitur utama kedaulatan


Westphalia, yaitu yurisdiksi penuh atas teritori, dan prinsip pengakuan kedaulatan
bersama agaknya sulit untuk dibantah kedekatannya dengan cermin kedaulatan
sebagaimana yang dihadirkan, misalnya oleh Jean Bodin. Lalu pertanyaannya, apakah
kedua fitur utama kedaulatan Westphalia ini berhubungan dengan gagasan kedaulatan
Bodin? Jawaban penulis adalah afirmatif: dua bentuk kedaulatan ini berhubungan
satu sama lain, namun bukan oleh Bodin yang menjadi jembatannya, melainkan raja-
raja yang menjadi pihak dalam kesepakatan tersebut.

Sebagaimana telah penulis jabarkan, subyektivitas modern yang


memanifestasi pada kedaulatan Bodinian telah menjadi fantasi ke-diri-an yang ideal
bagi raja-raja yang dirundung kegelisahan eksistensial karena perang yang tak
kunjung henti di satu sisi, dan di sisi lainnya perang sipil relijius terjadi dalam
teritorinya. Raja merasa frustrasi dalam mengatur kerajaannya. Di sinilah tepatnya
saat kedua fitur kedaulatan Bodinian menjanjikan penguasaan kerajaan secara efektif.
Karena dengan kemampuan untuk menguasai kerajaan secara efektif, efek
langsungnya adalah eksistensi raja ikut terjaga. Adalah perasaan ke-diri-an yang ideal
yang dijanjikan kedaulatan Bodinian bagi para raja. Jadi, sampai Perjanjian
Westphalia disepakati, sebenarnya para raja telah terlebih dahulu memendam
hasratnya akan kedaualatan. Namun baru saat Perjanjianlah hasrat itu terpenuhi:
perjanjian melandasinya, dan “komunitas” raja-raja saling mengakui satu sama lain.

Di sini penting untuk melihat Westphalia sebagai suatu rezim. Untuk


memahami ini, teori rezim Ruggian mampu menunjukkan indivisibilitas mental yang
mensukseskan Perjanjian ini, yaitu hasrat raja-raja akan kedaulatan. Sebagai
indivisibilitas, hal inilah yang menjadi inti utama yang menyatukan seluruh raja untuk
mau merundingkan perdamaian dan menjunjung tinggi hasil perjanjian tersebut.
Hasrat akan kedaulatan ini sebenarnya melebihi dari tujuan tersurat dari Perjanjian
tersebut yang sebagaimana telah penulis sebutkan: perdamaian, penyelesaian
sengketa teritori dan juga mengembalikan perekonomian kerajaan. Motif utama

Universitas Indonesia
182

Perjanjian Westphalia dibuat dengan demikian adalah untuk memanifestasikan


hasrat raja-raja akan fantasi ke-diri-an ideal yang dijanjikan oleh gagasan
kedaulatan. Westphalia digunakan raja-raja untuk memperoleh kedaulatan masing-
masing atas wilayahnya. Hal ini dengan demikian akan memberi raja hak eksklusif
atas teritorinya, sehingga tidak akan ada lagi intervensi dari pihak-pihak yang bukan
berasal dari teritorinya. Efeknya, raja bisa dengan tenang mengurusi urusuan
kerajaannya. Jadi, sebagai rezim, Perjanjian merupakan muara dari hasrat para raja
akan kedaulatan. Namun demikian, para raja menutup-nutupinya dengan
universalitas-universalitas seperti perdamaian, demi perekonomin, dan demi
persatuan Kekristenan, dst. Hal ini tidak lain adalah persekongkolan. Penulis telah
menekankan bahwa secara psikogenealogis, rezim kebenaran adalah selalu
merupakan skandal diskursif. Sehingga memahami Perjanjian Westphalia sebagai
rezim, maka sama dengan memahami Perjanjian Westphalia lebih sebagai Skandal
Westphalia.

Untuk membongkar sisi scandalous dari Perjanjian Westphalia ini ada


baiknya untuk memperhatikan beberapa hal menarik—karena ironis—dari Perjanjian
tersebut: 1) memudarnya peran Gereja secara drastis; 2) tidak sedikit pun disinggung
entitas-entitas lain di Eropa saat itu, kecuali negara berdaulat dan Kekaisaran
Romawi; 3) memudarnya, sekalipun masih bertahan, Kekaisaran Agung Romawi!
Melalui tiga fakta ini, penulis mencoba menguak skandal dibalik perjanjian ini

Poin pertama, Gereja. Peran Gereja memang semakin memudar di Eropa,


namun bukan berarti Gereja telah benar-benar hilang dari ranah politik di Eropa. Jika
memang demikian, tidak mungkin Paus Sixtus V rela menjanjikan 1 juta ducat emas
kepada Raja Spanyol Philip untuk menginvasi Inggris. Ditambah lagi, kenyataan
bahwa akar pertikaian Perang Tiga Puluh Tahun ini adalah agama. Nampaknya telah
ada persekongkolan raja-raja untuk diam-diam melakukan sekulerisasi agama dari
negara. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Gereja hanya dicantumkan tidak
lebih dari satu kali di traktat, itu pun secara sambil lalu dan untuk menunjukkan

Universitas Indonesia
183

supremasi perjanjian; “That it never shall be alledg'd, allow'd, or admitted, that any
Canonical or Civil Law, .. or the Concordates with the Popes ... shall take place
against this Convention, or any of its Clauses and Articles”168 Bahkan yang lebih
mengejutkan lagi, Paus tidak hanya tidak diikut-sertakan, ia bahkan tidak diberi-tahu
tentang perjanjian ini. “Sri Paus sangat terkejut atas hasil perjanjian itu dan
mengeluarkan sebuah dokumen resmi yang mengecam keras...”169

Untuk poin kedua, contoh entitas yang tidak diindahkan adalah Liga Dagang
Hanseatic. Dalam Perjanjian, Liga hanya diwakili oleh M. David Gloxinius dari
dinasti Lübeck, dengan catatan jika Gloxinius memang mewakili Liga.170 Hal ini
bersifat paradoks dengan kondisi Liga yang saat itu sedang naik daun. Kemashyuran
Liga terbukti dengan menangnya Liga saat berhadapan dengan Raja Denmark dan
Penguasa London pada abad 14 akhir. Liga yang sedang berjaya ini akhirnya
melemah dengan sendirinya semenjak banyak kota-kota—yang sekarang sudah
menjadi kota dari negara berdaulat—menutup perwakilannya bagi Liga. Tidak hanya
itu, Perjanjian Westphalia sudah menskenariokan “pengganti” kekuatan ekonomi bagi
Liga Hanseatic, yaitu Belanda. Provinsi Belanda dihadiahi kedaulatan oleh Traktat
Osnabruck. Belanda inilah yang menjadi pesaing terbesar Liga dan pada akhirnya
membuat Liga gulung tikar. Dimulai dari Inggris, penguasa-penguasa Eropa mulai
menolak konsesi dagang Liga. Pertemuan terakhir Liga Hanseatic di 1669, hanya
enam kota (dari ratusan) yang mengirimkan perwakilannya.
Entitas lainnya yang tidak hanya diabaikan dalam Perjanjian, namun diatur
penyingkirannya adalah para tentara bayaran dan Ksatria. Penyingkiran tersebut
dilakukan sebagai konsekuensi yang kontingen dengan dimensi yurisdiksi internal
kedaulatan, yaitu monopoli penggunaan kekerasan oleh raja.

168
Traktat Münster, CXXXI.
169
Hirst, War, hal. 73.
170
Dinasti Lübeck adalah salah satu dinasti bangsawan yang sangat berpengaruh di Kekaisaran
Agung Romawi.

Universitas Indonesia
184

“Finally, that the Troops and Armys of all those who are making War in the Empire,
shall be disbanded and discharg'd; only each Party shall send to and keep up as many
Men in his own Dominion, as he shall judge necessary for his Security.”171

Sisi scandalous tersirat pada pasal berikut,


“The Plenipotentiarys on all sides shall agree among themselves, between the
Conclusion and the Ratification of the Peace, upon the Ways, Time, and Securitys
which are to be taken for the Restitution of Places, and for the Disbanding of Troops;
of that both Partys may be assur'd, that all things agreed to shall be sincerely
accomplish'd.”172

Adalah tidak mungkin suatu kesepakatan atas suatu pihak ditentukan dengan tidak
melibatkan pihak tersebut, kecuali memang terdapat niat persekongkolan di
dalamnya. Persekongkolan tersebut bahkan mengandung unsur kekerasan, karena
bagi tentara bayaran yang menolak dibubarkan, ancaman senjata boleh dilakukan,
“That none, either Officer or Soldier in Garisons, or any other whatsoever, shall
oppose the Execution of the Directors and Governors of the Militia of the Circles or
Commissarys, but they shall rather promote the Execution; and the said Executors
shall be permitted to use Force against such as shall endeavour to obstruct the
173
Execution in what manner soever.”

Penyingkiran ini juga aneh, karena sama seperti Liga Hanseatic, tentara
bayaran, baik perorangan (ksatria) maupun “perusahaan,” memiliki peran yang
signifikan dalam perang-perang di Eropa. Semisal, pada Perang Tiga Puluh Tahun
saja tentara bayaran sangat laris disewa, misalnya oleh Irlandia, Duke dari Savoy, dan
bahkan Kaisar Ferdinand sendiri menyuruh Wallenstein, seorang pemimpin suatu
perusahaan tentara bayaran, membawa 3000 pasukan menyerbu Italia pada 1630.
Begitu halnya dengan Ksatria, di Bohemia saja, jumlah Ksatria tiga kali lebih banyak
dari jumlah tuan-tuan tanah. Dengan demikian, adalah tidak adil bagi para tentara
bayaran apabila mereka tidak disertakan dalam perjanjian yang menyangkut nasib
mereka. Karena dengan berhentinya perang, apalagi munculnya monopoli kekerasan
oleh negara, eksistensi perusahaan tentara bayaran menjadi tak menentu. Di Bohemia
contohnya, Mansfeld, seorang pemimpin perusahaan tentara bayaran lainnya, ditolak
keberadaanya bahkan sedari perbatasan.

171
Traktat Münster, pasal CXVIII.
172
Traktat Münster, pasal CV.
173
Traktat Münster, pasal CIX.

Universitas Indonesia
185

Poin ketiga, terkait kekuasaan Habsburg, atau bahkan sebenarnya lebih


kepada Kekaisaran Romawi Agung, Perjanjian Westphalia terang-terangan berusaha
mengebiri kekuasaan Kekaisaran. Beberapa preseden yang mampu penulis himpun,
1. Perancis dan Swedia berkeras untuk memasukkan pangeran-pangeran dari
Kekaisaran Romawi Agung sebagai pihak (party) penandatangan—dalam
perjanjian ini disebut Duta Besar Berkuasa Penuh (Plenipotentiary
Ambassadors). Padahal, sebagaimana di bahas sebelumnya, perang Tiga Puluh
Tahun merupakan perang antara Perancis-Kekaisaran dan Swedia-Kekaisaran.
Jadi, kedua perjanjian Westphalia, secara hakiki seharusnya merupakan
perjanjian bilateral. Dengan memasukkan pangeran-pangeran Romawi sebagai
pihak perjanjian, sama saja tidak mengakui integritas Kekaisaran Romawi
Agung. Hal ini terlihat pada status pangeran-pangeran dari Kekaisaran Romawi
Agung pada kedua perjanjian.
“[T]he Electors, Princes and States of the Sacred Roman Empire being present,
approving and consenting;”174

“... in the presence and with the consent of the Electors of the Sacred Roman Empire,
the other Princes and States ... the following Articles have been agreed on and
consented to, and the same run thus.”175

2. Memasukkan poin-poin hasil Perjanjian ke dalam hukum dalam Kekaisaran,


dengan demikian melangkahi Kekaisaran:
“For the greater Firmness of all and every one of these Articles, this present
Transaction shall serve for a perpetual Law and establish’d Sanction of the
Empire, to be inserted like other fundamental Laws and Constitutions of the
Empire in the Acts of the next Diet of the Empire, and the Imperial
Capitulation; binding no less the absent than the present, the Ecclesiasticks than
Seculars, whether they be States of the Empire or not: insomuch as that it shall be a
prescrib’d Rule, perpetually to be follow'd, as well by the Imperial Counsellors and
Officers, as those of other Lords, and all Judges and Officers of Courts of Justice.”176

174
Traktat Osnabrück, Preambul.
175
Traktat Münster, Preambul.
176
Traktat Münster, CXX.

Universitas Indonesia
186

3. Perjanjian ini juga mengatur sengketa wilayah dalam “domestik” Kekaisaran


Agung Romawi, yang disebut Palatinate, seakan-akan sengketa ini tidak bisa
ditangani oleh Kaisar.
“The Congress of Munster and Osnabrug having brought the Palatinate Cause to that
pass, that the Dispute which has lasted for so long time, has been at length
terminated; the Terms are these. [berlanjut ke pasal-pasal berikutnya]”177

4. Setiap state sekarang memiliki hak untuk membuat perjanjian, tanpa perlu
persetujuan Kaisar Romawi-nya.
“... Above all, it shall be free perpetually to each of the States of the Empire, to
make Alliances with Strangers for their Preservation and Safety; provided,
nevertheless, such Alliances be not against the Emperor, and the Empire, nor against
the Publick Peace, and this Treaty, and without prejudice to the Oath by which every
one is bound to the Emperor and the Empire.”178

5. Terjadi diskriminasi dalam pembersihan nama baik orang-orang yang memihak


Perancis dan sekutunya. Namun hal ini tidak berlaku bagi mereka-mereka yang
memihak Kekaisaran Agung Romawi, lebih spesifiknya Dinasti Austria. Jadi
dalam perjanjian ini seolah-olah kesalahan dan predikat penjahat perang
ditimpakan semata-mata pada Kekaisaran, sementara Perancis dan sekutunya
menikmati “pengampunan dosa” perang.
“... That all and each of the Officers, as well Military Men as Counsellors and
Gownmen, and Ecclesiasticks of what degree they may be, who have serv'd the
one or other Party among the [French] Allies, or among their Adherents, ...
without any distinction or exception, ... shall be restor'd by all Partys in the
State of Life, Honour, Renown, Liberty of Conscience, Rights and Privileges,
which they enjoy'd before the abovesaid Disorders; that no prejudice shall be done to
their Effects and Persons, that no Action or accusation shall be enter'd against them;
and that further, no Punishment be inflicted on them, or they to bear any damage
under what pretence soever: And all this shall have its full effect in respect to those
who are not Subjects or Vassals of his Imperial Majesty, or of the House of
Austria.”179

Namun sekali lagi penulis tekankan, bahwa yang dipersalahkan pada perjanjian
ini adalah Kekaisaran dan bukan negara-negara yang termasuk dalam

177
Traktat Münster, XI.
178
Traktat Münster, LXV.
179
Traktat Münster, XLIII.

Universitas Indonesia
187

Kekaisaran. Hal ini terlihat dari lanjutan pasal XLIII di atas yang mengatur
pembersihan nama baik mereka-mereka yang membantu Kekaisaran, yaitu
dikembalikan berdasar hukum negara/kerajaan dimana mereka berasal dan bukan
hukum Kekaisaran. Pengandaian dalam pasal ini jelas scandalous, hukum
Kekaisaran di langkahi, dan di-fait accompli bahwa hukum negara di dalam
Kekaisaran adalah independen dari hukum Kaisar. Dan perjanjian memilih
hukum negara.
“But for those who are Subjects and Hereditary Vassals of the Emperor, and of
the House of Austria, they shall really have the benefit of the Amnesty, as for
their Persons, Life, Reputation, Honours: and they may return with Safety to their
former Country; but they shall be oblig'd to conform, and submit themselves to
the Laws of the Realms, or particular Provinces they shall belong to.”180

6. Perjanjian Westphalia ini juga “ditunggangi” oleh kepentingan raja dan


pangeran dari kerajaan-kerajaan dalam Kekaisaran untuk mengurangi, jika bukan
menyudahi, kekuasaaan Kaisar atas mereka. Dalam pasal XLIX traktat Münster,
jelas disebutkan bahwa dalam poin-poin perjanjian dimasukkan juga hasil
kesepakatan tawar-menawar antara kerajaan-kerajaan dalan Kekaisaran dengan
Kekaisaran itu sendiri.
“And since for the greater Tranquillity of the Empire, in its general Assemblys of
Peace, a certain Agreement has been made between the Emperor, Princes and
States of the Empire, which has been inserted in the Instrument and Treaty of
Peace, concluded with the Plenipotentiarys of the Queen and Crown of Swedeland,
touching the Differences about Ecclesiastical Lands, and the Liberty of the Exercise
of Religion; it has been found expedient to confirm,and ratify it by this present
Treaty, in the same manner as the abovesaid Agreement has been made with the said
Crown of Swedeland; also with those call'd the Reformed, in the same manner, as if
the words of the abovesaid Instrument were reported here verbatim.”181

7. Perjanjian ini pun melemahkan Free Assembly (semacam dewan konstitusi, DPR
di Indonesia) yang telah ada di Kekaisaran dengan mengatakan bahwa raja-raja
Jerman berhak untuk mengatur kehidupan domestiknya: hukumnya, perpajakan
dan kebijakan militer; dan hubungan dengan raja-raja lain (sederhananya,

180
Traktat Münster, XLIV.
181
Traktat Münster, XLIX.

Universitas Indonesia
188

hubungan internasional): mendeklarasikan perang dan membuat perjanjian


(treaty).
“They shall enjoy without contradiction, the Right of Suffrage in all Deliberations
touching the Affairs of the Empire; but above all, when the Business in hand shall be
the making or interpreting of Laws, the declaring of Wars, imposing of Taxes,
levying or quartering of Soldiers, erecting new Fortifications in the Territorys of the
States, or reinforcing the old Garisons; as also when a Peace of Alliance is to be
concluded, and treated about, or the like, none of these, or the like things shall be
acted for the future, without the Suffrage and Consent of the Free Assembly of all
the States of the Empire: Above all, it shall be free perpetually to each of the
States of the Empire, to make Alliances with Strangers for their Preservation
and Safety; provided, nevertheless, such Alliances be not against the Emperor, and
the Empire, nor against the Publick Peace, and this Treaty, and without prejudice to
the Oath by which every one is bound to the Emperor and the Empire.”182

8. Pasal ini adalah yang paling gamblang dalam menggambarkan pelemahan


Kekaisaran, yaitu bahwa Kaisar harus menyerahkan kedaulatannya kepada raja-
raja Jerman.
“... the Emperor and Empire resign and transfer to the most Christian King, and his
Successors, the Right of direct Lordship and Sovereignty, and all that has belong'd,
or might hitherto belong to him, or the sacred Roman Empire ...”183

Bahkan diperinci lagi, yaitu para penerima “transfer kedaulatan” di atur pada
pasal ini,
“... the Emperor, as well in his own behalf, as the behalf of the whole most
Serene House of Austria, as also of the Empire, resigns all Rights, Propertys,
Domains, Possessions and Jurisdictions, which have hitherto belong'd either to
him, or the Empire, and the Family of Austria, over the City of Brisac, the
Landgraveship of Upper and Lower Alsatia, Suntgau, and the Provincial Lordship of
ten Imperial Citys situated in Alsatia, viz. Haguenau, Calmer, Sclestadt,
Weisemburg, Landau, Oberenheim, Rosheim, Munster in the Valley of St. Gregory,
Keyerberg, Turingham, and of all the villages, or other Rights which depend on the
said Mayoralty; all and every of them are made over to the most Christian King, and
the Kingdom of France; in the same manner as the City of Brisac, with the Villages
of Hochstet, Niederrimsing, Hartem and Acharren appertaining to the Commonalty
of Brisac, with all the antient Territory and Dependence; without any prejudice,
nevertheless, to the Priviliges and Libertys granted the said Town formerly by the
House of Austria.”184

182
Traktat Münster, LX.
183
Traktat Münster, LXXIII.
184
Traktat Münster, LXXIV.

Universitas Indonesia
189

9. Mengiringi transfer kedulatan, Kekaisaran juga harus membebaskan ikatan-


ikatan dan sumpah yang telah diberikan raja-raja Jerman terhadapnya, dan
membebaskan mereka untuk mengatur wilayahnya sendiri.
“The Emperor, Empire, and Monsieur the Arch Duke of Insprug, Ferdinand Charles,
respectively discharge the Communitys, Magistrates, Officers and Subjects of each
of the said Lordships and Places, from the Bonds and Oaths which they were hitherto
bound by, and ty'd to the House of Austria; and discharge and assign them over to the
Subjection, Obedience and Fidelity they are to give to the King and Kingdom of
France; and consequently confirm the Crown of France in a full and just Power over
all the said Places, renouncing from the present, and for ever, the Rights and
Pretensions they had thereunto ...”185

“...the Emperor and Empire, by virtue of this present Treaty, abolish all and every
one of the Decrees, Constitutions, Statutes and Customs of their Predecessors,
Emperors of the sacred Roman Empire, tho they have been confirm'd by Oath, or
shall be confirm'd for the future ...”186

Jadi perjanjian ini sebenarnya bukan antara Kaisar Habsburg dengan raja-raja
Perancis dan sekutunya, lebih dari itu, perjanjian ini mempertemukan dua sistem
pengorganisasian teritori yang berbeda secara radikal: kekaisaran yang bersifat
dominatif, dengan sistem negara berdaulat yang lebih memilih hidup berdampingan,
“tahu sama tahu” (peaceful coexistence); sistem yang unitotalitarian, dengan sistem
yang mengedepankan heteronomi. 187

Terlepas dari ketiga poin di atas, Perjanjian Westphalia juga mengantisipasi


entitas-entitas lain untuk masuk ke dalam sistem negara berdaulat. Terjadi
diskriminasi dalam hal sengketa wilayah. Seperti telah diulas, satu tujuan utama
perjanjian ini salah adalah penyelesaian sengketa wilayah. Wilayah-wilayah yang
telah direbut, dikembalikan berdasarkan negosiasi seperti yang telah disepakati.
Namun demikian siapa-siapa pemiliki “sah” dari suatu wilayah/estate, adalah
ditentukan oleh perjanjian tersebut. Jadi apabila mereka merasa memiliki estate itu

185
Traktat Münster, LXXX.
186
Traktat Münster, LXXXI.
187
Heteronomi, yaitu hetero-otonomi, atau sistem yang mengakui banyak entitas otonom.

Universitas Indonesia
190

namun tidak tercantum sebagai pihak perjanjian, maka mereka “are not to be taken as
if they were excluded or forgot.” Hal ini terlihat jelas dalam kedua pasal ini:
“If the Possessors of Estates, which are to be restor'd, think they have lawful
Exceptions, yet it shall not hinder the Restitution; which done, their Reasons and
Exceptions may be examin'd before competent Judges, who are to determine the
same.”188

“And tho by the precedent general Rule it may be easily judg'd who those are, and
how far the Restitution extends; nevertheless, it has been thought fit to make a
particular mention of the following Cases of Importance, but yet so that those
which are not in express Terms nam'd, are not to be taken as if they were
excluded or forgot.”189

Jadi, jika motivasi perjanjian tersebut adalah perdamaian Eropa sebagaimana


di pembukaan traktat, maka seharusnya semua entitas dilibatkan.
“That there shall be a Christian and Universal Peace, and a perpetual, true, and
sincere Amity, between his Sacred Imperial Majesty, and his most Christian Majesty
... That this Peace and Amity be observ'd and cultivated with such a Sincerity and
Zeal, that each Party shall endeavour to procure the Benefit, Honour and Advantage
of the other; that thus on all sides they may see this Peace and Friendship in the
Roman Empire, and the Kingdom of France flourish, by entertaining a good and
faithful Neighbourhood.”190

Tapi ternyata tidak. Berarti sah apabila penulis memberikan tuduhan bahwa
perjanjian ini sebenarnya hanyalah buah persekongkolan para raja untuk
mengakomodasi hasratnya akan ke-diri-an yang utuh, sebagaimana yang mereka kira
didapatkan dari kedaulatan. Dan berikutnya, sah juga apabila Perjanjian Westphalia
1648 ini tidak dipahami bukan semata-mata sebagai Perjanjian, melainkan sebuah
Skandal—“Skandal Westphalia 1648”.

Berbicara tentang skandal tentu berbicara kepentingan kelompok. Kelompok


tersebut akhirnya berkomplot untuk menyerang kelompok lain, dalam hal ini
misalnya raja-raja berkomplot untuk menyingkirkan entitas-entitas selain raja, dan
melemahkan Kekaisaran. Berbicara kepentingan kelompok berarti berbicara tentang

188
Traktat Münster, VII.
189
Traktat Münster, VIII.
190
Traktat Münster, I.

Universitas Indonesia
191

partikularitas. Partikularitas tentu lawan dari universalitas, tidak diragukan lagi.


Namun demikian, berlawanan bukan berarti tidak dapat dipertemukan. Nampak jelas
dalam Skandal Westphalia ini: kepentingan sekelompok raja-raja menunggangi
gagasan-gagasan universalitas—perdamaian, kesejahteraan masyarakat, persahabatan
(amity) raja-raja, dan terlebih lagi ‘kedaulatan’ itu sendiri—yang mewujud dalam
perjanjian Westphalia ini. Sampai di sini terlihat jelas sebuah paradoks universalitas:
setiap unversalitas akan selalu didorong oleh daya-daya yang partikular.

Adalah Carl Schmitt yang menurut penulis memberikan petunjuk bagi


pembacaan demikian. Dalam buku-bukunya, terutama Political Theology, mengikuti
Jean Bodin, ia menunjukkan bahwa siapapun yang membuat hukum, ia haruslah
berada diluar jangkauan hukum tersebut. Sehingga jelas, segala tindakan menciptakan
suatu tatanan (nomos) legal, sebenarnya merupakan suatu tindakan ilegal tersendiri.
Jadi, seuniversal, semulia, dan semuluk apapun isi Skandal Westphalia, tetap saja ia
adalah tindakan ilegal. Dikatakan ilegal, karena tidak ada hukum universal yang telah
ada sebelumnya yang memberi landasan pembenar bagi daya-daya partikular raja-raja
tersebut. Hal penting lain yang dikemukakan Schmitt adalah tentang pengecualian
(exception). Baginya, sang berdaulat adalah ia yang menentukan pengecualian. Raja-
raja tadi, dengan demikian menjadi berdaulat saat universalitas yang mereka
ciptakan—sistem negara berdaulat yang berbasiskan pengakuan bersama—akhirnya
mengecualikan entitas-entitas lain dari cakupan universalitas tadi. Tidak hanya
dikecualikan, ia dieksklusikan, dan “dibiarkan mati”. Mirip seperti adagium Foucault,
kekuasaan sang berdaulat adalah kekuasaan untuk “make live and let die.”191

Sampai di sini sekiranya jelas bagaimana Perjanjian Westphalia ini


merupakan upaya antisipatif raja-raja untuk mencegah kehancuran eksistensialnya di
dalam situasi politik Eropa yang tidak menentu. Di dalam ketidak-menentuan, raja
gelisah terhadap kesinambungan eksistensinya. Hal ini yang berikutnya mengaktifkan
mikrofasisme dalam diri raja, yang mendorong sang raja untuk menciptakan dan

191
Foucault, Society Must Be Defended, hal. 241.

Universitas Indonesia
192

memperjuangkan fantasi ke-diri-an ideal tersebut. Dalam konteks inilah tesis negara
berdaulat sebagai alat untuk mengimpun sumber daya ekonomi untuk menciptakan
daya koersi sebagaimana Charles Tilly, Paul Hirst dan Hendrik Spruyt tekankan. Hal
ini cukup menjelaskan mengapa perang terus berkecamuk di antara, yaitu karena raja
berusaha menjaga dan membentengi eksistensi dirinya di tengah ketidak-pastian,
sementara yang lain mengarahkannya untuk memperoleh perasaan ke-diri-an yang
lebih utuh dengan politik ekspansionis. Perang, dengan demikian tidak akan pernah
berhenti sampai sang raja memperoleh keamanan dan kenyamanan ontologis
eksistensialnya. Siapa yang gagal menghimpun kekuatan dalam teritorinya untuk
menciptakan mesin perang yang efektif, maka ia akan punah dalam perjuangan
tersebut.

Puncaknya adalah Perang Tiga Puluh Tahun, yang bisa dibilang sebagai
perang yang melibatkan hampir seluruh entitas politik di Eropa saat itu. Keterbatasan
sumber daya masing-masing kubu untuk melanjutkan perang, membuat gencatan
senjata menjadi opsi yang diinginkan oleh kedua belah pihak. Sebagaimana telah
dibahas, masing-masing kerajaan maupun Kekaisaran saat itu telah dihabiskan
energinya oleh perang sipil relijius di dalam negeri, sehingga kedua belah pihak
mengalami keterbatasan untuk terus menggelar peperangan. Kondisi ini menjadikan
perjanjian damai sebagai suatu pilihan bersama yang rasional sebagaimana model
teori permainan Prisoner’s Dilemma:192 apabila perang terus dilanjutkan maka tidak
ada jaminan jelas bahwa salah satu pihak bisa keluar sebagai pemenang, yang pasti
adalah bahwa kedua belah pihak akan mengalami kerugian yang jauh lebih parah lagi.
Namun apabila ia dihentikan, kedua belah pihak dapat duduk berunding bersama
untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan berdamai dan dengan demikian
mencegah kerusakan eksistensial yang lebih parah lagi.

Hasrat akan kesinambungan eksistensi, dengan demikian, menjadi dorongan


tak sadar utama yang memotori Perjanjian Westphalia. Hasrat ini, selanjutnya

192
Lihat Lampiran 1.

Universitas Indonesia
193

diarahkan pada upaya untuk memanifestasikan gagasan kedaulatan negara yang dikira
raja dapat menenangkan kegelisahan eksistensial para raja dengan membubuhinya
dengan atribut kedaulatan—yurisdiksi penuh dan pengakuan bersama. Yurisdiksi
penuh akan teritori ini memiliki arti eksistensial bagi raja. Raja akan benar-benar
menjadi otoritas publik tertinggi dalam piramida kekuasaan dalam kerajaannya. Raja
akan memiliki landasan legal untuk mengatur kehidupan domestik di dalam
teritorinya: mulai memungut pajak, mengatur tata-ruang kerajaannya, sampai
monopoli kekerasan. Intinya, kendali otonom penuh berada di tangan raja, tanpa perlu
takut mendapat campur tangan raja lainnya. Begitu juga halnya dengan pengakuan
bersama. Untuk mengamankan penguasaan di dalam teritori, maka pengakuan
bersama harus dicapai terlebih dahulu. Saat penguasaan total tidaklah mungkin, maka
distribusi teritori penguasaan menjadi jalan tengahnya. Dengan saling mengakui
otonomi satu sama lain, maka setiap raja akan membiarkan raja lainnya untuk
bertindak apapun dalam teritorinya atas nama pengakuan kedaulatan. Akhirnya,
keamanan ontologis masing-masing raja teramankan (secured), dan tentunya hal
inilah yang diinginkan raja sebagai penawar kegelisahan eksistensialnya: perasaan ke-
diri-an yang utuh.

Menarik untuk diperhatikan di sini adalah bagaimana kegelisahan ini pada


gilirannya bertransformasi menjadi suatu kerjasaman, atau lebih tepatnya dalam kasus
studi ini, skandal (Westphalia). Kegelisahan akan fantasi ke-diri-an ideal, dalam teori
Lacanian, memiliki sifat agresif. Mikrofasisme, atau neurosis agresif, yang melekat
dalam tubuh raja akan selalu mati-matian dalam mengupayakan terwujudnya fantasi
ideal tersebut. Namun demikian, agresi ini dapat diredam oleh suatu universalitas
Simbolik. Apabila masing-masing subyek mengarahkan perjuangan hasratnya ke arah
universalitas Simbolik ini, maka yang Simbolik ini akan menjadi penjamin tatanan
dimana keamanan ontologis eksistensial subyek diakomodasi di dalamnya. Yang
Simbolik akan menjamin koeksistensi damai di antara para subyek fasis tersebut.
Hanya sekali lagi, sang subyek harus mengarahkan dan “menginvestasikan”
hasratnya kepada yang Simbolik tersebut, dan akhirnya membiarkan yang Simbolik

Universitas Indonesia
194

ini menguasai subyek dengan universalitasnya—memberinya predikat, menjalankan


ritual tertentu, dan mensyaratkan represi hasrat tertentu (abyeksi). Tidak hanya itu,
sang subyek harus bekerja sama dan berupaya untuk menjaga sang simbolik universal
tersebut tetaplah (tampak) universal.

Dalam hal ini, kokohnya Simbolik tak lain adalah efek dari persekongkolan
para subyek yang berkepentingan di dalamnya untuk menjunjung tinggi yang
Simbolik tersebut, dan mengabaikan kontradiksi-kontradiksinya. Sebaliknya, dengan
dijunjungnya yang Simbolik ini, maka ia akan menjalankan fungsinya sebagai
jangkar tatanan agar kegelisahan-kegelisahan eksistensial para raja tidak lagi muncul.
Singkatnya, koeksistensi damai bukanlah sesuatu yang natural, ia adalah efek
persekongkolan di balik universalitas simbolik. Seperti kata seorang Lacanian
Perancis, “Symbolic power, on the other hand, is based on the recognition of
difference, and makes possible the institution of a certain order: the imaginary
destruction of the other can be replaced by a coexistence by pact.”193 Hal sama juga
berlaku bagi kedaulatan sebagai suatu gagasan universal. Dengan saling mengakui
kedaulatan di antara raja-raja, maka koeksistensi damai dapat terwujud. Tatanan, atau
meminjam Kenneth Waltz, sistem internasional baru yang terbentuk melalui Skandal
Westphalia ini diharapkan raja-raja untuk mampu meredam agresivitas raja-raja
lainnya, yang notabene pada gilirannya membuat mereka menjadi agresif pula, dalam
mengejar perasaan ke-diri-annya yang ideal—kedaulatan. Martin Wight dari Mazhab
Inggris HI nampaknya juga menyadarinya, “it would be impossible to have a society
of sovereign states unless each state, while claiming sovereignty for itself, recognized
that every other state had the right to claim and enjoy its own sovereignty as well.”194

Persekongkolan dalam menjaga kokohnya universalitas ini juga mensyaratkan


eksklusi entitas-entitas yang menjadi anti-tesis atau skisma bagi langgengnya tatanan
yang dihasilkan universalitas tersebut. Entitas-entitas ini, yang disebut Julia Kristeva
193
Philippe Julien, Jacques Lacan’s Return to Freud: the Real, the Symbolic and the Imaginary
(New York: New York University Press, 1994), hal. 55.
194
Martin Wight, Systems of States (Leicester UK: Leicester University Press, 1977), hal. 135.

Universitas Indonesia
195

sebagai abyek, merepresentasikan gagasan-gagasan ke-diri-an yang bertentangan dan


tidak kompatibel dengan sebagaimana yang diharapkan tatanan universalitas tersebut.
Dalam Kedaulatan Westphalia misalnya. Entitas-entitas seperti Kekaisaran, Gereja,
tentara bayaran, dan liga-kota tidak dapat berpartisipasi dalam sistem negara
berdaulat a la Skandal Westphalia. Malahan, entitas-entitas ini harus dieksklusikan
karena keberadaannya justru akan menjadi pertanda ketidak-absolutan universalitas
sistem negara berdaulat. Namun demikian, eksklusi yang dimaksud bukan eksklusi
sebagaimana yang dimaksud Spruyt dan Hirst yang mana eksklusi tersebut berarti
bahwa raja-raja diminta keluar dari suatu wilayah seorang raja dalam rangka
menghormati kedaulatan raja tersebut atas wilayahnya itu. Eksklusi ini dilakukan juga
bukan hanya terhadap entitas “non-teritorial” sebagaimana dikira Paul Hirst.195
Eksklusi yang dimaksud adalah abyeksi. Abyeksi merupakan eksklusi yang lebih
bersifat diskursif dan epistemik. Dalam kasus Skandal Westphalia, mekanisme
abyeksi akan mengeksklusikan semua entitas selain raja dari sistem politik Eropa
secara gradual. Abyeksi berlangsung dalam suatu seting persekongkolan antara
subyek dengan universalitas Simbolik, yaitu untuk mengeksklusikan seluruh entitas
lain yang mewakili gagasan-gagasan yang bertentangan dengan universalitas
Simbolik. Jadi dalam universalitas bernama ‘kedaulatan Westphalia’, seluruh entitas
yang tidak bercirikan sebagaimana dimaksudkan oleh Skandal Westphalia—
beryurisdikis penuh dan diakui kedaulatannya oleh subyek lain, maka mereka “are
not to be taken as if they were excluded or forgot.”196 Bahkan jika entitas-entitas non-
subyek ini bersikeras menolak dieksklusi, maka sang subyek—raja—“shall be
permitted to use Force against such as shall endeavour to obstruct the Execution in
what manner soever.”197

Seri persekongkolan ini akhirnya tidak akan komplit tanpa gagasan universal
mulia lainnya untuk menyegel kotak pandora berisi kenyataan skandal raja-raja ini.
Gagasan mulia tersebut adalah,
195
Paul Hirst, War, hal. 73.
196
Traktat Münster, pasal VIII.
197
Traktat Münster, pasal CIX.

Universitas Indonesia
196

“That there shall be a Christian and Universal Peace, and a perpetual, true, and
sincere Amity,”198

“[T]hat a reciprocal Amity between the Emperor, and the Most Christian King, the
Electors, Princes and States of the Empire, may be maintain'd so much the more firm
and sincere ...”199

“... for the benefit of the publick Tranquillity, consent, that by virtue of this present
Agreement ...”200

Para abyek pun harus diatur sedemikian rupa untuk mencegah kemunculannya di
masa yang akan datang. Saat kedaulatan di jangkarkan pada gagasan universalitas
tadi, maka kriteria-kriteria yang berlawanan dari kriteria kedaulatan juga harus
dijangkarkan pula pada universalitas tersebut, hanya diposisikan sebagai yang
inferior, yang anti-tatanan, atau seperti kata Kristeva, yang monstrous. Kriteria abyek
ini familiar disebut sebagai, “ancaman kedaulatan,” “ancaman perdamaian,” atau
yang lebih kontemporer, “poros setan” (axis of evil). Sampai di sini sekiranya jelas
bahwa dibalik universalitas-universalitas yang menjadi “jualan” kedaulatan,
tersimpan hasrat-hasrat pribadi para raja untuk mengamankan kedaulatannya.
Universalitas ini pun bisa jadi mewujud dalam segala macam rasionalisasi, justifikasi,
bahkan dogma agama, akan tetapi di baliknya bersembunyi kegilaan irasional yang
tak mampu ditangkap oleh segala bentuk universalitas, yaitu fasisme. Dan fungsi dari
segala macam rasionalisasi dan justifikasi ini tak lain adalah efek normalisasi:
kedaulatan akan menjadi suatu wacana yang normal, dan bahkan diinginkan untuk
terus ada. Dari pemaparan ini, dapat dilihat bahwa Skandal Westphalia 1648, tak lain
adalah simptom Lacanian.

198
Traktat Münster, pasal I.
199
Traktat Münster, pasal III.
200
Traktat Münster, pasal XIV.

Universitas Indonesia
197

III.5.3. Negara Berdaulat Modern: Obyek Sublim Kedaulatan


Sekedar merangkum pembahasan. Jadi, apabila menempatkan Skandal
Westphalia dalam skema simptom Lacanian, maka elemennya dapat diurai sebagai
berikut:

Bentuk Manifest Skandal Westphalia 1648 dan negara berdaulat modern—


bercirikan yurisdiksi penuh & pengakuan kedaulatan
bersama.

Isi Laten - Perdamaian Kristen Universal


- Penyelesaian sengketa teritorial
- Menghidupkan kembali perekonomian
- Kedamaian publik (public tranquility)
- Persahabatan (amity) raja-raja
Ketidak-sadaran - Kegelisahan raja (ketidak-jelasan teritori, krisis otoritas
(mekanisme sublimasi dalam negeri karena perang sipil, ekspansionisme
dari isi laten ke bentuk Kekaisaran, campur tangan Gereja dalam kekuasaannya)
manifest) - Hasrat narsis akan kenyamanan ontologis eksistensial
- Hasrat fasis raja-raja akan gagasan kedaulatan negara

Tabel III.3. Elemen-Elemen Simptom Skandal Westphalia 1648

Sementara apabila memahami simptom tersebut sebagai wacana Lacanian, maka


strukturnya adalah sebagai berikut:

Komponen Struktur Wacana Komponen Struktur Wacana


Lacanian Skandal Westphalia

Gagasan universal (S2) Perdamaian dalam sistem negara-berdaulat

Subyek universal / penanda Negara berdaulat ditandai dengan yurisdiksi


utama eksistensi (S1) penuh dan pengakuan kedaulatan dari raja lain

Seluruh entitas non-yurisdiksi dan yang tidak


Abyek / non-subyek (S0) diakui: Kekaisaran, Gereja, Liga Hanseatic,
tentara bayaran, Ksatria.

Universitas Indonesia
198

Raja, yang mengalami kegelisahan karena


ketidak-jelasan teritori, krisis otoritas dalam
Subyek gegar / kegelisahan negeri karena perang sipil, ekspansionisme
eksistensial ($) Kekaisaran, campur tangan Gereja dalam
kekuasaannya.

Ke-diri-an ideal yang memberikannya keamanan


Fantasi (a) ontologis eksistensial

Tabel III.4. Struktur Simptom Skandal Westphalia 1648

Berangkat dari diskusi-diskusi penulis tentang natur kedaulatan yang simptomatik,


argumentasi yang penulis jabarkan di sini pada gilirannya akan berimplikasi pada
pemahaman, jika bukan teori, tentang keberadaan negara-berdaulat beserta
kedaulatannya. Beberapa implikasi tersebut adalah sbb.:

Lahirnya Obyek Sublim Kedaulatan bernama Negara.


Dalam tesis Ernst Kantorowicz sebagaimana penulis diskusikan di bagian
awal bab ini, ritual pemahkotaan (coronation) raja menandakan gestur yang
disebutnya sebagai ‘transsubstansiasi’ (transsubstantiation), yaitu proses
penggandaan tubuh monarki. 201 Tubuh biologisnya, yaitu corpus naturale (atau
corpus personale, Paus Innocent III; atau corpus naturale, William of Auxerre) akan
menjadi penopang tubuh supra-individu, yaitu corpus mysticum, yang lahir dalam
proses transubstansiasi tersebut. Itulah sebabnya menurut Kantorowicz, dalam teologi
politik abad Pertengahan, raja memiliki dua tubuh: tubuh biologis dan tubuh mistik;
corpus naturale dan corpus respublica mysticum. Simbol-simbol seperti mahkota,
cincin, tongkat dan tahta kerajaan berikutnya menjadi “mahar” (dowry) perkawinan
kedua tubuh dan tanda bagi transsubstansiasi tersebut. Di sini Kantorowicz
menekankan argumentasinya yaitu bahwa proses transubstansiasi ini sebenarnya
semata-mata berfungsi untuk mengamankan kontinuitas (bahkan keabadian) status
quo monarki atas kerajaan dan rakyatnya. Raja boleh saja bisa mati, tetapi posisi Raja
sebagai penguasa kerajaan tidak akan pernah mati. Akhirnya, penggandaan tubuh

201
Kantorwicz, The King’s Two Bodies, hal. 125.

Universitas Indonesia
199

monarki ditujukan demi menjamin kontinuitas kekuasaan atas tubuh politik mistik
(kerajaan) melalui suksesi tubuh-tubuh natural di tahta kerajaan.

Memahami proses transubstansiasi ini melalui pembacaan simptom Lacanian,


maka tesis Kantorowicz ini dapat berimplikasi lebih jauh. Saat transsubstansiasi
terjadi melalui ritus pemahkotaan, maka ia tidak hanya menjadikan kerajaan (realm)
sebagai tubuh politik mistik raja, melainkan tubuh natural sang raja juga akan
ditranssubstansiasi sedemikian rupa menjadi tubuh yang transenden pula, yaitu tubuh
mistik raja. The King’s Two Bodies, dengan demikian sebaiknya ditafsirkan secara
literer: raja memiliki dua macam tubuh, tubuh natural dan tubuh sublim. Tubuh
natural adalah tubuh biologis sang raja yang bisa lapar, tertusuk tombak, tertebas
pedang, dan bisa mati. Tubuh sublim, sebaliknya, merupakan tubuh yang tidak bisa
mati, yang kebal dari segala anak panah, dan tentunya imortal. Saat raja bersatu
dengan tubuh sublim ini, ia akan benar-benar menjadi manusia transenden atau
“tuhan di bumi” yang perkataannya menjadi hukum, yang keinginannya menjadi
perintah, dan yang keberadaannya disembah oleh rakyatnya, “umatnya.” 202 Namun
demikian, sebagaimana pembacaan kritis Slavoj Žižek, alih-alih membawa gagasan
kesatuan, transusbtansiasi ini justru memperkenalkan gagasan keretakan radikal di
antara keduanya—tubuh natural raja dengan tubuh sublimnya.203 Di antara keduanya
tidak terdapat kemelekatan sama sekali. Tubuh sublim bisa diisi tubuh siapa saja.204
Fungsi tubuh sublim ini, lebih dari pada suksesi dinasti sang raja sebagaimana
Kantorowicz, merupakan suksesi demi replikasi tubuh sublim itu sendiri.

202
Bdk. Claude Lefort, Democracy and Political Theory, terj. D. Macey (Cambridge: Polity Press,
1988), hal. 250-1.
203
Žižek, The Sublime Object of Ideology, hal. 163-5.
204
Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tesis Kantorowicz tidak bisa bertahan sampai
masanya, ia gugur saat baru menjelaskan dipenggalnya raja Louis XIV dan lahirnya sistem demokrasi.
Demokrasi, kali ini Žižek sepakat dengan Lefort, adalah ruang kosong sepeninggalan tubuh natural
raja, dan memang pada hakikatnya ia adalah kosong dan hanya dapat diisi secara parsial dan temporal.
Setiap gestur untuk mengisi ruang tersebut secara permanen, merupakan gestur untuk kembali ke
ancien régime.

Universitas Indonesia
200

Dari pandangan ini maka dapat dipahami bahwa seorang, misalnya, Raja
Inggris Charles I, bukanlah raja karena ia memang adalah raja, melainkan Charles
dijadikan raja oleh proses transubstansiasi dalam ritual pemahkotaan, dan dianggap
raja oleh masyarakatnya. Jadi antara ke-raja-an Charles dengan Charles sendiri
sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali. 205 Tubuh Charles hanya merupakan
kendaraan (vehicle) bagi manifestasi dan replikasi tubuh sublim Raja. Artinya dengan
menjadi raja, Charles menempati posisi simbolik raja. Tapi okupasi tersebut bukan
sesuatu yang abadi, saat Charles digantung pada 1649, Charles harus rela melepaskan
tubuh tersebut. Sementara tubuh sublim Raja tetap ada dan tidak ikut mati di tiang
gantungan bersama Charles; tubuh sublim tersebut menjadi kosong. Karena memang,
kekosongan (void) adalah karakteristik ontologis tubuh sublim ini. Secara filosofis,
dengan demikian, tubuh sublim raja menyimpan suatu teologi politik berupa
metafisika kehampaan (lacuna). Jadi, teologi politik transubstansiasi tubuh inilah
yang secara dogmatis diwariskan turun temurun, tidak hanya di kalangan raja,
melainkan juga di kalangan masyarakat. Dogmatika ini akhirnya berbuah normalitas,
yang karenanya menjadi sulit untuk membayangkan dunia tanpa raja.

Dalam pembahasan penulis tentang kristalisasi gagasan kedaulatan negara


Bodinian dalam Perjanjian Damai Westphalia 1648—yang ternyata merupakan
skandal, penulis melihat gestur yang sama seperti yang terjadi dalam ritual
pemahkotaan raja: yaitu gestur transubstansiasi. Saat raja memanifestasikan fantasi
kedaulatan dalam Skandal Westphalia, yaitu membuat fantasi itu menjadi kenyataan
dalam bentuk negara berdaulat modern, maka sebenarnya ia tidak hanya berdampak
pada akuisisi keamanan ontologis eksistensial sang raja, lebih dari itu, ia
mentransubstansiasi kedaulatan tersebut ke dalam negara berdaulat modern tersebut.
Sehingga dengan demikian, negara berdaulat modern bertransformasi menjadi obyek
sublim kedaulatan. Melalui Skandal Westphalia, kedaulatan tersublimasi ke dalam
negara-berdaulat modern, ia terkristalisasi dalam kedua karakteristik negara berdaulat
205
Sekalipun memang keluarga kerajaan memiliki peluang lebih besar untuk terus mengisi tubuh
tersebut. Tapi tetap saja tidak membuat Charles “menemukan tubuhnya yang hilang” dalam tubuh
Raja-nya.

Universitas Indonesia
201

modern—yurisdiksi penuh dan pengakuan bersama. Melalui skandal ini, bukannya


raja yang dilestarikan keamanan eksistensialnya—sebagaimana yang diinginkan raja,
melainkan justru negara yang dijadikan transenden saat ia dibubuhi atribut
kedaulatan, negaralah yang dilestarikan eksistensinya. Sama seperti ritus
pemahkotaan, bukan raja yang diamankan eksistensi ontologisnya, melainkan justru
posisi raja itu sendiri. Dengan demikian penulis memberanikan diri untuk menyebut
Skandal Westphalia ini sebagai transubstansiasi jilid dua yang menghasilkan negara
berdaulat modern sebagai obyek sublim kedaulatan.

Lalu pertanyaannya, mengapa bisa terjadi “kecolongan” seperti ini? Apa yang
salah dari skenario transubstansiasi ini? Jawabannya tak lain adalah dari natur hasrat
raja sebagai subyek fasis Odipus, yaitu kesalah-mengertian (misrecognition). Saat
penulis menyebutkan fantasi ke-diri-an ideal, bukan berarti fantasi tersebut ada. Sama
sekali kebalikannya. Fantasi ideal itu adalah hasil konstruksi tak sadar dari sang raja
yang termanifestasikan dalam perjuangan-perjuangannya, wacana-wacana retoriknya,
dan tentu saja, pada Skandal Westphalia. Sebagaimana Lacan, suatu obyek hasrat
memiliki setidaknya tiga elemen: obyek materiil konkritnya, lalu obyek-penyebab-
hasrat atau obyek a, dan inti dari obyek a yang telah-selalu hilang, yaitu lamella.206
Ketiga elemen ini juga terdapat pada negara-modern berdaulat sebagai suatu obyek
hasrat yang dikira raja-raja dapat menyembuhkan kegelisahan ontologis
eksistensialnya. Kedaulatan, dengan demikian adalah efek ilusi (mirage) dari
kegelisahan raja yang membawa-bawa fantasi kemustahilan berupa ke-diri-an ideal,
yang notabene akan telah-selalu hilang.

Obyek hasrat: Negara berdaulat a la Westphalia

Obyek-penyebab-hasrat/obyek a: Kedaulatan

Lamella yang telah-selalu hilang: Perasaan ke-diri-an


ideal; keamanan ontologis eksistensial

Gambar III.6. Komposisi negara berdaulat sebagai sebentuk obyek hasrat

206
Lihat pembahasan pada bab 2.

Universitas Indonesia
202

Paradoks kedaulatan
Tepat inilah yang ingin penulis tekankan melalui studi ini, yaitu pentingnya
melingustisasi negara dalam analisis-analisis negara, bukan semata-mata sebagai
penampakan fisik (state-building) sebagaimana terkristal dalam konvensi montevideo
1933 tentang definisi negara yang sangat materialistik—wilayah, pemerintah, hukum,
rakyat, pengakuan kedaulatan. Lebih dari pada itu, adalah lebih penting untuk melihat
negara sebagai sesuatu yang bahkan melampaui eksistensinya. Apabila Lacan
memahami sesuatu yang melampaui eksistensi ini sebagai “in you more than
yourself”, maka studi ini ingin memahami apa yang “ada di dalam negara berdaulat,
melebihi negara berdaulat itu sendiri” (in state more than the state itself): jawabannya
adalah fantasi ke-diri-an ideal yang utuh dan otonom.

Konsekuensi radikal dari linguistisasi ini pada akhirnya menunjukkan bahwa


pembentukan negara berdaulat pada dasarnya adalah dilandasi oleh hasrat raja
sebagai perorangan untuk mengamankan eksistensi ontologisnya. Dengan tubuh
naturalnya yang fana, ia merasa bahaya dan ancaman bisa kapan saja membunuhnya,
membinasakan eksistensinya. Sehingga ia butuh tubuh lain yang bisa mengamankan
eksistensinya. Berikutnya raja mencari prototipe ke-diri-an yang seperti itu, dan
ditemukannya dalam cerminan omnipotensi Tuhan. Doktrin dua tubuh raja
merupakan hasil dari upaya raja memanifestasikan omnipotensi tersebut ke dalam
tubuh mistik raja/tubuh sublim (?). Namun demikian, saat tubuh mistik omnipotensi
Tuhan ini terbukti tidak mampu menjawab tantangan dunia (perang dan
pemberontakan sipil), maka raja kembali gelisah. Mikrofasisme dalam raja diaktifkan
kembali, membuatnya mencari tubuh baru untuk menguasai kegelisahannya.
Prototipe ke-diri-an ideal yang baru itu akhirnya ditemukan dalam subyektivitas
manusia modern yang otonom, utuh, dan ekspresif. Dibakukan lagi dalam kedaulatan
negara yang menekankan otoritas sentral dan kekuasaan absolut. Akhirnya
kedaualatan menjadi cerminan fantasi ideal ke-diri-an yang baru untuk kemudian
diperjuangkan, seringkali secara agresif, oleh raja. Skandal Westphalia 1648

Universitas Indonesia
203

menyaksikan bagaimana raja berupaya memanifestasikan fantasi ideal kedaulatan ke


dalam suatu entitas negara berdaulat modern.

Yang ingin penulis tekankan dari rekonstruksi singkat akan psikogenealogi


‘kedaulatan’ ini adalah bahwa gagasan kedaulatan semata-mata hanya merupakan
kendaraan bagi suatu fantasi tentang ke-diri-an ideal bagi raja yang notabene
mustahil. Dengan kata lain, bagi raja, kerajaan dan berikutnya negara modern
merupakan suatu tubuh-super yang lebih berkuasa darinya, suatu tubuh makro yang
lebih besar darinya. Jadi, raja menganggap kerajaannya dan berikutnya negara
berdaulat sebagai sebuah manifestasi diri ideal, yang di dalamnya tersimpan fantasi
ke-diri-an ideal yang didambakan raja. Sehingga dari pemahaman ini, negara adalah
orang besar, “state is person,” dengan catatan “orang” dipahami sebagai suatu
gagasan. Raja Perancis Louis XIV mengatakannya dengan baik, “L’etat c’est moi”,
negara adalah aku. Kata “aku” merupakan sebentuk subyektivitas. Dan kata “aku”
yang dimaksudkan di sini, adalah “aku” yang berdaulat. Hal ini pada gilirannya
mengklarifikasi tesis makro-subyektivitas manusia-negara seperti yang penulis bahas
di awal bab ini. Makro-subyektivitas bukanlah analogi! Makro-subyektivitas
manusia-negara memiliki landasan imanen, yaitu kegelisahan eksistensial. Efek
metafisik dari tesis makro-subyektivitas ini sebenarnya adalah buah dari kelembaman
teoritik untuk memperluas “pisau” analisisnya.

Implikasinya, bukan malah mengkonfirmasi teori-teori yang telah salah


kaprah menganalogikan negara sebaga manusia. Jauh lebih dalam dari itu, implikasi
pandangan penulis ini adalah bahwa analisis negara tidak dapat dipisahkan dari
analisis manusia. Hasrat negara, pada akhirnya akan diarahkan untuk memperkuat
eksistensi ke-diri-annya yang terepresentasi dalam gagasan kedaulatan. Meminjam
Freud, seluruh aktivitas negara, dengan demikian adalah aktivitas ekonomi hasrat—
usaha-usaha memuaskan hasrat.

Universitas Indonesia
204

Hal ini akan dapat memahami pula paradoks yang akan selalu mengiringi
negara-berdaulat. Semenjak kedaulatan adalah sesuatu yang mustahil, negara-
berdaulat, karena ia merupakan manifestasi makro dari hasrat manusia akan diri ideal,
maka ia juga mengidap mikrofasisme yang mengiringi sejarah umat manusia. Saat
kegelisahan muncul, negara-berdaulat akan mati-matian mempertahankan
eksistensinya yang sama sekali simbolik. Apabila kesinambungan kedaulatan itu
didasarkan pada suatu identitas primordial, maka identitas ini akan dipertahankan
mati-matian demi menjaga keberadaan kedaulatan tersebut. Apabila kedaulatan
tersebut didasarkan pada suatu agama, maka agama tersebut akan dipertahankan mati-
matian. Upaya mempertahankan ini tidak jarang dengan kekerasan semenjak fasisme
selalu mengiringi perjuangan hasrat subyek. Fasisme akan rela memperjuangkan apa
saja yang berguna bagi kesinambungan eksistensinya, ia akan rela menyakiti siapa
saja termasuk dirinya demi menjaga kedaulatannya yang ilusif itu. Saat negara
melihat, misalnya, kedaulatan dapat didapat dari Komunisme, maka ia akan mati-
matian memperjuangkan Komunisme tersebut tegak di negaranya, ia rela menyakiti
bahkan rakyatnya sendiri yang membangkang. Fasisme akan selalu mensyaratkan
sebentuk alienasi dari diri sendiri kepada penguasaan Simbolik tertentu. Kekerasan
hati akan suatu bentuk Simbolik kedaulatan tersebut, dengan demikian merupakan
suatu kekerasan pada diri.

Aktivitas kedaulatan: komodifikasi dan abyeksi


Semenjak kedaulatan selalu membutuhkan justifikasi Simbolik universal,
maka dapat dipahami pula fitur lainnya pada kedaulatan, yaitu aktif dalam
mengkomodifikasi universalitas bagi kesinambungan eksistensinya. Seluruh aktivitas
kenegaraan, dengan demikian bukanlah suatu tindakan yang dilakukan demi warga-
negara, melainkan demi status quo sang raja dan dinastinya sebagai penguasa warga-
negara. Jargon-jargon universal dipakai hanya untuk merayu legitimasi dari
rakyatnya. Jadi, apabila janji negara di wujudkan, maka ia tak lebih dari suatu
perbuatan yang berdasar pada kalkulasi kedaulatannya. Semisal negara berusaha
mengentaskan kemiskinan, maka hal itu dilakukan bukan demi pengentasan

Universitas Indonesia
205

kemiskinan rakyatnya, melainkan demi eksistensi-nya sebagai pengentas kemiskinan,


dan demi menjaga kepercayaan dan legitimasi rakyatnya yang berguna untuk
melestarikan status quo negara sebagai penguasa. Status universalitas bagi negara
berdaulat tidak lain adalah komoditas kedaulatan, yaitu segala bentuk obyek yang
dapat dijadikan landasan pembenar bagi setiap perjuangan kedaulatan.

Semenjak aktivitas negara adalah mengkomodifikasi universalitas, maka


secara otomatis juga ia akan secara aktif memproduksi abyek-abyek yang
dianggapnya membahayakan sistem universal nilainya. Paranoia yang mengiringi
kegelisahan subyek berdaulat, diarahkannya pada aktivitas memproduksi abyek.
Aktivitas ini bisa dibilang sebagai suatu katarsis, yaitu pelepasan dan penenangan
kegelisahan. Dengan menunjuk abyek yang senantiasa mengancam sistem nilainya,
negara memiliki musuh yang kelihatan untuk dilawan. Sebaliknya, saat musuh
tersebut tidak ada, maka tidak ada yang akan menopang universalitas—dalam hal
dikorbankan demi universalitas tersebut. Proses pembentukan subyek (subyeksi)
kedaulatan melalui suatu wacana universal, sebagaimana telah penulis singgung, akan
selalu mensyaratkan proses abyeksi, yaitu penolakan radikal akan entitas-entitas yang
mewakili gagasan kontra-tatanan, non-subyek, singkatnya sesuatu yang tidak
diinginkan oleh sistem tatanan.

Kedua aktivitas inilah yang pada gilirannya akan membuat negara-berdaulat


menjadi suatu hal yang wajar dan normal. Gestur kedaulatan dalam
mengkomodifikasi nasionalisme dan kewarganegaraan misalnya merupakan upaya
negara untuk menjangkarkan kedaulatan pada landasan yang universal dan permanen.
Karena dianggap sebagai sesuatu yang normal, masyarakat pun justru disulap menjadi
garda depan penjaga kedaulatan negara. Inilah yang disebut Gramsci, seperti yang
sudah penulis bahas di awal, sebagai suatu bentuk statolatri. Imajinasi untuk
membayangkan masyarakat tanpa negara, pada akhirnya menjadi suatu hal yang
mustahil.

Universitas Indonesia
BAB IV
KEDAULATAN WESTPHALIA DI ERA GLOBAL WAR ON TERROR
GEORGE W. BUSH, JR.

“Never banish terror from the gates .. The stronger your fear … the stronger your
country’s wall and city’s safety.”
Athena1

“Our enemies ... They want the capability to blackmail us, or to harm us, or to harm
our friends—and we will oppose them with all our power.”
George W. Bush, Jr.2

Bab ini merupakan bagian dimana temuan-temuan pada bab sebelumnya


dipakai untuk memahami praktik kedaulatan di era kontemporer saat ini. Dengan kata
lain, misi utama bab ini adalah untuk memahami “nasib” kedaulatan, terlebih
kedaulatan Westphalia, di era Global War on Terror yang dicanangkan oleh Amerika
Serikat (AS) pasca serangan “teroris” ke menara kembar World Trade Center pada 11
September 2001 (9/11) dan Pentagon. Bab ini terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian
pertama, penulis ingin menunjukkan bahwa insiden 9/11 bukanlah sekedar serangan
berbasis interpretasi agama yang “keliru,” melainkan merupakan suatu kontra-tatanan
sistem negara modern berdaulat. Bagian kedua mencoba mengedepankan
kontemporalitas paradoks kedaualatan yang telah melekat semenjak kelahiran
gagasan kedaulatan pada Skandal Westphalia melalui praktik kedaulatan AS pasca-
9/11. Kali ini, paradoks tersebut merupakan efek kegelisahan dan tindakan antisipatif
AS untuk menenangkan kegelisahannya vis a vis para teroris. Bagian terakhir
merupakan diskusi tentang implikasi kedaulatan AS terhadap pemahaman tentang
kedaulatan itu sendiri.

1
Dalam Aeschylus, The Oresteia, terj. Robert Fagles (London: Penguin Books, 1979), dialog no.
710.
2
“Remarks by the President at 2002 Graduation Excercise of the US Military Academy, West
Point, New York,” Office of the Press Secretary (1 Juni 2002).

209 Universitas Indonesia


210

IV.1. “9/11,” kontradiksi sistem negara modern Westphalia

Negara modern, sebagai suatu simptom ketidak-sadaran, akan mulai


mengalami keruntuhannya kala wacana Simbolik universal yang melandasai
keberadaannya (gagasan ‘negara sebagai penyedia keamanan dan kesejahteraan’)
tidak lagi mampu mencegah kontradiksi-kontradiksi yang inheren di dalamnya untuk
muncul. Penguasaan total Simbolik, dalam lensa Lacanian, adalah mustahil sehingga
kontradiksi akan selalu membayangi totalitas penguasaan Simbolik tersebut. Gagasan
‘kedaulatan ke dalam’ misalnya, ia mengasumsikan suatu tempat khusus bagi
kehadiran subyek rasional dalam negara, sang Ego negara, yang darinya bersumber
segala kebenaran dan yang melaluinya masyarakat dapat diwakili sebagai satu suara.
Pandangan ini utopis menurut Rob Walker, sejauh ia mengasumsikan suatu
kehidupan yang harmonis dan ideal di dalam (inside) batas-batas kedaulatan,
singkatnya kehidupan yang utopis.3 Kehidupan domestik yang dinamis, plural dan
(dalam bahasa Hobbes) konfliktif, bahkan subversif harus “dimasukan ke bawah
karpet,” direpresi, dan dibungkam atas nama penegakan hukum, atas nama stabilitas
politik, atas nama kedaulatan. Inilah rupa-rupa “pembungkaman domestik” yang
dilakukan oleh negara modern. Maka menjadi relevan pertanyaan Ashley,
“How amidst all the ambiguities and contingencies of a diverse global history, are
actions co-ordinated, energies concerted, resistances tamed, and boundaries of
conduct imposed such that it becomes possible and sensible simply to represent a
multiplicity of domestic societies, each understood as a coherent identity subordinate
to the gaze of a single interpretive centre, a sovereign state?”4

Pandangan seperti ini diyakini oleh kebanyakan (bahkan, mungkin, seluruh)


penyembah tradisi Realisme Hubungan Internasional, sehingga tidak aneh apabila
sebenarnya tradisi dominan di studi HI adalah Idealisme-Utopisme, dan bukannya
Realisme. Realisme, dalam hal ini, diskriminatif dalam memandang anarki. Realisme

3
Rob Walker, Inside/Outside: International Relations as Political Theory. (Cambridge/New York:
Cambridge University Press, 1992), hal. 22.
4
Richard Ashley, “Untying the Sovereign State: A Double Reading of the Anarchy
Problematique.” Millennium: Journal of International Studies, 17 (2) (1988), hal. 229.

Universitas Indonesia
211

terlalu mengidealkan suatu utopia keteraturan dalam kehidupan domestik.


Singkatnya, di dalam batas teritori kedaulatan negara pun terdapat anarki!

Mengakui bahwa kehidupan di dalam batas teritori kedaulatan negara juga


anarki, berarti mengakui bahwa kedaulatan hanyalah ilusi, dan hal ini pada akhirnya
meruntuhkan legitimasi praktik kenegaraan modern yang sudah “dibina” semenjak
Westphalia. Oleh karena inilah, demi langgengnya kedaulatan negara, gagasan anarki
harus dibendung agar tidak masuk dalam teritori kedaulatan negara modern. Hal ini
dapat dilakukan dengan ‘menjaga’ agar wilayah berdaulat, yang telah dipisahkan dari
wilayah anarki, tetap berdaulat. Atau dengan kata lain, negara, sang berdaulat, harus
“menghapus” jejak, tanda, atau gejala anarki diwilayah di mana ia berdaulat.5

Demikian pula yang terjadi pada AS. Sebagaimana yang di amati Jenny
Edkins, dalam kesehariannya, warga AS nampaknya telah terlalu percaya bahwa
negaranya, yang adidaya, benar-benar mampu memelihara keamanan mereka. Lebih
dari itu, dari kalangan pemerintah pun, menurut Edkins, nampaknya terdapat suatu
konspirasi untuk membuat rakyatnya melupakan kenyataan bahwa mereka tidaklah
kebal dari ancaman keamanan. 6 Jargon-jargon intervensi kemanusiaan demokratisasi
abroad, kebebasan dan pasar bebas seolah-olah menunjukkan bahwa AS sendiri
sudah merasa aman, sehingga ia bertanggung-jawab “menularkan” resep-resep
keamanan tersebut kepada negara-negara lain. 7 Dalam perspektif Lacanian, jargon-
jargon “Demokrasi,” “kebebasan” dan “pasar bebas” telah menjadi Simptom
Simbolik yang berhasil menghapus ambiguitas koherensi dan identitas nasional di
bawah satu penanda yaitu “Amerika,” setidaknya sampai peristiwa 9/11.

5
Richard Devetak “Incomplete States: Theories and Practices of Statecraft,” dalam Macmillan, J.,
dan Linklater, A., ed. Boundaries in Questions: New Direction in International Relations. (London:
Pinter Publishers, 1995), hal. 171.
6
Jenny Edkins, “Forget trauma? Responses to September 11,” International Relations, 16(2)
(2002), hal. 246.
7
Bdk. Bagaimana praktik intervensi turut berpartisipasi menstabilkan gagasan kedaulatan. Cynthia
Weber, Simulating Sovereignty.

Universitas Indonesia
212

Peristiwa 9/11 menghancurkan semua ekspektasi keamanan ini. Hal ini


selanjutnya mengakibatkan perasaan kehilangan (loss) baik dikalangan rakyat
maupun pemerintah AS. Pemerintah AS mengalami trauma akan kehilangan, namun
kali ini bukan kehilangan kepercayaan akan “sang pelindung” sebagaimana dialami
oleh rakyatnya. Lebih dari itu, pemerintah AS merasa kehilangan “sosok
kepahlawanan”-nya, kehilangan kekuasaan berdaulatnya, kehilangan jati diri sebagai
sang adidaya, kehilangan ke-diri-an dari “Amerika.”8 Michael Hardt menekankan hal
ini: “nation-states are no longer sovereign, … not even the United States. …
[V]ulnerability to such attacks demonstrates the extent to which the United States is
unable to close itself off from external influences and authorities.”9 Kedaulatan,
bahkan, kedigdayaan AS ikut runtuh bersama puing-puing di Ground Zero.

Kembalinya abyek
Penciptaan negara berdaulat, sebagaimana pada kedaulatan Westphalia empat
abad silam, selalu mensyaratkan eksklusi bagi (si)apa saja yang tidak memenuhi
kriteria yang diberikan oleh gagasan normatif ideal (a la Skandal Westphalia 1648)
yang berlaku saat itu. Pada masa kelahirannya, kedaulatan Westphalia merupakan
efek dari gagasan bahwa perdamaian dapat dicapai apabila masing-masing aktornya
saling mengakui kedaulatan penuh, dalam hal yurisdiksi, terhadap kehidupan di
dalam teritorinya. Negara berdaulat, dengan demikian adalah subyek yang di ciptakan
gagasan perdamaian universal tersebut. Segala entitas yang tidak memiliki yurisdiksi
atas suatu teritori, dan yang tidak diakui oleh raja-raja saat itu, mengalami mekanisme
yang penulis sebut abyeksi—pengeksklusian epistemik, deteritorialisasi—terhadap
seluruh entitas yang mewakili gagasan yang bertentangan dengan sistem universal ini,
yaitu entitas yang tidak berteritori (Liga Hanseatic, tentara bayaran) dan entitas yang
tidak mau mengakui kedaulatan negara lain (Kekaisaran, Gereja). Selama sekitar lima
abad, gagasan universal ini bertahan melewati cobaan zaman. Efeknya tidak lain

8
Jenny Edkins, “Missing persons: Manhattan September 2001,” dalam E. Dauphinee dan C.
Masters, peny., The Logics of Biopower and the War on Terror: Living, Dying, Surviving (Basingstoke
and NY: Palgrave Macmillan, 2007), hal. 36.
9
Michael Hardt, “Sovereignty,” Theory & Event, 5(4) (2002), par. 2.

Universitas Indonesia
213

adalah kenormalan terhadap sistem universal berbasis negara berdaulat modern


tersebut.10

Namun demikian, sekuat apapun, dan sehegemonik apapun gagasan universal


tersebut, ia tidak akan benar-benar mampu mentotalisasi secara absolut. Keretakan
inheren akan selalu mengiringi sejarah negara berdaulat. Salah satu sumber keretakan
ini adalah kembalinya entitas-entitas abyek yang telah senantiasa diabyeksikan,
disingkirkan, dan dideteritorialisasikan tidak hanya dari wacana universal dominan,
melainkan juga dalam praktik kehidupan negara sehari-hari. Kembalinya sang abyek
ini merupakan tantangan sistemik bagi gagasan universal berbasis negara berdaulat
yang sedang berlaku saat ini. Hal ini demikian semenjak abyek adalah selalu
merupakan entitas yang kontra-tatanan dominan. Tidak terkecuali agama yang selama
ini diabyeksikan, dengan jargon “sekulerisasi kehidupan bernegara,” ia akan
senantiasa mencoba kembali dan menantang sistem universal dominan.

Sebagaimana Barak Mandelson, tantangan terhadap sistem dominan ini


diarahkan kepada prinsip normatif yang mendasari sistem—kedaulatan—berserta
organisasi yang menjaga kesinambungan prinsip tersebut—para negara-berdaulat dan
Organisasi Antar-negara (terutama Perserikatan Bangsa Bangsa). Berikutnya,
tantangan tersebut juga memiliki muatan sistem universal idiologis yang berbeda dari
sistem dominan. Dan terakhir, ia memiliki potensi, meminjam istilah Charles Tilly,
kapital dan koersi terhadap tatanan dominan. 11 Kriteria-kriteria utama sistem
pengorganisasian teritorial jelas-jelas dimiliki oleh mereka-mereka yang disebut AS
sebagai biang terorisme, yaitu Al-Qaeda.12 Al-Qaeda secara jelas-jelas ingin
menantang sistem perdamaian universal yang dikuasai oleh hegemoni AS. Ia terang-

10
Contoh paling mudah melihat ini adalah pada teori politik dan teori hubungan internasional
sendiri, seolah-olah negara adalah suatu entitas yang keberadaannya tidak dipertanyakan lagi.
11
Barak Mandeson, God vs. Westphalia: The Longer World War, hal. 17.
12
Selanjutnya akan disebut ‘teroris’. Penggunaan ini agak problematis, semenjak definisi teroris
yang dirujuk kata ‘teroris’ itu sendiri pekat dengan kontaminasi idiologis dari wacana dominan.
Namun bukan pendefinisian ini yang menjadi fokus studi ini, sehingga kesadaran penulis akan hal ini
sekiranya cukup diklarifikasi melalui catatan kaki ini.

Universitas Indonesia
214

terangan menolak prinsip negara berdaulat dengan ambisinya untuk menegakkan


khilafah di bumi ini berbasiskan syariat-syariat Islam yang diimaninya. Al-Qaeda pun
mampu menghimpun kapitalnya sedemikian rupa untuk menyelenggarakan tindak
koersi terhadap sistem tersebut. Peristiwa 9/11 merupakan saksi dari kemampuan Al-
Qaeda tersebut. Praktis, semenjak 9/11, tatanan negara berdaulat modern sedang
dalam masa pencobaannya, jika bukan kehancurannya.

IV.2. Paradoks Kedaulatan


Kegelisahan (neo-)medieval
Kehilangan kedaulatan inilah yang membawa pemerintah AS, beserta
rakyatnya, kepada suatu kegelisahan paranoid, yaitu ketakutan yang berlebihan
karena dicekam oleh kengerian bahwa teror terhadap keamanan ontologis
eksistensialnya bisa sewaktu-waktu datang. Kegelisahan ini semakin diperparah
dengan kenyataan bahwa AS sama sekali tidak memiliki kejelasan tetang siapa
musuhnya, dari mana dan kapan teror musuhnya yang nantinya akan datang. Tepat di
saat inilah momen dimana kegelisahan sebagaimana yang dirasakan raja-raja pada
abad 12-17 dirasakan oleh AS: ketidak-jelasan teritori. Melalui 9/11, tatanan
universal berdasar prinsip pengakuan kedaulatan bersama diupayakan
pembatalannya. Perang gerilya global, teror yang walaupun sporadis namun rutin, dan
retorika-retorika anti-AS senantitasa dilancarkan para teroris. Ketidak-jelasan lokasi
dan struktur otoritas organisasi teroris, membuat AS sulit mengantisipasi serangan
teror di masa yang akan datang. Kegelisahan akan ketidak-jelasan ini terlihat dalam
pidato-pidato Bush, misalnya,
“[A]gainst shadowy terrorist networks with no nation or citizens to defend .. when
unbalanced dictators with weapons of mass destruction can deliver those weapons on
missiles or secretly provide them to terrorist allies. ... If we wait for threats to fully
materialize, we will have waited too long.”13

Bagi Bush dan AS, yang jelas hanyalah satu hal, yaitu bahwa ketakutan akan
ancaman teror di masa depan telah menjadi peristiwa bawah sadar: inilah paranoia.

13
“Remarks by the President at 2002 Graduation Excercise of the US Military Academy, West
Point, New York,” Office of the Press Secretary (1 Juni 2002).

Universitas Indonesia
215

Kekerasan akhirnya masuk dan mengkontaminsai sistem kesadaran. Efeknya tidak


lain adalah bahwa kekerasan itu sendiri pada akhrinya direproduksi terus-menerus.
Hal ini menyebabkan apa yang disebut Jacques Derrida sebagai oto-imunitas (auto-
immunity) pada AS, dan selanjutnya menyebar ke seluruh dunia.14 Otoimunitas terjadi
karena proses otoimunisasi, yaitu suatu “tingkah laku ganjil di mana suatu makhluk
hidup, dengan suatu cara kuasi-bunuh diri, bekerja menghancurkan proteksinya
sendiri, mengimunisasikan diri melawan imunitasnya ‘sendiri’.”15 Jadi, bukankah
imunisasi terhadap imunitas justru akan menghancurkan imunitasnya sendiri? Inilah
paradoks dalam paranoia kebijakan Global War on Terror AS: AS membangun suatu
mekanisme pertahanan berbasis kekerasan yang justru malah mengundang kekerasan
lain berdatangan dan menggerogoti pertahanan tersebut. Mekanisme bertahan ini,
dalam skema Lacanian yang penulis pakai, tidak lain adalah mekanisme perjuangan
fasis.

Kegelisahan, dalam bahasa Lacan, merupakan suatu perasaan kekurangan


akan kekurangan itu sendiri. Dengan kata lain subyek merasakan kekurangan, namun
kekurangan akan apakah itu: tidak diketahuinya. Hal ini menyebabkan upaya-
upayanya untuk merasionalisasi kegelisahan tersebut menjadi terkesan “dipaksakan”,
dan tak jarang bersifat jenaka pula. Seperti Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan AS
saat ditanya tentang keyakinan pemerintah AS akan ada-tidaknya senjata pemusnah
massal di Irak dalam kaitannya dengan beberapa laporan investigasi yang
menunjukkan bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di sana.
“Reports that say that something hasn’t happened are always interesting to me,
because as we know, there are known knowns; there are things we know we know.
We also know there are known unknowns; that is to say we know there are some
things we do not know. But there are also unknown unknowns - the ones we don’t
know we don’t know. ”16

14
Jacques Derrida, dalam Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror: Dialog dengan Jurgen
Habermas dan Jacques Derrida (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 135.
15
” Ibid.
16
“DoD News Briefing - Secretary Rumsfeld and Gen. Myers,” DefenseLink News Transcript, 12
Februari 2002, diakses dari http://www.defenselink.mil/transcripts/transcript.aspx?transcriptid=2636
pada 2 Juli 2009.

Universitas Indonesia
216

“I believe what I said yesterday. I don’t know what I said, but I know what I think...
and I assume it’s what I said”17

Terlepas sebagai dalih pembenaran yang “intelek,” Rumsfeld menggariskan


tiga mode relasi antar ‘yang diketahui’/’yang tidak diketahui’ (known/unknown).
Pertama: known-knowns, yaitu suatu hal yang sudah jelas-jelas diketahui: Saddam
Hussein memerintah dengan represif, misalnya. Tidak ada masalah dengan mode ini.
Kedua: known-unknowns, yaitu suatu hal yang kita tahu bahwa kita tidak tahu:
misalnya, AS tahu bahwa dirinya tidak tahu dimana letak senjata pemusnah massal
Irak disembunyikan. Adalah keyakinan buta akan sesuatu hal yang kebenarannya
belum bisa dipastikan, mencirikan mode ini dan efek berhati-hati (cautious) akan
selalu umengiringi mode ini. Ketiga: unknown-unknowns, suatu hal yang kita tidak
tahu bahwa kita tidak tahu. Misalnya AS tidak tahu akan asal potensi ancaman teror,
ia juga tidak tahu cara apa yang nantinya akan digunakan. Keserba-tidak-jelasan
mencirikan mode ini. Terdapat dua lapis ketidak-tahuan dalam mode ini yang
nantinya akan berujung pada paranoia. Mode kedua, dan dimotori oleh paranoia efek
mode ketiga inilah yang menjadi pembenaran akan kebijakan agresif doktrin
menyerang duluan (pre-emptive strike) AS di Irak, atau yang disebut-sebut sebagai
doktrin Bush.18 Melalui doktrin Bush, AS, dibawah pemerintahan George W. Bush
Jr., berupaya keras untuk meneguhkan kembali kedaulatannya yang runtuh pasca
9/11. Beberapa hal yang dilakukan AS terkait ini adalah sebagai berikut:

Bush Doctrine: Penguatan kedaulatan


Reaksi terhadap kegelisahan eksistensial seperti ini selalu memiliki relasi
siginifikan dengan mikrofasisme. Saat ke-diri-an yang ideal merupakan efek dari
suatu wacana Simbolik, maka saat wacana Simbolik itu menunjukkan
inkonsistensinya—misalnya, bagaimana mungkin bisa muncul suatu aktor (teroris)

17
“Rum remark wins Rumsfeld an award,” BBC NEWS Americas, 13 2009,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/3254852.stm.
18
Bush sendiri tidak pernah mengatakan secara tegas bahwa kebijakan pre-emptif tersebut sebagai
“doktrin Bush,” namun demikian, ciri-ciri tersebut membuat beberapa komentator menyebutnya
sebagai doktrin Bush. Lihat Mary Buckley dan Robert Singh, The Bush Doctrine and the War on
Terrorism: Global Response, Global Consequences (London, NY: Routledge, 2006).

Universitas Indonesia
217

yang tidak memiliki basis teritori yang jelas dalam sistem negara berdaulat
modern?—sang diri akan mati-matian melakukan pertahanan untuk menjaga agar ia
tidak runtuh. Hal ini demikian karena hanya melalui keajegan wacana universal inilah
sang diri merasa (ny)aman secara ontologis eksistensial, termasuk diri yang
mengambil rupa dalam “Amerika”. Upaya mempertahankan sistem universal ini
sangat kental, misalnya, dalam mewarnai retorika George W. Bush, presiden AS.
“When it comes to the common rights and needs of men and women, there is no
clash of civilizations. The requirements of freedom apply fully to Africa and Latin
America and the entire Islamic world. The peoples of the Islamic nations want and
deserve the same freedoms and opportunities as people in every nation. And their
governments should listen to their hopes.”19

Tidak hanya sistem tersebut, melainkan posisi sang diri dalam sistem tersebut juga
berusaha diamankan ditengah-tengah inkonsistensi wacana tersebut. Hal ini
dilakukannya dengan selalu menjangkarkan ke-diri-annya pada wacana Simbolik
tersebut. Sehingga kedaulatan, melalui penjangkaran ini, semakin dikuatkan. Upaya
ini tersirat dalam heroisme Bush,
“This war will take many turns we cannot predict. Yet I am certain of this: Wherever
we carry it, the American flag will stand not only for our power, but for freedom ...
Building this just peace is America’s opportunity, and America’s duty ... And we will
defend the peace that makes all progress possible.”20

Semenjak subyeksi melalui gagasan universal selalu mensyaratkan abyek


(entitas non-subyek), maka gagasan-gagasan abyek akan selalu mengiringi wacana
dari negara berdaulat. Bush, misalnya, selalu menyebut para teroris dengan sebutan-
sebutan seperti “a few dozen evil and deluded men,” “ruthless and resourceful
enemy,” dan “mad terrorists”. 21 Dan tentunya tugas AS, sebagai sang subyek, adalah
mengabyeksikannya, menyingkirkannya, dan melenyapkannya. Kata Bush “we will
lift the dark threat from our country and from the world.”22 Dalam pidatonya,
Presiden George W. Bush juga menyampaikan peringatannya, “Every nation in every
region now has a decision to make: either you are with us, or you are with the

19
“Remarks by the president...”, West Point, 2002.
20
Ibid.
21
Sebutan-sebutan ini terdapat pada pidato Bush di West Point. Lihat, Ibid.
22
Ibid.

Universitas Indonesia
218

terrorist.”23 Peringatan inilah yang belakangan disebut-sebut sebagai Doktrin Bush.


Doktrin ini juga mensinyalir strategi AS dalam memberantas terorisme, yaitu strategi
pre-emptive action, sebagaimana tampak dalam pidatonya,
“[A]gainst shadowy terrorist networks with no nation or citizens to defend .. when
unbalanced dictators with weapons of mass destruction can deliver those weapons on
missiles or secretly provide them to terrorist allies. ... If we wait for threats to fully
materialize, we will have waited too long. And our security will require all
Americans to be forward-looking and resolute, to be ready for preemptive action
when necessary to defend our liberty and to defend our lives”24

Ada hal menarik terkait Doktrin Bush ini dalam hubungannya dengan
kegelisahan paranoid. Pertama, terkait pemilahan teman/teroris. Gagasan ini
memperlihatkan bagaimana AS putus asa dalam menentukan siapa musuhnya/teroris.
AS berada pada kondisi tak menentu. Di sinilah gagasan Carl Schmitt tentang yang
berdaulat sebagai yang menentukan dalam ketidak-menentuan diterapkan.25 Dalam
kondisi tak menentu ini, AS menentukan siapa musuh dan siapa teman. Dengan
memutuskan ini, AS berusaha memulihkan kedaulatannya yang tertimbun puing-
puing menara kembar WTC. AS membelah dunia ini ke dalam dua kutub yang hitam-
putih-nya jelas: siapa saja yang tidak membantu AS dalam memerangi terorisme,
maka ia musuh AS. Yang menarik untuk diperhatikan di sini adalah bahwa
bagaimana AS memilah siapa teman siapa teroris menunjukkan dimensi narsistik dari
eksepsionalisme kedaulatan a la Schmitt ini. Dikatakan narsistik26, karena yang
menjadi acuan dalam tindakan pengecualian (exceptional) di sini adalah “diri” AS
sendiri: siapapun yang tidak bersama AS, maka mereka bersama musuh AS, dengan
demikian menjadi musuh AS juga. Diri sendiri dijadikan patokan dari mana suatu
kebenaran mulai diukur. Persis seperti Tuhan dalam menentukan siapa yang baik dan
siapa yang buruk; siapa yang pantas hidup dan siapa yang tidak. Tidak mengejutkan

23
“We Are a Country Awakened to Danger and Called to Defend Freedom,” dalam
www.september11news.com/PresidentBushSpeech.htm, diakses tanggal 22 Juli 2005.
24
“Remarks by the president...,” West Point, 2002.
25
Pembahasan tentang kedaulatan Schmittian ini lihat Bab 2, bagian “Keputusan dan
Pengecualian.”
26
Kata ‘narsis’ dipakai oleh psikoanalis Sigmund Freud, yang diadopsinya dari Narcissus, tokoh
Yunani kuno yang memiliki kecintaan akan dirinya sendiri, untuk mendeskripsikan suatu dorongan
hasrat dalam diri manusia yang mengarah pada dan terserap ke dalam dirinya sendiri.

Universitas Indonesia
219

oleh karenanya Carl Schmitt menyamakan kedaulatan sebagai suatu privilese seperti
yang dimiliki oleh Tuhan.27

Sementara di dalam negeri, pada 24 Oktober 2001, AS mengeluarkan


Undang-Undang Anti-Terorisme 2001, bernama Uniting and Strengthening America
by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism (USA
PATRIOT) Act. Salah satu tujuan utama UU ini sebagaimana tertulis di Section 101
adalah,
“Providing support to counter, investigate, or prosecute domestic or international
terrorism, including, without limitation, paying rewards in connection with these
activities; connection with detaining in foreign countries individuals accused of acts
of terrorism that violate the laws of the United States.”28

UU ini memberikan kekuasan eksekutif yang lebih luas. UU ini, secara spesifik,
memberikan peningkatan kekuasaan pada FBI (Federal Bureau of Investigation) dan
Departemen Peradilan (Department of Justice). Ia juga memberikan otoritas kepada
pemerintah untuk meningkatkan penguasaan dan kontrol dalam negeri termasuk
menyelidiki tempat-tempat yang diduga dapat memberikan informasi tentang
terorisme. Bahkan lebih lagi, UU ini mengizinkan pemerintah untuk memata-matai
warganya sendiri. Section 202 misalnya, mengotorisasi pemerintah untuk “Intercept
wire, oral, and electronic commnications relating to computer fraud and abuse
offenses.”29 Moral hazard-nya, informasi-informasi yang didapat tersebut dapat
digunakan oleh pemerintah tidak hanya untuk masalah penangkalan terorisme, tetapi
untuk mengontrol kubu oposisi, dan terlebih lagi, meneguhkan kontrol sosial di tanah
air. Intinya, melalui UU USA PATRIOT kedaulatan negara atas kehidupan internal
dalam teritorinya dikuatkan lagi. UU ini menjamin peneguhan ulang akan kedaulatan
ke dalam. Sentralitas kekuasaan di tangan presiden ditambah, diekspansi dan semakin
diperkuat untuk
“to use all necessary and appropriate force against those nations, organizations, or
persons he determines planned, authorized, committed, or aided the terrorist attacks .

27
Bdk. Schmitt, Political Theology, hal. 46-47.
28
Section 101. Counterterrorism Fund, USA PATRIOT ACT, 24 Oktober 2001.
29
Section 202. Ibid.

Universitas Indonesia
220

. . or harbored such organizations or persons, in order to prevent any future acts of


international terrorism against the United States by such nations, organizations or
persons.”30
Singkatnya, kebebasan warga Amerika “ditukarkan” dengan keamanan nasional—
setidaknya sebagaimana yang dipersepsikan pemerintah AS.

Kamp tahanan
Situs penguatan kedaulatan lainnya ada pada kebijakan AS terkait kamp
tahanan oknum-oknum yang diduga teroris. Enam minggu setelah peristiwa 9/11,
tepatnya pada 13 November 2001, presiden Bush mengeluarkan Perintah Militer yang
menyatakan bahwa “kepentingan mendesak pemerintah” mensyaratkan suatu
penahanan untuk jangka waktu tak terhingga kepada individu-individu non-warga
negara AS. Individu-individu ini bukan hanya anggota Al-Qaeda saja, tetapi juga
semua orang yang,
“has engaged in, aided or abetted, or conspired to commit, acts of international
terrorism, or acts in preparation therefore, that have caused, threaten to cause, or have
as their aim to cause, injury to or adverse effects on the United States, its citizens,
national security, foreign policy, or economy, and anyone who had knowingly
harbored an international terrorist.”31

Tidak hanya berhenti di situ, hak-hak mereka tidak akan berlaku dalam penahanan
tersebut. Seperti kata Bush,
“Given the danger to the safety of the United States and the nature of international
terrorism, it is not practicable to apply in military commissions under this order the
principles of law and the rules of evidence generally recognized in the trial of
criminal cases in the United States district courts.”32

Mengacu pada gagasan Giorgio Agamben tentang homo sacer, yaitu subyek yang
dilucuti atribut-atribut politiknya oleh sang berdaulat sedemikian rupa sehingga
kehidupannya menjadi tidak berarti sama sekali, 33 para tahanan tersebut benar-benar

30
Authorization for Use of Military Force, Pub. Law 107–40, 115 Stat. 224 (2001). [S.J. Res. 23],
107th Cong., Sept. 18, 2001, Sec. 2, tersedia di www.news.findlaw.com/wp/. Penekanan dari penulis.
31
Dikutip dari , Lauha K. Donohue, The Cost of Counterterrorism: Power, Politics, and Liberty
(Cambridge; Cambridge University Press, 2008), hal. 72.
32
Ibid.
33
Lihat pembahasan penulis tentang ini pada Bab 2, bagian “Keputusan dan Pengecualian.”

Universitas Indonesia
221

dijadikan homo sacer oleh AS. Hak-hak politisnya dilucuti begitu saja saat ia dikira
menjadi anggota/pendukung organisasi teroris.

Pada November 2001, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld mengumumkan


bahwa para tahanan tersebut akan dipindahkan ke Teluk Guantanamo (populer
disebut Gitmo), sebuah pangkalan militer AS yang ada di Kuba. 34 Gitmo merupakan
pulau yang dikelilingi lautan, pagar listrik, dan ranjau-ranjau darat yang bertebaran
dipasir pantai pulau itu. Keadaan tahanan disana pun sangat memiriskan hati. Saat
memindahkan tahanan, langkah keamanan khusus diterapkan: janggut dicukur,
tangan dan kaki dirantai, kepala ditutupi selama kurang lebih 24-jam penerbangan.
Sesampainya di sana, Donohue mencatat, militer AS memenjarakan mereka dalam
kurungan kawat seukuran 6x8 kaki, terbuka terhadap hujan, angin, nyamuk-nyamuk
ganas Guantanamo, dan hanya disediakan matras tidur dan selimut.35 Perlakuan ini
pantas, menurut Mayor Jenderal Geoffrey Miller, karena “every detainee in this camp
is a threat to the United States.”36 Sejak saat itu, tahanan yang dikirimkan ke Gitmo
jumlahnya meningkat sampai 20-25 orang per hari, dan sampai pada Januari
pertengahan, tiba pada kisaran 500 orang. Umur mereka berada di kisaran 13 tahun
sampai 70-an tahun. 37

Penahanan ini bukan tanpa permasalahan. Terutama apabila dilihat dari segi
hukum. AS menolak untuk memberikan status Tahanan Perang (Prisoner of War)
kepada para tahanannya di Gitmo, sebagaimana telah diatur dalam Konvensi
Jenewa38 keempat 1949 yang telah diratifikasi oleh AS. 39 Alasan yang dikemukakan
adalah karena tahanan-tahanan di Gitmo ini bukanlah tahanan perang konvensional.
Menurut AS, perang melawan teror yang dijalaninya bukanlah perang biasa, yaitu

34
Angkatan Laut AS merebut pulau tersebut pada perang Spanyol-Amerika 1898.
35
Donohue, The Cost, hal. 73.
36
“Camp Delta at ‘Gitmo,’ Afghanistan Worlds Apart.” (29 April 2003). Washington Times.
37
Donohue, The Cost, hal. 73.
38
Untuk seterusnya akan disebut ‘Konvensi’ saja.
39
Acuan yang dipakai disini adalah Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of
War 1949. Teks dapat diakses di www.unhcr.ch/html/menu3/b/91.htm

Universitas Indonesia
222

perang yang pecah di antara dua atau lebih entitas negara-bangsa atau, yang dalam
bahasa Konvensi, “High Contracting Parties.” Bagi AS, Al-Qaeda—yang dituduhnya
sebagai dalang terorisme—bukanlah entitas yang dapat disebut HCP sebagaimana di
atur dalam Konvensi. Al-Qaeda tidak memiliki teritori yang jelas maupun pemerintah
berdaulat yang membuka kantor-kantor perwakilannya di negara-negara tetangganya;
malahan, keberadaan Al-Qaeda pun tak dapat dipastikan. Hal inilah yang
menyebabkan aturan-aturan, terutama menyangkut perlakuan terhadap tahanan
perang, tidak dapat diterapkan pada tahanan-tahanan di Gitmo yang diduga sebagai
pelaku/pendukung terorisme.40

Konvensi mengatur, di pasal 3 dan 13, tentang perlakuan “manusiawi”


(humane) terhadap para tahanan perang seperti akses kepada konsultan hukum,
mendapat pengadilan yang adil, penahanan dengan jangka waktu terbatas, tidak
mendapat siksaan, dst. Berdasarkan Konvensi (pasal 4), status TP diberikan kepada
angkatan bersenjata yang menyatakan kesetiaannya kepada suatu negara, atau yang
disebut sebagai “High Contracting Parties.” Lebih spesifik lagi di ayat A2 pasal yang
sama, ditetapkan bahwa angkatan bersenjata tersebut haruslah mereka-mereka yang:
diorganisir oleh “seorang” (a person) yang bertanggung-jawab pada bawahannya;
memiliki “tanda yang khusus dan tetap” (fixed distinctive sign); menenteng
senjatanya secara terbuka; dan melaksanakan operasi militernya berdasarkan “hukum
dan kebiasaan perang” (laws and customs of war). Keempatnya jelas tidak dimiliki
oleh para tahanan di Gitmo.

Namun demikian, apabila diperhatikan dengan lebih seksama, terutama di


ayat A3 di pasal yang sama, status TP tetap bisa diberikan sekalipun negara yang
terhadapnya para tahanan mengakui kesetiaan tidak diakui oleh negara yang menahan
mereka. Tidak hanya itu, apabila terdapat perselisihan seputar penilaian terhadap
status suatu tahanan maka, sesuai petunjuk pasal 5, tahanan tersebut “shall enjoy the
40
Sekalipun pada 7 Februari 2002 AS mengakui bahwa tahanan-tahanan Taliban di Gitmo layak
mendapat perlakuan sebagaimana termaktub dalam Konvensi, AS tetap tidak mau memeberikan status
TP kepada mereka.

Universitas Indonesia
223

protection of the present Convention” sampai statusnya ditentukan oleh “a competent


tribunal.” Alih-alih menyebut TP, memberikan perlakuan manusiawi kepada para
tahanan, dan menyerahkan penentuan status tahanan kepada “peradilan yang
kompeten,” AS malah memberikan sebutan lain bagi mereka: “unlawful
combatants.”41 yang tentunya perlakuan terhadapnya tidak diatur dalam Konvensi.
Tepat di sinilah kesewenang-wenangan AS ditegaskan.

Ungkapan yang menyatakan kesewenang-wenangan dapat dengan jelas


dilihat, salah satunya, dari press release Juru Bicara House of Representative, Dennis
Hastert, tentang tahanan di Gitmo: “These aren’t military people. They don’t belong
to a country, they don’t wear a uniform, they’re not part of an army. It’s a unique
situation and we'll have to deal with it in a unique way.”42 Kata “unik” di sini
menarik untuk diamati. Wilayah (domain) cakupan bagi kata “unik” ini sesuai dengan
wilayah cakupan bagi kondisi pengecualian (state of exception) sebagaimana digagas
oleh Carl Schmitt. “Cara-cara unik” yang dimaksudkan AS, dalam hal ini Hastert,
menunjukkan dengan jelas bahwa cara-cara tersebut merupakan cara-cara yang
berada di luar hukum—konvensi Jenewa. Aktivasi kedaulatan memang diuji dari
kemampuannya untuk melampaui hukum, dan bertindak di luar aturan-aturannya.
Wilayah di mana kata “unik” ini diaplikasikan inilah yang disebut Giorgio Agamben
sebagai zona pengecualian, yaitu zona yang dihuni oleh homo sacer di mana fakta
kehidupannya menjadi tidak penting.

Kesewenang-wenangan AS dalam pemberian status “unlawful combatant”


pada para tahanan di Gitmo, berimplikasi “signifikan” pada nasib mereka sebagai
homo sacer. Kata “signifikan” dapat berarti, beberapa di antaranya, sebagai berikut:
pertama, tidak jelas apakah para tahanan akan diadili atau tidak, bahkan pada akhir
Januari 2002 Menhan Rumsfeld menegaskan bahwa mereka dapat ditahan dalam

41
U.S. DoD. (Januari 2002). DoD News Briefing - Secretary Rumsfeld and Gen. Pace. Tersedia di
http://www.defenselink.mil/transcripts/transcript.aspx?transcriptid=2254
42
“Bush Defends U.S. Treatment of Guantanamo Detainees,” (Januari 2002). IslamOnline.net.
tersedia di http://www.islamonline.net/english/News/2002-01/25/article7.shtml

Universitas Indonesia
224

jangka waktu tak terbatas (indefinite) tanpa perlu diadili;43 kedua, karena “cara-cara
unik” untuk memperlakukan para tahanan berada di luar hukum, maka para sipir di
Gitmo “bebas” mengkreasikan teknik interogasi dan penghukumannya sesuka hati,
seperti sembarangan memotong rambut tahanan, melecehkan agama tahanan,
menggunakan anjing dalam interogasi, menyuntikkan cairan-cairan yang tidak jelas
ke tubuh tahanan, memerintahkan tahanan pria untuk saling menyodomi, menyuruh
para tahanan untuk melakukan masturbasi, membuat video rekaman para tahanan
yang disuruh menari sambil telanjang, menyetrum bagian-bagian tubuh vital tahanan,
dan “cara-cara unik” lainnya. 44

Gambar IV.1. Beberapa contoh bagaimana tahanan diperlakukan di AS.45

43
Rasul v. Bush – Petition for Writ of Habeas Corpus. Dapat diakses di
http://news.findlaw.com/hdocs/docs/terrorism/rasulbush021902pet.html
44
Contoh-contoh disini disadur dari Donohue, The Cost, hal. 91-111.
45
Foto-foto disadur dari Stephen F. Eisenman, The Abu Ghraib Effect (London: Reaktion Books,
2007).

Universitas Indonesia
225

Paranoia AS yang tercermin dalam penahanan sewenang-wenang orang-orang


yang dianggap sebagai teroris di Guantanamo pun berakibat fatal. Buktinya, sampai
Desember 2002, setidaknya 59 tahanan (hampir 10%) tidak terbukti memiliki
hubungan dengan Al-Qaeda. Lebih mengejutkan lagi, sampai Februari 2006,
berdasarkan klarifikasi Pentagon sendiri, hanya 8% tahanan yang dicurigai terkait
dengan jaringan Al-Qaeda!46 Banyak dari para tahanan Gitmo yang tidak tahu apa-
apa saat mereka tiba-tiba ditahan oleh AS, dengan bantuan aparat lokal. Beberapa
mereka adalah petani, tukang sepatu, supir taksi, dan buruh. Ada juga seorang
pebisnis yang tiba-tiba saat ia keluar dari taksi, ia dijemput oleh aparat lokal
negaranya, ditutup kepalanya, dan saat tutup kepala dibuka, ia sudah berada di
Gitmo.47 AS benar-benar tidak memiliki acuan pasti tentang siapa yang menjadi
sasarannya, selain acuan yang ditentukannya sendiri secara sewenang-wenang.

IV.3. Implikasi teoritik


Alexander the Great : How dare you molest the sea?
Pirate : How dare you molest the whole world? Because I do it
with a small boat, I am called a pirate and a thief. You, with
a great navy, molest the whole world and are called an
emperor.48

Kedaulatan global
Sampai di sini nampak jelas kiranya bahwa kegelisahan sebagai efek ketidak-
jelasan teritori dan otoritas memicunya untuk memulihkan, menegaskan, dan
menguatkan kembali kedaulatannya yang runtuh tersebut. Praktik kedaulatan AS ini,
yaitu peneguhan kembali melalui tindakan sewenang-wenang dan semi-otoriter tidak
hanya kepada warga negaranya sendiri tetapi juga kepada seluruh dunia, menandakan
suatu transformasi baru dalam konsepsi kedaulatan yang sama sekali baru dan lebih
mutakhir ketimbang versi Westphalia-nya, yaitu suatu ‘kedaulatan global’ yang

46
Warren Hoge, “Investigators for U.N. Urge U.S. to Close Guantanamo,” New York Times
(Februari 2006).
47
Lauha K. Donohue, The Cost of Counterterrorism: Power, Politics, and Liberty (Cambridge;
Cambridge University Press, 2008), hal. 74-5.
48
Petikan kutipan dari City of God karya St.Agustinus. Dikutip dari Noam Chomsky, Pirates and
Emperors, Old and New: International Terrorism in the Real World (London: Pluto Press, 2002).

Universitas Indonesia
226

menjadikan atmosfer bumi sebagai penanda batas kedaulatan, sehingga seluruh dunia
menjadi teritori “domestik”-nya, dan seluruh ruang angkasa menjadi wilayah “luar”-
nya. 49 Dengan kata lain, dalam kedaulatan global, batas teritori yang sesungguhnya
tidak berada di bumi, melainkan di ambang batas antara bumi dengan ruang angkasa
beserta benda-benda angkasa lainnya.

Melalui strategi menyerang dahulu (pre-emptive action), misalkan,


menerangkan dengan jelas bahwa AS sedang mempraktikkan kedaulatan globalnya.
Strategi pre-emptif diterapkan pemerintah AS untuk “stop it, eliminate it, and destroy
it where it grows”50 sekalipun siapa, kapan dan dari mana teroris itu akan muncul dan
menyerang tidak diketahuinya dengan pasti. Tampak jelas logika yang digunakan
dalam tindakan pre-emptive ini adalah logika aksi polisional. Polisi dapat bertindak
sebelum suatu kriminalitas terjadi, sehingga tugasnya adalah mencegah kriminalitas
tersebut terealisasikan. Hal serupa nampak dalam aksi pemberantasan terorisme di
Afghanistan. Betapa kedaulatan dan hak politik Afghanistan dapat begitu saja
diabaikan dan dilanggar, tak cukup hanya itu, rezim Taliban pun didepaknya begitu
saja. Pemerintahan berdaulat Afghanistan seolah-olah dianggap sebagai kelompok
kriminal yang sedang mengacau sehingga bisa diberantas kapan saja. Begitu pula
nasib rezim Saddam Hussein di Irak. Sekalipun tanpa otorisasi PBB, AS dengan
mudahnya menyerbu masuk batas kedaulatan Irak, dan menggeledah seisi kota untuk
mencari Saddam. Dalihnya pun, yaitu bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal,
tidak terbukti. Bentuk tindakan pre-emptif lainnya, yang juga menggunakan logika
polisional adalah rezim Proliferation Security Initiative untuk mencegah persebaran
senjata pemusnah massal. Melalui rezim ini, AS dan sekutunya dapat menghentikan
pesawat dan kapal dari manapun dan di manapun yang dicurigai—dan bukan yang
terbukti—membawa bahan-bahan, atau bahkan senjata pemusnah massal tersebut.

49
Penggunaan konsep “kedaulatan golobal”, walaupun secara berbeda-beda, dapat dilihat pada
Michael Hardt, “Sovereignty,” Theory and Event, 5(4), 2002, dan Suhail Malik, “Global Sovereignty,”
Theory, Culture & Society, 23(2-3), 2006. Dalam tesis ini, penulis menggunakan konsep kedaulatan
global secara berbeda, bahkan bertentangan dari yang dimaksud kedua penulis sebelumnya.
50
George W. Bush, Address to a Joint Session of Congress and the American People, Washington,
D.C., 20 September 2001.

Universitas Indonesia
227

Melalui perjanjian ini jelas kedaulatan negara lain di langgar. Pencegatan kargo-kargo
tersebut bisa dilakukan di mana pun dan kapanpun tanpa perlu persetujuan negara
yang berdaulat atas teritori tersebut. Melalui kedua contoh ini amat jelas bahwa AS
mengasumsikan bahwa seluruh dunia ini adalah berada di bawah yurisdiksinya. 51

Kedaulatan kontemporer?
Sampai di sini nampak jelas kiranya bahwa kegelisahan sebagai efek ketidak-
jelasan teritori dan otoritas di Eropa Pertengahan, kini menyaksikan
kontemporalitasnya pada kegelisahan paranoid AS pasca kedigdayaannya
diruntuhkan teroris melalui even 9/11. Sama seperti raja-raja yang dirundung ketidak-
pastian karena tumpang tindih otoritas kekuasaan di Eropa saat itu, begitu pula AS
dirundung ketidak-jelasan akan siapa musuhnya. Kedua bentuk ketidak-pastian dan
ketidak-jelasan ini, baik yang di alami raja dan AS, sama-sama membawa kepada
suatu kegelisahan akan kesinambungan, keamanan dan kenyamana ontologi
eksistensialnya. Dengan ketidak-pastian ini, ke-diri-an ideal raja dan AS terancam
keberadaannya. Akhirnya, raja-raja ini berupaya menenangkan kegelisahan tersebut
dengan mengidentifikasi diri pada fantasi-fantasi ideal akan suatu ke-diri-an yang
utuh yang sebagaimana penulis telah tunjukkan, didapatnya dari Tuhan, dan
kemudian subyektivitas modern Eropa yang merupa dalam gagasan kedaulatan
negara. Melalui gagasan kedaulatan, raja akhirnya mendapat ‘diri’-nya yang baru.

Hal serupa juga terjadi pada AS. ia juga mengkonstruksi suatu fantasi akan
ke-diri-an yang ideal ini. Namun demikian, situasi telah berubah. Seluruh dunia,
setidaknya daratan, telah habis terpetak-petak ke dalam wilayah-wilayah kedaulatan
negara berdaulat. Ekspansi adalah hal yang tidak mungkin, karena ia akan
mensyaratkan suatu pelanggaran kedaulatan negara lain. Namun demikian,
dilemanya, jika pelanggaran itu tidak dilakukan, maka kedaulatan AS lah yang
terancam. Atas kalkulasi kedaulatan, akhirnya AS memutuskan untuk bertindak di
luar tatanan yang berlaku. Hal ini dilakukannya dengan cantik. AS mendeklarasikan

51
Bahkan PATRIOT Act menekankan hal ini dalam Section 377. Extraterritorial Jurisdiction.

Universitas Indonesia
228

Perang Global melawan Terror (Global War on Terror). Penamaan ini memang tidak
proporsional semenjak perang hanya terjadi, menurut sistem negara berdaulat yang
berlaku, di antara negara—dan bukan entitas yang tidak jelas seperti kelompok
teroris. Namun demikian, bukan semantika yang dipentingkan oleh AS, melainkan
daya yang dibawa kata ‘perang’ lah yang dituju AS. Dengan mendeklarasikan perang
global, maka AS sedang mengumumkan kondisi darurat di seluruh dunia. Kondisi
darurat, sebagaimana Schmitt, merupakan kondisi dimana sang berdaulat
“dimungkinkan” untuk melakukan tindakan-tindakan yang dikecualikan dari hukum.
Dengan mendeklarasikan perang global terhadap teroris, maka sebenarnya AS
sedang menangguhkan seluruh hukum nasional di dunia ini, dan menempatkan
hukum nasional-yang-kemudian-global-nya ke seluruh dunia. Dengan
mendeklarasikan perang global, AS menobatkan diri menjadi sang berdaulat yang
memiliki otoritas secara mondial, dan sebagaimana diktum terkenal Bush, “either you
with us or with the terrorist,” siapapun yang menolak “mematuhi” AS, maka ia akan
disingkirkan, atau sebagaimana idiom populer, “di-Irak-kan.” Inilah fantasi ke-diri-an
ideal AS yang mewujud dalam kedaulatan global, yang (dikiranya) dapat
memberikannya keamanan ontologis eksistensial.

Melalui pembahasan ini penulis ingin menekankan bahwa praktik kedaulatan


global a la AS ini merupakan suatu implikasi logis dari setiap negara yang
mengakuisisi kedaulatan sebagai “perangkat lunak” utamanya, yang olehnya seluruh
praktik kenegaraan berdasar. Semenjak gagasan Kedaulatan didasarkan pada gagasan
subyektivitas modern Eropa yang narsistik dan fasistik, maka secara by-default
gagasan Kedaulatan juga mau tidak mau akan bersifat serupa.52 Narsisme akan
mewujud dalam hasrat untuk terus-menerus menjaga, memperkuat, atau memulihkan
kemapanan (status quo) identitas diri; sementara fasisme akan mewujud dalam
ekspansionisme agresif abadi untuk terus-menerus memperluas ruang kekuasaan
dirinya yang tujuannya tak lain adalah narsistik—menjaga kesinambungan
eksistensi/identitas diri. Tidak ada titik akhir bagi perjuangan narsisisme dan

52
Lihat pembahasan pada Bab III.

Universitas Indonesia
229

fasisisme; yang ada hanyalah titik jeda (break) di antara “seri perjuangan” yang satu
dengan yang lainnya. Seri perjuangan kedaulatan di mana AS berada pada saat ini,
sebenarnya merupakan tahapan yang akan dilalui oleh setiap negara berdaulat—
pengecualian jika negara tersebut keburu punah pada salah satu seri perjuangannya.
AS menjadi istimewa bagi penulis karena ia telah berada pada titik paling maju
(advance) dari seri evolusi kedaulatan, di banding negara-negara lainnya, setidaknya
sampai hari ini. Semakin menambah keistimewaan, yaitu saat berada pada titik
tersebut, AS “diganggu” oleh entitas lainnya—yang disebutnya “teroris”. Akibat dari
gangguan ini adalah horor: fasisme yang terkandung dalam kedaulatan AS, yang juga
ada dalam kedaulatan negara lain, secara prematur muncul dan menunjukkan wajah
beringasnya yang jelek (ugly face).

Namun demikian, hal penting yang perlu ditekankan bahwa kedaulatan global
ini bukanlah menandai pergeseran paradigma (paradigm shift) kedaulatan itu
sendiri. 53 Argumentasi penulis adalah ini: paradigma kedaulatan belum berubah
semenjak Skandal Westphalia 1648; dan menurut penulis, ia nampaknya tidak akan
berubah untuk sekitar satu milenium mendatang. Kekeliruan dalam melihat
kontinuitas ini sebagai pergeseran, menurut penulis bukanlah suatu isu sepele. Akibat
yang dapat penulis ramalkan ada dua: 1) kedaulatan negara akan dipandang sebagai
sesuatu yang terberi (given) begitu saja, dan dengan demikian mengabaikan proses
kelahirannya berikut ekses yang melekat padanya, yang nantinya akan mengemuka
pada tahap “dewasa”-nya. Akhirnya, wajah beringas kedaulatan akan dipandang
sebagai pelencengan terhadap gagasan mulia tentang kedaulatan, padahal sebaliknya,
wajah beringas tersebut adalah wajah asli dari kedaulatan. Singkatnya, negara
berdaulat bermasalah bukan karena orang-orang yang duduk di pemerintahannya
jahat. Sebaliknya, negara berdaulat itu jahat karena ia memang bermasalah sejak

53
Pandangan ini amat ditekankan oleh Michael Hardt, Antonio Negri dan Giorgio Agamben. Lihat
Hardt dan Negri, Empire, hal. 8-21, dan Agamben, Homo Sacer, Part III.

Universitas Indonesia
230

awalnya. 54 2) Apabila kedaulatan tidak pernah mengalami suatu proses kelahiran,


alih-alih, dilihat sebagai sesuatu yang terberi begitu saja, maka seluruh dimensi
emansipatoris, apalagi perlawanan, akan tertutup rapat-rapat. Tidak akan ada ruang
bagi perjuangan melawan sang berdaulat—dan penulis amat sangat senewen dengan
ini!—sampai kedaulatan dipahami dan dibuktikan genesis kelahirannya. Sesuatu yang
dilahirkan, pasti bisa dibunuh. Demikian pula kedaulatan, semenjak ia juga
dilahirkan, maka ia bisa dibunuh. Sehingga kesalahan paling fatal dalam memandang
kedaulatan, adalah dengan mengatributkan predikat ‘imortal’ kepadanya! 55

Tidak hanya kepada para pemikir yang mengadvokasi gagasan tentang


pergeseran paradigma kedaulatan, keberatan penulis juga berlaku kepada para
pemikir yang memberikan pembedaan antara kedaulatan negara dan kedaulatan
subyek/manusia. Sebagaimana telah didiskusikan di Bab II dan III, manusia dan
negara adalah tahapan manifestasi yang akan dihinggapi suatu gagasan bernama
‘kedaulatan’. Kedaulatan, sebagai suatu fantasi ke-diri-an ideal akan selalu mencari
kontainer bagi kesinambungannya sendiri. ‘Manusia’ dan ‘negara berdaulat’ adalah
dua diantara kendaraannya. Melalui AS, kedaulatan ini sedang berupaya merakit
kontainer barunya, yaitu suatu imperium global. Sebagai paradigma yang melandasi
setiap tahap manifestasinya, kedaulatan Westphalia (nampaknya untuk satu milenium
kedepan) tidak akan berubah.

Pembedaan ini juga bukan hal yang remeh. Akibat yang perlu dikuatirkan,
setidaknya menurut penulis, ada dua: 1) akan terjadi analisis yang mutually exclusive
54
Permainan kata ini terinspirasi dari teman baik penulis Martin Suryajaya, saat mengatakan bahwa
“[bukan] kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. [K]apitalisme itu jahat karena ia bermasalah, dan
bukan sebaliknya.”
55
Carl Schmitt merupakan contoh buruk tentang teorisasi perlawanan terhadap sang berdaulat.
Dengan melihat kedaulatan sebagai aktivitas “God-like,” dan dengan demikian seluruh konse-konsep
kenegaraan sebagai “secularized theological concept,” maka Schmitt telah menihilkan seluruh
kemungkinan perlawanan. Bdk. Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concepts of
Sovereignty, terj. George Schwabb (Cambridge: MIT Press, 1985). Namun demikian, sisi positif
Scmitt, dari perspektif perlawanan tentunya, bahwa yang teologis (theological) adalah selalu
merupakan hasil dari proses sekulerisasi (secularized), bahwa yang sakral adalah selalu merupakan
bungkus dari suatu profanitas. Implikasinya sederhana: Tuhan, apapun sebutan dan manifestasinya,
sebenarnya bisa dibunuh!

Universitas Indonesia
231

antara kedaulatan manusia dan kedaulatan negara, sehingga akan terjadi semacam
keterputusan di antara keduanya. 2) keluaran dari kedua bentuk analisis ini akan
berupa etik yang berpotensi juga mutually exclusive, dan bersifat zero-sum: yang satu
tidak akan bisa ada tanpa yang lainnya. Etik kedaulatan yang menekankan pada
manusia akan berpotensi membuat sang manusia menarik diri dari dunia sosial politik
kenegaraan, bahkan menafikan kedaulatan negara yang sudah pasti “menyerobot”
kedaulatan pribadinya. Di sisi lain, etik kedaulatan yang menekankan pada negara
akan berpotensi membuat negara tersebut menjadi fasis-totaliter, yang atas nama
identitas nasional berusaha memberangus setiap subyek masyarakatnya yang
berusaha menafikan kedaulatan negara demi memperkuat kedaulatannya sendiri.
Bukan hanya bencana saat kedua kedaulatan ini bentrok yang menjadi poin
keprihatinan penulis, melainkan juga saat bentrok ini dipolitisir dan dikomodifikasi
oleh pihak lain yang berusaha memetik keuntungannya atas bentrok tersebut. Tepat
saat dua kenaifan berbenturan, sang oportunis akan selalu muncul dan mengambil
keuntungan atas keduanya. Sehingga, dengan sedikit nada teori konspirasi, menjadi
sangat mungkin bahwa pemikir-pemikir yang memisahkan kedua bentuk kedaulatan,
dan berikutnya memfokuskan pada masing-masing pilihannya, lalu menyarankan
suatu etik yang saling menegasi satu sama lain, adalah agen-agen dari sang oportunis
licik tadi. Sangat mungkin!

Universitas Indonesia
BAB V
SIMPULAN DAN ARAHAN

Negara-Manusia, melampaui analogi


Yang ingin penulis tekankan dari rekonstruksi singkat akan psikogenealogi
‘kedaulatan’ ini adalah bahwa gagasan kedaulatan semata-mata hanya merupakan
kendaraan bagi suatu fantasi tentang ke-diri-an ideal bagi raja yang notabene
mustahil. Dengan kata lain, bagi raja, kerajaan dan berikutnya negara modern
merupakan suatu tubuh-super yang lebih berkuasa darinya, suatu tubuh makro yang
lebih besar darinya. Jadi, raja menganggap kerajaannya dan berikutnya negara
berdaulat sebagai sebuah manifestasi diri ideal, yang di dalamnya tersimpan fantasi
ke-diri-an ideal yang didambakan raja. Sehingga dari pemahaman ini, negara adalah
orang besar, “state is person,” dengan catatan bahwa “orang” dipahami sebagai suatu
gagasan. Raja Perancis Louis XIV mengatakannya dengan baik, “L’etat c’est moi”,
negara adalah aku. Kata “aku” merupakan sebentuk subyektivitas. Dan kata “aku”
yang dimaksudkan di sini, adalah “aku” yang berdaulat. Hal ini pada gilirannya
mengklarifikasi tesis makro-subyektivitas manusia-negara seperti yang penulis bahas
di awal bab ini. Makro-subyektivitas bukanlah analogi! Makro-subyektivitas
manusia-negara memiliki landasan imanen, yaitu kegelisahan eksistensial. Efek
metafisik dari tesis makro-subyektivitas ini sebenarnya adalah buah dari kelembaman
teoritik untuk memperluas “pisau” analisisnya yang secara turun-temurun diderita
kebanyakan penstudi HI.

Implikasinya, bukan malah mengkonfirmasi teori-teori yang telah salah


kaprah menganalogikan negara sebaga manusia. Jauh lebih dalam dari itu, implikasi
pandangan penulis ini adalah bahwa analisis negara tidak dapat dipisahkan dari
analisis manusia. Hasrat negara, pada akhirnya akan diarahkan untuk memperkuat
eksistensi ke-diri-annya yang terepresentasi dalam gagasan kedaulatan. Meminjam
Freud, seluruh aktivitas negara, dengan demikian adalah aktivitas ekonomi hasrat—
usaha-usaha memuaskan hasrat.

235 Universitas Indonesia


236

Paradoks kedaulatan
Hal ini akan dapat memahami pula paradoks yang akan selalu mengiringi
negara-berdaulat. Semenjak kedaulatan adalah sesuatu yang mustahil, negara-
berdaulat, karena ia merupakan manifestasi makro dari hasrat manusia akan diri ideal,
maka ia juga mengidap mikrofasisme yang mengiringi sejarah umat manusia. Saat
kegelisahan muncul, negara-berdaulat akan mati-matian mempertahankan
eksistensinya yang sama sekali simbolik. Apabila kesinambungan kedaulatan itu
didasarkan pada suatu identitas primordial, maka identitas ini akan dipertahankan
mati-matian demi menjaga keberadaan kedaulatan tersebut. Apabila kedaulatan
tersebut didasarkan pada suatu agama, maka agama tersebut akan dipertahankan mati-
matian. Upaya mempertahankan ini tidak jarang dengan kekerasan semenjak fasisme
selalu mengiringi perjuangan hasrat subyek. Fasisme akan rela memperjuangkan apa
saja yang berguna bagi kesinambungan eksistensinya, ia akan rela menyakiti siapa
saja termasuk dirinya demi menjaga kedaulatannya yang ilusif itu. Saat negara
melihat, misalnya, kedaulatan dapat didapat dari Komunisme, maka ia akan mati-
matian memperjuangkan Komunisme tersebut tegak di negaranya, ia rela menyakiti
bahkan rakyatnya sendiri yang membangkang. Fasisme akan selalu mensyaratkan
sebentuk alienasi dari diri sendiri kepada penguasaan Simbolik tertentu. Kekerasan
hati akan suatu bentuk Simbolik kedaulatan tersebut, dengan demikian merupakan
suatu kekerasan pada diri.

Logika kedaulatan: komodifikasi kedaulatan dan abyeksi


Melalui studi ini ditunjukkan bahwa Perjanjian Westphalia 1648, yang
ternyata merupakan Skandal, merupakan kelanjutan upaya raja untuk
mempertahankan kekuasaannya seperti yang telah dilakukannya terlebih dahulu
dengan teologi politik bernama Doktrin Dua Tubuh (dan Dua Pedang). Apabila
melalui doktrin tersebut raja berusaha mengamankan posisi atau kedudukannya
sebagai penguasa, maka melalui Perjanjian Westphalia, raja ingin melanjutkannya
dengan mengamankan lingkup kekuasaannya. Jadi apabila dengan
mentransubstansiasikan diri (corpus naturale) ke tubuh mistik politik (corpus

Universitas Indonesia
237

mysticum politicum), raja bermaksud menjamin kelangsungan penguasaan


transendennya melalui suksesi imanen dinastinya, maka melalui Perjanjian
Westphalia maka raja bermaksud melakukan transubstansiasi jilid ke-2:
transubstansiasi subyektivitas modern yang telah terlebih dahulu diakuisisinya
sebagai subyektivitas, menjadi negara yang bercirikan seperti subyek modern
tercerahkan: rasional dan otonom.

Raja amat menjunjung fantasi ideal tentang eksistensinya ini. Bahkan ia rela
melakukan apapun demi mempertahankan eksistensi tersebut, dan memang dalam hal
ini Machiavellianisme merupakan suplemen inspirasi yang penting. Hanya saja, yang
penulis ingin tekankan adalah bahwa tanpa ada karya-karya bernada otoritarian dan
absolutis a la Machiavelli, Guicciardini dan Bodin, telah terlebih dahulu terdapat
dorongan agresif dan fasis dalam diri raja untuk senantiasa mengupayakan fantasi
idealnya, bagaimanapun caranya. Raja mengkomodifikasi universalitas-universalitas
seperti kesejahteraan rakyatnya, persatuan nasional (dengan tuan tanah), bahkan
Tuhan untuk melandasi eksistensi kedautannya. Dengan kata lain, komoditas
kedaulatan adalah kondisi esensial bagi kedaulatan raja; sama seperti komodifikasi
kedaulatan adalah aktivitas tak terelakkan dari segala bentuk pemerintahan raja.

Semenjak kedaulatan selalu membutuhkan justifikasi Simbolik universal,


maka dapat dipahami pula fitur lainnya pada kedaulatan, yaitu aktif dalam
mengkomodifikasi universalitas bagi kesinambungan eksistensinya. Seluruh aktivitas
kenegaraan, dengan demikian bukanlah suatu tindakan yang dilakukan demi warga-
negara, melainkan demi status quo sang raja dan dinastinya sebagai penguasa warga-
negara. Jargon-jargon universal dipakai hanya untuk merayu legitimasi dari
rakyatnya. Jadi, apabila janji negara di wujudkan, maka ia adalah suatu perbuatan
yang berdasar pada kalkulasi kedaulatannya. Semisal negara berusaha mengentaskan
kemiskinan, maka hal itu dilakukan bukan demi pengentasan kemiskinan rakyatnya,
melainkan demi eksistensi-nya sebagai pengentas kemiskinan, dan demi menjaga
kepercayaan dan legitimasi rakyatnya yang berguna untuk melestarikan status quo

Universitas Indonesia
238

negara sebagai penguasa. Status universalitas bagi negara berdaulat tidak lain adalah
komoditas kedaulatan, yaitu segala bentuk obyek yang dapat dijadikan landasan
pembenar bagi setiap perjuangan kedaulatan.

Semenjak aktivitas negara adalah mengkomodifikasi universalitas, maka


secara otomatis juga ia akan secara aktif memproduksi abyek-abyek yang
dianggapnya membahayakan sistem universal nilainya. Paranoia yang mengiringi
kegelisahan subyek berdaulat, diarahkannya pada aktivitas memproduksi abyek.
Aktivitas ini bisa dibilang sebagai suatu katarsis, yaitu pelepasan dan penenangan
kegelisahan. Dengan menunjuk abyek yang senantiasa mengancam sistem nilainya,
negara memiliki musuh yang kelihatan untuk dilawan. Sebaliknya, saat musuh
tersebut tidak ada, maka tidak ada yang akan menopang universalitas—dalam hal
dikorbankan demi universalitas tersebut. Proses pembentukan subyek (subyeksi)
kedaulatan melalui suatu wacana universal, sebagaimana telah penulis singgung, akan
selalu mensyaratkan proses abyeksi, yaitu penolakan radikal akan entitas-entitas yang
mewakili gagasan kontra-tatanan, non-subyek, singkatnya sesuatu yang tidak
diinginkan oleh sistem tatanan. Apabila abyek tersebut tidak ada, maka ia akan
diciptakan dan dikonstruksikan untuk berikutnya dipinggirkan.

Kedua aktivitas inilah yang pada gilirannya akan membuat negara-berdaulat


menjadi suatu hal yang wajar dan normal. Gestur kedaulatan dalam
mengkomodifikasi nasionalisme dan kewarganegaraan misalnya merupakan upaya
negara untuk menjangkarkan kedaulatan pada landasan yang universal dan permanen.
Karena dianggap sebagai sesuatu yang normal, masyarakat pun justru disulap menjadi
garda depan penjaga kedaulatan negara. Inilah yang disebut Gramsci, seperti yang
sudah penulis bahas di awal, sebagai suatu bentuk statolatri. Imajinasi untuk
membayangkan masyarakat tanpa negara, pada akhirnya menjadi suatu hal yang
mustahil.

Universitas Indonesia
239

Kedaulatan Global: Kedaulatan Kontemporer?


Penulis berikutnya menguji tesis ini pada kasus kedaulatan di era
kontemporer, yaitu praktik kedaulatan AS dalam Perang Global melawan
Terorismenya (Global War on Terrorism, GWOT ). Kebijakan AS dalam memerangi
terorisme bukanlah merupakan sebuah kerangka politik luar negeri semata, melainkan
merupakan perjuangan AS untuk memulihkan kedaulatan dan kedigdayaannya yang
runtuh pasca serangan teroris 9/11 ke gedung kembar WTC dan Pentagon. Pemulihan
kedaulatan AS ini, yang dilakukan melalui tindakan sewenang-wenang dan semi-
otoriter tidak hanya kepada warga negaranya sendiri tetapi juga kepada seluruh dunia,
menandakan suatu transformasi baru dalam konsepsi kedaulatan yang sama sekali
baru dan lebih mutakhir ketimbang versi Westphalia-nya, yaitu suatu ‘kedaulatan
global’ yang menjadikan atmosfer bumi sebagai penanda batas kedaulatan, sehingga
seluruh dunia menjadi teritori “domestik”-nya, dan seluruh ruang angkasa menjadi
wilayah “luar”-nya. Dengan kata lain, dalam kedaulatan global, batas teritori yang
sesungguhnya tidak berada di bumi, melainkan di ambang batas antara bumi dengan
ruang angkasa beserta benda-benda angkasa lainnya.

Sampai di sini nampak jelas kiranya bahwa kegelisahan sebagai efek ketidak-
jelasan teritori dan otoritas di Eropa Pertengahan, kini menyaksikan
kontemporalitasnya pada kegelisahan paranoid AS pasca kedigdayaannya
diruntuhkan teroris melalui even 9/11. Sama seperti raja-raja yang dirundung ketidak-
pastian karena tumpang tindih otoritas kekuasaan di Eropa saat itu, begitu pula AS
dirundung ketidak-jelasan akan siapa musuhnya. Kedua bentuk ketidak-pastian dan
ketidak-jelasan ini, baik yang di alami raja dan AS, sama-sama membawa kepada
suatu kegelisahan akan kesinambungan, keamanan dan kenyamanan ontologi
eksistensialnya. Dengan ketidak-pastian ini, ke-diri-an ideal raja dan AS terancam
keberadaannya. Akhirnya, raja-raja ini berupaya menenangkan kegelisahan tersebut
dengan mengidentifikasi diri pada fantasi-fantasi ideal akan suatu ke-diri-an yang
utuh yang sebagaimana penulis telah tunjukkan, didapatnya dari Tuhan, dan
kemudian subyektivitas modern Eropa yang merupa dalam gagasan kedaulatan

Universitas Indonesia
240

negara. Melalui gagasan kedaulatan, raja akhirnya mendapat ‘diri’-nya yang baru. Hal
serupa juga terjadi pada AS, ia juga mengkonstruksi suatu fantasi akan ke-diri-an
yang ideal ini yang tersirat dalam apa yang penulis sebut kedaulatan globalnya.

Melalui pembahasan ini penulis ingin menekankan bahwa praktik kedaulatan


global a la AS ini merupakan suatu implikasi logis dari setiap negara yang
mengakuisisi kedaulatan sebagai “perangkat lunak” utamanya, yang olehnya seluruh
praktik kenegaraan berdasar. Semenjak gagasan Kedaulatan didasarkan pada gagasan
subyektivitas modern Eropa yang narsistik dan fasistik, maka secara by-default
gagasan Kedaulatan juga mau tidak mau akan bersifat serupa.1 Narsisme akan
mewujud dalam hasrat untuk terus-menerus menjaga, memperkuat, atau memulihkan
kemapanan (status quo) identitas diri; sementara fasisme akan mewujud dalam
ekspansionisme agresif abadi untuk terus-menerus memperluas ruang kekuasaan
dirinya yang tujuannya tak lain adalah narsistik—menjaga kesinambungan
eksistensi/identitas diri. Tidak ada titik akhir bagi perjuangan narsisisme dan
fasisisme; yang ada hanyalah titik jeda (break) di antara “seri perjuangan” yang satu
dengan yang lainnya. Seri perjuangan kedaulatan di mana AS berada pada saat ini,
sebenarnya merupakan tahapan yang akan dilalui oleh setiap negara berdaulat—
pengecualian jika negara tersebut keburu punah pada salah satu seri perjuangannya.
AS menjadi istimewa bagi penulis karena ia telah berada pada titik paling maju
(advance) dari seri evolusi kedaulatan, di banding negara-negara lainnya, setidaknya
sampai hari ini.

Dari pandangan inilah menjadi tidak relevan untuk menyebut kedaulatan AS


tersebut sebagai suatu kedaulatan kontemporer. Secara paradigmatik, praktik
kedaulatan AS masih merupakan upaya mempertahankan bahkan merelevankan
kedaulatan Westphalia di era kontemporer. Tidak ada yang berubah dari sendi-sendi
dasar kedaulatan yang diperjuangkan AS melalui kebijakan GWoT-nya. Dengan kata
lain, kontemporalitas kedaulatan hanya sampai pada taraf bentuk penampakannya—

1
Lihat pembahasan pada Bab III.

Universitas Indonesia
241

dari negara-berdaulat ke imperium global—dan tidak menjangkau ide-ide dasarnya.


Motivasi berdaulat pun masih belum bergeser dari versi Skandal Westphalia, yaitu
kerinduan akan kontrol fix atas teritori yang dipicu oleh ketidak-menentuan otoritas
dan teritori. Dengan demikian, istilah kedaulatan kontemporer agaknya kurang tepat
untuk menamai fenomena praktik kedaualatan AS ini. Kedaualatan kontemporer,
dalam gaya dekonstruksi Derridean, adalah selalu kedaulatan kontemporer.2

Namun demikian, hal penting yang perlu ditekankan bahwa kedaulatan global
ini bukanlah menandai pergeseran paradigma (paradigm shift) kedaulatan itu sendiri.
Paradigma kedaulatan belum berubah semenjak Skandal Westphalia 1648; dan
menurut penulis, ia nampaknya tidak akan berubah untuk sekitar satu milenium
mendatang. Kekeliruan dalam melihat kontinuitas ini sebagai pergeseran, menurut
penulis bukanlah suatu isu sepele. Akibat yang dapat penulis ramalkan ada dua: 1)
kedaulatan negara akan dipandang sebagai sesuatu yang terberi (given) begitu saja,
dan dengan demikian mengabaikan proses kelahirannya berikut ekses yang melekat
padanya, yang nantinya akan mengemuka pada tahap “dewasa”-nya. Akhirnya, wajah
beringas kedaulatan akan dipandang sebagai pelencengan terhadap gagasan mulia
tentang kedaulatan, padahal sebaliknya, wajah beringas tersebut adalah wajah asli
dari kedaulatan. Singkatnya, negara berdaulat bermasalah bukan karena orang-orang
yang duduk di pemerintahannya jahat. Sebaliknya, negara berdaulat itu jahat karena
ia memang bermasalah sejak awalnya. 3 2) Apabila kedaulatan tidak pernah
mengalami suatu proses kelahiran, alih-alih, dilihat sebagai sesuatu yang terberi
begitu saja, maka seluruh dimensi emansipatoris, apalagi perlawanan, akan tertutup
rapat-rapat. Tidak akan ada ruang bagi perjuangan melawan sang berdaulat—dan
penulis amat sangat senewen dengan ini!—sampai kedaulatan dipahami dan

2
Gaya penulisan ini disebut Derrida sebagai sous rature (under erasure). Tujuan dari gaya ini,
yaitu dengan mencoret suatu kata, adalah menunjukkan bahwa kata tersebut adalah tidak relevan
secara maknawi, melainkan perlu tetap diafirmasi keberadaannya yang performatif sebagai suatu
“jejak kehadiran.” Lihat Gayatri Spivak, “Translator’s Preface,” dalam J. Derrida, Of Grammatology,
hal. Xvii.
3
Permainan kata ini terinspirasi dari teman baik penulis Martin Suryajaya, saat mengatakan bahwa
“[bukan] kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. [K]apitalisme itu jahat karena ia bermasalah, dan
bukan sebaliknya.”

Universitas Indonesia
242

dibuktikan genesis kelahirannya. Sesuatu yang dilahirkan, pasti bisa dibunuh.


Demikian pula kedaulatan, semenjak ia juga dilahirkan, maka ia bisa dibunuh.
Sehingga kesalahan paling fatal dalam memandang kedaulatan, adalah dengan
mengatributkan predikat ‘imortal’ kepadanya!4

o0o

Arahan penelitian lebih lanjut


Satu celah yang penulis sadari dalam studi ini yaitu terdapat pada lompatan
zaman yang begitu besar pada “obyek” studi penulis. Secara spesifik, pada bab III
penulis bekerja pada konteks zaman Eropa Abad Pertengahan, sekitar Abad 11-17.
Sementara pada bab IV, penulis bekerja pada konteks era kontemporer. Dalam hal ini
penulis menyadari bahwa studi ini akan mengabaikan perkembangan yang terjadi
selama kurun 4-5 abad setelah Skandal Westphalia. Padahal banyak perjanjian (atau
mungkin skandal juga) yang menjadi corner stone bagi perkembangan gagasan
kedaulatan itu sendiri, seperti Perjanjian Utrecht, Konvensi Wina, Konvensi
Montevideo, konvensi UNCLOS, dst. Perkembangan-perkembangan dalam
perjanjian ini penulis yakin memberi dampak modifikatif dalam gagasan kedaulatan
Westphalia. Sekalipun, sebagaimana telah penulis buktikan pada praktik kedaulatan
AS, inti dari kedaulatan tersebut tidaklah berubah: pemuasan hasrat akan ke-diri-an
ideal. Sehingga di akhir diskusi ini, penulis akan sangat menganjurkan untuk
memperbanyak penelitian serupa, hanya kali ini dengan menganalisis situasi di abad
17-21, mengeksplor gagasan-gagasan kedaulatan teritorial a la Emer Vattel,
kedaulatan populer ala Rousseau, dan tentunya yang sangat signifikan secara

4
Carl Schmitt merupakan contoh buruk tentang teorisasi perlawanan terhadap sang berdaulat.
Dengan melihat kedaulatan sebagai aktivitas “God-like,” dan dengan demikian seluruh konse-konsep
kenegaraan sebagai “secularized theological concept,” maka Schmitt telah menihilkan seluruh
kemungkinan perlawanan. Bdk. Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concepts of
Sovereignty, terj. George Schwabb (Cambridge: MIT Press, 1985). Namun demikian, sisi positif
Scmitt, dari perspektif perlawanan tentunya, bahwa yang teologis (theological) adalah selalu
merupakan hasil dari proses sekulerisasi (secularized), bahwa yang sakral adalah selalu merupakan
bungkus dari suatu profanitas. Implikasinya sederhana: Tuhan, apapun sebutan dan manifestasinya,
sebenarnya bisa dibunuh!

Universitas Indonesia
243

kontemporer, adalah hubungan kedaulatan dengan sebuah mitos bernama


“globalisasi.” Penelitian-penelitian ini amat penting, setidaknya menurut penulis, bagi
siapapun yang ingin memahami dan bahkan mendesain perubahan bertaraf global.
Perubahan global tidak akan mungkin bisa terjadi tanpa perubahan fundamental di
dua titik utama kedaulatan: negara dan kepala fasis kita. Terima kasih.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adlin, Alfathri, “Homo Desiderare: Libdinal dan Karnal dalam Ruang-


Hidup,” dalam A. Adlin, peny., Menggeledah Hasrat: Sebuah
Pendekatan Multi-Perspektif (Yogyakarta: Jalasutra, 2006).
Adlin, Alfathri, peny., Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi-
Perspektif (Yogyakarta: Jalasutra, 2006).
Aeschylus, The Oresteia, terj. Robert Fagles (London: Penguin Books,
1979).
Agamben, Giorgio, “Form-of-life,” dalam Paolo Virno dan Michael Hardt
(peny.), Radical Thought in Italy: A Potential Politics. Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1996).
Agamben, Giorgio, 1998. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life,
terjemahan D. Heller-Roazen (Stanford, California: Stanford
University Press), Part 2.
Agamben, Il Regna e la Gloria: Per una genealogia teologica
dell’economia e del governo. (Nerri Pozza, 2007) [The Reign and
the Glory: A Theological Genealogy of Economy and Government].
Agamben, Giorgio, Means Without End: Notes on Politics, terj. V. Binetti
dan C. Casarino (Minneapolis: University of Minnesota Press,
2000).
Agamben, Giorgio, Profanation, terj. J. Fort (NY: Zone Books, 2007).
Agamben, Giorgio, State of Exception (Chicago: University of Chicago
Press: 2005).
Agamben, Giorgio, Remnants of Auschwitz: The Witness and the Archive,
terj. D. Heller-Roazen (New York: Zone Books, 1999).
Agamben, Giorgio, What is An Apparatus? And other essays, terj. D. Kishik
dan S. Pedatella (Stanford, California: Stanford Uni Press, 2006).
Albert, Mathias, David Jacobson, & Yosef Lapid, peny., Identities, Borders,
Orders: Rethinking International Relations Theory (Minneapolis &
London: University of Minnesota Press, 2001).
Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001).
Andrews, Kenneth R., Elizabethan Privateering: English Privateering
during the Spanish War, 1585-1603 (Cambridge :Cambridge Uni
Press, 1964).
Arendt, Hannah, The Human Condition, edisi kedua (Chicago: Chicago Uni
Press, 1998).
Aronowitz, Stanley dan Bratsis, Peter, “State Power, Global Power,” dalam
S. Aronowitz dan P. Bratsis, peny., Paradigm Lost: State Theory
Reconsidered (Minneapolis, London: Uni of Minnesota Press, 2002).
Aronowitz, Stanley dan Bratsis, Peter, peny., Paradigm Lost: State Theory
Reconsidered (Minneapolis, London: Uni of Minnesota Press, 2002).
Ashley, Richard, “The Powers of Anarchy: Theory, Sovereignty, and the
Domestification of Global Life,” dalam James Der Derian, peny.,

247 Universitas Indonesia


248

International Theory: Critical Investigations (NY: New York


University Press, 1995).
Austin, John L., How to Do Things With Words (Cambridge, Mass.:
Harvard University Press, 1955).
Aziz, Abdul, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera,
2004).
Balakrishnan, Gopal, peny., Debating Empire (London: Verso, 2003).
Baldwin, David, peny., Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary
Debate (NY: Columbia University Press, 1994).
Bartelson, Jens, A Genealogy of Sovereignty (Cambridge: Cambridge Uni
Press, 1995).
Beaulac, Stéphane, The Power of Language in the Making of International
Law (Leiden, Bostin Martinus Nijhoff Publishers, 2004).
Bleiker, Roland, Popular Dissent, Human Agency and Global Politics
(Cambridge: Cambridge Uni Press, 2000).
Bodin, Jean, Six Books on Commonwealth, terj, M.J. Tooley (Oxford: Basil
Blackwell).
Borradori, Giovanna, Filsafat dalam Masa Teror: Dialog dengan Jurgen
Habermas dan Jacques Derrida. (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005).
Brown, Alison, Sejarah Renaisans Eropa (Bantul: Kreasi Wacana, 2009).
Buckley, Mary, dan Singh, Robert, The Bush Doctrine and the War on
Terrorism: Global Response, Global Consequences (London, NY:
Routledge, 2006).
Burke, Anthony. Beyond Security, Ethics, and Violence: War Against Other
(London & NY: Routledge, 2007).
Bury, J. B., The Invasion of Europe by the Barbarians. (New York: Norton,
1967).
Butler, Judith, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex” (NY
& London: Routledge, 1993).
Butler, Judith, Gender Trouble: Feminisim and the Subversion of Identity,
edisi kedua (NY, London: Routledge Classics, 2006).
Butler, Judith, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence
(London & NY: Verso, 2004).
Butler, Judith, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford:
Stanford Uni Press, 1997).
Butler, Judith, Undoing Gender (London, NY: Routledge, 2004).
Buzan, Barry, People, States, and Fear: An Agenda for International
Security Studies in The Post-Cold War Era, edisi kedua. (Hemel
Hempstead: Harvester Wheatsheaf, 2001).
Buzan, Barry, Ole Waever, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework
of Analysis (London: Lynne Rienner Publishers, 1998).
Campbell, David, “Political Prosaics, Transversal Politics, and the
Anarchical World,” dalam Michael J. Shapiro and Hayward R. Alker
(peny.), Challenging Boundaries: Global Flows, Territorial
Identities (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996).
Campbell, David, Writing Security: United States Foreign Policy and the
Politics of Identity (Manchester: Manchester Uni Press, 1992).

Universitas Indonesia
249

Caputo, John D., Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and


the Hermeneutic Project (Bloomington & Indiana Polis:Indiana
University Press, 1987).
Dauphinee, Elizabeth dan Masters, Christina, peny., The Logics of Biopower
and the War on Terror: Living, Dying, Surviving (Basingstoke and
NY: Palgrave Macmillan, 2007).
Dawkins, Richard, The Extended Phenotype, (Oxford: Oxford Uni Press,
1982).
Dawkins, Richard, The Selfish Gene, edisi revisi (Oxford: Oxford Uni Press,
1989).
Debrix, Francois, dan Weber, Cynthia, peny., Rituals of Mediation:
International Politics and Social Meaning (Minneapolis, London:
Uni of Minnesota Press, 2003).
de la Boétie, Étienne, Discours de la Servitude Volontaire, dalam P.
Bonnefon, peny., Oeuvres Complètes (Genève: Slatkine Reprints,
1967/1552).
Deleuze, Gilles, Guattari, Félix, “Capitalism: a very special delirium,”
dalam S. Lotringer, peny., Chaosophy (Autonomedia/ Semiotext(e),
1995).
Deleuze, Gilles dan Guattari, Félix, Anti-Oedipus: Capitalism and
Schizophrenia, terj. R. Hurley, M. Seem dan H. Lane (London:
Athlone Press, 1984).
Deleuze, Gilles dan Guattari, Félix, Thousand Plateaus: Capitalism and
Schizophrenia, Vol II, terj. B. Massumi (London: University of
Minnesota Press, 1987).
Der Derian, James, International Theory: Critical Investigations (NY: New
York University Press, 1995).
Der Derian, James & Michael J. Shapiro, peny, International/Intertextual:
Postmodern Readings of World Politics (Mass. & Toronto:
Lexington Books, 1989).
Derrida, Jacques, Acts of Religion, peny. G. Anidjar (NY, London:
Routledge, 2002).
Derrida, Jacques, Archive Fever: A Freudian Impression, terj. Eric
Prenowitz (Chicago & London, The University of Chicago Press,
1995).
Derrida, Jacques, ‘Force of Law: The ‘Mystical Foundation of Authority’,
terj. M. Quaintance, dalam J. Derrida, Acts of Religion, peny. G.
Anidjar (NY, London: Routledge, 2002).
Derrida, Jacques, Of Grammatology, terj. Gayatri C. Spivak (Batimore &
London: The Johns Hopkins Uniersity Press, 1976[1967]).
Descartes, René, Meditations on First Philosophy, dalam The Philosophical
Works of Descartes, terj. E.S. Haldane (Cambridge: Cambridge
University Press, 1911).
Devetak, Richard, “Incomplete States: Theories and Practices of Statecraft,”
dalam Macmillan, J., dan Linklater, A., peny., Boundaries in
Questions: New Direction in International Relations. (London:
Pinter Publishers, 1995).

Universitas Indonesia
250

Donohue, Lauha K., The Cost of Counterterrorism: Power, Politics, and


Liberty (Cambridge; Cambridge University Press, 2008).
Edkins, Jenny, “Missing persons: Manhattan September 2001,” dalam E.
Dauphinee dan C. Masters (peny.), The Logics of Biopower and the
War on Terror: Living, Dying, Surviving (Basingstoke and NY:
Palgrave Macmillan, 2007).
Edkins, Jenny, Nalini Persram & Veronique Pin-Fat, peny., Sovereignty and
Subjectivity (Boulder: Lynne Riener, 1999).
Eiland, H., dan Jennings, M., peny., Walter Benjamin: Selected Writings,
Volume 4, 1938–1940 (Cambridge, MA danLondon: The Bellknap
Press of Harvard University Press, 2003).
Eisenman, Stephen F., The Abu Ghraib Effect (London: Reaktion Books,
2007).
Foucault, Michel, “Nietzsche, Genealogy, History,” dalam Paul Rabinow
(ed.) The Foucault Reader (London: Penguin Books, 1984).
Foucault,M., Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings,
1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).
Foucault, Michel, Security, Territory and Population: Lectures at the
College de France, 1977-78, terj. G. Burchell (Basingstoke:
Palgrave Macmilan, 2007).
Foucault, Michel, “Society Must Be Defended”: Lectures at the Collège de
France 1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador, 2003).
Foucault, Michel, “Truth and Power,” dalam Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, peny. Colin Gordon
(New York: Harvester Wheatsheaf, 1980).
Foucault, Michel, “Nietzsche, Genealogy dan Sejarah,” dalam M.T.
Gibbons, peny., Tafsir Politik, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta:
Qalam, 2002).
Freud, Sigmund, Five Lectures on Psychoanalysis (1909), terj. K. Bertens,
dalam Psikoanalisis Sigmund Freud (Jakarta: Gramedia, 2006).
Freud, Sigmund, “On Narcissism: An Introduction (1914),” dalam The
Standard Edition, vol. XIV.
Freud, Sigmund, Mourning and Melancholia (1917), Standard Edition, XIV
(London: Hogarth Press, 1957).
Freud, Sigmund, The Ego and The Id (1923), dalam The Standard Edition of
the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, Vol. XIX
(London: Hogarth Press, 1957).
Gaddis, John Lewis, We Now Know: Rethinking Cold War History. (New
York: Oxford University Press, 1997).
Gandhi, Leela, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat,
terj. Y. Wahyutri & N.Hamidah (Yogyakarta: Qalam, 1998).
Gagliardo, J.G., Reich and Nation – The Holy Roman Empire as Idea and
Reality, 1763-1806 (Bloomington: University of Indiana Press,
1980).
George, Jim, Discourses of Global Politics: A Critical (Re)Introduction to
International Relations (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1994).

Universitas Indonesia
251

Gibbons, M.T., peny., Tafsir Politik, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta:
Qalam, 2002).
Girard, René, Deceit, Desire and the Novel: Self and Other in Literary
Structure, terj. Mensonge romantique. (Baltimore, London: Johns
Hopkins University Press, 1966).
Gramsci, Antonio, Selections from the Prison Notebooks,peny. dan penterj.,
Q. Hoare dan G.N. Smith (NY: International Publishers).
Guzzini, S. dan Jung, D., peny., Contemporary Security Analysis and
Copenhagen Peace Research (London & NY: Routledge, 2004).
Hardiman, F. Budi, “Kedaulatan dan Krisis Menurut Carl Schmitt,” dalam
V.F. Kama, Teologi Politik (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa, 2003).
Hardt, Michael dan Negri, Antonio, Empire (Harvard: Harvard Uni Press,
2000).
Haufniensis, Vigilius, (alias Søren Kierkegaard), The Concept of Anxiety: A
Simple Psychological Orienting Deliberation on the Dogmatic Issue
of Hereditary Sin, terj. R. Thomte dan A. B. Anderson (Princeton:
Princeton University Press, 1980).
Hobbes, Thomas, Leviathan or the Matter, Forme, & Power of a Common-
wealth Ecclesiastical and Civil, (McMaster University Archive of
the History of Economic Thought, 1651).
Irigaray, Luce, Marine Lover of Friedrich Nietzsche, terj. G.C. Gill. (New
York: Columbia University Press, 1991).
Irigaray, Luce, The Speculum of the Other Women, terj. G.C. Gill (Ithaca,
NY: Cornell Uni Press, 1985).
Jackson, Robert, Sovereignty: Evolution of an Ideas (Cambridge: Polity
Press, 2007).
Jameson, Frederic, The Prison-House of Language: A Critical Account of
Structuralism and Russian Formalism (Princeton: Princeton
University Press, 1972).
Jervis, Robert, Ned Lebow, Richard dan Stein, Janice G., Psychology and
Deterrence (Baltimore: Johns Hopkins Uni Press, 1985).
Julien, Philippe, Jacques Lacan’s Return to Freud: the Real, the Symbolic
and the Imaginary (New York: New York University Press, 1994).
Kantorowicz, Ernst, The King’s Two Bodies: A Study in Mediaeval Political
Theology (Princeton, New Jersey: Princeton Uni Press, 1957).
Keohane, Robert O., After Hegemony: Cooperation and Discord in the
World Political Economy (Princeton, N.J.: Princeton University
Press, 1984).
Keohane, Robert O., Power and Governance in a Partially Globalized
World (London, NY: Routledge, 2002).
Krasner, Stephen D., peny., International Regimes (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1983).
Kristeva, Julia, The Powers of Horror: An Essay on Abjection, terj. L. S.
Roudiez (NY: Columbia Uni Press, 1982).
Lacan, Jacques, Écrits: A Selection, terj. Alan Sheridan (London: Tavistock,
1977).
Lacan, Jacques, “Seminar 19: Wednesday, May 10, 1967,” dalam Seminar
14: The Logic of Fantasy. (Naskah tidak diterbitkan).

Universitas Indonesia
252

Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book II. The Ego in Freud's
Theory and in the Technique of Psychoanalysis, 1954-1955, peny. J-
A. Miller, terj. S. Tomaselli (NY, London: W.W. Norton &
Company, 1988).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book III. The Psychosis,
1955-1956, peny. J-A. Miller, terj. R. Grigg (London: Routledge,
1993).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan. Book VII: The Ethics of
Psychoanalysis (1959-1960), peny. J-A. Miller, terj. D. Porter (NY:
W.W. Norton & Company, Inc., 1992).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book XI: The Four
Fundamental Concept of Psychoanalysis, terj. A. Sheridan (London,
NY: W.W.Norton & Company, 1981).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan. Book XVII. The Other Side
of Psychoanalysis, peny. J.-A. Miller, terj. R. Grigg (NY, London:
W.W. Norton & Company, 2007).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book XX. Encore 1972-
1973. On Feminine Sexuality The Limits of Love and Knowledge,
peny. J-A. Miller, terj. B. Fink (NY, London: W.W. Norton &
Company, 1998).
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book XXII. R.S.I., 1974-75,
peny. Jacques-Alain Miller, terj. Jack W. Stone dari transkrip utama
milik Editions Du Seuil.
Lacan, Jacques, The Seminar of Jacques Lacan, Book XXIII. The Sinthome,
1975-76, terj. L. Thurston, diterbitkan di Ornicar, 6-11, (1976-
1977).
Laffan, R.G.D., peny., Select Documents of European History, vol. 1, 800-
1492 (London: Methuen, 1930).
Larner, Wendy & Walters, William, peny., Global governmentality:
Governing International spaces (London, NY: Routledge, 2004).
Lefort, Claude, Democracy and Political Theory, terj. D. Macey
(Cambridge: Polity Press, 1988).
Macmillan, J., dan Linklater, A., peny., Boundaries in Questions: New
Direction in International Relations. (London: Pinter Publishers,
1995).
McArthur, Brian, The Penguin Book of Historic Speeches, (Penguin Books,
1996).
McKay, John P., Hill, Bennett D., dan Buckler, John, A History of World
Society, Vol I: To 1715 (Boston, Mass.: Houghton Mifflin Company,
1984).
Mearsheimer, John. Tragedy of Great Power Politics (New York: W. W.
Norton, 2001).
Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and
Peace, edisi ringkas, (Boston: McGraw-Hill, 1993).
Odysseos, Louiza dan Petito, Fabio, The International Political Thought of
Carl Schmitt: Terror, Liberal War and the Crisis of Global Order
(London, NY: Routledge, 2007).

Universitas Indonesia
253

Oye, Kenneth, peny., Deterrence Debates: Problems of Definition,


Specification, and Estimation (Ann Arbor: Uni of Michigan Press,
1993).
Parpart Jane L. dan Zalewski, Marysia, peny., Rethinking the Man Question:
Sex, Gender and Violence in International Relations (London, NY:
Zed Books, 2008).
Perkins, John. Confessions of an Economic Hit Man (San Francisco:
Berrett-Koehler, 2004).
Passavant, Paul A., “Introduction: Postmodern Republicanism,” P.A.
Passavant dan J. Dean, Empire’s New Clothes: Reading Hardt and
Negri (NY, London:Routledge, 2004).
Passavant, Paul A. dan Dean, Jodi, Empire’s New Clothes: Reading Hardt
and Negri (NY, London:Routledge, 2004).
Percy, Sarah, Mercenaries: The History of a Norm in International
Relations (Oxford: Oxford Uni Press, 2007).
Price, Richard, The Chemical Weapons Taboo. (Ithaca: Cornell Uni Press,
1997).
Robet, Robertus, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Emansipasi di Era
Kapitalisme Global menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri,
2010).
Roudinesco, Elizabeth, Jacques Lacan: An Outline of a Life and a History
of a System of Thought (Cambridge: Polity Press).
Ruggie, John G., “Multilateralism at century’s end,” dalam Constructing
The World Polity: Essays On International Institutionalization
(London, NY: Routledge, 1998).
Ruggie, John G., “Territoriality at millennium’s end,” dalam John G.
Ruggie, Constructing World Polity (London & NY:
Routledge,1998).
Ruggie, John G., Constructing The World Polity: Essays On International
Institutionalization (London, NY: Routledge, 1998).
Ruggie, John G., peny., Multilateralism Matters: The Theory and Praxis of
an Institutional Form (NY, Oxford: Columbia University Press,
1993).
Schmitt, Carl, Political Theology: Four Chapters on the Concept of
Sovereignty, terj. G. Schwab (Cambridge: The MIT Press, 1985).
Shapiro, Lisa, peny., The Correspondence Between Princess Elisabeth of
Bohemia and René Descartes (Chicago & London: The Uni Chicago
Press, 2007).
Shapiro, Michael J. & Hayward R. Alker (peny.), Challenging Boundaries:
Global Flows, Territorial Identities (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1996).
Thomson, Janice Mercenaries, Pirates, and Sovereigns (NJ, Princeton:
Princeton Uni Press, 1994).
Smith, Steve, Booth, Ken, dan Zalewski, Marysia, peny., International
Theory: Positivism and Beyond (Cambridge: Cambridge Uni Press,
1998).
Spruyt, Hendrik, The Sovereign State and Its Competitor: An Analysis of
Systems Change (NJ, Princeton: Princeton Uni Press, 1994).

Universitas Indonesia
254

Stavrakakis, Yannis, Lacan and the Political (London, NY: Routledge,


1999).
Strayer, Joseph, On the Medieval Origins of the Modern State (Princeton,
New Jersey: Princeton Uni Press, 1970).
Suryajaya, Martin, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: Komunitas Aksi
Sepihak, 2009).
Swift, Jonathan, Gulliver’s Travel (Irvine, CA: Saddleback, 2001).
Tannenwald, Nina, The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use
of Nuclear Weapons Since 1945 (Cambridge: Cambridge Uni Press,
2007).
Tilly, Charles, Coercion, Capital, and European States, AD 990-1992
(Cambridge, Oxford: Blackwell, 1992).
Walker, R.B.J., Inside/Outside: International Relations as Politcal Theory
(Cambridge: Cambridge Uni Press, 1993).
Waltz, Kenneth, Theory of International Politics, (Reading, Massachusetts:
Addison-Wesley, 1979).
Weber, Cynthia, International Relations Theory: A Critical Introduction,
edisi ketiga (London, NY: Routledge, 2001).
Weber, Cynthia, Simulating Sovereignty: Intervention, the State and
Symbolic Exchange (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1995).
Wedgewood, C.V., The Thirty Years War, 1938, Bab X, bag IV.
Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics (Cambridge:
Cambridge Uni Press, 1999).
Wibisono, Makarim, Tantangan Diplomasi Multilateral (Jakarta; LP3ES,
2006).
Wight, Martin, Systems of States (Leicester UK: Leicester University Press,
1977).
Wittgenstein, Ludwig, Philosophical Investigation, terj. G. E. M. Anscombe
(Oxford: Basil Blackwell, 1958).
Zagare, Frank C., dan D. Marc Kligour, Marc D., Pefect Deterrence
(Cambridge: Cambridge Uni Press, 2000).
Zehfuss, Meja, Constructivism in International Relations: The Politics of
Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002).
Žižek, Slavoj, Enjoy Your Symptom! Jacques Lacan in Holywood and Out
(London, NY: Routledge, 1992).
Žižek, Slavoj, “Holding The Place,” dalam J. Butler, E. Laclau dan S. Žižek,
Contingency, Hegemony and Universality: Contemporary Dialogues
on the Left (London: Verso, 2000).
Žižek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology, edisi kedua (London: Verso,
2008).
Žižek, Slavoj, The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology
(London: Verso, 1999).
Žižek, S. dan Schelling, F.W.J., The Abyss of Freedom/Ages of the World
(Ann Arbor: University of Michigan Press, 1997).

Universitas Indonesia
255

JURNAL

Agamben, Giorgio, “I am sure you are more pessimistic than I am … ’ An


Interview with Giorgio Agamben’, Rethinking Marxism, 16 (2)
(2004).
Anderson, Perry, “The Antinomies of Antonio Gramsci.” New Lefr Review,
26 (Nov-Des, 1976).
Ashley, Richard, “Untying the Sovereign State: A Double Reading of the
Anarchy Problematique.” Millennium: Journal of International
Studies, 17 (2) (1998).
Axelrod, Robert & Keohane, Robert O., “Achieving Cooperation Under
Anarchy: Strategies and Institutions,” World Politics 38 (October,
1985).
Balibar, Etienne, “Propositions on Citizenship,” terj. S. Critchley, Ethics, 98
(Juli 1988).
Breger, Claudia, “The Leader's Two Bodies: Slavoj Žižek’s Postmodern
Political Theology,” diacritics, 31(1) (Spring, 2001).
Bleiker, Roland, “The Aesthetic Turn in International Political Theory,”
Millennium: Journal of International Studies, 30(3) (2001).
Branch, James, “Mapping the Sovereign State: Technology, Authority, and
Systemic Change.” (Akan terbit pada International Organization,
2011). [Dikutip dengan izin pengarang]
Burke, Anthony. “The perverse perseverance of sovereignty,” Borderlands
E-Journal, 1(2), 2002, diakses
http://www.borderlandsejournal.adelaide.edu.au/vol1no2_2002/burk
e_perverse.html. Dicetak ulang dalam sebuah bab dalam Anthony
Burke, Beyond Security, Ethics, and Violence: War Against Other
(London & NY: Routledge, 2007).
Chandler, David, “The Revival of Carl Schmitt in International Relations:
The Last Refuge of Critical Theorists?” Millennium: Journal of
International Studies, 37(1) (2008).
Charles, Tilly, “States and Nationalism in Europe 1492-1992,” Theory and
Society, 23(1) (February 1994).
Crawford, Neta C., "The Passion of World Politics: Propositions on
Emotion and Emotional Relationships," International Security, 24(
4) (Spring, 2000).
Dauphinee, Elizabeth, “War Crimes and the Ruin of Law,” Millennium:
Journal of International Studies, 37(1) (2008).
Dean, Mitchell, “A Political Mythology of World Order: Carl Schmitt’s
Nomos,” Theory, Culture & Society, 23(5) (2006).
Deleuze, Gilles, “From Sacher-Masoch to Masochism,” terj. C. Kerslake,
Angelaki: Journal of the Theoretical Humanities, 9(1) (April, 2004).
Devetak, Richard, “The Gothic scene of international relations: ghosts,
monsters, terror and the sublime after September 11,” Review of
International Studies, 31, (2005).
Downs, George W., “The rational deterrence debate,” World Politics, 41
(1989).

Universitas Indonesia
256

Dubreuil, Laurent, “Leaving Politics: Bios, Zōē, Life.” diacritics, 36(2)


(2006).
Edkins, Jenny, “Forget trauma? Responses to September 11,” International
Relations, 16(2) (2002).
Edkins, Jenny dan. Walker, R.B.J, “Zones of Indistinction: Territories,
Bodies, Politics,” Alternatives: Global, Local, Political, 25(1)
(2000).
Finnemore, Martha dan Sikkink, Kathryn, “International norms dynamics
and political change,” International Organization, 52(4) (1998).
Gentile, Emilio, “New idols: Catholocism in the face of fascist
totalitarianism,” Journal of Modern Italian Studies, 11(2) (June
2006).
Gilpin, Robert G., “The richness of the tradition of political realism,”
International Organization, 38 (2) (1984).
Grieco, Joseph M., “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist
Critique of the Newest Liberal Institutionalism,” International
Organization, 42(3) (Summer, 1988).
Guattari, Félix “Everybody Wants To Be A Fascist,” terj. S. Fletcher,
Semiotext(e) II(3).
Haas, Peter,“Introduction: Epistemic Communities and International Policy
Coordination,” International Organization, 46(1) (Winter, 1992).
Hardt, Michael, “Sovereignty,” Theory & Event, 5(4) (2002).
Helmling, Steven, “Jameson’s Lacan,” Postmodern Culture, 7(1), (1996).
Huth, Paul dan Russett, Bruce, “What makes deterrence works? Cases from
1900 to 1980,” World Politics, 36, (1984).
Huysmans, Jef, “The Jargon of Exception—On Schmitt, Agamben and the
Absence of Political Society,” International Political Sociology 2
(2008).
Jackson, Patrick, Thaddeus, "Forum Introduction: Is the state a person? Why
should we care?" Review of International Studies, 30 (2004).
Jackson , Patrick, Thaddeus, “Hegel’s House, or ‘People are states too’,”
Review
of International Studies, 30 (2004).
Jervis, Robert. “Cooperation under the security dilemma,” World Politics,
30(2), (Jan, 1978).
Jervis, Robert, “Security regime,” International Organization, 36(2)
(Spring,
1982).
Keohane, Robert O., “Multilateralism: An Agenda for Research,”
International
Journal, 45 (Autumn, 1990).
Keohane, Robert O., “Reciprocity in international relations,” International
Organization, 40(1) (Winter, 1986).
Kierkegaard, Søren, “Either/Or, he Fragment of Life”, dalam The Essential
Kierkegaard, Selections , peny. Howard V. Hong dan Edna H. Hong
(Princeton, NJ: Princeton Uni Press, 2000).
Koskenniemi, Martti, “International Law as Political Theology: How to
Read Nomos der Erde?” Constellations 11(4) (2004).

Universitas Indonesia
257

Kubálková, Vendulka, “Towards an International Political Theology,”


Millennium: Journal of International Studies, 29(3) (2000).
Lacan, Jacques, “Introduction to the Names-of-the-Father Seminar,” tej.
Jeffrey Mehlman, October, 40 (Spring, 1987).
Levy, Jack S., “Learning and Foreign Policy: Sweeping a Conceptual
Minefield,” International Organization, 48(2) (Spring, 1994).
Lomas, Peter, "Anthropomorphism, personification and ethics: a reply to
Alexander Wendt," Review of International Studies, 31 (2005).
Luoma-aho, Mika, “Political Theology, Anthropomorphism, and Person-
hood of the State: The Religion of IR,” International Political
Sociology 3 (2009).
Malik, Suhail. “Global Sovereignty,” Theory, Culture & Society, 23(2-3),
2006.
Mearsheimer, John, “The false promise of international instituitions,”
International Security, 19(3), (Winter, 1994/5).
Nancy, Jean-Luc, "The two secrets of the fethis," diacritics, 31(2) (summer
2001).
Negri, Antonio, “Sovereignty: That divine ministry of the affairs of earthly
life,” Journal for Cultural and Religious Theory, 9(1) (Winter,
2008).
Neumann, Iver, “Beware of Organicism: the Narrative Self of the State,”
Review of International Studies, 30:2 (2004).
Polimpung, Hizkia Y. S. “Insekuritas Global: Ekses Trauma dan Paranoia
AS dalam Kebijakan War on Terror,” Jurnal Sosial-Budaya dan
Politik, VIII(1) (Mei, 2009).
Polimpung, Hizkia Y. S. “Memenggal Kepala Presiden: Studi Politik
Internasional versus Masa Depan,” Jurnal Studi Amerika, Januari-
Juni 2009.
Poster, Mark, “Foucault and History,” Social Research, 49 (1982).
Rodriguez, Leonardo, "Fantasy, Neurosis and Perversion," Analysis, 2
(1990).
Ruggie, John G., “International Regimes, Transactions, and Change:
Embedded Liberalism in the Postwar Economic Order,”
International Organization, 36(2) (Spring, 1982).
Ruggie, John G., “International Responses to Technology: Concepts and
Trends,” International Organization, 29(3) (Summer, 1975).
Ruggie, John G., “Multilateralism: The Anatomy of An Institution,”
International Organization, 46(3) (Summer, 1992).
Ruggie, John G., “Territoriality and Beyond: Problematizing Modernity in
International Relations,” International Organization, 47(1), (Winter,
1993).
Ruggie, John G., “What makes the world hang together? Neo-utilitarianism
and the social constructivist challenge,” International Organization,
52(4) (Autumn, 1998).
Schiff, Jacob, “‘Real’? As if! Critical reflections on state personhood,”
Review of International Studies, 34 (2008).
Schneiderman, Stuart, “Afloat with Jacques Lacan,” Diacritics, 1(2)
(Winter, 1971).

Universitas Indonesia
258

Slaughter, Anne-Marie, “International Law in a World of Liberal States,”


European Journal of International Law, 6(4) (1995).
Spruyt, Hendrik. “Institutional Selection in International Relations: State
Anarchy as Order,” International Organization, 48(4) (Autumn,
1994), pp. 527-557.
Vernon, Raymond, “Sovereignty at Bay: Twenty Years After,” Millennium:
Journal of International Studies, 20(2) (1991).
Walzer, Michael, “On the Role of Symbolism in Political Thought,”
Political Science Quarterly 82(2), (1967).
Weber, Cynthia, “Performative States,” Millennium: Journal of
International Studies, 27(1) (1998).
Wendt, Alexander, “How not to argue against state personhood: a reply to
Lomas,” Review of International Studies 31 (2005).
Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics, dan “The state as
person in international theory,” Review of International Studies 30
(2004).
Wendt, Alexander, “Why a World State is Inevitable,” European Journal of
International Relations, 9(4) (2003).
Wight, Colin, “State agency: social action without human activity,” Review
of International Studies, 30 (2004).
Winnubst, Shannon, “Is the mirror racist? Interrogating the space of
whiteness,” Philosophy & Social Criticism, 30(1), (2004).
Young, Oran R., “International regimes: problems of concept formation,”
World Politics 32(3), 1980.
Žižek, Slavoj, “Everything Provokes Fascism: an interview with Slavoj
Žižek,” Assemblage, 33 (Agustus, 1997).

LAIN-LAIN (Naskah Tidak Diterbitkan, Koran, Video)

“Bush Defends U.S. Treatment of Guantanamo Detainees,” (Januari 2002).


IslamOnline.net. tersedia di
http://www.islamonline.net/english/News/2002-
01/25/article7.shtml.
“Camp Delta at 'Gitmo,' Afghanistan Worlds Apart.” (29 April 2003).
Washington Times.
Eminem, ‘The Real Slim Shady’, on Marshall Mathers (European Union:
Records for The Universal Music Company, 2000).
Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War 1949.
Teks dapat diakses di www.unhcr.ch/html/menu3/b/91.htm.
Harvey, David, "The Crisis Now," disampaikan dalam simposium Marxism
2009, Bloomsbury, 5 Juli 2009. [Video dokumentasi].
Hoge, Warren, “Investigators for U.N. Urge U.S. to Close Guantanamo,”
New York Times (Februari 2006).
“Iraq and the ‘Bush Doctrine’ of Pre-Emptive Self-Defence.” (Agustus
2002). Diakses dari www.crimesofwar.org/expert/bushdoctrine-
preemptive.htm, pada 30 Juli 2005.
Käpylä, Juha, Emotions as Socio-Political: An Essay on the
Conceptualization of Emotions (from the Point of View of Politics),

Universitas Indonesia
259

makalah untuk Konvensi tahunan ke-51 International Studies


Association, New Orleans, USA (February 2010). [Makalah tidak
terbit].
Mandelson, Barak, God vs. Westphalia: The Longer World War, Makalah
pada Annual Convention of the International Studies Association
(Maret 2007). [Makalah tidak terbit].
Marwan, Awaludin, Struktur Subjek, Makalah pada forum diskusi
Komunitas Psikoanalisis, 14 Juni 2010, Depok. [Makalah tidak
terbit]
Polimpung, Hizkia Y. S., Curhat dan Baudrillard: Kasus “Anna X”,
makalah diskusi Lembaga Studi Urban, April 2009. [Makalah tidak
terbit]
Polimpung, Hizkia Y. S., Peralihan Estetis. Handout pada Pelatihan Teori
Hubungan Internasional Kontemporer, Pusat Kajian Wilayah
Amerika Universitas Indonesia, Jakarta (18-20 Mei 2009). [Makalah
tidak terbit]
Rasul v. Bush – Petition for Writ of Habeas Corpus. Dapat diakses di
http://news.findlaw.com/hdocs/docs/terrorism/rasulbush021902pet.h
tml.
“Remarks by the President at 2002 Graduation Excercise of the US Military
Academy, West Point, New York,” Office of the Press Secretary (1
Juni 2002).
U.S. DoD. DoD News Briefing - Secretary Rumsfeld and Gen. Pace.
(Januari 2002). Tersedia di
http://www.defenselink.mil/transcripts/transcript.aspx?transcriptid=2
254.
Taureck, Rita, Securitisation theory – The Story so far: Theoretical
inheritance and what it means to be a post-structural realist.
Makalah pada Konvensi CEEISA tahunan ke-4, University of Tartu,
25 -27 Juni 2006. [Makalah tidak terbit]
Taylor, Astra, Žižek!, (CA: Zeitgeist Films, 2005). [Film Dokumenter].
Taylor, Astra, Examined Life: Philosophy Is in the Streets! (Zeitgeist Films,
2008). [Film Dokumenter]
Treaty of Westphalia; October 24 1648, The Avalon Project (Yale Law
School, 1996). Diakses dari http://www.yale.edu/lawweb/avalon.
USA PATRIOT ACT, 24 Oktober 2001. Teks utuh dapat diakses dari
http://www.fincen.gov/statutes_regs/patriot/
“We Are a Country Awakened to Danger and Called to Defend Freedom,”
dalam www.september11news.com/PresidentBushSpeech.htm,
diakses tanggal 22 Juli 2005.
Žižek, Slavoj, The Pervert’s Guide to Cinema: Lacanian Psychoanalysis
and Film, (London: Mount Pleasant Studios, 2006). [Film
Dokumenter].

Universitas Indonesia
Lampiran 1

Model Teori Permainan Prisoner’s Dilemma

Sebagaimana populer didiskusikan, model Prisoner’s Dilemma (PD)


merupakan analogi rasional bagi partisipan suatu kerjasama agar dapat memperoleh
keuntungan maksimal di satu sisi, dan menghindarkan diri dari kehancuran total. PD
bercerita tentang dua orang tahanan yang tertangkap saat merampok. Oleh kepala
penjara, keduanya dimasukkan ke sel yang terpisah. Pada masa awal tahanannya,
setiap tahanan diam-diam dipanggil oleh kepala penjara dan diberi sebuah tawaran
kebebasan apabila ia mau mengaku sebelum tahanan lain mengaku siapa yang
menjadi bos aksi perampokan mereka. Untuk menaikkan “harga” tawarannya, kepala
penjara menjanjikan sejumlah besar uang sebagai bonus. Namun demikian, kepala
penjara mengancam, jika tahanan lain lebih dahulu mengaku, maka sang tahanan
akan dihukum mati di tiang-gantung. Tawaran lain: apabila kedua tahanan mengaku
pada waktu bersamaan, maka keduanya tidak jadi dihukum mati melainkan akan
menjalankan hukuman penjara 10 tahun; namun apabila keduanya tetap tidak
mengaku, maka keduanya akan dibebaskan—tanpa bonus uang tentunya. Tetapi
muncul dilema di benak setiap tahanan: bagaimana dirinya yakin tahanan lain tidak
akan cepat-cepat mengaku dan mengantongi uang bonus, meninggalkan dirinya di
tiang-gantungan?

Di sini setiap tahanan dihadapkan pada empat kemungkinan:


1. Irasionalitas Individu, yaitu diam dan berharap kepalanya tidak digantung
karena tahanan lain sama bodohnya untuk memilih diam.
2. Rasionalitas Individu, yaitu mengaku lalu keluar penjara dengan sejumlah
besar uang, meninggalkan kawannya di tiang-gantung, dan hidup dalam
perasaan bersalahnya.
3. Irasionalitas Kolektif, yaitu sama-sama mengaku dan menghabiskan 10 tahun
dalam sel bau.
4. Rasionalitas Kolektif, yaitu sama-sama diam dan meninggalkan sel dengan
selamat meskipun tanpa mendapat bonus.

Matriks dari keempat kemungkinan ini adalah sebagai berikut:

Tahanan A
Ngaku Diam
[3] [1,2]
Ngaku
Tahanan 2,2 4,1
B [2,1] [4]
Diam
1,4 3,3

Cat.: Angka-angka dalam kurung siku “[ ]” menunjukkan tipe kemungkinan dari


empat kemungkinan di atas. Sementara Angka-angka di dalam kotak menunjukkan
tingkat keuntungan, mulai dari 4 yang paling besar (—bebas+bonus), sampai 1 yang
paling kecil (—mati digantung). Dari matriks tersebut jelas bahwa apabila kedua
tahanan dapat bekerja sama, maka keduanya akan menghindar dari angka ‘1’—
kemungkinan terburuk, yaitu kematian.
Lampiran 2.

Plot Kedaulatan a la Tentara Bayaran: Tiga Tujuan Akatsuki dalam


Animasi Jepang Naruto.

Sumber: Naruto, Vol 36, chapter 329, hal 10-17.


NB: Alur pembacaan dari kanan ke kiri, dan dari atas ke bawah

You might also like